Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
OLEH :
Gusti Ayu Laras Sinta
(H1A 011 025)
PEMBIMBING :
BAB I
PENDAHULUAN
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang
ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam
darah tepi. Pada leukemia ada gangguan dalam pengaturan sel leukosit. Leukosit dalam darah
berproliferasi secara tidak teratur dan tidak terkendali dan fungsinyapun menjadi tidak normal. Oleh
karena proses tersebut fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu hingga menimbulkan
gejala leukemia yang dikenal dalam klinik.1,2
Leukemia akut biasanya merupakan penyakit yang bersifat agresif, dengan transformasi
ganas yang menyebakan terjadinya akumulasi pregnitor hemopoietik sumsum tulang dini, disebut
sel blas. Leukemia akut dibagi atas leukemia limfoblastik akut (LLA) dan leukemia mieloblastik
akur (LMA).1,3
Leukemia pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari keganasan. Insidens rata-rata 4 4,5 kasus/tahun/100.000 anak di bawah 15 tahun. Di negara berkembang 83% LLA, 17% LMA,
lebih tinggi pada anak kulit putih dibandingkan kulit hitam. Di Asia kejadian leukemia pada anak
lebih tinggi dari pada anak kulit putih. Di Jepang mencapai 4/100.000 anak, dan diperkirakan tiap
tahun terjadi 1000 kasus baru. Sedangkan di Jakarta pada tahun 1994 insidennya mencapai
2.76/100.000 anak usia 1-4 tahun.2
Gambaran klinis dominan leukemia akut ini biasanya adalah kegagalan sumsum tulang yang
disebabkan akumulasi sel blas walaupun juga terjadi infiltrasi jaringan. Apabila tidak diobati,
penyakit ini biasanya cepat bersifat fatal, tetapi, secara paradoks, lebih mudah diobati dibandingkan
leukemia kronik.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Leukemia adalah sekumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya akumulasi leukosit ganas
dalam sumsum tulang dan darah. Sel-sel abnormal ini menyebabkan timbulnya gejala karena: (a)
kegagalan sumsum tulang (yaitu anemia, netropenia, trombositopenia); dan (b) infiltrasi organ
(misalnya hati, limpa, kelenjar getah bening, meningens, otak, kulit, atau testis). Leukemia akut
didefinisikan sebagai adanya lebih dari 30% sel blas dalam sumsum tulang pada saat manifestasi
klinis. Leukemia limfolablastik akut (LLA) disebabkan oleh akumulasi limfoblas dan merupakan
penyakit keganasan masa anak yang paling banyak ditemukan.3
2.2. Epidemiologi
Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan keganasan yang paling sering ditemukan
pada masa anak, meliputi 25-30% dari seluruh keganasan pada anak. LLA lebih sering ditemukan
pada anak laki-laki daripada perempuan, dan paling banyak ditemukan pada usia 3-4 tahun. 1 Rasio
laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA dan mendekati 1 untuk LMA. Puncak kejadian
pada umur 2-5 tahun, spesifik untuk anak kulit putih dengan LLA, hal ini disebabkan banyaknya
kasus pre B-LLA pada rentang usia ini. Kejadian ini tidak tampak pada kulit hitam. Kemungkinan
puncak tersebut merupakan pengaruh faktor-faktor lingkungan di negara industri yang belum
diketahui.2
2.3. Etiologi
Sebab-sebab terjadinya leukemia belum diketahui benar. Sebagai penyebab yang sering
dihubungkan adalah faktor genetik, infeksi virus, radiasi, imunodefisiensi. Abnormalitas kromosom
ditemukan pada hampir semua pasien leukemia. Abnormalitas ini dapat berhubungan dengan
jumlah kromosom, translokasi, atau delesi.1
Penyebab leukemia masih belum diketahui, namun anak-anak dengan cacat genetik (Trisomi
21, sindrom Blooms, anemia Fanconis dan ataksia telangiektasis) mempunyai lebih tinggi untuk
menderita leukemia dan kembar monozigot.2
Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan pasca natal. Moskow
melakukan studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan paternal/maternal terhadap pestisida
dan produk minyak bumi. Terdapat peningkatan risiko leukemia pada keturunannya.2
Faktor Predisposisi
Faktor Etiologi
Leukemia sebenarnya merupakan suatu istilah untuk beberapa jenis penyakit yang berbeda
dengan manifestasi patofisiologis yang berbeda pula. Mulai dari yang berat dengan penekanan
Mutasi somatik sel induk
sumsum tulang yang berat pula
seperti pada leukemia akut sampai kepada penyakit dengan
perjalanan yang lambat dan gejala ringan (indolent) seperti pada leukemia kronik. Pada dasarnya
efek patofisiologi berbagai macam leukemia akut mempunyai kemiripan tetapi sangat berbeda
Proliferasi neoplastik & differentiation arrest
Kelainan yang menjadi ciri khas leukemia diantaranya termasuk asal mula gugus sel,
Akumulasi
sel mudadan
dalam
sumsum tulang
kelainan proliferasi, kelainan
sitogenik
morfologi,
kegagalan diferensiasi, petanda sel, dan
perbedaan biokimiawi terhadap sel normal. Kegagalan hematopoesis normal merupakan akibat
yang besar pada patofisiologi leukemia akut. Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang makin
Infiltrasi
ke Organ
Gagal
Hiperkatabolik
lama makin
banyak akan menimbulkan
dampak
buruk bagi produksi
sel Sumsum
normal, Tulang
dan bagi faal tubuh
Terdapat bukti kuat bahwa leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang berproliferasi secara
klonal sampai mencapai sejumlah populasi sel yang dapat terdeteksi. Walau etiologi leukemia pada
manusia belum diketahui benar, tetapi pada penelitian mengenai proses leukemogenesis pada
binatang percobaan ditemukan bahwa penyebab (agent)nya mempunyai kemampuan melakukan
modifikasi nukleus DNA, dan kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu kondisi (mungkin
suatu kelainan) genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi dan mutasi onkogen seluler.
Pengamatan ini menguatkan anggapan bahwa leukemia dimulai dari suatu mutasi somatik yang
mengakibatkan terbentuknya gugus (clone) abnormal.2
Keterlibatan SSP terjadi pada kurang dari 5% anak dengan LLA pada diagnosis awal. Dapat
bermanifestasi sebagai berikut6:
a. Gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial (misalnya, nyeri kepala pada pagi
hari, muntah, papiledema, paralisis nervus VI bilateral)
b. Gejala dan tanda keterlibatan parenkim (misalnya, tanda neurologis fokal seperti
hemiparesis, paralisis nervus kranial, kejang, keterlibatan serebelum seperti ataksia,
disimetri, hipotonia, hiperefleksi).
c. Sindrom hipotalamik (polifagia dengan peningkatan berat badan berlebih, hirsutisme,
dan gangguan perilaku).
d. Diabetes insipidus (keterlibatan hipofisis posterior)
e. Chloroma pada medula spinalis (sangat jarang pada LLA) dapat bermanifestasi
sebagai nyeri punggung, nyeri kaki, mati rasa, lemah, sindrom Brown-Squard, serta
gangguan sfingter vesica urinaria dan anal.
f. Perdarahan SSP komplikasi yang terjadi lebih sering pada pasien dengan LMA
daripada pasien dengan LLA. Hal ini disebabkan oleh:
Leukostasis dalam pembuluh darah serebral, mengakibatkan leukotrombus, infark,
dan perdarahan
Trombositopenia dan koagulopati, berkontribusi terhadap perdarahan SSP
2. Keterlibatan Traktus Genitourinaria6
a. Keterlibatan testis
Biasanya bermanifestasi sebagai pembesaran testis yang tidak nyeri.
Terjadi pada 10-23% anak laki-laki selama perjalanan penyakit pada pertengahan
waktu 13 bulan dari diagnosis.
Faktor risiko terjadinya keterlibatan testis:
LLA sel-T
Trombositopenia (<30.000/mm3)
d. Keterlibatan ginjal
Terkadang bermanifestasi sebagai hematuria, hipertensi, dan gagal ginjal.
Dievaluasi pada banyak pasien dengan ultrasonografi; paling umum pada LLA selT atau LMA sel-B matur.
3. Keterlibatan Gastrointestinal6
a. Keterlibatan traktus gastrointestinal sering terjadi pada LLA. Manifestasi paling umum
adalah perdarahan.
b. Infiltrat leukemik pada traktus gastrointestinal biasanya asimtomatik hingga stadium
akhir ketika enteropati nekrotik dapat terjadi. Daerah yang paling umum terkena yaitu
sekum, menyebabkan sebuah sindrom yang dikenal sebagai tiflitis.
4. Keterlibatan Tulang dan Sendi6
Nyeri tulang merupakan salah satu gejala awal pada 25% pasien. Dapat terjadi akibat
infiltrasi leukemik secara langsung pada periosteum, infark tulang, atau penyebaran rongga
sumsum oleh sel-sel leukemik. Temua radiologis yang paling sering tampak meliputi:
a. Lesi osteolitik yang melibatkan cavum medular dan korteks.
b. Tanda radiolusen metafisis transversal
c. Meningkatnya densitas garis metafisis transversal (garis tahanan pertumbuhan)
d. Pembentukan tulang baru subperiosteal
5. Keterlibatan Kulit keterlibatan kulit terjadi paling umum pada leukemia neonatal atau
LMA.6
6. Keterlibatan Jantung satu dari dua pertiga pasien telah menunjukkan keterlibatan jantung
pada otopsi, walaupun penyakit jantung simtomatik terjadi pada kurang dari 5% kasus.
Temuan patologis meliputi infiltrat leukemik dan perdarahan miokardium atau
perikardium.6
7. Keterlibatan Paru dapat terjadi akibat infiltrat leukemik atau perdarahan.6
c) Pemeriksaan Penunjang
Gejala klinis dam pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk menegakkan
diagnosis leukemia. Namun untuk memastikannya harus dilakukan pemeriksaan aspirasi
sumsum tulang, dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal, dan
beberapa pemeriksaan penunjang yang lain. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus,
8
Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia, kelainan jumlah hitung jenis
leukosit dan trombositopenia. Bisa didapatkan eosinofilia reaktif. Pada pemeriksaan apus darah
tepi didapatkan sel-sel blas. Pada pemeriksaan aspirasi sumsum tulang bila didapatkan
limfoblas >5% pada apusan sumsum tulang maka kecurigaan terhadap leukemia sangat tinggi,
namun bila didapatkan sel blas >25% baru diagnosis ditegakkan.1
1. Darah lengkap
a. Hemoglobin: anemia normositik normokromik. Hemoglobin rendah mengindikasikan
durasi leukemi yang lebih lama; hemoglobin yang lebih tinggi mengindikasikan
proliferasi leukemia yang lebih cepat.5,6
b. Jumlah leukosit: rendah, normal atau meningkat. Sekitar 25% menunjukkan leukosit
normal atau menurun, sekitar 50% menunjukkan leukosit meningkat 10.000100.000/mm3, dan 25% meningkat di atas 100.000/mm3. 5,6
c. Apusan darah tepi: khas menunjukkan adanya sel blast >5% dari sel berinit dari darah
tepi. Ketika jumlah leukosit > 10.000/mm3, blast biasanya banyak. Eosinofilia
terkadang tampak pada anak-anak dengan LLA; 20% pasien dengan LMA mengalami
peningkatan basofil.5,6
d. Trombositopenia: 92% pasien memiliki jumlah trombosit di bawah normal. Perdarahan
yang serius (GI atau intrakranial) terjadi bila jumlah trombosit kurang dari
25.000/mm3.6
2. Sumsum tulang
Hiperseluler, hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia (sel blast), tampak
monoton oleh sel blast, dengan adanya leukemia gap (terdapat perubahan tiba-tiba dari sel
muda (blast) ke sel matang, tanpa sel antara). Sistem hemopoiesis normal mengalami
depresi. Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum tulang (dalam hitung 500
sel pada apusan sumsum tulang).5
3. Pemeriksaan immunophenotyping
Pemeriksaan ini menjadi sangat penting untuk menentukan klasifikasi imunologik leukemia
akut. Pemeriksaan ini dikerjakan untuk pemeriksaan surface marker guna membedakan
jenis leukemia.5
4. Pemeriksaan sitogenik
Pemeriksaan kromosom merupakan pemeriksaan yang sangat diperlukan dalam diagnosis
leukemia karena kelainan kromosom dapat dihubungkan dengan prognosis.
Di negara berkembang, diagnosis harus dipastikan dengan aspirasi sumsum tulang
(BMA) secara morfologis, immunofenotip dan karakter genetik. Leukemia dapat menjadi kasus
gawat darurat dengan komplikasi infeksi, perdarahan atau disfungsi organ yang terjadi secara
sebagai akibat leukositosis.2
Klasifikasi LLA secara morfologi yang digunakan dalam perawatan klinis yaitu1:
L1 terdiri dari sel-sel limfoblas serupa dengan kromatin homogen, anak inti umumnya
tidak tampak dan sitoplasma sempit.
10
L2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, kromatin lebih kasar
dengan satu atau lebih anak inti.
L3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin bebercak, banyak ditemukan
anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi.
2.6. Penatalaksanaan
Pada anak-anak dengan LLA, kelompok risiko digunakan untuk rencana terapi. Menurut
National Cancer Institue, kelompok risiko untuk LLA terbagi menjadi 2 yaitu7:
1. Standard risk meliputi anak-anak berusia 1 tahun sampai kurang dari 10 tahun yang memiliki
jumlah leukosit kurang dari 50.000/L saat diagnosis.
2. High risk meliputi anak-anak berusia kurang dari 1 tahun atau 10 tahun dan lebih serta
memiliki jumlah leukosit 50.000/L atau lebih saat diagnosis.
Penting untuk mengetahui kelompok risiko untuk merencanakan terapi. Anak dengan
kelompok LLA high risk biasanya mendapatkan terapi yang lebih agresif dibandingkan anak
dengan kelompok LLA standard risk.7
Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif, yaitu antara lain1,2:
1. Penanganan suportif meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan
pengobatan komplikasi antara lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit, pemberian
antibiotika, pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur, pemberian nutrisi
yang baik, dan pendekatan aspek psikososial.1,2
2. Terapi kuratif atau spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemianya berupa kemoterapi
yang meliputi induksi remisi, intensifikasi, proliferasi susunan saraf pusat (SSP) dan rumatan.
Klasifikasi risiko normal atau risiko tinggi, menentukan protokol kemoterapi. Saat ini di
Indonesia sudah ada 2 protokol pengobatan yang lazim digunakan untuk pasien LLA yaitu
protokol Nasional (Jakarta) dan protokol WK-ALL 2000.1,2
Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda (deksametason,
vinkristin, L-asparaginase dan atau antrasiklin). Kemungkinan hasil yang dapat dicapai remisi
komplit, remisi parsial, atau gagal. Intensifikasi merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah
remisi komplit dan untuk profilaksi leukemia pada susunan saraf pusat. Hasil yang diharapkan
adalah tercapainya perpanjangan remisi dan meningkatkan kesembuhan. Pada pasien risiko sedang
dan tinggi, induksi diintensifkan guna memperbaiki kualitas remisi. Lebih dari 95% pasien akan
mendapatkan remisi pada fase ini. Terapi SSP yaitu secara langsung diberikan melalui injeksi
intratekal dengan obat metotreksat, sering dikombinasi dengan infus berulang metotreksat dosis
11
sedang (500 mg/m2) atau dosis tinggi pusat pengobatan (3-5 gr/m2). Di beberapa pasien risiko
tinggi dengan umur > 5 tahun mungkin lebih efektif dengan memberikan radiasi cranial (18-24 Gy)
di samping pemakaian kemoterapi sistemik dosis tinggi.2
Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat merkaptopurin tiap hari dan metrotreksat
sekali seminggu, secara oral dengan sitostatika lain selama perawatan tahun pertama. Lamanya
terapi rumatan ini pada kebanyakan studi adalah 2-21/2 tahun dan tidak ada keuntungan jika
perawatan sampai dengan 3 tahun. Dosis sitostatika secara individual dipantau dengan melihat
leukosit dan atau monitor konsentrasi obat selama terapi rumatan.2
Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala klinis
leukemia. Pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel blas <5% dan sel berinti, hemoglobin
>12 g/dL tanpa transfusi, jumlah leukosit >3000/L dengan hitung jenis normal, jumlah granulosit
>2000/L, jumlah tromboit >100.000/L, dan pemeriksaan cairan serebrospinal normal.1,2
Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada 98% pasien, 2-3% anak akan
meninggal dalam CCR (Continuous Complete Remission), dan 25-30% akan kambuh. Sebab utama
kegagalan terapi adalah kambuhnya penyakit. Relaps sumsum tulang yang terjadi (dalam 18 bulan
sesudah diagnosis) memperburuk prognosis (10-20% long-term survival) sementara relap yang
terjadi kemudian setelah penghentian terapi mempunyai prognosis lebih baik, khususnya relap testis
dimana long-term survival 50-60%. Terapi relaps harus lebih agresif untuk mengatasi resistensi
obat.1,2
Transplantasi sumsum tulang mungkin memberikan kesempatan untuk sembuh, khususnya
bagi anak-anak dengan leukemia sel-T yang setelah relaps mempunyai prognosis yang buruk
dengan terapi sitostatika konvensional.2
2.7. Prognosis
Faktor prognostik LLA sebagai berikut1,2:
1. Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat diagnosis ditegakkan, mungkin merupakan faktor
prognosis yang bermakna tinggi. Ditemukan adanya hubungan linier antara jumlah leukosit
awal dan perjalanan pasien LLA pada anak, yaitu bahwa pasien dengan jumlah leukosit
>50.000 L mempunyai prognosis yang buruk. 1,2
2. Umur pasien saat diagnosis awal. Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien saat
diagnosis dan hasil pengobatan. Pasien dengan umur di bawah 18 bulan atau di atas 10 tahun
mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien berumur di antara itu. Khusus
pasien di bawah umur 1 tahun atau bayi terutama di bawah 6 bulan mempunyai prognosis
12
paling buruk. Hal ini dikatakan karena mereka mempunyai kelainan biomolekuler tertentu.
Leukemia bayi berhubungan dengan gene re-arrangement pada kromosom 11q23 seperti t
(4;11) atau t (11;19) dan jumlah leukosit yang tinggi. 1,2
3. Fenotip imunologis dan limfoblas saat diagnosis. Leukemia sel-B (L3 pada klasifikasi FAB)
dengan antibodi kappa dan lambda pada permukaan blas diketahui mempunyai prognosis
yang buruk. Dengan adanya protokol spesifik untuk sel-B, prognosisnya semakin membaik.
Sel-T leukemia juga mempunyai prognosis yang jelek, dan diperlakukan sebagai risiko tinggi.
Dengan terapi intensif, sel-T leukemia murni tanpa faktor prognostik buruk yang lain,
mempunyai prognosis yang sama dengan leukemmia sel pre-B. LLA sel-T diatasi dengan
protokol risiko tinggi. 1,2
4. Jenis kelamin. Nilai prognostik jenis kelamin telah banyak dibahas. Dari berbagai penelitian,
sebagian besar menyimpulkan bahwa anak perempuan mempunyai prognosis yang lebih baik
dari anak laki-laki. Hal ini dikatakan karena timbulnya relaps testis dan kejadian leukemia sel-T
yang tinggi, hiperleukositosis dan organomegali serta massa mediastinum pada anak laki-laki.
Penyebab pastinya belum diketahui, tetapi diketahui pula ada perbedaan metabolisme
merkaptopurin dan metotreksat. 1,2
5. Respon terhadap terapi. Respon terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel blas di darah
tepi sesudah 1 minggu terapi prednisone dimulai. Adanya sisa blas pada sumsum tulang pada
induksi hari ke 7 atau 14 menunjukkan prognosis buruk. 1,2
6. Kelainan jumlah kromosom. LLA hiperploid (>50 kromosom) yang biasa ditemukan pada
25% kasus mempunyai prognosis yang baik. LLA hiperploid (3-5%) memiliki prognosis
intermediate seperti t (1;19). Translokasi t (9;22) pada 5% anak atau t (4;11) pada bayi
berhubungan dengan prognosis buruk. 1,2
13
BAB III
LAPORAN KASUS
Tanggal Masuk RSUP NTB
Diagnosis Masuk
: 14 Juli 2016
: Observasi Febris e.c. suspek sepsis + anemia hipokromik
mikrositik
:
Diagnosis Keluar
Lama Perawatan
: 7 hari
: 58 06 84
IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama Lengkap
Jenis Kelamin
Umur
Agama
Alamat
Status dalam keluarga
: An. F. A. A
: Laki-laki
: 4 bulan
: Islam
: Mamben Lalik, Wanasaba, Lombok Timur
: Anak Kandung
Identitas Keluarga
Identitas
Ibu
Ayah
Nama
Ny.
Tn.
Umur
38 tahun
43 tahun
Pendidikan
SMP
SMP
Pekerjaan
IRT
Swasta
14
Setelah pulang dari RS Kota Mataram, pasien mengeluh nyeri pada perut kanan atas hingga ulu
hati, sehingga oleh ibu pasien dibawa ke Spesialis Penyakit Dalam dan dikatakan pasien
mengalami pembengkakan limpa dan hati.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan :
Pasien merupakan anak ketiga dari kehamilan yang ketiga, dimana sebelumnya ibu pasien tidak
pernah mengalami keguguran. Selama hamil, ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya di
Puskesmas (> 4 kali selama kehamilan). Ibu pasien mengaku selama hamil dirinya tidak pernah
mengalami mual muntah yang berlebihan pada bulan-bulan pertama kehamilan. Ibu pasien juga
tidak pernah menderita sakit berat, seperti tekanan darah tinggi, kejang, perdarahan, demam
yang lama, ataupun trauma.
Pasien lahir di Puskesmas melalui persalinan normal dan ditolong oleh bidan. Pasien lahir pada
usia kehamilan cukup bulan dengan berat badan lahir 3200 gram, panjang badan 48 cm dan
langsung menangis. Riwayat kejang, biru, atau kuning setelah lahir disangkal.
Riwayat Nutrisi :
Sebelum sakit, pasien biasanya makan 3 kali sehari. Setiap makan pasien bisa menghabiskan 1
piring nasi penuh ditambah lauk dan sayur. Setiap hari makanan yang diberikan bervariasi. Saat
ini, nafsu makan pasien berkurang. Pasien hanya makan bubur selama sakit.
Riwayat Sosial, Lingkungan dan Ekonomi :
Pasien merupakan anak ketiga. Pasien tinggal bersama ibu, ayah, kakak dan adiknya. Pasien
tinggal di lingkungan yang cukup ramai penduduknya. Sumber air di rumah berasal dari PDAM.
Riwayat Imunisasi (Vaksinasi) :
Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya mendapatkan imunisasi yang lengkap saat masih bayi
tetapi tidak ingat secara pasti umur pasien setiap kali diberi imunisasi.
Riwayat Perkembangan dan Kepandaian
Menurut ibu pasien, perkembangan anaknya hingga saat ini sesuai dengan anak usia sebayanya.
Pasien termasuk anak yang aktif dan saat ini pasien telah menginjak kelas IV SD dan bisa
mengikuti pelajaran di sekolah.
Ikhtisar Keluarga
Pasien
16
: 20 kg
: 125 cm
= 71,42%
= 93,98%
= 83,33%
= malnutrisi sedang
= normal
= malnutrisi ringan
17
Grafik CDC
TB/U
BB/U
BB/TB
BB : 20 kg
TB : 125 cm
BB/U
TB/U
BB/TB
= di bawah persentil 5
= antara persentil 5 dan persentil 10
= di persentil 5
= malnutrisi berat
= malnutrisi sedang
= malnutrisi berat
Kepala/Leher
Bentuk
: normocephali, LK: 50 cm
Mata
: anemis (+/+), ikterik (-/-), RP (+/+) isokor, mata cowong (-/-)
Mulut
: pucat (+), sianosis sentral (-), gusi edema & hipermeis (+), perdarahan (-)
THT
Leher
Thoraks
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Cor
Auskultasi
Abdomen :
Inspeksi
: distensi (+), jejas (-), scar/luka bekas operasi (-)
Auskultasi
: bising usus (+) normal
Perkusi
: timpani, tes undulasi (-)
Palpasi : nyeri tekan (+) di kuadran kanan atas dan epigastrium, hepar teraba 1/3-1/3,
padat, permukaan licin, tepi tajam, lien teraba di scuffner II, ginjal tidak teraba.
Ekstremitas
Akral
hangat
Edema
Tungkai Atas
K
a
n
a
n
+
-
Pucat
Kelain
an
Ki
Tungkai
Bawah
K
a
n
Ki
a
n
+
19
bentuk
Pembe
ngkak
an
Sendi
Pembe
saran
KGB
Aksile
r
Axilla
Inguin
al
Kulit
: pucat (+), ikterus (-), pustula (-), peteki (-), flushing (-)
Urogenital : flank mass (-), nyeri tekan (-), genital tidak dilakukan pemeriksaan
Vertebrae : tidak tampak kelainan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap (06 Oktober 2013)
Param
Nilai Normal
eter
HB
RBC
HCT
MCV
MCH
MCH
3,2
1,12
9,7
86,6
28,6
33,0
13,0-18,0 g/dL
4,5-5,5 x 10^6/uL
40,0-50,0 %
82,0-92,0 fl
27,0-31,0 pg
32,0-37,0 g/dL
C
WBC
PLT
32,97
67
4,0-11,0 x10^3/uL
150-400 x 10^3/uL
Paramete
Nilai Normal
GDS
Bilirubin
112
0,54
Total
Bilirubin
0,14
18
11
< 40 mg/dL
< 41 mg/dL
Direct
SGOT
SGPT
: (-) / negatif
: (-) / negatif
: 0,6 (Nilai normal: 0,2-2,0)
: Normositik normokromik, NRBC.
: Jumlah meningkat, blast > 50% (kemungkinan
RESUME
Pasien anak laki-laki, usia 9 tahun, datang dengan keluhan nyeri perut kanan
atas sejak 1 minggu sebelum MRS. Nyeri dirasakan hingga ke ulu hati, seperti tertindih
benda berat dan hilang timbul. Pasien tampak lemas dan pucat sejak 1 bulan sebelum
MRS. Nafsu makan pasien menurun sejak sakit, namun tidak disertai mual maupun muntah.
Berat badan pasien menurun. Pasien mengeluhkan gusi bengkak dan nyeri sejak 2 bulan
sebelum MRS, namun tidak berdarah. Pasien juga mengeluhkan demam, naik turun, demam
tidak terlalu tinggi dan tidak disertai menggigil. Riwayat pengobatan di Puskesmas dan RS
Kota Mataram, telah ditransfusi darah merah sebanyak 2 kantong dan darah putih sebanyak
6 kali.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, vital sign
didapatkan frekuensi nadi 110 x/menit, fekuensi napas 24 x/menit dan suhu 38 oC,
konjungtiva anemis, tampak gusi edema, abdomen distensi (+), nyeri tekan (+) di kuadran
kanan atas dan epigastrium, hepar teraba 1/3-1/3, padat, permukaan licin, tepi tajam, lien
teraba di scuffner II. Dari pemeriksaan darah lengkap didapatkan adanya anemia
normokromik normositik, leukositosis dan trombositopenia. Retikulosit masih dalam batas
normal. Dari hasil MDT didapatkan gambaran keganasan hematologi akut suspect ALL dd
AML. Dari USG Abdomen didapatkan hepatosplenomegali serta limfadenopati parailiaca
communicans dextra (multipel).
21
RENCANA DIAGNOSIS
Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang
Parenteral = 900 ml
Transfusi = 100 ml
Peroral
= 500 ml
Kebutuhan Transfusi
Pada pasien ini, kadar Hb 3,2 mengindikasikan untuk pemberian transfusi darah.
Transfusi yang diberikan adalah berupa PRC untuk mencegah hipervolemia. Pemberian PRC
untuk pasien ini adalah sebagai berikut :
= (10-3,2) x 20 x 4
= 544 cc 560 cc
Cara pemberian :
PRC I
= 3,2 x 20 = 64 cc 60 cc
PRC II
= 4,2 x 20 = 84 cc 100 cc
PRC III
PRC IV
PRC V
Dosis cefotaxim adalah 50 - 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4-6 dosis, dosis total
sebaiknya tidak melebihi dosis dewasa yaitu 1-2 gram setiap 6-12 jam. Pada pasien ini
diberikan 3 x 750 mg.
Paracetamol Syrup cth II (kp)
22
Dosis paracetamol adalah 10 15 mg/kgBB tiap 6 jam, pada pasien ini diberikan
jika perlu dengan dosis 200 300 mg. Dapat diberikan 2 sendok makan setiap kali minum.
Konsultasi Gizi untuk Diet TKTP
Rujuk ke Rumah Sakit dengan fasilitas yang lebih lengkap untuk pemeriksaan aspirasi dan
biopsi sumsum tulang untuk penanganan selanjutnya yaitu kemoterapi.
EDUKASI
Subjective
Objective
Assessm
gal/Ja
m
07/10/
2013
07.00
KU : sedang
Kesadaran : somnolen
Nadi : 100 x/menit
RR
: 24 x/menit
Suhu : 37,6 oC
Observas
Febris de
anemia b
HGB :
HCT :
RBC :
MCV :
MCH :
MCHC:
WBC :
PLT :
3,1 g/dl
9,6 %
1,11 x 106/L
86,5 fl
27,9 pg
32,3 g/dl
34,75 x 103/L
30 x 103/L
23
08/10/
2013
07.00
(-),
muntah
(-),
KU : sedang
Kesadaran : compos mentis
Nadi : 124 x/menit
RR
: 22 x/menit
Suhu : 37,7 oC
Suspek
+ Maln
berat
keganasan
2013
07.00
KU : sedang
Kesadaran : compos mentis
Nadi : 104 x/menit
RR
: 24 x/menit
Suhu : 36,7oC
Suspek
+ Maln
berat
10/10/
2013
07.00
HGB :
HCT :
RBC :
MCV :
MCH :
MCHC:
WBC :
PLT :
8,9 g/dl
25,6 %
3,08 x 106/L
83,1 fl
28,9 pg
34,8 g/dl
42,57 x 103/L
91 x 103/L
KU : sedang
Kesadaran : compos mentis
Nadi : 104 x/menit
RR
: 22 x/menit
Suhu : 36,5oC
Suspek
+
maln
berat
HCT :
RBC :
MCV :
MCH :
MCHC:
WBC :
PLT
11/10/
2013
07.00
(-),
muntah
(-),
25,4 %
2,97 x 106/L
85,5 fl
29,6 pg
34,6 g/dl
39,01 x 103/L
: 32 x 103/L
KU : sedang
Kesadaran : compos mentis
Nadi : 110 x/menit
RR
: 20 x/menit
Suhu : 37,5oC
Suspek L
+ malnutr
berat
HGB :
HCT :
RBC :
MCV :
MCH :
MCHC:
WBC :
PLT
11,3 g/dl
32,5 %
3,23 x 106/L
84,3 fl
29,5 pg
34,8 g/dl
18,92 x 103/L
: 34 x 103/L
12/10/
2013
11.00
25
BAB IV
PEMBAHASAN
ditemukan pada masa anak, meliputi 25-30% dari seluruh keganasan pada anak di bawah
umur 15 tahun. LLA lebih sering ditemukan pada anak laki-laki daripada perempuan, dan
paling banyak ditemukan pada usia 3-4 tahun, tetapi kadang terjadi pada usia remaja dan
dewasa.1 Pada kasus ini, pasien merupakan anak laki-laki berusia 9 tahun, sehingga menurut
epidemiologi, pasien terdapat kemungkinan mengalami LLA.
Pada kasus ini, pasien mengeluhkan nyeri perut kanan hingga ke ulu hati dan
gusi bengkak, serta dalam pemeriksaan fisik ditemukan gusi edema dan hiperemis, serta
hepatosplenomegali. Temuan ini juga didukung dari pemeriksaan USG abdomen didapatkan
hepatosplenomegali serta limfadenopati parailiaca communicans dextra (multipel). Keadaankeadaan ini menunjukkan adanya infiltrasi sel leukemik ke organ. Hepatosplenomegali dan
limfadenopati merupakan manifestasi klinis yang berasal dari invasi sistem limfoid6.
Sedangkan, gusi bengkak juga merupakan salah satu manifestasi dari infiltrasi sel leukemik.
Selain itu, pasien pada kasus ini tampak lemas dan pucat serta dalam
pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis dan didukung oleh hasil darah lengkap
yaitu kadar hemoglobin yang menurun. Keadaan ini merupakan gejala anemia yang
diakibatkan adanya kegagalan sumsum tulang. Adanya kegagalan sumsum tulang juga
terlihat pada hasil darah lengkap lain yaitu trombositopenia serta pasien yang mengalami
demam berulang, kemungkinan terjadi karena neutropenia, namun pada kasus ini hasil
jumlah neutrofil tidak ada. Penurunan nafsu makan serta berat badan menurun merupakan
akibat dari hiperkatabolik yang disebabkan oleh akumulasi sel muda dalam sumsum tulang.
Temuan lain yang mendukung antara lain dari hasil MDT didapatkan
gambaran keganasan hematologi akut suspek LLA dengan diagnosis banding LMA. Hasil
hapusan darah tepi ditemukan blast > 50% (kemungkinan limfoblast) semakin mendukung
diagnosis LLA. Namun demikian, untuk menegakkan diagnosis LLA harus dilakukan
pemeriksaan sumsum tulang. Dari pemeriksaan sumsum tulang bisa didapatkan hiperseluler,
hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia (sel blast), tampak monoton oleh sel
blast, dengan adanya leukemia gap (terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel
matang, tanpa sel antara). Sistem hemopoiesis normal mengalami depresi. Jumlah blast
minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum tulang (dalam hitung 500 sel pada apusan
sumsum tulang).5
3. Standard risk meliputi anak-anak berusia 1 tahun sampai kurang dari 10 tahun yang
memiliki jumlah leukosit kurang dari 50.000/L saat diagnosis.
4. High risk meliputi anak-anak berusia kurang dari 1 tahun atau 10 tahun dan lebih serta
memiliki jumlah leukosit 50.000/L atau lebih saat diagnosis.
Pada kasus ini, pasien merupakan anak berusia 9 tahun dengan jumlah leukosit
32,97 x10^3/uL yaitu kurang dari 50.000/L, sehingga pasien masuk dalam kelompok
standard risk.
Terapi sementara yang dapat diberikan pada pasien ini adalah pengobatan
simptomatis dan suportif berupa terapi cairan, antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder,
transfusi, serta obat antipireutik bila pasien demam. Jika diagnosis ALL telah ditegakkan
dengan aspirasi dan biopsi sumsum tulang, maka dapat segera dilakukan kemoterapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Staf SMF Anak FK Unud. Pedoman Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah Denpasar; 2011.
2. Permono, B, dkk. Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak. Cetakan Kedua. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2006.
3. Hoffbrand, A.V. Pettit, J.E. & Moss, P.A.H. Kapita Selekta Hematologi. Edisi
keempat. Cetakan Pertama. Jakarta: EGC; 2005.
4. Behrman R, Kliegman R, Arvin A, Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta: EGC;
2000.
5. Bakta, I.M. Hematologi Klinis Ringkas. Jakarta: EGC; 2006.
6. Lanzkowsky, P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. 4th edition. USA:
Elsevier Academic Press; 2005.
7. Anonim. Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia Treatment. National Cancer
Institute
at
the
National
Institutes
of
Health;
2013.
Available
http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/childALL/Patient/page8
(Accessed October 15, 2013).
from: