Vous êtes sur la page 1sur 16

BAB 2

TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Anatomi Kulit
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan organ terbesar
tubuh manusia. Luas kulit orang dewasa 1.5 meter persegi. Kulit merupakan
organ yang vital dan bervariasi mengikut keadaan iklim, umur, seks, ras dan juga
bergantung lokasi tubuh. Warna kulit ad
a bermacam-macam, dari kulit yang
terang (
fairskin
), pirang dan hitam, warna mera
h muda pada telapak kaki dan
tangan bayi, serta warna hitam kecoklatan
pada genitalia orang dewasa. Demikian
pula kulit bervariasi mengenai lembut, ti
pis dan tebalnya; kulit yang elastik dan
longgar terdapat pada palpebra, bibir,
dan preputium. Kulit yang tebal dan tegang
terdapat di telapak kaki dan tangan dewasa. Kulit yang tipis terdapat pada muka,
yang lembut pada leher dan badan, yang
berambut kasar terdapat pada kepala
(Wasitaatmadja, 2007).
Kulit terbagi menjadi tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis, lapisan
dermis dan lapisan subkutis.
2.1.1. Epidermis
Lapisan epidermis terdiri atas:
1.
stratum korneum
2.
stratum lusidum
3.
stratum granulosum
4.
stratum spinosum
5.
stratum basale (Wasitaatmadja, 2007)
Stratum korneum adalah lapisan kulit
yang paling luar dan terdiri atas
beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati,
tidak berinti, dan protoplasma telah
berubah menjadi keratin. Stratum lusidum
terdapat langsung di bawah lapisan
korneum, merupakan lapisan
sel-sel gepeng tanpa inti
dengan protoplasma yang erubah menjadi protein yang disebut eleidi

n. Lapisan tersebut
tampak lebih jelas
di telapak tangan dan kaki.
Stratum granulosum merupakan dua atau tiga lapis selsel gepenag dengan sitoplasma berbutir
kasar dan terdapat inti di antaranya.
Stratum spinosum terdiri atas beberapa
lapis sel yang berbentuk poligonal yang
besarnya berbeda-beda karena adanya pros
es mitosis. Stratum basale terdiri atas
sel-sel berbentuk kubus yang tersusun vert
ikal. Lapisan ini merupakan lapisan
epidermis yang paling bawah. Selain itu, sel ini membentuk melanin yang
mengandung butir pigmen (
melanosomes
)(Wasitaatmadja, 2007).
2.1.2. Lapisan Dermis
Lapisan dermis adalah
lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal
daripada epidermis. Lapisan ini terdiri
atas lapisan elastik dan fibrosa padat
dengan elemen-elemen selular dan folikel
rambut. Secara garis besar lapisan
dermis dibagi menjadi dua bagian yakni:
1.
pars papilare
2.
pars retikulare
Pars papilare merupakan bagian ya
ng menonjol ke epidermis, berisi
serabut saraf dan pembuluh darah. Pars
retikulare merupakan bagian dibawahnya
yang menonjol ke arah subkutan. Bagian in
i terdiri atas serabut-serabut penunjang
misalnya serabut kolagen, elastin,
dan retikulin (Wasitaatmadja, 2007).
2.1.3. Lapisan subkutis
Lapisan subkutis adalah lanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat berisi
sel-sel lemak di dalamnya. Lapisan selsel lemak ini disebut panikulus adiposa,
berfungsi sebagai cadangan ma
kanan (Wasitaatmadja, 2007).
(gambar)
Gambar 1. Anatomi kulit.

2.2. Faal Kulit


Fungsi utama kulit ialah proteksi, abso
rpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan
suhu tubuh (termoregulasi), pembentukan
pigmen, pembentukan vitamin D dan
keratinisasi (Wasitaatmadja, 2007). Kulit
memproteksi tubuh dari gangguan fisis
atau mekanis, misalnya tekanan, geseka
n dan tarikan. Kulit juga memproteksi
tubuh dari invasi patogen
yang bisa masuk ke dalam
tubuh. Selain itu, kulit juga
tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat.
Kulit mengekskresi zat-zat yang tidak berguna atau sisa metabolisme
dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam ur
at, dan ammonia. Kulit juga melakukan
proses berkeringat untuk mengurangkan
dan meregulasikan suhu tubuh. Kulit
mengandung saraf sensorik di dermis da
n subkutis yang bisa mendeteksi tekanan,
nyeri, dan suhu. Melanosit membentuk pigmen
melanin
yang menentukan warna
kulit individu. Kulit juga membent
uk vitamin D untuk kebutuhan tubuh tapi
dalam jumlah yang sedikit (Sherwood, 2010).

PENDAHULUAN
Impetigo adalah penyakit kulit superfisial yang disebabkan infeksi piogenik
oleh bakteri Gram positif. Impetigo lebih sering terjadi pada usia anak-anak walaupun
pada orang dewasa dapat terjadi. Penularan impetigo tergolong tinggi, terutama
melalui kontak langsung. Individu yang terinfeksi dapat menginfeksi dirinya sendiri
atau orang lain setelah menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat di
sekolah, tempat penitipan anak atau pada tempat dengan hygiene buruk atau juga
tempat tinggal yang padat penduduk
1,2,3
Impetigo krustosa merupakan jenis infeksi piogenik yang paling banyak
ditemukan di dunia (70% dari kasus impetigo).
2,3,4
Impetigo krustosa harus diobati
secara cepat dan tepat karena dapat menyebabkan beberapa komplikasi terutama
glomerulonefritis akut.
5
Terapi antibiotik topikal merupakan pilihan pertama impetigo
terutama bila lesi yang terbatas, tanpa gejala sistemik atau komplikasi sementara
terapi sistemik dipertimbangkan bila diperlukan.
1,5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Impetigo krustosa merupakan penyakit infeksi piogenik kulit superfisial
yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus group A betahemolitikus (GABHS), atau kombinasi keduanya dan digambarkan dengan perubahan
vesikel berdinding tipis, diskret, menjadi pustul dan ruptur serta mengering
membentuk krusta Honey-colored. dengan tepi yang mudah dilepaskan.
1,5
Pada negara maju, impetigo krustosa banyak disebabkan oleh
Staphylococcus aureus dan sedikit oleh Streptococcus group A beta-hemolitikus
(Streptococcus pyogenes).
Banyak penelitian yang menemukan 50-60% kasus
impetigo krustosa penyebabnya adalah Staphylococcus aureus dan 20-45% kasus
merupakan kombinasi Staphylococcus aureus dengan Streptococcus pyogenes.
Namun di negara berkembang, yang menjadi penyebab utama impetigo krustosa
adalah Streptococcus pyogenes.
4,5,6
Staphylococcus aureus banyak terdapat pada
faring, hidung, aksila dan perineal merupakan tempat berkembangnya penyakit
impetigo krustosa
2
2.2 EPIDEMIOLOGI
Terjadinya penyakit impetigo krustosa di seluruh dunia tergolong relatif
sering. Penyakit ini banyak terjadi pada anak - anak kisaran usia 2-5 tahun dengan

rasio yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika, impetigo merupakan
10% dari penyakit kulit anak yang menjadi penyakit infeksi kulit bakteri utama dan
2
penyakit kulit peringkat tiga terbesar pada anak. Di Inggris kejadian impetigo pada
anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15
tahun
3
.
1,3,4,6
Impetigo krustosa banyak terjadi pada musim panas dan daerah lembab,
seperti Amerika Selatan yang merupakan daerah endemik dan predominan, dengan
puncak insiden di akhir musim panas. Anak-anak prasekolah dan sekolah paling
sering terinfeksi. Pada usia dewasa, laki-laki lebih banyak dibanding perempuan.
2
Disamping itu, ada beberapa faktor yang dapat mendukung terjadinya impetigo
krustosa seperti:
- hunian padat
- higiene buruk
- hewan peliharaan
- keadaan yang mengganggu integritas epidermis kulit seperti gigitan
serangga, herpes simpleks, varisela, abrasi, atau luka bakar.
1,4,5
2.3 PATOGENESIS
Gambar 1. Struktur Stretoccocus Pyogenes dan substansinya
3
Impetigo krustosa dimulai ketika trauma kecil terjadi pada kulit normal
sebagai portal of entry yang terpapar oleh kuman melalui kontak langsung dengan
pasien atau dengan seseorang yang menjadi carrier. Kuman tersebut berkembang
biak dikulit dan akan menyebabkan terbentuknya lesi dalam satu sampai dua
minggu.
6
Cara infeksi pada impetigo krustosa ada 2, yaitu infeksi primer dan infeksi
sekunder.
Infeksi Primer
Infeksi primer, biasanya terjadi pada anak-anak. Awalnya, kuman menyebar
dari hidung ke kulit normal (kira-kira 11 hari), kemudian berkembang menjadi
lesi pada kulit. Lesi biasanya timbul di atas kulit wajah (terutama sekitar
lubang hidung) atau ekstremitas setelah trauma.
4
Infeksi sekunder
Infeksi sekunder terjadi bila telah ada penyakit kulit lain sebelumnya
(impetiginisasi) seperti dermatitis atopik, dermatitis statis, psoariasis vulgaris,
SLE kronik, pioderma gangrenosum, herpes simpleks, varisela, herpes zoster,
pedikulosis, skabies, infeksi jamur dermatofita, gigitan serangga, luka lecet,

luka goresan, dan luka bakar, dapat terjadi pada semua umur
2,7
.
Impetigo krustosa biasanya terjadi akibat trauma superfisialis dan robekan
pada epidermis, akibatnya kulit yang mengalami trauma tersebut menghasilkan suatu
protein yang mengakibatkan bakteri dapat melekat dan membentuk suatu infeksi
impetigo krustosa
2
. Keluhan biasanya gatal dan nyeri
4
Impetigo krustosa sangat menular, berkembang dengan cepat melalui kontak
langsung dari orang ke orang. Impetigo banyak terjadi pada musim panas dan cuaca
yang lembab. Pada anak-anak sumber infeksinya yaitu binatang peliharaan, kuku
tangan yang kotor, anak-anak lainnya di sekolah, daerah rumah kumuh, sedangkan
4
pada dewasa sumbernya yaitu tukang cukur, salon kecantikan, kolam renang, dan dari
anak-anak yang telah terinfeksi
5
.
2.4 HISTOPATOLOGI
Terjadinya inflamasi superfisialis pada folikel pilosebaseus bagian atas.
Terdapat vesikopustul di subkorneum yang berisi coccus serta debris berupa leukosit
dan sel epidermis. Pada dermis terjadi inflamasi ringan yang ditandai dengan dilatasi
pembuluh darah, edema, dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.
5
Seringkali terjadi
spongiosis yang mendasari pustula. Pada lesi terdapat kokus Gram positif.
2
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Impetigo krustosa dapat terjadi di mana saja pada tubuh, tetapi biasanya pada
bagian tubuh yang sering terpapar dari luar misalnya wajah, leher, dan ekstremitas.
Impetigo Krustosa diawali dengan munculnya eritema berukuran kurang lebih 2 mm
yang dengan cepat membentuk vesikel, bula atau pustul berdinding tipis. Kemudian
vesikel, bula atau pustul tersebut ruptur menjadi erosi kemudian eksudat seropurulen
mengering dan menjadi krusta yang berwarna kuning keemasan (honey-colored) dan
dapat meluas lebih dari 2 cm. Lesi biasanya berkelompok dan sering konfluen meluas
secara irreguler. Pada kulit dengan banyak pigmen, lesi dapat disertai hipopigmentasi
atau hiperpigmentasi. Krusta pada akhirnya mengering dan lepas dari dasar yang
eritema tanpa pembentukan jaringan scar.
1,4,5,8
Lesi dapat membesar dan meluas mengenai lokasi baru dalam waktu beberapa
minggu apabila tidak diobati. Pada beberapa orang lesi dapat remisi spontan dalam 23 minggu atau lebih lama terutama bila terdapat penyakit akibat parasit atau pada
iklim panas dan lembab, namun lesi juga dapat meluas ke dermis membentuk ulkus
(ektima).
1,4

5
Kelenjar limfe regional dapat mengalami pembesaran pada 90% pasien tanpa
pengobatan (terutama pada infeksi Streptococcus) dan dapat disertai demam.
Membran mukosa jarang terlibat.
1,4,5
Gambar 2. impetigo krustosa di ekstremitas superior pada anak-anak
1
.
Gambar 3. impetigo krustosa di sekitar lubang hidung dan mulut pada anak- anak
4
.
2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis impetigo krustosa ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik dengan mengidentifikasi tanda dan gejala yang ada dan dapat dibantu dengan
pemeriksaan penunjang seperti pewarnaan Gram, biakan kuman, dan tes serologi
serta histopatologi.
2,8
Pada pulasan gram, ditemukan coccus Gram positif yang lebih terlihat bila
pemeriksaan dilakukan saat lesi masih berupa vesikel. Biasanya diperlukan
pemeriksaan biakan kuman dan sensitivitas bila terapi tidak menghasilkan respon
baik yang menunjukkan sudah terjadi resistensi kuman. Pada pemeriksaan serologi
6
didapatkan ASO titer positif lemah pada pioderma streptococcus. Leukositosis
ditemukan pada sebagian penderita impetigo krustosa.
2,8
2.7 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding Impetigo krustosa terdiri dari:
a. Dermatitis Atopik
Terdapat riwayat atopik seperti asma, rhinitis alergika. Lesi pruritus kronik
dan kulit kering abnormal dapat disertai likenifikasi.
3,9
b. Dermatitis Kontak
Gatal pada daerah sensitif yang kontak dengan bahan iritan.
3
c. Herpes Simpleks
Vesikel dengan dasar eritema yang ruptur menjadi erosi ditutupi krusta.
Umumnya terdapat demam, malaise, disertai limfadenopati.
3,9
d. Varisela
Terdapat gejala prodomal seperti demam, malaise, anoreksia. Vesikel dinding
tipis dengan dasar eritema (bermula di trunkus dan menyebar ke wajah dan
ekstremitas) yang kemudian ruptur membentuk krusta (lesi berbagai
stadium).
3
e. Kandidiasis
Kandidiasis (infeksi jamur candida): papul eritem, basah, umumnya di daerah

selaput lendir atau daerah lipatan.


3
f. Diskoid lupus eritematous
Ditemukan (plak), batas tegas yang mengenai sampai folikel rambut.
3
g. Ektima
Lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus yang menetap selama beberapa
minggu dan sembuh dengan jaringan parut bila menginfeksi dermis.
3
h. Gigitan serangga
7
Terdapat papul pada daerah gigitan, dapat nyeri.
3
i. Skabies
Papul yang kecil dan menyebar, terdapat terowongan pada sela-sela jari, gatal
pada malam hari.
3
2.8 KOMPLIKASI
1. Ektima
Impetigo yang tidak diobati dapat meluas lebih dalam dan penetrasi ke
epidermis menjadi ektima. Ektima merupakan pioderma pada jaringan kutan
yang ditandai dengan adanya ulkus dan krusta tebal.
4,5
2. Selulitis dan Erisepelas
Impetigo krustosa dapat menjadi infeksi invasif menyebabkan terjadinya
selulitis dan erisepelas, meskipun jarang terjadi. Selulitis merupakan
peradangan akut kulit yang mengenai jaringan subkutan (jaringan ikat
longgar) yang ditandai dengan eritema setempat, ketegangan kulit disertai
malaise, menggigil dan demam. Sedangkan erisepelas merupakan peradangan
kulit yang melibatkan pembuluh limfe superfisial ditandai dengan eritema dan
tepi meninggi, panas, bengkak, dan biasanya disertai gejala prodromal.
1,4,5
3. Glomerulonefritis Post Streptococcal
Komplikasi utama dan serius dari impetigo krustosa yang umumnya
disebabkan oleh Streptococcus group A beta-hemolitikus ini yaitu
glomerulonefritis akut (2%-5%). Penyakit ini lebih sering terjadi pada anakanak usia kurang dari 6 tahun. Tidak ada bukti yang menyatakan
glomerulonefritis terjadi pada impetigo yang disebabkan oleh Staphylococcus.
Insiden glomerulonefritis (GNA) berbeda pada setiap individu, tergantung
dari strain potensial yang menginfeksi nefritogenik. Faktor yang berperan
penting atas terjadinya GNAPS yaitu serotipe Streptococcus strain 49, 55,
8
57,dan 60 serta strain M-tipe 2. Periode laten berkembangnya nefritis setelah
pioderma streptococcal sekitar 18-21 hari. Kriteria diagnosis GNAPS ini
terdiri dari hematuria makroskopik atau mikroskopik, edema yang diawali
dari regio wajah, dan hipertensi.

1,5
4. Rheumatic Fever.
1
Sebuah kelainan inflamasi yang dapat terjadi karena komplikasi infeksi
streptokokus yang tidak diobati strep throat atau scarlet fever. Kondisi
tersebut dapat mempengaruhi otak, kulit, jantung,dan sendi tulang.
5. Pneumonia.
Pneumonia merupakan penyakit ynag banyak ditemui setiap tahun. Penyakit
ini biasa terjadi pada perokok dan seseorang yang menggunakan obat yang
menekan sistem imunitas.
6. Infeksi Methicilin- resistant staphylococcus aureus (MRSA).
MRSA adalah sebuah strain bakteri stafilokokus yang resisten terhadap
sejumlah antibiotik. MRSA dapat menyebabkan infeksi serius pada kulit yang
sangat sulit diobati. Infeksi kulit dapat dimulai dengan sebuah eritem, papul,
atau abses yang mengeluarkan pus. MRSA juga dapat menyebabkan
pneumonia dan bakterimia.
7. Osteomielitis
Sebuah inflamasi pada tulang disebabkan bakteri. Inflamasi biasanya berasal
dari bagian tubuh yang lain yang berpindah ke tulang melalui darah.
8. Meningitis
Sebuah inflamasi pada membran dan cairan serebrospinal yang melingkupi
otak dan medula spinalis. Meningitis merupakan sebuah penyakit serius yang
dapat mempengaruhi kehidupan dan menghasilkan komplikasi permanen
seperti koma, syok, dan kematian.
2.9 PENATALAKSANAAN
9
A. Umum
Menjaga kebersihan agar tetap sehat dan terhindar dari infeksi kulit.
9
Menindaklanjuti luka akibat gigitan serangga dengan mencuci area
kulit yang terkena untuk mencegah infeksi.
9
Mengurangi kontak dekat dengan penderita
9
Bila diantara anggota keluarga ada yang mengalami impetigo
diharapkan dapat melakukan beberapa tindakan pencegahan berupa:
9
- Mencuci bersih area lesi (membersihkan krusta) dengan sabun dan air
mengalir serta membalut lesi.
- Mencuci pakaian, kain, atau handuk penderita setiap hari dan tidak
menggunakan peralatan harian bersama-sama.
- Menggunakan sarung tangan ketika mengolesi obat topikal dan setelah
itu mencuci tangan sampai bersih.
- Memotong kuku untuk menghindari penggarukan yang memperberat
lesi.

- Memotivasi penderita untuk sering mencuci tangan.


B. Khusus
Pada prinsipnya, pengobatan impetigo krustosa bertujuan untuk memberikan
kenyamanan dan perbaikan pada lesi serta mencegah penularan infeksi dan
kekambuhan.
3
1. Terapi Sistemik
Pemberian antibiotik sistemik pada impetigo diindikasikan bila terdapat
lesi yang luas atau berat, limfadenopati, atau gejala sistemik.
1
a. Pilihan Pertama (Golongan Lactam)
Golongan Penicilin (bakterisid)
o Amoksisilin+ Asam klavulanat
Dosis 2x 250-500 mg/hari (25 mg/kgBB) selama 10 hari.
3
10
Golongan Sefalosporin generasi-ke1 (bakterisid)
o Sefaleksin
Dosis 4x 250-500 mg/hari (40-50 mg/kgBB/hari) selama 10
hari.
3
o Kloksasilin
Dosis 4x 250-500 mg/hari selama 10 hari.
3
b. Pilihan Kedua
Golongan Makrolida (bakteriostatik)
o Eritromisin
Dosis 30-50mg/kgBB/hari.
4
o Azitromisin
Dosis 500 mg/hari untuk hari ke-1 dan dosis 250 mg/hari untuk
hari ke-2 sampai hari ke-4.
4
2.Terapi Topikal
Penderita diberikan antibiotik topikal bila lesi terbatas, terutama pada
wajah dan penderita sehat secara fisik. Pemberian obat topikal ini dapat
sebagai profilaksis terhadap penularan infeksi pada saat anak melakukan
aktivitas disekolah atau tempat lainnya. Antibiotik topikal diberikan 2-3
kali sehari selama 7-10 hari.
5,6
o Mupirocin
Mupirocin (pseudomonic acid) merupakan antibiotik yang berasal dari
Pseudomonas fluorescent .Mekanisme kerja mupirocin yaitu
menghambat sintesis protein (asam amino) dengan mengikat isoleusiltRNA sintetase sehingga menghambat aktivitas coccus Gram positif
seperti Staphylococcus dan sebagian besar Streptococcus. Salap

mupirocin 2% diindikasikan untuk pengobatan impetigo yang


disebabkan Staphylococcus dan Streptococcus pyogenes.
10
o Asam Fusidat
11
Asam Fusidat merupakan antibiotik yang berasal dari Fusidium
coccineum. Mekanisme kerja asam fusidat yaitu menghambat sintesis
protein. Salap atau krim asam fusidat 2% aktif melawan kuman gram
positif dan telah teruji sama efektif dengan mupirocin topikal.
11
o Bacitracin
Baciracin merupakan antibiotik polipeptida siklik yang berasal dari
Strain Bacillus Subtilis. Mekanisme kerja bacitracin yaitu menghambat
sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat defosforilasi ikatan
membran lipid pirofosfat sehingga aktif melawan coccus Gram positif
seperti Staphylococcus dan Streptococcus. Bacitracin topikal efektif
untuk pengobatan infeksi bakteri superfisial kulit seperti impetigo.
10
o Retapamulin
Retapamulin bekerja menghambat sintesis protein dengan berikatan
dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat dengan peptidil
transferase. Salap Retapamulin 1% telah diterima oleh Food and Drug
Administraion (FDA) pada tahun 2007 sebagai terapi impetigo pada
remaja dan anak-anak diatas 9 bulan dan telah menunjukkan
aktivitasnya melawan kuman yang resisten terhadap beberapa obat
seperti metisilin, eritromisin, asam fusidat, mupirosin, azitromisin.
6
2.10 PROGNOSIS
Pada beberapa individu, bila tidak ada penyakit lain sebelumnya impetigo
krustosa dapat membaik spontan dalam 2-3 minggu. Namun, bila tidak diobati
impetigo krustosa dapat bertahan dan menyebabkan lesi pada tempat baru serta
menyebabkan komplikasi berupa ektima, dan dapat menjadi erisepelas, selulitis, atau
bakteriemi.
4,7
Dapat pula terjadi Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) pada
bayi dan dewasa yang mengalami immunocompromised atau gangguan fungsi ginjal.
12
Bila terjadi komplikasi glomerulonefritis akut, prognosis anak- anak lebih baik
daripada dewasa.
5

BAB III
PENYAJIAN KASUS
I. ANAMNESIS

Identitas
Nama : An. SAS
Jenis Kelamin : perempuan
Usia : 2 tahun 10 bulan
Alamat : Jl. Kuala 2 A. Yani supadio Gg. Dirgantara No. D5
Agama : Islam
Pekerjaan : belum bekerja
Status : Anak
Aloanamnesis dilakukan pada tanggal 30 Oktober 2012 pukul 11.00 WIB
l.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Kulit RSUD Soedarso dibawa oleh kedua orang tuanya
dengan keluhan gatal - gatal pada tangan dan kaki. Keluhan dirasakan sejak 1
minggu 4 hari yang lalu, tepatnya sewaktu berada di kota pontianak. Pada
awalnya, pasien beserta keluarga intinya tinggal di daerah kabupaten provinsi dan
baru pindah sekitar 2 minggu yang lalu ke kota pontianak. Menurut sang ayah
Sekitar 1 minggu 4 hari yang lalu gatal mulai timbul dengan bentol kemerahan
terlokalisasi yang dipicu oleh gigitan nyamuk, yang digaruk oleh pasien sehingga
menjadi luka dan kadang berdarah. Dipontianak pasien tinggal di rumah dinas
ayahnya bersama ayah dan ibunya namun selalu dibawa kerumah kakek dari kedua
pihak setiap 2 hari sekali secara bergantian. Disana mereka menggunakan kelambu
setiap malam untuk menghindari nyamuk. Pasien pernah di olesi salep anti gatal
oleh kakeknya dan Karena tidak kunjung sembuh, akhirnya pasien dibawa ke RS
oleh orang tuanya untuk diperiksa di klinik kulit dan kelamin RSUD dr Soedarso.
Riwayat Penyakit Dahulu
Menurut orang tuanya Pasien belum pernah mengalami penyakit seperti ini
sebelumnya. Sekitar 2 bulan yang lalu Pernah menderita skabies sewaktu disintang
dan sembuh. Ayahnya menambahkan adanya riwayat alergi yang diturunkan dari
si Ayah.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama. Ada Riwayat
alergi pada keluarga dari ayah.
14
Riwayat Kebiasaan dan lingkungan
Pasien makan 3-4x sehari dengan pola hidup yang dinyatakan sehat oleh orang
tuanya. Biasanya pasien bermain dengan kakek dan neneknya yang sering disertai
oleh ibunya pula.
Resume Anamnesis
Pasien Batita 2 tahun 10 bulan, dibawa ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUD dr Soedarso dengan keluhan gatal gatal. Pada awalnya, 1 minggu 4 hari
yang lalu, pasien merasa gatal gatal pada bagian ekstremitas disertai dengan
timbulnya papul, namun lama-kelamaan papul menjadi eritema menyebar
keseluruh tubuhnya (ekstremitas terlokalisir). Papul eritema dirasakan pasien
dengan sensasi gatal. Pasien pernah diberikan salep anti gatal oleh kakeknya
namun tidak ada perubahan. Pasien pernah terkena skabies dan dinyatakan

sembuh oleh keluarganya. Pasien dinyatakan menderita alergi (dermatitis


atopika) yang diturunkan dari sang ayah. Dari status generalis tidak ditemukan
kelainan bermakna (dalam batas normal)
II. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : Nadi : 96 x/menit
Pernapasan : 32 x/menit
Suhu : Berat Badan : 15 kg.
Tinggi Badan : 15
III. PEMERIKSAAN DERMATOLOGI
16
UKK: Makula eritema miliar-vesikel miliar dengan krusta kuning kecoklatan berlapis-lapis
dan mudah diangkat dengan batas yang tegas tersebar lokalis.
IV. DIAGNOSIS
17
Diagnosis Banding :
1. Dermatitis Atopi
2. Herpes Simpleks
3. Varisela
Diagnosis : Impetigo Krustosa
V. TATALAKSANA
Non Medikamentosa :
1. Anjurkan pasien untuk tidak mencubit/menggaruk daerah kulit yang
sangat gatal
2. Menjaga kebersihan kulit pasien
3. Mencuci luka dan membersihkannya
4. Bila tergigit oleh serangga segera bersihkan lesi dengan sabun atau air
mengalir untuk mencegah infeksi bakteri
5. Motivasi pasien untuk rajin mencuci tangan dan membersihkan diri
(potong kuku)
Medikamentosa :
1. Topikal salap mufirocin 2%
2. Suplemen/Multivitamin
Usulan Pemeriksaan Lanjutan :
- Lab rutin
- Pemeriksaan imunologis
18
- Pemeriksaan mikrobiologi
VI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam

Quo ad sanactionam : dubia ad bonam


BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis impetigo krustosa ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik dengan mengidentifikasi tanda dan gejala yang ada dan dapat dibantu dengan
pemeriksaan penunjang seperti pewarnaan Gram, biakan kuman, dan tes serologi
serta histopatologi.
2,8
Pada pulasan gram, ditemukan coccus Gram positif yang lebih terlihat bila
pemeriksaan dilakukan saat lesi masih berupa vesikel. Biasanya diperlukan
pemeriksaan biakan kuman dan sensitivitas bila terapi tidak menghasilkan respon
baik yang menunjukkan sudah terjadi resistensi kuman. Pada pemeriksaan serologi
didapatkan ASO titer positif lemah pada pioderma streptococcus. Leukositosis
ditemukan pada sebagian penderita impetigo krustosa.
2,8
Pada psien ini ditemukan tanda impetigo krustosa yang cukup khas. Namun
masih belum bisa dipastikan sebelum mendapat hasil dari pemeriksaan lanjutan
19
tentang keberadaaan dari si bakteri penyebab (streptococcus). Untuk itu masih
diperlukan pula pemeriksaan lanjutan berupa lab rutin yang mencakup status leukosit
dari si anak beserta biakan dari swab lesi.
Pada pasien ini, perlu di perhatikan tentang habittualis kebersihan dan sanitasi
dari lingkungan tinggalnya. Karena kebiasaan seperti menggaruk, bermain kotor dan
lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan dari penyakit ini.
Sehubungan dengan gambaran dari paparan penyakitnya, pasien ini hanya
perlu diberikan pengobatan topikal saja karena lesinya masih terdistribusi
terlokalisasi dengan progressifitas ringan.
Pemberian salap mufirocin Mupirocin (pseudomonic acid) merupakan
antibiotik yang berasal dari Pseudomonas fluorescent .Mekanisme kerja mupirocin
yaitu menghambat sintesis protein (asam amino) dengan mengikat isoleusil-tRNA
sintetase sehingga menghambat aktivitas coccus Gram positif seperti Staphylococcus
dan sebagian besar Streptococcus.
Salap mupirocin 2% diindikasikan untuk pengobatan impetigo yang
disebabkan Staphylococcus dan Streptococcus pyogenes.
Infeksi dari penyakit ini dapat tersebar keseluruh tubuh utamanya pada anakanak.
Jika tidak di obati secara teratur, maka penyakit ini dapat berlanjut menjadi
glomerulonefritis (2-5%) akut yang biasanya terjadi 10 hari setelah lesi impetigo
pertama muncul, namun bias juga terjadi setelah 1-5 minggu kemudian.
Secara umum prognosis dari penyakit ini adalah baik jika dilakukan
pengobatan yang teratur, meskipun dapat pula komplikasi sistemik seperti
glomerulonefritis dan lain-lain. Lesi mengalami perbaikan setelah 7-10 hari
pengobatan.
20
BAB V
KESIMPULAN

Impetigo krustosa merupakan penyakit infeksi kulit terbatas pada


lapisan epidermis (superfisial) yang umumnya disebabkan oleh
Staphylococcus aureus dan Streptococcus group A beta-hemolitikus di negara
maju dan Streptococcus group A beta-hemolitikus di negara berkembang.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak, baik laki-laki maupun
perempuan. Predileksi impetigo krusta terdiri dari wajah, leher, atau
ekstremitas. Gambaran klinis yang dapat ditemukan berupa vesikel yang
menjadi pustul dan ruptur membentuk krusta khas berwarna kuning keemasan
(honey-colored). Lesi biasanya berkelompok dan konfluen dan dapat meluas
melibatkan lokasi baru. Penyakit impetigo krustosa yang lama tidak diobati
kadang dapat menyebabkan komplikasi, diantaranya yang berat adalah
glomerulonefritis akut, meningitis akut. Selain itu, penyakit impetigo krustosa
dapat menginfeksi jantung, tulang dan paru. Pada pasien impetigo yang
diobati dengan antibiotik tidak secara tuntas dapat menimbulkan suatu Infeksi
Methicilin- resistant staphylococcus aureus (MRSA) dimana strain bakteri
stafilokokus menjadi resisten terhadap sejumlah antibiotik sehingga
menyebabkan infeksi serius pada kulit yang sangat sulit diobati. Infeksi kulit
dapat dimulai dengan sebuah eritem, papul, atau abses yang mengeluarkan
pus. MRSA juga dapat menyebabkan pneumonia dan bakterimia yang tentu
saja akan mengganggu aktivitas hidup penderita. Terapi impetigo krustosa
terdiri dari pembersihan krusta dengan kompres basah, antibiotik topikal serta
antibiotik sistemik bila diperlukan.
Pada kasus ini, impetigo yang di derita oleh pasien masih tergolong
ringan. Jadi masih belum terindikasi untuk menggunakan antibiotik secara
sistemik, dan dalam kasus ini masalah yang perlu di perhatikan secara
21
seksama adalah mengenai edukasi terhadap pengetahuan keluarga pada pihak
orang tua agar menjaga kebersihan dan mendidik si anak untuk selalu dalam
kondisi bersih. Sehingga faktor rekurensi dapat dihindari dan komplikasi
maupun permasalahan lain dapat di cegah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hay R.J, B.M Adriaans. Bacterial Infection. In: Burns T, Brethnach S, Cox N,
Griffiths C (eds). Rooks Text Book of Dermatology. 7
th
ed. Turin: Blackwell.
2004. p.27.13-15.
2. Heyman W.R, Halpern V. Bacterial Infection. Bolognia JL, Jorizzo JL,
Rapini RP (eds). Dermatology. 2
nd
ed. Spain: Mosby Elsevier. 2008. p.107577.
3. Cole C, Gazewood J. Diagnosis and Treatment of Impetigo. American
Academy of Family Physician. Vol.75. No.6. 2007. p.859-864.
4. Craft N, Peter K.L, Matthew Z.W, Morton N.S, Richard S.J. Superficial
Cutaneous Infection and Pyodermas. In: Wolff K et all (eds). Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. Vol 2. 7

th
Ed. New York: McGraw Hill.
2008. p.1695-1705.
5. Arnold, Odom, James. Bacterial Infection. In: James W.D, Berger T.G, Elston
D.M (eds). Andrews Disease of the Skin Clinical Dermatology. 10
th
Ed.
Canada: Saunders Elsevier. 2006. p.255-6.
22
6. Amini Sadegh. Impetigo. Dikutip dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1109204-treatment. Last update: May
20/2010.
7. Norrby A, Teglund, Kotb M. Host Microbe Interactions in The Pathogenesis
of Invasive Group A Streptococcal Infections. Journal Medical Microbiology.
Vol.49. 2000. p.849-52.
8. Trozak D.J, Tennenhouse D.J, Russel D.J. Impetigo (Impetigo Crustosa). In:
Skolnik N.S (eds). Dermatology Skills For Primary Care: An Ilustrated Guide.
New Jersey: Humana Press. 2006. p.317-23.
9. Wolff K, Richard Allen Johnson. Color Atlas and Sypnosis Of Clinical
Dermatology. Part 3
rd
rd
.9
th
Ed. New york: McGraw Hill. 2009. p.597-604.
10. Bonner M.W, Benson P.M, James W.D. Topical Antiboiotics. In: Wolff K et
all (eds). Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Vol 2. 7
th
Ed. New
York: McGraw Hill. 2008. p.2113-15.
11. Koning S at all. Fusidic Acid Cream in The Treatment of Impetigo in General
Practice: Double Blind Randomised Placebo Controlled Trial. British Medical
Journal. 2002. Vol.324. p.203.
23
Download
of 23

Vous aimerez peut-être aussi