Vous êtes sur la page 1sur 14

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum tindakan induksi

anesthesia, tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar
sehingga memungkinkan dimulainya anastesia dan pembedahan. Tujuannya
adalah meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anesthesia,
mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat
anestetik (obat anestetik adalah obat yang berefek menghilangkan sensasi, seperti
rasa raba dan kesadaran), mengurangi mual muntah pasca bedah, menciptakan
amnesia,

mengurangi

isi

cairan

lambung,

mengurangi

refleks

yang

membahayakan.
Kebutuhan premedikasi bagi masing-masing pasien dapat berbeda. Rasa
takut dan nyeri harus diperhatikan betul pada kunjungan pra-anestesi. Dengan
memberikan rasa simpati dan pengertian kepada pasien tentang masalah yang
dihadapi, maka pasien dapat dibantu dalam menghadapi rasa sakit dan khawatir
menghadapi operasi. Pemberian obat sedatif atau penenang memberikan
penurunan aktivitas mental dan berkurangnya reaksi terhadap rangsang.
Pemberian obat premedikasi berefek amnesia, artinya pasien tidak dapat
mengingat kejadian yang baru terjadi setelah pembedahan, selain itu pasien dapat
menerima kejadian sebelum dan sesudah pembedahan tanpa gelisah. Pemberian
obat premedikasi bisa diberikan secara oral (mulut) maupun intravena (melalui
vena). Sedangkan pemberian dosis obatnya dipengaruhi banyak factor seperti usia,
suhu tubuh, emosi, nyeri dan jenis penyakit yang sedang dialami pasien.
1

Obat-obat yang sering digunakan dalam premedikasi adalah obat


antikolinergik, obat sedatif (penenang) dan obat analgetik narkotik (penghilang
nyeri). Karena khasiat obat premedikasi yang berlainan tersebut, dan praktek
sehari-hari dipakai kombinasi beberapa obat untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan.
Pemberian obat antikolinergik bertujuan untuk mengurangi sekresi
(pengeluaran) kelenjar seperti saliva (air ludah), kelenjar saluran cerna, kelenjar
saluran napas, mencegah turunnya nadi, mengurangi pergerakan usus, mencegah
spasme (kaku) pada laring dan bronkus. Obat yang sering digunakan adalah sulfas
atropine yang bisa diberikan intramuscular maupun intravena.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1

Pengertian Atropine
2

Atropine adalah antagonis reseptor kolinergik. Atropine merupakan agen


preanestesi yang digolongkan sebagai antikolinergik atau parasimpatolitik.
Atropine sulfat berbentuk kristal putih, tidak berwarna dan tidak berbau. Atropine
(alkaloid belladonna), memiliki afinitas kuat terhadap reseptor muskarinik,
dimana obat ini terikat secara kompetitif, sehingga mencegah asetilkolin terikat
pada tempatnya di reseptor muskarinik. Atropine menyekat reseptor muskarinik
baik di sentral maupun di saraf tepi. Kerja obat ini secara umum berlangsung
sekitar 4 jam kecuali bila diteteskan ke dalam mata, maka kerjanya bahkan sampai
berhari-hari.
2.2
a.

Kerja Atropine
Mata
Atropine menyekat semua aktifitas kolinergik pada mata, sehingga
menimbulkan midriasis (dilatasi pupil), mata menjadi tidak bereaksi
terhadap cahaya dan sikloplegia (ketidakmampuan memfokus untuk
penglihatan dekat). Pada pasien dengan glaucoma, tekanan intraocular
akan meninggi secara membahayakan.

b. Gastrointestinal (GI)
Atropine digunakan sebagai obat anti spasmodic untuk mengurangi
aktivitas saluran cerna. Atropine mungkin merupakan obat terkuat sebagai
penghambat saluran cerna. Walaupun motilitas (gerakan usus) dikurangi,
tetapi produksi asam hidroklorat tidak jelas dipengaruhi. Oleh karena itu,
obat ini tidak efektif untuk mempercepat penyembuhan ulkus peptikum.
c.

System kemih
3

Atropine digunakan pula untuk mengurangi keadaan hipermotilitas


kandung kemih. Obat ini kadang-kadang masih dipakai untuk kasus
enuresis (buang air seni tanpa disadari) diantara anak-anak, tetapi obat
agonis adrenergic alfa mungkin jauh lebih efektif dengan efek samping
yang sedikit.
d. Kardiovaskular
Atropine menimbulkan efek divergen pada system kardiovaskular,
tergantung pada dosisnya. Pada dosis rendah, efek yang menonjol adalah
penurunan denyut jantung (bradikardia). Pangkalnya mungkin disebabkan
oleh aktivasi sentral dari keluaran eferen vagal. Pada dosis tinggi, reseptor
jantung pada nodus SA disekat, dan denyut jantung sedikit bertambah
(takikardia). Dosis sampai timbul efek ini sedikitnya 1 mg atropine, yang
berarti sudah termasuk dosis tinggi dari pemberian biasanya. Tekanan
darah arterial tidak dipengaruhi tetapi pada tingkat toksik, atropine akan
mendilatasi pembuluh darah di kulit.
e.

Sekresi
Atropine menyekat kelenjar saliva sehingga timbul efek pengeringan pada
lapisan mukosa mulut (serostomia). Kelenjuar saliva sangat peka terhadap
atropine. Kelenjar keringat dan kelenjar air mata terganggu pula.
Hambatan sekresi pada kelenjar keringat menyebabkan suhu tubuh
meninggi.

2.3

Penggunaan terapi
a. Oftalmik
4

Pada mata, salep mata atropine menyebabkan efek midriatik dan


sikloplegik dan memungkinkan untuk pengukuran kelainan refraksi tanpa
gangguan

oleh

kapasitas

akomodatif

mata.

Atropine

mungkin

menimbulkan suatu serangan pada individu yang menderita glaucoma


sudut sempit.
b. Obat anti spasmodic
Atropine digunakan sebagai obat antispasmodic untuk melemaskan saluran
cerna dan kandung kemih.
c. Antidotum untuk agonis kolinergik
Atropine digunakan untuk mengobati kelebihan dosis organofosfat (yang
mengandung insektisida tertentu) dan beberapa jenis keracunan jamur
(jamur tertentu yang mengandung substansi kolinergik). Kemampuan obat
ini masuk ke dalam SSP sangat penting sekali. Atropine menyekat efek
asetilkoline

yang

berlebihan

akibat

dari

hambatan

terhadap

asetilkolinesterase oleh obat-obatan seperti fisostigmin.


d. Obat antisekretori
Suatu obat kadang diperlukan sebagai antisekretori guna menghentikan
sekresi pada saluran napas atas dan bawah sebelum dilakukan suatu
operasi.
2.4

Indikasi
Pengobatan simptomatik gangguan saluran cerna yang ditandai dengan

spasme otot polos, midriasis dan sikloplegia, serta premedikasi. Spasme atau

kejang pada kandung empedu, kandung kemih dan usus, serta keracunan fosfor
organic.
Medikasi preanestetik, atropine berguna untuk mengurangi sekresi lendir
jalan napas pada anestesi, terutama pada anestesi inhalasi dengan gas-gas yang
merangsang. Atropine kadang-kadang berguna untuk menghambat nervus vagus
pada bradikardia atau sinkope akibat refleks sinus karotis yang disertai dengan
hiperaktivitas vagus dapat diperbaiki dengan atropine.
Terhadap otot polos, efek relaksasi uterus oleh atropine tidak dapat
diandalkan dan zat ini hampir tidak berguna untuk nyeri haid. Efektivitasnya
terhadap kolik ginjal atau saluran empedu juga tidak dapat dikatakan konsisten
dan untuk ini perlu dikombinasi dengan petidin atau analgesic lain.
Atropine berguna untuk mengantagonis gejala parasimpatomimetik yang
menyertai pengobatan kolinergik pada miastenia gravis. Obat ini tidak
mengganggu efek kolinergik terhadap otot rangka.
2.5

Kontra Indikasi
Glaucoma sudut tertutup, obstruksi atau sumbatan saluran pencernaan dan

saluran kemih, atoni (tidak adanya ketegangan atau kekuatan otot), saluran
pencernaan, ileus paralitikum, asma, miastenia gravis, colitis ulserativa, hernia
hiatal, penyakit hati dan ginjal yang serius.

2.6

Efek Samping

Berisiko menyebabkan panas tinggi, gunakan dengan hati-hati pada pasien


terutama anak-anak. Saat temperature sekitarnya tinggi. Usia lanjut dan pada
kondisi pasien dengan penyakit sumbatan paru kronis yang takikardia.
Peningkatan tekanan intraocular, sikloplegia (kelumpuhan iris mata), midriasis,
mulut kering, pandangan kabur, kemerahan pada wajah dan leher, retensi urin,
takikardia, dada berdebar, konstipasi atau sukar buang air besar, peningkatan suhu
tubuh, peningkatan rangsang susunan SSP, ruam kulit, muntah, fotofobia
(kepekaan abnormal terhadap cahaya).
2.7

Interaksi Obat
a. Aktivitas antikolinergik bisa meningkat oleh parasimpatolitikum lain.
b. Guanetidin,

histamine,

dan

reserpin

dapat

mengantagonis

efek

penghambatan antikolinergik pada sekresi asam lambung.


c. Antasida bisa mengganggu penyerapan atropine.
2.8

Farmokodinamik
Hambatan oleh atropine bersifat reversible dan dapat diatasi dengan

pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase.


Atropine memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh
lebih kuat terhadap yang eksogen.
a. Susunan saraf pusat
Atropine merangsang medulla oblongata dan pusat lain di otak. Dalam
dosis 0,5 mg (untuk orang Indonesia mungkin 0,3 mg) atropine
merangsang nervus vagus dan frekuensi jantung berkurang. Efek
penghambatan sentral pada dosis ini belum terlihat. Depresi yang timbul
7

khusus di beberapa pusat motorik dalam otak, dapat menghilangkan


tremor yang terlihat pada parkinsonisme. Perangsangan respirasi terjadi
sebagai akibat dilatasi bronkus, tetapi dalam hal depresi respirasi oleh
sebab tertentu, atropine tidak berguna merangsang respirasi. Bahkan pada
dosis yang besar sekali, atropine menyebabkan depresi napas, eksitasi,
disorientasi, delirium, halusinasi, dan perangsangan lebih jelas dipusatpusat lebih tinggi. Lebih lanjut terjadi depresi dan paralisis medulla
oblongata.
b. Mata
Alkaloid belladonna menghambat musculus constrictor pupilae dan
musculus ciliaris lensa mata, sehingga menyebabkan midriasis dan
sikloplegia (paralisis mekanisme akomodasi). Midriasis menyebabkan
fotofobia, sedangkan sikloplegia menyebabkan hilangnya daya melihat
jarak dekat. Sesudah pemberian 0,6 mg atropine pada mulanya terlihat
efek terhadap kelenjar eksokrin, terutama hambatan salivasi, serta
bradikardia sebagai hasil perangsangan nervus vagus, midriasis baru
terlihat dengan dosis yang lebih tinggi (> 1 mg). Mula timbulnya midriasis
tergantung dari besarnya dosis, dan hilangnya lebih lambat daripada
hilangnya efek terhadap kelenjar liur. Pemberian local pada mata
menyebabkan perubahan yang lebih cepat dan berlangsung lama sekali (712 hari). Hal ini disebabkan atropine sukar dieliminasi dari cairan bola
mata. Midriasis oleh alkaloid belladonna dapat diatasi oleh pilokarpin,
eserin, atau DFP. Tekanan intraocular pada mata yang normal tidak banyak

mengalami perubahan. Tetapi pada penderita glaucoma, pengeluaran dari


cairan intraocular akan terhambat, terutama pada glaucoma sudut sempit,
sehingga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraocular. Hal ini
disebabkan karena dalam keadaan midriasis muara saluran Schlemm yang
terletak di sudut bilik depan mata menyempit, sehingga terjadi bendungan
cairan bola mata.
c. Saluran napas
Alkaloid belladonna mengurangi secret hidung, mulut, faring dan bronkus.
Pemakaiannya adalah pada medikasi preanestetik untuk mengurangi
sekresi lendir pada jalan napas. Sebagai bronkodilator, atropine tidak
berguna dan jauh lebih lemah daripada epinefrin atau aminoflin.
Ipratropium bromide merupakan antimuskarinik yang memperlihatkan
bronkodilatasi berarti secara khusus.
d. System kardiovaskular
Pengaruh atropine terhadap jantung bersifat bifasik. Dengan dosis 0,25-0,5
mg yang biasa digunakan, frekuensi jantung berkurang, mungkin
disebabkan karena perangsangan nucleus nervus vagus. Bradikardia
biasanya tidak nyata dan tidak disertai perubahan tekanan darah atau curah
jantung. Pada dosis lebih dari 2 mg, yang biasanya hanya digunakan pada
keracunan insektisida organofosfat, terjadi hambatan nervus vagus dan
timbul suatu takikardia. Atropine dalam hal ini lebih efektif daripada
skopolamin. Obat ini juga dapat ,menghambat bradikardia yang
ditimbulkan oleh obat kolinergik. Atropine tidak mempengaruhi pembuluh

darah maupun tekanan darah secara langsung, tetapi menghambat


vasodilatasi oleh asetilkolin atau ester kolin yang lain. Atropine tidak
berefek terhadap sirkulasi darah bila diberikan sendiri, karena pembuluh
darah hampir tidak dipersarafi parasimpatik. Dilatasi kapiler pada bagian
muka dan leher terjadi pada dosis yang toksik dan besar. Kelainan ini
mungkin

dapat

dikacaukan

dengan penyakit

yang

menyebabkan

kemerahan kulit di daerah tersebut. Vasodilatasi ini disertai dengan


naiknya suhu kulit, hipotensi ortostatik kadang-kadang dapat terjadi
setelah pemberian dosis 2 mg.
e. Saluran cerna
Karena bersifat menghambat peristaltic lambung dan usus, atropine juga
disebut obat antispasmodic. Penghambatan terhadap asetilkolin eksogen
(ester kolin) terjadi lengkap, tetapi terhadap asetilkolin endogen hanya
terjadi parsial. Atropine menyebabkan berkurangnya sekresi liur dan
sebagian juga sekresi lambung. Pada tukak peptic, atropine sedikit saja
mengurangi sekresi HCl., karena sekresi asam ini lebih dibawah control
fase gaster daripada oleh nervus vagus. Gejala-gejala ulkus peptikum
setelah pemberian atropine terutama dikurangi oleh hambatan motilitas
lambung, ini memerlukan dosis yang selalu disertai dengan keringnya
mulut. Tetapi sekali terjadi blockade, maka blockade akan tertahan untuk
waktu yang agak lama. Atropine hampir tidak mengurangi sekresi cairan
pancreas, empedu dan cairan usus, yang lebih banyak dikontrol oleh factor
hormonal. Antimuskarinik yang lebih selektif adalah pirenzepin yang

10

afinitasnya lebih jelas pada reseptor M1, konstante disosiasi pirenzepin


pada M1, kira-kira 5 kali konstante disosiasi pada M2. Pirenzepin bekerja
lebih selektif menghambat sekresi asam lambung dan pepsin pada dosis
yang kurang mempengaruhi organ lain. Sekresi asam lambung pada
malam hari dapat diturunkan sampai 44%. Dengan dosis 100 mg sehari,
sekresi saliva dan motilitas kolon berkurang. Pengosongan lambung dan
faal pancreas tidak dipengaruhi obat ini.
f. Otot polos lain
Saluran kemih dipengaruhi oleh atropine dalam dosis agak besar (kira-kira
1 mg). pada piolegram akan terlihat dilatasi kaliks, pelvis, ureter dan
kandung kemih. Hal ini dapat mengakibatkan retensi urin. Retensi urin
disebabkan relaksasi musculus destrusor konstriksi sfingter uretra. Bila
ringan akan berupa kesulitan miksi yaitu penderita harus mengejan
sewaktu miksi. Efek antispasmodic pada saluran empedu, tidak cukup kuat
untuk menghilangkan kolik yang disebabkan oleh batu dalam saluran
empedu. Pada uterus yang inervasi otonomnya berbeda dari otot polos
lainnya, tidak terlihat relaksasi, sehingga atropine hampir tidak bermanfaat
untuk pengobatan nyeri haid.
g. Kelenjar eksokrin
Kelenjar eksokrin yang paling jelas dipengaruhi oleh atropine adalah
kelenjar liur dalam mulut serta bronkus. Untuk menghambat aktivitas
kelenjar keringat diperlukan dosis yang lebih besar, kulit menjadi kering,
panas dan merah terutama di bagian muka dan leher. Hal ini menjadi lebih

11

jelas lagi pada keracunan yaitu seluruh suhu badan meningkat. Efek
terhadap kelenjar air mata dan air susu tidak jelas.
2.9

Farmakokinetik
Alkaloid belladonna mudah diserap dari semua tempat, kecuali kulit.

Pemberian atropine sebagai obat tetes mata, terutama pada anak dapat
menyebabkan absorbsi dalam jumlah yang cukup besar lewat mukosa nasal,
sehingga menimbulkan efek sistemik dan bahkan keracunan. Untuk mencegah hal
ini perlu dilakukan penekanan kantus internus mata setelah penetesan obat agar
larutan atropine tidak masuk ke rongga hidung, terserap dan menyebabkan efek
sistemik. Dari sirkulasi darah, atropine cepat memasuki jaringan dan kebanyakan
mengalami hidrolisis enzimatik oleh hepar. Sebagian diekskresikan melalui ginjal.
Atropine mudah diserap, sebagian dimetabolisme di dalam hepar dan dibuang dari
tubuh terutama melalui air seni. Masa paruhnya sekitar 4 jam.
2.10

Dosis
Dosis atropine umumnya berkisar antara 1/4 sampai 1 mg. untuk

keracunan antikolinesterase digunakan dosis 2 mg/kali. Dosis untuk mengatasi


keracunan kolinergik pada anak adalah 0,04 mg/kgBB per kali.

BAB 3
12

KESIMPULAN
Atropine adalah antagonis reseptor kolinergik. Atropine merupakan agen
preanestesi yang digolongkan sebagai antikolinergik atau parasimpatolitik.
Atropine sebagai prototype antimuskarinik mempunyai kerja menghambat efek
asetilkolin pada saraf postganglionic kolinergik dan otot polos. Hambatan ini
bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah
berlebihan atau pemberian antikolinesterase.
Mekanisme kerja atropine memblok aksi kolinomimetik pada reseptor
muskarinik secara reversible (tergantung jumlahnya) yaitu hambatan oleh atropine
dalam dosis kecil dapat diatasi oleh asetilkolin atau agonis muskarinik yang setara
dalam dosis besar. Hal ini menunjukkan adanya kompetisi untuk memperebutkan
tempat ikatan. Hasil ikatan pada reseptor muskarinik adalah mencegah aksi seperti
hambatan adenili siklase yang diakibatkan oleh asetilkolin atau antagonis
muskarinik lainnya.
Atropine dapat menimbulkan beberapa efek, misalnya pada susunan saraf
pusat, merangsang medulla oblongata dan pusat lain di otak., menghilangkan
tremor, perangsang respirasi akibat dilatasi bronkus. Pada dosis yang besar dapat
menyebabkan depresi napas, eksitasi, halusinasi dan lebih lanjut dapat
menimbulkan depresi dan paralisa medulla oblongata. Efek atropine pada mata
menyebabkan midriasis dan sikloplegia. Pada saluran napas, atropine dapat
mengurangi sekresi hidung, mulut dan bronkus. Efek atropine pada system
kardiovaskular (jantung) bersifat bifasik yaitu atropine tidak mempengaruhi
pembuluh darah maupun tekanan darah secara langsung dan menghambat

13

vasodilatasi oleh asetilkolin. Pada saluran pencernaan, atropine sebagai


antispasmodic yaitu menghambat peristaltic usus dan lambung, sedangkan pada
otot polos atropine mendilatasi pada saluran kemih sehingga menyebabkan retensi
urin.

14

Vous aimerez peut-être aussi