Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ASMA
2.1.1. Definisi Asma
Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran
pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi
kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif,
sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan
hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di
saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama
malam hari atau dini hari/subuh. Gejala ini berhubungan dengan luasnya
ICU
3
6
10
3
5
CFR
2.32%
2.17%
0
2.90%
Predisposisi genetik
Atopi
Hiperesponsif saluran pernapasan
Jenis kelamin
Ras/Etnik
Faktor Lingkungan
Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi
asma
Alergen dalam ruangan
Mite domestic
Alergen binatang
Alergen kecoa
Jamur (fungi mold, yeasts)
Obesitas
Faktor lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma
menetap
Alergen di dalam dan diluar ruangan
Polusi di dalam dan di luar ruangan
Infeksi pernapasan
Aktivitas fisik (exercise) dan hiperventilasi
Perubahan cuaca
Sulfur dioksida
Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray)
sel goblet, dan kelenjar bronkus serta hipersekresi kelenjar mukus yang
menyebabkan penyempitan saluran pernapasan (GINA, 2008).
Pada serangan asma terjadi penyempitan sampai obstruksi saluran
pernapasan sebagai manifestasi kombinasi spasme/kontraksi otot polos
bronkus, edema mukosa, sumbatan mukus, akibat inflamasi pada saluran
pernapasan. Sumbatan saluran pernapasan menyebabkan peningkatan
tahanan jalan nafas, terperangkapnya udara, dan distensi paru yang
berlebih (hiperinflasi). Perubahan yang tidak merata di seluruh jaringan
bronkus, menyebabkan tidak sesuainya ventilasi dengan perfusi.
Hiperventilasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga
terjadi peningkatan kerja/aktivitas pernapasan. Peningkatan tekanan intra
pulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran pernapasan
yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan
penutupan dini saluran pernapasan, sehingga meningkatkan risiko
terjadinya pnemotoraks (Suharto, 2005).
Pada obstruksi saluran pernapasan yang berat, akan terjadi
kelelahan otot pernapasan dan hipoventilasi alveolar yang mengakibatkan
terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Selain itu, dapat pula
terjadi asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan, produksi laktat oleh otot
pernapasan dan masukan kalori yang berkurang. Hipoksia dan anoksia
dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal dan dapat merusak sel
alveoli, sehingga produksi surfaktan berkurang dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya atelektasis (Suharto, 2005).
Asma Kardial
Bronkitis akut ataupun menahun
Bronkiektasis
Keganasan
Infeksi paru
Penyakit granuloma
Farmer s lung disease
Alergi bahan inhalan industri
Hernia diafragmatika atau esophagus
Tumor atau pembesaran kelenjar mediastinum
Sembab laring
Tumor trakeo-bronkial
Tumor atau kista laring
n. Aneurisma aorta
o. Kecemasan
2.1.7. Penatalaksanaan Asma (Mangunegoro, 2004)
Program penatalaksanan asma meliputi 7 komponen:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Edukasi
Menilai dan memonitor keparahan asma secara berkala
Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
Menetapkan pengobatan pada serangan akut
Kontrol secara teratur
Pola hidup sehat
Corticosteroid inhalasi
Corticosteroid sistemik
Sodium chromoglicate
Nedochromil sodium
Methylxanthine
Agonis 2 kerja lama (LABA) inhalasi
Leukotriene modifiers
Antihistamin (antagonis H1) generasi kedua
b. Pemberian Obat-obatan
Obat asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi
(diberikan langsung ke saluran pernapasan), oral dan parenteral
(subkutan, intramuskular, intravena).
Kelebihan pemberian langsung ke saluran pernapasan (inhalasi)
adalah:
1) Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di saluran
pernapasan.
2) Efek sistemik minimal atau dapat dihindarkan.
3) Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak
efektif pada pemberian oral (anticholinergic dan chromolyne). Waktu
mula kerja (onset of action) bronkodilator yang diberikan melalui
inhalasi adalah lebih cepat dibandingkan bila diberikan secara oral.
Pemberian obat secara inhalasi dapat melalui berbagai cara,
yaitu:
1) Inhalasi Dosis Terukur (IDT)/Metered Dose Inhaler (MDI)
2) IDT dengan alat bantu (spacer)
3)
4)
5)
6)
Breath-actuated MDI
Dry powder inhaler (DPI)
Turbuhaler
Nebulizer
Dewasa
Dosis rendah
Dosis medium
Dosis tinggi
Obat
Beclomethasone
200-500 ug
500-1000 ug
>1000 ug
Dipropionat
22-400 ug
400-800 ug
>800 ug
Budesonide
500-1000 ug
1000-2000 ug
>2000 ug
Flinisolide
100-250 ug
250-500 ug
>500 ug
Fluticasone
400-1000 ug
1000-2000 ug
>2000 ug
Anak
Dosis rendah
Dosis medium
Dosis tinggi
Beclomethasone
100-400 ug
400-800 ug
>800 ug
Dipropionate
100-200 ug
200-400 ug
>400 ug
Budesonide
500-750 ug
1000-1250 ug
>1250 ug
Flinisolide
100-200 ug
200-500 ug
>500 ug
Fluticasone
800-1200 ug
800-1200 ug
> 1200 ug
b. Corticosteroid Sistemik
Obat corticosteroid sistemik diberikan pada serangan asma akut
bila pemberian secara inhalasi belum dapat mengontrol serangan asma
akut yang terjadi. Pemberian steroid oral selama 5 7 hari biasa digunakan
sebagai terapi permulaan pengobatan jangka panjang maupun sebagai
terapi awal pada asma yang tidak terkontrol, atau ketika terjadi perburukan
penyakit. Meskipun tidak dianjurkan, steroid oral jangka panjang terpaksa
diberikan apabila pasien asma persiten sedang-berat tidak mampu
membeli steroid inhalasi. Namun, pemberiannya memerlukan monitoring
ketat terhadap gejala klinis yang ada dan kemungkinan kejadian efek
samping obat yang akan lebih mudah muncul pada pemberian obat
secara sistemik. Dengan demikian, pemberian corticosteroid oral jangka
panjang dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal di bawah ini, untuk
mengurangi kemungkinan efek samping obat yang terjadi:
c. Methylxanthine
Theophylline adalah obat pelega/bronkodilator turunan xanthine
dan merupakan bronkodilator yang paling lemah dibandingkan dua
golongan bronkodilator lain yaitu agonis 2 dan anticholinergic. Sampai
saat ini, theophylline tidak mempunyai bentuk sediaan inhalasi, jadi
pemberian theophylline dilakukan secara oral atau pemberian sistemik
(parenteral) lainnya, sehingga sering menimbulkan efek samping obat.
Theophylline mempunyai efek menguatkan otot diafragma dan juga
mempunyai efek anti inflamasi, sehingga berperan juga sebagai obat
pengontrol asma. Obat ini dapat diberikan bersama-sama obat anti
inflamasi seperti corticosteroid, pada pasien asma persisten berat dan
sedang, bila steroid inhalasi pemberian belum memberikan hasil yang
optimal. Pada pasien asma dengan gejala asma pada malam hari,
pemberiannya pada sore hari dapat menghilangkan gejala yang timbul
pada malam hari.
Theophylline atau aminophylline lepas lambat dapat juga digunakan
sebagai obat pengontrol, meskipun potensinya tidak dapat menyamai
Tabel 2.4. Onset (mula kerja) dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis
2
Singkat
Lama
Cepat
Fenoterol
Formoterol
Prokaterol
Salbutamol/albuterol
Terbutalin
Pirbuterol
Lambat
Salmaterol
b. Methylxanthine
Merupakan bronkodilator yang efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis 2 kerja singkat. Aminophylline lepas lambat dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi gejala, karena durasi kerjanya yang
lebih lama daripada agonis 2 kerja singkat. Manfaat aminophylline
adalah untuk respiratory drive dan memperkuat otot-otot pernapasan dan
mempertahankan respon terhadap agonis 2 kerja singkat. Timbulnya
efek samping obat dapat dicegah dengan memberikan dosis yang sesuai
dan melaksanakan pemantauan.
c. Anticholinergic
Anticholinergic inhalasi (ipratropium bromide) menghambat
perangsangan nervus vagus di post ganglion. Obat ini bekerja dengan
cara menurunkan tonus nervus vagus intrinsik saluran pernapasan. Selain
d. Adrenaline
Dapat digunakan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat,
bila tidak tersedia agonis 2, atau tidak respons dengan agonis 2 kerja
singkat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada
penderita usia lanjut atau dengan gangguan vaskuler. Pemberian
intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan
pengawasan sangat ketat (bedside monitoring).
Masing-masing skala dinilai 0-100, dan skor yang lebih tinggi menandakan
kualitas hidup yang lebih baik.
1) Tahu
Tahu diartikan mengingat suatu materi yang diketahui sebelumnya.
Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari
atau rangsangan, antara lain dapat menyebutkan, mendefinisikan dan
mengatakan.
2). Sikap
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Sikap yang secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari adalah
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.
Manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi dapat ditafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Alport (1954) dalam Notoadtmodjo (2007) menjelaskan bahwa
sikap itu mempunyai 3 komponen pokok:
Sikap terdiri dari empat tingkatan (Notoatmodjo, 2007; Maulana,
2009), yaitu:
Predisposing factors
Behaviour
Enabling factors
Reinforcing factors
Concordance
Adherence
Compliance
yang diberikan.
c. Kepercayaan Pasien
Pasien pergi berobat sering karena kepercayaan tentang
penyakitnya. Penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan tentang
penyakit, manfaat dan hambatannya, berpengaruh terhadap adherensi
pengobatan pasien asma. Derajat penyakit berpengaruh terhadap
adherensi pengobatan pasien. Penyakit akut/kronis atau penyakit yang
menimbulkan rasa sakit dan mengancam jiwa pasiennya, memerlukan
tingkat adherensi yang lebih tinggi, dibandingkan penyakit yang tidak
berat. Penyakit asma adalah penyakit kronis, yang dalam kondisi ringan
memberikan gejala klinis yang bersifat reversibel, sehingga pasien asma
kadangkala menganggap penyakitnya tidak menimbulkan masalah yang
berat pada dirinya.
Kepercayaan individu terhadap upaya pengobatan dan pelayanan
kesehatan dapat merujuk pada konsep yang dikemukakan oleh
Rosenstock dalam Sarwono (2004), yaitu tentang model kepercayaan
kesehatan (Health Belief Model). Model kepercayaan kesehatan ini
mencakup lima unsur utama, sebagai berikut:
a. Persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit
(perceived susceptibility). Mereka yang merasa dapat terkena penyakit
tersebut akan lebih cepat merasa terancam.
b. Pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut (perceived
seriousness), yaitu risiko dan kesulitan apa saja yang akan dialaminya dari
penyakit itu.
pasien PPOK.