Vous êtes sur la page 1sur 14

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................5
2.1. Evaluasi Volume Intravaskular.....................................................................5
2.1.1. Riwayat Pasien.......................................................................................5
2.1.2. Pemeriksaan Fisik..................................................................................5
2.1.3. Evaluasi Laboratorium...........................................................................6
2.2. Cairan Intravena............................................................................................7
2.2.1. Larutan Kristaloid..................................................................................8
2.2.2. Larutan Koloid.......................................................................................9
2.2.3. Kebutuhan Pemeliharaan Normal........................................................11
2.3. Terapi Cairan pada Sepsis...........................................................................12
2.3.1. Definisi Sepsis......................................................................................12
2.3.2. Penanganan Sepsis...............................................................................13
2.3.2.1. Penilaian Keadekuatan Perfusi......................................................13
2.3.2.2. Akses Vena....................................................................................13
2.3.2.3. Tatalaksana Cairan........................................................................14
2.3.2.4. Target Terapi Cairan......................................................................14
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................15

BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai konsekuensi dari penyakit yang mendasari dan penanganannya,


pasien berpotensi mengalami gangguan keseimbangan asam-basa, volume
intravaskular dan ekstravaskular, dan serum elektrolit. Manajemen asam-basa
status, cairan, dan elektrolit yang tepat dapat membatasi morbiditas dan
mortalitas.1
Hampir semua pasien memerlukan akses vena dengan tujuan pemberian
cairan intravena dan obat-obatan.2 Tujuan pemberian cairan adalah untuk
menghindari dehidrasi, mempertahankan volume sirkulasi yang efektif, dan
mencegah perfusi jaringan yang tidak memadai selama periode ketika pasien tidak
mampu untuk mencapai tujuan tersebut melalui asupan cairan oral secara normal. 3
Seorang tenaga kesehatan harus mampu menilai volume intravaskular dengan
akurasi yang baik untuk memperbaiki gangguan cairan atau elektrolit yang sudah
ada dan mengganti kehilangan yang selanjutnya dapat terjadi. Kesalahan dalam
penggantian cairan dan elektrolit dapat menyebabkan morbiditas atau kematian.2
Kondisi tertentu dan perubahan yang terjadi selama periode perawatan
dapat menjadi tantangan dalam pengelolaan keseimbangan cairan, termasuk status
volume cairan, penyakit yang ada sebelumnya, dan efek obat anestesi pada fungsi
fisiologis normal. Semua faktor ini harus dipertimbangkan ketika merancang
pendekatan rasional untuk manajemen cairan pada pasien. 4
Pada akhir 1970-an, diperkirakan bahwa 164.000 kasus sepsis terjadi di
Amerika Serikat (AS) setiap tahun. 5 Sejak saat itu, insiden sepsis di Amerika
Serikat dan di tempat lain secara dramatis telah meningkat. Analisis retrospektif
berbasis populasi melaporkan peningkatan insiden sepsis dan syok septik dari 13
menjadi 78 kasus per 100.000 antara tahun 1998 dan 2009.6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Evaluasi Volume Intravaskular


Estimasi volume intravaskular secara klinis harus diupayakan karena
pengukuran volume cairan kompartemen secara obyektif sulit dilakukan
dalam

lingkungan

klinis.

Volume

intravaskular

dapat

diperkirakan

menggunakan riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dan analisis laboratorium


yang sering pula dibantu dengan bantuan teknik pemantauan hemodinamik
yang canggih. Terlepas dari metode yang digunakan, evaluasi secara serial
diperlukan untuk mengkonfirmasi kesan awal dan untuk membimbing dalam
terapi cairan dan elektrolit. Beberapa modalitas harus melengkapi satu sama
lain, karena kepercayaan atas satu parameter saja dapat menyebabkan
kesimpulan yang salah.2

2.1.1. Riwayat Pasien


Riwayat pasien adalah hal yang penting dalam penilaian status volume
praoperasi. Faktor-faktor yang penting termasuk asupan makanan atau
minuman terakhir, muntah terus menerus atau diare, hisap lambung,
kehilangan darah yang signifikan atau drainase luka, cairan intravena dan
administrasi darah, serta riwayat hemodialisis terakhir jika pasien memiliki
gagal ginjal.2

2.1.2. Pemeriksaan Fisik


Indikasi hipovolemik termasuk turgor kulit abnormal, dehidrasi pada
membran mukosa, denyut nadi perifer lemah, peningkatan denyut jantung
istirahat dan penurunan tekanan darah, denyut jantung ortostatik dan
perubahan tekanan darah dari telentang ke duduk atau posisi berdiri dan
penurunan produksi urin (Tabel 1). 2

Tabel 1. Tanda Kehilangan Cairan (hipovolemik)2

2.1.3. Evaluasi Laboratorium


Beberapa pengukuran laboratorium dapat digunakan sebagai acuan volume
intravaskular dan kecukupan perfusi jaringan, termasuk hematokrit serial,
pH darah arteri, urine specific gravity atau osmolalitas urin, natrium atau
konsentrasi klorida urin, natrium serum, dan blood urea nitrogen (BUN)
hingga kreatinin serum. Tanda-tanda dehidrasi pada penunjang termasuk
peningkatan hematokrit dan hemoglobin, asidosis metabolik progresif
(termasuk asidosis laktat), urine specific gravity lebih besar dari 1.010,
natrium urin kurang dari 10 mEq / L, osmolalitas urin lebih besar dari 450
mOsm / L, hipernatremia, dan rasio BUN kreatinin lebih besar dari 10 : 1.
Hemoglobin dan hematokrit biasanya tidak berubah pada pasien dengan
hipovolemia akut akibat kehilangan darah akut karena tidak ada cukup
waktu untuk cairan ekstravaskuler bergeser ke ruang intravaskular. 2

2.2. Cairan Intravena


Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Larutan kristaloid adalah larutan cair ion (garam)
dengan atau tanpa glukosa, sedangkan larutan koloid mengandung zat dengan

berat molekul tinggi seperti protein atau polimer glukosa besar. Larutan
koloid membantu menjaga tekanan onkotik koloid plasma sehingga sebagian
besar berada pada intravaskular, sementara larutan kristaloid dengan cepat
menyeimbangkan dan terdistribusi ke seluruh ruang cairan ekstraseluler.2,7
Terdapat kontroversi mengenai penggunaan koloid dibandingkan cairan
kristaloid untuk pasien bedah. Beberapa generalisasi dapat dibuat: 2,7
1 Kristaloid, jika diberikan dalam jumlah yang cukup, adalah sama efektifnya
dengan koloid dalam memulihkan volume intravaskular.
2 Penggantian defisit volume intravaskular dengan kristaloid biasanya
membutuhkan 3-4 kali volume yang diperlukan apabila menggunakan koloid.
3. Kekurangan cairan intravaskular berat dapat lebih cepat diperbaiki
menggunakan larutan koloid.
4. Penggunaan kristaloid yang cepat dalam jumlah besar (> 4-5 L) lebih
sering terkait dengan edema jaringan.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa jaringan yang edema dapat mengganggu
transpor oksigen, penyembuhan jaringan, dan kembalinya fungsi usus besar
setelah operasi besar.1,2

2.2.1. Larutan Kristaloid


Kristaloid dianggap sebagai cairan resusitasi awal pada pasien dengan
perdarahan dan syok septik, pada pasien luka bakar, pada pasien dengan
cedera kepala (untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral), dan pada
pasien yang menjalani plasmapheresis dan reseksi hati. Berbagai jenis
larutan tersedia (Tabel 2), dan pilihan disesuaikan dengan jenis kehilangan
cairan yang diganti. Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air,
penggantian dilakukan dengan larutan hipotonik, yang disebut juga larutan
tipe maintenance. Jika kehilangan melibatkan air dan elektrolit,
penggantian adalah dengan larutan elektrolit isotonik, yang juga disebut
larutan tipe replacement. 1,2

Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan ringer laktat. Ringer
laktat merupakan larutan yang paling fisiologis ketika volume besar
diperlukan. Normal saline adalah larutan yang dipakai untuk mendilusi
packed red blood cell sebelum transfusi. Lima persen dekstrosa dalam air
(D 5 W) digunakan untuk penggantian kehilangan air dan terapi cairan
pemeliharaan untuk pasien dengan pembatasan natrium. Hipertonik saline
3% digunakan dalam terapi hiponatremi simtomatik berat. Larutan
hipotonik harus diberikan secara perlahan-lahan untuk menghindari
hemolisis. 2,4

Tabel 2. Komposisi larutan kristaloid2

2.2.2. Larutan Koloid


Kegiatan osmotik dari zat dengan berat molekul tinggi dalam koloid
cenderung mempertahankan larutan ini pada intravaskular. Waktu paruh
larutan kristaloid intravaskular adalah 20-30 menit, sementara larutan
koloid memiliki waktu paruh intravaskular antara 3 hingga 6 jam. Namun,
biaya yang relatif lebih besar dan komplikasi yang terkait dengan koloid

menyebabkan penggunaannya terbatas. Indikasi penggunaan koloid


meliputi (1) resusitasi cairan pada pasien dengan kehilangan cairan
intravaskular berat (misal pada syok hemoragik) sebelum kedatangan darah
untuk transfusi, dan (2) resusitasi cairan ketika terdapat hipoalbuminemi
berat atau kondisi terkait dengan kehilangan protein dalam jumlah besar
seperti luka bakar. 2,3
Tersedia beberapa jenis larutan koloid. Semua berasal baik dari protein
plasma atau sintetis polimer glukosa dan tersedia dalam larutan elektrolit
isotonik. 2,4
Koloid yang berasal dari darah meliputi albumin dan fraksi protein plasma.
Keduanya dipanaskan sampai 60 C selama minimal 10 jam untuk
meminimalkan risiko penularan hepatitis dan penyakit virus lainnya. Fraksi
protein plasma berisi - dan -globulin selain albumin dan kadang-kadang
mengakibatkan reaksi hipotensi. Reaksi ini sebenarnya merupakan reaksi
alergi dan melibatkan aktivator dari prekallikrein. 1,2
Koloid sintetik termasuk diantaranya pati dekstrosa dan gelatin. Gelatin
berhubungan dengan reaksi alergi yang dimediasi oleh histamine. Dekstran
tersedia sebagai dekstran 70 (Macrodex) dan dextran 40 (Rheomacrodex),
yang memiliki berat molekul rata-rata masing-masing 70.000 dan 40.000.
Meskipun dextran 70 adalah volume ekspander yang lebih baik daripada
dextran 40, dextran 40 juga mampu meningkatkan aliran darah melalui
mikrosirkulasi dengan cara menurunkan kekentalan darah, dan lebih sering
diberikan untuk mengambil keuntungan dari sifat reologi ini daripada untuk
memenuhi kebutuhan cairan. Efek antiplatelet juga terdapat pada dekstran.
Hetastarch (HES) tersedia dalam beberapa formulasi, yang dibagi
berdasarkan konsentrasi, berat molekul, tingkat pati substitusi (secara
molar), dan rasio hidroksilasi antara posisi C2 dan C6. Hetastarch adalah
sangat efektif sebagai plasma expander dan lebih murah daripada albumin.
Selain itu, hetastarch adalah nonantigenic, dan reaksi anafilaktoid jarang
terjadi. Formulasi baru dengan berat molekul rendah dapat dengan aman
diberikan dalam volume yang lebih besar. 2,4

Tabel 3. Keuntungan dan kerugian cairan intravena kristaloid dibandingkan


dengan koloid1

2.3. Terapi Cairan pada Sepsis


2.3.1. Definisi Sepsis

Gambar 1. Hubungan antara infeksi, sepsis dan SIRS (Systemic


Inflamatory Response Syndrome)2
Infeksi adalah fenomena mikroba yang ditandai dengan respon inflamasi
terhadap keberadaan mikroorganisme atau invasi jaringan steril normal oleh
organisme tersebut. SIRS adalah respon inflamasi sistemik terhadap
berbagai gangguan klinis yang berat. Respon tersebut bermanifestasi dua
atau lebih dari kondisi berikut:1
1. Suhu tubuh <36 C atau> 38 C.
2. Takikardi > 90 denyut / menit.

3. Takipnea > 20 napas / menit ketika bernapas secara spontan


4. Jumlah sel darah putih> 12.000 sel / mm3, <4.000 sel / mm3, atau > 10%
dalam bentuk imatur
Sepsis adalah respon sistemik terhadap infeksi yang bermanifestasi tiga
atau lebih dari kondisi yang dijelaskan di atas (SIRS) dengan bukti klinis
dan mikrobiologis infeksi. Syok septik adalah sepsis dengan hipotensi (TD
sistolik < 90 mmHg atau MAP < 70 mmHg tanpa adanya penyebab
hipotensi lain) yang tetap persisten meskipun telah ditangani dengan cairan
yang cukup. Sepsis berat yaitu hipoperfusi jaringan atau disfungsi organ
yang disebabkan oleh sepsis. 1,8
2.3.2. Penanganan Sepsis
Prioritas utama pada penanganan pasien dengan sepsis yaitu terapi suportif
awal untuk mengkoreksi gangguan fisiologis seperti hipoksemi dan
hipotensi serta membedakan sepsis dengan SIRS karena apabila terdapat
infeksi, maka hal tersebut harus ditangani dengan cepat dan tepat. Hal
tersebut membutuhkan terapi antibiotik.8 Penanganan pertama yaitu
stabilisasi airway dan breathing yang dilanjutkan dengan merestorasi
perfusi jaringan perifer dan administrasi antibiotik. 9 Stabilisasi respirasi
pada pasien sepsis dengan pemberian oksigen yang dimonitor dengan pulse
oxymetri.
2.3.2.1. Penilaian Keadekuatan Perfusi
Setelah respirasi stabil, maka keadekuatan perfusi dinilai. Tanda klinis
gangguan perfusi yaitu:
a) Hipotensi - tekanan darah sistolik (TDS) < 90 mmHg, mean arterial
pressure (MAP) < 70 mmHg, atau penurunan TDS > 40 mmHg. Oleh
karena sphygmomanometer kurang reliable pada pasien hipotensi,
pemasangan arterial catheter dapat dilakukan.10
b) Tanda perfusi organ yang buruk Ketika sepsis mulai mengarah ke
syok maka kulit akan terasa dingin. Tanda hipoperfusi lain yaitu takikardi,
gelisah, dan oliguria atau anuria.
c) Peningkatan kadar laktat lebih dari 1 mmol/L8

2.3.2.2. Akses Vena


Akses vena harus telah terpasang secepatnya pada pasien sepsis. Akses
vena perifer sudah cukup untuk resusitasi awal, tetapi akan lebih baik
apabila menggunakan central venous catheter (CVC) yang dapat
digunakan untuk terapi cairan, obat-obatan, administrasi dan pengambilan
darah untuk pengecekan laboratorium, serta monitoring hemodinamik
dengan

pengukuran

tekanan

vena

sentral

(CVP)

dan

saturasi

oksihemoglobin vena sentral (ScvO2).11


2.3.2.3. Tatalaksana Cairan
Pada pasien sepsis, terjadi hipovolemik intravascular yang memerlukan
terapi cairan cepat. Jumlah volume cairan yang diberikan dalam 6 jam
pertama menyesuaikan terhadap target fisiologis seperti MAP. Terapi
cairan diberikan dengan bolus cepat 30 mL/Kg tiap 30 menit. 8,12 Terapi
cairan diteruskan hingga mencapai target dengan tekanan darah dan
perfusi jaringan sudah baik, terjadi edema paru, atau cairan gagal untuk
memperbaiki perfusi.
Dalam hal pemilihan cairan pada pasien sepsis, berdasarkan penelitian
tidak terdapat perbedaan yang berarti antara albumin dan cairan kristaloid
dalam

hal

penanganan

sepsis.13,14

Penggunaan

pentastarch

atau

hydroxyethyl starch pada pasien sepsis tidak lebih baik dibandingkan


dengan kristaloid pada pasien sepsis.15,16 Hal tersebut dibuktikan oleh
beberapa penelitian berikut:
a) Kristaloid versus albumin
Pada penelitian Saline versus Albumin Fluid Evaluation (SAFE), 6997
pasien kritis dipilih secara acak untuk memperoleh 4 persen albumin atau
normal saline selama 28 hari.13 Tidak terdapat perbedaan angka mortalitas
yang signifikan antara kedua kelompok tersebut. Pada pasien dengan
sepsis berat (18 persen dari total kelompok) tidak terdapat perbedaan
pada hasil. Pada penelitian random lain dengan pasien sepsis berat atau
syok septik, penambahan albumin pada kristaloid tidak meningkatkan
angka survival rate dibandingkan dengan kristaloid saja (31 versus 32
persen).14

10

b) Kristaloid versus hydroxyethyl starch


Pada penelitian Scandinavian Starch for Severe Sepsis and Septic Shock
(6S), 804 pasien dengan sepsis berat dipilih secara acak untuk
memperoleh 6 persen hydroxyethyl starch atau ringer asetat pada volume
hingga 33 mL/kg berat badan ideal per hari. Ketika dinilai setelah 90 hari,
ortalitas meningkat pada kelompok hydroxyethyl starch (51 versus 43
persen) dan pada kelompok hydroxyethyl starch membutuhkan terapi
renal replacement beberapa kali (22 versus 16 persen).15
c) Kristaloid versus pentastarch
Pada penelitian The Efficacy of Volume Substitution and Insulin Therapy
in Severe Sepsis (VISEP) yang membandingkan pentastarch terhadap
ringer laktat pada pasien dengan sepsis berat tidak didapatkan perbedaan
pada mortalitas 28 hari.17 Penelitian tersebut dihentikan karena terdapat
peningkatan trend mortalitas 90 hari pada pasien yang memperoleh
pentastarch.
2.3.2.4. Target Terapi Cairan
Tujuan terapi cairan yaitu restorasi perfusi untuk menghindari atau
membatasi kemungkinan terjadinya disfungsi organ multipel serta
mengurangi mortalitas. Istilah early goal-directed therapy (EGDT) berarti
pemberian terapi cairan intravena yang diberikan pada 6 jam pertama
dengan menggunakan target fisiologis dalam manajemen cairan. Target
EGDT yaitu:
a) MAP 65 mmHg
b) output urin 0,5 mL/kg/jam
c) CVP 8-12 mmHg
d) ScvO2 70 percent
Setelah target resusitasi tercapai dan perfusi telah pulih, terapi cairan
dapat dikurangi atau dihentikan dan dapat dilakukan diuresis pada pasien
apabila dibutuhkan.

11

BAB III
KESIMPULAN
Volume

intravaskular

dapat

diperkirakan

menggunakan

riwayat

pasien,

pemeriksaan fisik, dan analisis laboratorium. Evaluasi secara serial diperlukan


untuk mengkonfirmasi kesan awal dan untuk membimbing dalam terapi cairan
dan elektrolit. Kristaloid, jika diberikan dalam jumlah yang cukup, adalah sama
efektifnya dengan albumin dalam memulihkan volume intravaskular. Penggantian
defisit volume intravaskular dengan kristaloid membutuhkan 3-4 kali volume
yang diperlukan apabila menggunakan koloid. Pada penatalaksanaan sepsis berat
dan syok septik, penggunaan kristaloid lebih direkomendasikan dibandingkan
dengan koloid. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya keuntungan yang jelas dari
koloid termasuk pula mempertimbangkan harganya yang lebih mahal.

12

DAFTAR PUSTAKA

1.

Barash P, Cullen BF, Stoelting RK, Cahalan M, Stock MC, Ortega R. Clinical
Anesthesia. Lippincott Williams & Wilkins; 2013 [cited 2014 Oct 15]. p. 1880.
Available from: http://books.google.com/books?id=YW34Vo6ElbUC&pgis=1

2.

Butterworth J, Mackey DC, Wasnick J. Morgan and Mikhails Clinical


Anesthesiology, 5th edition [Internet]. McGraw-Hill Education; 2013 [cited 2014
Oct 14]. Available from: http://books.google.com/books?
id=Lah3FOY_kgYC&pgis=1

3.

Miller RD, Eriksson LI, Fleisher L, Wiener-Kronish JP, Cohen NH. Millers
Anesthesia: Expert Consult Online and Print [Internet]. Elsevier - Health Sciences
Division; 2014 [cited 2014 Oct 15]. Available from:
http://books.google.com/books?id=WBa1oAEACAAJ&pgis=1

4.

Miller RD, Pardo M. Basics of Anesthesia Sixth edition: [Internet]. 2011.


Available from: http://books.google.co.id/books?id=hYQaAwAAQBAJ

5.

Martin GS, Mannino DM, Eaton S, Moss M. The epidemiology of sepsis in the
United States from 1979 through 2000. N Engl J Med [Internet]. 2003 Apr 17
[cited 2014 Sep 9];348(16):154654. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12700374

6.

Walkey AJ, Wiener RS, Lindenauer PK. Utilization patterns and outcomes
associated with central venous catheter in septic shock: a population-based study.
Crit Care Med [Internet]. 2013 Jun [cited 2014 Nov 20];41(6):14507. Available
from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=3780984&tool=pmcentrez&rendertype=abstract

7.

Longnecker D, Brown DL, Newman MF, Zapol W. Anesthesiology, Second


Edition [Internet]. McGraw Hill Professional; 2012 [cited 2014 Oct 15]. Available
from: http://books.google.com/books?id=vc7IbltC2uoC&pgis=1

8.

Dellinger R, Levy M, Rhodes A. Surviving Sepsis Campaign: international


guidelines for management of severe sepsis and septic shock, 2012. Intensive care
[Internet]. 2013 [cited 2014 Oct 17]; Available from:
http://link.springer.com/article/10.1007/s00134-012-2769-8

9.

Sessler CN, Perry JC, Varney KL. Management of severe sepsis and septic shock.
Curr Opin Crit Care [Internet]. 2004 Oct [cited 2014 Oct 23];10(5):35463.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15385751

10.

Hollenberg SM, Ahrens TS, Annane D, Astiz ME, Chalfin DB, Dasta JF, et al.
Practice parameters for hemodynamic support of sepsis in adult patients: 2004
update. Crit Care Med [Internet]. 2004 Sep [cited 2014 Oct 23];32(9):192848.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15343024

13

11.

Yealy DM, Kellum JA, Huang DT, Barnato AE, Weissfeld LA, Pike F, et al. A
randomized trial of protocol-based care for early septic shock. N Engl J Med
[Internet]. 2014 May 1 [cited 2014 Jul 9];370(18):168393. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24635773

12.

Rivers E, Nguyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, et al. Early


goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl J
Med [Internet]. 2001 Nov 8 [cited 2014 Oct 19];345(19):136877. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11794169

13.

Finfer S, Bellomo R, Boyce N, French J, Myburgh J, Norton R. A comparison of


albumin and saline for fluid resuscitation in the intensive care unit. N Engl J Med
[Internet]. 2004 May 27 [cited 2014 Aug 27];350(22):224756. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15163774

14.

Caironi P, Tognoni G, Masson S, Fumagalli R, Pesenti A, Romero M, et al.


Albumin replacement in patients with severe sepsis or septic shock. N Engl J Med
[Internet]. 2014 Apr 10 [cited 2014 Jul 10];370(15):141221. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24635772

15.

Perner A, Haase N, Guttormsen AB, Tenhunen J, Klemenzson G, neman A, et al.


Hydroxyethyl starch 130/0.42 versus Ringers acetate in severe sepsis. N Engl J
Med [Internet]. 2012 Jul 12 [cited 2014 Jul 10];367(2):12434. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22738085

16.

Rochwerg B, Alhazzani W, Sindi A, Heels-Ansdell D, Thabane L, Fox-Robichaud


A, et al. Fluid Resuscitation in Sepsis. Ann Intern Med [Internet]. 2014 Jul 22
[cited 2014 Jul 22];161(5):34755. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25047428

17.

Brunkhorst FM, Engel C, Bloos F, Meier-Hellmann A, Ragaller M, Weiler N, et al.


Intensive insulin therapy and pentastarch resuscitation in severe sepsis. N Engl J
Med [Internet]. 2008 Jan 10 [cited 2014 Jul 10];358(2):12539. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18184958

14

Vous aimerez peut-être aussi