Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asma merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Asma
adalah suatu penyakit peradangan kronik saluran nafas yang berhubungan dengan
hiperesponsif dan penyempitan saluran nafas yang menimbulkan gejala gejala gangguan
pernafasan secara episodic yang membaik secara spontan atau setelah pemberian obat.
Dengan mengobatinya asma dapat dikontrol secara efektif hingga jarang terjadi
eksaserbasi dan penderita dapat menjalani kualitas hidup yang baik1.
Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan
kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen
dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global
Initiative for Asthma (GINA)2.
Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti dengan
kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai negara yang
menunjukkan peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat inap, kesakitan dan bahkan
kematian karena asma.Berbagai argumentasi diketengahkan seperti perbaikan kolektif
data, perbaikan diagnosis dan deteksi perburukan dan sebagainya. Akan tetapi juga
disadari masih banyak permasalahan akibat keterlambatan penanganan baik karena
penderita maupun dokter (medis). Kesepakatan bagaimana menangani asma dengan benar
yang dilakukan oleh National Institute of Heallth National Heart, Lung and Blood
Institute (NHLBI) bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) bertujuan
memberikan petunjuk bagi para dokter dan tenaga kesehatan untuk melakukan
penatalaksanaan asma yang optimal sehingga menurunkan angka kesakitan dan kematian
asma. Petunjuk penatalaksanaan yang telah dibuat dianjurkan dipakai di seluruh dunia
disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan negara masing-masing. Merujuk kepada
pedoman tersebut, disusun pedoman penanggulangan asma di Indonesia. Diharapkan
dengan mengikuti petunjuk ini dokter dapat menatalaksana asma dengan tepat dan benar,
baik yang bekerja di layanan kesehatan dengan fasiliti minimal di daerah perifer,
maupun di rumah sakit dengan fasiliti lengkap di pusat-pusat kota3.
1
Peran dokter dalam mengatasi penyakit asma sangatlah penting. Dokter sebagai pintu
pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam menolong penderita asma, harus selalu
meningkatkan pelayanan, salah satunya yang sering diabaikan adalah memberikan
edukasi atau pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan kepada penderita dan
keluarganya akan sangat berarti bagi penderita, terutama bagaimana sikap dan tindakan
yang bisa dikerjakan pada waktu menghadapi serangan, dan bagaimana caranya
mencegah terjadinya serangan asma4.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Asma adalah penyakit peradangan saluran nafas kronik yang ditandai oleh peran dari
banyak sel dan elemen seluler. Peradangan ini berhubungan dengan hiperesponsif jalan
nafas yang menimbulkan episode berulang kali berupa mengi, pendek nafas, sesak dada
dan batuk yang terutama terjadi pada malam hari atau dini hari1.
Definisi yang paling banyak diterima secara luas adalah hasil panel National Istitute of
Health ( NIH ) National Heart, Lung and Blood Institute ( NHLBI ). Menurut NHLBI
asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas di mana banyak sel berperan
terutama sel mast, eosinophil, limposit T, makrofag, neutrophil dan sel epitel5.
Asma adalah sindrom yang ditandai oleh obstruksi aliran udara yang bervariasi baik
secara spontan maupun dengan pengobatan spesifik. Peradangan saluran napas kronis
menyebabkan hiperresponsif napas ke berbagai pemicu, yang menyebabkan aliran udara
obstruksi dan gejala pernafasan termasuk sesak dan mengi6.
B. Epidemiologi
Asma merupakan masalah kesehatan dunia. Diperkirakan sebanyak 300 juta orang
menderita asma, dengan prevalensi sebesar 1- 18 %, bervariasi pada berbagai negara.
Kejadian asma dipengaruhi factor genetik, lingkungan, umur dan gender dan terdapat
C. Faktor Resiko8
Secara umum faktor resiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Faktor host
a. genetik
b. gender
c. Obesitas
2. Faktor lingkungan
a. Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)
b. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut,
susu sapi, telur)
d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dll)
e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
f. Ekspresi emosi berlebih
g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif.
h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas tertentu
j. Perubahan cuaca.
D. Patogenesis1
Genetik. Penelitian menunjukkan banyak gen yang terlibat pada pathogenesis asma,
dan gen yang berbeda terdapat pada etnik yang berkelainan. Diketahui 4 kelompok
pengaruh gen yang utama yang berkaitan dengan predisposes asma yaitu terhadap
produksi IgE spesifik ( atopi ), ekspresi hipersponsif, produksi mediator inflamasi seperti
sitokin, kemokin, growth factor, dan penentu rasio antara respon imun Th1 dan Th2
( menurut teori hipotesis higienis ). Analisa keluarga asma mendapat adanya daerah
kromosom yang terkait dengan kepekaan asma, misalnya kecendrungan peningkatan
kadar IgE total dengan hiperesponsif bronkus, dan gen yang mengatur hiperesponsif
bronkus yang terletak dekat lokus mayor yang mengatur kadar total IgE pada kromosom
5q. Penelitian saat ini masih terus berlanjut.
Terdapat pula gen yang terkait dengan respon terhadap terapi asma. Misalnya variasi
gen yang mengkode adrenoreceptor terkait dengan respon yang berbeda terhadap 2
agonist. Terdapat pula gen lain yang bersifat responsif terhadap kortikosteriod dan
penghambat leukotriene.
E. Mekanisme Asma1
Imunopatogenesis. Akibat adanya faktor perangsangan dan pencetus ini terjadi reaksi
imun tipe I, II, III dan IV yang diikuti reaksi mediator, inflamasi, kerusakan jaringan dan
gejala klinik. Disebutkan bahwa pada 85% pasien inflamasi dimulai oleh IgE ( asma
alergi ) dan sisanya oleh proses yang independen terhadap IgE ( asma non alergi ). Pada
atopi paparan awal terhadap antigen menimbulkan sensitisasi. Antigen-presenting cell
( APC ) seperti makrofag menelan antigen dan mempresentasikannya kepada sel T ( Th0 )
yang kemudian mengalami diferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 mengeluarkan sitokin
antara lain IL4 dan IL13 yang menyebabkan sel B memproduksi IgE yang spesifik untuk
antigen tersebut.
Pada respon dini akibat adanya paparan selanjutnya menimbulkan reaksi Ag-Ab pada
permukaan sel mastosit, yang diikuti aktivasi dari sel dan pelepasan berbagai mediator
( histamin dan heparin ) serta mediator lain ( prostaglandin, leukotrin, faktor aktifasi
trombosit-PAF dan bradikinin ). Terjadi efek langsung berupa bronkokonstriksi dan
peningkatan hiperesponsif bronkus. Pelepasan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL6
mengaktifasi limfosit T dan B, yang merangsang sel mastosit dan menarik eosinofil,
sehingga meningkatkan proses inflamasi.
5
Respon lambat terjadi 4-12 jam setelah paparan antigen, berupa dilatasi vaskuler dan
peningkatan permiabilitas kapiler, pembentukkan edema dan akumulasi sel radang.
Akibat adanya aktifasi, sel eosinofil melepaskan berbagai mediator ( eosinophilic cation
protein-ECP, leukotrin, prostaglandin, histamin ) yang menimbulkan bronkokonstriksi
dan perpanjagan hiperesponsif bronkus. Sekresi sitokin seperti IL3, IL4, IL5 lebih lanjut
menimbulkan inflamasi yang berkelanjutan9. Dengan demikian proses inflamasi kronik
yang kompleks pada asma ditandai oleh adanya sel radang dan elemen seluler, perubahan
struktur saluran nafas dan peningkatan mediator.
Reaksi inflamasi pada saluran nafas menimbulkan penyempitan yang ireversibel pada
saluran nafas ( airway remodeling ) akibat fibrosis subepitelial, hipertrofi otot polos
saluran nafas, penebalan pembuluh darah dan hipersekresi mukus. Hal ini merupakan
langkah terakhir terjadinya gejala dan perubahan fisiologik saluran nafas pada asma, yaitu
berupa kontraksi otot polos, edem, penebalan dinding dan hipersekresi mukus.
Hiperesponsif ini bersifat responsif secara parsil terhadap obat.
Gambar 2. Hiperaktivasi
F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesa1 :
Riwayat pengulangan batuk mengi, sulit bernafas, atau berat dada yang memburuk
pada malam hari atau secara musiman.
Riwayat asma sebelumnya
Manifestasi atopik misalnya rhinitis alergika, yang bisa juga ada pada keluarga
Keluhan timbul atau memburuk oleh infeksi pernafasan, rangsangan bulu
binatang, serbuk sari, asap, bahan kimia, perubahan suhu, debu rumah, obat
obatan ( aspirin, penghambat beta ), olah raga, rangsang emosi yang kuat
Keluhan berkurang dengan pemberian obat asma
2. Pemeriksaan Fisik :
Dapat dijumpai adanya sesak nafas, pernafasan mengi dan perpanjangan ekspirasi
tanda emfisema pada asma yang berat1.
a) Vital
Sign
Fitur
umum
dicatat
selama
serangan
asma
akut
tingkat pernapasan cepat (sering 25 sampai 40 napas per menit), takikardia, dan
pulsus paradoksus10.
b) PemeriksaanThorak5
Pemeriksaandapatmengungkapkan bahwapasien yang mengalamiserangan asma
dapat dijumpai:
Inspeksi: sesak (napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi
suprasternal)
Palpasi: biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat terjadi
pulsus paradoksus
Perkusi: biasanya tidak ditemukan kelainan
Auskultasi: ekspirasi memanjang,wheezing
3. Pemeriksaan Penunjang :
Spirometri1 :
( Volum Ekpirasi Paksa 1 detik ) VEP 1< 70% dari nilai prediksi menunjukkan
adanya obstruksi jalan nafas.
Variabilitas. Merujuk pada perbaikan atau pemburukan gejala atau fungsi paru
dalam periode tertentu misal 1 hari ( variabilitas diurnal ), hari atau bulanan.
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal serangan,
terjadi hipoksemia dan hipokapnea (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada stadium
yang lebih berat pada PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnea.
Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadi hiperkapnea (PaCO2 45 mmHg),
hipoksemia, dan asidosis respiratorik.
Foto Toraks11
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang
memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas,
pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan, gambaran
radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan.
G. Klasifikasi
Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum pengobatan) :
10
11
12
13
Asma kontrol
Berdasar keadaan terkontrol asma dibagi menjadi : terkontrol, terkontrol parsial dan
tidak terkontrol13.
A. Penilaian Terhadap Kontrol Klinis Terkini ( sebaiknya > 4 minggu )
No.
Karakteristik
Terkontrol
1
2
Gejala siang
Hambatan aktivitas
Gejala malam/bangun
waktu malam
Perlu reliever
Tidak ada
Tidak ada
3
4
Terkontrol parsial
Tak
terkontrol
1-2 gejala
3-4 gejala
Tidak ada
Tidak ada
H. Diagnosis Banding
Bila menemukan keluhan batuk sesak, mengi salah satu kelainan yang perlu dipikirkan
adalah obstruksi saluran nafas atas12.
Diagnosis banding asma5 :
14
Kategori
Penyakit penyebab sesak berulang
Kriteria
PPOK, penyakit jantung coroner, GERD, gagal
I. Penatalaksanaan
4 Komponen Tata Laksana Asma.
GINA ( 2011 ) mengajukan 4 komponen tata laksana yang dibutuhkan untuk mencapai
dan mempertahankan kontrol asma8 :
1. Mengembangkan Kerjasama Dokter dengan Pasien
Diupayakan tercapainya kerjasama yang baik antara dokter dan pasien, dan
melakukan edukasi pasien tentang asma dan tatakelola asma yang perlu mereka
kerjakan. Manajemen yang efektif diperoleh bila pasien dapat aktif merawat diri
sendiri yaitu bila ia telah mampu :
Menggunakan obatnya secara benar dan teratur sesuai yang telah ditentukan
Mampu memonitor asma dan bila mungkin bisa menggunakan PEF meter
15
pencetus asma. Pasien tetap melakukan olah raga sesuai kamampuannya dan bila perlu
sebelum olah raga terlebih dahulu menggunakan obat asma.
3. Evaluasi, Terapi dan Monitor Asma
Algoritma 1 menunjukkan suatu cara tata laksana asma secara garis besar yang dapat
dipergunakan sebagai dasar diagnosis asma, evaluasi kontrol/beratnya asma, tempat
perawatan dan tingkat terapi yang diberikan pada pasien yang datang ke klinik asma
atau klinik emergensi. Tindak lanjut terapi pasien ditentukan berdasarkan respon pasien
hingga pasien dapat pulang untuk berobat.
16
17
PENILAIAN AWAL
A: Airway
B:Breathing
Adakahgejalaberiku
C:Circulation tmenyertai?
Rasa kantukberat,
kebingungan, silent
chest
TIDAK
YA
18
BERAT
Beta-2-agonis kerjacepat (SABA)
RINGAN atau SEDANG
Pertimbangkankortikosteroidinhalasidosistinggi
Beta-2-agonis kerjacepat (SABA)
Ipratropiumbromida
Kontrol O2untukmempertahankansaturasi
Kontrol O2untukmempertahankansaturasi
hingga 93-95% (padaanak 94-98%)
hingga 93-95% (padaanak 94-98%)
Kortikosteroid oral
Kortikosteroid oral atau IV
Pertimbangkanipratropiumbromida
Pertimbangkan magnesium IV
Konsulke ICU,
Jikapasienterusmemburuk, lakukanterapisebagai
SABA & O2,
derajat BERAT dannilaiulanguntulk masukditerapidengan
ICU
danpersiapkanintubasi
19
Reliever
Short acting b2 agonist (SABA) :
Kortikosteroid (inhalasi, sistemik)
inhalasi, oral
Leukotriene modifeier
Kortikosteroid sistemik
Long acting b2 agonist (LABA) : Antikolinergik : Ipratropium br,
inhalasi, oral
oxitropium
20
Pencegah adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk mengontrol
asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi proses inflamasi yang
merupakan patogenesis dasar penyakit asma. Obat ini diberikan setiap hari untuk
mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten,
dan sering disebut sebagai obat pencegah. Berbagai obat yang mempunyai sifat
sebagai pengcegah, antara lain
a) Kortikosteroid inhalasi
21
b) Kortikosteroid sistemik
c) Sodium chromoglicate dan sodium Nedochromil
Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma
persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk
menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak.
d) Methylxanthine
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan
sebagai obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama
efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru.
e) Agonis 2 kerja lama (LABA) inhalasi
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya
agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan
pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan
memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan basofil.
22
f) Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat
bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah
preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini
yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien
sisteinil).
g) obat-obat anti alergi
23
Kortikosteroid sistemik.
Antikolinergik
Theophilin
24
25
dan agonis beta-2 kerja lama (LABA) yang disebut LABACS. Alternatif lainnya sama
dengan tahap 214.
Tahap 4. Tahapan setelah tahap 3 dimana harus dinilai apakah gejala pasien sudah
terkontrol sebagian atau belum terkontrol, kepatuhan pasien, komorbiditas, dan
pencetus. Pengobatan yang diberikan adalah LABACS dimana kortikosteroid inhalasi
diberikan dalam dosis sedang-tinggi14.
Tahap 5. Obat yang diberikan adalah LABACS dengan dosis kortikosteroid inhalasi
dosis tinggi dan jika perlu dapat ditambahkan kortikosteroid oral dosis terendah.
Kortikosteroid oral bekerja sistemik sehingga diharapkan dapat mempercepat
penyembuhan, mencegah kekambuhan, memperpendek hari rawat, dan mencegah
kematian14.
J. Pencegahan asma5
Upaya pencegahan asma dapat ditujukan pada pencegahan sensitisasi alergi
( terbentuknya atopi, nampaknya paling relevan waktu prenatal dan perinatal ) atau
mencegah terbentuknya asma pada individu yang tersensitisasi. Selain mencegah paparan
26
tembakau / rokok waktu dalam kandungan atau setelah kelahiran, tidak ada intervensi
yang terbukti dan diterima luas dapat mencegah terbentuknya asma.
Hygiene hypothesis asma. Walaupun kontroversi nama telah membawa penegasan
bahwa mencegah sensitisasi alergi harus focus mengarahkan kembali repons imun dari
bayi ke Th1 atau modulasi T regulator cell. Tetapi strategi tersebut saat ini masuh
merupakan alam hipotesis dan perlu penelitian lebih banyak.
K. Prognosa15
Asma biasanya kronis , meskipun kadang-kadang masuk ke periode panjang remisi .
Prospek jangka panjang umumnya tergantung pada tingkat keparahan.
Dalam kasus-kasus ringan sampai sedang , asma dapat meningkatkan dari waktu ke
waktu , dan banyak orang dewasa bahkan bebas dari gejala.Bahkan dalam beberapa kasus
yang parah , orang dewasa mungkin mengalami perbaikan tergantung pada derajat
obstruksi di paru-paru dan ketepatan waktu dan efektivitas pengobatan .
Pada sekitar 10 % kasus persisten berat , perubahan dalam struktur dinding saluran udara
menyebabkan masalah progresif dan ireversibel dalam fungsi paru-paru , bahkan pada
pasien yang diobati secara agresif .
Fungsi paru-paru menurun lebih cepat daripada rata-rata pada orang dengan asma ,
terutama pada mereka yang merokok dan pada mereka dengan produksi lendir yang
berlebihan ( indikator kontrol perlakuan buruk ) .
Kematian dari asma adalah peristiwa yang relatif jarang , dan kematian asma yang paling
dapat dicegah . Hal ini sangat jarang orang yang menerima perawatan yang tepat untuk
mati asma . Namun, bahkan jika tidak mengancam nyawa , asma dapat melemahkan dan
menakutkan . Asma yang tidak terkontrol dengan baik dapat mengganggu sekolah dan
bekerja , serta kegiatan sehari-hari.
27
DAFTAR PUSTAKA
28
asma
.http://
ayosz.
wordpress.
com/
2009/
5. Wibisono M. Jusuf dkk. 2010. BUKU AJAR ILMU PENYAKIT PARU 2010. Surabaya.
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair.
6. Longo, Dan L MD. 2013. HORRISONS MANUAL OF MEDICINE INTERNATIONAL
EDITION. America : McGraw-hill Companies.
7. Partridge MD. Examining The Unmet Need In Adults With Severe Asthma. Eur Respir Rev
2007; 16: 104, 6772
8. Pocket Guide for Asthma management and Prevention. Gina ( Global Initiative for
Asthma ). Updated 2015
9. The Expert Panel Report 3 Summary Report 2007 : Guidelines for the Diagnosis and
Management of Asthma. Expert panel of NAEPP Coordinating Committee, coordinated by
the National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) of the National Institute of health
National
Institute
of
Institutes
of
health,
USA.2008.
www.nhlbi.nih.gov/guidelines/asthma/asthgdln.htm.
10. Goldman Lee, Schafer Andrew, et al. Goldmans Cecil Medicine. Asthma, America. 2012.
11. Sundaru Heru, Sukamto. Asma Bronkial. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009.
12. Kuvuru MS and Wiederman HP. 2000. Asthma. In : Chest medicine. Essential of
pulmonary and critical care. Philandelphia, Lippincort Williams and Wilkins. 133-173
13. Global Initiative for Astham. 2009. Global strategy for asthma management and
prevention. www.ginasthma.org.
14. DewanAsmaIndonesia.Pedoman tatalaksana asma. Jakarta: CV, Mahkota Dirfan; 2011,
hal. 36-48.
15. Health Center. Asthma. Review date : 05/03/2011. www.healthcentral.com/asthma/
29