Vous êtes sur la page 1sur 62

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang


menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi
kelenjar, sehingga menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran
pernapasan, dengan gejala klinis utamanya sesak napas. Penyakit ini
berdampak serius terhadap kesehatan masyarakat di seluruh dunia.
Penatalaksanaan asma yang baik akan meningkatkan kualitas hidup
pasien asma. Dalam tinjauan pustaka ini akan dijelaskan berbagai hal
berkenaan dengan penyakit asma, kualitas hidup dan konsep perilaku,
serta adherensi pengobatan pasien asma.

2.1 ASMA
2.1.1. Definisi Asma
Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran
pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi
kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif,
sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan
hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di
saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama
malam hari atau dini hari/subuh. Gejala ini berhubungan dengan luasnya

inflamasi, yang derajatnya bervariasi dan bersifat reversibel secara


spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan (GINA, 2011).
Adapun definisi asma menurut Alsagaff tahun 2010 berbeda
dengan definisi GINA yaitu asma adalah suatu penyakit dengan adanya
penyempitan saluran pernapasan yang berhubungan dengan tanggap
reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus berupa hiperaktivitas otot
polos dan inflamasi, hipersekresi mukus, edema dinding saluran
pernapasan, deskuamasi epitel dan infiltrasi sel inflamasi yang disebabkan
berbagai macam rangsangan. Gejala klinis penyakit ini berupa kesukaran
bernapas yang disebabkan oleh penyempitan saluran. Penyempitan
saluran napas bersifat dinamis, derajat penyempitan dapat berubah, baik
secara spontan maupun karena pemberian obat, dan kelainan dasarnya
berupa gangguan imunologi.

2.1.2 Epidemiologi Asma


Sampai saat ini, penyakit asma masih menujukkan prevalensi yang
tinggi. Berdasarkan data dari WHO (2002) dan GINA (2011), di seluruh
dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma dan tahun
2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta. Selain itu
setiap 250 orang, ada satu orang meninggal karena asma setiap
tahunnya.
Prevalensi asma di dunia sangat bervariasi dan penelitian
epidemiologi menunjukkan bahwa kekerapan asma semakin meningkat
terutama di negara maju. Data dari berbagai negara menunjukkan bahwa

prevalensi penyakit asma berkisar antara 1-18% (GINA, 2011).


Peningkatan prevalensi asma terutama meningkat pada kelompok anak
dan cenderung menurun pada kelompok dewasa (Ratnawati, 2011)
Prevalensi asma antar negara sulit dibandingkan karena belum ada
kuesioner baku yang digunakan secara internasional sampai akhirnya
Steering Comitte of International Study Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) menyusun kuesioner untuk penelitian prevalensi asma yang
dapat digunakan di seluruh dunia baik dengan bahasa maupun kondisi
geografis yang berbeda. Penelitian prevalensi asma menggunakan
kuesioner ISAAC pada tahap awal sudah dilakukan pada 155 pusat asma
di 56 negara termasuk Indonesia. Angka prevalensi asma yang
didapatkan bervariasi antara 2.1-32.2% (Rosmarlina, 2010).
Di Indonesia, diperkirakan jumlah pasien asma 2-5% dari penduduk
Indonesia (Sundaru, 2002). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
1986 mengajukan angka sebesar 7.6%. Pada hasil SKRT 1992, asma,
bronkitis kronik dan emfisema dinyatakan sebagai penyebab kematian ke
4 di Indonesia atau sebesar 5.6%. Tahun 1995, prevalensi asma di
seluruh Indonesia mencapai 13/1000 penduduk dibandingkan bronkhitis
kronik 11/1000 penduduk dan obstruksi paru 2/1000 penduduk
(Mangunegoro, 2004). Di Bandung terjadi kenaikan prevalensi gejala
asma dari 2.1% pada tahun 1995 menjadi 5.2% pada tahun 2001
(Sundaru, 2007).

Data pasien asma tahun 2001 di Rumah Sakit Persahabatan


Jakarta sebagai rumah sakit pusat rujukan penyakit paru nasional di
Indonesia, terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Data Layanan Asma di RS. Persahabatan Jakarta tahun


1998- 2001.
No
Layanan Asma
1998
1999
2000
2001
1
Rawat jalan
898
661
329
397
2
Rawat inap
43
138
60
104
3
Gawat darurat
1653
1537
2210
2210
4

ICU
3
6
10
3
5
CFR
2.32%
2.17%
0
2.90%

Sumber: Mangunegoro, 2004

Yunus dkk, pada tahun 2001 melakukan studi prevalensi asma


pada 2234 siswa SLTP se-Jakarta Timur melalui kuesioner International
Study on Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Studi tersebut
menghasilkan prevalensi asma (recent asthma) 8.9% dan prevalensi
kumulatif (riwayat asma) 11.5%. Hasil penelitian ini lebih banyak dijumpai
pada perempuan yaitu 53.8%, laki-laki 46.2%. Tahun 2008 penelitian
serupa kembali dilakukan dengan mendapatkan prevalensi asma sebesar
7.1% dan prevalensi kumulatif 12.2% (Yunus, 2011). Rosmalina (2010)
melakukan penelitian prevalens asma anak pada 2023 siswa SLTP
Jakarta Timur, dengan angka prevalensi 6.3%, dan asma kumulatif 13.4%.
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa
prevalensi asma di Propinsi Sumatera Utara adalah 3% dengan kisaran
prevalensi sebesar 3-6.4%. Kabupaten dengan prevalensi asma tertinggi
adalah Kabupaten Mandailing Natal. Di kota Medan, prevalensi asma

mencapai 3.6% (laki-laki 1.9% dan perempuan 1.7%). Di DKI Jakarta,


prevalensi asma mencapai 2.9% dengan kisaran prevalensi 2.4-6.6%. Di
Jawa Barat prevalensi asma mencapai 4.7% dengan kisaran 1.5-7.7%
sedangkan di Jawa Timur mencapai 3% dengan kisaran 0.7-9.8% (Dinas
Kesehatan, 2007).

2.1.3 Faktor Risiko Asma


Berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu
(host faktor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk
predisposisi genetik yang mempengaruhi berkembangnya asma yaitu
genetik asma, alergik (atopi), hipereaktiviti/hiperesponsif bronkus, jenis
kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan
kecenderungan/predisposisi asma, untuk berkembang menjadi asma,
yang menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan gejala asma yang
menetap. Beberapa hal/kondisi yang termasuk dalam faktor lingkungan,
yaitu: alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara,
infeksi pernapasan, diet, status sosio ekonomi dan besarnya keluarga
(Mangunegoro, 2004). Tabel faktor risiko terjadinya asma, dapat dilihat
pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Faktor Risiko pada Asma.


Faktor Pejamu

Predisposisi genetik
Atopi
Hiperesponsif saluran pernapasan
Jenis kelamin
Ras/Etnik

Faktor Lingkungan
Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi
asma
Alergen dalam ruangan
Mite domestic
Alergen binatang
Alergen kecoa
Jamur (fungi mold, yeasts)

Alergen di luar ruangan


Tepung sari bunga
Jamur (fungi mold, yeasts)

Bahan di lingkungan kerja


Asap rokok
Polusi udara
Infeksi pernafasan
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Besar keluarga
Diet dan obat

Obesitas

Faktor lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma
menetap
Alergen di dalam dan diluar ruangan
Polusi di dalam dan di luar ruangan
Infeksi pernapasan
Aktivitas fisik (exercise) dan hiperventilasi
Perubahan cuaca
Sulfur dioksida
Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray)

Sumber: Mangunegoro, 2004

2.1.4. Patogenesis Asma


Konsep terbaru patogenesis asma adalah proses inflamasi kronik
pada saluran pernapasan yang menyebabkan saluran pernapasan
menjadi sempit dan hiperesponsif (GINA, 2011). Asma dalam derajat
apapun merupakan inflamasi kronik saluran nafas. Terdapat sejumlah
penderita dengan inflamasi saluran napas namun faal paru normal.
Inflamasi ini sudah terdapat pada asma dini dan asma ringan dan sudah
terjadi sebelum disfungsi paru. Jarak antara inflamasi mukosa dengan
munculnya disfungsi paru belum diketahui, pada asma episodik tanpa
gejalapun inflamasi telah ada (Surjanto & Martika, 2009).
Gambaran khas inflamasi ditandai dengan peningkatan jumlah
eosinofil teraktivasi, sel mast, makrofag, dan limfosit T dalam lumen
mukosa saluran pernapasan. Sel limfosit berperan penting dalam respon
inflamasi melalui penglepasan berbagai sitokin multifungsional. Limfosit T
subset T helper-2(Th-2) yang berperan dalam patogenesis asma akan
mensekresi sitokin interleukin 3 (IL-3), IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan
Granulocute Monocyte Colony Stimulating Factor (GMCSF). Sitokin
bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi, sehingga
menimbulkan proses inflamasi yang kompleks, yang menyebabkan
degranulasi sel mast disertai pengeluaran berbagai mediator inflamasi dan
berbagai protein toksik yang akan merusak epitel saluran pernapasan,
sebagai salah satu penyebab hipereaktiviti saluran pernapasan. Hal ini
diperberat dengan terjadinya hipertrofi dan hiperplasi otot polos bronkus,

sel goblet, dan kelenjar bronkus serta hipersekresi kelenjar mukus yang
menyebabkan penyempitan saluran pernapasan (GINA, 2008).
Pada serangan asma terjadi penyempitan sampai obstruksi saluran
pernapasan sebagai manifestasi kombinasi spasme/kontraksi otot polos
bronkus, edema mukosa, sumbatan mukus, akibat inflamasi pada saluran
pernapasan. Sumbatan saluran pernapasan menyebabkan peningkatan
tahanan jalan nafas, terperangkapnya udara, dan distensi paru yang
berlebih (hiperinflasi). Perubahan yang tidak merata di seluruh jaringan
bronkus, menyebabkan tidak sesuainya ventilasi dengan perfusi.
Hiperventilasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga
terjadi peningkatan kerja/aktivitas pernapasan. Peningkatan tekanan intra
pulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran pernapasan
yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan
penutupan dini saluran pernapasan, sehingga meningkatkan risiko
terjadinya pnemotoraks (Suharto, 2005).
Pada obstruksi saluran pernapasan yang berat, akan terjadi
kelelahan otot pernapasan dan hipoventilasi alveolar yang mengakibatkan
terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Selain itu, dapat pula
terjadi asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan, produksi laktat oleh otot
pernapasan dan masukan kalori yang berkurang. Hipoksia dan anoksia
dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal dan dapat merusak sel
alveoli, sehingga produksi surfaktan berkurang dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya atelektasis (Suharto, 2005).

Reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat


inflamasi yang perubahannya bersifat ireversibel disebut proses
remodeling (remodelling process). Proses remodeling saluran pernapasan
merupakan serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan
penyambung dan mengubah struktur saluran pernapasan melalui proses
deferensiasi, migrasi, maturasi struktur sel (Mangunegoro, 2004).
Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel berlanjut, produksi
berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/Transforming Growth Factor
(TGF-b) dan proliferasi serta diferensiasi fibroblast menjadi myofibroblast,
diyakini sebagai proses yang penting dalam remodeling. Myofibroblast
yang teraktivasi akan memproduksi berbagai faktor pertumbuhan, kemokin
dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran
pernapasan dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler, menambah
vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi
matriks molekul termasuk proteoglikan kompleks pada dinding saluran
pernapasan dapat diamati pada pasien yang meninggal karena asma dan
hal ini secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit
(Rahmawati, 2003).
Hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran pernapasan, sel goblet,
kelenjar sub mukosa, didapati pada bronkus pasien asma, terutama pada
yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran pernapasan pada
pasein asma memperlihatkan perubahan struktur yang bervariasi, yang
dapat menyebabkan penebalan dinding saluran pernapasan. Selama ini
asma diyakini sebagai kondisi obstruksi saluran pernapasan yang bersifat

reversibel. Pada sebagian besar pasien asma, reversibilitas yang


menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah
diterapi dengan inhalasi corticosteroid. Beberapa pasien asma mengalami
obstruksi saluran pernapasan residual, yang dapat terjadi pada pasien
yang tidak menunjukkan gejala, tetapi hal ini mencerminkan adanya
remodeling pada saluran pernapasan. Fibroblast berperan penting dalam
terjadinya remodeling dan proses inflamasi (Rahmawati, 2003).

2.1.5 Diagnosis Asma


Diagnosis asma ditegakkan berdasarkan manisfestasi gejala yang
ada (sekarang maupun yang pernah terjadi), dan adanya keterbatasan
aliran udara dalam saluran pernapasan. Asma harus diduga bila muncul
gejala seperti mengi, rasa berat di dada, batuk (dengan atau tanpa dahak)
dan sesak napas dengan derajat bervariasi. Mengi adalah gejala yang
sering ditemui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sekitar 30%
pasien asma, mengi merupakan salah satu keluhan (Mangunegoro, 2004;
Alsagaff, 2010). Riwayat adanya mengi rekuren, meningkatkan
kemungkinan untuk menegakkan diagnosis asma, terutama jika ditemukan
salah satu faktor predisposisi atau presipitasi yang umum, seperti keadaan
atopi, aktifitas fisik yang melelahkan atau infeksi saluran pernapasan atas
(Stark, 2000).
Di sisi lain, pendekatan untuk konfirmasi diagnosis tergantung dari
gambaran obstruksi jalan napas. Keterbatasan aliran udara di saluran
pernapasan dapat diketahui melalui uji faal paru dengan menggunakan

peak flow meter dan spirometer. Pada kesulitan menegakkan diagnosis


asma karena gejala yang tidak jelas, dapat dilakukan uji provokasi
bronkus, yang dapat memperlihatkan hipereaktiviti saluran pernapasan,
pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan darah tepi. The National Heart
and Blood Institute (NHBLI) menentukan tiga prinsip dasar untuk
menentukan asma, yaitu adanya obstruksi saluran pernapasan yang
hilang dengan atau tanpa pengobatan, adanya inflamasi saluran
pernapasan dan adanya hiperesponsif terhadap berbagai rangsangan.

2.1.6. Diagnosis Banding


Diagnosis banding asma antara lain (Alsagaff, 2010):
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

Asma Kardial
Bronkitis akut ataupun menahun
Bronkiektasis
Keganasan
Infeksi paru
Penyakit granuloma
Farmer s lung disease
Alergi bahan inhalan industri
Hernia diafragmatika atau esophagus
Tumor atau pembesaran kelenjar mediastinum
Sembab laring
Tumor trakeo-bronkial
Tumor atau kista laring

n. Aneurisma aorta
o. Kecemasan
2.1.7. Penatalaksanaan Asma (Mangunegoro, 2004)
Program penatalaksanan asma meliputi 7 komponen:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Edukasi
Menilai dan memonitor keparahan asma secara berkala
Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
Menetapkan pengobatan pada serangan akut
Kontrol secara teratur
Pola hidup sehat

Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka


panjang untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang
terkontrol, ada tiga faktor yang perlu dicermati, yaitu:
a. Medikasi (obat-obatan): Obat asma dikelompokkan atas dua golongan
yaitu: obat-obat pengontrol asma (Controller), yaitu anti-inflamasi dan
obat pelega napas (Reliever), yaitu bronkodilator.
b. Pemberian medikasi.
c. Penanganan asma mandiri.

a. Medikasi (Obat Asma)


1). Obat Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah obat asma yang digunakan jangka panjang
untuk mengontrol asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi

proses inflamasi yang merupakan patogenesis dasar penyakit asma. Obat


ini diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan
asma terkontrol pada asma persisten, dan sering disebut sebagai obat
pencegah. Berbagai obat yang mempunyai sifat sebagai pengontrol,
antara lain:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)

Corticosteroid inhalasi
Corticosteroid sistemik
Sodium chromoglicate
Nedochromil sodium
Methylxanthine
Agonis 2 kerja lama (LABA) inhalasi
Leukotriene modifiers
Antihistamin (antagonis H1) generasi kedua

2). Obat Pelega (Reliever)


Merupakan bronkodilator yang melebarkan saluran pernapasan
melalui relaksasi otot polos, untuk memperbaiki dan atau menghambat
bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut asma, seperi mengi,
rasa berat dada dan batuk. Obat pelega tidak memperbaiki inflamasi atau
menurunkan hiperesponsif pada saluran pernapasan. Oleh karena itu,
penatalaksanaan asma yang hanya menggunakan obat pelega, tidak akan
menyelesaikan masalah asma secara tuntas.

Obat-obat yang termasuk obat pelega adalah:


a) Agonis 2 kerja singkat dan kerja lama
b) Anticholinergic (atrophine sulphate, ipratropium, tiotropium, dan lainlain)
c) Xanthine (Aminophylline)
d) Simpatomimetik lainnya seperti adrenaline, ephedrine, dan lain-lain.

b. Pemberian Obat-obatan
Obat asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi
(diberikan langsung ke saluran pernapasan), oral dan parenteral
(subkutan, intramuskular, intravena).
Kelebihan pemberian langsung ke saluran pernapasan (inhalasi)
adalah:
1) Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di saluran
pernapasan.
2) Efek sistemik minimal atau dapat dihindarkan.
3) Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak
efektif pada pemberian oral (anticholinergic dan chromolyne). Waktu
mula kerja (onset of action) bronkodilator yang diberikan melalui
inhalasi adalah lebih cepat dibandingkan bila diberikan secara oral.
Pemberian obat secara inhalasi dapat melalui berbagai cara,
yaitu:
1) Inhalasi Dosis Terukur (IDT)/Metered Dose Inhaler (MDI)
2) IDT dengan alat bantu (spacer)

3)
4)
5)
6)

Breath-actuated MDI
Dry powder inhaler (DPI)
Turbuhaler
Nebulizer

Kekurangan IDT adalah sulit mengkordinasikan dua kegiatan


(menekan inhaler dan menarik nafas) dalam waktu bersamaan, sehingga
harus dilakukan latihan berulang-ulang agar pasien terampil. Penggunaan
alat bantu (spacer) bertujuan mengatasi kesulitan dan memperbaiki
penghantaran obat melalui IDT. Spacer lazim digunakan pada
penatalaksaan asma anak dan pada pasien asma yang sangat sulit
melakukan inspirasi dalam, untuk menghidu obat yang dikeluarkan dari
inhaler. Selain itu, spacer juga mengurangi deposit obat di mulut dan
orofaring, mengurangi batuk akibat IDT dan mengurangi kemungkinan
kandidiasis bila menggunakan inhalasi corticosteroid (meskipun hal ini
sangat jarang terjadi pada pasien dengan higiene mulut yang baik), serta
mengurangi bioviabiliti dan risiko efek samping sistemik. Beberapa studi di
luar maupun di Indonesia menunjukkan inhalasi agonis 2 kerja singkat
dengan IDT dengan menggunakan spacer memberikan efek
bronkodilatasi yang sama dengan pemberian secara nebulisasi dan
pemberian melalui IDT dengan spacer terbukti memberikan efek
bronkodilitasi yang lebih baik daripada melalui Dry Powder Inhaler (DPI)
(Mangunegoro, 2004).
Kelebihan DPI adalah karena DPI tidak menggunakan campuran
propelan freon, yang dapat merusak ozon lingkungan dan relatif lebih

mudah digunakan dibandingkan IDT. Saat inhalasi, hanya diperlukan


kecepatan aliran udara inspirasi minimal. DPI sulit digunakan saat
eksaserbasi, sehingga dosis harus disesuaikan. Sebagian DPI terdiri atas
obat murni, dan sebagian lagi mengandung campuran laktosa, tetapi DPI
tidak mengandung clorofluorokarbon sehingga lebih baik untuk ekologi
tetapi lebih sulit pada udara dengan kelembaban tinggi.
Saat ini, Chlorofluorocarbon (CFC) pada IDT, telah diganti dengan
hydrofluoroalkane (HFA). Pada obat bronkodilator dosis dari CFC ke HFA
adalah equivalen, tetapi pada inhaler yang mengandung corticosteroid,
HFA mengantarkan lebih banyak partikel yang lebih kecil ke paru,
sehingga selain meningkatkan efikasi obat, juga akan meningkatkan efek
samping sistemiknya. Dengan DPI, obat lebih banyak dideposit dalam
saluran pernapasan dibanding IDT, tetapi hasil penelitian menunjukkan
bahwa inhalasi corticosteroid dengan IDT dan spacer memberikan efek
yang sama dengan cara pemberian melalui DPI. Karena perbedaan
kemurnian obat dan teknk penghantaran obat antara DPI dan IDT, maka
perlu penyesuaian dosis obat saat mengganti obat melalui DPI ke IDT
atau sebaliknya.

c. Penanganan Asma Mandiri


Penanganan asma mandiri sering disebut pelangi asma. Khusus
untuk upaya penanganan asma mandiri, para dokter yang merawat pasien
asma harus benar-benar menyadari bahwa pasiennya adalah mitra dalam
usaha pencapaian keberhasilan terapi asma, karena pasien merupakan

sumber informasi yang paling dapat dipercaya untuk mencapai asma


terkontrol, karena mereka yang langsung merasakan dampak
penatalaksanaan asma yang dilakukan oleh dokter yang merawatnya.
Agar usaha ini dapat terlaksana dengan baik, maka faktor
edukasi/komunikasi terapeutik di antara dokter dengan pasien asma dan
keluarganya merupakan hal yang sangat mendasar dalam
penatalaksanaan asma. Dokter merencanakan pengobatan jangka
panjang sesuai kondisi penderita, realistik, sehingga memungkinkan
pasien asma mencapai asma terkontrol. Sistem penanganan asma
mandiri mengharuskan pasien asma memahami kondisi kronik dan
bervariasinya keadaan penyakit asma. Penatalaksanaan ini mengajak
pasien memantau kondisinya sendiri, mengidentifikasi perburukan asma
sehari-hari, mengontrol gejala klinis yang terjadi dan mengetahui bila
saatnya pasien asma memerlukan bantuan medis/dokter (Mangunegoro,
2004).

2.1.8. Obat Pengontrol Asma (Mangunegoro, 2004)


a. Corticosteroid Inhalasi.
Sebagai anti inflamasi, kortikosteroid bekerja melalui beberapa
mekanisme yaitu:
1) Menghambat metabolism arachidonic acid sehingga mempengaruhi
produksi leukotriene dan prostaglandin.
2) Mengurangi kebocoran mikrovaskuler

3) Mencegah migrasi berbagai mediator inflamasi langsung ke sel-sel


inflamasi
4) Menghambat produksi cytokines
5) Meningkatkan kepekaan reseptor 2 pada otot polos bronkus
Keuntungan pemberian obat secara inhalasi adalah:
1) Dosis yang digunakan relatif rendah
2) Efek samping minmal
3) Bekerja terbatas pada saluran pernapasan (topikal), dengan mula kerja
obat (onset of action) yang cepat.
4) Dapat memobilisasi sekret di saluran pernapasan.
Corticosteroid inhalasi adalah medikasi jangka panjang merupakan
obat yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian
menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal
paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala mengi,
frekuensi dan beratnya serangan dan memperbaiki kualitas hidup (Tabri,
2010). Pada asma persiten berat, dibutuhkan dosis yang tinggi dan dosis
maksimal yang dapat diberikan adalah 2000 mikrogram. Namun beberapa
penelitian menyatakan bahwa kurva dosis respons steroid inhalasi adalah
relatif datar, yang berarti peningkatan dosis steroid inhalasi tidak
selamanya sejalan dengan efek yang dihasilkannya. Dengan demikian,
peningkatan dosis inhalasi corticosteroid tidak memberikan efek lebih baik
dibandingkan bila inhalasi corticosteroid dikombinasi dengan agonis 2
kerja lama (LABA) (GINA, 2011). Steroid inhalasi adalah pilihan bagi

pengobatan asma persiten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi


ditoleransi dengan baik aman pada dosis yang direkomendasikan.
Perkiraan kesamaan potensi beberapa glucocorticosteroid dapat dilihat
pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Dosis Glucocorticosteroid Inhalasi dan Perkiraan
Kesamaan Potensi

Dewasa
Dosis rendah
Dosis medium
Dosis tinggi
Obat

Beclomethasone
200-500 ug
500-1000 ug
>1000 ug
Dipropionat
22-400 ug
400-800 ug
>800 ug
Budesonide
500-1000 ug
1000-2000 ug
>2000 ug
Flinisolide
100-250 ug
250-500 ug
>500 ug

Fluticasone
400-1000 ug
1000-2000 ug
>2000 ug

Anak
Dosis rendah
Dosis medium
Dosis tinggi

Beclomethasone
100-400 ug
400-800 ug
>800 ug
Dipropionate
100-200 ug
200-400 ug
>400 ug
Budesonide
500-750 ug
1000-1250 ug
>1250 ug
Flinisolide
100-200 ug

200-500 ug
>500 ug
Fluticasone
800-1200 ug
800-1200 ug
> 1200 ug

Sumber: GINA, 2011, Bateman, 2008

Beberapa glucorticosteroid yang digunakan di sistem pelayanan


kesehatan memberikan potensi dan bioavaibiliti setelah inhalasi yang
berbeda. Pada tabel 2.4 dapat dilihat kesamaan potensi dari beberapa
glucorticosteroid berdasarkan perbedaan tersebut. Kurva dosis respons
steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti meningkatkan dosis
steroid tidak akan banyak menghasilkan manfaat untuk mengontrol asma
(gejala, faal paru, hiperesponsif saluran pernapasan), bahkan
meningkatkan risiko timbulnya efek samping.

Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti


kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran pernapasan
atas. Efek samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer,
higiene mulut yang baik atau berkumur-kumur setelah melakukan inhalasi
corticostreoid, untuk membuang steroid yang tersisa pada rongga mulut.

b. Corticosteroid Sistemik
Obat corticosteroid sistemik diberikan pada serangan asma akut
bila pemberian secara inhalasi belum dapat mengontrol serangan asma
akut yang terjadi. Pemberian steroid oral selama 5 7 hari biasa digunakan
sebagai terapi permulaan pengobatan jangka panjang maupun sebagai
terapi awal pada asma yang tidak terkontrol, atau ketika terjadi perburukan
penyakit. Meskipun tidak dianjurkan, steroid oral jangka panjang terpaksa
diberikan apabila pasien asma persiten sedang-berat tidak mampu
membeli steroid inhalasi. Namun, pemberiannya memerlukan monitoring
ketat terhadap gejala klinis yang ada dan kemungkinan kejadian efek
samping obat yang akan lebih mudah muncul pada pemberian obat
secara sistemik. Dengan demikian, pemberian corticosteroid oral jangka
panjang dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal di bawah ini, untuk
mengurangi kemungkinan efek samping obat yang terjadi:

1) Gunakan prednisone atau methylprednisolone, karena mempunyai


efek mineralo-corticoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae
pada otot minimal.
2) Gunakan bentuk oral, bukan parentral.
3) Penggunaan selang sehari (intermitten therapy) atau sekali sehari pagi
hari.

c. Methylxanthine
Theophylline adalah obat pelega/bronkodilator turunan xanthine
dan merupakan bronkodilator yang paling lemah dibandingkan dua
golongan bronkodilator lain yaitu agonis 2 dan anticholinergic. Sampai
saat ini, theophylline tidak mempunyai bentuk sediaan inhalasi, jadi
pemberian theophylline dilakukan secara oral atau pemberian sistemik
(parenteral) lainnya, sehingga sering menimbulkan efek samping obat.
Theophylline mempunyai efek menguatkan otot diafragma dan juga
mempunyai efek anti inflamasi, sehingga berperan juga sebagai obat
pengontrol asma. Obat ini dapat diberikan bersama-sama obat anti
inflamasi seperti corticosteroid, pada pasien asma persisten berat dan
sedang, bila steroid inhalasi pemberian belum memberikan hasil yang
optimal. Pada pasien asma dengan gejala asma pada malam hari,
pemberiannya pada sore hari dapat menghilangkan gejala yang timbul
pada malam hari.
Theophylline atau aminophylline lepas lambat dapat juga digunakan
sebagai obat pengontrol, meskipun potensinya tidak dapat menyamai

corticosteroid. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian


theophylline jangka lama, efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal
paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lama,
sehingga dapat digunakan untuk mengontrol gejala asma pada malam
hari, dikombinasi dengan anti inflamasi yang lazim digunakan. Hasil
penelitian lain menunjukkan bahwa methylxanthine sebagai terapi
tambahan pada pemberian glucocorticosteroid inhalasi dalam berbagai
tingkat dosis adalah efektif untuk mengontrol asma. Namun, sebagai
terapi tambahan, kombinasi ini tidak seefektif inhalasi kombinasi
corticosteroid dengan agonis kerja lama, meskipun masih merupakan obat
pilihan, karena harganya yang jauh lebih murah dari sediaan inhalasi.

d. Agonis 2 Kerja Lama Inhalasi


Obat yang termasuk ke dalam kelompok LABA ini adalah
salmeterol dan formoterol. Kedua obat ini adalah bronkodilator dengan
lama kerja obat mencapai 18 jam yang juga mempunyai sifat anti
inflamasi, sehingga pemberian obat cukup 2 kali sehari. Karena durasi
efek obat yang lama ini, maka LABA lebih sesuai berperan sebagai obat
pelega pada pengobatan pemeliharaan (maintenance therapy). Namun,
formoterol sebagai salah satu LABA, mempunyai keistimewaan, yaitu
mula kerja yang cepat dan durasi kerja obat yang relatif lama. Karena
mula kerjanya yang lebih cepat daripada salmaterol, formoterol juga dapat
digunakan pada serangan asma akut (rescue medication), yang

memerlukan pelega dengan mula kerja (onset of action) yang cepat.


Pemberian inhalasi kombinasi LABA dengan corticosteroid, memberikan
hasil yang lebih baik daripada terapi corticosteroid tunggal, meskipun
dosisnya ditingkatkan. Onset (mula kerja) dan durasi (lama kerja) berbagai
agonis 2 inhalasi dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Terapi inhalasi kombinasi yang tetap antara salmeterol dengan
fluticasone serta formoterol dengan budesonide, merupakan bentuk terapi
yang menjanjikan dalam pengobatan asma. Terapi kombinasi yang tetap
ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain:
a. Dosis corticosteroid dan agonis 2 kerja lama (LABA) yang digunakan
pada terapi kombinasi, lebih rendah dibandingkan bila obat ini dipakai
secara terpisah.
b. Pemberian inhalasi kombinasi kedua obat ini memberikan hasil yang
lebih baik dibandingkan pemberian steroid dengan dosis dua kali lipat.
c. Pemberian corticosteroid dapat meningkatkan sintesis reseptor agonis
2 dan menurunkan desensitisasi terhadap agonis 2.
d. Pemberian agonis 2 menyebabkan reseptor steroid menjadi lebih
siap , sehingga lebih sedikit corticosteroid yang dibutuhkan untuk
menghasilkan aktivitas yang diharapkan.
Dengan demikian kombinasi kedua obat ini menghasilkan on and on
phenomena (GINA, 2011). Bentuk kombinasi tetap ini dapat digunakan
pada penyakit asma persisten ringan, sedang dan berat.

Tabel 2.4. Onset (mula kerja) dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis
2

Durasi (lama kerja) Onset

Singkat
Lama
Cepat
Fenoterol
Formoterol
Prokaterol
Salbutamol/albuterol
Terbutalin
Pirbuterol
Lambat

Salmaterol

Sumber: GINA 2011

2.1.9. Obat Pelega/Reliever (Mangunegoro, 2004)


a. Agonis 2 Kerja Singkat
Obat yang termasuk golongan agonis 2 kerja singkat antara lain:
salbutamol, terbutaline, phenoterol, dan procaterol, mempunyai mula kerja
(onset of action) yang cepat. Lazimnya golongan obat ini mempunyai mula
kerja yang cepat dengan durasi kerja obat yang singkat dan dapat
diberikan secara inhalasi atau oral. Pemberian inhalasi memberikan mula
kerja obat yang lebih cepat dengan efek samping minimal/tidak ada.
Mekanisme kerjanya seperti agonis 2 lainnya, yaitu relaksasi otot polos
saluran pernapasan, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan
permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel
mast.
Bentuk aerosol atau inhalasi memberikan efek bronkodilatasi yang
sama atau bahkan lebih baik dari bentuk oral. Sedang efek samping

kardiovaskuler, tremor dan hipokalemianya lebih sedikit. Peningkatan


frekuensi penggunaan agonis 2

b. Methylxanthine
Merupakan bronkodilator yang efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis 2 kerja singkat. Aminophylline lepas lambat dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi gejala, karena durasi kerjanya yang
lebih lama daripada agonis 2 kerja singkat. Manfaat aminophylline
adalah untuk respiratory drive dan memperkuat otot-otot pernapasan dan
mempertahankan respon terhadap agonis 2 kerja singkat. Timbulnya
efek samping obat dapat dicegah dengan memberikan dosis yang sesuai
dan melaksanakan pemantauan.

c. Anticholinergic
Anticholinergic inhalasi (ipratropium bromide) menghambat
perangsangan nervus vagus di post ganglion. Obat ini bekerja dengan
cara menurunkan tonus nervus vagus intrinsik saluran pernapasan. Selain

itu, obat ini


oleh inhalasi
singkat. Mula
mencapai efek

juga menghambat refleks bronkokonstriksi yang ditimbulkan


iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis 2 kerja
kerjanya lama dan membutuhkan 30-60 menit untuk
maksimal.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ipratropium bromide


mempunyai efek bronkodilatasi yang setara dengan agonis 2 kerja
singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan
risiko perawatan rumah sakit secara bermakna.

d. Adrenaline
Dapat digunakan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat,
bila tidak tersedia agonis 2, atau tidak respons dengan agonis 2 kerja
singkat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada
penderita usia lanjut atau dengan gangguan vaskuler. Pemberian
intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan
pengawasan sangat ketat (bedside monitoring).

2.1.10. Tahapan Penatalaksanaan Asma


Penatalaksanaan asma harus dilaksanakan jangka panjang agar
tercapai tujuan pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal
mungkin. Pendekatan dalam memulai pengobatan jangka panjang harus

melalui pemberian terapi maksimum pada awal pengobatan terrmasuk


pemberian glucocorticosteroid oral dan atau inhalasi kombinasi
glucocorticosteroid dengan agonis 2 kerja lama untuk segera mengontrol
asma, setelah asma terkontrol, dosis diturunkan secara bertahap sampai
seminimal mungkin dengan tetap mempertahankan kondisi asma
terkontrol Cara itu disebut step-down therapy Pendekatan lain adalah
step-up therapy yaitu meningkatkan terapi secara bertahap jika
dibutuhkan, untuk mencapai asma terkontrol. Kondisi ini dikenal sebagai
adjustable dosing.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan
stepdown therapy untuk penatalaksanaan asma yaitu memulai
pengobatan seoptimal mungkin dengan upaya menekan inflamasi jalan
nafas dan mencapai keadaan asma terkontrol sesegera mungkin. Setelah
asma terkontrol, penggunaan obat dapat diturunkan sampai seminimal
mungkin, dengan tetap mempertahankan asma terkontrol. Bila terdapat
keadaan asma yang tetap tidak terkontrol dengan terapi awal/maksimal
tersebut (misalnya setelah satu bulan terapi) maka diperlukan
pertimbangan untuk mengevaluasi kembali diagnosis asma yang telah
ditegakkan, sambil tetap memberikan pengobatan asma sesuai dengan
pedoman standar yang ada.

2.1.11. Klasifikasi Asma Terkontrol


GINA yang merupakan organisasi kerjasama WHO dengan
National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) Amerika Serikat
memperkenalkan panduan diagnosis dan tata laksana asma. Tidak hanya
itu, GINA juga telah merumuskan tujuan dari pengobatan asma itu sendiri.
Dari 6 tujuan pengobatan asma untuk mendapatkan tatalaksana yang
berhasil, GINA menempatkan mencapai dan mempertahankan kontrol
asma di urutan pertama. Hal ini sungguh masuk akal, karena dengan
mencapai kontrol asma yang baik, diharapkan dapat mencegah terjadinya
eksaserbasi, menormalkan fungsi paru, memperoleh aktivitas sosial yang
baik, meningkatkan kualitas hidup dan akhirnya mencegah kematian
karena asma. Oleh karena itulah panduan pengobatan asma yang terbaru
menurut GINA menekankan pentingnya upaya pengobatan mencapai dan
mempertahankankan asma terkontrol.. GINA memberikan batasan tentang
apa yang dimaksud dengan asma terkontrol seperti terlihat pada Tabel 2.5
sebagai revisi batasan edisi lama yang kurang tegas, yang pernyataannya
mengandung multi arti (GINA, 2011).

Tabel 2.5. Tingkat Kontrol Asma


Sumber: GINA, 2011, Batemen, 2008

2.2 Kualitas Hidup Pasien Asma


2.2.1. Definisi
Kualitas hidup adalah tingkat keadaan individu dalam lingkup
kemampuan, keterbatasan, gejala dan sifat psikososial untuk berfungsi
dalam berbagai peran yang diinginkan dalam masyarakat dan merasa
puas akan peran tersebut. Kualitas hidup dapat dijadikan hasil pengukuran
yang menggambarkan pandangan individu akan kesejahteraan dan
penampilannya pada beberapa bidang, misalnya kemampuan fisik,
okupasi, psikologis, interaksi sosial, hobi dan rekreasi (Hyland, 1997)

Patric dan Ericson menyatakan bahwa kualitas hidup adalah suatu


nilai yang diberikan dalam kehidupan yang dimodifikasi oleh adanya
penyakit, status fungsional, serta kesempatan sosial dan kualitas hidup
dipengaruhi oleh penyakit, perawatan, dan kebijakan kesehatan. Bowling
menyimpulkan bahwa kualitas hidup yang berhubungan dengan
kesehatan adalah konsep yang menggambarkan respons individu
terhadap tingkat kepuasan kesehatannya dalam lingkungan kehidupannya
(CDC, 2000). Menurut WHO kualitas hidup adalah persepsi individu
mengenai posisinya dalam lingkup budaya dan sistem nilai di tempat
mereka hidup, serta dalam hubungan dengan tujuan, harapan, dan
standard yang dianut. Definisi WHO ini menggambarkan suatu konsep
dengan sebaran yang luas, yang dipengaruhi oleh keadaan kompleks dari
kesehatan fisik individu, psikis, derajat ketergantungan, hubungan sosial
dan hubungan mereka terhadap kondisi lingkungannya.
Menurut Cummins kualitas hidup adalah kumpulan beberapa hal
seperti: kesejahteraan material, kesehatan, produktivitas, keakraban,
keamanan, kesejahteraan masyarakat, dan kesejahteraan emosional yang
dinilai baik secara objektif (menurut nilai-nilai kultural) maupun subyektif
(kepuasan yang diukur secara individu) (CDC, 2000).
Kualitas hidup ditentukan oleh persepsi individu tentang status
mereka dalam hidup, dalam kaitan budaya (sistem nilai) yang dimasuki
berbagai ide atau sesuatu yang berhubungan dengan ide, harapan,
standar dan keraguan, yang dapat berubah dalam memberikan respon
terhadap penyakit. Kualitas hidup juga digunakan untuk

pengkajian/assessment konvensional penilaian keparahan penyakit


seperti penyakit asma, berkenaan dengan pengujian faal paru, intensitas
dan kehadiran gejala, serta kebutuhan akan pengobatan (Scala, 2005).
Penilaian kualitas hidup dilakukan dengan berbagai instrumen dan
umumnya dilakukan pada berbagai macam penyakit seperti diabetes,
gangguan ginjal, hipertensi, asma, AIDS, dan kanker. Terdapat beberapa
instrumen untuk menganalisis kualitas hidup yang meliputi persepsi fisik,
psikologi, hubungan sosial pasien seperti: Sickness Impact Profile,
Karnofsky Scales, Kidney Disease Quality of Life (KDQL) kuesioner dan
Medical Outcomes Study 36 item Short-Form Health Survey (SF-36) yang
telah banyak digunakan dalam mengevaluasi kualitas hidup pasien
penyakit kronis. SF 36 adalah salah satu instrumen untuk menilai kualitas
hidup yang sederhana, mudah dan secara luas telah dipakai untuk
mengevaluasi kualitas hidup penyakit kronis (Lina, 2008).

2.2.2. Penilaian Kualitas Hidup Pasien Asma


Kualitas hidup pasien asma merupakan ukuran penting karena
berhubungan dengan keadaan sesak yang akan menyulitkan pasien asma
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari atau terganggu status
fungsionalnya seperti merawat diri, mobiliti, makan, berpakaian, dan
aktivitas rumah tangga. Kualitas hidup pasien asma dapat dinilai dengan
menggunakan kuesioner kesehatan Short Form-36 (SF 36) dan Asthma
Quality of Life Questioner (AQLQ).

a. Short Form-36 (SF 36)


Short Form-36 (SF 36) merupakan skala untuk mengukur fungsi
kesehatan fisik dan mental. SF 36 terdiri dari 36 butir pertanyaan yang
menggambarkan 8 sub skala (Lina, 2008):

1). Fungsi Fisik (Physical Functioning)


Terdiri dari 10 pertanyaan yang menilai kemampuan aktivitas fisik
seperti berjalan, menaiki tangga, membungkuk, mengangkat dan gerak
badan. Nilai yang rendah menunjukkan keterbatasan semua aktivitas
tersebut, sedangkan nilai yang tinggi menunjukkan kemampuan
melakukan semua aktivitas fisik termasuk latihan berat.

2). Keterbatasan Akibat Masalah Fisik (Role Of Physical)


Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi seberapa besar
kesehatan fisik dapat mengganggu pekerjaan dan aktivitas sehari-hari
lainnya. Nilai yang rendah menunjukkan bahwa kesehatan fisik
menimbulkan masalah terhadap aktivitas sehari-hari, antara lain tidak
dapat melakukannya dengan sempurna, terbatas dalam melakukan
aktivitas tertentu atau kesulitan di dalam melakukan aktivitas. Nilai yang
tinggi menunjukkan kesehatan fisik tidak menimbulkan masalah terhadap
pekerjaan ataupun aktivitas sehari-hari.

3). Perasaan Sakit/Nyeri (Body Pain)


Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi intensitas rasa nyeri
dan pengaruh nyeri terhadap pekerjaan normal, baik di dalam maupun di
luar rumah. Nilai yang rendah menunjukkan rasa sakit yang sangat berat
dan sangat membatasi aktivitas. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak ada
keterbatasan yang disebabkan oleh rasa nyeri.

4). Persepsi Kesehatan Umum (General Health)


Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi kesehatan saat ini dan
ramalan tentang kesehatan serta daya tahan terhadap penyakit. Nilai yang
rendah menunjukkan memburuknya perasaan terhadap kesehatan diri
sendiri. Nilai yang tinggi menunjukkan persepsi terhadap kesehatan diri
sendiri yang sangat baik.

5). Energi/Fatique (Vitality)


Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kelelahan,
capek, dan lesu. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan lelah, capek,
dan lesu sepanjang waktu. Nilai yang tinggi menunjukkan perasaan penuh
semangat dan berenergi.

6). Fungsi Sosial (Social Functioning)


Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kesehatan fisik
atau masalah emosional yang mengganggu aktivitas sosial normal. Nilai

yang rendah menunjukkan gangguan yang sering. Nilai yang tinggi


menunjukkan tidak adanya gangguan.

7). Keterbatasan Akibat Masalah Emosional (Role Emotional)


Terdiri dari 3 pertanyaan atau aktivitas sehari-hari lainnya. Nilai
yang rendah menunjukkan masalah emosional yang mengganggu
aktivitas, termasuk menurunnya waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas,
pekerjaan menjadi kurang sempurna, bahkan tidak dapat bekerja
sepertinya biasanya. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak adanya
gangguan aktivitas karena masalah emosional.

8). Kesejahteraan Mental (Mental Health)


Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi kesehatan mental
secara umum termasuk depresi, kecemasan dan kebiasaan mengontrol
emosional. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan tegang dan depresi
sepanjang waktu. Nilai yang tinggi menunjukkan perasaan tenang dan
bahagia dan penuh kedamaian.
Skala SF 36 ini kemudian dibagi menjadi 2 dimensi, yaitu: persepsi
kesehatan umum, energi, fungsional sosial dan keterbatasan akibat
masalah emosional disebut sebagai dimensi Kesehatan Mental (Mental
Component Scale), sementara fungsi fisik, keterbatasan akibat masalah
fisik, perasaan sakit/nyeri, persepsi kesehatan umum dan energi disebut
sebagai dimensi Kesehatan Fisik (Physical Component Scale).

Masing-masing skala dinilai 0-100, dan skor yang lebih tinggi menandakan
kualitas hidup yang lebih baik.

b. Asma Quality of Life Questioner (AQLQ).


Selain SF 36 kuesioner, untuk penilaian kualitas hidup pasien asma
dapat juga digunakan Asma Quality of Life Questioner (AQLQ). AQLQ
dikembangkan untuk mengukur gangguan fungsional yang dialami oleh
orang dewasa =17 tahun.
Kuesioner berasal dari Juniper Elisabeth ini dapat lebih spesifik
digunakan pada pasien asma. AQLQ terdiri dari 32 item yang mengukur 4
dimensi kesehatan: 12 item menilai gejala, 5 item mengukur fungsi
emosional, 4 item menilai paparan terhadap rangsangan lingkungan dan
11 item fokus pada pembatasan aktvitas (Spiric, 2004). Pasien memberi
skor item pada suatu skala ordinal 7 butir (point). AQLQ nilai 1
menunjukkan kualitas hidup yang sangat buruk dan 7 tidak ada ganggan
kualitas hidup (Spiric, 2004 dan Scala, 2005). Spiric (2004) mendapatkan
nilai aplha cronbachs 0.93 pada penggunaan kuesioner AQLQ yang
berarti validitas dan reliabilitas kuesioner ini sangat baik untuk digunakan.
Sementara itu di Australia digunakan AQLQ-Sydney. Kuesioner
kualitas hidup yang dikembangkan adalah terdiri dari 20 butir pertanyaan.
Hasil uji validitas dan reliabilitas AQLQ-Sydney dengan nilai alpha
cronbach 0.97 (Miedingera, 2006). Miedingera, 2006, melakukan

penelitian hasil validasi AQLQ-Sydney setelah diterjemahkan ke dalam


bahasa Jerman. Hasil pengujian validitas dan reliabilitas menunjukkan
nilai alpha cronbach adalah 0.94 (sekitar 0.83-0.94).
Juniper (2005) kemudian mengembangkan kuesioner yang
diperuntukkan untuk remaja dan dewasa dengan nama AQLQ (S) yaitu
Asma Quality of Life Questioner (Standard). Namun kuesioner inipun
dimodifikasi dengan nama AQLQ 12+. Hal ini dikarenakan batas usia klinis
penderita asma diturunkan yaitu 12 tahun. Terdapat sedikit perubahan
antara AQLQ (S) dengan AQLQ 12+. Dalam penelitiannya Juniper (2005)
mendapatkan hasil pengukuran yang sama atara usia 12-17 tahun dengan
usia.12 tahun. Hal ini berarti AQLQ 12+ dapat digunakan pada usia 12
tahun ke atas (cocok untuk usia remaja > 12 tahun dan usia dewasa).
Selain kuesioner untuk remaja dan dewasa, Juniper sebelumnya
telah mengembangkan kuesioner pengukuran untuk anak-anak dengan
nama PAQLQ (Paediatric Asma Quality of Life Questioner) (Scala, 2001).
PAQLQ digunakan untuk mengukur kualitas hidup pasien asma usia 7 s.d
17 tahun. Scala (2001) mengembangkan kuesioner PAQLQ-A dengan
menterjemahkan kuesioner PAQLQ ke dalam bahasa Portugis. Hasil
pengujian validitas dan reliabilitas menunjukkan nilai alpha cronbach
adalah 0.909.

2.2.3. Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Hidup Pasien Asma


Faktor utama yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien
asma adalah penatalaksanaannya. Apabila penatalaksanaannya sudah
apropiate dan adekuat tentu akan meningkatkan kualitas hidup pasien
asma. Hasil penelitian Syafiuddin (2007) membuktikan ada perbedaan
kualitas hidup yang dinilai dari aspek kesehatan seperti gejala batuk,
sesak napas dan gangguan tidur antara kelompok pengobatan apropiate
dan adekuat. Studi yang dilakukan oleh Spiric (2004) menghasilkan faktorfaktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien asma. Adapun
faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien adalah: berat
penyakit, tempat tinggal dan kondisi cuaca (p<0.05). Selain itu Spiric
menemukan tidak adanya hubungan antara jenis penyakit asma, jenis
kelamin dan polusi udara dengan kualitas hidup pasien asma.

2.3. Perilaku Kesehatan


Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap
stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem
pelayan kesehatan, makanan minuman serta lingkungan. Faktor-faktor
yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut
determinan perilaku, yaitu:

Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa perilaku adalah


totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang, yang merupakan hasil
bersama atau resultante antara berbagai faktor, baik internal maupun
eksternal. Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks,
dan mempunyai bentangan yang sangat luas.

Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan


membagi perilaku manusia ke dalam 3 domain/ranah/kawasan yakni
kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam perkembangannya teori Bloom ini
dimodifikasikan untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan yakni
(Notoatmodjo, 2007):

1). Pengetahuan (Knowledge)


Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan manusia, yakni indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan datang dari
pengalaman, dan juga dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan
orang lain, buku, surat kabar, media masa, dan media elektronik.

Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung ataupun melalui


penyuluhan, baik secara individu maupun kelompok untuk meningkatkan
pengetahuan kesehatan, yang bertujuan untuk tercapainya perubahan
perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal.
Pengetahuan mempunyai enam tingkatan (Notoadmodjo, 2007; Maulana,
2009), yaitu:

1) Tahu
Tahu diartikan mengingat suatu materi yang diketahui sebelumnya.
Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari
atau rangsangan, antara lain dapat menyebutkan, mendefinisikan dan
mengatakan.

2). Memahami (comprehension)


Diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan secara
benar. Orang telah memahami suatu objek, dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyampaikan, dan meramalkan objek yang
dipelajari.

3). Aplikasi (application)


Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.

4). Analisis (analysis)


Analisis diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan
materi atau suatu objek dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam
struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan
ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat
menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan
sebagainya.

5). Sintesis (synthesis)


Sintesis merupakan kemampuan untuk
bagian ke dalam bentuk keseluruhan
menyusun, merencanakan, meringkas,
terhadap teori dan rumusan-rumusan

menghubungkan bagianyang baru. Misalnya dapat


menyesuaikan dan sebagainya
yang telah ada.

6). Evaluasi (evaluation)


Evaluasi adalah kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini berdasarkan
kriteria yang telah ditentukan sendiri atau kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek
penelitian atau responden.

2). Sikap
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Sikap yang secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari adalah
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.
Manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi dapat ditafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Alport (1954) dalam Notoadtmodjo (2007) menjelaskan bahwa
sikap itu mempunyai 3 komponen pokok:
Sikap terdiri dari empat tingkatan (Notoatmodjo, 2007; Maulana,
2009), yaitu:

Menerima, diartikan bahwa seorang (subjek) mau dan


memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan


menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap.

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu


masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya


dengan segala risikonya, dan merupakan sikap yang paling tinggi.

3). Praktik atau Tindakan (Practice)


Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata,
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungknkan
seperti fasilitas.
Praktek mempunyai beberapa tingkatan (Notoatmodjo, 2007), yaitu:

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan


yang akan diambil, dan merupakan praktik tingkat pertama.

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan


sesuai dengan contoh, adalah merupakan indikator praktik tingkat dua.

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar


secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka
ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang


dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikan tanpa
mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku secara


umum termasuk adherensi pasien menurut Lawrence Green
(Notoadmodjo, 2007) adalah:

Predisposing factors

Behaviour

Enabling factors

Reinforcing factors

Gambar 2.1 Konsep Perilaku Lawrence Green (Notoadmodjo, 2007)

Dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat


tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan,
tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan.
Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas
kesehatan terhadap kesehatan, juga akan mendukung dan memperkuat
terbentuknya perilaku.
Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah
pembentukan dan perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku
merupakan tujuan dari pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai
penunjang program-program kesehatan lainnya.

2.4. Adherensi Pengobatan Pasien Asma


Dewasa ini sangat jelas bahwa adherensi merupakan isu yang
penting bagi tenaga kesehatan untuk meningkatkan keberhasilan
pengobatan dan kualitas hidup pasiennya. Dari berbagai literatur
dinyatakan bahwa lebih dari 50% pasien penyakit kronis tidak patuh dan
adheren terhadap regimen pengobatannya (Bauman 2005; Horne, 2005).
Legoretta (1998) dalam Putmann (2004), menemukan kurang dari 50%
dari 5580 pasien asma dewasa yang diteliti, tidak adheren dalam
menggunakan obat inhalasinya setiap hari. Adherensi terhadap
pengobatan merupakan faktor yang utama dalam keberhasilan
penanganan penyakit asma (Bauman, 2005).

2.4.1. Pengertian Adherensi Pengobatan


Adherensi berkaitan dengan perilaku pasien untuk mengikuti
anjuran dokter secara konsisten. Walau memiliki arti sama, adherensi
berbeda dengan kepatuhan (compliance). Dalam penatalaksanaan
penyakit, istilah adherensi lebih sering dipakai karena dalam adherensi
setiap elemen berperan dalam penatalaksanaan penyakit dan merupakan
tanggung jawab bersama dokter dan pasien. Sedangkan pada istilah
kepatuhan (compliance), berhasil tidaknya suatu pengobatan cenderung
mengarah pada pasien. Bila pengobatan gagal, pasienlah yang
disalahkan, karena tidak mematuhi anjuran dokter (Bauman, 2005).

Adapun terminologi adherensi terlihat pada skema berikut ini:

Concordance

Adherence

Compliance

Gambar 2.2.Terminologi Perilaku Pengobatan Asma (Bauman, 2005)


Kepatuhan (compliance) menunjukkan bahwa pasien mengikuti
anjuran dokter, namun komitmen penanganan hanya pada pasien.
Adherensi menunjukkan komitmen pengobatan, dan kontrol pengobatan
terletak pada pasien dan dokter. Sedangkan concordance adalah
tingkatan perilaku pengobatan yang paling tinggi, karena telah adanya
kesamaan dan saling menghargai di antara dokter dan pasien.
Ada beberapa bentuk non-adherensi, seperti halnya derajat
kepatuhan. Peneliti mengembangkan kategori non-adherensi adalah
sebagai berikut:
Kategori ini menunjukkan pasien tidak mematuhi penggunaan obat
atau tidak mematuhi petunjuk dokter
Kategori ini menunjukkan pasien tidak mengambil resep yang
diberikan.
Kategori ini menunjukkan pasien menolak diagnosis atau pengobatan

yang diberikan.

2.4.2. Faktor yang Mempengaruhi Adherensi Pengobatan


Saat ini sangat banyak faktor yang mempengaruhi adherensi
pengobatan. Adapun faktor tersebut adalah (Bauman, 2005):

Kompleksnya pengobatan yang diberikan akan mempengaruhi


adherensi pengobatan pasien. Penggunaan obat asma dengan cara
inhalasi sering dirasakan rumit oleh pasien. Hal ini membuat pasien
cenderung memilih pengobatan yang lebih mudah, walaupun tidak sesuai
standar, seperti penggunaan obat secara oral.

b. Kemampuan Memahami Informasi


Data menunjukkan informasi dan instruksi pengobatan baik dari
dokter maupun dari brosur penjelasan sangat sulit untuk dipahami pasien.
Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan pasien, latar belakang
budaya dan ketrampilan penerimaan informasi. Banyak pasien asma
menggunakan obatnya hanya ketika timbul gejala. Untuk alasan yang
sama, penggunaan pelega lebih tinggi dibandingkan dengan obat
pengontrol (pencegah), karena obat pelega secara langsung
menyebabkan bronkodilatasi, maka efeknya lebih cepat dirasakan oleh
pasien.

c. Kepercayaan Pasien
Pasien pergi berobat sering karena kepercayaan tentang
penyakitnya. Penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan tentang
penyakit, manfaat dan hambatannya, berpengaruh terhadap adherensi
pengobatan pasien asma. Derajat penyakit berpengaruh terhadap
adherensi pengobatan pasien. Penyakit akut/kronis atau penyakit yang
menimbulkan rasa sakit dan mengancam jiwa pasiennya, memerlukan
tingkat adherensi yang lebih tinggi, dibandingkan penyakit yang tidak
berat. Penyakit asma adalah penyakit kronis, yang dalam kondisi ringan
memberikan gejala klinis yang bersifat reversibel, sehingga pasien asma
kadangkala menganggap penyakitnya tidak menimbulkan masalah yang
berat pada dirinya.
Kepercayaan individu terhadap upaya pengobatan dan pelayanan
kesehatan dapat merujuk pada konsep yang dikemukakan oleh
Rosenstock dalam Sarwono (2004), yaitu tentang model kepercayaan
kesehatan (Health Belief Model). Model kepercayaan kesehatan ini
mencakup lima unsur utama, sebagai berikut:
a. Persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit
(perceived susceptibility). Mereka yang merasa dapat terkena penyakit
tersebut akan lebih cepat merasa terancam.
b. Pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut (perceived
seriousness), yaitu risiko dan kesulitan apa saja yang akan dialaminya dari
penyakit itu.

c. Makin berat risiko suatu penyakit dan makin besar kemungkinannya


bahwa individu tersebut terserang penyakit tersebut, makin dirasakan
besar ancamannya (perceived threats). Ancaman ini mendorong individu
untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan penyakit.
Namun ancaman yang terlalu besar malah menimbulkan rasa takut dalam
diri individu yang justru malah menghambatnya untuk melakukan tindakan
karena individu tersebut merasa tidak berdaya melawan ancaman
tersebut.
d.Guna mengurangi rasa terancam tersebut, ditawarkanlah suatu alternatif
tindakan oleh petugas kesehatan. Apakah individu akan menyetujui
alternatif yang diajukan petugas tergantung pada pandangannya tentang
manfaat dan hambatan dari pelaksanaan alternatif tersebut. Individu akan
mempertimbangkan apakah alternatif tersebut memang dapat mengurangi
ancaman penyakit dan akibatnya yang merugikan. Namun sebaliknya,
konsekuensi negatif dari tindakan yang dianjurkan tersebut (biaya yang
mahal, rasa malu, takut akan rasa sakit, dan sebagainya) seringkali
menimbulkan keinginan individu untuk justru menghindari alternatif yang
dianjurkan petugas kesehatan. Ini merupakan perceived benefits and
barriers dari model kepercayaan Health Believe Model.

d. Sikap Terhadap Pengobatan


Komunikasi dan pertanyaan terbuka sangat membantu untuk
menemukan sikap pasien terhadap pengobatan. Sikap terhadap
pengobatan berhubungan dengan bahaya pengobatan yang diberikan,

unnaturalness dari berbagai bentuk pengobatan, bahaya ketergantungan


dan sikap anti terhadap pengobatan.

e. Komunikasi Dokter dan Pasien


Komunikasi dokter dan pasien merupakan peristiwa yang sangat
penting dalam rangka penyembuhan pasien. Dalam komunikasi dokter
pasien, dokter mempunyai posisi yang lebih tinggi daripada pasien Dapat
dikatakan dokter memiliki legitimate power sehingga dengan mudah dapat
mempengaruhi pasien asma (Ali, 2006).
Kualitas dari interaksi dokter dan pasien memberikan pengaruh
utama terhadap perilaku pengobatan pasien. Komunikasi dan kemitraaan,
fleksibilitas, tidak bersikap pragmatik, atau menonjolkan sikap empati,
dapat meningkatkan adherensi pengobatan pasien asma. Pada
penatalaksanaan asma, dokter seringkali kurang memberikan informasi
yang cukup, karena waktu yang tersedia terbatas. Idealnya dokter
menyediakan informasi yang cukup, meskipun singkat, tetapi dapat
mudah dimengerti dan diingat oleh pasien. Informasi yang diberikan juga
jangan terlalu berlebihan, karena pasien sering sekali melupakan separuh
dari informasi yang diberikan, meskipun informasi yang diberikan sudah
jelas (Bauman, 2005).
Jacobs (2001) membuktikan adanya hubungan antara konsultasi
dan edukasi dari dokter umum dengan kualitas hidup pasien asma dan
PPOK. Pada studi ini dokter umum dianjurkan untuk memberikan
konsultasi secara teratur selama 3 bulan kepada pasien asma ringan dan

pasien PPOK.

f. Faktor Psikologi dan Sosial Demografi.


Faktor psikologi dan sosial demografi seperti dorongan keluarga,
faktor umur, jenis kelamin, sosial ekonomi, derajat penyakit berhubungan
dengan adherensi pengobatan pasien. Beberapa penelitian menunjukkan
hubungan yang erat antara faktor sosiodemografi dengan adherensi
pengobatan pasien.

Gamble, (2009) mendapatkan wanita lebih patuh dibandingkan


dengan pria. Hasil penelitian Well, (2008) menyatakan ada hubungan
antara faktor suku dengan adherensi pengobatan yang menggunakan
Inhaled Corticosteroid (ICS). Pada pasien asma dari ras putih terdapat
hubungan antara kebutuhan akan ICS, pengetahuan tentang obat ICS,
perilaku dokter dalam mengontrol pasien asma, dan kesiapan untuk
menggunakan obat dengan kepatuhan pengobatan asma.

2.4.3. Aspek Adherensi Pengobatan


Terminologi adherensi adalah lebih memberikan komitmen dalam
penatalaksanaan penyakit dan melakukan pengawasan penyakit. Hal ini
berarti ada kerjasama dalam penatalaksanaan penyakit antara dokter dan
pasien. Untuk itu perlu dikembangkan komunikasi yang baik dan benar
antara dokter dan pasien. Komunikasi yang baik akan meningkatkan
motivasi pasien untuk adheren terhadap pengobatannya dan rasa percaya
terhadap penatalaksanaan penyakitnya (Bauman, 2005).
Berbagai aspek yang berhubungan dengan adherensi pengobatan
adalah (Bauman, 2005):

2.4.4. Manfaat Adherensi Pengobatan


Adapun manfaat adherensi pengobatan pasien asma adalah
tercapainya asma terkontrol, sehingga pasien asma tercegah dari
serangan akut dan kematian serta memperoleh kualitas hidup yang prima.
Diharapkan pasien asma dapat hidup seperti orang normal, produktifitas
dalam melaksanakan pekerjaannya terjaga, pengurangan ketidakhadiran
di sekolah dan sekaligus mengurangi biaya yang dibutuhkan, jika pasien
asma harus dirawat di rumah sakit (Bauman, 2005).

2.4.5. Pengukuran Adherensi Pengobatan (WHO, 2003)


Penilaian yang akurat tentang adherensi pengobatan sangat
dibutuhkan. Hal ini bertujuan agar supaya perencanaan pengobatan
menjadi efektif dan efisien, dan juga untuk mengevaluasi perubahan yang
terjadi karena pengobatan yang diberikan. Selain itu, penilaian adherensi
pengobatan diperlukan untuk mengubah keputusan untuk rekomendasi
obat-obatan yang digunakan, dan atau bila memerlukan bentuk
komunikasi dalam rangka meningkatkan partisipasi pasien dalam
pengobatan. Namun tidak ada standar baku emas untuk mengukur
adherensi pengobatan dan sangat bervariasinya strategi adherensi
pengobatan seperti yang sering dilaporkan dalam berbagai literatur.
Salah satu pendekatan pengukuran adherensi pengobatan adalah
meminta dokter dan pasien untuk menilai adherensi pengobatannya
sendiri. Namun kadangkala dokter overestimate terhadap perilaku
adherensi pengobatan pasien dalam mengikuti sarannya. Laporan pasien

mengenai perilaku adherensi pengobatannya juga cenderung subjektif dan


sering menyatakan pengobatan mereka akurat. Namun, kadangkala
pasien sering menyangkal bahwa kegagalan terapi mereka karena
ketidakpatuhan pengobatan. Hal ini menunjukkan bahwa pengukuran
adherensi pengobatan yang cenderung hanya berdasarkan pernyataan
pasien, dianggap kurang stabil atau kurang tepat/sesuai. Namun
kuesioner yang spesifik tentang perilaku adherensi, contohnya food
frequency questionnaires yang digunakan untuk mengukur perilaku makan
responden, dapat lebih baik memprediksi perilaku adherensi pengobatan
pasien.
Pendekatan lainnya untuk menilai adherensi pengobatan adalah
dengan menghitung jumlah obat yang telah dikonsumsi, menggunakan
alat elektronik seperti Medication Event Monitoring System (MEMS),
database farmasi (peresepan), dan pengukuran biokimia keberadaan obat
dalam darah dan urine. Namun setiap pendekatan mempunyai kelebihan
dan kekurangannya masing-masing.

2.5. Hubungan Adherensi Pengobatan dengan Kualitas Hidup


Pasien Asma

Adherensi terhadap pengobatan merupakan faktor yang utama


dalam keberhasilan penanganan penyakit asma (Bauman, 2005).
Beberapa penelitian menunjukkan ada hubungan antara adherensi
pengobatan dengan kualitas hidup pasien asma. Penelitian Pont (2004)
yang menyatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada kelompok
adherensi dengan yang non adherensi terhadap pengobatan asma, dari
aspek aktivitas, gejala klinis, emosional pasien asma paparan lingkungan.
Skor pasien asma yang adheren adalah 5.8 sedangkan pada kelompok
yang non adheren adalah 5.2. Untuk aspek aktivitas skor adheren adalah
5.5 dan non adheren 5.2, aspek gejala skor adheren adalah 5.7 dan non
adheren adalah 5.2, aspek emosional skor adheren adalah 6.0 dan non
adheren adalah 5.7 sedangkan skor aspek paparan lingkungan adalah 5.6
dan non adheren adalah 5.0. Hasil penelitian Syafiuddin Syafiuddin (2007)
telah membuktikan bahwa kualitas hidup pasien asma semakin baik, bila
penerapan konsep adherensi dilaksanakan. Penggunaan pengobatan
inhalasi kombinasi steroid dengan agonis 2 kerja lama (LABA) yang
diberikan secara kontinu selama 1 bulan dengan frekuensi 2 kali sehari,
dibandingkan dengan pemberian bronkodilator saja (salbutamol/SABA).
Pada penelitian ini peneliti menggunakan ACT (Asthma Control Test)
untuk menentukan kualitas hidup pasien asma. Hasil penelitian terdapat
perbedaan persentase efek pada jumlah batuk, gangguan tidur dan
aktivitas antara kelompok kombinasi steroid dengan agonis 2 kerja lama
(LABA) dengan kelompok salbutamol. Persentase perbaikan batuk pada

kelompok kombinasi adalah 74.36% dan kelompok salbutamol adalah


13.36%. Pada gangguan tidur terdapat perbaikan 47.98% dan kelompok
salbutamol adalah 14.95%. Pada gangguan aktifitas terdapat perbaikan
51.82% dan kelompok salbutamol adalah 21.87%.

Vous aimerez peut-être aussi