Vous êtes sur la page 1sur 29

REFERAT

ANAFILAKSIS

Pembimbing :
dr. Diany Nurliana Taher, Sp.PD
Disusun Oleh :
Nyoman Aditya Sindunata
FK UPH - 20110710072
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
PERIODE 23 MEI 6 AGUSTUS 2015
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT
GATOT SOEBROTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

Referat dengan judul:


Anafilaksis

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta

Disusun oleh:
Nyoman Aditya Sindunata FKUPH 20110710072

Telah disetujui oleh Pembimbing:


Nama Pembimbing

Tanda tangan

Tanggal

dr. Diany N. Taher Sp. PD

.........................

...............

KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya, penyusun akhirnya dapat menyelesaikan penyusunan
referat dengan judul Anafilaksis.
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi tugas dan syarat
dalam menempuh kepaniteraan klinik di Departemen Penyakit Dalam Rumah
Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta.
Penyusun menyadari bahwa penyusunan presentasi kasus ini baik dari segi
isi dan bahasanya sangat jauh dari sempurna. Tanpa bantuan dan bimbingan dari
pihak lain, sulit rasanya bagi penyusun untuk menyelesaikan presentasi kasus ini,
oleh karena itu penyusun menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Diany
Nurliana Taher, Sp. PD atas bimbingannya dalam menyelesaikan referat ini.
Akhirnya penyusun berharap referat ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak. Penyusun juga berharap mendapatkan kritik dan saran yang membangun
untuk kesempurnaan penyusunan referat ini.

Jakarta, 21 Juni 2016

Penyusun

DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan...............................................................................................i
Kata Pengantar......................................................................................................ii
Daftar Isi................................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan................................................................................................1
Bab II Tinjauan Pustaka.......................................................................................2
I.

Definisi..........................................................................................................2

II.

Epidemiologi...............................................................................................2

III.

Etiologi.......................................................................................................3

IV.

Faktor Resiko............................................................................................5

V.

Patogenesis..................................................................................................6

VI.

Manifestasi Klinis dan Diagnosis..........................................................10

VII.

Diagnosis Banding.................................................................................16

VIII.

Tatalaksana..........................................................................................17

A. Intervensi Lini Pertama...........................................................................18


B. Intervensi Lini Kedua.............................................................................19
C. Intervensi Lini Ketiga.............................................................................19
D. Terapi potensial lainnya..........................................................................20
E. Pengawasan dan Pemulangan.................................................................20
F.

Tatalaksana Jangka Panjang...................................................................21

Bab III Kesimpulan.............................................................................................22


Daftar Pustaka.....................................................................................................23

BAB I
PENDAHULUAN
Tidak jarang ditemukan masyarakat yang memiliki alergi dan dapat
menjalani kesehariannya tanpa gangguan. Manifestasi alergi yang dialami sangat
bervariasi bergantung pada banyak hal dan berbeda-beda bagi setiap individu.
Dari variasi tersebut, terdapat suatu reaksi alergi yang fatal dan dikenal sebagai
anfilaksis. Anafilaksis merupakan "suatu reaksi hipersensitivitas menyeluruh atau
sistemik serius yang mengancam jiwa" dan "suatu reaksi alergi serius yang
memiliki onset sangat cepat dan dapat menyebabkan kematian" (1). Anafilaksis
meliputi beberapa konsep, yaitu serius, menyeluruh atau sistemik, reaksi alergi
atau hipersensitivitas yang dapat mengancam jiwa atau fatal (2).
Hasil dari 10 penelitian Eropa menunjukkan insidensi sebesar 1,5-7,9 per
100.000 orang dalam setahun dengan penelitian dari Inggris menunjukkan
peningkatan angka masuk rumah sakit dengan anafilaksis selama dua dekade.
Berdasarkan tiga penelitian Eropa berbasis populasi, diestimasikan prevalensi
sebesar 0,3%. Secara umum, case fatality rate untuk anafilaksis adalah rendah,
kurang dari 0,001% (3). Dengan berkembangnya ilmu di bidang kedokteran,
walaupun terjadi peningkatan angka masuk rumah sakit akibat anafilaksis, case
fatality rate anafilaksis masih tergolong rendah. Namun, anfilaksis masih menjadi
pokok bahasan dan dirasa menarik karena masih sering underdiagnosed sehingga
terjadi banyak undertreatment.
Anafilaksis dapat terjadi dimana saja dan kapan saja tanpa adanya
peringatan yang jelas. Gejala dan tanda yang timbul pada anafilaksis berat dapat
terjadi dengan sangat cepat dan membutuhkan penanganan darurat untuk
mencegah terjadinya kematian. Maka dari itu sangatlah penting bagi seluruh
tenaga kesehatan untuk mampu mendiagnosis dan melakukan tatalaksana awal
hingga pasien yang mengalami anafilaksis stabil.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I

Definisi
Anafilaksis menurut World Allergy Organization (WAO) didefinisikan
sebagai "suatu reaksi hipersensitivitas menyeluruh atau sistemik serius yang
mengancam jiwa" dan "suatu reaksi alergi serius yang memiliki onset sangat cepat
dan dapat menyebabkan kematian" (1). Menurut American Academy of Allergy,
Asthma and Immunology (AAAAI) / American College of Allergy, Asthma and
Immunology (ACAAI), anafilaksis adalah suatu reaksi sistem akut yang
mengancam jiwa dengan mekanisme, presentasi klinis dan tingkat keparahan yang
bervariasi yang terjadi akibat pelepasan mediator secara mendadak oleh sel mast
dan basofil (4). Sedangkan menurut European Academy of Allergy and Clinical
Immunology (EAACI), anafilaksis merupakan suatu reaksi hipersensitivitas parah
secara menyeluruh atau sistemik yang mengancam jiwa (5). Disimpulkan dalam
pedoman International Consensus on (ICON) Anaphylaxis, definisi anafilaksis
yang dikembangkan secara independen untuk pelayan medis profesional meliputi
beberapa konsep, yaitu serius, menyeluruh atau sistemik, reaksi alergi atau
hipersensitivitas yang dapat mengancam jiwa atau fatal. Lebih penting lagi, tidak
ada definisi yang mengikutsertakan kata "syok". Istilah yang benar "anafilaksis"
lebih disukai dibanding "syok anafilaktik" karena syok tidak harus terjadi pada
pasien dengan anafilaksis. Istilah "anafilaksis" seharusnya juga digunakan sebagai
pilihan dari istilah seperti "reaksi alergi", "reaksi alergi akut", "reaksi alergi
sistemik", "reaksi akut termediasi Ig-E", "reaksi anafilaktoid", atau "pseudoanafilaksis" (2).

I.

Epidemiologi
Hasil dari 10 penelitian Eropa menunjukkan insidensi sebesar 1,5-7,9 per
100.000 orang dalam setahun dengan penelitian dari Inggris menunjukkan
peningkatan angka masuk rumah sakit dengan anafilaksis selama dua dekade.
Berdasarkan tiga penelitian Eropa berbasis populasi, diestimasikan prevalensi

sebesar 0,3%. Secara umum, case fatality rate untuk anafilaksis adalah rendah,
kurang dari 0,001% (3).
Resiko seumur hidup mengalami gejala yang mengarah ke anafilaksis
pada populasi umum, sebagaimana dilaporkan oleh anggota masyarakat,
setidaknya sebesar 1,6%. Perkiraan ini berdasarkan survei dari 1000 masyarakat
dewasa Amerika yang tidak dipilih dengan sakit tiba-tiba yang melibatkan dua
atau

lebih

sistem

organ

tubuh,

termasuk

sistem

pernafasan

dan/atau

kardiovaskular, yang merasa hidup mereka terancam dan mendapat pelayanan


rumah sakit (6). Banyaknya rawat inap untuk anafilaksis terus meningkat dari
tahun ke tahun (7). Fatality rates anafilaksis tetap stabil atau sedikit berkurang,
kefatalan berkorelasi dengan usia, komorbiditas dan pencetus (7). Pemasukan
rawat inap terbanyak untuk anafilaksis yang diinduksi makanan terjadi pada anak
sangat muda (usia 0-4 tahun); namun, terdapat percepatan laju peningkatan pada
grup usia 5-14 tahun dan 15-29 tahun (8).
II.

Etiologi
Etiologi tersering dari reaksi anafilaksis yaitu alergi makanan, obat-obatan,
sengatan lebah (Hymenoptera) dan lateks. Anafilaksis yang terjadi pada pasien
rawat inap terutama karena reaksi alergi terhadap pengobatan dan lateks,
sedangkan anafilaksis yang terjadi di luar rumah sakit paling banyak disebabkan
oleh alergi makanan.
Antibiotik:

Anafilaktik (IgE dependent)


Ekstrak alergen:

Penisilin dan derivatnya

Rumput-rumputan atau jamur

Basitrasin

Serum (ATS, ADS, Anti bisa ular)

Neomisin

Darah

Tetrasiklin

Lengkap

Streptomisin, dll

Produk

Bahan yang sering dipergunakan untuk

Gamaglobulin

prosedur diagnosis:

Kriopresipitat

Zat radioopak

Serum

Bromsulfalein

Imunoglobulin i.v.

Benzilpenisiloil-polilisin

Makanan

Bisa (racun):

Susu sapi

Ular

Kerang

Semut api

Kacang-kacangan

Lebah

Ikan

Kumbang

Telur
Udang

Lateks
Anafilaktoid (IgE Independent)
Aktivasi komplemen multimediator Faktor fisik
Olahraga
aktivasi sistem kontak
Suhu (dingin atau panas)
Media radiokontras
Immune aggregates
Angiotensin-converting enzyme
Imunoglobulin intravena
inhibitor yang diberikan selam
Dekstran
Sitotoksik
dialisis ginjal
Reaksi transfusi terhadap elemen
Etilen oksida
Protamin
seluler (IgG, IgM)
Degranulasi sel mast dan basofil Psikogenik
Zat artifisial
nonspesifik
Opioid
Anafilaksis idiopatik
Pelemas otot
Idiopatik
Tabel 1. Etiologi Anafilaksis

III. Faktor Resiko


Faktor resiko untuk anafilaksis meliputi faktor terkait pasien dan kondisi
yang individual (Tabel 2). Belum ada data akurat untuk menilai besarnya resiko
untuk setiap faktor yang terkait.
Penyakit yang sudah ada berperan sebagai faktor resiko anafilaksis. Asma
yang sudah ada pada pasien adalah faktor resiko untuk anafilaksis dan anafilaksis
fatal, terutama jika berat dan tidak terkontrol. Gangguan sel mast, dan

kemungkinan telah adanya penyakit kardiovaskular, juga berhubungan dengan


peningkatan resiko terjadinya anafilaksis berat atau fatal (5, 9).
Pasien dengan alergi kacang tanah atau kacang-kacangan memiliki resiko
lebih tinggi mengalami reaksi berat. Pada pasien dengan alergi racun serangga,
peningkatan keparahan telah dilaporkan pada usia lebih tua, penyakit
kardiovaskular telah ada, gangguan sel mast, termasuk mastocytosis dan sindroma
aktivasi sel mast, peningkatan konsentrasi serum tryptase, sedang menjalani
pengobatan dengan beta-adrenergic blocker dan/atau angiotensin converting
enzyme (ACE) inhibitor, dan sebelumnya telah mengalami reaksi berat (5).

Tabel 2. Faktor Resiko Anafilaksis (5, 10, 11)


IV.

Patogenesis
Seperti dibahas diatas anafliaksis alergi selain berdasarkan mekanisme
imunologik juga dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan sistem saraf otonom.
Sistem parasimpatik (kholinergik) dan sistem simpatik (adrenergik) mempunyai
efek yang berlawanan terhadap organ sasarannya, sehingga keadaan inipun akan

mempengaruhi terhadap keseimbangan antara sel mediator dan sel sasarananya


(otot polos).
Reaksi alergi dimulai ketika alergen melewati barier epitel dan atau endotel
dan kemudian berinteraksi dengan 2 molekul antibodi IgE sitotropik yang
berikatan dengan sel (cell bound IgE antibodies) sehingga menimbulkan
rangkaian peristiwa biokimia. Kekuatan barier alami seperti kulit atau saluran
cerna harus dapat ditembus, dan alergen ini harus mencapai sel yang tersensitisasi
di jaringan (sel mast) atau darah (basofil) (12).
Peristiwa tersebut termasuk aktivasi proesterase (E) menjadi esterse aktif ()
yang menyebabkan agregarsi mikrotubuli dalam sitoplasma mastosit. Mikrotubuli
angat diperlukan untuk pergerakan butir-butir yang mengandung beberapa
mediator tertentu ke arah tepi sel sehingga dapat dilepaskan ke luar sel, yaitu
histamin, SRS-A dan ECF-A. Sebaliknya pembentukan mikrotubuli akan
dihambat oleh pembentukan cAMP dari ATP oleh adenilsiklase karena
mikrotubuli akan bercerai-berai. Lagi pula cAMP dalam sito plasma dalam
keadaan seimbang dengan konsentrasi cGMP. Dengan demikian degranulasi
tersebut tergantung dari konsentrasi cAMP dan cGMP.
Maka apapun yang menyebabkan kenaikan kadar cGMP atau penurunan
cAMP akan menimbulkan degranulasi. Perangsangan saraf parasimpatis (misalnya
N. Vagus) akan mendorong produksi asetilkolin yang akan mengubah enzim
guanilatsiklase menjadi aktif. Enzim aktif ini akan mengubah GTP menjadi
cGMP. Sedangkan efek perangsangan parasimpatis ini akan dihambat oleh
antagonisnya yaitu atropin.
Dengan

mekanisme

yang

sama

perangsangan

saraf

simpatis

akan

mempengaruhi konsentrasi cAMP. Perangsangan saraf simpatis sendiri akan


mengakibatkan 2 jenis efek karena adanya 2 jenis reseptor yang berbeda.
Perangsangan melalui reseptor -adrenergik akan menghasilkan penurunan cAMP
dalam sel mastosit, sedangkan perangsangan melalui -adrenergik akan
meningkatkan konsentrasi cAMP yaitu melalui pengaktifan enzim adenilatsiklase
sehingga ATP akan diubah menjadi cAMP.
Dengan demikian jelaslah bahwa sistem saraf otonom dapat mempengaruhi
degranulasi mastosit melalui pengaturan cGMP dan cAMP. Namun sebaliknya

juga dapat diatur oleh adanya aktifitas enzim fosfodiesterase yang akan
menghancurkan keduanya cAMP dan cGMP.
Reseptor untuk adrenergik dan dapat dirangsang oleh molekul yang sama
dengan efek berbeda. Norepinefrin yang dihasilkan oleh ujung saraf noradrenergik
misalnya akan mempengaruhi reseptor dengan efek yang berbeda. Perangsangan
reseptor akan lebih besar efeknya dari pada perangsangan reseptor . Sebaliknya
epinefrin yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal akan memberi efek lebih besar
apabila merangsang reseptor . Belakangan ditemukan adanya 2 jenis reseptor
adrenergik 1 dan 2 yang penyebarannya pada sel-sel jaringan tidak merata.
Misalnya reseptor 2 lebih banyak terdapat pada jaringan paru-paru. Keadaan ini
dimanfaatkan untuk pengobatan asma bronkhiale dengan salbutamol yang
merupakan agonis untuk reseptor 2.
Oleh karena keseimbangan siklik nukleotida juga mempengaruhi keadaan sel
sasaran, maka dasar pengobatan alergi juga memperhatikan keadaan fisiologik sel
sasarannya. Apabila sel sasarannya otot polos terjadi peningkatan kadar cAMP
maka otot polos tersebut ada dalam keadaan relaksasi. Keadaan tersebut juga
terjadi pada sel sasaran lainnya, misalnya sel kelenjar sehingga akan terjadi
pengecilan pembuluh darah dan pengurangan sekresi kelenjar. Keadaan tersebut
dapat mengrangi gejala alergi.

Gambar 1. Proses Reaksi Alergi


Mekanisme kerja obat yang sering digunakan dalam mengatasi renjatan
anafilaktik diantaranya:
1. Adrenalin.
Adrenalin termasuk golongan adrenergik yang akan meningkatkan
konsentrasi cAMP dalam mastosit sehingga terjadi hambatan degranulasi. Selain
itu adrenalin mempunyai khasiat terhadap sel sasaran, yaitu:
a) Perangsangan terhadap pembuluh darah kulit, selaput lendir dan
terhadap kelenjar liur.
b) Mengendurkan otot polos usus, bronkhus dan pembuluh darah otot
rangka.
c) Perangsangan jantung dengan akibat peningkatan denyut jantung,
kekuatan kontraksinya dan tekanan darah.
d) Perangsangan pusat-pusat pengaturan di otak, misalnya pernafasan.
Kesemuanya ini kalau disimpulkan akan mengurangi gejala-gejala renjatan
anafilaktik.

2. Antihistamin.
Antihistamin merupakan kelompok obat-obatn yang berkerja menghambat
histamin yang dihasilkan oleh mastosit.
3. Teofilin
Teofilin termasuk kelompok xantin yang mempunyai khasiat mengatasi
renjatan anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui mastosit dan sel sasarannya
seperti halnya adrenalin.
Teofilin menghambat kerja enzim fosfodiesterase yang akan merusak
cAMP, sehingga kadar cAMP akan meningkat akibatnya degranulasi mestosit
dihambat. Selain itu teofilin akan bekerja pada pusat pernafasan dan otot-otot
bronkhus, lebih-lebih otot-otot brunkhus dalam keadaan kontraksi. Kesemuanya
akan mengrangi gejala-gejala renjatan anafilaktik.
4. Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan kelompok obat-obatan yang paling banyak


dipakai pada penyakit radang dan penyakit imunologik. Walaupun pada beberapa
binatang, pemberiannya menimbulkan kerusakan pada jaringan limfoid, namun
pada manusia hal tersebut tidak terjadi. Koretokosteroid mempunyai efek
menghambat radang, disamping menghambat respons imun dan menstabilkan
dinding mastosit. Dengan menghambat respons imun mungkin dapat menghambat
sintesis IgE.

Gambar 2. Ringkasan Patogenesis Anafilaksis

V.

Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Presentasi klinis anafilaksis bergantung pada sistem organ yang terlibat.
Pelepasan mediator seluler kemudian menimbulkan respon pada organ seperti
kulit, saluran nafas, sistem kardiovaskular, dan susunan saraf (12). Di antara
gejala anafilaksis, manifestasi kulit terjadi pada sebagian besar kasus (9, 13). Pada
suatu penelitian kohort dari 2012 pasien anak dan dewasa dengan anafilaksis, kulit
adalah organ yang paling sering terpengaruh (84%), diikuti dengan sistem
kardiovaskular (72%) dan sistem respirasi (68%) (11). Namun, anafilaksis dapat
berkembang tanpa adanya manifestasi kulit. Gejala atau tanda respirasi atau
kardiovaskular adalah fitur anafilaksis yang memiliki potensi mengancam jiwa
(10, 14). Gejala respirasi lebih sering terjadi pada anak dan gejala kardiovaskular
lebih sering pada dewasa (10, 11). Gambaran patologis dari anafilaksis meliputi
urtikaria dan angioedema, serta yang bersifat fatal meliputi hiperinflasi paru akut,
edema dan perdarahan intraalveolar, kongesti visera dan edema laring. Hipotensi
akut diakibatkan oleh dilatasi vasomotor dan/atau disritmia jantung. Selengkapnya
dijelaskan pada Tabel 3.

Gambar 3. Gejala yang Berhubungan dengan Anafilaksis (5)

Tanda dan Gejala Klinis Anafilaksis


Kutan / subkutan / jaringan mukosa
Flushing, pruritus, urtikaria, angioedema, ruam morbiliform
Pruritus pada bibir, lidah, palatum; edema pada bibir, lidah dan uvula
Pruritus periorbita, eritema dan edema, eritema konjungtiva
Saluran pernafasan
Laring: pruritus dan nyeri tenggorokan, disfagia, disfoni, suara serak, pruritus di
kanalis aurikularis eksterna
Paru-paru: nafas pendek, dispnea, rasa berat di dada, batuk, mengi / bronkospasme
(penurunan PEF)
Hidung: Pruritus, hidung tersumbat, hidung berair, bersin
Kardiovaskular
Hipotensi
Near syncope, pingsan, penurunan kesadaran
Nyeri dada, disritmia
Gastrointestinal
Mual, nyeri atau kram perut, muntah, diare
Lain-lain
Kontraksi uterus pada wanita
Tabel 3. Tanda dan Gejala Klinis Anafilaksis
Kriteria yang diterima secara luas untuk membantu klinis dalam
mengidentifikasi anafilaksis (12, 15) (Tabel 4) menekankan gejala dan tanda
multipel yang timbul tiba-tiba. Kriteria ini meningkatkan identifikasi anafilaksis
secara signifikan (16) dan menunjukkan sensitivitas unggul (96,7%) dan
spesifisitas yang baik (82,4%) untuk diagnosis anafilaksis dalam penelitian
retrospektif departemen gawat darurat (17). Gejala dan tanda anafilaksis biasanya
terjadi dalam 2 jam setelah paparan terhadap alergen (18), biasanya dalam 30
menit untuk alergi makanan dan bahkan lebih cepat untuk medikasi parenteral dan
sengatan serangga. Di dalam sebuah seri kasus besar anafilaksis fatal, median
waktu dari gejala hingga arrest telah dilaporkan dalam 30, 15 dan 5 menit secara
berurutan untuk makanan, racun serangga dan medikasi parenteral (19). Kriteria
diagnosis klinis anafilaksis menurut EAACI adalah sebagai berikut :

Tabel 4. Kriteria Diagnosis Klinis Anafilaksis (5)


Riwayat penggunaan obat, makanan, gigitan binatang atau transfusi perlu
ditanyakan dan dipastikan. Diagnosis anafilaksis bergantung dari anamnesis yang
tepat dan hati-hati. Untuk dapat menggali anamnesa yang tepat, penting untuk
mengetahui manifestasi dari anafilaksis. Manifestasi tersering dari anafilaksis
adalah mengenai kulit, kolaps kardiovaskular, dan syok. Tidak adanya manifestasi
pada kulit tidak menyingkirkan diagnosis anafilaksis (20).
Alergi yang berbeda dapat menimbulkan respon yang berbeda-beda,
meskipun imunobiologis dan patofisiologi anafilaksis yang terjadi pada dasarnya
sama. Pada anamnesis perlu diketahui kapan serangan terjadi, aktivitas yang
sedang dilakukan sebelum serangan terjadi, terapi yang diberikan selama
serangan, respon terhadap terapi tersebut, dan lamanya serangan. Bila serangan
bukan pertama kalinya maka hal-hal tersebut perlu ditanyakan dari masing-masing
serangan (20, 21).
Anamnesis harus dapat menggali kemungkinan penyebab dari serangan.
Perlu ditanyakan riwayat konsumsi makanan dan obat-obatan sebelum timbul
serangan, kemungkinan tersengat serangga, aktivitas saat serangan terjadi, lokasi
kejadian apakah di rumah atau tempat kerja, atau apakah serangan berkaitan
dengan panas, dingin, juga aktivitas seksual. Status atopi pada penderita juga

perlu ditanyakan karena anafilaksis yang dicetuskan oleh makanan juga


anafilaksis idiopatik lebih sering terjadi pada individu dengan riwayat atopi
dibandingkan dengan yang tidak. Timbulnya kembali gejala setelah remisi juga
perlu diperhatikan karena hal ini menunjukkan reaksi fase lambat, sehingga
diperlukan masa observasi yang lebih lama (20).
Untuk mendiagnosa anafilaksis karena obat-obatan diperlukan anamnesis
yang akurat, yaitu kapan obat tersebut diberikan, interval sampai terjadi reaksi,
obat-obatan

yang

sebelumnya

pernah

didapatkan

oleh

pasien

(untuk

memperkirakan sensitisasi sebelumnya), dan respon pasien terhadap terapi. Data


rekam medis dari unit gawat darurat atau catatan dokter sebelumnya dapat
membantu untuk mendiagnosis dengan tepat (12).
Semua individu yang diketahui memiliki riwayat anafilaksis perlu dicatat
dengan lengkap dan teliti, meliputi manifestasi seperti urtikaria, angioedema,
flushing, pruritus, obstruksi saluran nafas atas, gejala gastrointestinal, sinkop,
hipotensi, obstruksi saluran nafas bawah, dan pusing.
Anafilaksis adalah diagnosis klinis yang ditegakkan berdasarkan Tabel 4.
Secara retrospektif, diagnosis dapat ditunjang dengan adanya peningkatan serum
tryptase dalam beberapa jam setelah reaksi jika dibandingkan dengan tingkat
baseline pasien; tingkatnya sering kali normal terutama pada reaksi yang
dicetuskan oleh makanan pada anak. Bukti dari sensitisasi IgE pada skin prick
atau pemeriksaan in vitro juga dapat membantu diagnosis; tes provokasi, secara
ideal dengan kemungkinan kofaktor apapun, dapat dibutuhkan jika masih ada
keraguan diagnostik (5, 10).
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untun mendukung
diagnosis klinis adalah sebagai berikut :

Pemeriksaan darah
Uji Coomb untuk penderita anemia
Antibodi IgE total serum
Antibodi IgE spesifik dalam RAST (Radioallergosorbent test)
Antibodi IgM dan IgG spesifik
Antibodi antinuklear (ANA) pada SLE yang diduga diinduksi oleh obat-

obatan
Uji kulit
o Uji tusuk (Prick test/Scratch test)

o Uji tempel (Patch test)


Uji provokasi

Selain itu pemeriksaan berikut dapat dilakukan setelah keadaan gawat darurat
teratasi :

Pemeriksaan darah lengkap


o Ht hemokonsentrasi
o SGOT
Kerusakan miokardium
o CPK (fosfokinase kreatin)
o LDH (dehidrogenase laktat)
Foto toraks
o Emfisema (hiperinflasi), atelektasis atau edema paru
EKG : Perubahan EKG bersifat sementara (kecuali pada infark
miokardium)
o Depresi gelombang S-T
o Bundle branch block
o Fibrilasi atrium
o Berbagai aritmia ventrikular

VI.

Diagnosis Banding

Tabel 5. Diagnosis Banding Anafilaksis (5)

Diagnosis banding perlu dipikirkan saat melakukan anamnesis, meskipun


penderita memiliki riwayat anafilaksis sebelumnya (20). Diagnosis banding
anafilaksis meliputi berbagai penyakit, yang mempengaruhi sistem organ yang
sering terlibat dalam anafilaksis (Tabel 5) (5).
Salah

satu

diagnosa

banding

yang

penting

adalah

reaksi

vasodepres/vasovagal. Pada reaksi ini ditemukan hipotensi, pucat, lemah, mual,


muntah, dan berkeringat. Yang dapat membedakannya dengan reaksi anafilaksis
yaitu tidak adanya manifestasi kulit (urtikaria, angioedema, kemerahan, dan
pruritus) dan adanya bradikardia pada reaksi vasodepres, sementara pada
anafilaksis lebih sering terjadi takikardia.
Kejadian kemerahan pada kulit (flushing) juga dapat menyerupai
anafilaksis. Obat-obatan seperti niasin, nikotin, katekolamin, penghambat ACE,
alkohol, tumor tiroid atau saluran cerna, feokromasitoma, hiperglikemi dapat
menyebabkan terjadinya flushing.
VII. Tatalaksana
Pasien dengan anafilaksis membutuhkan pengkajian segera dengan
pendekatan Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure. Masalah
harus diatasi saat ditemukan dan panggilan untuk layanan medis darurat harus
dilakukan. Kematian disebabkan oleh gangguan saluran nafas atas, saluran nafas
bawah, dan/atau kardiovaskular, sehingga penatalaksanaan darurat harus
difokuskan pada ketiga hal ini. Sebagai terapi lini pertama direkomendasikan
adrenalin intramuskular (IM) sebelum melakukan intervensi lain karena adrenalin
masih kurang dimanfaatkan dalam anafilaksis walau memiliki potensi
menyelamatkan jiwa. Resusitasi jantung paru (RJP) harus segera dilaksanakan
jika terjadi henti jantung dan/atau nafas. Dalam penatalaksanaan anafilaksis perlu
dikerjakan hal berikut (Tabel 6) (5).

Tabel 6. Checklist Tatalaksana Anafilaksis (5)


A. Intervensi Lini Pertama
Adrenalin harus diberikan pada semua pasien yang mengalami anafilaksis;
adrenaline juga harus diberikan pada pasien dengan manifestasi klinis yang
kemungkinan akan berkembang menjadi anafilaksis 22. Adrenalin memberikan
efek pada (i) reseptor -1 menyebabkan vasokonstriksi perifer, sehingga
membalikkan hipotensi dan edema mukosa; (ii) reseptor

-1 dengan

meningkatkan baik kecepatan dan kekuatan kontraksi jantung, sehingga


membalikkan hipotensi; dan (iii) reseptor -2 membalikkan bronkokonstriksi dan
mengurangi pelepasan mediator inflamasi. Tidak ada kontraindikasi absolut untuk
terapi dengan adrenalin pada pasien anafilaksis; keuntungan melebihi resiko pada
orang lansia dan pasien yang telah memiliki penyakit kardiovaskular (1).
Adrenalin diberikan secara injeksi IM pada bagian tengah paha luar.
Keamanan adrenalin IM sangat baik walau pasien dapat mengalami palor,
palpitasi dan sakit kepala sementara. Adrenalin IM (1 mg/ml) diberikan dengan
dosis 0,01 ml/kg berat badan (BB) dengan dosis total maksimum 0,5 ml. Saat
menggunakan adrenalin auto-injectors, pasien dengan BB 7,5-25 kg mendapatkan
dosis 0,15 mg dan dosis 0,3 mg untuk pasien dengan BB 25-30 kg. Injeksi
adrenalin dapat diulang dalam interval setidaknya 5 menit (5).

B. Intervensi Lini Kedua


a. Menghilangkan pencetus dan memanggil bantuan
Pencetus anafilaksis yang memungkinkan harus segera dihilangkan, jika
mungkin. Bantuan harus dipanggil melalui layanan medis darurat saat di
komunitas atau tim resusitasi saat di rumah sakit (5).
b. Postur
Pasien yang mengalami anafilaksis harus dijaga tetap diam dan posisi tetap
sesuai dengan posisi saat ditemukan: (i) dengan distres pernafasan adalah temuan
tersering, posisi duduk; (ii) dengan ketidakstabilan hemodinamik, posisi berbaring
telentang dengan tungkai dielevasi untuk menjaga volume sirkulasi; (iii) jika
hamil, posisikan semirecumbent pada sisi kiri dengan tungkai dielevasi; dan (iv)
tidak sadar, posisikan dalam recovery position. Perubahan posisi mendadak
menjadi postur lebih tegak harus dihindari (5).
c. Oksigen
Oksigen aliran tinggi harus diberikan melalui sungkup wajah pada semua
pasien anafilaksis (5).
d. Cairan
Cairan intravena (IV) harus diberikan pada pasien dengan ketidakstabilan
kardiovaskular, karena adrenalin mungkin tidak efektif tanpa pemulihan volume
sirkulasi. Kristaloid menjadi pilihan cairan dan diberikan bolus sebanyak 20 ml/kg
(5).
e. Short-acting beta-2 agonists (SABA) inhalasi
SABA

inhalasi

dapat

ditambahkan

unutk

mengurangi

gejala

bronkokonstriksi pada pasien anafilaksis(19). Walaupun adrenalin IM sebagai


terapi lini pertama pada keadaan darurat, pada keadaan terkontrol di rumah sakit
dengan staf medis terlatih dalam menangani anfilaksis), wheezing ringan dapat
diterapi awal dengan SABA inhalasi saja; adrenalin IM harus diberikan jika tidak
ada respon dalam waktu 5 menit (5).
C. Intervensi Lini Ketiga
a Antihistamin H-1 dan H-2
Antihistamin sistemik biasa digunakan pada anafilaksis namun hanya
tampak mengurangi gejala kulit pada penelitian dimana hanya peserta minoritas

yang mengalami anafilaksis. Kombinasi antihistamin H-1 dan H-2 dapat memberi
manfaat tambahan lebih dari antihistamin H-1 saja dalam mengatasi gejala kulit
bagi yang mengalami reaksi alergi akut. Terdapat laporan kasus yang
menyebutkan bahwa antihistamin IV dapat menyebabkan hipotensi, hal ini dapat
berkaitan dengan kecepatan pemberian. Sehingga antihistamin H-1 (dan H-2) oral
hanya direkomendasikan untuk mengatasi gejala kulit anafilaksis (5).
f. Glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid oral atau IV umum digunakan pada anafilaksis dan
diduga dapat mencegah gejala anafilaksis yang berlanjut, terutama pada pasien
yang telah menderita asma, dan reaksi bifasik; namun, hal ini belum terbukti dan
glukokortikosteroid memiliki onset of action yang lambat. Glukokortikosteroid
oral atau parenteral dapat diberikan ketika terapi lini pertama dan kedua telah
diberikan. Budesonide inhalasi dosis tinggi bisa efektif untuk edema saluran
nafas; untuk itu direkomendasikan untuk pasien dengan stridor (5).
D. Terapi potensial lainnya
Pemberian glukoagon secara parenteral dapat berguna dalam menangani
pasien anafilaksis yang tidak responsif terhadap adrenalin, terutama yang
menggunakan blockers (5).
E. Pengawasan dan Pemulangan
Pasien dengan gangguan pernafasan harus diawasi secara ketat untuk
setidaknya 6-8 jam, dan pasien dengan hipotensi memerlukan pengawasan ketat
selama setidaknya 12-24 jam. Sebelum pemulangan, resiko terjadinya reaksi di
masa depan perlu dikaji dan adrenalin auto-injector harus diresepkan pada pasien
yang memiliki resiko terulang. Pasien harus diberikan petunjuk pemulangan,
meliputi usaha menghindari alergen (jika memungkinkan), instruksi untuk kapan
dan bagaimana cara menggunakan adrenalin auto-injector; rujukan ke spesialis
alergi untuk menginvestigasi pencetus yang memungkinkan, mengkaji dan, jika
memungkinkan, mengintervensi untuk meminimalisir resiko terulangnya reaksi,
dan memastikan pasien dan orang yang merawat secara optimal dilengkapi dan
terlatih untuk menangani reaksi; dan, jika makanan ikut berperan, rujukan ke
spesialis gizi (5).

F. Tatalaksana Jangka Panjang


Tatalaksana jangka panjang untuk pasien yang telah mengalami anafilaksis
dimulai dengan konfirmasi alergen pencetus menggunakan pemeriksaan in vivo
dan/atau in vitro yang terpercaya diinterpretasikan dalam riwayat alergi yang detil.
Strategi preventif untuk mencegah pengulangan termasuk menghindari alergen
dan imunoterapi alergen harus diimplementasikan jika memungkinkan. Yang
terakhir, edukasi harus mencakup terapi mandiri anafilaksis berulang di
komunitas, dan menangani penyakit yang sedang diderita. Ahli gizi spesialis
alergi dapat membantu mengidentifikasi makanan pencetus dan memberikan saran
penghindaran. Pasien harus dijelaskan mengenai alergen tersembunyi, reaksi
silang antar alergen lain, dan situasi yang membahayakan (5).

Gambar 4. Algoritme Tatalaksana Anafilaksis (5)

BAB III
KESIMPULAN
Anafilaksis merupakan suatu reaksi alergi berat yang jarang ditemukan
namun memiliki dampak serius dan bahkan fatal bagi pasien. Keadaan ini terjadi
dengan sangat cepat dan memiliki manifestasi klinis yang beragam, bahkan dapat
mengancam jiwa.
Anafilaksis dapat terjadi pada siapa pun, dimana pun dan kapan pun. Oleh
karena itu sangatlah penting untuk memahami definisi, perjalanan klnis hingga
penatalaksaannya. Dengan begitu diharapkan anafilaksis dapat dideteksi secara
cepat dan tepat sehingga dapat dilakukan tatalaksana segera untuk mencegah
perkembangannya dan kematian dapat dihindari.
Kunci dalam menangani dan mencegah komplikasi anafilaksis adalah
kecepatan dan ketepatan diagnosis. Kurangnya kecepatan dan ketepatan diagnosis
anafilaksis masih menjadi masalah sehingga tatalaksana yang harusnya darurat
seringkali terlambat atau bahkan tidak diberikan secara tepat. Pemberian adrenalin
IM adalah kunci dan lini pertama intervensi pada anafilaksis.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Simons FER, Ardusso LRF, Bil MB, El-Gamal YM, Ledford DK, Ring J,
et al. World Allergy Organization Guidelines for the Assessment and
Management of Anaphylaxis. World Allergy Organization Journal.
2011;4(2):1-25.

2.

Simons FE, Ardusso LR, Bilo MB, Cardona V, Ebisawa M, El-Gamal YM,
et al. International consensus on (ICON) anaphylaxis. World Allergy
Organ J. 2014;7(1):9.

3.

Panesar SS, Javad S, de Silva D, Nwaru BI, Hickstein L, Muraro A, et al.


The epidemiology of anaphylaxis in Europe: a systematic review. Allergy.
2013;68(11):1353-61.

4.

Lieberman P, Nicklas RA, Oppenheimer J, Kemp SF, Lang DM, Bernstein


DI, et al. The diagnosis and management of anaphylaxis practice
parameter: 2010 Update. Journal of Allergy and Clinical Immunology.
2010;126(3):477-80.e42.

5.

Muraro A, Roberts G, Worm M, Bilo MB, Brockow K, Fernandez Rivas


M, et al. Anaphylaxis: guidelines from the European Academy of Allergy
and Clinical Immunology. Allergy. 2014;69(8):1026-45.

6.

Wood RA, Camargo CA, Jr., Lieberman P, Sampson HA, Schwartz LB,
Zitt M, et al. Anaphylaxis in America: the prevalence and characteristics of
anaphylaxis

in

the

United

States.

Allergy

Clin

Immunol.

2014;133(2):461-7.
7.

Simons FE, Ebisawa M, Sanchez-Borges M, Thong BY, Worm M, Tanno


LK, et al. 2015 update of the evidence base: World Allergy Organization
anaphylaxis guidelines. World Allergy Organ J. 2015;8(1):32.

8.

Mullins RJ, Dear KB, Tang ML. Time trends in Australian hospital
anaphylaxis admissions in 1998-1999 to 2011-2012. J Allergy Clin
Immunol. 2015;136(2):367-75.

9.

Brown SG. Clinical features and severity grading of anaphylaxis. J Allergy


Clin Immunol. 2004;114(2):371-6.

10.

Simons FE, Ardusso LR, Bilo MB, Dimov V, Ebisawa M, El-Gamal YM,
et al. 2012 Update: World Allergy Organization Guidelines for the
assessment and management of anaphylaxis. Curr Opin Allergy Clin
Immunol. 2012;12(4):389-99.

11.

Worm M, Edenharter G, Rueff F, Scherer K, Pfohler C, Mahler V, et al.


Symptom profile and risk factors of anaphylaxis in Central Europe.
Allergy. 2012;67(5):691-8.

12.

Sampson HA, Munoz-Furlong A, Bock SA, Schmitt C, Bass R,


Chowdhury BA, et al. Symposium on the definition and management of
anaphylaxis: summary report. J Allergy Clin Immunol. 2005;115(3):58491.

13.

Bohlke K, Davis RL, DeStefano F, Marcy SM, Braun MM, Thompson RS,
et al. Epidemiology of anaphylaxis among children and adolescents
enrolled in a health maintenance organization. J Allergy Clin Immunol.
2004;113(3):536-42.

14.

Simons FE. 9. Anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol. 2008;121(2


Suppl):S402-7; quiz S20.

15.

Sampson HA, Munoz-Furlong A, Campbell RL, Adkinson NF, Jr., Bock


SA, Branum A, et al. Second symposium on the definition and
management of anaphylaxis: summary report--Second National Institute of
Allergy and Infectious Disease/Food Allergy and Anaphylaxis Network
symposium. J Allergy Clin Immunol. 2006;117(2):391-7.

16.

Harduar-Morano L, Simon MR, Watkins S, Blackmore C. Algorithm for


the diagnosis of anaphylaxis and its validation using population-based data
on emergency department visits for anaphylaxis in Florida. J Allergy Clin
Immunol. 2010;126(1):98-104 e4.

17.

Campbell RL, Hagan JB, Manivannan V, Decker WW, Kanthala AR,


Bellolio MF, et al. Evaluation of national institute of allergy and infectious
diseases/food allergy and anaphylaxis network criteria for the diagnosis of
anaphylaxis in emergency department patients. J Allergy Clin Immunol.
2012;129(3):748-52.

18.

de Silva IL, Mehr SS, Tey D, Tang ML. Paediatric anaphylaxis: a 5 year
retrospective review. Allergy. 2008;63(8):1071-6.

19.

Pumphrey RS. Lessons for management of anaphylaxis from a study of


fatal reactions. Clin Exp Allergy. 2000;30(8):1144-50.

20.

Joint Task Force on Practice P, American Academy of Allergy A,


Immunology, American College of Allergy A, Immunology, Joint Council
of Allergy A, et al. The diagnosis and management of anaphylaxis: an
updated practice parameter. J Allergy Clin Immunol. 2005;115(3 Suppl
2):S483-523.

21.

Simons FE. Anaphylaxis, killer allergy: long-term management in the


community. J Allergy Clin Immunol. 2006;117(2):367-77.

Vous aimerez peut-être aussi