Vous êtes sur la page 1sur 28

ASKEP DENGAN GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN DAN FUNGSI

TERMOREGULASI PADA LANSIA

Disusun Oleh: Kelompok 7


SRI NURJANAH WULANDARI
BAIQ TRIKA PA
ZIADATUN NIKMAH
VICTORIA MILA NOVITASARI

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKES) MATARAM
MATARAM
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat taufik dan hidayah-Nya,
makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini merupakan makalah pengetahuan bagi mahasiswa/i
STIKES Mataram maupun para pembaca untuk bidang Ilmu Pengetahuan.
Makalah ini sendiri dibuat guna memenuhi salah satu tugas kuliah dari dosen mata kuliah
Gerontik dengan judul Asuhan keperawatan dengan gangguan sistem integumen dan fungsi
termoregulasi pada lansia
Dalam penulisan makalah ini penulis berusaha menyajikan bahasa yang sederhana dan
mudah dimengerti oleh para pembaca.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan.
Oleh karenanya, penulis menerima kritik dan saran yang positif dan membangun dari rekanrekan pembaca untuk penyempurnaan makalah ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima
kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua.
Amin.

Mataram, 16 Agustus 2016

Penulis

MASALAH INTEGUMEN PADA LANSIA


A. Pengertian kulit
Integument berasal dari bahasa yunani yaitu integumentum yang artinya penutup
yang terdiri sebagian besar adalah kulit ,rambut ,kuku, kelenjar. kulit adalah lapisan
jaringan yang terdapat pada bagian luar yang menutupi dan melindungi permukaan
tubuh. Pada permukaan kulit bermuara kelenjar keringat dan kelenjar mukosa.
Epidermis
Epidermis tersusun atas lapisan tanduk (lapisan korneum) dan lapisan Malpighi.
Lapisan korneum merupakan lapisan kulit mati, yang dapat mengelupas dan digantikan
oleh sel-sel baru. Lapisan Malpighi terdiri atas lapisan spinosum dan lapisan
germinativum. Lapisan spinosum berfungsi menahan gesekan dari luar. Lapisan
germinativum mengandung sel-sel yang aktif membelah diri, mengantikan lapisan sel-sel
pada lapisan korneum. Lapisan Malpighi mengandung pigmen melanin yang memberi
warna pada kulit.
Dermis
Lapisan ini mengandung pembuluh darah, akar rambut, ujung syaraf, kelenjar
keringat, dan kelenjar minyak. Kelenjar keringat menghasilkan keringat. Banyaknya
keringat yang dikeluarkan dapat mencapai 2.000 ml setiap hai, tergantung pada
kebutuhan tubuh dan pengaturan suhu. Keringat mengandung air, garam, dan urea.
Fungsi lain sebagai alat ekskresi adalah sebgai organ penerima rangsangan, pelindung
terhadap kerusakan fisik, penyinaran, dan bibit penyakit, serta untuk pengaturan suhu
tubuh.
Pada suhu lingkungan tinggi (panas), kelenjar keringat menjadi aktif dan
pembuluh kapiler di kulit melebar. Melebarnya pembuluh kapiler akan memudahkan
proses pembuangan air dan sisa metabolisme. Aktifnya kelenjar keringat mengakibatkan
keluarnya

keringat

ke permukaan

kulit

dengan

cara

penguapan.

Penguapan

mengakibatkan suhu di permukaan kulit turun sehingga kita tidak merasakan panas lagi.
Sebaliknya, saat suhu lingkungan rendah, kelenjar keringat tidak aktid dan pembuluh

kapiler di kulit menyempit. Pada keadaan ini darah tidak membuang sisa metabolisme
dan air, akibatnya penguapan sangat berkurang, sehingga suhu tubuh tetap dan tubuh
tidak mengalami kendinginan. Keluarnya keringat dikontrol oleh hipotamulus
Subkutis
Subkutis terdiri dari kumpulan kumpulan sel lemak dan diantara gerombolan ini
berjalan serabut serabut jaringan ikat dermis . lapisan lemak ini disebut penikulus
adiposus yang tebalnya tidak sama pada tiap tiap tempat.
1. Bagian yang termaksud dalam system integument
a. Rambut
Sel epidermis yang berubah , rambut tumbuh dari folikel rambut di dalam
epidermis. Folikel rambut dibatisi oleh epidermis sebelah atas ,dasarnya terdapat
papil tempat rambut tumbuh . akar berada dalam folikel pada ujung paling dalam
dan bagian sebelah luar disebut batang rambut.
Rambut terdiri dari :
1) Rambut panjang
2) Rambut pendek
3) Rambut bulu lanugo
4) Rambut seksual
b. Kuku
Kuku adalah sel epidermis kulit kulit yang berubah , tertanam dalam
palung kuku menurut garis lekukan pada kulit . palung kuku mendapat
persyarafan dan pembuluh darah yang banyak.
c. Kelenjar kulit
Kelenjar kulit mempunyai lubus yang bergulung gulung dengan saluran
keluar lurus merupakan jalan mengeluarkan berbagai zat dari badan ( kelenjar
keringat )
Kelenjar sebasea berasal dari rambut yang bermuara pada saluran folikel
rambut untuk melumasi kulit dan rambut.
2. Persyarafan kulit
Kulit juga seperti persyarafan lain terdapat cabang cabang saraf spinal yang
permukaan terdiri dari saraf saraf motorik dan saraf sensorik . ujung saraf motorik
berguna untuk mengerakan sel sel otot yang terdapat pada kulit sedangkan saraf
sensorik berguna untuk menerima rangsangan yang terdapat dari luar atau kulit . pada

ujung ujung saraf sensorik ini membentuk berbagai macam macam kegiatan untuk
menerima rangsangan . ujung ujung saraf yang bebas untuk menerima rangsangan
nyeri

sakit /nyeri

banyak terdapat di epidermis . di ujung ujung saraf nya

mempunyai bentuk yang khas yang sudah merupakan satu organ.


3. Fisiologi system integument
Kulit merupakan organyang paling luas permukaannya yang membungkus seluruh
bagian luar tubuh sehinga kulit sebagai pelindung tubuh terhadap bahaya bahan
kimia. Cahaya matahari mengadung sinar ultra violet dan melindungi terhadap
microorganisme serta menjaga keseimbangan tubuh terhadap lingkungan. Kulit
merupakan indicator bagi seorang untuk memperoleh kesan umum dengan melihat
perubahan yang terjadi pada kulit . misalnya menjadi pucat , kekuning kuningan ,
kemerah merahan atau suhu kulit meningkat, memperhatikan adanya kelainan yang
terjadi pada tubuh atau gangguan kulit karena penyakit tertentu.
Gangguan spikis juga dapat dapat menyababkan keloainan atau perubahan
pada kulit , misalnya stres, ketakutan atau dalam keadaan marah

akan terjadi

perubahan pada kulit wajah. Perubahan sruktur kulit dapat menentukan apakah
seorang telah lanjut usia atau masih muda.
4. Fungsi kulit
Kulit pada manusia mempunyai fungsi yang sangat penting selain menjalin
kelangsungan hidup secara umum yaitu :
a. Fungsi proteksi
Kulit manjaga bagian dalam tubuh terdapat gangguan fisis

atau mekanis ,

misalnya terdapat gesekan , tarikan , gangguan kimiawi yang dapat menimbulkan


iritasi. Gangguan panas biasanya radiasi , sinar ultraviolet, gangguan infeksi dari
luar misalnya bakteri dan jamur. Karena danaya bantalan lemak, tebalnya lapisan
kulit dan serabut serabut jaringan penunjang berperan sebagai pelindung terdapat
gangguan fisis , melanosit turut berperan dalam melindungan kulit terhadap sinar
matahari dengan mengadakan tanning ( pengobatan dengan asam asetil )
b. Fungsi absorpsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air , larutan dan benda padat tapi cairan
yang mudah ,menguap lebih mudah di serap begitu juga yang larut dalam lemak
kemempuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit , hidrasi,
kelembapan dan metabolism.

c. Fungsi kulit sebagai pengatur panas


Suhu tubuh tetap stabil meskipun terjadi perubahan suhu lingkungan. Hal ini
karena adanya penyesuaian antara panas yang di hasilkan oleh pusat pengantur
panas, medulla oblongata.
d. Fungsi eksresi
Kelenjar kelenjar kulit mengeluarkan zat zat yang yang tidak berguna lagi atau
zat sisa metabolism dalam tubuh berupa Nacl, urea, asam urat, dan amoniak.
Sebum yang di produksi oleh kulit berguna untuk melindungi kulit karena lapisan
sebum mengandung bahan minyak yang melindungi kulit ini menahan kulit yang
berlebihan sehingga kulit tidak menjadi kering.
e. Fungsi persepsi
Kulit mengadung ujung ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Respon
terhadap panas diperankan oleh dermis dan subkutis, terhadap dingin diperankan
oleh dermis, perabaan diperankan oleh papilla dermis dan markel renvier,
sedangkan tekanan di perankan oleh epidermis.
f. Fungsi pembentuk pigmen
Pigmen kulit terbentuk karena adanya Sel pembentuk pigmen ( melanosit )
g. Fungsi pembentukan vitamin D

ASKEP DENGAN GANGGUAN ERITRODERMA


A. DEFINISI
Eritroderma ( dermatitis eksfoliativa ) adalah kelainan kulit yang ditandai dengan
adanya eritema seluruh / hampir seluruh tubuh , biasanya disertai skuama ( Arief
Mansjoer , 2000 : 121)
Eritroderma merupakan inflamasi kulit yang berupa eritema yang terdapat hampir
atau di seluruh tubuh ( www. medicastore . com ).
Dermatitis eksfoliata generalisata adalah suatu kelainan peradangan yang ditandai
dengan eritema dan skuam yang hampir mengenai seluruh tubuh ( Marwali Harahap ,
2000

Dermatitis eksfoliata merupakan keadaan serius yang ditandai oleh inflamasi yang
progesif dimana eritema dan pembentukan skuam terjadi dengan distribusi yang kurang
lebih menyeluruh ( Brunner & Suddarth vol 3 , 2002 : 1878 ).
B. ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya , penyakit ini dapat dibagikan dalam 2 kelompok :
1. Eritrodarma eksfoliativa primer penyebabnya tidak diketahui dengan pasti .
Termasuk dalam golongan ini eritroderma iksioformis konginetalis
2. Eritroderma eksfoliativa sekunder
a. Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan derivatnya ,
sulfonamide , analgetik / antipiretik dan ttetrasiklin.
b. Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh , dapat terjadi pada liken planus ,
psoriasis , pitiriasis rubra pilaris , pemflagus foliaseus , dermatitis seboroik
dan dermatitis atopik.
c. Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma.
C. PATOFISIOLOGI
Pada dermatitis eksfoliatif terjadi pelepasan stratum korneum ( lapisan kulit yang
paling luar ) yang mencolok yang menyebabkan kebocoran kapiler , hipoproteinemia dan
keseimbangan nitrogen yang negatif . Karena dilatasi pembuluh darah kulit yang luas ,
sejumlah besar panas akan hilang jadi dermatitis eksfoliatifa memberikan efek yang nyata
pada keseluruh tubuh.
Pada eritroderma terjadi eritema dan skuama ( pelepasan lapisan tanduk dari
permukaan kult sel sel dalam lapisan basal kulit membagi diri terlalu cepat dan sel sel
yang baru terbentuk bergerak lebih cepat ke permukaan kulit sehingga tampak sebagai
sisik / plak jaringan epidermis yang profus.
Mekanisme terjadinya alergi obat seperti terjadi secara non imunologik dan
imunologik (alergik ) , tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada
mekanismee imunologik, alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang
sudah tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah awalnya
berperan sebagai antigen yang tidak lengkap ( hapten ). Obat / metaboliknya yang berupa
hapten ini harus berkojugasi dahulu dengan protein misalnya jaringan , serum / protein
dari membran sel untuk membentuk antigen obat dengan berat molekul yang tinggi dapat

berfungsi

langsung

sebagai

antigen

lengkap.

( Brunner & Suddarth vol 3 , 2002 : 1878 )


D. MANIFESTASSI KLINIS
1. Eritroderma akibat alergi obat , biasanya secara sistemik. Biasanya timbul secara akut
dalam waktu 10 hari. Lesi awal berupa eritema menyeluruh , sedangkan skuama baru
muncul saat penyembuhan.
2. Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit
3. Eritroderma karena psoriasis ditemukan eritema yang tidak merata. Pada tempat
predileksi psoriasis dapat ditemukan kelainan yang lebih eritematosa dan agak
meninngi daripada sekitarnya dengan skuama yang lebih kebal. Dapat ditemukan
pitting nail.
4. Penyakit leiner ( eritroderma deskuamativum ) Usia pasien antara 4 -20 minggu
keadaan umum baik biasanya tanpa keluhan. Kelainan kulit berupa eritama seluruh
tubuh disertai skuama kasar.
5. Eritroderma akibat penyakit sistemik , termasuk keganasan. Dapat ditemukan adanya
penyakit pada alat dalam , infeksi dalam dan infeksi fokal. ( Arif Masjoor , 2000 : 121
)
E. KOMPLIKASI
Komplikasi eritroderma eksfoliativa sekunder :
- Limfadenopati
- Hepatomegali
F. PENGKAJIAN FOKUS
Pengkajian keperawatan yang berkelanjutan dilaksanakan untuk mendeteksi
infeksi. Kulit yang mengalami disrupsi , eritamatosus serta basah amat rentan terhadap
infeksi dan dapat menjadi tempat kolonisasi mikroorganisme pathogen yang akan
memperberat inflamasi antibiotik , yang diresepkan dokter jika terdapat infeksi , dipilih
berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas.
ASKEP DENGAN GANGGUAN ERITRODERMA PADA PASIEN LANSIA
A. BIODATA

1. Jenis Kelamin
Biasnyaa laki lak 2 -3 kali lebih banyak dari perempuan.
2. Riwayat Kesehatan
3. Riwayat penyakit dahulu
Meluasnya dermatosis keseluruh tubuh dapat terjadi pada klien planus , psoriasis ,
pitiasis rubra pilaris , pemfigus foliaseus , dermatitis. Seboroik dan dermatosiss atopik
, limfoblastoma.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
Mengigil panas , lemah , toksisitas berat dan pembentukan skuama kulit.
B. Pemeriksaan fisik
1. KU : lemah
2. TTV : suhu naik atau turun.
3. Kepala
Bila kulit kepala sudah terkena dapat terjadi alopesia.
4. Mulut
Dapat juga mengenai membrane mukosa terutama yang disebabkan oleh obat.
5. Abdomen
Adanya limfadenopati dan hepatomegali.
6. Ekstremitas
Perubahan kuku dan kuku dapat lepas.
7. Kulit
Kulit periorbital mengalami inflamasi dan edema sehingga terjadi ekstropion pada
keadaan kronis dapat terjadi gangguan pigmentasi. Adanya eritema , pengelupasan
kulit , sisik halus dan skuama.
( Marwali Harahap , 2000 : 28 29 : Rusepno Hasan , 2005 : 239 , Brunner &
Suddarth , 2002 : 1878 ).
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN FOKUS INTERVENSI
1. Gangguan integritas kulit bd lesi dan respon peradangan
Kriteria hasil :
- menunjukkan peningkatan integritas kulit
- menghindari cidera kulit
Intervensi
a. kaji keadaaan kulit secara umum
b. anjurkan pasien untuk tidak mencubit atau menggaruk daerah kulit
c. pertahankan kelembaban kulit

d. kurangi pembentukan sisik dengan pemberian bath oil


e. motivasi pasien untuk memakan nutrisi TKTP
2. Gangguan rasa nyaman : gatal bd adanya bakteri
Tujuan : setelah dilakuakn asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi luka pada
kulit karena gatal
Kriteria hasil :
- tidak terjadi lecet di kulit
- pasien berkurang gatalnya
Intervensi
a. beritahu pasien untuk tidak meggaruk saat gatal
b. mandikan seluruh badan pasien ddengan Nacl
c. oleskan badan pasien dengan minyak dan salep setelah pakai Nacl
d. jaga kebersihan kulit pasien
e. kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat pengurang rasa gatal
3. Resti infeksi bd hipoproteinemia
Tujuan : setalah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
- tidak ada tanda tanda infeksi
( rubor , kalor , dolor , fungsio laesa )
- tidak timbul luka baru
Intervensi
a. monitor TTV
b. kaji tanda tanda infeksi
c. motivasi pasien untuk meningkatkan nutrisi TKTP
d. jaga kebersihan luka
e. kolaborasi pemberian antibiotic

FUNGSI TERMOREGULASI PADA LANSIA


A. Teori Penuaan
Proses menjadi tua atau sering kita sebut dengan menua (aging) adalah suatu
proses menghilangnya secara perlahan-perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang
diderita (Constantinides, 1994). Dengan kata lain, menua adalah proses menurunnya
kemampuan jaringan pada tubuh dalam mengompensasi setiap kondisi yang
kemungkinan dapat merusak jaringan tersebut.
Dengan begitu manusia secara bertahap akan kehilangan daya tahan terhadap
infeksi dan akan menumpuk makin banyak gangguan metabolik dan secara menyeluruh
pada tubuh yang disebut sebagai Penyakit degeneratif seperti hipertensi, aterosklerosis,
diabetes mellitus dan kanker yang akan menyebabkan manusia akan menghadapi akhir
hidupnya dengan episode terminal yang tidak menyenangkan (R.Boedhi-Darmojo, 1999).
Ada yang menganologikan bahwa proses menuanya manusia bagaikan ausnya
suku cadang suatu mesin yang bekerjanya sangat kompleks dimana antar bagiannya
saling mempengaruhi. Namun selain itu, kekuatan jiwa dan budaya juga dapat
mempengaruhi kondisi seorang manusia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses
menua itu merupakan suatu proses yang dipengaruhi oleh banyak hal.
Seorang manusia akan mengalami proses penuaan dimana ditandai dengan
kemunduran dalam berbagai organ tubuhnya. Meskipun sebagaian besar organ dalam
tubuhnya akan mengalami penurunan fungsi, namun pemenuhan kebutuhan dasarnya
harus tetap terpenuhi. Untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya tersebut, kita sebagai
perawat harus benar-benar memahami bagaimana gambaran proses penuaan serta

dampaknya terhadap pemenuhan kebutuhan dasarnya. Salah satu indikator perubahannya


adalah dalam pemenuhan kebutuhan termoregulasi.
Fungsi utama dari termoregulasi adalah untuk mempertahankan suhu tubuh agar
tetap stabil dalam berbagai kondisi/suhu lingkungan. Dalam proses infeksi, termoregulasi
juga membantu dalam mempertahankan homeostasis. Seiring dengan bertambahnya usia,
perubahan secara bertahap akan terjadi dalam sistem termoregulasi. Hal inilah yang
menjadi pertimbangan penting dalam merawat kesehatan, terutama pada klien dewasa tua
(Miller, 1995).
Perubahan yang berkaitan dengan usia, dalam keadaan normal suhu inti tubuh
dipertahankan pada 97F-99F melalui mekanisme fisiologis kompleks yang mengatur
produksi panas dan disipasi. Sistem saraf yang mengontrol termoregulasi berpusat di
hipotalamus dan dipengaruhi juga oleh banyak pengaruh internal maupun eksternal.
Berikut adalah faktor internal yang mempengaruhi tingkat regulasi suhu, yaitu
metabolisme, proses penyakit, aktivitas otot, aliran darah perifer, jumlah lemak subkutan,
fungsi saraf kulit, cairan pencernaan, nutrisi, dan obat-obatan dan suhu darah yang
mengalir melalui hipotalamus. Sedangkan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi
regulasi suhu adalah suhu lingkungan, tingkat kelembaban, aliran udara, serta jenis dan
jumlah pakaian dan penutup di digunakan (Miller, 1995).
Thermoregulasi pada lansia adalah diubah oleh perubahan yang berhubungan
umur yang mengganggu dengan kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan efektif
pada temperature lingkungan. Karena perubahan ini,

lansia cenderung mengalami

hipotermia atau masalah terkait panas. Ditambah lagi, bahkan kesehatan lansia mungkin
memiliki temperature tubuh normal yang lebih rendah dan menurangi respon demam
terhadap oenyakit. Faktor resiko yang bisa merusak lebih lanjutrespon termoregulasi dari
lansia termasuk penyakit, imobilisasi, efek pengobatan, dan bahaya temperature
lingkungan (Miller, 1995).
B. Implikasi Perubahan Akibat Proses Penuaan
Menurut Miller (1995), lansia sehat yang berada dalam lingkungan yang nyaman
akan mengalami sedikit perubahan fungsi termoregulasi. Pada kenyataannya ada faktor
resiko mengenai hipertermi dan hipotermi pada lansia. Suhu yang cukup ekstrim dapat
memicu hipertermi ataupun hipotermi pada lansia terutama jika ada faktor predisposisi
seperti obat-obatan tertentu atau kondisi patologis. Di Amerika hipertermi atau hipotermi

terjadi jika musim panas atau musim dingin saja, dan masalah cuaca ini sering
mempengaruhi lansia terutama lansia yang tinggal di iklim ekstrim. Misalnya
berdasarkan survey kematian akibat panas yang berlebihan atau hipertermi lebih dari
2000 orang pada usia 60 tahun keatas. Untuk lansia masalah hipotermia atau hipertermia
akan muncul risiko morbiditas atau sampai pada kematian hal ini lebih besar dari mereka
yang lebih muda. Ada satu penelitian yang menyebutkan bahwa faktor kematian pada
lansia akibat dingin atau panas yang berlebihan menemukan bahwa tiga per limanya dari
kematian yang dapat dicegah adalah karena dingin yang berlebihan. Temuan lain dari
penelitian ini adalah bahwa minoritas lansia pedesaan yang tidak proporsional cenderung
menderita kematian akibat suhu dengan berbagai penyebab.
1. Respon dengan lingkungan dingin
Peningkatan hipotermi dihubungkan dengan peningkatan kerentanan terhadap
hipotermi karena lansia kurang tanggap terhadap lingkungan yang dingin kurang
menyadari terhadap rendahnya suhu inti tubuh dan juga tidak berusaha memperbaiki
lingkungan yang dingin tersebut. Ada studi juga yang menyatakan bahwa lansia
memiliki resiko lebih besar dari pada dewasa terhadap hipertermi atau hipotermi, hal
ini dikarenakan lansia memerlukan stimulus lebih sebelum mereka mengambil
tindakan atau langkah untuk mengatasi masalah. Perubahan fisiologis serta faktor
perilaku, berkontribusi terhadap peningkatan risiko hipotermia pada lansia.
Hipotermia didefinisikan sebagai suhu tubuh inti lebih rendah dari 95 0 F. Suhu
lingkungan yang rendah biasanya memberikan kontribusi untuk hipotermia, dan
istilah "hipotermia yang kebetulan" digunakan ketika suhu lingkungan negatif rendah
hal tersebut penyebab utama dari kondisi hipotermi. Bahkan dalam suhu lingkungan
yang normal, kondisi dapat perubahan dari hasil serius dalam homeostasis, seperti
penyakit endokrin atau neurologis. Hipotermia disengaja atau kebetulan dapat terjadi
pada lansia sebagai paparan suhu cukup dingin, dan diperkirakan mempengaruhi
lansia sebanyak 10% yang tinggal di iklim dingin, seperti Inggris dan Amerika
Serikat lansia mungkin tidak akan menggigil atau mengeluhkan rasa dingin. Efek dari
gangguan termoregulasi kumulatif hipertermi dan hipotermia berlangsung sangat
cepat setelah suhu tubuh dibawah 93,2oF. Berhubungan dengan usia yang semakin
lanjut kemampuan ginjal untuk menghemat air dan asupan cairan tidak memadai akan
memperburuk efek dari hipertermia.

2. Respon untuk lingkungan yang panas


Meskipun "hipertermia" adalah istilah yang sering digunakan untuk merujuk pada
penyakit yang berhubungan dengan panas pada orang tua, istilah ini lebih pada suhu
tubuh meningkat di atas normal. Selain disebabkan oleh gangguan termoregulasi dan
faktor lingkungan, hipertermia dapat disebabkan oleh pirogen dan kondisi patologis
lainnya. Panas kelelahan adalah suatu kondisi yang berkembang secara bertahap dari
deplesi cairan dan atau natrium. Hal ini dapat terjadi pada orang yang aktif atau
bergerak pada lansia yang mengalami dehidrasi atau dan terkena lingkungan panas.
Heat stroke dapat terjadi pada oarang dewasa yang lebih tua di lingkungan yang
panas, baik sebagai perkembangan kelelahan panas tidak diobati atau sebagai hasil
dari kombinasi dari faktor risiko seperti diabetes dan obat-obatan tertentu. Dalam
lingkungan panas, efek dari termoregulasi berubah kumulatif,dan penyakit yang
berhubungan dengan panas maju lebih pesat setelah suhu tubuh mencapai 105,8 0F.
Jika volume cairan tidak cukup untuk memenuhi persyaratan untuk berkeringat
efektif, maka hipertermia akan terjadi lebih cepat. Usia juga dapat mempengaruhi
penurunan sensasi haus hal ini dapat menyebabkan tidak memadai asupan cairan dan
mempengaruhi termoregulasi.
3. Tanggapan sakit yang berhubungan dengan termoregulasi
Respon sakit demam berkurang dan dalam fections, seperti becteremia, terjadi
pada banyak lansia sebagai konsekuensi dari perubahan di pusat-pusat termoregulasi
hipotalamus yang terkait usia. Sebuah penelitian menemukan bahwa lebih dari 50%
pasien lansia yang dirawat di rumah sakit dengan penyakit demam memiliki suhu
tubuh rendah atau normal pada saat masuk rumah sakit. Studi-studi ini menunjukkan
bahwa infeksi pada lansia sering berkaitan oleh penurunan kemampuan fungsi tubuh
dan akan terdeteksi lebih akurat jika suhu dipantau erat pada tanda awal penurunan
fungsi tubuh.
4. Persepsi Perubahan suhu lingkungan
Pengamatan yang sangat umum dari perawat adalah bahwa lansia sering
melaporkan merasa dingin atau kedinginan, bahkan di lingkungan yang sangat
hangat. Juga lanisa mumnya lebih memilih suhulingkungan yang setidaknya 75 o F.
Referensi ini bukan hasil dari perubahan usia yang berhubungan dengan fungsi
termoregulasi, tetapi mungkin terkait dengan gangguan efisiensi kardiovaskular.

Kesalahan persepsi dari suhu lingkungan mungkin juga dapat dikaitkan dengan
kondisi patologis, seperti gangguan demensia atau tiroid.
5. Konsekuensi psikososial
Konsekuensi psikososial tidak muncul dari usia terkait perubahan termoregulasi
saja namun mereka dapat disebabkan oleh hipotermia, hipertermia atau berkurangnya
respon demam. Jika hipotermia atau hipertermia diabaikan atau jika intervensi tidak
dimulai pada tahap awal kondisi dapat merusak fungsi kognitif. Demikian juga, jika
respon demam berkurang atau infeksi tidak segera ditanganai, kondisi yang
seharusnya dapat diobati malah diabaikan dan pengobatan mungkin tidak sengaja
ditunda. Infeksi yang belum disadari ini cenderung semakin parah dan pada lansia
mereka dapat bermanifestasi terutama sebagai penurunan fungsi tubuh seperti
disfungsi kognitif.
C. Instrumen Pengkajian Baku
Menurut Miller (1995), pedoman untuk pengkajian termoregulasi adalah sebagai
berikut :
1. Prinsip dari pengkajian temperature
a. Dokumentasikan garis dasar temperature tubuh seseorang dan siang harinya dan
variasi bermusim-musim
b. Kira-kira itu bahkan kecil tingginya diatas garis dasar temperature adalah sebuah
petunjuk untuk hadirnya preses patologis
c. Dokumentasikan temperature sebenarnya dan penyimpangan dari garis dasar,
daripada menggunakan istilah seperti afebrile
d. Hati-hati mengikuti seluruh standar untuk

mengakuratkan

pengukuran

temperature.
e. Gunakan thermometer yang terdaftar dibawah 95F
f. Pertimbangkan pengaruh dari pengobatan yang mengubah temperature saat
mengevaluasi sebuah pembacaan temperature (misalnya, pengobatan yang
menutupi demam)
g. Jangan mengira itu sebuah infeksi akan semestinya ditemani dengan tingginya
temperature
h. Ingat bahwa, dalam hadirnya sebuah infeksi, suatu penurunan di fungsi mungkin
suatu terdahulu dan indicator lebih akurat daripada suatu perubahan di
temperature
i. Jangan mengira bahwa lansia akan memulai perilaku kompensasi atau mengeluh
dari ketidaknyamanan saat terkena kerugian temperature lingkungan

2. Pertanyaan-pertanyaan interview untuk mengkaji faktor resiko untuk hipotermia atau


hipertermi
a. Apakah anda memiliki masalah khusus yang terjadi saat cuaca panas atau dingin?
b. Apakah anda bisa menjaga rumah anda atau ruangan anda pada temperature
nyaman baik saat bulan musim panas dan musim dingin?
c. Apakah anda memiliki suatu kesulitan dengan pembayaran tagihan listrik?
d. Bentuk seperti apa yang anda gunakan di bulan-bulan musim dingin melindungi
melawan dingin (misalnya, selimut listrik, sumber tambahan panas)?
e. Apakah anda pernah menerima perawatan medis untuk paparan panas atau
dingin?
f. Apakah anda pernah jatuh dan tidak bisa bangun atau mendapat bantuan?
3. Observasi untuk mengkaji faktor resiko untuk hipotermia atau hipertermia
a. Apakah lansia tinggal di sebuah rumah dimana temperature rendah di perbaiki
saat musim dingin?
b. Apakah seseorang minum alcohol atau mengambil pengobatan yang mengubah
suhu?
c. Apakah seseorang hidup sendirian? Kalau begitu, berapa frekuensi kontak keluar?
d. Apakah seseorang memiliki suatu kondisi patologis yang mempengaruhi dia
e.
f.
g.
h.

untuk hipotermi (misal, gangguan endokrin, neurologic, atau kardiovaskular)


Apakah masukan nutrisi dan cairannya cukup?
Apakah seseorang memiliki hipotensi postural?
Apakah seseorang imobilisasi atau tidak berpindah-pindah?
Apakah penilaian seseorang terganggu karena dimensia, depresi, atau gangguan

i.
j.
k.
l.

psikososial lain?
Apakah seseorang hidup di rumah dengan ventilasi yang buruk tanpa AC?
Apakah kondisi atmosfer sangat panas, lembab, atau berpolusi?
Apakah seseorang bergerak dalam latihan/ olahraga yang aktif saat cuaca panas?
Apakah seseorang memiliki penyakit kronis, seperti diabetes atau gangguan

kardiovaskular, yang mempengaruhi dia untuk hipertermia?


m. Apakah seseorang berada pada resiko hiponatrium atau hypokalemia karena
pengobatan atau penyakit kronis?
D. Pengkajian Pada Lansia
Dalam Miller (1995), pengkajian termoregulasi ditujukan untuk mengidentifikasi
temperatur tubuh klien, faktor-faktor risiko yang menyebabkan temperatur berubah, dan
tanda gejala awal awal hipotermia atau hipertermia. Meskipun banyak informasi yang
bersangkutan mengenai faktor risiko, informasi tersebut dikumpulkan menjadi satu
penilaian secara keseluruhan. Informasi spesifik tentang termoregulasi diperoleh dengan

mengamati lingkungan, mengukur suhu tubuh seseorang, dan mewawancarai lansia dan
pengasuh lansia tersebut.
1. Dasar Temperatur
Pengukuran suhu tubuh menunjukkan fluktuasi 1 oC ke 2oF, dengan variasi yang
lebih besar terjadi selama periode demam merangsang. Suhu tertinggi terjadi di
malam hari, biasanya pukul 18:00 dan 8:00, sedangkan suhu terendah terjadi pada
pukul 02:00 dan 03:00. Karena lansia biasanya memiliki suhu tubuh lebih rendah dan
mungkin memiliki respon demam yang berkurang dan infeksi, maka hal ini sangat
penting untuk menentukan suhu tubuh normal klien, serta karateristik perubahan
suhu. Lansia dalam pengaturan rumah harus didorong untuk menentukan suhu normal
mereka dengan merekam suhu oral mereka pada waktu yang berbeda dalam satu hari
selama beberapa hari ketika lansia sehat. Jika hal ini dilakukan secara musiman oleh
orang yang tinggal di iklim yang stabil, akan ada dasar yang baik untuk perbandingan
ketika gejala penyakit dan terjadipenurunan fungsional. Prosedur yang sama dapat
diikuti dalam pengaturan perawatan jangka panjang, dengan hasil yang dicatat
sebagai data dasar pada tabel.
Temperatur lansia biasnya diukur dengan menempatkan termometer di bawah
lidah dan klien mememgang termometer dengan posisi mulut tertutup sampai
didapatkan hasil yang akurat. Untuk pengukuran suhu oral yang akurat, maka harus
dilakukan tindakan pencegahan seperti berikut, seperti mengukur suhu setelah 30
menit merokok atau menelan cairan panas ataupun dingin, termometer harus dikocok
sehingga air raksa berada dibawah garis kemungkinan suhu, mulut klien harus
tertutup dengan rapat, dan termometer harus berada di mulut sampai suhu dapat
terukur dengan sempurna (7 menit untuk termometer raksa dan waktu yang lebih
singkat untuk termometer digital).
Keuntungan dari pengukuran suhu oral yaitu kenyamanan, diterima di berbagai
kalangan sosial, dan merupakan standar tingkat akurasi. Kerugian dari pengguanan
teknik ini adalah beberapa pengukuran mungkin tidak akurat mencerminkan suhu inti
tubuh dari lansia karena mereka cenderung menunjukkan perbedaan yang besar antara
suhu inti dan suhu perifer daripada non lansia.
Termometer timpani banyak tersedia sebagai metode untuk menilai suhu tubuh
dengan mengukur energi infra merah yang dipancarkan dari membran timpani.
Metode ini cepat, tidak menyusahkan, lebih akurat, dan terpengaruh kepada faktor-

faktor lingkungan. Jika liang telinga memiliki serumen, temperatur mungkin tingkat
keakuratannya rendah. Karena aksesibilitas ke liang telinga yang rendah dan cepatnya
proses perekaman temperatur, meode ini bisa digunakan dengan dengan cepat.
2. Resiko untuk Perubahan Termoregulasi
Setiap lansia yang berusia lebih dari 75 tahun pasti mengalami resiko ketika
mengalami perubahan temperatur, dan resiko tersebut bisa satu atau bahkan lebih.
Faktor resiko pengobatan dan kondisi patologis biasanya diidentifikasi selama proses
pengkajian, tetapi terkadang hal tersebut diabaikan ketika terdapat gejala hipotermia
ataupun hipertermia. Walaupun kebanyak perawat tidak memeiliki kesempatan untuk
mengkaji lingkungan lansia secara langsung, perawat dapat menanyakan pertanyaan
yang bersangkutan dengan hal tersebut dan dan mendengarkan petunjuk untuk
mendeteksi faktor resiko dari lingkungan. Sebagai contoh, lansia yang tinggal sendiri
dan memiliki keyakinan yang tegas dalam memabyar sesuatu seperti untuk emnjaga
rumah dalam keadaan hangat selama musim dingin atau emmiliki keluarga yang
membiarkan rumah dalam keadaan dingi selama musim dingin memiliki resiko
terkena hipertemia. Lansia yang tinggal di daerah kota dan emmiliki ketakutan
membuka jendela di rumah yang tidak memiliki ac, atau yang tinggal dengan
ventilasi yang buruk selama musim panas menyerang memiliki resiko terkena
hipertemia.
3. Identifikasi Perubahan Suhu
Lansia yang memiliki lebih dari satu resiko penurunan suhu tubuh bisa terkena
hipotermia tau hipertermia pada saat suhu lingkungan tidak nyaman. Lansia yang
memiliki kondisi patologis yang menyebabkan respon demam mungkin tidak akan
menunjukkan tanda dan gejala penyakitnya karena mekanisme termoregulasi yang
tidak efektif.
a. Hipotermia
Hipotermia

dapat

dideteksi

dengan

mengukur

suhu

inti

tubuh

menggunanakan termometer yang memeiliki suhu dibawah 95oF. Kulit dingin


ditempat-tempat yang tidak terekspos misalnya perut, dan pantat adalah karakter
yang membedakan hipotermia. Penting untuk diingat bahwa lingkungan mungkin
saja dingin tetapi lansia tidak tampak menggigil dan megeluh kedinginan. Bahkan
di suhu 68oF sampai 69oF, lansia dapat mengalami hipotermia, terutama jika ada
faktor-faktor resiko, seperti imobilitas. Tanda-tanda awal dari hipotermia hampir

tidak terlihat, dan pengkajian yang paling baik untuk dilakukan adalah dengan
membandingkan suhu lansia dengan suhu lansia biasanya. Jika hipotermia tidak
diobati maka akan muncul tanda-tanda tambahan mungkin termasuk kelesuan,
bicara cadel, perubahan mental, gangguan gaya berjalan, bengkak di wajah,
lambatnya refleks tendon, dan lambatnya sistem pernafasan. Tahap parah
hipotermia ditandai dengan kekakuan otot, fungsi kemih berkurang, dan muncul
manifestasi lainnya sperti pingsan dan koma. Kulit akan terasa sangat dingin, dan
bertentangan dengan apa yang diharapkan, warna kulit akan menjadi merah muda.
Juga bertentangan dengan apa yang mungkin diharapkan, lansia yang mengalami
hipotermia mungkin tidak menggigil, jika suhu tubuh 90oF.
b. Hipertemia
Tanda dan gejala dari penyakit yang berhubungan dengan panas seperti
sakit kepala ringan sampai mengancam gangguan pernapasan dan kardiovaskular
akan muncul. Pada tahap awal penyakit yang berhubungan dengan panas, orang
tersebut akan merasa lemah dan lesu dan mungkin mengeluh sakit kepala, mual,
dan kehilangan nafsu makan. Kulit akan menjadi hangat dan kering, dan respon
berkeringat tidak ada, terutama jika asupan cairan seseorang rendah. Saat kondisi
yang berhubungan dengan panas berlangsung, manifestasi ini akan diperburuk,
dan tanda-tanda berikut akan menjadi jelas seperti pusing, dyspnea, takikardi,
muntah, diare, kram otot, nyeri dada, gangguan mental, dan tekanan nadi melebar.
c. Respon demam
Tanda dan gejala dari penyakit tertunda atau respon demam berkurang
terhadap infeksi sangat sulit untuk dinilai karena mereka halus dan variabel.
Temuan yang paling signifikan mungkin tidak adanya peningkatan yang
diharapkan dalam suhu. Daripada menekankan ada atau tidak adanya perubahan
suhu, perawat yang jeli akan memahami pentingnya mengamati perubahan halus
dalam suhu dan tanda-tanda lain dari penyakit, seperti penurunan fungsi. Perawat
juga harus memeriksa asumsi tentang pengaturan suhu yang mungkin berlaku
untuk orang dewasa muda tetapi tidak untuk orang lansia. Misalnya, harapan
bahwa pneumonia disertai dengan suhu di atas 98,6 oF belum tentu berlaku untuk
lansia. Sebuah studi mengunjukkan bahwa manifestasi dari infeksi pada penghuni
panti jompo ditemukan bahwa kebingungan adalah satu-satunya tanda umum

pada individu dengan infeksi yang diidentifikasi oleh penyedia layanan kesehatan.
Studi lain dari demam di panti jompo warga mengungkapkan bahwa 85% dari
manifestasi klinis dideteksi oleh staf bukan berdasarkan laporan warga. Dengan
demikian, perawat di fasilitas perawatan jangka panjang harus sangat waspada
tentang perubahan suhu dan manifestasi lain dari demam.
4. Diagnosa Keperawatan
Jika pengkajian keperawatan

mengidentifikasi

resiko

untuk

gangguan

termoregulasi pada lansia, diagnosa keperawatan seperti resiko perubahan suhu


tubuh, hipotermia atau hipertermia dapat dijadikan sebagai diagnosa. Hipotermia
sebagai diagnosa keperawatan didefiniskan sebagai sebuah keadaan dimana individu
mempunyai resiko atau telah mengalami penurunan suhu tubuh dibawah 35,5oC
dikarenakan oleh peningkatan kerentanan terhadap faktor eksternal. Pengertian dari
hipertermia keadaan dimana seorang individu mempunyai resiko mengalami
kenaikan suhu lebih dari 37,8oC secara oral dan 38,8oC diukur melalui rektal.
Jika beberapa faktor mengidentifikasikan bahwa lingkunga dari lansia memiliki
resiko hipertermia dan hipotermia maka diagnosa keperawatan resiko tinggi
perubahan suhu bisa dimunculkan. Sebagai contoh, seorang lansia wanita 88 tahun
dengan diabetes, dimensia dan hipertensi sedang mengkonsumsi diuretik, haloperidol,
dan hipoglikemik oral akan memiliki tujuh resiko untuk terkena hipotermia maupun
hipertermia. Faktor-faktor yang menyebabkan lansia rentan terkena adalah seperti
imobilitas, usia, efek pengobatan, kondisi lingkungan, dan penyakit akut atau kronik.
Untuk lansia yang tinggal sendiri, isolasi sosial mungkin bisa menjadi faktor resiko
yang meningkatkan resiko hipertermia ataupun hipotermia.
Masalah utama dari lansia yang tinggal di suatu institusi dimana mereka tidak
mempunyai kontrol terhadap lingkungan mereka. Untuk lansia, perawat harus
mengidentifikasi

kemungkinan

munculnya

diagnosa

gangguan

kenyamanan,

berhubungan dengan persepsi dingin. Diagnosa ini akan sesuai ketika lansia tidak
berada pada resiko hipertermia tetapi mengeluh merasa kedinginan. Perawat harus
emmpunyai kesesuain dalam membuat diagnosa keperawatan, terutama ketika
menyangkut pola tidur dan kualitas hidup di panti jompo.
E. Rencana Keperawatan

Perawatan untuk lansia dengan diagnosa resiko tinggi untuk hipotermia dan
hipertermia adalah dengan cara mengeliminasi resiko dan memantau suhu normal lansia.
Tujuan ini dicapai dengan memodifikasi lingkungan bila memungkinkan dan dengan
mengatasi faktor-faktor sosial ekonomi yang dapat berkontribusi pada pengembangan
hipotermia atau hipertermia. Ketika suhu lingkungan tidak dapat diubah, ketika tujuan
ditangani melalui promosi kebiasaan kesehatan yang baik dan tindakan yang melindungi
orang tua dari efek merusak dari suhu yang merugikan. Tujuan tersebut juga dicapai
dengan mendidik lansia dan pengasuh mereka. perawat yang bekerja daerah dari negara
tempat ekstrem iklim yang umum memiliki kesempatan musiman untuk mengajarkan
tentang pencegahan hipotermia dan penyakit terkait panas (Staab & Hodges, 1996).
Sebuah tujuan keperawatan untuk lansia dengan diagnosis perubahan kenyaman
berhubungan dengan persepsi perasaan kedinginan adalah untuk mempertahankan
kualitas hidupnya. Ini adalah pencapaian melalui pengukuran keperawatan yang
meningkatkan perasaan seseorang menjadi hangat dan nyaman. Juga, pengukuran lain
yang mengurangi faktor resiko untuk hipotermia akan meningkatkan kenyamanan dari
lansia (Miller, 1995).
1. Mengeliminasi faktor resiko
Mempertahankan temperature sebuah lingkunga sekitar 75F adalah satu hal
intervensi yang paling penting untuk mencegah hipotermia atau hipertermia. Sebagai
tambahannya, kelembaban relatif adalah pertimbangan penting yang bisa mengubah
atau meminimalkan ketidaknyamanan dan efek-efek mengganggu dikaitkan dengan
lingkungan dingin atau hangat yang sangat ekstrim. Dengan temperature dalam
ruangan yang nyaman, kelembaban ideal antara 40% dan 50%, dan jarak yang
diterima antara 20% dan 70%. Lansia bisa didorong untuk melembabkan udara di
dalam rumahnya saat bulan-bulan musim dingin kering dengan menggunakan
humidifiers (pelembab udara), baik sendiri maupun di konjungsi dengan system
pemanas mereka. Pengukuran simple (sederhana), seperti menjaga handuk basah
dekat dengan ventilasi pemanas atau menggunakan sebuah (vaporizer) dekat tempat
tidur pada malam hari, mungkin cocok jika humidifier tidak tersedia.
Intervensi untuk lansia isolasi sosial termasuk menstabilkan sebuah sistem dari
kontak sosial, seperti program telepon dengan teman, yang memastikan kontak
sehari-hari saat periode dari cuaca panas atau dingin. Di banyak area di Amerika yang

mana musim salju yang dingin adalah standar, asisten keuangan untuk tagihan
pemanas mungkin tersedia melalui program yang disponsori oleh pemerintah, seperti
Home Energy Assistance Program (HEAP). Program yang disponsori oleh
pemerintah lainnya menyediakan asisten (bantuan) keuangan, seperti pinjaman bunga
rendah, untuk home winterization dan memodernisasi ukuran untuk melindungi
melawan cuaca yang merugikan. Lansia dan keluarga pemberi layanan harus
didorong untuk mengambil keuntungan dari program ini, aplikasi untuk yang bisa
dikumpulkan dari kantor pemerintahan local mereka atau lembaga daerah untuk
penuaan.
2. Mempertahankan temperature tubuh normal
Di temperature lingkungan yang dingin, hipotermia bisa di cegah melalui
penggunaan baju dan penutup yang tepat dan menghindari faktor resiko. Lansia harus
didorong untuk menggunakan beberapa lapis pakaian hangat saat siang hari, dan
penutup kepala dan kaos kaki hangat saat tidur. Selimut elektrik digunakan saat
malam hari adalah bentuk yang relative murah dalam perlindungan terhadap
lingkungan dingin, tapi tindakan pencegahan keselamatan yang tepat harus diambil.
Jarak pemanas (heater) sering digunakan untuk menyediakan panas yang hebat di
area kecil, tapi itu tadi bisa membuat kebakaran serius dan bahaya keamanan. Lagi
pula pertimbangan lingkungan, perhatian khusus harus ditujukan langsung untuk
memastikan nutrisi yang cukup, termasuk masukan cairan, dan terhadap pengobatan
dari kondisi patologis.
Saat panas terik, hipertermia bisa mempengaruhi hidup lansia di rumahnya sendiri
atau pada pengaturan perawatan jangka panjang yang tidak ada AC-nya. Perawat di
fasilitas perawatan jangka panjang tanpa AC harus memasyikan kecukupan cairan
yang disediakan. Mereka juga harus mengobservasi tanda-tanda lebih awal dari
hipertermia, terutama pada penduduk yang mengalami imobilisasi atau seseorang
yang memiliki masalah medis, seperti gangguan sirkulasi atau endokrin, yang
mempengaruhi lansia untuk hipertermia. Jika satu bagian dari fasilitas adalah AC,
perawat bisa mendorong penduduk untuk menghabiskan waktu di area tersebut dan
menyediakan asisten / bantuan untuk penduduk yang memiliki keterbatasan
mobilisasi.

Lansia yang hidupnya berada pada komunitas bisa diinstruksikan tentang


mengukur

untuk

mendinginkan

lingkungan.

Lansia

mungkin

saja enggan

menggunakan kipas atau AC karena hasrat/ keinginan untuk menghentikan tagihan


listriknya. Jika mereka paham terkait resiko kesehatan dengan hyperthermia, tetapi,
mereka mungkin diminta menggunakan peralatan ini dengan bijaksana. Jika
pengaturan rumah tidak bisa didinginkan dengan cukup saat panas terik, lansia bisa
didorong untuk menghabiskan waktu di tempat public / umum yang ber AC. Lansia
yang memiliki kesulita mendapat tempat ini bisa keuntungan dari program
transportasi yang tersedia melalui pusat lansia. Dan juga intervensi untuk mencegah
hipertrmia saat panas terik termasuk ketentuan dari kecukupan cairan dan pencegahan
dari makan berat dan aktivitas berat.
3. Mempertahankan kualitas hidup
Perawat memiliki banyak kesempatan untuk meningkatkan kenyaman pada
lansiayang tinggal di lingkungan dimana mereka sering merasa kedinginan. Intervensi
ditujukan langsung untuk menghangatkan tangan, kaki, dan kepala adalah sangat
efektif karena area ini dari tubuh memiliki consentrasi paling berat dari ujung saraf
yang sangat sensitive terhadap hilangnya panas. Perawat bisa mendorong lansia untuk
memakai penutup kepala, kaus kaki termal, dan penghangat kaki. Intervensi ini
cenderung untuk meningkatkan level kenyamanan lansia dan persepsi mereka tentang
hangat, bahkan jika mereka tidak meningkatkan temperature tubuh inti (Holztclaw,
1993).
Tips untuk mencegah hipotermia dan penyakit yang berhubungan dengan panas
tubuh:
1. Pertimbangkan lingkungan dan perlindungan diri untuk mencegah hipotermia
a. Pertahankan temperature ruangan yang konstan paling tidak mendekati 75F
sebisa mungkin, dengan temperature minimal 70F
b. Gunakan suatu yang handal, thermometer yang terdaftar dengan jelas untuk
mengukur suhu ruangan
c. Gunakan rajutan yang tertutup, tapi tidak ketat, pakaian dalam untuk mencegah
kehilangan panas tubuh, gunakan beberapa lapis baju
d. Gunakan topi dan sarung tangan saat di luar ruangan, gunakan pici tidur
(nightcap) dan kaos kaki saat tidur

e. Gunakan baju lebih banyak di pagi hari saat metabolism tubuh anda berada pada
poin(titik) terendah
f. Gunakan lembaran-lembaran flannel tidur (flannel bed sheets) atau berlembarlembar selimut
g. Gunakan selimut elektrik, atur pada temperature rendah
h. Ambil keuntungan dari program-program yang menawarkan bantuan dengan
tagihan listrik dan home weatherization
2. Pertimbangkan lingkungan dan perlindungan diri untuk mencegah penyakit terkait
panas tubuh
a. Pertahankan temperature ruangan dibawah 85F
b. Jika tempat tinggal anda tidak memiliki AC, gunakan kipas untuk mengsirkulasi
udara dan mendinginkan lingkungan
c. Saat cuaca panas, habiskan waktu di tempat umum dengan pengaturan AC, seperti
perpustakaan atau mall untuk belanja
d. Gunakan baju yang longgar, ringan, warna cerah, dan baju yang berbahan
kapas/katun
e. Gunakan topi atau paying untuk melindungi dirimu melawan matahari dan panas
saat anda di luar ruangan
f. Hindara aktivitas di luar ruangan saat waktu-waktu yang panas dalam sehari
(misalnya, antara jam 10.00 15.00), lakukan aktivitas saat jam-jam dingin
seperti pagi hari atau sore hari
g. Tempatkan bungkusan es atau suatu yang dingin, handuk basah di tubuh anda,
terutama di area lipatan paha dan ketiak
h. Mandi dengan air dingin (sekitar 75F) atau shower beberapa kali sehari setiap
hari saat panas terik, tapi jangan gunakan sabun setiap saat
3. Kebiasaan kesehatan untuk mempertahankan temperature tubuh normal
a. Pertahankan kecukupan masukan cairan dengan minum 8-10 gelas non cafein,
dan bukan cairan alcohol setiap hari.
b. Jangan bergantunng pada sesnsai hausmu sebagai indicator anda membutuhkan
c.
d.
e.
f.

cairan
Makan kecil, makan sedikit tapi sering dan hindari makanan berat
Hindari minum minuman dengan cafein, seperti cola dan kopi
Hindari minum alcohol
Pada cuaca dingin, gunakan pada latihan fisik yang sedang dan aktivitas dalam
ruangan untuk meningkatkan sirkulasi dan produksi panas.

Pelayanan keperawatan untuk lansia yang didiagnosa berada pada resiko tinggi
hipotermia atau hipertermia atau perubahan temperature tubuh dievaluasi mengikuti luas
atau tingkat tujuan mana yang dicapai. Sebuah tujuan keperawatan yang biasa adalah
mengeliminasi faktor resiko. Contohnya, faktor finansial dan perumahan yang
meningkatkan resiko hipotermia atau penyakit terkait panas mungkin ditujukan dengan
merujuk lansia kepada HEAP (Home Energy Assistant Program). Saat tujuan adalah
untuk mengedukasi lansia dan pemberi layanan mereka tentang pencegahan hipotermia
dan penyakit terkait panas perawat bisa menggunakan informasi di atas sebagai alat
pengajaran. Mengevaluasi intervensi ini akan didasarkan pada kemampuan seseorang
untuk mendeskripsikan cara dari peningkatan faktor resiko hipotermi atau penyakit terkait
panas. Pelayanan keperawatan untuk lansia dengan diagnosis perubahan kenyamanan
berhubungan dengan persepsi kedinginan bisa dievaluasi mengikuti hadirnya atau
berkurangnya keluhan merasa kedinginan (Miller, 1995).
F. Peran Panti dan RS dalam Melakukan Asuhan Keperawatan Pada Lansia
Penyakit pada usia lanjut memiliki perjalanan dan manifestasi klinis yang
berbeda-beda. Menurut Stieglietz (1954), penyakit-penyakit pada usia lanjut dapat
meliputi :
- Penyakit

bersifat

multipatologik

atau

mengenai

multiorgan/sistem,

bersifat

degeneratif, saling terkait


Penyakit biasanya bersifat kronis, cenderung menyebabkan kecacatan lama sebelum

terjadinya kematian
Sering terdapat polifarmasi dan iatrogenesis
Biasanya mengandung komponen psikologis dan sosial

Brocklehurst dan Allen (1987) menambahkan satu kriteria lagi yaitu :


-

Usia lanjut yang lebih sensitif terhadap penyakit akut


Berdasarkan hal diatas, menurut Hadi Martono (1999), maka dapat disimpulkan

bahwa pelayanan kesehatan pada usia lanjut sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan
pelayanan pada masalah kesehatan lainnya. Terdapat dua prinsip utama yang harus
dipenuhi guna melaksanakan pelayanan kesehatan pada lansia, yaitu :
1. Pendekatan menggunakan prinsip holistik
2. Tatakerja dan tatalaksana secara TIM

Untuk mengupayakan kedua prinsip diatas, secara garis besar pelayanan


kesehatan pada usia lanjut dalam memenuhi kebutuhan termoregulasi dapat dibagi
sebagai berikut :
1. Pelayanan kesehatan lanjut usia di masyarakat
Pada upaya pelayanan kesehatan ini, semua upaya kesehatan yang berhubungan
dan dilaksanakan oleh masyaraat harus diupayakan berperan serta dalam menangani
kesehatan para lanjut usia. Perawat di puskesmas dan dokter merupakan pengaruh
utama dalam layanan di tingkat ini. Perawat dipuskesmas berperan dalam membentuk
kelompok/klub lanjut usia. Melalui kelompok ini, pelayanan kesehatan dapat lebih
mudah dilaksanakan baik usaha promotif, preventif, kuratif, atau rehabilitatif. Semua
pelayanan kesehatan harus diintegrasikan dengan layanan kesejahteraan yang lain
seperti dinas sosial, agama, pendidikan dan kebudayaan, dll.
Pada dasarnya layanan kesehatan lansia di tingkat masyarakat seharusnya
mendayagunakan dan mengikutsertakan masyarakat (termasuk para lansianya)
semaksimal mungkin. Yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kepedulian dan
pengetahuan masyarakat dengan berbagai cara, seperti ceramah atau penyuluhan.
Ceramah atau penyuluhan ini dapat menjelaskan berbagai hal mengenai upaya
yang dapat dilakukan oleh pihak keluarga dirumah dalam memenuhi kebutuhan
termoregulasi lansia. Seperti halnya menjaga suhu ruangan agar lansia dapat merasa
nyaman, menyiapkan air hangat untuk keperluan mandi, dan jika lansia memiliki
masalah kesehatan yang berhubungan dengan termoregulasi segeralah bawa ke
layanan kesehatan terdekat.
2. Pelayanan kesehatan lansia di masyarakat berbasis rumah sakit
Pada layanan tingkat ini, pihak rumah sakit setempat yang telah melakukan
layanan geriatri bertugas membina lansia yang berada di wilayahnya baik secara
langsung atau tidak langsung melalui pembinaan pada puskesmas yang berada di
wilayah kerjanya. Disini perawat di rumah sakit dituntut untuk dapat transfer of
knowledge berupa penyuluhan atau ceramah kepada tenaga kesehatan seperti perawat
dan pemberi layanan sosial ditingkat puskesmas mengenai bagaimana cara
memberikan pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan
termoregulasi dalam tingkat dasar. Di lain pihak, rumah sakit harus selalu bersedia
bertindak sebagai rujukan dari layanan kesehatan yang ada di masyarakat.
3. Layanan kesehatan lansia berbasis rumah sakit

Pada layanan ini tingkat ini, tergantung pada jenis layanan yang telah disediakan
oleh pihak rumah sakit bagi para lansia. Mulai dari layanan poliklinik lansia sampai
pada layanan lebih maju misalnya bangsal akut, klinik siang terpadu (day hospital),
bangsal kronis atau panti wredha (nursing homes). Di samping itu, rumah sakit jiwa
juga menyediakan layanan kesehatan jiwa bagi lansia dengan pola yang sama. Pada
tingkat ini, sebaiknya dilaksanakan suatu layanan terkait antara unit geriatri rumah
sakit umum dengan unit psokogeriatri suatu rumah sakit jiwa, terutama untuk
menangani penderita penyakit fisik dengan komponen gangguan psikis berat atau
sebaliknya.
Disinilah peran perawat sangatlah besar dalam pemberian asuhan keperawatan
sesuai dengan tahapan pelayanan yang diberikan dalam upaya pemenuhan kebutuhan
termoregulasi lansia. Perawat haruslah memahami bagaimana kondisi kebutuhan
termoregulasi dari setiap individu lansia yang dirawat. Dengan pemahaman yang
kompleks terhadap kondisi lansia, pemberian asuhan keperawatan juga dapat
diberikan dengan tepat dan efisien. Dalam hal ini, kemampuan perawat dalam
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain seperti dokter, terapis, psikolog, juga
sangat diperlukan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada lansia. Perawat
dapat dengan aktif memantau suhu tubuh lansia secara berkala. Sehingga jika terjadi
suatu masalah dalam upaya pemenuhan kebutuhan termoregulasinya, dapat segera
diatasi.

Daftar Pustaka
Miller, C.A. (1995). Nursing care of olders adults: Theory and practice. Philadelpia: JB
Lippincott. Lippincott Philadelpia
Staab,A.,S., & Hodges,1.,C., (1996). Gerontological Nursing: Adaptation to the aging process
Eliopoulus, C. (2005). Gerontological Nursing. Sixth edition. Lippincot, Philadelphia
Darmojo, R. B. & Martono, H. (1999). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: FK UI

Vous aimerez peut-être aussi