Vous êtes sur la page 1sur 19

PANDUAN INTERPRETASI RADIOGRAF

DENGAN PROF HANNA KELOMPOK I 2010


Pemeriksaan Radiografi :
Bertujuan untuk mendapatkan informasi yang belum atau tidak didapatkan sebelumnya
Dokter gigi dituntut untuk kompeten melakukan pemeriksaan radiografi, meliputi (1)
membuat radiograf , (2) evaluasi mutu dan (3) interpretasi radiografi untuk tata laksana
kasus menetukan DD
Tercantum pada Standar Kompetensi Dokter Gigi yang dikeluarkan Konsil Kedokteran
Gigi Indonesia
Tata laksana, meliputi:
1. Diagnosis (informasi diagnostik)
2. Rencana Perawatan
3. Prognosis
4. Rencana Observasi
Informasi diagnostik adalah semua informasi yang didapat dari pasien untuk tata
laksana kasus secara komprehensif, meliputi:
Ketika kita dikonsulkan foto radiograf,
1.Keadaan Umum
- jika ada pasien , maka lihat keadaan umum pasien pemilik foto radiograf tsb (
bagaimana kondisi pasien tsb saat datang, compos mentis, nyeri atau tidak pada
giginya). Hal ini penting untuk menentukan rencana perawatan.
2 Data Sosiodemografi
- Bayangkan pasiennya dengan data-data sosiodemografi yang sudah ada. Seperti
jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan. Untuk melihat kondisi fisiologisnya,
untuk menentukan rencana perawatan. Untuk melihat epidemiologi, persebaran
kasus
- Data-data sosiodemografi didapat untuk tatalaksana kasus (1. diagnosis, 2.
rencana perawatan, 3. prognosis, 4.observasi)
- Pemeriksaan foto radiograf dilakukan jika informasi diagnostik pada pemeriksaan
sebelumnya belum cukup untuk tatalaksana kasus
- Sebagai cth.pada pasien usis muda atau <30 th, yang dapat kita lihat adalah
kondisi tulang yang masih seimbang, dengan kemungkinan osteoporosis yang
masih jauh, bisa jadi agresive jika ada kerusakan jaringan periodonsium
- Usia 25-40 thn : tulang dalam kondisi seimbang, usia > 40 thn : kondisi tulang
sudah mulai terganggu(perubahan fisiologis)
- Usia dibawah 40 tahun masih memiliki sistem daya tahan imun yang masih baik,
maka dari itu perlu mempertimbangkan lesi yang terjadi adalah granuloma,
pertimbangkan juga kondisi sistemik.
- Kemudian lihat kondisi Ekstra oral dan Intra oral

3. Keluhan Utama dan Pemeriksaan Klinis


- Kondisi pasien dilihat dari keluhan utama, riwayat gigi tsb. Pemeriksaan perkusi,
vitalitas, palpasi.
- Perkusi (+), palpasi (+), menandakan kondisi penyakit dalam fase akut, kronis
eksaserbasi akut.
- Palpasi(+) umumnya menunjukkan adanya abses
- Apabila terdapat lesi periapikal namun pada permeriksaan klinis ternyata gigi
masih vital, maka bisa terjadi parsial necrosis atau false positif (saat
menggunakan electric vitality test.
EVALUASI MUTU FOTO RADIOGRAF
1. OBJEK TERCAKUP DAN TERLETAK DI TENGAH
TERCAKUP :
- Sesuai dengan tujuan pemeriksaan. Cth. Jika ingin lesi periapikal dan kemudian
struktur mahkota harus dikorbankan tidak apa-apa, karena mahkota dapat
dilihat secara klinis.
- Ada reference site. Dalam gambaran radiograf terdapat daerah yang normal di
dekat gambaran tidak normal, sbg refrence site. Ataupun gambaran kondisi yang
menjauhi kelainan ataupun yang paling mendekati normal.
- Cukup mendapatkan informasi diagnostik
TERLETAK DI TENGAH
- tujuan: agar sinar x jatuh di tengah/pusat film
- sehingga gambaran radiograf terlihat lbh jelas ditengah karena ada di daerah
umbra dengan sedikit penumbra.
2. KONTRAS, DETIL, & KETAJAMAN
KONTRAS
- dapat dilihat perbedaan anatara radiopak dan radiolusen
- radiolusen : pada radiograf pada daerah yang tidak ada objek. Radiolusen sehitam
karbon.
- Semakin tebal objek maka semakin radiopak gambarannya
DETIL
-dapat terlihat struktur anatomi baik batas maupun bentuknya
KETAJAMAN
- terlihat outline
- ketajaman yang tidak baik dikarenakan cone bergerak saat pengambilan radiograf,
cth lain yaitu pada pemngambilan radiograf pasien anak-anak

3. SUDUT HORIZONTAL (DAERAH INTERDENTAL)


-dikatakan tidak ada distorsi sudut horizontal jika daerah interdental terlihat jelas.
Seuai dengan susunan gigi geligi klinisnya.
- kecuali pada gigi gigi yang malposisi
- daerah interdental harus jelas untuk dapat melihat kondisi jaringan periodonsium
marginalnya.
4. SUDUT VERTIKAL
PADA GIGI ANTERIOR
- dengan melihat singulum. Kondisi normal: singulum lebar serviko insisal tidak
lebih dari 1-2 mm. Berada di 1/3 servikal mahkota.
- Pemanjangan (sudut vertikal terlalu kecil ) : singulum melebar scr serviko insisal
lbh dari 2 mm, dengan gambaran tidak lebih radiopak, blur, ke arah mahkota yang
strukturnya lebih tipis. Sinar x terproyeksi lbh ke arah mahkota yang lebihtipis
sehingga gambarannya tidak lebih radiopak (blur)
- Pemendekan (sudut vertikal terlalu besar : singulum melebar scr serviko insisal
lbh dr 2mm, terlihat lebih radiopak ke arah akar, sinar x terproyeksi ke arah akar
yang struktur nya lebih tebal sehingga lebih radiopak tegas.
PADA GIGI POSTERIOR
- dengan melihat cusp bukal dan palatal. Cusp bukal dan palatal terletak sebidang
yaitu sesuai dengan klinisnya.jika trelihat jarak cusp buka dan palatal lbh dari normal
maka dikatakan gambaran radiograf mengalami pemendekan
- dengan melihat daerah 1/3 tengah mahkota pada gigi molar, yaitu daerah yang
paling cembung. Apabila lbh radiopak maka terjadi pemendekan, tidak lebih radiopak
maka terjadi pemanjangan.
PADA GIGI ANTERIOR DAN POSTERIOR
-dengan melihat ketinggian tulang alveolar. Ketinggian yang normal yaitu 0,5-1,5mm
dibawah CEJ, namun jangan dijadikan patokan apabila terjadi kerusakan tl kortikal
pada alv crest.
- alveolar crest yang semakin mendekati cej maka terjadi pemendekan
- alveolar crest yang semakin menjauhi cej maka terjadi pemanjangan (dengan syarat
tidak terdapat kerusakan tulang kortikal pada alveolar crest
- apabila tulang kortikal pd alveolar crest hilang ataupun ireguler tapi mendekati ej dr
jarak normal, maka dikatakan pemendekan
5. DISTORSI MINIMAL
- misalkan foto yang tertekuk, bisa pada arah oklusoinsisal dengan gambaran berupa
tertariknya daerah apikal
- kesalahan saat pencucian, namun jika sesuai dengan tujuan pemeriksaan dan dapt
dilihat, maka radiograf masih dapat diinterpretasikan

GENERAL VIEW
1.
-

2.
3.
-

4.
-

5.
-

6.
7.
-

untuk melihat kesan awal radiograf


untuk melihat kelainan berasal dari pulpoperiapikal, periodontal, kombinasi, atau
sistemik
cara menentukan kelainan berasal dari mana yaitu dengan melihat lokasi mana
yang paling berat , apikal atau marginal
kelainan kombinasi yaitu berasal dari pulpoperiapikal dan periodontal. Kondisi
nya sama-sama berat, keluhan sama parahnya.
kondisi gigi geligi
perhatikan ada atau tidak anomali pada gigi geligi. Cth aganesis, supernumerary,
unfavourable condition : akar runcing, akar pendek dan pipih, bentuk mahkota
seperti tabung (tidak ada pinggul). Ada atau tidak malposisi gigi
perubahan gigi geligi
kehilangan jaringan dengan ga,abarn radiopal atau radiolusen, loaksi dimana,
outline ireguler/reguler.
hubungan antar gigi
perhatikan titik kontak dan garis oklusi
titik kontak : ada yang tidak baik( kontak bidang atau overlap), atau tidka ada titik
kontak.
Kemudian perhatikan garis oklusi sebidang atau tidak, pada gigi malposisi
biasanya garis oklusi tidak sebidang, kemudian kemungkinan ada TFO, lihat jejas
TFO pada jaringan periodonsium (lamina dura dan r periodontal)
kondisi jar periodonsium
ada atau tidak kelainan
untuk melihat TFO lihat apakah terdapat jejas-jejas TFO yaitu:
pelebaran ruang periodontal: ini yang harus dilihat pertama kali sebelum
penebalan lamina dura. Lokasi penyempitan ruang periodontal menandai arah
trauma ke lokasi tersebut, sedangkan pelebaran ruang periodontal terjadi di arah
yang berlawanan dengan arah trauma.
penebalan lamina dura : penebalan terjadi di lokasi searah dengan datangnya
trauma.
perubahan jaringan periodonsium
ada atau tidak nya perubahan jar periodonsium, apakah secara apikal atau
marginal
lamina dura di akar mesial terlihat lebih tebal (normal) karena ada daaerah cekung
sehingga terproyeksi sinar x sehingga menghasilkan gambaran yang lbh
radiopak/tebal
hubungan gigi dan jar periodonsium
Cth tidak adanya titik kontak yang baik pada gigi geligi menyebabkan perubahan
jaringan periodonsium
kondisi tulang rahang
perhatikan pola trabekulasi dan densitas
peningkatan densitas loka, jika ada lesi periapikal sebagai bentuk perthanan lokal,
lihat refernce site

8. perubahan tl rahang
- perubahan pola, terutama jika ada kelainan sistemik.
9. hub gigi, periodonsium, dan tl rahang
10. kesimpulan kelainan berasal dari
pulpoperiapikal, periodontal, kombinasi atau sistemik

SPESIFIC VIEW
A) KELAINAN PERIAPIKAL
Dilihat dari 7 clues :
1. radiodensitas : radiopak atau radiolusen
2. lokasi :biasanya di apeks gigI atau 1/3 apikal gigi. Lesi bermula dari ruang
periodontal di 1/3 apikal gigi.
3. batas tepi : bagaimana batas tepi nya jelas atau tidak
4. struktur interna : radiolusen atau radiopak berkabut.
5. efek terhadap jaringan sekitar : cth. Peningkatan densitas tulang di daerahsekitar
lesi, yang mendakan konsisi yg kronis dan telah terjadi lokalisir lesi
6. bentuk : bulat atau oval
7. ukuran : diameter lesi
untuk struktur interna lesi yang radiolusen berkabut, 2 kemungkinan yaitu
menunjukkan adanya lesi periapikal abses dan granuloma
GRANULOMA :
- radiolusen berkabut, batas jelas
- lesi mengikuti bentuk akar, terjadi di usia muda (imunitas yang masih bagus
sehingga melokalisir lesi sbg bntuk pertahanan)
- maksimal uk diameter yaitu 1 cm (melokalisir, tidka dapat membesar krna bentuk
pertahanan lokal
- lamina terputus di 1/3 apikal kemudian kanselus bereaksi untuk melokalisir
berupa peningkatan densitas. Apabila terputus dan ada sakit(+) maka menjadi
granuloma terinfeksi (ada keluhan sakit ataupun tanda akut pada pemeriksaan
klinis)
- Kapan suatu lesi menjadi granuloma?
o Usia muda (adanya lokalisasi infeksi)
o Lamina dura terlihat menyambung dan mempunyai bentuk tertentu
o Bila sakit biasanya batas terlihat diffuse dan menandakan adanya infeksi
ABSES
- radiolusen berkabut dengan batas tidak jelas
- pada abses dini belum terlihat begitu radiolusen , tp lamina dura sudah putus dan
hilang di 1/3 apikal, ada keluah sakit krna belum terlokalisir lesinya.
- Abses kronis : terjadi peningkatan densitas tulang di sekitar lesi
- Abses kronis eksaserbasi akut : ada peningkatan densitas tulang di sekitar lesi,
namun ada tanda akut pada pemeriksaan klinis.

Abses pada anak-anak biasanya langsung terdiagnosis sebagai abses dentoalveolar


karena tulang trabekulasi tipis. Namun proses healing berjalan cepat
Abses dentoalveolar : Abses yang telah mengenai sebagian besar pembungkus
akar (alveolus) dan bisa menyebar sampai ke bifurkasi.
Abses periodontal: biasanya yang paling berperan terhadap abses ini adalah
adanya trauma (kecuali akibat sebab lain, misalnya tertusuk duri ikan).

LESI TRAUMATIK
- Biasanya terlihat ada bukti trauma, baik secara klinis, radiografis, maupun tertera
pada anamnesa berupa riwayat trauma.
- Jejas trauma yang pertama terlihat dari periodonsium.
- Bila kerusakan struktur pada gigi memiliki outline yang rapi (tidak irreguler),
biasanya disebabkan trauma eksternal.
- Biasanya terlihat batas jelas, sedikit diffuse namun tidak terlihat adanya pita
radiolusen seperti pada kista. Pada bagian lesi dapat terlihat masih ada bagian
lamina dura yang tersambung.
- Gigi dapat dijumpai dalam keadaan vitalitas (+) partial necrosis
maupun (-) necrosis pulpa, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa hasil (+) dapat
saja false positive.
LESI CAMPURAN
- Jalan masuknya lesi lebih dari satu, bisa dari Periapikal atau Periodontal
- Dalam radiograph tentukan kira-kira dari mana jalan masuknya infeksi yang
paling dominan :
o Lihat pemeriksaan klinis : kalau berasal dari periodontal bisanya goyang
sudah derajat 3.
o Lihat perluasan lesi : lesi periapikal meluas dengan pusatnya berada pada
apikal gigi, sedangkan pada lesi periodontal perluasan lesi lebih ke arah
lateral dengan pusat tidak pada apikal gigi
- Contoh penulisan DD :
o Kasus primary perio with secondary endo : Abses periodontal EC OH
buruk diperberat TFO dan Lesi Periapikal kronis EC NP.
o Kasus primary endo with secondary perio : Abses apikalis kronis EC NP
dan Lesi periodontal EC OH buruk diperberat TFO
- Pada penulisan DD jangan menamai lesi campuran dengan dua abses (abses
apikal dan periodontal), penamaan abses diberikan pada jalur infeksi yang lebih
dominan sedang jalur yang kalah dominan diberi nama lesi saja.
KISTA
- Radiolusen dengan batas jelas ( jika sel epitel malassez terangsang)
- batas jelas : radiopak seperti lamina dura
- dapat membesar karena perkembangannya berasal dari tengah atau dalam lesi.
- Jika ada tanda akut pada pem klinis, dan terlihat terputus batas tepi mya maka
dikatakan kista terinfeksi

B) KELAINAN PERIODONTAL
Dapat dilihat dengan 10 clues:
1. tinggi tulang yang tersisa
- hitung jarak antara alv crest dengan tinggi seharusnya, bukan dari cej.Berapa
penurunannya. Tinggi tulang yg tersisa: 1/3 servikal, 1/3 tengah, atau 1/3 apikal
2. kondisi alveolar crest
- perhatikan tl kortikal, bentuk, outline, kontinuitasnya, densitasnya.Apabila sudah terjadi
kerusakan tl kortikal, ireguler, sampai kehilangan tl 1 mm dr tempat seharusnya maka
dikatakan mild periodontitis.Apabila sudah kehilangan tulang lebih dari 1mm-1/2 akar
dikatakan moderate.Apabila kehilangan tl alv lbh dari akar maka dikatakan severe
3. kehilangan tulang di bifurkasi
- ada atau tidak keterlibatan bifurkasi .
4. lebar ruang periodontal
- untuk melihat ada atau tidak jejas TFO
- TFO merupakan faktor pemberat, dapat dilihat dr arah mesio distal ataupun antero
posterior. Cth sisi mesial kondisi r periodontal dan lamina duranya berlawanan dengan
kondisi lamina dura dan r periodontal di sisi distal
5. faktor lokal
- kalkulus
- restorasi yang overhanging
-gigi malposisi
6. panjang akar, morfologi akar, rasio mahkota akar
- mengacu pada poin satu
7. kontak interproksimal
- bagaimana kontaknya baik atau tidak, ada atau tidak
8. pertimbangan anatomis
- cth kehilangan gigi, supernumerary, impaksi, posisi sinus maksila pada RA
9. pertimbangan patologis
- adanya karies, lesi periapikal, resorspsi akar
10. garis oklusi
- sebidang atau tidak, meilhat adanya TFO atau tidak
- garis oklusi yang sebidang bisa menjadi petunjuk adanya TFO, namun pada gambaran
radiograf tetap harus dicari tanda jejasnya karena bisa saja walaupun garis oklusi tidak
sebidang tetapi tidak terjadi TFO (mis. giginya tidak dipakai untuk menggigit)
-ada atau tidaknya TFO berpengaruh terhadap rencana perawatan
Diagnosis untuk kelianan periodontal
1. MILD: terdapat iregularitas pada crest sampai dengan kehilangan tulang 1 mm
dari tempat seharusnya (bukan dari CEJ).
2. MODERATE: kehilangan tulang >1 mm dari tempat seharusnya sampai dengan
setengah akar.
3. SEVERE

4. AGRESIVE :- pada usia <30 th, kerusakan tulang horizontal, lamina dura hilang
tnpa sebab, terutama pada gigi I dan M. Faktor lokal tidk dominan walaupun ada.
5. untuk yang murni karena faktor lokal, kerusakan tulang angular
Biasanya pada kasus Periodontitis:
-Reference site terpotong
-Terdapat perubahan pola dan densitas

curiga sistemik

-Jika dicurigai terdapat sistemik atau kelainan,maka dilakukan (1) foto keseluruhan,
panoramik/full moth survey (2) Lihat kualitas tulang

PRINSIP-PRINSIP RADIOLOGI
-

RISK AND BENEFIT (1)

ALARA (2 DAN 3)

Ada 3 prinsip proteksi radiasi yang telah direkomendasikan oleh International


Commission Radiological Protection (ICRP) untuk dipatuhi, yaitu :
1. Justifikasi
Setiap penggunaan radiasi harus berlandaskan asas manfaat, dimana manfaat yang
diterima harus lebih besar dari risiko yang ditimbulkannya.
2. Limitasi
Dosis yang diterima pekerja radiasi maupun pasien tidak boleh melampaui Nilai
Batas Dosis (NBD) yang telah ditetapkan. Batas dosis bagi pekerja radiasi
dimaksudkan untuk mencegah munculnya efek deterministik (non stokastik) dan
mengurangi peluang terjadinya efek stokastik.
3. Optimasi
Semua penyinaran harus diusahakan serendah-rendahnya (prinsip ALARA-as low as
reasonably achieveable), dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial.
Kegiatan pemanfaatan radiasi harus direncanakan dan sumber radiasi harus
dirancang serta dioperasikan untuk menjamin agar paparan radiasi yang terjadi dapat
ditekan serendah-rendahnya.

UNDANG-UNDANG
BAB III. Petugas dan ahli proteksi radiasi

Pasal 4.
Setiap Instalasi Atom harus mempunyai sekurang-kurangnya seorang Petugas
Proteksi Radiasi.
Pasal 5.
(1) Setiap Penguasa Instalasi Atom, dengan persetujuan Instansi yang Berwenang,
diwajibkan menunjuk dirinya sendiri atau orang lain dibawahnya selaku Petugas
Proteksi Radiasi.
(2) Petugas Proteksi Radiasi bertanggungiawab atas segala sesuatu yang
berhubungan dengan keselamatan setiap orang dalam lingkungan kepada Penguasa
Instalasi Atom.
Pasal 6.
Petugas Proteksi Radiasi berkewajiban menyusun Pedoman Kerja, Instruksi dan lainlain yang berlaku dalam lingkungan Instalasi atom yang bersangkutan.
Pasal 7.
(1) Untuk mengawasi ditaatinya peraturan-peraturan keselamatan kerja terhadap
radiasi, perlu ditunjuk Ahli Proteksi Radiasi oleh Instansi yang berwenang.
(2) Ahli Proteksi Radiasi diwajibkan memberikan laporan kepada Instansi yang
Berwenang dan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi secara berkala.
BAB V. Ketentuan-ketentuan kerja dengan zat-zat radioaktif dan sumber
radiasi lainnya
Pasal 14.
Semua pekerjaan yang memakai zat radioaktif terbuka dan zat radioaktif tertutup
serta sumber-sumber radiasi lainnya, harus mengikuti ketentuanketentuan yang diatur
lebih lanjut oleh Instansi yang berwenang.
Pasal 15.
Wanita hamil tidak diperkenankan meneriina dosis radiasi yang melebihi Nilai Batas
yang diizinkan sebagai yang diatur pada Pasal 3.
NILAI BATAS DOSIS (NBD)
Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri (PTNBR) telah menetapkan Nilai Batas Dosis (NBD) radiasi
tahunan yang mengacu pada SK Kepala BAPETEN No. 01/Ka-BAPETEN/V-99 tentang Ketentuan Keselamatan
Kerja terhadap Radiasi.
Nilai batas dosis yang ditetapkan dalam Ketentuan ini bukan batas tertinggi yang apabila dilampaui seseorang
akan mengalami akibat radiasi merugikan yang nyata atau menjadi sakit, akan tetapi merupakan batas tertinggi
yang dijadikan acuan, karena setiap penyinaran yang tidak perlu harus dihindari dan penerimaan dosis harus
diusahakan serendah-rendahnya (ALARA). Nilai batas dosis pada masyarakat umum adalah 5 mSv per tahun,
dan untuk wanita hamil adalah 10 mSv selama masa kehamilan. Dosis tahunan maksimum yang
direkomendasikan untuk para pekerja kesehatan adalah 50 milisiverts dan seumur hidup maksimum yang
diijinkan adalah 10 mSv dikalikan dengan usia seseorang dalam tahun.
Efek yang dihasilkan akibat radiasi, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat dikurangi atau diminimalisir
dengan dosis yang sesuai dan penggunaan proteksi radiasi bagi operator, pasien dan ruangan sehingga efek
tersebut dapat dihindarkan

HAL-HAL YANG MEMPENGARUHI KONTRAS


1. Subject contrast

Subject contrast merupakan perbedaan kontras yang disebabkan oleh perbedaan bagian
tubuh pada pasien yang dilewati oleh sinar-X. Contohnya adalah gigi dan tulang akan
menyerap hampir keseluruhan sinar radiasi sedangkan jaringan lunak akan meneruskan
sinar radiasinya. Selain itu, subject contrast juga dipengaruhi oleh energi (kVp), mA, dan
waktu dari sinar-X tersebut. Peningkatan kVp akan menurunkan kontras, sedangkan
sebaliknya jika kVp diturunkan kontras akan meningkat. Biasanya kVp yang digunakan
berkisar antara 70-80 kVp. Perubahan waktu juga akan mempengaruhi kontras. Jika
terlalu lama akan menyebabkan film menjadi lebih gelap.
2. Film contrast
Film contrast bergantung pada jenis foto (intraoral atau ekstraoral) ataupun pada saat
prosesing film tersebut.
3. Scattered radiation
Pemeriksaan radiografi terhadap organ organ tubuh yang memiliki ketebalan dan
nomor atom yang tinggi akan memerlukan energi sinar-X yang tinggi pula, sehingga
radiasi yang dihamburkan juga tinggi. Kenaikan tegangan dan arus tabung serta
penambahan luas lapangan penyinaran dapat menimbulkan bertambahnya jumlah radiasi
hambur yang sampai ke film, sehingga mengakibatkan penurunan kontras radiografi.

HAL-HAL YANG MEMPENGARUHI DETAIL DAN KETAJAMAN


1. Motion blurring
Diakibatkan oleh adanya pergerakan dari film, subjek, ataupun sumber sinar-X disaat
pemaparan sedang berlangsung.
2. Geometric blurring
Diakibatkan oleh adanya fokal spot (sinar foton tidak dipancarkan dari tabung sinar-X).
Semakin besar fokal spot, semakin berkurang ketajaman. Untuk meningkatkan
ketajaman, dapat dengan cara meningkatkan jarak antara fokal spot dengan objek, serta
mengurangi jarak antara objek dengan film.
3. Absorption unsharpness
Dikarenakan adanya variasi bentuk objek. Contohnya adalah cervical burn-out.

EFEK BIOLOGI RADIOTERAPI PADA WANITA HAMIL

Minggu ke-3 hingga minggu ke-8 kehamilan, merupakan fase pembentukan organ
pada janin, sehingga paparan radiasi bahkan pada dosis yang sangat rendah (0,1 Gray
atau 10 Rad) pun, dapat menyebabkan abortus maupun cacat bawaan. Kelainan yang
ditimbulkan tergantung pada sistem organ yang sedang dibentuk pada saat terjadinya
radiasi.
Minggu ke-8 hingga minggu ke-15 kehamilan, merupakan fase pembentukan
sistem saraf pusat pada janin. Sehingga apabila terjadi paparan radiasi dengan dosis > 30
Rad (0,3 Gray) pada fase ini, dapat mempengaruhi kecerdasan (tingkat intelektual) janin.
Setelah minggu ke-16, janin menjadi lebih kebal terhadap paparan radiasi, tetapi tetap
tidak boleh melebihi dosis tertentu.
Sinar X (rontgen) yang diberikan selama usia kehamilan kurang dari 4 bulan,
dapat menimbulkan cacat pada janin. Seiring dengan bertambahnya usia kehamilan,
risiko cacat pada janin juga semakin berkurang. Tetapi apabila pemeriksaan radiologis
tidak dapat terhindarkan, sebaiknya dipertimbangkan modalitas lain yang lebih aman dan
tidak menimbulkan ionisasi seperti sinar X, misalnya dengan Ultrasonografi
(menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi) ataupun MRI (Magnetic Resonance
Imaging) sehingga dapat memberikan manfaat maksimal bagi ibu dan juga
meminimalkan dampak negatif bagi janin.

EFEK BIOLOGIS RADIASI

Jika radiasi mengenai tubuh manusia, ada 2 kemungkinan yang dapat terjadi: berinteraksi
dengan tubuh manusia, atau hanya melewati saja. Jika berinteraksi, radiasi dapat mengionisasi
atau dapat pula mengeksitasi atom. Setiap terjadi proses ionisasi atau eksitasi, radiasi akan
kehilangan sebagian energinya. Energi radiasi yang hilang akan menyebabkan peningkatan
temperatur (panas) pada bahan (atom) yang berinteraksi dengan radiasi tersebut. Dengan kata
lain, semua energi radiasi yang terserap di jaringan biologis akan muncul sebagai panas melalui
peningkatan vibrasi (getaran) atom dan struktur molekul. Ini merupakan awal dari perubahan
kimiawi yang kemudian dapat mengakibatkan efek biologis yang merugikan.
Satuan dasar dari jaringan biologis adalah sel. Sel mempunyai inti sel yang merupakan
pusat pengontrol sel. Sel terdiri dari 80% air dan 20% senyawa biologis kompleks. Jika radiasi
pengion menembus jaringan, maka dapat mengakibatkan terjadinya ionisasi dan menghasilkan

radikal bebas, misalnya radikal bebas hidroksil (OH), yang terdiri dari atom oksigen dan atom
hidrogen. Secara kimia, radikal bebas sangat reaktif dan dapat mengubah molekul-molekul
penting dalam sel.
DNA (deoxyribonucleic acid) merupakan salah satu molekul yang terdapat di inti sel,
berperan untuk mengontrol struktur dan fungsi sel serta menggandakan dirinya sendiri.
Setidaknya ada dua cara bagaimana radiasi dapat mengakibatkan kerusakan pada sel.
Pertama, radiasi dapat mengionisasi langsung molekul DNA sehingga terjadi perubahan kimiawi
pada DNA. Kedua, perubahan kimiawi pada DNA terjadi secara tidak langsung, yaitu jika DNA
berinteraksi dengan radikal bebas hidroksil. Terjadinya perubahan kimiawi pada DNA tersebut,
baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat menyebabkan efek biologis yang merugikan,
misalnya timbulnya kanker maupun kelainan genetik.
Pada dosis rendah, misalnya dosis radiasi latar belakang yang kita terima sehari-hari, sel
dapat memulihkan dirinya sendiri dengan sangat cepat. Pada dosis lebih tinggi (hingga 1 Sv), ada
kemungkinan sel tidak dapat memulihkan dirinya sendiri, sehingga sel akan mengalami
kerusakan permanen atau mati. Sel yang mati relatif tidak berbahaya karena akan diganti dengan
sel baru. Sel yang mengalami kerusakan permanen dapat menghasilkan sel yang abnormal ketika
sel yang rusak tersebut membelah diri. Sel yang abnormal inilah yang akan meningkatkan risiko
tejadinya kanker pada manusia akibat radiasi.
Efek radiasi terhadap tubuh manusia bergantung pada seberapa banyak dosis yang
diberikan, dan bergantung pula pada lajunya; apakah diberikan secara akut (dalam jangka waktu
seketika) atau secara gradual (sedikit demi sedikit).
Sebagai contoh, radiasi gamma dengan dosis 2 Sv (200 rem) yang diberikan pada seluruh
tubuh dalam waktu 30 menit akan menyebabkan pusing dan muntah-muntah pada beberapa
persen manusia yang terkena dosis tersebut, dan kemungkinan satu persen akan meninggal dalam
waktu satu atau dua bulan kemudian. Untuk dosis yang sama tetapi diberikan dalam rentang
waktu satu bulan atau lebih, efek sindroma radiasi akut tersebut tidak terjadi.
Contoh lain, dosis radiasi akut sebesar 3,5 4 Sv (350 400 rem) yang diberikan seluruh
tubuh akan menyebabkan kematian sekitar 50% dari mereka yang mendapat radiasi dalam waktu
30 hari kemudian. Sebaliknya, dosis yang sama yang diberikan secara merata dalam waktu satu
tahun tidak menimbulkan akibat yang sama.
Selain bergantung pada jumlah dan laju dosis, setiap organ tubuh mempunyai kepekaan
yang berlainan terhadap radiasi, sehingga efek yang ditimbulkan radiasi juga akan berbeda.

Sebagai contoh, dosis terserap 5 Gy atau lebih yang diberikan secara sekaligus pada
seluruh tubuh dan tidak langsung mendapat perawatan medis, akan dapat mengakibatkan
kematian karena terjadinya kerusakan sumsum tulang belakang serta saluran pernapasan dan
pencernaan. Jika segera dilakukan perawatan medis, jiwa seseorang yang mendapat dosis terserap
5 Gy tersebut mungkin dapat diselamatkan. Namun, jika dosis terserapnya mencapai 50 Gy,
jiwanya tidak mungkin diselamatkan lagi, walaupun ia segera mendapatkan perawatan medis.
Jika dosis terserap 5 Gy tersebut diberikan secara sekaligus ke organ tertentu saja (tidak ke
seluruh tubuh), kemungkinan besar tidak akan berakibat fatal. Sebagai contoh, dosis terserap 5
Gy yang diberikan sekaligus ke kulit akan menyebabkan eritema. Contoh lain, dosis yang sama
jika diberikan ke organ reproduksi akan menyebabkan mandul.
Efek radiasi yang langsung terlihat ini disebut Efek Deterministik. Efek ini hanya muncul
jika dosis radiasinya melebihi suatu batas tertentu, disebut dosis ambang.
Efek deterministik bisa juga terjadi dalam jangka waktu yang agak lama setelah terkena
radiasi, dan umumnya tidak berakibat fatal. Sebagai contoh, katarak dan kerusakan kulit dapat
terjadi dalam waktu beberapa minggu setelah terkena dosis radiasi 5 Sv atau lebih.
Jika dosisnya rendah, atau diberikan dalam jangka waktu yang lama (tidak sekaligus),
kemungkinan besar sel-sel tubuh akan memperbaiki dirinya sendiri sehingga tubuh tidak
menampakkan tanda-tanda bekas terkena radiasi. Namun demikian, bisa saja sel-sel tubuh
sebenarnya mengalami kerusakan, dan akibat kerusakan tersebut baru muncul dalam jangka
waktu yang sangat lama (mungkin berpuluh-puluh tahun kemudian), dikenal juga sebagai periode
laten. Efek radiasi yang tidak langsung terlihat ini disebut Efek Stokastik.
Efek stokastik ini tidak dapat dipastikan akan terjadi, namun probabilitas terjadinya akan
semakin besar apabila dosisnya juga bertambah besar dan dosisnya diberikan dalam jangka waktu
seketika. Efek stokastik ini mengacu pada penundaan antara saat pemaparan radiasi dan saat
penampakan efek yang terjadi akibat pemaparan tersebut. Kecuali untuk leukimia yang dapat
berkembang dalam waktu 2 tahun, efek pemaparan radiasi tidak memperlihatkan efek apapun
dalam waktu 20 tahun atau lebih.
Salah satu penyakit yang termasuk dalam kategori ini adalah kanker. Penyebab sebenarnya dari
penyakit kanker tetap tidak diketahui. Selain dapat disebabkan oleh radiasi pengion, kanker dapat
pula disebabkan oleh zat-zat lain, disebut zat karsinogen, misalnya asap rokok, asbes dan
ultraviolet. Dalam kurun waktu sebelum periode laten berakhir, korban dapat meninggal karena
penyebab lain. Karena lamanya periode laten ini, seseorang yang masih hidup bertahun-tahun
setelah menerima paparan radiasi ada kemungkinan menerima tambahan zat-zat karsinogen

dalam kurun waktu tersebut. Oleh karena itu, jika suatu saat timbul kanker, maka kanker tersebut
dapat disebabkan oleh zat-zat karsinogen, bukan hanya disebabkan oleh radiasi.

Faux Pearl

Perhatikan radiograf bitewing pada gambar A, lihat gambaran radiopak membulat pada
gigi M1 bawah. Bandingkan pada radiograf bitewing gambar B yang diambil pada hari
yang sama dan sudah tidak terdapat gambaran radiopak tersebut.

Gambaran radiopak membulat pada bitewing A tersebut mirip seperti enamel pearl,
namun bukan pulp stone, karena pulp stone hanya terdapat di dalam ruang pulpa.
Gambaran ini disebut faux pearl (faux = false). Hal ini disebabkan angulasi dari sinarX yang menyebabkan overlapping bagian atas akar mesial dan distal sehingga
menyebabkan ilusi berupa faux pearl. Perhatikan tulang interradicular dan area furkasi
pada gigi M1 bawah, tampak berbeda dari normal (gambar B).

Sumber:
White S.C, Pharoah M.J. Oral Radiology Principles and Interpretation 5th ed. 2004.
Mosby: Missouri
Whaites E. Essentials of Dental Radiography and Radiology 3rd ed. 2003. Elsevier.
Langlais, R.P. Exercises in Oral Radiology and Interpretation 4th ed. 2004. Saunders:
Missouri.

STANDAR KOMPETENSI RADIOLOGI KEDOKTERAN GIGI MAHASISWA


S1 FKG UI- BPKM

Blok 3 : Radiologi Dasar


Pembuatan radiografi intra oral dan ekstra oral
1. Menjelaskan:
-

Dasar-dasar fisika radiasi

Sumber, jenis, dan kegunaan radiasi

Fisika radiasi

Efek radiasi/biologi radiasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi gambaran radiografis

Sarana radiologi kedokteran gigi

Radiografi intra oral, indikasi, kelebihan, kekurangan, teknik pengambilan


foto (paralel/biseksi, topografi/crosssection, bitewing) dan radiografi ekstra
oral (panoramik, sefalometri lateral, PA)

Film radiografis dan proses pencucian

Kegagalan gambaran radiografis yang sering terjadi dan faktor penyebabnya

2. Menjelaskan proteksi radiasi untuk pasien, operator dan lingkungan


3. Menjelaskan Undang-Undang Keselamatan Nuklir dan tindakan proteksi serta
penanggulangan efek radiasi pada penggunaan radiasi sebagai sarana diagnostik
maupun terapi di bidang kedokteran gigi
4. Mengetahui macam-macam diagnostic imaging dalam dunia kedokteran gigi,
contohnya yaitu MRI (Magnetic Resonance Imaging), USG (ultrasonografi), CT
scans (Computed Tomography), CBCT (Cone Beam Computed Tomography).

Blok 4 : Radiologi Kedokteran Gigi 1


Pendekatan interpretasi radiografi, evaluasi radiografik, anatomi dan anomali gigi serta
rahang
1. Mampu memahami dan menjelaskan urutan erupsi, struktur dan morfologi gigi
secara radiografis sehingga dapat mengidentifikasi perubahan/kelainan/penyakit
yang berkaitan

2. Mampu melakukan pendekatan evaluasi radiografik gigi sulung dan gigi tetap
serta berbagai komponen dalam sistem stomatognatik dan kompleks maksilomandibular
3. Mampu memahami dan menjelaskan struktur anatomi komponen-komponen
stomatognatik
4. Mampu melakukan pembuatan radiograf (roentgen foto) gigi, tulang dan struktur
maksilofasial sesuai tuntutan kompetensi, melakukan interpretasi radiografik
struktur normal dan mengenali perubah

Blok 5 : Radiologi Kedokteran Gigi 2


Interpretasi radiografis kelainan/penyakit jaringan keras gigi dan periodontal
1. Mampu menentukan pemeriksaan radiografik yang tepat berdasarkan prinsip
pemeriksaan radiografik (ALARA, risk vs benefit, dan prinsip seleksi kasus sesuai
justifikasi, pemeriksaan radiografik yang tepat) yang dibutuhkan pada kelainan
jaringan keras gigi dan periodontal
2. Mampu mengidentifikasi karies secara radiografis pada gigi tetap dan sulung
3. Mampu memahami keterbatasan radiografik karies dan faktor-faktor yang
mempengaruhi interpretasi radiografik
4. Mampu menjelaskan hasil pemeriksaan/interpretasi radiografik untuk menetukan
perluasan dan kerusakan gigi
5. Mampu melakukan pemeriksaan radiografik untuk karies dan non karies
6. Mampu menentukan pemeriksaan radiografik untuk menginterpretasi, menganalisis
dan menentukan diagnosis banding kelainan/kerusakan jaringan keras gigi dan
jaringan periodontal

Blok 6 : Radiologi Kedokteran Gigi 3


Interpretasi radiografis penyakit pulpa periapikal dan penjalaran infeksinya termasuk
kedalam Sinus maksilaris, pemeriksaan khusus untuk penentuan akar dan saluran akar.
1. Mampu menentukan indikasi pemeriksaan radiografis yang dibutuhkan dan
menginterpretasi hasil pemeriksaan radiografis untuk diagnosis kelainan/penyakit
pulpa, periapikal, trauma gigi

Blok 7 : Radiologi Kedokteran Gigi 4


Interpretasi Radiografis Penatalaksanaan Kelainan/Penyakit Periodontal dan Evaluasi
Kualitas dan Kuantitas Tulang Rahang
1. Mahasiswa mampu menginterpretasi radiografik penyakit/kelainan jaringan
periodontal di antaranya periodontitis kronis, periodontitis agresif, abses
periodontal, TFO, dan kondisi yang berkaitan dengan penyakit sistemik
Blok 8 : Radiologi Kedokteran Gigi 5
Evaluasi Radiografik Pertumbuhan dan Perkembangan OKF dan Pasca Natal dan Anomali OKF
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan OKF secara normal
pada masa pasca natal secara radiografik
2. Mampu menjelaskan macam-macam kelainan tumbuh kembang serta etiologinya secara
radiografik

Blok 11 : Radiologi Kedokteran Gigi 6


1. Mahasiswa diharapkan mampu melakukan evaluasi radiografis kelainan/penyakit
oromaksilofasial, manifestasi penyakit sistemik di rongga mulut, kista, neoplasma
odontogenik dan non-odontogenik, penyaki/kelainan kelenjar saliva
2. Mahasiswa mampu meginterpretasi radiografik kelainan/penyakit OMF 1 (ekstraksi dan
odontektomi) berkaitan dengan posisi pada tulang rahang, serta keterlibatan struktur
anatomis sinus maksilaris dan kanalis mandibularis.

Blok 12 : Radiologi Kedokteran Gigi 7


1. Mahasiswa diharapkan mampu mengevaluasi gambaran radiografik kelainan OMF 2
(trauma OMF, kelainan TMJ, pemeriksaan khusus trauma dan TMJ)

KOMPETENSI RADIOLOGI DOKTER GIGI STANDAR KOMPETENSI DRG KKI

Vous aimerez peut-être aussi