Vous êtes sur la page 1sur 2

Ketika orang-orang sibuk mencari dan mendamba cinta, ia memilih untuk duduk

bersimpuh sambil tersenyum di teras istana; menatap halaman yang diisi dua
orang teman lama.
Tidak ada niat dalam hati lelaki itu untuk bergabung. Matanya menyipit karena
kedua tulang pipi saling menyembul membentuk senyuman yang indah,
sebetulnya. Namun, tidak dengan hatinya. Ada sisi Soo-Won ingin berlari;
mendekap teman-teman lamanya itu sambil berkata, aku merindukan kalian.
Sebaliknya, sisi lain berteriak itu mustahil. Rencana yang lelaki itu susun tidak
melibatkan sentimentil kenangan masa lalu.
Yona. Teman lama yang ia cinta. Teman lama yang membuat lelaki berparas
tampan itu memiliki semangat. Satu-satunya perempuan yang ingin Soo-Won
lindungi tapi ... rencana yang ada malah justru akan menghancurkan perempuan
itu.
Kepala pria itu menunduk sambil menggeleng pelan. Tidak. Ia tidak boleh egois.
Kerajaan adalah segalanya. Kebahagiaan rakyat adalah yang utama. Dirinya
selalu ingat akan petuah sang ayahanda. Meski hati Soo-Won terasa ngilu;
bahkan nyaris manik matanya ingin menangis tiap kali melihat pedang yang
akan ia gunakan suatu hari nanti, demi perubahan, ia rela mengorbankan
segalanya. Bahkan bahagianya serta masa kecil yang indah itu harus berubah.
Soo-Won telah mempersiapkan hatinya untuk menghadapi apa yang menjadi
kebanggaannya dulu berbalik membenci, menyerang, dan ... membunuhnya.
Langkah enggan mulai beradu dengan lebatnya rumput di halaman istana. SooWon berjalan menuju dua sahabat lamanya itu. Yona dan Hak. Entah mengapa
menyebut Yona sebagai sahabat memelintir hatinya. Pedih dan juga merana. Ia
menginginkan lebih namun takdir tidak mengizinkan.
Yona, dengan rambut merah bergelombangnya yang sulit diatur, segera
membeku begitu melihat Soo-Won terlihat dari kejauhan hendak mendekati area
di mana dirinya dan Hak bersenda-gurau.
"Aku begitu iri melihatmu bisa begitu dekat dengan tuan putri," sapaan dari SooWon kepada Hak membuat rona merah yang awalnya muncul di wajah Yona
memudar.
Hak yang mendengar komentar itu langsung mendengus cepat. "Kau pikir aku
mau mengobrol dengan perempuan cerewet ini?"
Cibiran dari Hak langsung disambut manis pukulan keras ke kepalanya dari Yona.
"Kau pikir aku juga mau?!" teriak gadis itu lantang. Tentu saja gadis itu harus
berteriak. Pukulan tadi melempar Hak 4 meter jauhnya. Meski seorang
perempuan, Yona kadang memiliki energi di luar kewajaran seorang hawa-khusus untuk Hak, sejujurnya. Mereka berdua tidak pernah sekalipun terlihat
akur.
Soo-Won yang menyaksikan itu terkikik geli. Mereka tidak pernah berubah; selalu
suka beradu mulut. Hanya saja, pria berwibawa itu tidak pernah melihat Hak

bertindak kasar pada Yona. Ia tahu, jauh dalam lubuk hati pria angin itu
menyayangi Yona. Soo-Won pun demikian. Dua orang lelaki itu akan
menyerahkan hidupnya demi Yona. Mengingat itu, Soo-Won tidak sadar
menampilkan wajah sendunya.
"Kau tidak apa-apa, Soo-Won?" tanya Yona. Gurat kecemasan terukir di wajah
cantik gadis itu.
Soo-Won menggeleng singkat. "Aku baik-baik saja." Parasnya berpaling dan
melihat Hak masih mengelus kepalanya. Pasti sakit sekali rasanya. "Kurasa Hak
yang perlu kautanyakan 'apakah dia tidak apa-apa'," tukasnya.
Yona mencebik sebal. "Ia pantas mendapatkannya. Aku heran sekali. Bagaimana
ia bisa dengan gagah berani menghina keluarga kerajaan dengan kata 'cerewet'?
Aku ini putri mahkota!" geramnya sambil melotot ke arah Hak yang sudah
kembali ke posisi semula.
Hak membalasnya dengan kuapan malas lalu mengejek, "Putri mahkota yang
cerewet." Hak langsung mundur dua langkah pada saat yang tepat sebelum
kepalan tangan Yona mengenai kepalanya lagi. Meleset. Hak menyeringai
sedangkan Yona semakin marah.
"Kau bisa saja kuusir, kau tahu!" Yona tidak menurunkan sedikitpun suaranya.
"Aku tidak sabar menanti saat-saat itu," balas Hak enteng. "Hei, Soo-Won,
gantian kau saja yang menemani putri mahkota cerewet ini. Aku sudah lelah dan
ingin tidur siang." Hak memutar tubuhnya dan berjalan menjauh.

Vous aimerez peut-être aussi