Vous êtes sur la page 1sur 17

ANALISIS BUKU TEKS BIOLOGI SMP DI KOTA BANDUNG

BERDASARKAN HAKIKAT SAINS


AN ANALYSIS OF BIOLOGY TEXTBOOKS OF JUNIOR HIGH
SCHOOL IN BANDUNG BASED ON THE NATURE OF
SCIENCE
Annisa Noor Aulia, Yusuf Hilmi Adisendjaja1, Didik Priyandoko

Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA UPI


ABSTRAK
Penelitian berjudul Analisis Buku Teks Biologi SMP Di Kota Bandung Berdasarkan
Hakikat Sains bertujuan untuk menganalisis ruang lingkup hakikat sains pada buku teks
pelajaran Biologi SMP di Kota Bandung. Populasi dalam penelitian ini adalah semua
halaman materi pada buku teks pelajaran Biologi SMP yang dianalisis. Sampel pada
penelitian ini adalah beberapa halaman pada buku yang dianalisis yang diambil secara
acak dengan teknik multistage sampling. Data dijaring menggunakan lembar indikator
hakikat sains yang diadaptasi dari jurnal Lederman et al. (2002). Hasil rata-rata proporsi
komponen hakikat sains pada buku yang dianalisis adalah sains bersifat empiris (9,7%),
teori dan hukum dalam sains (67%), kreativitas dan imajinasi dalam sains (6%), teori
Laden (4%), sosial budaya yang melekat dalam sains (7,8%), mitos metode ilmiah (3%),
dan sifat tentatif ilmu pengetahuan (2,5%). Data menunjukan bahwa buku teks Biologi
SMP di Bandung sudah mengandung ketujuh komponen hakikat sains, namun
proporsinya tidak seimbang. Data kuesioner menunjukan bahwa pandangan hakikat sains
siswa berada pada kategori rendah (56%) dan pengetahuan siswa tentang hakikat sains
lebih banyak didapat dari buku teks.
Kata kunci : buku teks, hakikat sains.
ABSTRACT
This research entitled An Analysis of Biology Textbooks of Junior High School in
Bandung Based on The Nature of Science aimed to analyze the frameworks of the
nature of science in the Biology textbooks of Junior High School in Bandung area. The
population in this research were all the materials on the textbooks. The sample was
several pages on the books which was taken randomly with multistage sampling
technique. The data were gathered using nature of science indicator which was adapted
from journal Lederman et al. (2002). The result of the components the nature of science
are the empirical nature of scientific knowledge (9,7%), scientific theories and laws
(67%), the creative and imaginative nature of scientific knowledge (6%), the TheoryLaden (4%), the social and cultural embeddedness of scientific knowledge (7,8%), myth
of the scientific method (3%), and the tentative nature of scientific knowledge (2,5%).
The data showed that Biology Textbooks of Junior High School was includes the seven
elements of the nature of science. However, the propotion is not equal. The questionnaire
data show that the view of nature of science students perspective is on the level on of
low category (56%) and students knowledge are mainly gained from textbooks.
Keywords: textbooks, nature of science

_______________________
1 Penulis Penanggung Jawab

Formica Education Online, Volume 1, Nomor 1, Januari 2014

Kebutuhan akan buku teks merupakan


bagian yang tidak terpisahkan dari
pembelajaran
di
sekolah.
Menurut
Adisendjaja dan Romlah (2007), kurang
lebih 90% guru Biologi sekolah menengah
menggunakan buku teks sebagai acuan
dalam pengajaran di kelas. Buku teks
merupakan
media
pembelajaran
instruksional yang dominan peranannya di
kelas,
media
penyampaian
materi
kurikulum, dan memiliki titik sentral
dalam sistem pendidikan di Indonesia
(Suryaman, 2004). Lebih jauh, buku teks
merupakan faktor yang fundamental dalam
pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA)
yang
berdampak
terhadap
pencapaian literasi sains siswa (Penney et
al., 2003). Tujuan pendidikan sains adalah
agar siswa dapat memiliki kesadaran
tentang literasi sains yang diwujudkan
melalui pemahaman hakikat sains, sebab
inti dari literasi sains adalah hakikat sains
(Lederman et al., 2002). Pemahaman
tentang hakikat sains juga berdampak
positif terhadap peningkatan sikap ilmiah
siswa sebagai salah satu bentuk dari
pendidikan berkarakter (Handoko, 2012).
Selain
itu,
pandangan
mengenai
pentingnya hakikat sains telah menjadi
tujuan utama dalam pendidikan sains
(Lederman et al., 2002). Mata Pelajaran
Biologi di SMP sebagai bagian dari
pendidikan IPA mengharuskan siswa
mencari tahu tentang alam secara
sistematis. IPA bukan hanya penguasaan
kumpulan pengetahuan yang berupa faktafakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip
saja tetapi juga merupakan suatu proses
penemuan oleh siswa (BSNP, 2006). Selain
itu, Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
menuntut penguasaan sikap, konsep, dan
keterampilan siswa (BSNP, 2006). Oleh
karena itu, hakikat sains harus tertuang di
dalam pembelajaran sains termasuk di
dalam buku teks. Hakikat sains dalam buku
teks perlu dianalisis agar siswa benar-benar
memahami sains secara utuh. Hal ini

disebabkan cara pandang seorang siswa


tentang sains melalui buku teks akan
menentukan arah pandang mereka
mengenai sains.
Pentingnya hakikat sains menurut
Driver et al. (1996), terdiri dari lima sisi
yaitu
sisi
kebermanfaatan
untuk
memahami makna dari sains dan
mengelola suatu teknologi dan proses
dalam kehidupan sehari-hari. Dari sisi
demokratis, hakikat sains penting untuk
mengajarkan pembuatan keputusan dalam
persoalan sains dalam masyarakat. Sisi
kebudayaan hakikat sains, penting untuk
menghargai nilai dari sains dalam
kebudayaan saat ini. Dari sisi moral,
hakikat sains membantu dalam memahami
norma pada komunitas ilmiah yang
membentuk komitmen terhadap nilai moral
yang umum pada masyarakat, sedangkan
dari sisi pembelajaran sains, hakikat sains
penting untuk memfasilitasi pembelajaran
tentang sains. Banyak orang awam
mengganggap bahwa sains merupakan
susunan informasi ilmiah yang diperoleh
hanya melalui metode ilmiah terutama
dengan hanya melakukan eksperimen atau
percobaan (McComas, 1998). Banyak juga
anggapan umum bahwa hukum dan teori
dalam sains merupakan sesuatu hal yang
mutlak
yang
telah
dipastikan
kebenarannya, sehingga tidak dapat
berubah. Selain itu, banyak anggapan
bahwa pengetahuan yang ada sekarang
merupakan hasil karya dari penemunya
sendiri, tanpa dijelaskan ada pihak lain
yang berperan dalam penemuan, misalnya
perusahaan atau penyandang dana untuk
percobaan ilmuwan tersebut (Rutherford
dan Ahlgren, 1990). Hal ini merupakan
beberapa miskonsepsi tentang hakikat
sains yang sebaiknya diluruskan terutama
dalam buku teks. Oleh karena itu, perlu
pemilihan buku teks yang tepat, agar
terjadinya peningkatan informasi sains
yang pada akhirnya dapat meningkatkan

Formica Education Online, Volume 1, Nomor 1, Januari 2014

pandangan hakikat sains bagi siswa.


Penelitian mengenai hakikat sains dalam
buku teks Biologi SMP di Indonesia belum
pernah dilakukan. Penelitian sebelumnya
yang dilakukan Irez (2009) pada buku teks
Biologi di Turki berdasarkan hakikat sains
menunjukkan, buku teks Biologi lebih
menitikberatkan pada konten. Niaz dan
Maza (2011) melakukan penelitian tentang
hakikat sains pada buku teks kimia
menyebutkan bahwa penulis buku,
pengembang kurikulum, dan bahkan para
ilmuwan sendiri mengabaikan catatan
sejarah dan tidak mengajarkan ilmu seperti
yang dilakukan oleh para ilmuwan.
Penelitian lain yang dilakukan Handoko
(2012), menunjukkan bahwa buku teks
kimia
yang
dianalisis
berdasarkan
indikator hakikat sains di SMA kelas XI
yang digunakan guru belum mencerminkan
hakikat sains secara maksimal. Perlu
penelitian lebih lanjut pada buku teks
Biologi SMP karena pemahaman siswa
mengenai hakikat sains akan terus
berlanjut ke jenjang berikutnya jika tidak
diluruskan dengan benar.
Masalah utama dalam penelitian ini
adalah Apakah buku teks Biologi SMP
yang digunakan dalam pembelajaran di
Kota Bandung telah mengandung hakikat
sains? Untuk memandu penelitian ini,
permasalahan di atas dijabarkan dalam
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
Bagaimana hakikat sains yang meliputi
sains bersifat empiris, teori dan hukum
dalam sains, kreativitas dan imajinasi
dalam sains, teori Laden, sosial budaya
yang melekat pada sains, mitos metode
ilmiah, dan pengetahuan ilmiah yang
bersifat tentatif dalam buku teks Biologi
SMP yang digunakan di Kota Bandung?
Pertanyaan penelitian kedua adalah
Bagaimana pandangan siswa SMP
mengenai hakikat sains yang meliputi sains
bersifat empiris, teori dan hukum dalam
sains, kreativitas dan imajinasi dalam
sains, teori Laden, sosial budaya yang
melekat pada sains, mitos metode ilmiah,
dan pengetahuan ilmiah yang bersifat

tentatif?. Tujuan penelitian ini adalah


untuk memeroleh informasi mengenai
ruang lingkup kandungan hakikat sains
pada buku teks Biologi SMP yang
digunakan di Kota Bandung.
METODE
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif.
Penelitian ini mendeskripsikan sejauh
mana ruang lingkup hakikat sains dalam
buku teks Biologi SMP dan sebagai data
sekunder dilakukan penyebaran kuesioner
untuk melihat sejauh mana pandangan
hakikat sains pada siswa SMP. Populasi
pada penelitian ini adalah semua halaman
materi pada buku teks Biologi SMP Kelas
VII, Kelas VIII, dan Kelas IX di Kota
Bandung yang dianalisis. Adapun sampel
pada penelitian ini adalah beberapa
halaman pada buku yang dianalisis yang
diambil secara acak. Pengambilan sampel
diambil
dengan
teknik
multistage
sampling. Multistage sampling adalah
penarikan sampel dengan beberapa tahap
atau lebih (Cochran, 1991). Hal ini
dikarenakan buku teks Biologi SMP yang
dianalisis memiliki jenis yang beragam.
Setiap buku tersusun dari bab dan setiap
bab memiliki jumlah halaman yang
berbeda. Pengambilan cuplikan dilakukan
dan diadaptasi dari jurnal Chiappetta et al.
(1993), yang mengambil 5% halaman dari
setiap bab untuk setiap buku yang
dianalisis. Hal tersebut dilakukan dengan
pertimbangan jumlah halaman pada buku
terbitan luar negeri sangat banyak. Dalam
penelitian ini, sampel diambil sebanyak
20% dengan pertimbangan buku di
Indonesia memiliki halaman yang lebih
sedikit daripada buku terbitan luar negeri.
Penelitian dilakukan dengan menganalisis
buku teks Biologi, yang dinamakan buku
A, buku B, dan buku C dari masing-masing
tiga penerbit yang berbeda, yang lolos
BSNP, menggunakan KTSP, atau banyak
digunakan di Kota Bandung. Materi yang
dianalisis adalah materi Biologi Kelas VII,
Kelas VIII, dan Kelas IX. Tahap pertama
dalam pengambilan sampel adalah

Annisa Noor Aulia, Yusuf Hilmi Adisendjaja1, Didik Priyandoko


Analisis Buku Teks Biologi SMP Di Kota Bandung Berdasarkan Hakikat Sains

pemilihan konsep Biologi dalam buku teks


Biologi SMP. Tahap kedua adalah
pemilihan bab pada tujuh konsep besar
Biologi yang dianalisis yang diambil
secara acak, terdiri dari bab Keragaman
atau Klasifikasi; Struktur dan Fungsi;
Pertumbuhan
dan
Perkembangan;
Kelangsungan hidup dan Pewarisan sifat;
Lingkungan; Terapan; dan Metode Ilmiah.
Tahap ketiga adalah pemilihan halaman
yang diambil sebanyak 20% dari setiap bab
yang dianalisis dan diambil secara acak.
Analisis dilakukan pada setiap paragraf
pada buku yang dianalisis. Unit yang
dianalisis pada halaman adalah paragrafparagraf yang lengkap, pertanyaanpertanyaan,
tabel,
dan
kegiatan
laboratorium atau aktifitas hand-on
(Chiappetta et al., 1993). Paragraf yang
tidak lengkap diambil dari awal paragraf,
baik melihat halaman sebelumnya atau
setelahnya.
Tahap pengumpulan data dilakukan
dengan menganalisis materi per halaman
dalam buku yang dicuplik menggunakan
instrumen indikator hakikat sains yang
diadaptasi dari jurnal Lederman et al.
(2002), yang berjudul Views of Nature of
Science Questionnaire: Toward Valid and
Meaningful Assesment of Learners
Conceptions of Nature of Science.
Pernyataan yang sesuai ditulis pada
instrumen lembar indikator hakikat sains
yang telah dibuat. Data sekunder diambil
dengan penyebaran kuesioner kepada
siswa SMPN 5 Bandung kelas VII, kelas
VIII, dan kelas IX untuk melihat
pandangan hakikat sains siswa SMP yang
juga diadaptasi dari jurnal Lederman et al.
(2002). Dari sejumlah siswa yang ada di
kelas VII, kelas VIII, dan kelas IX, dipilih
20% siswa pada masing-masing tingkatan.
Cara pengambilan sampel ini diadaptasi
dari teknik sampling yang dikemukakan
oleh Surakhmad dalam Muqodas (2011).
Surakhmad menjelaskan bahwa bila
populasi di bawah 100, dapat digunakan
sampel sebesar 50%, dan jika berada di
antara
100
sampai
1000,
maka
dipergunakan sampel sebesar 15%-50%

dari jumlah populasi. Sehingga peneliti


menggunakan sampel siswa sebanyak
20%. Pengambilan data dilakukan dengan
mendatangi sekolah yang dituju untuk
melihat pandangan siswa mengenai hakikat
sains setelah mempelajari buku teks
Biologi SMP di sekolahnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah kemunculan ketujuh
komponen hakikat sains disajikan dalam
Tabel 1.
Tabel 1
Perbandingan Komponen Hakikat Sains
pada Buku A, Buku B, dan Buku C

Tabel 1 menunjukkan bahwa komponen


yang paling banyak muncul adalah teori
dan hukum dalam sains yang berjumlah
masing-masing pada buku A, buku B, dan
buku C adalah 94, 125, dan 97 dengan
rata-rata persentase kemunculan masingmasing 67%. Sifat tentatif ilmu
pengetahuan merupakan komponen yang
paling sedikit muncul dengan jumlah
kemunculan masing-masing pada buku A,
buku B, dan buku C adalah 3, 7, dan 2
dengan rata-rata persentase kemunculan
2,5%. Untuk memudahkan pembacaan,
data ditampilkan dalam Gambar 1, Gambar
2, Gambar 3, dan Gambar 4 berikut ini.

Formica Education Online, Volume 1, Nomor 1, Januari 2014

pandangan hakikat sains siswa disajikan


dalam Tabel 2 berikut ini:
Tabel 2.
Rekapitulasi Pandangan Hakikat
Sains Siswa SMP di Kota Bandung

Berdasarkan Tabel 2 diketahui


pandangan hakikat sains siswa umumnya
berada pada rentang kategori rendah, yang
terdiri dari 35 orang di kelas VII, masingmasing 27 orang di kelas VIII dan kelas
IX. Secara keseluruhan, persentase ratarata pandangan hakikat sains siswa di Kota
Bandung disajikan dalam Gambar 5
berikut ini:

Gambar 5. Persentase Rata-Rata


Pandangan Hakikat Sains Siswa SMP
di Kota Bandung
Hasil penelitian yang dilakukan
pada
buku
yang
dianalisis
mengungkapkan bahwa komponen teori
dan hukum dalam sains pada buku A,
buku B, maupun buku C sangat
mendominasi dengan persentase ratarata 67%, Berikut kutipan komponen
teori dan hukum dalam sains dalam
buku yang dianalisis:

Adapun data rekapitulasi hasil


kuesioner siswa SMP kelas VII, kelas VIII,
dan kelas IX di Kota Bandung tentang

Simbiosis
mutualisme
yaitu
hubungan antara dua jenis
organisme
yang
saling
menguntungkan.
Simbiosis
komensalisme yaitu hubungan
antara dua jenis organisme di
mana yang satu diuntungkan dan

Annisa Noor Aulia, Yusuf Hilmi Adisendjaja1, Didik Priyandoko


Analisis Buku Teks Biologi SMP Di Kota Bandung Berdasarkan Hakikat Sains

yang lain tidak dirugikan saat


saling berinteraksi. Simbiosis
parasitisme yaitu hubungan antara
dua
jenis
organisme
yang
merugikan salah satu pihak,
sedangkan pihak yang lain
diuntungkan saat berinteraksi.
Komponen teori dan hukum dalam
sains lebih banyak dituliskan dalam
bentuk
definisi
dibandingkan
diungkapkan
contoh-contohnya,
sedangkan hukum lebih banyak
dijelaskan tersurat pada Hukum Mendel
di kelas IX. Terdapat beberapa
kesalahpahaman
(miskonsepsi)
komponen
hakikat
sains
yang
ditemukan terutama dalam hal mitos
metode ilmiah yang sesuai dengan
penelitian Mc Comas (1998), yaitu
masih
banyak
anggapan
dalam
masyarakat tentang metode ilmiah yang
mutlak dan universal yang meliputi
tahapan yang sama untuk memeroleh
ilmu serta anggapan bahwa metode
ilmiah
dapat
menjawab
semua
pertanyaan dalam masyarakat. Berikut
kutipan mitos metode ilmiah dalam
buku teks yang dianalisis:
Eksperimen dilakukan untuk
menjawab berbagai pertanyaan atau
permasalahan
secara
ilmiah.
Langkah-langkah eksperimen disusun
secara
sistematis yang disebut
metode ilmiah. Urutan langkah dalam
metode ilmiah harus
dilakukan
secara bertahap, tidak boleh dibolakbalik. Langkah-langkah metode
ilmiah adalah sebagai berikut:
1. Merumuskan masalah
2. Menyusun hipotesis.
3. Melaksanakan penelitian ilmiah.
4. Mengumpulkan data dari hasil
penelitian.
5. Mengolah dan menganalisis
data
6. Membuat kesimpulan.

Kutipan tersebut menggambarkan


bahwa penulis buku sendiri pun belum
memahami benar tentang komponen
hakikat sains. Menurut McComas (1998),
sains tidak bisa menjawab semua
pertanyaan, di antaranya pertanyaanpertanyaan moral, etika, estetika, dan
pertanyaan metafisik. Tidak ada urutan
tuggal dan prosedur bertahap yang sama
untuk mendapatkan jawaban yang valid
serta pengembangan pengetahuan (AAAS,
1993; Lederman et al., 2002). Sterling et
al. (2010), menambahkan bahwa para
ilmuwan menggunakan berbagai metode
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
di antaranya dengan menggunakan
penelitian deskriptif, eksperimen, korelasi,
dan penemuan kebetulan. Diperkuat
penelitian McComas (1998), peneliti
termasuk para ilmuwan mengumpulkan
dan menafsirkan bukti empiris misalnya
melalui
proses
induktif
dengan
mengumpulkan bukti dan memeriksa
sampai akhirnya hukum dan teori
ditemukan. Namun, banyaknya bukti tidak
menjamin produksi pengetahuan yang
valid karena adanya beberapa masalah
induktif seperti tidak memungkinkan untuk
membuat semua pengamatan yang
berkaitan dengan situasi tertentu dan
sangat tidak logis untuk mendapatkan
semua fakta yang relevan untuk semua
waktu dari masa lalu, sekarang, dan masa
depan sehingga tidak ada metode tunggal
untuk memeroleh ilmu. Langkah-langkah
metode ilmiah yang berurutan yang sangat
sering dipopulerkan dalam buku teks
sebenarnya merupakan langkah-langkah
yang ditulis oleh Keeslar untuk menulis
dalam jurnal ilmiah secara sistematis untuk
penelitian sains (McComas,1998). Namun,
para penulis buku dengan cepat
mengadopsi itu dan kemudian lebih dahulu
tersebar secara luas di kalangan penulis
buku sebelum dijelaskan kebenarannya.
Komponen sosial budaya yang
melekat dalam sains lebih tinggi muncul
pada kelas IX karena komponen ini
lebih banyak umumnya dijelaskan
dalam
bab bioteknologi. Berikut

Formica Education Online, Volume 1, Nomor 1, Januari 2014

kutipan komponen sosial budaya yang


melekat dalam sains:

sedikit di dalam buku teks. Berikut


kutipan sifat tentatif ilmu pengetahuan:

Bioteknologi telah dimanfaatkan


sejak lama. Contohnya adalah
pembuatan makanan dengan cara
fermentasi seperti membuat tapai,
peuyem, tuak, anggur sari buah,
dan brem telah dilakukan bangsa
Indonesia sejak dulu

Pengelompokkan
sistem
ini
(sistem filogeni) terus menerus
mengalami perkembangan.
Pada kutipan tersebut,
komponen
sifat
tentatif
ilmu
pengetahuan hanya menyebutkan bahwa
pengetahuan akan terus berkembang,
tidak dijelaskan bagaimana sebenarnya
cara pengetahuan ilmiah itu sendiri bisa
berkembang.
Pengetahuan
ilmiah
meskipun dapat diandalkan dan
bertahan lama, namun tidak akan pernah
mutlak, dapat berubah sesuai kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi atau
karena adanya bukti yang baru (Sterling
et al., 2010; Schwartz et al., 2004;
Lederman et al., 2002).
Komponen Teori Laden
dijelaskan secara eksplisit dalam buku
teks. Terdapat salah satu kutipan dalam
buku teks yang dianalisis sebagai
berikut:

Bab bioteknologi masuk pada


konsep besar Biologi yang keenam,
yaitu terapan. Komponen sosial budaya
yang melekat dalam sains sudah
terdapat pada buku A, buku B, dan buku
C,
namun
proporsinya
secara
keseluruhan hanya 7,8%, masih sangat
jauh dengan teori dan hukum dalam
sains yaitu sebesar 67%. Hal ini salah
satunya disebabkan karena Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar
pada bab bioteknologi di kelas IX dalam
BSNP (2006), hanya sampai pada kata
kerja operasional Memahami dan
Mendeskripsikan. Standar Kompetensi
bab Bioteknologi adalah 2. Memahami
kelangsungan hidup makhluk hidup,
sedangkan Kompetensi Dasarnya adalah
2.4
Mendeskripsikan
penerapan
bioteknologi
dalam
mendukung
kelangsungan hidup manusia melalui
produksi pangan. Oleh karena itu,
penulis buku akan lebih cenderung
menulis
teori
yang
banyak
dibandingkan lebih mengembangkan
kemampuan aplikasi atau pemecahan
masalah oleh siswa dalam bidang
bioteknologi. Padahal siswa sebaiknya
lebih banyak melakukan diskusi tentang
isu-isu bioteknologi yang berkembang
saat ini. Inilah salah satunya mengapa
teori dan hukum ilmiah menjadi
komponen dengan kemunculan paling
banyak dibandingkan dengan komponen
lainnya.
Sifat tentatif ilmu pengetahuan
hanya muncul 2,5% pada pada buku
yang dianalisis dan umumnya dijelaskan
tersirat sehingga kemunculannya paling

, ada juga yang mengembangkan


klasifikasi tiga kingdom yang
berbeda. Misalnya Haeckel pada
tahun 1866, mengusulkan makhluk
hidup dikelompokkan menjadi tiga
kingdom yaitu Protista, Plantae,
dan Animalia.
Teori Laden di dalam buku teks
tersebut hanya menjelaskan nama
ilmuwannya saja, padahal sebenarnya
banyak kepentingan yang terlibat di
dalamnya termasuk perusahaan atau
penyandang dana dalam beberapa
percobaan para ilmuwan (Rutherford
dan Ahlgren, 1990). Ilmuwan tidak
bekerja sendiri karena mereka bekerja
dalam tim karena banyak masalah dalam
ilmu yang terlalu rumit misalnya dalam
masalah kendala waktu, model,
intelektual, dan pembiayaan jika
diselesaikan secara individu (McComas,
1998). Dalam melakukan observasi,
para ilmuwan memiliki keyakinan,

Annisa Noor Aulia, Yusuf Hilmi Adisendjaja1, Didik Priyandoko


Analisis Buku Teks Biologi SMP Di Kota Bandung Berdasarkan Hakikat Sains

pelatihan, pengalaman, pengetahuan


sebelumnya
yang
memengaruhi
pekerjaan mereka (Sterling et al., 2010;
Lederman et al., 2002), sifat ini
individual dan bersifat subjektif.
Namun, peran kolektif dari para
ilmuwan lain turut menyumbang peran
dalam
menghasilkan
pengetahuan
ilmiah. Teori yang ada tidak sepenuhnya
ada di pikiran para ilmuwan secara
mandiri. Akan tetapi, teori yang muncul
tidak
terlepas
dari
teori-teori
sebelumnya (Lederman et al., 2002).
Beberapa penulis buku mungkin
mengganggap ini tidak begitu penting,
namun sebenarnya siswa sendiri harus
mengetahui hal ini menyangkut
pemahamannya tentang hakikat sains.
Kreativitas dan imajinasi dalam
sains pada buku yang dianalisis hanya
6,8%.
Seharusnya
siswa
lebih
mengembangkan
kreativitas
dan
imajinasinya dalam sains daripada
hanya dituntut menghafal konten berupa
teori. Kreativitas dan imajinasi sedikit
kemunculannya pada buku teks
disebabkan kegiatan praktikum pada
buku teks umumnya dalam bentuk
resep. Untuk mengasah kreativitas dan
imajinasi siswa, sebaiknya siswa
merancang
sendiri
penyelidikan/percobaan
untuk
mendapatkan
pengetahuan
ilmiah.
Selain itu, terdapat kutipan kreativitas
dan imajinasi dalam buku teks yang
dianalisis sebagai berikut:
Pada tahun 1779, Jan Ingenhousz
membuktikan
bahwa
pada
fotosintesis dilepaskan oksigen.
Hal
ini
dibuktikan
dengan
menggunakan
tanaman
air
Hydrilla verticillata di bawah
corong terbalik. Jika tanaman
tersebut kena cahaya, timbullah
gelembung-gelembung udara yang
akhirnya mengumpul di dasar
tabung reaksi.

Kutipan tersebut menjelaskan


adanya komponen hakikat sains
kreativitas dan imajinasi ilmuwan yang
dijelaskan secara tersirat yaitu pada alat
yang digunakan Ingenhousz dalam
penelitiannya yaitu menyimpan tanaman
air Hydrilla verticillata di bawah corong
terbalik. Penulis buku dan guru lebih
banyak menekankan kepada nama
ilmuwannya saja, bukanlah dari cara
ilmuwan
memeroleh
pengetahuan
dengan menggunakan kreativitas dan
imajinasi mereka. Menurut Lederman et
al. (2002), kreativitas dan imajinasi ini
salah satunya digunakan para ilmuwan
dalam merancang penyelidikan mereka
serta bagaimana mereka memilih alat
yang
tepat
dan
model
untuk
mengumpulkan data.
Hasil penelitian yang ada sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Irez (2009) yang melakukan penelitian
hakikat sains pada lima buku teks
Biologi di Turki secara kualitatif.
Hasilnya buku teks yang digunakan
lebih menitikberatkan pada konten yang
berisi fakta, bukan sebagai proses
dinamis yang menghasilkan dan
menguji penjelasan alternatif tentang
alam.
Penelitian
ini
juga
mengungkapkan bahwa para penulis
buku tampaknya tidak memahami
hakikat sains dengan cukup baik untuk
menjelaskan kepada siswa sehingga
lebih banyak disajikan dalam bentuk
uraian yang cukup menyesatkan dan
tidak memadai sehingga terdapat
miskonsepsi yang secara eskplisit
dijelaskan dalam buku teks. Pada buku
A, buku B, dan buku C yang dianalisis
jelas sekali ditemukan miskonsepsi
tentang hakikat sains pada buku teks
Biologi SMP yang sebaiknya diluruskan
agar tidak berlanjut ke jenjang
berikutnya.
Banyaknya
kemunculan
komponen teori dibandingkan hukum
sejalan
dengan
penelitian
yang
dilakukan McComas (2003) yang
meneliti tentang komponen hakikat

Formica Education Online, Volume 1, Nomor 1, Januari 2014

sains teori dan hukum pada buku teks


Biologi di Amerika. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa hukum pada
Biologi jarang ditemukan dalam buku
teks, namun secara umum banyak
ditemukan
pada
bab
genetika
(pewarisan sifat), sedangkan teori lebih
sering ditemukan dalam bentuk definisi
dan jarang dalam bentuk contoh-contoh.
Penelitian ini juga sejalan
dengan yang dilakukan Niaz dan Maza
(2011) tentang hakikat sains pada buku
teks kimia yang menyebutkan bahwa
kebanyakan buku teks lebih banyak
berkisar pada teori ilmiah dan
kemunculan hakikat sains dalam buku
teks masih belum maksimal. Hasil
penelitian mengungkapkan bahwa teori
Laden (4%), mitos metode ilmiah (3%),
dan sifat tentatif ilmu pengetahuan
(2,5%) menjadi kategori yang sangat
sedikit muncul. Hal ini sesuai dengan
penelitian Niaz dan Maza (2011), yang
mengungkapkan bahwa kebanyakan
penulis buku, pengembang kurikulum,
dan bahkan para ilmuwan sendiri dalam
buku teks kimia yang dianalisis
mengabaikan catatan sejarah dan tidak
mengajarkan
ilmu
seperti
yang
dilakukan oleh para ilmuwan.
Namun, penelitian ini berbeda
dengan penelitian yang dilakukan
Handoko (2012) pada buku teks Kimia
SMA kelas IX yang menyatakan aspek
empiris dan dimensi sosial yang paling
banyak muncul. Hal ini dikarenakan
pemahaman yang berbeda di antara
peneliti tentang komponen hakikat sains
yang digunakan dan mata pelajaran
yang berbeda yang memengaruhi
jumlah kemunculan indikator hakikat
sains siswa. Konsepsi tentang hakikat
sains bersifat tentatif dan dinamis,
berkembang seiring perkembangan ilmu
pengetahuan dan berpikir secara
sistematis (Lederman et al., 2002).
Selain itu hakikat sains terus
berkembang
di
kalangan
filsuf,
sejarawan, sosiolog dan pendidik sains
walaupun tidak ada kesepakatan

lengkap tentang definisi hakikat sains


(Schwartz et al., 2004; Lederman et al.,
2002).
Teori dan hukum dalam sains
menjadi
kategori
yang
sangat
mendominasi dalam buku teks SMP.
Teori dan hukum dalam sains memang
merupakan komponen yang paling
penting dalam hakikat sains (McComas,
2003). Namun fakta di lapangan, siswa
SMP dituntut guru untuk menghafal
banyak sekaii konten berupa teori atau
hukum dalam sains dan bukan
menggunakan cara yang dilakukan oleh
para ilmuwan seperti yang diungkapkan
oleh Rutherford dan Ahlgren (1990),
yaitu dimulai dengan mengamati,
berpikir,
bereksperimen,
dan
memvalidasi. Kurikulum di Indonesia
dalam BSNP (2006) mengungkapkan,
bahwa siswa seharusnya lebih dituntut
untuk mengembangkan rasa ingin tahu
tentang
lingkungannya
dengan
melakukan inkuiri ilmiah. Namun,
beberapa Standar Kempotensi dan
Kompetensi Dasar di Kelas VII, kelas
VIII, dan kelas IX lebih menuntut siswa
mendeskripsikan materi dibandingkan
dengan aktifitas yang mengasah
imajinasi atau kreativitas dalam
melakukan
penyelidikan,
Padahal
sebenarnya sains melibatkan penjelasan
penemuan
yang
membutuhkan
kreativitas dan imajinasi manusia
(Lederman et al., 2002). Sains
merupakan produk berpikir kreatif,
diciptakan dari imajinasi manusia dan
penalaran logis dan penciptaan ini
didasarkan pada pengamatan dan
kesimpulan dari alam (Sterling et al.,
2010; Schwartz et al., 2004). Dalam
melakukan
pengamatan
untuk
memeroleh ilmu, para ilmuwan
menggunakan imajinasi dan kreativitas
yang ada dalam pemikiran mereka yang
digunakan
untuk
memunculkan
hipotesis dan teori. Sterling et al. (2010)
mengungkapkan bahwa aspek imajinasi
dan kreativitas ini penting sebagai salah
satu aspek dari hakikat sains. Namun,

Annisa Noor Aulia, Yusuf Hilmi Adisendjaja1, Didik Priyandoko


Analisis Buku Teks Biologi SMP Di Kota Bandung Berdasarkan Hakikat Sains

argumen ilmiah tetap harus sesuai


dengan prinsip-prinsip nalar untuk
menguji validitas argumen dengan
menetapkan
kriteria
tertentu
(Rutherford dan Ahlgren, 1990).
Teori Laden, mitos metode
ilmiah, dan sifat tentatif ilmu
pengetahuan sedikit sekali dijelaskan
dalam buku teks Biologi di SMP pada
buku A, buku B, dan buku C dengan
masing-masing kemuculan sebesar
4,0%, 3,0%, dan 2,5%. Di samping
penulis buku, sebenarnya gurunya
sendiri pun tidak cukup memahami
betul hakikat sains. Hal ini disebabkan
karena kurangnya konten ilmu filsafat
sains dalam program pendidikan guru
(McComas, 1998). Banyaknya teori dan
hukum dalam sains pada buku teks
memengaruhi
terhadap komponen
hakikat sains yang lain. Akibatnya,
pemahaman siswa tentang sains bersifat
empiris rendah karena siswa jarang
sekali melakukan kegiatan praktikum
atau melakukan kegiatan pengamatan.
Praktikum yang ada di sekolah
umumnya menggunakan semacam resep
yang menyuruh siswa mengikutinya
sehingga kreativitas dan imajinasi siswa
dalam
sains
juga
kurang.
Di
laboratorium, misalnya, siswa diminta
untuk melakukan kegiatan, melakukan
pengamatan dan kemudian membentuk
kesimpulan. Ada harapan bahwa
kesimpulan terbentuk akan jelas dan
seragam (McComas, 1998). Dengan
kata lain, guru menggiring siswa pada
kesimpulan yang sama tidak mendorong
dan memunculkan kreativitas siswa
sendiri. AAAS (1993) menyatakan
terutama untuk siswa yang masih dalam
tingkat awal, sebaiknya siswa diberikan
penekanan
dalam
mendapatkan
pengalaman tentang fenomena alam di
sekitarnya dan lebih menikmati ilmu
pengetahuan karena sebenarnya minat
mereka akan lebih besar terutama dalam
masa
remaja
awal.
Dengan
mendapatkan pengalaman yang lebih
banyak, siswa akan lebih terampil dalam

melakukan
investigasi
dan
menginterpretasikan
hasil
penemuannya, dibandingkan hanya
disajikan dalam buku teks berupa teori
dan hukum ilmiah yang sangat dominan,
Sifat
tentatif
pengetahuan
ilmiah merupakan komponen paling
sedikit yang dijelaskan dalam buku teks
Biologi SMP yang dianalisis. Pada buku
A, buku B, dan buku C, sifat tentatif
ilmu
pengetahuan
lebih
sering
dinyatakan
eksplisit.
Padahal
sebenarnya banyak hal yang bisa
dijelaskan
tentang
sifat
tentatif
pengetahuan Buku teks yang ada
sebaiknya lebih banyak menjelaskan
bukti-bukti
yang
ada
yang
mengakibatkan teori atau hukum itu bisa
berubah. Hal ini disebabkan hipotesis
ilmiah, teori, dan hukum tidak pernah
dapat benar-benar terbukti terlepas dari
jumlah bukti pendukung yang empiris
(Sterling, et al., 2010; Schwartz et al.,
2004; Lederman et al., 2002).
Kategori komponen hakikat
sains yang bersifat empiris merupakan
komponen rata-rata terbanyak kedua
setelah teori dan hukum ilmiah (9,7%).
Proporsinya masih sangat sedikit
dibandingkan teori dan hukum dalam
sains (67%). Sains merupakan proses
untuk mendapatkan pengetahuan. Proses
ini sangat tergantung pengamatan
cermat (observasi) suatu fenomena dan
terciptalah sebuah teori dan hukum
(Schwartz et al., 2004; Lederman et al.,
2002). Buku teks lebih banyak
menyajikan sains bersifat empiris yang
didasarkan pada pengamatan gejala
alam dan bukti yang ada dibandingkan
dengan didasarkan pada inferensi. Hal
ini dikarenakan perolehan ilmu secara
inferensi (fenomena yang secara tidak
langsung dapat diakses dengan indra,
misalnya gravitasi) pada mata pelajaran
Biologi lebih sedikit dan sangat banyak
menunjukkan fakta dan bukti yang ada
dalam kehidupan atau secara langsung
dapat diindrai.

Formica Education Online, Volume 1, Nomor 1, Januari 2014

Dari tujuh konsep besar yang


digunakan, pada buku A, buku B, dan
buku C komponen hakikat sains teori
dan hukum ilmiah sangat mendominasi
pada konsep besar yang kedua yaitu
Struktur dan Fungsi. Dalam konsep
besar kedua ini, teori tentang berbagai
sistem dalam kehidupan manusia dan
tumbuhan diuraikan sangat detail
terutama dalam buku B. Teori lebih
banyak dibanding hukum karena hukum
lebih bersifat universal (umum) jika
ditempatkan di manapun, sedangkan
teori lebih kepada penjelasan tentang
suatu fenomena. Teori berfungsi
menjelaskan secara konsisten apa yang
telah ditetapkan dan dibuktikan tentang
suatu fenomena dari hasil penyelidikan,
sedangkan
hukum
merupakan
pernyataan
deskriptif
mengenai
hubungan antar gejala atau fenomena
(Lederman et al., 2002).
Selain itu, berdasarkan Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar
yang ada pada BSNP (2006), pada
konsep besar yang kedua ini (Struktur
dan
Fungsi),
terdapat
Standar
Kompetensi: 1. Memahami berbagai
sistem dalam kehidupan manusia dan
Kompetensi Dasar: 1.1 Menganalisis
pentingnya
pertumbuhan
dan
perkembangan pada makhluk hidup.
Pada
Standar
kompetensi
dan
Kompetensi Dasar tersebut, siswa
diharuskan untuk menganalisis pentingnya pertumbuhan dan perkembangan
siswa. Namun, buku teks lebih
menyajikan teori yang menuntut siswa
untuk
menghafal
bukan
untuk
melakukan analisis. Selain itu, pada
Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar yang sama, di kelas VIII siswa
memang cenderung dituntut untuk
hanya mendeskripsikan berbagai sistem
dalam
kehidupan
manusia
dan
tumbuhan seperti mendeskripsikan
tahapan
perkembangan
manusia,
mendeskripsikan sistem gerak, sistem
pencernaan, sistem pernapasan, dan
sistem peredaran darah pada manusia,

sehingga komponen hakikat sains yang


lainnya tidak akan muncul maksimal.
Siswa dituntut untuk membaca buku
teks dan mendengar penjelasan dari
guru, sedangkan gurunya sendiri hanya
mengandalkan buku teks dalam kegiatan
pembelajaran dan kurang mengoptimalkan kemampuan siswa agar lebih
berkembang.
Salah
satu
tujuan
mata
pelajaran IPA di SMP di antaranya
adalah melakukan inkuiri ilmiah untuk
menumbuhkan kemampuan berpikir,
bersikap dan bertindak ilmiah serta
berkomunikasi (BSNP, 2006). Hal ini
sejalan dengan konsep hakikat sains
bahwa pengetahuan tidak didasarkan
hanya pada metode imiah namun juga
bersifat empiris dengan melakukan
pengamatan oleh siswa yang melibatkan
kreativitas dan imajinasi mereka untuk
mendapatkan sebuah pengetahuan.
Kenyataan di lapangan dan di dalam
buku teks bahwa siswa cenderung
dituntut menghafal teori yang banyak
dan guru mengajarkan siswa dengan
menggunakan metode ceramah di dalam
kelas
dibandingkan
menggunakan
metode inkuiri ataupun metode problem
solving. Rasa ingin tahu siswa yang
besar sebaiknya dikembangkan guru
termasuk pengembangan materi di
dalam buku teks yang berorientasi pada
siswa, untuk mencari pengetahuan
seperti yang dilakukan para ilmuwan
salah satunya dengan cara menarik
minat siswa dalam pembelajaran IPA
termasuk di dalam buku teks. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Greene dan
Petty (Tarigan dan Tarigan, 2009) yang
mengemukakan kriteria yang termasuk
kategori buku teks yang berkualitas
salah satunya yaitu harus bisa menarik
dan
memberi
motivasi
siswa,
menstimulasi aktivitas pribadi para
siswa yang menggunakannya, dan
menghindari konsep-konsep yang samar
dan tidak bias.
Menurut Tarigan dan Tarigan
(2009), buku teks perlu dianalisis untuk

Annisa Noor Aulia, Yusuf Hilmi Adisendjaja1, Didik Priyandoko


Analisis Buku Teks Biologi SMP Di Kota Bandung Berdasarkan Hakikat Sains

menjamin terlaksananya kurikulum.


Setelah dilakukan analisis pada buku
teks, pencapaian kurikulum yang
tertuang pada buku teks memang tidak
tercapai secara maksimal terutama
dalam pencapaian hakikat sains siswa.
Hal ini terlihat dengan banyaknya teori
dan hukum ilmiah dalam buku teks yang
dianalisis. Menurut Bacon (Tarigan dan
Tarigan, 2009), buku teks merupakan
buku yang dirancang untuk penggunaan
di kelas yang disusun dan disiapkan
oleh para ahli dan dilengkapi dengan
sarana pengajaran yang sesuai dan
serasi. Namun, para ahli yang dimaksud
sebagai penulis buku menurut Gould
umumnya hanya menyalin dari bukubuku sebelumnya atau merevisi bukan
meningkatkan hasil produk mereka
secara inovatif (McComas, 2003).
Selain itu, proporsi kemunculan
komponen hakikat sains yang lain
seperti sains bersifat empiris, kreativitas
dan imajinasi dalam sains, teori Laden,
sosial budaya yang melekat pada sains,
mitos metode ilmiah, dan pengetahuan
ilmiah yang bersifat tentatif masih
sangat minimal dibandingkan teori dan
hukum dalam sains sehingga perlu
peningkatan kemunculan komponen
hakikat sains ini dalam buku teks.
Hasil data sekunder berupa
kuesioner siswa SMP menunjukan
bahwa pemahaman hakikat sains siswa
SMP di Kota Bandung umumnya masih
rendah dengan persentase rata-rata
mencapai 56%. Buku teks tentu
berperan dalam pemahaman hakikat
sains siswa, dari data kuesioner terjaring
bahwa siswa memiliki pemahaman
hakikat sains umumnya adalah dari
buku teks yang mereka pelajari di
sekolah dengan persentase rata-rata
mencapai 49,8% selain dari guru yang
mencapai 17%. Guru juga memegang
peranan dalam penyampai informasi
pandangan hakikat sains kepada siswa.
Buku teks Biologi hampir merupakan
satu-satunya sumber informasi dari
guru, walau kadang guru mencari

informasi dari buku lain sebagai


pengayaan informasi (Adisendjaja dan
Romlah, 2007).
Dari data sekunder
berupa kuesioner tersebut terungkap
beberapa kesalahpahaman siswa tentang
hakikat sains. Sifat tentatif ilmu
pengetahuan memiliki persentase paling
rendah dalam buku teks yang dianalisis
(buku A, buku B, dan buku C) dengan
persentase rata-rata 2,5%. Hal ini juga
memengaruhi pemahaman siswa dalam
memahami bahwa pengetahuan ilmiah
berupa hukum dan teori tidaklah mutlak.
Sekitar 18,23% siswa mengungkapkan
bahwa teori itu mutlak dan tidak
berubah, dan 40,96% siswa mengungkapkan bahwa hukum itu sudah paten
dan tidak dapat diubah seperti
pernyataan beberapa siswa berikut ini:
Hukum adalah aturan yang
berlaku dan tidak dapat diubah
(Syifa).
Hukum adalah segala sesuatu
yang tidak dapat diubah (Kurniawan),
Hukum adalah sesuatu yang tidak
bisa diubah dan harus dijadikan
pedoman (Farrel).
Hukum itu merupakan aturan
yang sudah pasti, paten, tidak dapat
diubah, sudah
terbukti,
dan
dibuktikan para ilmuwan (Tasya)
Sekitar 78% siswa mengetahui
bahwa teori bisa berubah, namun siswa
tidak mengetahui bahwa hukum itu juga
ternyata bisa berubah karena ilmu
pengetahuan bersifat tentatif. Selain itu
diketahui bahwa siswa sebenarnya
belum memahami perbedaan definisi
antara teori dan hukum. Siswa hanya
mengetahui contohnya saja, misalnya
Teori Sel atau Hukum Mendel.
Siswa cenderung memandang
bahwa pengetahuan ilmiah itu sudah
jelas kebenarannya, padahal pengetahuan ilmiah bisa berubah karena
kemajuan pemikiran dan teknologi atau
memang ada bukti yang baru yang bisa
membantah teori yang lama. Selain itu

Formica Education Online, Volume 1, Nomor 1, Januari 2014

ada 4,4% yang menyatakan bahwa


hukum selalu dinyatakan dalam rumusrumus. Padahal sebenarnya hukum
ilmiah sering (tapi tidak selalu)
dinyatakan dalam bentuk rumus atau
istilah matematika (Streling et al.,
2010). Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan McComas
(2003) tentang teori dan hukum sebagai
komponen paling penting dalam hakikat
sains
menyatakan
bahwa
siswa
cenderung mengganggap bahwa hukum
itu
lebih
tinggi
kedudukannya
dibandingkan dengan teori. Hal ini
disebabkan karena terdapat pandangan
siswa yang menyatakan bahwa hukum
ilmiah dibentuk oleh teori-teori
(McComas, 1998). Padahal sebenarnya
teori
digunakan
hanya
untuk
menjelaskan hukum, namun tidak
menjadi satu dengan hukum (Lederman
et al., 2002).
Dari hasil analisis kuesioner
juga terungkap bahwa siswa sebenarnya
tidak mengetahui bahwa dalam sains itu
terdapat unsur kreativitas dan imajinasi
para ilmuwan karena memang tidak
secara jelas dituliskan dalam buku teks
Biologi SMP. Sebenarnya contoh nyata
kreativitas dan imajinasi dalam sains
yang bisa diajarkan kepada siswa agar
siswa memahami tentang hakikat sains
adalah
salah
satunya
dengan
menceritakan alat-alat yang digunakan
oleh para ilmuwan untuk memeroleh
ilmu seperti kisah Louis Paster yang
menggunakan
kreativitas
dan
imajinasinya untuk menumbangkan
Teori Generatio Spontanea (makhluk
hidup muncul secara spontan) dengan
cara menggunakan tabung kaca
berbentuk leher angsa atau huruf S yang
dibuatnya. Cara lain adalah dengan
menyuruh siswa untuk merancang suatu
percobaan untuk membuktikan suatu
teori.
Kemunculan mitos metode
ilmiah
yang
ditemukan
dengan
persentase rata-rata hanya 3,0% dalam
buku teks memengaruhi terhadap

pandangan hakikat sains siswa. Sekitar


64,63% siswa menyebutkan bahwa
untuk menjawab masalah dalam sains,
perlu dilakukan eksperimen supaya
lebih objektif dengan urutan metode
ilmiah yang sama dan tidak bisa diubah.
Hal inilah yang masih perlu diluruskan
dalam buku teks sekolah di SMP karena
memang akan terbawa pada jenjang
selanjutnya dan sangat memengaruhi
pemahaman hakikat sains siswa.
Metode ilmiah sebagai cara untuk
memecahkan masalah dalam sains
tidaklah
harus
selalu
dengan
eksperimen. Jika ada benar-benar
metode ilmiah tunggal, dua orang
dengan keahlian yang sama bisa
meninjau fakta-fakta yang sama dan
kemungkinan mencapai kesimpulan
yang sama (McComas, 1998).
Siswa mengetahui komponen
hakikat sains tentang aspek sosial
budaya dalam batas mereka tahu bahwa
sains itu dibutuhkan oleh masyarakat.
Namun proporsinya masih sangat kecil
hanya (7,6%). Hal ini dikarenakan
siswa sendiri tidak menyadari bahwa
sains dipengaruhi dan memengaruhi
kehidup-an mereka. Selain itu, di
lapangan
guru
jarang
sekali
menggunakan metode inkuiri atau
metode problem soving yang menuntut
siswa memecahkan masalah. Masalahmasalah riil seperti illegal logging,
kontroversi bank sperma, rekayasa
genetika jarang sekali diangkat atau
didiskusikan di dalam kelas. Padahal
sebenarnya, selain menarik antusias dan
minat siswa, metode ini lebih
mengembangkan kemampuan berpikir
siswa
seperti
yang
seharusnya
dicanangkan dalam kurikulum.
Pandangan hakikat sains siswa
tentang sains bersifat empiris, siswa
tidak menjelaskan secara nyata bahwa
sebenarnya sains didasarkan pada
pengamatan gejala alam, inferensi, dan
bukti yang ada. Siswa lebih tahu bahwa
pengetahuan ilmiah yang didapat adalah
berasal dari hasil penelitian dengan

Annisa Noor Aulia, Yusuf Hilmi Adisendjaja1, Didik Priyandoko


Analisis Buku Teks Biologi SMP Di Kota Bandung Berdasarkan Hakikat Sains

menggunakan eksperimen sehingga


terciptalah teori dan hukum. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan
McComas (1998) yang menyatakan
hampir semua pengalaman siswa pernah
melakukan eksperimen. Bahkan dalam
pandangan siswa eksperimen dicap
sebagai prosedur teknis yang biasa
dilakukan untuk memeroleh ilmu,
Eksperimen bukanlah rute tunggal
untuk memeroleh pengetahuan. Banyak
ilmuwan penting telah menggunakan
teknik
non-eksperimental
untuk
memajukan pengetahuan.
Pemahaman siswa tentang
Teori Laden lebih cenderung kepada
mereka mengetahui bahwa teori yang
ada berasal dari teori sebelumnya,
namun mereka tidak mengetahui bahwa
sebenarnya
ilmuwan
memiliki
subjektivitas
dalam
melakukan
pengamatan dan dibantu oleh beberapa
orang (tim) dalam melakukan penelitian
mereka (McComas, 1998). Hal ini
sejalan dengan kemunculan pada buku
teks SMP yang dianalisis bahwa
memang kemunculan Teori Laden ini
masih sangat minimal yaitu rata-rata
4,0% pada buku yang dianalisis
sehingga pemahaman siswanya pun
rendah.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa siswa kelas VII, kelas VIII, dan
Kelas IX memiliki pandangan hakikat
sains yang rendah karena mereka
sendiri sebenarnya belum memahami
apa itu hakikat sains disebabkan buku
teksnya
sendiri
masih
memuat
komponen
hakikat
sains
secara
eksplisit,
tidak
dijelaskan
lebih
mendalam,
dan
ada
beberapa
miskonsepsi tentang hakikat sains.
Menurut Adisendjaja dan Romlah
(2007), kesalahpahaman pada siswa
sangat
besar
kemungkinannya
disebabkan oleh guru dan lebih besar
lagi disebabkan oleh buku teks yang
dibaca siswa. Hal ini secara tidak
langsung
mengungkapkan
bahwa
pemahaman hakikat sains dalam buku

teks akan sama dengan pemahaman


siswa. Fungsi buku teks menurut
Greene dan Petty (Tarigan dan Tarigan,
2009) salah satunya adalah menyajikan
suatu sumber pokok masalah yang kaya,
mudah dibaca, dan bervariasi dan
relevan dengan minat dan kebutuhan
siswa. Oleh sebab itu, materi pada buku
teks
tersebut
harus
benar-benar
menyajikan apa yang sebenarnya harus
disampaikan dengan menyajikan pokok
masalah yang membuat siswa lebih
kreatif dan imajinatif. Melalui buku teks
yang mengandung komponen hakikat
sains yang baik nantinya, diharapkan
kemampuan pemahaman siswa tentang
hakikat sains meningkat, sehingga
literasi sains siswa juga meningkat.
KESIMPULAN
Analisis yang dilakukan pada
buku teks Biologi masing-masing pada
buku A, buku B, dan buku C di Kota
Bandung berdasarkan hakikat sains,
diperoleh urutan proporsi kategori
hakikat sains sebagai berikut: teori dan
hukum dalam sains (67%), sains bersifat
empiris
(9,7%),
sosial
budaya
pengetahuan yang melekat dalam sains
(7,8%), kreativitas dan imajinasi dalam
sains (6%), teori Laden (4%), mitos
metode ilmiah (3%), dan sifat tentatif
ilmu pengetahuan (2,5%). Hasil
penelitian menunjukan bahwa secara
umum buku teks Biologi SMP di Kota
Bandung, lebih banyak menyajikan teori
dan hukum dalam sains (67%) dan
kurang menyajikan komponen hakikat
sains yang lain. Buku teks Biologi SMP
yang dianalisis sudah menyajikan
ketujuh komponen hakikat sains, akan
tetapi proporsinya tidak seimbang.
Hasil analisis kuesioner siswa,
diperoleh urutan proporsi kategori
rendah (56%), cukup (30,8%), dan
sangat rendah (13,2%). Data kuesioner
menunjukan bahwa pengetahuan hakikat
sains siswa berada pada kategori rendah
(56%) dan pengetahuan siswa tentang
pandangan hakikat sains lebih banyak

Formica Education Online, Volume 1, Nomor 1, Januari 2014

didapat dari buku teks yang dibacanya,


sehingga pandangan hakikat sains siswa
sangat bergantung kepada buku teks.
Berdasarkan hasil yang
diperoleh, saran dari hasil penelitian ini
adalah untuk lebih mencoba melakukan
penelitian analisis buku teks tentang
hakikat sains khusus hanya pada
masing-masing jenjang pendidikan
karena penelitian tentang analisis buku
berdasarkan hakikat sains ini masih
sangat sedikit di Indonesia. Dalam
penulisan buku teks khususnya Biologi,
penulis sebaiknya tidak saja mengacu
pada kurikulum di Indonesia, tetapi juga
mengacu pada keseimbangan hakikat
sains yang disarankan oleh pakar
hakikat sains. Selain itu, untuk
meningkatkan
pemahaman
siswa
tentang hakikat sains, sebaiknya guru
dapat memilihkan buku teks yang tidak
hanya mengacu pada kurikulum yang
berlaku di Indonesia, tetapi juga yang
memuat komponen hakikat sains.
DAFTAR PUSTAKA
Adisendjaja, Y. H. & Romlah, O.
(2007). Seminar Nasional
Pendidikan
Biologi
dan
Biologi. Identifikasi Kesalahan
dan Miskonsepsi Buku Teks
Biologi
SMU.
Tidak
diterbitkan.
American
Association
for
the
Advancement
of
Science.
(1993). Benchmarks for science
literacy: A Project 2061 report.
New York: Oxford University
Press.
Badan Standar Nasional Pendidikan.
(2006). Panduan Penyusunan
Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan Jenjang Pendidikan
Dasar dan Menengah. Jakarta :
Badan
Standar
Nasional
Pendidikan.

Chiappeta, E.L, Fillman, D.A, &


Sethna, G.H. (1993). Do
Middle School Life Science
Textbooks Provide a Balance of
Scientific Literacy Themes?.
Journal of research in science
teaching. 28, (8), 713-725.
Cochran, W. G. (1991). Teknik
Penarikan Sampel. Jakarta :
Universitas Indonesia (U.I
Press).
Driver, R. et al. (1996). Young Peoples
Images
of
Science.
Buchingkam: Open University
Press.
Handoko, E.A. (2012). Analisis Hakikat
Sains (The Nature of Science)
Dalam Buku Teks Pelajaran
Kimia SMA Kelas XI. [Online].
Tersedia
:
http://library.um.ac.id/freeconte
nts/download/
pub/pub.php/55977.pdf.
[18
November 2012]
Irez, S. (2009). Nature of Science as
depicted in Turkish Biology
Textbooks. [Online]. Tersedia :
http://
libra.msra.cn/Publication/39376
823/nature-of-science-asdepicted
in-turkish-biology
textbooks.[18 November 2012]
Lederman, N.G. et al. (2002). Views of
Nature
of
Science
Questionnaire : Toward Valid
and Meaningful Assesment of
Learners
Conceptions
of
Nature of Science. Journal of
research in science teaching.
39, (6), 497-521.
McComas, W.F. (2003). A Textbook
Case of The Nature of Science:
Laws and Theories in the
Science
in
Biology.

Annisa Noor Aulia, Yusuf Hilmi Adisendjaja1, Didik Priyandoko


Analisis Buku Teks Biologi SMP Di Kota Bandung Berdasarkan Hakikat Sains

International
Journal
of
Science
and
Mathematics
Education. 1, (2), 141-155.
McComas, W.F. (1998). The Principal
Elements of The Nature of
Science: Dispelling The Myths.
Los Angeles: University of
Southern California.

Muqodas, I. (2011). Efektivitas Model


Service
Quality
Untuk
Meningkatkan
Kualitas
Layanan
Bimbingan
dan
Konseling.
Tesis
Jurusan
Bimbingan dan Konseling
Sekolah Pasca Sarjana UPI :
tidak diterbitkan.
Niaz, M. & Maza, A. (2011). Nature of
Science in General Chemistry
Textbooks. Springer Brief in
Education. 2, 1-37.
Penney, K. et al. (2003). The Anatomy
of Junior High School Science
Textbooks : An Analysis of
Textual Characteristics and a
Comparison to Media Reports
of Science. Canadian Jurnal
of Science, Mathematics and
Technology Education. 3, (4),
415-436.
Rutherford, J. F, dan Ahlgren, A. (1990).
Science For All Americans.
New York: Oxford University
Press.

Schwartz, R.S., Lederman, N.G., &


Crawford,
B.A.
(2004).
Developing Views of Nature
of Science in an Authentic
Context: An Explicit Approach
to Bridging the Gap Between
Nature
of
Science
and
Scientific Inquiry. Journal of
Science Teacher Education. 88,
(4), 610-645.
Sterling, D., et al. (2010). Virginia
Mathematics
and
Science
Coalition Scientific Inquiry and
the Nature of Science Task
Force
Report.
[Online].
Tersedia
:
http://vamsc.org/.../VMSC_Inq
uiry_and_NOS White _Paper_
5 _11 10.doc. [18 November
2012].
Suryaman, M. (2004). Dimensi-Dimensi
Kontekstual
Di
Dalam
Penulisan Buku Teks Pelajaran
Bahasa Indonesia. [Online].
Tersedia
:
http://journal.uny.ac.id/index.ph
p/diksi/article/view/147
[18
November 2012]
Tarigan, H. G & Tarigan D. (2009).
Telaah Buku Teks Bahasa
Indonesia, Bandung: Angkasa.

e-mail: niz_4ulia@yahoo.co.id

Vous aimerez peut-être aussi