Vous êtes sur la page 1sur 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai
adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran
nafas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik. World
Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia
menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga
mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien
asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama
20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka
diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa
akan datang serta mengganggu proses tumbuh-kembang anak dan kualitas hidup
pasien.
Asma memberi dampak negatif bagi pengidapnya seperti sering
menyebabkan anak tidak masuk sekolah, membatasi kegiatan olahraga serta
aktifitas seluruh keluarga, juga dapat merusak fungsi sistem saraf pusat,
menurunkan kualitas hidup penderitanya, dan menimbulkan masalah pembiayaan.
Selain itu, mortalitas asma relatif tinggi. WHO memperkirakan terdapat 250.000
kematian akibat asma.
Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya,
dan tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan
untuk menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya
penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama
adalah menghindari faktor penyebab.
1.2 Batasan Masalah
Referat ini

membahas

tentang

patogenesis,

diagnosis

dan

penatalaksanaan asma pada anak.


1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan khusus dari penyusunan makalah ini adalah sebagai salah satu
tugas dari mata kulian Farmakoterafi dan tujuan umumnya untuk

memberitahukan kepada pembaca mengenai patogenesis, diagnosis dan


penatalaksanaan asma pada anak.
1.4 Metode Penulisan
Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Dan Fisiologi Sistem Pernafasan
Pernafasan merupakan proses ganda yaitu terjadinya pertukaran gas di
dalam jaringan atau pernafasan dalam dan didalam paru-paru atau pernafasan
luar.
Organ organ yang berperan dalam sistim pernafasan diantaranya :
1. Hidung ( cavum nasalis )
Merupakan suatu saluran pernafasan pertama, tempat masuknya udara.
Udara yang masuk melewati rongga hidung akan disaring oleh silia dan
selaput lendir yang bertujuan agar partikel-partikel asing tidak masuk ke
saluran

pernafasan. Selain itu di dalam rongga hidung udara akan

mengalami penghangatan yaitu penyesuaian suhu udara dengan

suhu

tubuh manusia.
2. Rongga tekak ( faring )
Merupakan dareah pertemuaan berupa rongga pertigaan arah saluran
pernafasan (batang tenggorokan), saluran pencernaan (esofagus), dan
saluran ke rongga hidung. Faring terletak di belakang rongga hidung dan
faring berfungsi sebagai jalannya udara dan makanan.
3. Pangkal tenggorokan ( laring)
Merupakan saluran udara yang bertindak sebagai pembentuk suara,
terletak di depan bagian faring dan masuk ke dalam trakea dibawahnya.
Pangkal dari laring tersusun dari lempengan lempengan tulang rawan
dan katup (efiglotiis) yang berfungsi untuk menutup jalan udara saat
menelan makanan, sehingga tidak tersedak saat menelan makanan. Pada
laring terdapat pita suara yang akan bergetar jika ada udara yang
melaluinya.
4. Batang tenggorokan ( Trekea)
Merupakan pipa yang tersusun atas cincin-cincin tulang rawan berjumlah
16-20 berbentuk seperti cincin seperti kuku kuda ( C ) degan tiga lapisan
sel yaitu lapisan epitelium ( berlendir dan bersilia) berfungsi
mengeluarkan partikel partikel asing yang masuk ke saluran pernafasan.
lapisan tulang rawan dengan otot polos serta lapisan terluar yang terdiri
dari jaringan pengikat.
5. Cabang batang tenggorokn (Bronkus)
Merupakan batang cabang tenggorokan, jumlahnya sepasang, yaitu satu
menuju paru paru kanan dan yang satu lagi menuju paru paru kiri.
Dingding Bronkus terdiri dari tiga lapisan yaitu jarigan ikat, otot polos
dan, jaringan efitel yang sering disebut trakea perbedaannya bahwa
dingding trakea jauh lebih tebal dan cincin tulang rawan pada bronkus
tidak berbentuk lingkar sempurna. Kedudukan bronkus ke kanan dan ke
berbeda, ke kiri lebh mendatar.
6. Bronkiolus dan alveolus
Dari bronkus akan diteruskan ke saluran yang lebih halus lagi, yaitu
Bronkiolus dan bermuara pada gelembung gelembung halus alveolus.

Alveolus sebagai tempat terjadinya difusi O2 dan CO2 yang diselubungi


pembuluh darah kafiler.
7. Paru paru ( pulmo )
Udara yang masuk kedalam bronkus diteruskan ke paru paru yang
terletak di dalam rongga dada dan dibungkus oleh selaput paru paru
(pleura). Paru-paru merupakan kumpulan gelembung alveolus yang
dibatasi dari samping oleh otot dan rusuk serta dari bawah dibatasi oleh
difragma. Paru-paru kiri berbolus dua, paru-paru kanan berbolus tiga
dimana letak paru paru kiri lebih mendatar daripada paru paru kanan.
Proses fisiologi pernapasan di mana oksigen dipindahkan dari udara ke
dalam jaringan-jaringan, dan karbon dioksida dikeluarkan ke udara ekspirasi dapat
dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya
campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru-paru. Stadium kedua, transportasi
yang terdiri dari beberapa aspek: (1) difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler
paru-paru (respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan; (2)
difusi darah dalam sirkulasi pulmonari dan penyesuaiannya dengan distribusi
udara dalam alveolus-alveolus; dan (3) reaksi kimia dan fisik dari oksigen dan
karbon dioksida dengan darah. Respirasi sel atau respirasi interna merupakan
stadium akhir dari respirasi, yaitu saat di mana metabolit dioksidasi untuk
mendapatkan energi, dan karbon dioksida terbentuk sebagai sampah proses
metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru-paru.
2.2 Definisi Asma
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya terengah-engah. Asma
merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang
trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi
sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan reversible akibat
bronkospasme. Asma menunjukan respon abnormal saluran pernapasan terhadap
berbagai rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan napas yang meluas.
Penyempitan jalan napas disebabkan oleh bronkospasme, edema mukosa, dan
hipersekresi mukus yang kental.

Asma merupakan nafas pendek yang disertai paroxysmal wheezing (nafas


berbunyi) yang terjadi karena adanya peningkatan resistensi/ tahanan pada saluran
napas kecil, sehingga diperlukan upaya bernapas lebih banyak, baik untuk
menarik maupun menghembuskan napas kembali. Keadaan ini umumnya terjadi
tiba-tiba, akan tetapi reversible.
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan
jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun
sebagai hasil pengobatan (Soeparman, 1990).
Menurut Sylvia Anderson (1995 : 149) asma adalah keadaan klinis yang
ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang reversibel, dipisahkan oleh masa di
mana ventilasi jalan nafas terhadap berbagai rangsang.
Orang yang menderita asma memiliki ketidak mampuan mendasar dalam
mencapai angka aliran udara normal selama pernapasan (terutama pada ekspirasi).
Ketidak mampuan ini tercermin dengan rendahnya volume udara yang dihasilkan
sewaktu melakukan usaha eksirasi paksa pada detik pertama. Karena banyak
saluran udara yang menyempit tidak dapat dialiri dan dikosongkan secara
cepat,tidak terjadi aerasi paru dan hilangnya ruang penyesuaian normal antara
ventilasidan aliran darah paru. Turbulensi arus udara dan getaran mukus bronkus
mengakibatkan suara mengi yang terdengar jelas selama serangan asma, namun
tanda fisik ini juga terlihat mencolok pada masalah saluran napas obstruktif.
Diantara serangan asma, pasien bebas dari mengi dan gejala, walaupun reaktivitas
bronkus meningkat dan kelainan pada ventilasi tetap berlanjut. Namun, pada asma
kronik, masa tanpa serangan dapat menghilang, sehingga mengakibatkan keadaan
asma yang terus menerus yang sering disertai infeksi bakteri sekunder.
2.3 Epidemiologi Asma
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana
terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi
pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada

anak-anak. Berdasarkan data dari WHO (2002), diseluruh dunia diperkirakan pada
tahun 2025 jumlah pasien asma mencapai 400 juta. Selain itu, setiap 250 orang
ada satu orang meninggal karena asma setiap tahunnya.
Prevalensi asma di dunia sangat bervariasi dan penelitian epidemiologi
menunjukkan bahwa kekerapan asma semakin meningkat terutama di negara
maju. Data dari berbagai Negara menunjukkan bahwa prevalensi penyakit asma
berkisar antara 1-18%. Peningkatan prevalensi asma terutama meningkat pada
kelompok anak dan cenderung menurun pada kelompok dewasa.
Di Indonesia, diperkirakan jumlah pasien asma 2-5% dari penduduk
Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 mengajukan angka
sebesar 7,6%. Pada SKRT tahun 1992, asma, bronkritis kronik, dan emfisema
sebagai penyebab kematian keempat di Indonesia sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT
tahun 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1000
penduduk. Di bandung terjadi kenaikan prevalensi gejala asma dari 2,1% pada
tahun 1995 menjadi 5,2% pada tahun 2001.
Asma pada dewasa, Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo, Surabaya
melakukan penelitian di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan
menggunakan kuesioner modifikasi ATS yaitu Proyek Pneumobile Indonesia dan
Respiratory symptoms questioner of Institute of Respiratory Medicine, New South
Wales, dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak flow
meter dan uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13-70 tahun (ratarata 35,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7%, dengan rincian lakikali 9,2% dan perempuan 6,6%.

Gambar 2.2: Prevalensi Asma di Indonesia


Sumber : Litbang Kesehatan Tahun 2010
2.4 Etiologi Asma
Resiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu
(host factor) dan faktor lingkungan. Faktor penjamu termasuk predisposisi genetik
yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu asma genetik, alergik
(atopi), hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras.
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai
penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/
kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma,
dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus,
kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma,
maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara
yang dapat diukur secara objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi,
walau disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat
dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi
menimbulkan asma, antara`lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1,
reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam menimbulkan
asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2,
CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya.

Genetik mengontrol respons imun. Gen-gen

yang berlokasi pada

kompleks HLA (human leucocyte antigen) mempunyai ciri dalam memberikan


respons imun terhadap aeroalergen. Kompleks gen HLA berlokasi pada
kromosom 6p dan terdiri atas gen kelas I, II dan III dan lainnya seperti gen TNF. Banyak studi populasi mengamati hubungan antara respons IgE terhadap
alergen spesifik dan gen HLA kelas II dan reseptor sel T, didapatkan hubungan
kuat antara HLA alel DRB1*15 dengan respons terhadap alergen.
Genetik mengontrol sitokin proinflamasi. Kromosom 11,12,13 memiliki
berbagai gen yang penting dalam berkembangnya atopi dan asma. Fenotip alergik
dikaitkan dengan kromosom 11, kromosom 12 mengandung gen yang mengkode
IFN-g, mast cell growth factor, insulin-like growth factor dan nictric oxide
synthase. Studi berkesinambungan menunjukkan ada ikatan positif antara petandapetanda pada lokus 12q, asma dan IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19.
2.5 Faktor Risiko
Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Faktor genetik
(a) Hiperreaktivitas
(b) Atopi/Alergi bronkus
(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
(d) Jenis Kelamin
(e) Ras/Etnik
2. Faktor lingkungan
(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria/jamur)
(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)

dll)
Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
Ekspresi emosi berlebih
Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika

melakukan aktivitas tertentu


(j) Perubahan cuaca
Exercised induced asthma merupakan obstruksi jalan napas yang
berhubungan dengan exercised tanpa mempertimbangkan ada tidaknya asma

bronkial.

Beberapa

literatur

menyebutnya

sebagai

exercised

induced

bronchospasm (EIB). Exercised induced asthma harus dibedakan antara penderita


asma dengan atlit. Pada EIB, didapatkan berespons terhadap bronkodilator dan
metakolin, serta berhubungan eosinofil. Sedangkan EIB pada atlit, tidak
ditemukan respon tersebut. Latihan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya EIB
adalah latihan fisik yang mengakibatkan tercapainya 90-95% predictable
maximum heart rate.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma:

Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang


berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta

pajanan asap rokok.


Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian 2 agonist.
Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang,
alergen dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen
seperti serbuk sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di
tempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga, menangis, tertawa,
hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal
refluks).

Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut:


Hiperaktivitas bronkus

obstruksisi

Faktor Genetik
Sensitisasi

inflamasi

Gejala Asma

Faktor Lingkungan
Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta
penyakit yang terkait
dengan
penyakit asma
sangat
banyak. Gen
MHC manusia
Pemicu
(inducer)
Pemacu
(enhancer)
Pencetus
(trigger)
yang terletak pada kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan
sampai saat ini masih merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam
kaitannya dengan asma. HLA-DR merupakan MHC (major histocompatibility
complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel yang disandikan oleh kompleks
antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen) yang terletak pada
kromosom 6 daerah 6p21.31(1).

2.6 Klasifikasi Asma


Asma terbagi menjadi alergi, idiopatik, nonalergik dan campuran:
1. Asma alergik/ekstrinsik, merupakan suatu jenis asma yang disebabkan oleh
alergen (misalnya bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan dan
lain-lain).

Alergen

yang

paling

umum

alergen

yang

perantaraan

penyebarannya melalui udara (airbone) dan alergen yang muncul secara


musiman (seasonal). Bronkokontriksi terjadi karena dilepaskannya amin
vasoaktif dari sel mast mukosa bronkus, dipicu oleh imunoglobulin E. pasien
dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat pengobatan ekzema atau
rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma.
Gejala asma umumnya dimulai saat kanak-kanak namun akan berkurang
apabila setelah dewasa.
2. Idiopatik atau nonallergic asthma/instrinsik, merupakan jenis asma yang tidak
berhubungan secara langsung dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti
commond cold, infeksi saluran napas atas, aktivitas, emosi dan polusi
lingkungan dapat menimbulkan serangan asma. Beberapa agen farmakologi,
antagonis beta-adrenergik, dan agen sulfite (penyedap makanan) juga dapat
berperan sebagai faktor pencetus. Serangan asma idiopatik atau nonalergik
dapat menjadi lebih berat an sering kali dengan berjalannya waktu dapat
berkembang menjadi bronchitis dan emfisema. Pada beberapa pasien, asma
jenis ini dapat berkembang menjadi asma campuran. Bentuk asma ini biasanya
dimulai pada saat dewasa (> 35 tahun) dan lebih sering pada perempuan.
Asma jenis ini tidak begitu mendadak seperti asma ekstrinsik.
3. Asma campuran (mixed asthma), merupakan bentuk asma yang paling sering
ditemukan. Terjadi pada asma okupasional karena pajanan bahan tertentu di
tempat kerja, misalnya tepung gandum. Terjadi reaksi hipersensitivitas tipe III.
Gejala timbul beberapa jam sesudah pajanan. Reaksi bronkkus mungkin
dipicu oleh kompleks imun. Kadang-kadang dapat terjadi reaksi tipe I dan tipe
III secara bersamaan.
Tabel 2. Klasifikasi Asma

Klasifikasi klinis (untuk berumur 12 tahun)


Seringnya
Keparahan

terjadi

waktu malam

gejala

hari

diperkirakan

Intermite 2/mingg
n

Persisten
sedang

FEV1Variabilita penggunaan
s

SABA

2
2/bulan

80%

<20%

hari/mingg
u

Persisten >2/mingg
ringan

Gejala pada %FEV1 sesua

>2
34/bulan

80%

2030%

hari/mingg
u

Harian

Persisten

Secara

berat

kontinu

>1/minggu

6080%

>30%

<60%

>30%

Harian

Seringnya
(7/minggu
)

dua
kali/hari

Tabel 3. Serangan Asma Akut


tingkat keparahan serangan asma akut
Hampir menyebabkan

PaCO2 tinggi dan/atau membutuhkan bantuan

kematian

alat ventilasi mekanik

Mengancam nyawa
(orang tertentu pada)

Tanda-tanda klinis

Pengukuran

Perubahan tingkat kesadaran Puncak aliran <


33%

Saturasi

Kelelahan

Oksigen < 92%

Aritmia

PaO2 < 8 kPa


"Normal"

Rendah tekanan darah

PaCO2

Sianosis
Tidak ada aliran udara yang
terdengar
Upaya nafas buruk
Puncak aliran 3350%
Frekuensi pernapasan 25 bernapas setiap
Sangat akut

menit

(orang tertentu pada)

Frekuensi denyut jantung 110 denyut setiap


menit
Tidak dapat menyelesaikan kalimat dalam satu
kali tarikan napas
Gejala memburuk
Puncak aliran 5080% terbaik atau

Sedang

diperkirakan
Tidak ada fitur asma sangat berat

2.8 Patogenesis dan Patofisiologis Asma


Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa sel.
Inflamasi kronis mengakibatkan dilepaskannya beberapa macam mediator yang
dapat

mengaktivasi

sel

target

di

saluran

napas

dan

mengakibatkan

bronkokontriksi, kebocoran mikrovaskuler dan edema, hipersekresi mucus, dan


stimulasi refleks saraf. Pada asma terjadi mekanisme hiperresponsif bronkus dan
inflamasi, kerusakan sel epitel, kebocoran mikrovaskuler, dan mekenisme saraf.

Hiperresponsif bronkus adalah respon bronkus yang berlebihan akibat


berbagai rangsangan dan menyebabkan penyempitan bronkus. Peningkatan respon
bronkus biasanya mengikuti paparan allergen, infeksi virus pada saluran napas
atas atau paparan bahan kimia. Hiperresponsif bronkus dihubungkan dengan
proses inflamasi saluran napas. Pemeriksaaan histopatologi pada penderita asma
didapatkan infiltrasi sel radang, kerusakan epitel bronkus, dan produksi secret
yang sangat kental. Meskipun ada beberapa bentuk rangsangan, untuk terjadinya
respon inflamasi pada asma mempunyai cirri khas yaitu infiltrasi sel eosinofil dan
limfosit T disertai pelepasan epitel bronkus.
Pada saluran napas banyak didapatkan sel mast, terutama di epitel bronkus
dan dinding alveolus, sel mast mengandung neutral triptase. Triptase mempunyai
aktivitas proteolitik antara lain aktivasi komplemen, pemecahan fibrinogen dan
pembentukan kinin. Sel mast mengeluarkan berbagai mediator seperti histamine,
prostaglandin-D2 (PGD2), dan Leukotrien-C4 (LTC4) yang berperan pada
bronkokontriksi. Sel mast juga mengeluarkan enzim triptase yang dapat memecah
peptide yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP) dan heparin. VIP bersifat
sebagai bronkodilator. Heparin berperan dalam mekanisme anti inflamasi, heparin
mengubah basic protein yang dikeluarkan oleh eosinofil menjadi tidak aktif.
Makfrofag terdapat pada lumen saluran napas dalam jumlah banyak,
diaktivasi oleh IgE dependent mechanism sehingga makrofag berperan dalam
proses inflamasi pada penderita asma. Makrofag melepaskan mediator seperti
tromboksan A2, prostaglandin, platelet activating factor (PAF), leukotrien-B4
(LTB4), tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 (IL-1), reaksi komplemen dan
radikal bebas oksigen. Berbeda dengan sel mast, pelepasan mediator oleh
makrofag dapat dihambat dengan pemberian steroid tetapi tidak oleh golongan
agonis beta-2.
Infiltrasi eosinofil di saluran napas, merupakan gambaran khas untuk
penderita asma. Inhalasi alergen menyebabkan eosinofil pada cairan bilasan
bronkoalveolar pada saat itu dan beberapa saat sesudahnya (reaksi lambat).

Terdapat hubungan langsung antara jumlah eosinofil pada darah perifer dan pada
bilasan bronkoalveolar dengan hiperresponsif bronkus. Eosinofil melepaskan
mediator seperti LTC4, PAF, radikal bebas oksigen, mayor basic protein (MBP),
dan eosinofil derived neurotoxin (EDN) yang bersifat sangat toksik untuk saluran
napas.
Neutrofil banyak dijumpai pada asma yang diakibatkan oleh kerja.
Neutrofil diduga menyebabkan kerusakan epitel oleh karena pelepasan metabolit
oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil merupakan sumber mediator
seperti prostaglandin, tromboksan, LTB4, da PAF.
Limfosit T diduga mempunyai peranan penting dalam respon inflamasi
asma, karena masuknya antigen ke dalam tubuh melalui antigen reseptor
complemen-D3 (CD3).
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi
struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang
berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue
Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan
profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-), dan proliferasi serta
diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang
penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi
faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi
sel-sel

otot

polos

saluran

respiratori

dan

meningkatkan

permeabilitas

mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf.


Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada
dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat asma.
Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan
kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan
berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan
perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan
penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting
pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama
pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak
sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid.
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus.
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan
oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi
yang terjadi.

Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan


serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit
dan limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti
leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis
memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya
menimbulkan hiperaktivitas bronkus.
Patofisiologi suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi
terpapar dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk
imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk
kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag
yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen diproses
dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan
signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi
menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E (IgE).
IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan
basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka
orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah
rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen
tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan
basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca ++ kedalam sel dan perubahan
didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi
sel ini akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi :
histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic
chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akan
menyebabkan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik
saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan
bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya
edema

mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas ,

peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga


reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak

merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli,
akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap yang
sangat lanjut.
Serangan asthma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga
stadium. Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Batuk
ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada stadium ini
terjadi edema dan pembengkakan bronkus. Stadiun kedua ditandai dengan batuk
disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak nafas, berusaha untuk
bernafas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi (wheezing ). Klien
lebih suka duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur, penberita
tampak pucat, gelisah, dan warna kulit sekitar mulai membiru. Sedangkan stadiun
ketiga ditandai hampir tidak terdengarnya suara nafas karena aliran udara kecil,
tidak ada batuk,pernafasan menjadi dangkal dan tidak teratur, irama pernafasan
tinggi karena asfiksia.
2.9 Gejala Klinis Asma
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase
inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi
mengi (wheezing), batuk yang disertai serangn napas yang kumat-kumatan. Pada
beberapa penderita asma, keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan
sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat
atau tiba-tiba menjadi lebih berat.
Wheezing terutama terdengar saat ekspirasi. Berat ringannya wheezing
tergantung cepat atau lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila
dijumpai obstruksi ringan atau kelelahan otot pernapasan, wheezing akan
terdengar lebih lemah atau tidak terdengar sama sekali. Batuk hampir selalu ada,
bahkan seringkali diikuti dengan dahak putih berbuih. Selain itu, makin kental
dahak, maka keluhan sesak akan semakin berat.
Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk
membungkuk dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Posisi ini
didapati juga pada pasien dengan Chronic Obstructive Pulmonary Disease

(COPD). Tanda lain yang menyertai sesak napas adalah pernapasan cuping hidung
yang sesuai dengan irama pernapasan. Frekuensi pernapasan terlihat meningkat
(takipneu), otot Bantu pernapasan ikut aktif, dan penderita tampak gelisah. Pada
fase permulaan, sesak napas akan diikuti dengan penurunan PaO2 dan PaCO2,
tetapi pH normal atau sedikit naik. Hipoventilasi yang terjadi kemudian akan
memperberat sesak napas, karena menyebabkan penurunan PaO2 dan pH serta
meningkatkan PaCO2 darah. Selain itu, terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut
nadi sampai 110-130/menit, karena peningkatan konsentrasi katekolamin dalam
darah akibat respons hipoksemia.
2.10

Diagnosis Asma
1. Anamnesa
a. Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk
berdahak yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari.
b. Semua keluhan biasanya bersifat episodik dan reversible.
c. Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau
penyakit alergi yang lain.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita
lebih nyaman dalam posisi duduk.
b. Jantung
: pekak jantung mengecil, takikardi.
c. Paru
:
Inspeksi
: dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong
ke bawah.
: terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang.
: hipersonor
: Vokal Fremitus kanan=kiri
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium meliputi :
a. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum pada penderita asma akan didapati :
- Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal
Auskultasi
Perkusi
Palpasi

eosinopil.
- Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari
cabang bronkus.
- Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.

- Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat


mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
b. Pemeriksaan darah
- Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
- Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
- Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3
dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
- Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada
waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
c. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada
waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni
radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka
kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
- Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan
bertambah.
- Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen
akan semakin bertambah.
- Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
- Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
- Bila
terjadi
pneumonia
mediastinum,
pneumotoraks,

dan

pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada


paru-paru.

d. Pemeriksaan tes kulit


Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen
yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma. Pemeriksaan
menggunakan tes tempel.
e. Elektrokardiografi

Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat


dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi
pada empisema paru yaitu :
- Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi
dan clockwise rotation.
-Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB
(Right bundle branch block).
- Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES,
dan
- VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
f. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara
yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon
pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan
sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau
nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak
lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol
bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting
untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi
pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. (Medicafarma,2008)
g. Uji provokasi bronkus untuk membantu diagnosis
Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara pengobatan yang
paling rasional, karena sasaran obat-obat tersebut langsung pada faktorfaktor yang menyebabkan bronkospasme. Pada umumnya pengobatan
profilaksis berlangsung dalam jangka panjang, dengan cara kerja obat
sebagai berikut :
a. Menghambat pelepasan mediator.
b. Menekan hiperaktivitas bronkus.
Hasil yang diharapkan dari pengobatan profilaksis adalah :
a.Bila

mungkin

b.Menghentikan

bisa
atau

menghentikan
mengurangi

obat
pemakaian

c. Mengurangi banyaknya jenis obat dan dosis yang dipakai.

simptomatik.
steroid.

d.Mengurangi tingkat keparahan penyakit, mengurangi frekwensi serangan


dan meringankan beratnya serangan.
Obat profilaksis yang biasanya digunakan adalah :

Steroid dalam bentuk aerosol.


Disodium Cromolyn.
Ketotifen.
Tranilast.

2.11 Terapi Asma


2.10.1 Non farmaka
1. Pengendalian lingkungan
Menghindarkan anak dari asap rokok, tidak memelihara hewan
berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi kelembaban
kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungau.
2. Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
3. Menghindari makanan berpotensi alergen
4. Edukasi
2.10.2 Terapi Suportif
1. Terapi oksigen

Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula


hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi
oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal >
95%).
2. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit
sebagai tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung),
bersama dengan nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV,
secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan
peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen dapat
memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat
mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen
lebih mudah mencapai alveoli.
3. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea
serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana
pada asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone
(ADH) yan memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura
negatif tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya
edema paru. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan
rumatan.
2.10.3 Terapi farmaka
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller).

Obat pereda digunakan untuk

meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah
teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau
diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga
obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian
obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya

kemudian pemberiannya diturunkan pelan pelan yaitu 25 % setip penurunan


setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 8 minggu.
A. Obat obat Pereda (Reliever)
1. Bronkodilator
a. Short-acting 2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada
anak. Reseptor 2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus,
sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas.
Obat ini menstimulasi reseptor 2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP
menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang
menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens
mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan
mediator sel mast.
Mekanisme Kerja : Agonis 2

Merupakan bronkodilator yang paling

efektif, stimulasi reseptor 2 Adrenergik mengaktivasi adenil siklase yang


meghasilkan peningkatan AMP siklik intraseluler. Hal ini menyebabkan

relaksasi otot polos, stabilisasi sel mast, dan stimulasi otot skelet.
Indikasi : Asma akut parah baik intermittan maupun asma kronik. Dalam
asma parah akut digunakan dosis yang lebih tinggi menggunakan nebulizer.
Contoh Obat :
Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada 2

agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor 1, 2, dan


sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi,
takiaritmia, tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama
pada jantung dan CNS.
Indikasi
Asma bronkial, emfisema, bronkhitis kronik
Kontraindikasi
Hipersensitivitas dan tirotoksitosis
Efek samping

Tremor

dan

palpitasi

adalah

karakteristik

dari

amin

simpatomimetik, kekakuan dan akan hilang setelah pengobatan


beberapa hari dan palpitasi akan reda jika dosis diturunkan
Perhatian
Hati hati pada penderita hipertensi, gangguan kardiovaskular,
hipertiroid, daibetes melitus, dan riwayat kejang dan tidak
dianjurkan pemberian bersama dengan obat beta bloker yang non
selektif , wanita hamil trimester pertama wanita menyusui, anak
dibawah umur 12 tahun.
2 agonis selektif
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol
: 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB),
interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 0,5 mg/kgBB/jam
(dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek
puncak dicapai dalam 2 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak
dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 4 semprotan tiap 3 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 10 semprotan tiap 1 2 jam.
Serangan berat: MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena

pada

keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek
samping takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB
setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan
dengan 0,1 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping 2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,
palpitasi, dan takikardi.
Indikasi
Asma bronkial, bronkhitis asmatis, dan emfisema pulmonum
Kontraindikasi

Hipersensitivitas
Efek samping
Mual, sakit kepala, palpitasi, tremor, vasodilatasi periferal,
tarkikardia, dan hipokalemi yang kadang timbul setelah pemberian
dosis tinggi.
Perhatian
Hati hati pemberian pada pasien tirotoksitosis, wanita hamil dan
menyusui, pemberian bersama derivat xantin, steroid, dan diuretik,
hindari pemberian pada penderita hipertensi, jantung iskemik dan
pasien usia lanjut, anak dibawah usia 6 tahun, hipertiroidism,
diabetes melitus
Interaksi obat
-bloker , seperti propanolol, menghambat efek salbutamol. Obat
adrenergik

tambahan,

inhibitor

monoaminooksidase,

atau

antidepresan trisiklik.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan 2 agonist inhalasi,
tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini
diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi 2 agonist dan
anticholinergick.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM
harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya
adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin
tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan
keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya
terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :

1 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
6 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam

1 9 tahun : 1,2 1,5 mg/kgBB/Jam


> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Indikasi : pencegahan dan pengobatan asmabronkial, asma
bronkhitis, asma kardial, empisema baru
Kontra indikasi: hipersensitivitas, tukak lambung, diabetes,
gastritis, gangguan hati dan ginjal.
Efek samping: mual, muntah, diare, sakit kepala, insomnia,
palpitasi, takikardia, aritmia ventikular, ruam kulit.
Perhatian : jangan menggunakan melebihi dosis yang dianjurkan;
bila dalam satu jam gejala tetap atau bertambah buruk, segera
hubungi dokter; jangan digunakan terus menerus.

2. Anticholinergics

Mekanisme kerja: sebagai muskarinik antagonis komparatif menginhibisi


efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Pada saluran pernafasan
asetilkolin dibebaskan dari ujung saraf vagus efferen, dan antagonis
muskarinik secara efektif memblok kontraksi otot polos pada saluran udara

dan meningkatkan sekresi mukus sebagai respon aktivitas vagal.


Indikasi : mengatasi bronkospastik pada asma akut parah pada bronkhitis
kronik. Terapi penunjang dalam pemeliharaan terapi asma bronkial asma
akut dan asma kronik.
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan

nebulisasi 2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis


anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam.
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk
usia diatas 6 tahun 8 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 10 tetes. Efek sampingnya
adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak
direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.
Indikasi : bronkospasmus, asma bronkial, bronkhitis kronik, dengan
atau tanpa emfisema
Kontraindikasi : obstruksi hipertropi kardiomiopati, takikardia,
kepekaan terhadap fenoterol HBr atau subtansi seperti atrofin

Perhatian : sebaiknnya tidak digunakan selama tribulan pertama


kehamilan kecuali manfaat lebih besar daripada resiko.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan :
Terapi inisial inhalasi 2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan

yang cukup lama.


Serangan asma tetap

terjadi

meski

pasien

telah

menggunakan

kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.


Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk
mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 24 jam.
Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon
dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 3 kali sehari selama 3 5 kali
sehari.
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat
ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat
sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain
di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular.
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi
kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek
mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1
mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 6
jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari
setiap 6 8 jam.

B. Obat obat Pengontrol


Obat obat asma pengontrol pada anak anak termasuk inhalasi dan
sistemik glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled 2-agonist,
theofilin, cromones, dan long acting oral 2-agonist.

1. Inhalasi glukokortikoid
Glukokortikoid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif
dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan
penggunaan

inhalasi

budesonide

berhubungan

dengan

perbaikan

dalam

pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi


pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikoid ini mampu mengontrol gejala-gejala
asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah
sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial, dan
mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikoid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah
terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down
regulation receptor 2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari
(respire anak). Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan
sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan
mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang
yang membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai
LTRA adalah sebagai berikut :
LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil

leukotriane;
Mempunyai

bronkokonstriktor;
Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per

efek

bronkodilator

dan

perlindungan

terhadap

hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;

sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;


Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan
transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan
terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan
mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.

Ada 2 preparat LTRA :

a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali
sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun
dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat
keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat
dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga perlu
pemantauan fungsi hati.
3. Long acting 2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.
Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi
serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya
hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada
dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide),
budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan
Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan
meningkatkan kepatuhan memakai obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid
yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan
glukokortikosteroid.

Tapi

efikasi

teofilin

lebih

rendah

daripada

glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.


Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala,
stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang,
perdarahan

lambung.

Efek

samping

muncul

pada

dosis

lebih

dari

10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari
dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.
5. Kromolin natrium
Kromolin merupkan obat pilihan kedua untuk mencegah brokhospasmus
yang diinduksi latihan fisik dan dapat digunakan bersama Agonis 2 dalam kasus
yang lebih parah yang tidak merespon terhadap tiap zat masing-masing.

Mekanisme kerja : kromolin diduga memblok saluran kalsium dalam


membran sel matosit sehingga menghambat pelepasan histamin dari sel
mast. Kromolin dapat mencegah pelepasan mediator alergi tipe 1
(histamin) dan senyawa reaktan lain(leukotrien) juga menghambat reaksi
alergi tipe III ( reaksi imun kompleks penyebab Late Asthmatic Reaction

[LAR] ).
Indikasi : diindikasikan untuk profilaksi asma perisisten ringan pada anakanak dan dewasa tanpa meliahat etiologinya. Efektif parsial pada kondisi

musiman atau hanya sebelum paparan akut.


Kontraindikasi : gagal ginjal kerusakan fungsi hati, penderita hipersensitif

terhadap kromolin, wanita hamil, wanita menyusui.


Efek samping: iritasi pada tenggorokan, rasa tidak enak, batuk , mengik,
dan mual dll.

2.11Penatalaksanaan terapi
Perkiraaan keparahan
Penenuan PEF2 ; nilai < 50% kemampuan terbaik atau prediksi normal
menandakan keparahan tinggi.
Catatan : gejala dan tanda : tingkat batuk, kesulitan bernafas, nafas terengahengah dan sesak dada berhubungan dengan bertambah beratnya keparahan.
Penggunakan akseori otot dan penarikan suprasternal.
Respon buruk
Keparahan tinggi PEF
> 50% prediksi atau
Agonist beta bloker aksi pendek hirup : dengan kemampuan
MDI 2-4 hirupterbaik
Keparahan ringan PEF >
sampai 3 kali penangan dengan interval 20 menit
atau
nafas
terengah engah
respon sedang
80% prediksi atau
penangan sekali dengan nebulizer
atau nafas pendek
kemampuan terbaik,
keparahan sedang PEF
sangat terlihat
tidak terengah-engah
50%
prediksi
atau
atau nafas pendek
1. Tambah
kemampuan terbaik
respon thp beta bloker
kortikosteroid
nafas terengah engah
bertahan hingga 4 jam
oral
atau nafas pendek
2. Ulangi agonis
peresisten
1. agonis betabloker
betabloker
dilanjutkan setelah 3-4
secepatnya
1. Tambah
jam
3.
Jika derita parah
kortikosteroid oral
dan responsif.
2. Lanjutkan dengan
2. untuk pasien dengan
BawaMaka
kebagian
Kontakagonis
klinis segera
betabloker
kortikosteroid inhaler
gawat
darurat
( hari ini ) untuk instruksi
Kontak
klinis untuk
dimasukkan
ke
dosis
digandakan
untuk
Penanganan awal
Respon baik :

Vous aimerez peut-être aussi