Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
ANAFILAKSIS
Pembimbing :
dr. Diany Nurliana Taher, Sp.PD
Disusun Oleh :
Nyoman Aditya Sindunata
FK UPH - 20110710072
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
PERIODE 23 MEI 6 AGUSTUS 2015
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT
GATOT SOEBROTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
JAKARTA
Disusun oleh:
Nyoman Aditya Sindunata FKUPH 20110710072
Tanda tangan
Tanggal
.........................
...............
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya, penyusun akhirnya dapat menyelesaikan penyusunan
referat dengan judul Anafilaksis.
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi tugas dan syarat
dalam menempuh kepaniteraan klinik di Departemen Penyakit Dalam Rumah
Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta.
Penyusun menyadari bahwa penyusunan presentasi kasus ini baik dari segi
isi dan bahasanya sangat jauh dari sempurna. Tanpa bantuan dan bimbingan dari
pihak lain, sulit rasanya bagi penyusun untuk menyelesaikan presentasi kasus ini,
oleh karena itu penyusun menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Diany
Nurliana Taher, Sp. PD atas bimbingannya dalam menyelesaikan referat ini.
Akhirnya penyusun berharap referat ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak. Penyusun juga berharap mendapatkan kritik dan saran yang membangun
untuk kesempurnaan penyusunan referat ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan...............................................................................................i
Kata Pengantar......................................................................................................ii
Daftar Isi................................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan................................................................................................1
Bab II Tinjauan Pustaka.......................................................................................2
I.
Definisi..........................................................................................................2
II.
Epidemiologi...............................................................................................2
III.
Etiologi.......................................................................................................3
IV.
Faktor Resiko............................................................................................5
V.
Patogenesis..................................................................................................6
VI.
VII.
Diagnosis Banding.................................................................................16
VIII.
Tatalaksana..........................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
Tidak jarang ditemukan masyarakat yang memiliki alergi dan dapat
menjalani kesehariannya tanpa gangguan. Manifestasi alergi yang dialami sangat
bervariasi bergantung pada banyak hal dan berbeda-beda bagi setiap individu.
Dari variasi tersebut, terdapat suatu reaksi alergi yang fatal dan dikenal sebagai
anfilaksis. Anafilaksis merupakan "suatu reaksi hipersensitivitas menyeluruh atau
sistemik serius yang mengancam jiwa" dan "suatu reaksi alergi serius yang
memiliki onset sangat cepat dan dapat menyebabkan kematian" (1). Anafilaksis
meliputi beberapa konsep, yaitu serius, menyeluruh atau sistemik, reaksi alergi
atau hipersensitivitas yang dapat mengancam jiwa atau fatal (2).
Hasil dari 10 penelitian Eropa menunjukkan insidensi sebesar 1,5-7,9 per
100.000 orang dalam setahun dengan penelitian dari Inggris menunjukkan
peningkatan angka masuk rumah sakit dengan anafilaksis selama dua dekade.
Berdasarkan tiga penelitian Eropa berbasis populasi, diestimasikan prevalensi
sebesar 0,3%. Secara umum, case fatality rate untuk anafilaksis adalah rendah,
kurang dari 0,001% (3). Dengan berkembangnya ilmu di bidang kedokteran,
walaupun terjadi peningkatan angka masuk rumah sakit akibat anafilaksis, case
fatality rate anafilaksis masih tergolong rendah. Namun, anfilaksis masih menjadi
pokok bahasan dan dirasa menarik karena masih sering underdiagnosed sehingga
terjadi banyak undertreatment.
Anafilaksis dapat terjadi dimana saja dan kapan saja tanpa adanya
peringatan yang jelas. Gejala dan tanda yang timbul pada anafilaksis berat dapat
terjadi dengan sangat cepat dan membutuhkan penanganan darurat untuk
mencegah terjadinya kematian. Maka dari itu sangatlah penting bagi seluruh
tenaga kesehatan untuk mampu mendiagnosis dan melakukan tatalaksana awal
hingga pasien yang mengalami anafilaksis stabil.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I
Definisi
Anafilaksis menurut World Allergy Organization (WAO) didefinisikan
sebagai "suatu reaksi hipersensitivitas menyeluruh atau sistemik serius yang
mengancam jiwa" dan "suatu reaksi alergi serius yang memiliki onset sangat cepat
dan dapat menyebabkan kematian" (1). Menurut American Academy of Allergy,
Asthma and Immunology (AAAAI) / American College of Allergy, Asthma and
Immunology (ACAAI), anafilaksis adalah suatu reaksi sistem akut yang
mengancam jiwa dengan mekanisme, presentasi klinis dan tingkat keparahan yang
bervariasi yang terjadi akibat pelepasan mediator secara mendadak oleh sel mast
dan basofil (4). Sedangkan menurut European Academy of Allergy and Clinical
Immunology (EAACI), anafilaksis merupakan suatu reaksi hipersensitivitas parah
secara menyeluruh atau sistemik yang mengancam jiwa (5). Disimpulkan dalam
pedoman International Consensus on (ICON) Anaphylaxis, definisi anafilaksis
yang dikembangkan secara independen untuk pelayan medis profesional meliputi
beberapa konsep, yaitu serius, menyeluruh atau sistemik, reaksi alergi atau
hipersensitivitas yang dapat mengancam jiwa atau fatal. Lebih penting lagi, tidak
ada definisi yang mengikutsertakan kata "syok". Istilah yang benar "anafilaksis"
lebih disukai dibanding "syok anafilaktik" karena syok tidak harus terjadi pada
pasien dengan anafilaksis. Istilah "anafilaksis" seharusnya juga digunakan sebagai
pilihan dari istilah seperti "reaksi alergi", "reaksi alergi akut", "reaksi alergi
sistemik", "reaksi akut termediasi Ig-E", "reaksi anafilaktoid", atau "pseudoanafilaksis" (2).
I.
Epidemiologi
Hasil dari 10 penelitian Eropa menunjukkan insidensi sebesar 1,5-7,9 per
100.000 orang dalam setahun dengan penelitian dari Inggris menunjukkan
peningkatan angka masuk rumah sakit dengan anafilaksis selama dua dekade.
Berdasarkan tiga penelitian Eropa berbasis populasi, diestimasikan prevalensi
sebesar 0,3%. Secara umum, case fatality rate untuk anafilaksis adalah rendah,
kurang dari 0,001% (3).
Resiko seumur hidup mengalami gejala yang mengarah ke anafilaksis
pada populasi umum, sebagaimana dilaporkan oleh anggota masyarakat,
setidaknya sebesar 1,6%. Perkiraan ini berdasarkan survei dari 1000 masyarakat
dewasa Amerika yang tidak dipilih dengan sakit tiba-tiba yang melibatkan dua
atau
lebih
sistem
organ
tubuh,
termasuk
sistem
pernafasan
dan/atau
Etiologi
Etiologi tersering dari reaksi anafilaksis yaitu alergi makanan, obat-obatan,
sengatan lebah (Hymenoptera) dan lateks. Anafilaksis yang terjadi pada pasien
rawat inap terutama karena reaksi alergi terhadap pengobatan dan lateks,
sedangkan anafilaksis yang terjadi di luar rumah sakit paling banyak disebabkan
oleh alergi makanan.
Antibiotik:
Basitrasin
Neomisin
Darah
Tetrasiklin
Lengkap
Streptomisin, dll
Produk
Gamaglobulin
prosedur diagnosis:
Kriopresipitat
Zat radioopak
Serum
Bromsulfalein
Imunoglobulin i.v.
Benzilpenisiloil-polilisin
Makanan
Bisa (racun):
Susu sapi
Ular
Kerang
Semut api
Kacang-kacangan
Lebah
Ikan
Kumbang
Telur
Udang
Lateks
Anafilaktoid (IgE Independent)
Aktivasi komplemen multimediator Faktor fisik
Olahraga
aktivasi sistem kontak
Suhu (dingin atau panas)
Media radiokontras
Immune aggregates
Angiotensin-converting enzyme
Imunoglobulin intravena
inhibitor yang diberikan selam
Dekstran
Sitotoksik
dialisis ginjal
Reaksi transfusi terhadap elemen
Etilen oksida
Protamin
seluler (IgG, IgM)
Degranulasi sel mast dan basofil Psikogenik
Zat artifisial
nonspesifik
Opioid
Anafilaksis idiopatik
Pelemas otot
Idiopatik
Tabel 1. Etiologi Anafilaksis
Patogenesis
Seperti dibahas diatas anafliaksis alergi selain berdasarkan mekanisme
imunologik juga dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan sistem saraf otonom.
Sistem parasimpatik (kholinergik) dan sistem simpatik (adrenergik) mempunyai
efek yang berlawanan terhadap organ sasarannya, sehingga keadaan inipun akan
mekanisme
yang
sama
perangsangan
saraf
simpatis
akan
juga dapat diatur oleh adanya aktifitas enzim fosfodiesterase yang akan
menghancurkan keduanya cAMP dan cGMP.
Reseptor untuk adrenergik dan dapat dirangsang oleh molekul yang sama
dengan efek berbeda. Norepinefrin yang dihasilkan oleh ujung saraf noradrenergik
misalnya akan mempengaruhi reseptor dengan efek yang berbeda. Perangsangan
reseptor akan lebih besar efeknya dari pada perangsangan reseptor . Sebaliknya
epinefrin yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal akan memberi efek lebih besar
apabila merangsang reseptor . Belakangan ditemukan adanya 2 jenis reseptor
adrenergik 1 dan 2 yang penyebarannya pada sel-sel jaringan tidak merata.
Misalnya reseptor 2 lebih banyak terdapat pada jaringan paru-paru. Keadaan ini
dimanfaatkan untuk pengobatan asma bronkhiale dengan salbutamol yang
merupakan agonis untuk reseptor 2.
Oleh karena keseimbangan siklik nukleotida juga mempengaruhi keadaan sel
sasaran, maka dasar pengobatan alergi juga memperhatikan keadaan fisiologik sel
sasarannya. Apabila sel sasarannya otot polos terjadi peningkatan kadar cAMP
maka otot polos tersebut ada dalam keadaan relaksasi. Keadaan tersebut juga
terjadi pada sel sasaran lainnya, misalnya sel kelenjar sehingga akan terjadi
pengecilan pembuluh darah dan pengurangan sekresi kelenjar. Keadaan tersebut
dapat mengrangi gejala alergi.
2. Antihistamin.
Antihistamin merupakan kelompok obat-obatn yang berkerja menghambat
histamin yang dihasilkan oleh mastosit.
3. Teofilin
Teofilin termasuk kelompok xantin yang mempunyai khasiat mengatasi
renjatan anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui mastosit dan sel sasarannya
seperti halnya adrenalin.
Teofilin menghambat kerja enzim fosfodiesterase yang akan merusak
cAMP, sehingga kadar cAMP akan meningkat akibatnya degranulasi mestosit
dihambat. Selain itu teofilin akan bekerja pada pusat pernafasan dan otot-otot
bronkhus, lebih-lebih otot-otot brunkhus dalam keadaan kontraksi. Kesemuanya
akan mengrangi gejala-gejala renjatan anafilaktik.
4. Kortikosteroid
V.
yang
sebelumnya
pernah
didapatkan
oleh
pasien
(untuk
Pemeriksaan darah
Uji Coomb untuk penderita anemia
Antibodi IgE total serum
Antibodi IgE spesifik dalam RAST (Radioallergosorbent test)
Antibodi IgM dan IgG spesifik
Antibodi antinuklear (ANA) pada SLE yang diduga diinduksi oleh obat-
obatan
Uji kulit
o Uji tusuk (Prick test/Scratch test)
Selain itu pemeriksaan berikut dapat dilakukan setelah keadaan gawat darurat
teratasi :
VI.
Diagnosis Banding
satu
diagnosa
banding
yang
penting
adalah
reaksi
-1 dengan
inhalasi
dapat
ditambahkan
unutk
mengurangi
gejala
yang mengalami anafilaksis. Kombinasi antihistamin H-1 dan H-2 dapat memberi
manfaat tambahan lebih dari antihistamin H-1 saja dalam mengatasi gejala kulit
bagi yang mengalami reaksi alergi akut. Terdapat laporan kasus yang
menyebutkan bahwa antihistamin IV dapat menyebabkan hipotensi, hal ini dapat
berkaitan dengan kecepatan pemberian. Sehingga antihistamin H-1 (dan H-2) oral
hanya direkomendasikan untuk mengatasi gejala kulit anafilaksis (5).
f. Glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid oral atau IV umum digunakan pada anafilaksis dan
diduga dapat mencegah gejala anafilaksis yang berlanjut, terutama pada pasien
yang telah menderita asma, dan reaksi bifasik; namun, hal ini belum terbukti dan
glukokortikosteroid memiliki onset of action yang lambat. Glukokortikosteroid
oral atau parenteral dapat diberikan ketika terapi lini pertama dan kedua telah
diberikan. Budesonide inhalasi dosis tinggi bisa efektif untuk edema saluran
nafas; untuk itu direkomendasikan untuk pasien dengan stridor (5).
D. Terapi potensial lainnya
Pemberian glukoagon secara parenteral dapat berguna dalam menangani
pasien anafilaksis yang tidak responsif terhadap adrenalin, terutama yang
menggunakan blockers (5).
E. Pengawasan dan Pemulangan
Pasien dengan gangguan pernafasan harus diawasi secara ketat untuk
setidaknya 6-8 jam, dan pasien dengan hipotensi memerlukan pengawasan ketat
selama setidaknya 12-24 jam. Sebelum pemulangan, resiko terjadinya reaksi di
masa depan perlu dikaji dan adrenalin auto-injector harus diresepkan pada pasien
yang memiliki resiko terulang. Pasien harus diberikan petunjuk pemulangan,
meliputi usaha menghindari alergen (jika memungkinkan), instruksi untuk kapan
dan bagaimana cara menggunakan adrenalin auto-injector; rujukan ke spesialis
alergi untuk menginvestigasi pencetus yang memungkinkan, mengkaji dan, jika
memungkinkan, mengintervensi untuk meminimalisir resiko terulangnya reaksi,
dan memastikan pasien dan orang yang merawat secara optimal dilengkapi dan
terlatih untuk menangani reaksi; dan, jika makanan ikut berperan, rujukan ke
spesialis gizi (5).
BAB III
KESIMPULAN
Anafilaksis merupakan suatu reaksi alergi berat yang jarang ditemukan
namun memiliki dampak serius dan bahkan fatal bagi pasien. Keadaan ini terjadi
dengan sangat cepat dan memiliki manifestasi klinis yang beragam, bahkan dapat
mengancam jiwa.
Anafilaksis dapat terjadi pada siapa pun, dimana pun dan kapan pun. Oleh
karena itu sangatlah penting untuk memahami definisi, perjalanan klnis hingga
penatalaksaannya. Dengan begitu diharapkan anafilaksis dapat dideteksi secara
cepat dan tepat sehingga dapat dilakukan tatalaksana segera untuk mencegah
perkembangannya dan kematian dapat dihindari.
Kunci dalam menangani dan mencegah komplikasi anafilaksis adalah
kecepatan dan ketepatan diagnosis. Kurangnya kecepatan dan ketepatan diagnosis
anafilaksis masih menjadi masalah sehingga tatalaksana yang harusnya darurat
seringkali terlambat atau bahkan tidak diberikan secara tepat. Pemberian adrenalin
IM adalah kunci dan lini pertama intervensi pada anafilaksis.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Simons FER, Ardusso LRF, Bil MB, El-Gamal YM, Ledford DK, Ring J,
et al. World Allergy Organization Guidelines for the Assessment and
Management of Anaphylaxis. World Allergy Organization Journal.
2011;4(2):1-25.
2.
Simons FE, Ardusso LR, Bilo MB, Cardona V, Ebisawa M, El-Gamal YM,
et al. International consensus on (ICON) anaphylaxis. World Allergy
Organ J. 2014;7(1):9.
3.
4.
5.
6.
Wood RA, Camargo CA, Jr., Lieberman P, Sampson HA, Schwartz LB,
Zitt M, et al. Anaphylaxis in America: the prevalence and characteristics of
anaphylaxis
in
the
United
States.
Allergy
Clin
Immunol.
2014;133(2):461-7.
7.
8.
Mullins RJ, Dear KB, Tang ML. Time trends in Australian hospital
anaphylaxis admissions in 1998-1999 to 2011-2012. J Allergy Clin
Immunol. 2015;136(2):367-75.
9.
10.
Simons FE, Ardusso LR, Bilo MB, Dimov V, Ebisawa M, El-Gamal YM,
et al. 2012 Update: World Allergy Organization Guidelines for the
assessment and management of anaphylaxis. Curr Opin Allergy Clin
Immunol. 2012;12(4):389-99.
11.
12.
13.
Bohlke K, Davis RL, DeStefano F, Marcy SM, Braun MM, Thompson RS,
et al. Epidemiology of anaphylaxis among children and adolescents
enrolled in a health maintenance organization. J Allergy Clin Immunol.
2004;113(3):536-42.
14.
15.
16.
17.
18.
de Silva IL, Mehr SS, Tey D, Tang ML. Paediatric anaphylaxis: a 5 year
retrospective review. Allergy. 2008;63(8):1071-6.
19.
20.
21.