Vous êtes sur la page 1sur 6

TUGAS AGAMA

Disusun oleh :
Kevin SW

12.30.0153

Vincentius Ivan

13.30.0093

Tirta Hartanti

13.30.0105

Agnes Averina

13.30.0105

Anggi Bayu

13.30.0257

FAKULTAS EKONOMI dan BISNIS


UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2016

Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ atau yang lebih dikenal dengan Soegija adalah uskup
pribumi Indonesia pertama dan dikenal karena pendiriannya yang pro-nasionalis, yang sering
disebut "100% Katolik, 100% Indonesia".Beliau dilahirkan pada 25 November 1896 di Surakarta
dan merupakan anak kelima dari Sembilan bersaudara.
Romo Soegijapranata menemukan inti terdalam dari identitas dirinya. Orang jawa yang
mengalami perjumpaan dengan kekristenan yang kemudian mewujudkan cita-citanya sebagai
imam untuk dapat mengabdi kepada bangsa dan Tuhan. Identitas yang bertolak dari seseorang
yang terlahir dalam keluarga Jawa dan masyarakat sekelilingnya mengalami penegasan dan
pengayaan dalam persentuhan dengan budaya Eropa, dengan kristianitas, studi filsafat dan
teologia serta kerohanian yang didalaminya.
Soegija mulai menempuh pendidikannya di sebuah Sekolah Angka Loro di wilayah
Kraton. Di sana, ia belajar membaca dan menulis. Ia kemudian dipindahkan ke suatu sekolah di
Wirogunan, Yogyakarta, dekat Pakualaman. Pada tahun ketiga ia mulai menempuh pendidikan di
sebuah

Holland

Indland

Sc

di

Lempuyangan.

Di

luar

sekolah

ia

belajar gamelan dan menembang bersama orang tuanya. Sekitar 1909 Soegija diminta oleh
Pater Frans van Lith untuk bergabung dengan sebuah sekolah Yesuit di Muntilan, 30 kilometer
barat laut Yogyakarta. Sikap yang humanis sekaligus humoris selalu menjadi gaya
kepemimpinan Soegija sejak beliau remaja sampai beliau menjadi uskup. Kepemimpinan yang
terbuka, tegas dan selalu mengedapankan kepentingan umum selalu mewarnai kehidupannya.
Sikap yang sederhana, bersahaja, tegas dan bijaksana ini maka pada tanggal 1 Agustus 1940
Rama Soegija diangkat sebagai Vikaris Apostolik di Semarang dan ini merupakan peristiwa luar
biasa. Karena Rama Soegija adalah uskup pribumi pertama di Vikaris Apostolik yang
sebelumnya berada di wilayah Vikaris Apostolik Batavia.Bagi orang-orang yang bukan katolik
pun peristiwa itu menarik perhatian, bahwa ditengah-tengah persoalan mengenai perbedaan ras
dan politik, berani terus maju menempuh jalan yang sudah direncanakan sebelumnya. Putra-putri
katolik Jawa Tengah dibawah seorang uskup Jawa dibantu oleh banyak tenaga misionaris asing
bekerja sama untuk memperluas dan memperdalam Kerajaan Allah di Jawa. Soegija menyadari
bahwa peristiwa itu memberikan bukti bahwa gereja merupakan ibu bagi semua orang, ibu yang

berani memberikan kepercayaan kepada semua putranya, meskipun terdiri dari berbagai bangsa
namun tetap merupakan kesatuan ialah gereja.Bagi ibu gereja tidak ada perbedaan antara bangsa
Yahudi, Yunani, Belanda dan Jawa.

Sebagai uskup baru dan pertama di Vikaris Apostolik Semarang, beliau belum memiliki
rumah khusus bagi tempat tinggal uskup, maka dipilihlah gereja Gendangan. Pada awal karya
beliau sebagai uskup yang pada saat itu masa kependudukan Jepang di Indonesia adalah masamasa yang berat, dimana para misionaris ditangkap oleh tentara pendudukan Jepang, bahkan
mereka ditempatkan didalam kamp-kamp tawanan yang kondisinya sangat buruk. Kondisi yang
semakin menyedihkan beliau adalah kondisi rakyat terutama para perempuan-perempuan
ditangkap dan ditawan dan mereka diperlakukan secara tidak manusiawi.Sebagai seorang
pemimpin beliau tidak tinggal diam, beliau tetap tinggal di Semarang bersama-sama rakyat
Semarang untuk terus memperjuangkan hak-hak hidup bagi para misionaris dan rakyat Semarang
melalui cara-cara beliau.Memilih untuk tetap tinggal di Semarang bersama rakyat Semarang
pada saat masa pendudukan Jepang adalah pilihan yang tidak mudah. Rama Soegija bisa saja
ikut mengungsi menghindari kekerasan yang dilakukan oleh tentara Jepang tetapi itu tidak
dilakukan oleh beliau. Rama Soegija mempunyai keyakinan hidup bersama rakyat Semarang
adalah cara bagaimana merasakan penderitaan masyarakat disekitarnya. Bahkan beliau
mengatakan dengan tegas, Kalau pada waktu itu ada yang berkata barangsiapa tidak mau
mengungsi adalah pengkhianat, tetapi saya berpendirian sebaliknya yaitu siapa meninggalkan
kota serta keluarganya adalah pengkhianat. Sebab dengan meninggalkan kota serta keluarganya
itu sama saja artinya dengan membiarkan keluarganya serta negaranya menjadi rayahan artinya
saling berebutan musuh, sedangkan orang-orang itu sendiri tidak mau meninggalkan Semarang
untuk mengungsi. Saya akan tetap menjaga tempat tinggal saya dan mempertahankan tanggung
jawab saya

Semangat nasionalisme yang selalu digelorakan oleh Soegija pada jamannya adalah
tindakan-tindakan riil yang sederhana tetapi punya makna yang mendalam. Soegija selalu
memulai dari hal-hal yang paling kecil yaitu

(1). memajukan bangsanya lewat pendidikan, dimana beliau selalu konsisten dalam memajukan
rakyat kecil belum mengenal pendidikan tanpa memandang latar belakang agama, suku ataupun
ras.
(2). Memperhatikan para pengungsi dengan ikut serta menggerakkan para pemuda untuk
membantu para pengungsi dibidang logistik dan kesehatan.
(3). Memperhatikan kaderisasi dan pendidikan kaum muda agar mampu menjadi pemimpin
yang memegang teguh nilai-nilai agama, budaya dan kebangsaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, pada suatu hari datang serombongan pemuda-pemuda katolik
menjumpai beliau dan bertanya, Apakah kami sebagai orang katolik bisa ikut berjuang untuk
menghadapi Belanda. dengan nada marah beliau mengatakan, Apa ! Coba ulangi lagi
pertanyaan itu, Ayo !!Segera berangkat !!!.Dan kau baru boleh pulang kalau mati !!!. .
Dari perkataan cukup keras tersebut, beliau ingin memberikan pelajaran yang berharga bagi
generasi muda bahwa sikap patriot, cinta tanah air dan rela berkorban bagi bangsa dan negara
harus ditanamkan pada generasi muda. Kerena kaum mudalah yang mampu menjadi harapan hari
depan negara. Pendidikan kaum muda adalah pertama-tama merupakan tugas dari kaum tua
terhadap kaum muda.Kaum tua memberikan dorongan moral terhadap kaum muda untuk
berkembang, memberikan ruang kreatifitas dan melaksanakan ide, konsep sampai pada
implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Oleh kerena itu kaum tua juga
hendaknya sadar bahwa mereka jangan selalu memaksakan kehendak pada kaum muda,
walaupun mereka mempunyai sejarah, tetapi sejarah itu sebagai pelajaran hidup bukan buku suci
yang harus dilaksanakan oleh kaum muda.

Romo Mgr. Albertus Soegijapranata SJ meninggal dunia di Steyl, Venlo, Belanda, tanggal
22 Juli 1963 pada usia 66 tahun.
Romo Mgr. Albertus Soegijapranata SJ sudah lama wafat. Namun karya dan semangatnya
masih relevan untuk terus dikenang oleh anak-anak bangsa yang merindukan semangat
nasionalis tanpa sekat-sekat jatidiri agama, kebudayaan, kultur, warna kulit, etnis, dan bahasa.

Jenazah Romo Mgr. Albertus Soegijapranata SJ dibawa pulang ke Indonesia dan


selanjutnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal di jantung kota Semarang,
Jawa Tengah. Hanya selang tiga hari setelah beliau meninggal, Presiden pertama RI Ir. Soekarno
langsung menetapkan almarhum sebagai Pahlawan Nasional sebagaimana termaktub dalam SK
Presiden RI.No 152 tahun 1963 di tanggal 26 Juli 1963.Seperti kata Santo Ireneus Kemuliaan
Tuhan tercermin pada manusia yang hidup sepenuhnya, pun pula keinginan Mgr. Albertus
Soegijapranata yakni Indonesia yang merdeka dan berdaulat karena di situlah karya agung Tuhan
menjadi tampak mengemuka dengan lebih jelas.
Lalu bagaimana bagaimana kita melihat di jaman saat ini, apakah yang dilakukan oleh
Soegija masih sangat relevan untuk kita teladani dalam kehidupan sehari-hari.Tentunya jawaban
adalah sangat-sangat bisa kita lakukan kalau kita tulus ingin melaksanakan.Tantangan kehidupan
memang lebih kompleks di saat ini, dibandingkan ketika jaman beliau masih hidup. Di era
sekarang adalah era jaman

dimana matrialisme menjadi Tuhan yang selalu menjanjikan

kenikmatan-kenikmatan duniawi yang menggiurkan. Oleh karena itu martabat manusia bukan
lagi menjadi ukuran moral tetapi justru manusia dipandang sebagai pelaku ekonomi, sebagai alat
penikmat produksi.Sifat individualistik dan hanya berpikir untuk kepentingan kelompok telah
menjauhkan manusia dari kodratnya sebagai makhluk social.Interaksi sosial yang seharusnya
bersifat kolektif dalam arti luas tetapi justru hanya mengarah pada interaksi yang bersifat
kronisme dan idologis dangkal.Hubungan sosial tidak lagi bersifat hubungan asosiatif tetapi lebih
bersifat disosiatif. Sehingga kekerasan dan pertentangan lebih menarik menjadi tontonan
daripada kerja sama untuk menjalin silahturami. Perbedaan idiologi, agama, suku, ras dan partai
politik yang seharusnya menjadi warna yang indah bagaikan taman sari yang beraneka bunga
tetapi justru menjadi ruang konflik tanpa ujung, saling mengklaim keberanan menurut tafsir
mereka. Sehingga berakibat munculnya berbagai konflik horizontal.Hal ini justru menempatkan
kita pada jaman serba sulit dan berat.Agama seharusnya menjadi ruang relegiositas, dimana
sebagai tempat penyembahan manusia kepada misteri yang kudus.Tetapi justru masuk ranah
politik yang penuh dengan kepentingan-kepentingan sesaat.Sehingga agama dipakai senjata
untuk melakukan berbagai kekerasan.Tidak saja dalam bidang agama, pertentangan antar suku
juga terjadi, disebabkan permasalahan ekonomi, sosial dan politik juga memperparah rusaknya
peradaban publik.

Lampiran

Vous aimerez peut-être aussi