Vous êtes sur la page 1sur 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Anatomi Sistem Pernafasan


Sistem pernafasan meliputi paru, sistem saraf pusat (SSP), dinding

dada (dengan diafragma dan otot interkostalis) dan sirkulasi paru. Sistem
saraf pusat mengendalikan kerja otot dinding dada, yang bekerja sebagai
pompa sistem pernafasan. Karena komponen sistem pernafasan bekerja
sama untuk mencapai pertukaran gas, malfungsi tiap-tiap komponen atau
perubahan hubungan antara komponen dapat menyebabkan gangguan
fungsi. Tiga aspek utama gangguan fungsi pernafasan yaitu gangguan
fungsi ventilasi, gangguan sirkulasi pulmonal, dan gangguan pertukaran
gas. Anatomi pernafasan agar udara bisa mencapai paru-paru adalah
rongga hidung, faring, laring, trakhea, bronkhus dan bronkhiolus.
1. Rongga Hidung (Cavum Nasalis)

Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis).
Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar
minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera).
Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat
saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal
yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara.
Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang
berfungsi menghangatkan udara yang masuk.
2. Faring (Tenggorokan)

Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan


percabangan 2 saluran, yaitu saluran pernafasan (nasofarings) pada
bagian depan dan saluran pencernaan (orofarings) pada bagian
belakang.

3. Laring
Terdapat pita suara / flika vokalis, bisa menutup dan membuka
saluran nafas, serta melebar dan menyempit. Fungsi laring ini
membantu dalam proses mengejan, membuka dan menutup saluran
nafas secara intermitten pada waktu batuk. Pada saat akan batuk,
flika vokalis menutup, saat batuk

membuka,

sehingga benda asing keluar. Secara reflektoris menutup saluran napas


pada saat menghirup udara yang tidak dikehendaki.
4. Tenggorokan (Trakea)

Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya 10 cm, terletak sebagian


di leher dan sebagian di rongga dada (torak). Dinding tenggorokan
tipis dan kaku, dikelilingi oleh cincin tulang rawan, dan pada bagian
dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi menyaring benda-benda
asing yang masuk ke saluran pernafasan.
5. Cabang-cabang Tenggorokan

(Bronkhus)
Tenggorokan (trakea) bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus
kanan dan bronkus kiri. Struktur lapisan mukosa bronkus sama dengan
trakea, hanya tulang rawan bronkus bentuknya tidak teratur dan pada
bagian bronkus yang lebih besar cincin tulang rawannya melingkari
lumen dengan sempurna. Bronkus bercabang- cabang lagi menjadi
bronkiolus.
6. Bronkhiolus
Bronkiolus tidak mempunyi tulang rawan, tetapi rongganya masih
mempunyai silia dan di bagian ujung mempunyai epitelium
berbentuk kubus bersilia. Pada bagian distal kemungkinan tidak
bersilia. Bronkiolus berakhir pada gugus kantung udara (alveolus).

Gambar 2.1 anatomi bagian dalam paru-paru

B.

Fisologi Sistem Pernafasan


1. Fisologi Sistem Pernafasan dan Anestesi
Fisiologi pernapasan sangat penting dalam praktek anestesi
karena anestetik yang paling sering digunakan inhalation
agents bergantung pada kerja paru-paru untuk diuptake dan
dieliminasi.
Lebih lanjut nanti, paralisis otot, posisi yang tidak biasa selama
operasi dan teknik seperti anestesia dengan satu paru - paru serta
cardiopulmonary by pass

juga mempengaruhi fisiologis

pulmonal.
a. Respirasi Seluler
1) Fungsi Utama Paru: Pertukaran gas antara darah dan
udara inspirasi hasil langsung dari metabolisme aerob sel
yg menghasilkan kebutuhan konstan uptake O2 dan
eliminasi CO2Metabolisme Aerob
2) C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O + Energi

3) Energi yg dihasilkan disimpan dalam bentuk ATP dan


digunakan u/ pompa ion, kontraksi otot, sintesa protein,
sekresi sel
4) Dihasilkan 38 ATP
b. Metabolisme Anaerob
1) Menghasilkan ATP yg lebih terbatas
2) ATP diproduksi dari konversi glukosa dari pyruvat ke
asam laktat
3) Tiap molekul glukosa menghasilkan 2 ATP
c. Efek Anestesia pada Metabolisme Sel
1)

GA menurunkan produksi CO2 dan konsumsi O2


sampai 15%

2)

Reduksi terbesar pada konsumsi O2 di otak dan jantung

d. Rongga Thorax dan Otot2 Respirasi


1)

Terdiri atas 2 paru-paru yang dilapisi pleura. Apex dada


kecil, entry dari trakea, esophagus dan pembuluh darah,
dasar dibentuk diafragma.

2)

Kontraksi diafragma dasar thorax turun 1,5-7 cm, paruparu mengembang

3)

Inspirasi diaphragma dan otot-otot intercostal eksternal

4)

Expirasi pasif

e. Tracheobronchial
Fungsi membawa aliran gas dari dan ke alveoli. Pembagian
dikotom dimulai dari trakea dan berakhir pada kantung
alveolar, diperkirakan melibatkan 23 divisi atau generasi.
Tiap kantung alveolar terdiri atas 17 alveoli. Kira-kira 300
juta alveoli luas permukaan membran untuk pertukaran gas
pada orang dewasa.

f. Peredaran Darah Paru-paru dan Limfatik


1)

Paru2 terdiri dari 2 sirkulasi pulmonal dan bronkial


sirkulasi

bronkial

mempertahankan

berasal

dari

jantung

kebutuhan-kebutuhan

dan

metabolik

trakeobronkial sampai bronkiplus pulmonal


2)

Sirkulasi pulmonal menerima darah dari jantung kanan


melalui arteri pulmonal terbagi menjadi cabang kiri dan
kanan melalui arteri pulmonal

3)

Darah teroksigenasi melalui kapiler pulmonal dimana O2


diambil dan CO2 dibuang

g. Inervasi
1)

Diafragma di inervasi saraf phrenic yang berasal dari


cabang saraf C3-C5

2)

Nervus vagus mempersarafi sensoris pada trakeobrokial

Aktivitas vagal bronkokontriksi dan peringatan sekresi


bronchial.

Aktivitas

simpatetik

bronkodilatasi

dan

menurunkan sekresi B2 reseptor

2. Functional Respiratory Anatomy


a. Rib Cage dan Otot Pernapasan
1) Rib Cage terdiri dari paru-paru, dan masing-masing

dikelilingi pleura.
2) Konstraksi diafragma prinsip otot pernapasan

mengakibatkan rongga dada mengecil dan paru-paru


membesar.
b.

Pulmonary Circulation dan Lymphatics


1) Suplai paru didapatkan dari sirkulasi pulmonar dan

brochial.
2) Total aliran lymph pulmonar = 20mL/h

c.

Tracheobronchial Tree
1) Berfungsi untuk menyalurkan udara ke dan dari

alveoli.
d.

Innervation
1) Saraf-saraf vagus menyediakan sensor innervation

untuk tracheobronchial tree.

3. Basic Mechanism of Breathing


Spontaneous Ventilation.
Tekanan didalam alveoli selalu lebih besar dibanding
sekelilingnya (intrathoracic) kecuali alveoli tidak berfungsi.
Mechanical Ventilation.
Kebanyakan mechanical ventilation menerapkan positive
airway pressure secara intermittent pada upper airway. Efek
anesthesi pada pola pernapasan sangatlah kompleks dan
berkaitan erat dengan perubahan posisi dan agen anesthesi
yang digunakan.
a. Mekanisme Dasar Pernafasan
Perubahan periodik gas alveolar dgn gas segar dari jalan
nafas atas mereoksigenasi darah dan membuang CO2.

b. Ventilasi Spontan
1) Tekanan dlm alveoli selalu lebih besar dr sekitarnya

kecuali bila alveoli kolapas


2) Tekanan alveolar adalah pd akhir inspirasi dan ekspirasi.

Sesuai dengan fisiologi pulmonal, tekanan pleural


digunakan sebagai alat pengukuran tekanan intrathoracic,
dirumuskan sebagai berikut:
P transpulmonal = P alveolar - P intrapleural
3) Pada Akhir ekspirasi tekanan intrapleural kira 2 -5cm

H2O, karena tekanan aveolar 0, tekanan transpulmonal


adalah + 5cm H2O
4) Aktivitas otot diagframa dan intercostal selama inspirasi

memperluar rongga torak dan menurunkan tekanan


intraplueral dari -5cm H2O menjadi -8 cm H2O, hasilnya
tekanan alveolar menurun (-3 dan -4cm H2O), dan gradien
jalan nafas atas alveolar terbentuk, gas mengalir dari jalan
nafas atas ke alveoli. Pada akhir inspirasi tekanan alveolar
kembali

ke

0.

Tekanan

transpulmonal

yg

baru

mempertahankan pengembangan paru.


5) Selama ekspirasi relaksasi diagframa mengembalikan

tekanan intapleural menjadi -5cm H2O, gas mengalir


keluar dr alveoli volume paru diisi kembali
c. Ventilasi Mekanik
1) Kebanyakan ventilasi mekanik intermiten menerapkan

tekanan jalan nafas positif pada jalan nafas atas


2) Selama inspirasi gas mengalir ke alveoli sampai tekanan

alveolar mencapai jalan nafas atas


3) Selama fase ekspirasi tekanan jalan nafas positif

diturunkan; gradien dibalikan gas mengalir keluar


alveoli.

d. Efek Anastesi pada Pola Respirasi


1) Efek anastesi pada pernafasan berkaitan degan posisi dan

bahan anastesi
2) Bila pasien posisi terlentang dari posisi berdiri / duduk

proporsi nafas dari rongga thorak berkurang, lebih


dominan pernafasan abdomen.
3) Berkaitan dengan bahan yang digunakan, anastesi ringan

sering menyebabkan pola nafas irreguler paling sering


menahan nafas.
4) Nafas menjadi reguler dgn level anastesi yang lebih

dalam.
5) Induksi

pada

anastesi

sering

mengaktifkan

otot

ekspirator.
6) Pada anastesi yang lebih dalam aktivitas otot diturunkan.

4. Mekanisme Ventilasi
a. Elastic Resistance
1) Surface Tension Forces
Memiliki kecenderungan mengurangi area interface dan
mengempisnya alveolar.
Hukum Laplace dapat digunakan untuk mengukur
kekuatan ini :

2) Compliance
Elastic recoil dapat pula diukur dengan compliance, yang
didefinisikan sebagai perubahan dalam volume dibagi

perubahan dalam tekanan distensi.


Lung Compliance dilukiskan dengan :

Normal CL = 150-200mL/cmH2O

Normal chest wall compliance = 200mL/cmH2O

Total Compliance = 100 mL/cmH2O

b. Volume Paru
1) Functional Residual Capacity, dipengaruhi oleh:
a) Body habitus
b) Jenis kelamin
c)

Postur

d) Penyakit paru-paru
e)

Fungsi Diafragma

2) Closing Capacity: Volume paru-paru pada saat saluran


udara mulai menutup di bagian bawah. Closing capacity
biasanya dibawah FRC, namun semakin meningkat
seiring pertambahan umur.
3) Vital Capacity: Jumlah maksimum dari volume udara
yang

dapat

maksimal.

dikeluarkan

diikuti

dengan

inspirasi

c. Non Elastic Resistance


1) Airway Resistance to Gas Flow: Aliran udara di paruparu yang merupakan gabungan dari aliran laminar dan
turbulent.

Akibat

utama

hambatan

ini

termasuk

bronchospasm, sekresi, dan pembekakan mukosa.


a) Volume-Related Airway Collapse
b) Flow-Related Airway Collapse
c) Forced Vital Capacity

2) Tissue Resistance: Terutama pada hambatan jaringan


viscoelastic kepada aliran gas/udara
Efek Anesthesi pada Mekanisme Pulmonar
1) Pada Volume Paru-paru & Compliance
Induksi anesthesi menambah penurunan FRC hingga
15% atau sekitar 400mL pada pasien, melebihi dengan
yang terjadi ketika posisi terlentang sekalipun.
2) Pada Hambatan Saluran Udara
Penurunan

FRC

yang

berkaitan

dengan

general

anesthesia meningkatkan hambatan pada saluran udara.


3) Pada Kerja Pernapasan
Meningkatnya kerja pernapasan dibawah pengaruh
anesthesi merupakan sebab kedua terjadinya penurunan
pada compliance paru-paru dan dinding dada apalagi
terhadap hambatan saluran udara.

5. Ventilation / Perfusion Relationship


a.

Ventilasi
Diukur dari jumlah gas yang dikeluarkan dalam 1 menit
(V).
Bagian dari VT yang tidak ikut dalam pertukaran gas di
alveolar dikenal sebagai dead space. Dead space itu sendiri
sebenarnya terdiri dari gas-gas didalam saluran udara
nonrespiratory dan alveoli yang tidak terperfusi.
1)

Distribusi Ventilasi
Dengan mengabaikan posisi tubuh, ventilasi alveolar
didistribusikan secara tidak merata dalam paru-paru.

Bagian kanan menerima lebih banyak (53%) daripada


kiri (47%); dan bagian bawah terventilasi lebih baik
daripada bagian atas karena gravitasi.
2)

Waktu Konstan ()
Bernapas cepat dan pendek membalikkan distribusi
normal ventilasi, dengan mengutamakan bagian atas
dibandingkan bagian bawah paru-paru.

b. Perfusi Pulmonar
Hampir 5L/min darah dialirkan melalui paru-paru, hanya
sekitar 70-100 mL satu kali sekali terjadi pertukaran gas
dalam pulmonary capillaries. Dan di membran capillaryalveolar , jumlah yang sedikit ini membentuk 50-100m2
darah hampir setebal satu sel merah.
1)

Perbandingan Ventilasi/Perfusi
Normal Rasio V / Q adalah 0.8

2)

Distribusi Perfusi Pulmonar


Dengan mengabaikan posisi tubuh, bagian bawah dari
paru-paru menerima aliran darah lebih banyak daripada
bagian atas. Pola ini sebagai hasil dari gradien gravitasi
untuk 1 cm H2O/cm tinggi paru-paru.

3)

Shunts
Proses desaturated, dimana darah pembuluh vena yang
sudah tercampur (venous admixture) dari jantung kanan
kembali ke jantung kiri tanpa tercampur dengan O2 di
paru-paru.

c.

Efek Anesthesi pada Pertukaran Gas


Pada umumnya general anesthetics meningkatkan venous
admixture

hingga

5-10%,

kemungkinan

dikarenakan

atelectasis dan tidak berfungsinya saluran udara pada area


dependen paru-paru.

6. Tekanan Gas Pada Alveolar, Arterial Dan Vena


a.

Oksigen
1)

Tekanan Oksigen Alveolar


Campuran gas yang dihirup dilembabkan di upper
airway pada suhu 37oC, sehingga tekanan oksigen
berkurang dengan adanya uap air.

2)

Tekanan Oksigen Pulmonary End-Capillary


Kapasitas difusi paru-paru mencerminkan tidak saja
kapasitas dan permeabilitas dari membran alveolarcapillary tetapi juga alirah darah paru-paru.

3)

Tekanan Oksigen Arterial


Semakin baik kerja shunt, semakin kecil kemungkinan
meningkatnya FIO2 yang akan mencegah hypoxemia.

4)

Tekanan Oksigen Mix Vena ( PvO2 )


Normal

PvO2

keseluruhan

40

mm

keseimbangan

Hg
antara

menggambarkan
konsumsi

dan

distribusi O2.
b. Karbondioksida
1)

KARBTekanan Karbon Dioksida Mix Vena (PvCO2)


Normal PvCO2 = 46 mm Hg merupakan hasil akhir
pencampuran darah dari berbagai aktifitas metabolik
jaringan.

2)

Tekanan Karbon Dioksida Alveolar (PACO2)


PACO2 secara umum mencerminkan keseimbangan
total

produksi

CO2

dengan

ventilasi

alveolar

(eliminasi).
3)

Tekanan Karbon Dioksida Pulmonary End-Capillary


Kecepatan difusi CO2 melalui membran alveolarcapillary 20 kali lebih cepat dibanding O2.

4)

Tekanan Karbon Dioksida Arterial (PaCO2)


Normal PaCO2 adalah 38 4 mm Hg (5.1
0.5kPa); Prakteknya = 40 mm Hg.

5)

Tekanan Karbon Dioksida EndTidal (PETCO2)

Secara klinis, PETCO2 digunakan sebagai perkiraan nilai


PaCO2.
7. Transportasi Gas-Gas Pernapasan Dalam Darah
a.

Oksigen
1)

Larutan Oksigen : Jumlah O2 yang tidak larut dalam


darah sangat sedikit jumlahnya dibandingkan yang
sudah terikat dengan hemoglobin.

2)

Hemoglobin (Hb) : Hb merupakan molekul kompleks


yang terdiri dari 4 heme & 4 subunit protein.
Secara teoritis, Hb dapat membawa 1.39 mL O2.

3)

Kurva Disosiasi Hemoglobin Ketika saturasi 90%,


penurunan persediaan O2 meratakan kurva hingga
saturasi penuh tercapai.

4)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kurva Disosiasi


Hemoglobin

Pergerakan ke kanan pada kurva disosiasi oksigenhemoglobin menurunkan daya campur O2, memisahkan O2

dari Hb, dan menyediakan lebih banyak O2 untuk jaringan,


dan sebaliknya dengan pergerakan ke kiri dari kurva.
1)

Pergerakan ke kanan pada kurva disosiasi oksigenhemoglobin menurunkan daya campur O2, memisahkan
O2 dari Hb, dan menyediakan lebih banyak O2 untuk
jaringan, dan sebaliknya dengan pergerakan ke kiri dari
kurva.

2)

Abnormal Ligands & Bentuk Abnormal Hemoglobin


Abnormalitas Hb dapat pula timbul dari komposisi
subunit protein yang bervariasi. Setiap varian memiliki
karakteristik saturasi O2 nya masing-masing

3)

Kandungan Oksigen
Total kandungan O2 dalam darah adalah seluruh yang
terdapat pada cairan ditambah dengan yang dibawa
oleh Hemoglobin.

4)

Transport Oksigen
Transport O2 bergantung pada fungsi pernapasan dan
sirkulasi nya. Kekurangan hantaran O2 kemungkinan
disebabkan oleh rendahnya PaO2, konsentrasi Hb, dan
cardiac output yang kurang.

5)

Persediaan Oksigen
Ketika cairan O2 normal terganggu apnea, persediaan
O2 yang ada akan digunakan untuk metabolisme sel;
apabila persediaan O2 kurang, maka akan terjadi
hypoxia yang diikuti kematian sel.

b.

Karbondioksida
1)

Larutan Karbon Dioksida

CO2 lebih larut dalam darah dibandingkan dengan O2,


dengan koefisien solubilitas sebesar 0.031 mmol/L/Hg
pada suhu 37oC.
2)

Bicarbonate
Merupakan bagian terbesar dari CO2 dalam darah.

3)

Senyawa Carbamino
Karbon dioksida dapat bereaksi terhadap sekumpulan
amino dalam protein. Meburut physiological pH, hanya
sebagian kecil CO2 yang terbawa dalam bentuk ini,
sebagai carbamino-hemoglobin.

4)

Efek dari Hemoglobin sebagai Buffer Transport Karbon


Dioksida
Pemisahan O2 dari Hb meningkatkan kandungan CO2
yang dibawa vena sebagai Bicarbonate.

5)

Kurva Disosiasi Karbon Dioksida


Kurva

Disosiasi

CO2

dapat

dibuat

dengan

memasangkan kandungan total CO2 terhadap PCO2.


6)

Persediaan Karbon Dioksida


Persediaan CO2 dalam tubuh sangat besar (hingga
120L untuk dewasa) dan terutama dalam bentuk larutan
CO2 dan bicarbonate. Karena kapasitasnya yang besar,
peningkatan

tekanan

CO2 arterial lebih lambat

dibandingkan penurunannya diikuti perubahan ventilasi


acute.
8. Kontrol Pernapasan
a.

Pusat Sentral Pernapasan

Dua kelompok medullary neurons : kelompok pernapasan


dorsal, aktif selama inspirasi; dan kelompok pernapasan
ventral, aktif pada saat ekspirasi.
b.

Sensor Pusat
Pusat Chemoreceptor, diyakini berada pada permukaan
anterolateral medulla, yang merespon perubahan dalam
konsentrasi ion hidrogen dan cairan cerebrospinal (CSF).
Mekanisme ini efektif dalam mengatur PaCO2.

c.

Sensor Peripheral
Kebalikan dari sensor pusat, chemoreceptor peripheral lebih
merespon terhadap PaO2 .

d.

Reseptor Paru-paru
Impuls dari reseptor ini dibawa oleh saraf vagus. Stretch
receptor biasanya memiliki peranan yang kecil pada
manusia.

e.

Reseptor lainnya
Meliputi berbagai macam otot dan reseptor gabungan pada
otot paru-paru dan dinding dada.

f.

Efek Anesthesi terhadap Kontrol Pernapasan


Efek

terpenting

dalam

general

anesthetics

terhadap

pernapasan adalah terjadinya hypoventilation. Dengan


peningkatan kedalaman anesthesia, kemiringan PaCO2 /min
dari kurva ventilasi semakin menurun dan fase apneic
semakin meningkat.
9. Fungsi Nonrespiratori Dari Paru-Paru
a.

Fungsi Filtrasi & Reservois


Poisisi unik dari kapiler - kapiler paru-paru dalam fungsi
sirkulasi memudahkannya untuk menyaring debris pada
pembuluh darah.

b.

Metabolisme
Paru-paru adalah organ yang secara metabolis sangat aktif.
Endothelium paru-paru memetabolisme berbagai senyawa
vasoactive, termasuk norepinephrine, serotonin, bradykinin,
dan berbagai prostaglandins dan leukotrien.

C.

Anastesi dan Masalah Sistem Pernapasan


1.

Asma
William R.Fuman,M.D

Asma didefinisikan sebagai obstruksi saluran nafas bawah yang


rekuren, episodik dan reversible. Diantara episode-episode itu,
fungsi paru pasien normal (atau agak normal). Diketahui
pencetus dari reaksi saluran nafas pada pasien adalah allergen,
proses infeksi atau stimulus fisik. Gejala pada pasien sangat
bervariasi tetapi umumnya terjadi batuk, wheezing, nafas yang
pendek dan exercional dyspnea.
a.

Evaluasi klinis dimulai dengan menilai fungsi jalan nafas


diantara episode-episode asma. Menentukan ada tidaknya
gejala-gejala

dan

menentukan

regimen

pengobatan

dibutuhkan untuk mencapai hasil ini. Jika pasien tidak


bebas dari gejala-gejala, pikirkan kemungkinan bahwa
pengobatan pada pasien asma tidak adekuat atau adanya
keterlibatan proses lain (misalnya emfisema atau bronchitis
kronik). Spirometer pre dan post penggunaan bronkodilator
dapat dilakukan jika tersedia.
b.

Putuskan, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik


apakah pasien berada dalam keadaan dibawah standar. Jika
pasien berada dalam keadaan standar, putuskan apakah
keadaannya baik atau dapat berubah dengan farmakoterapi
yang agresif.

c.

Putuskan apakah pembedahan merupakan pilihan utama


atau dapat ditunda dan dilakukan evaluasi serta terapi.

d.

Pertama

digunakan

kortikosteroid

beta-adrenergic

sistemik.

Jika

agonis

pasien

tidak

dan
dapat

menerimanya maka digunakan Albuterol inhaler dan


Prednison oral selama 3-5 hari dengan dosis berangsurangsur

dikurangi.

Penggunaan

Theophyllin

masih

kontroversi dan sekarang tidak lagi digunakan untuk asma


akut. Ipratropium bromida merupakan bahan inhalasi
pilihan kedua yang kadang-kadang ditambahkan pada
pengobatan

dengan

Albuterol.

Reseptor

antagonis

leukotrien (misalnya Zafirlukast) adalah obat baru yang


digunakan untuk terapi preventif pada penanganan asma.
Jika terdapat infeksi paru atau bronkus maka digunakan
antibiotika.
e.

Jika prosedur mendesak dan gawat, albuterol secara


nebulation dengan atau tanpa ipratropium merupakan
pilihan terbaik untuk memperbaiki mekanisme pernapasan
dan

pertukaran

udara.

Pengobatan

dimulai

dengan

penggunaan steroid intra vena sedini mungkin.


f.

Bahan induksi yang paling disenangi untuk anstesi umum


adalah propofol, ketamin intramuskular atau intravenosa,
atau inhalasi halotan atau sevofluran. Bahan analgetik yang
menyebabkan pelepasan histamin, induksi dan pelumpuh
otot hasilnya tidak jelek dan lebih aman. Bahan anestetik
volatile mengurangi bronkospasme dan biasanya merupakan
bahan utama untuk maintenance pada anestesi umum serta
pengobatan bronkospasme intraoperatif. Nitrogen oksida
dihindari

pemakaiannya

(atau

digunakan

dengan

konsentrasi lebih kurang 50%) jika diperkirakan terdapat

obstruksi di daerah paru-paru. Jika diperlukan relaksan otot,


pertimbangkan

penggunaan

anticholinesterase..

Obat

antagonis muskarinik dapat menyebabkan bronkospasme.


g.

Intubasi endotrakheal merupakan masalah pada asma.


Kedalaman anestesi yang inadekuat dapat memperburuk
bronkospasme, terutama jika terdapat rangsangan pada
trakhea, carina atau bronkus oleh tube endotrakheal atau
karena dingin, inhalasi gas kering. Efeknya dihambat oleh
lidokain IV (1,5 mg/kg) pada saat anestesi yang dalam.
Bahan lain adalah penggunaan lidokain spray topikal
sebelum intubasi dan penggunaan atropin untuk memblok
nervus vagus. Jangan lakukan hiperventilasi pada pasien;
hal tersebut tidak diperlukan karena dapat menyebabkan
barotrauma.

Hipokarbia

dapat

menyebabkan

bronkokonstriksi. Ekstubasi merupakan pilihan tetapi hal ini


biasanya tidak dibutuhkan.
h.

Untuk

menghindari

penggunaan

alat

pada

trachea,

penggunaan anestesi umum dengan mask atau dengan


laryngeal mask airway (LMA), anestesi lokal dan anesetsi
regional perlu dipertimbangkan. Pemberian sedativ aman
pada pasien asma, cocok digunakan secara IV dan neuraxial
narkotik untuk mengobati nyeri.

2.

Perioperative pada Wheezing


Deborah K. Rasch, M.d.
Ellen B. Duncan, M.D.

Wheezing (diambil dari kata Old Norse yang berarti bunyi


mendesis) merupakan tanda yang kompleks yang dihadapi pada
saat perawatan pasien perioperatif. Saat terjadi bronkospasme,
wheezing akan menyertai terjadinya konstriksi bronkus (dan
meningkat pada pasien yang di intubasi). Meskipun predominan
terjadi pada saat ekspirasi, mungkin juga terdapat bunyi nafas
yang pendek selama inspirasi. Bising pernafasan mirip dengan
wheezing dan dapat dihubungkan dengan gangguan lain.

a.

Wheezing pada saat preoperative, mengindikasikan satu


atau lebih hal-hal dibawah ini : penyakit-penyakit
brokospastik (asma, COPD, cystic fibrosis), penyakit
jantung (Congestif Heart Failure [CHF], congenital heart
disease dengan pembesaran arteri pulmonal dimana
menyebabkan kompresi bronkus utama, vascular ring
disekitar trachea); aspirasi; penyakit inflamasi atau infeksi
(bronchitis kronis, pneumonia, infeksi virus pada anak).
Wheezing bisa terjadi pada pasien dengan edema laring atau
bagian lain pada bronkus dan jarang pada emboli paru.
Lakukan

anamnesis

dan

pemeriksaan

fisis

(gejala

penekanan saluran nafas, toleransi terhadap exercise, respon


terhadap bronkodilator, irama cardiac gallop, penggunaan
diuretic guna penggolongan penyakit. Studi diagnostik
masih diperlukan. Optimalkan fungsi kardiopulmonal,
bronkodilator

dan

perbaikannpulmonary

toilet

pada

penyakit bronkospastik ; penatalaksanaan medikasi dan


diuretic pada CHF; dan penundaan tindakan elektiv sampai
proses infeksi dihilangkan) sebelum pembedahan elektif.
b. Pengelolaan anestesi pada pasien asma termasuk intubasi
(dan ekstubasi) sampai terjadi anestesi yang dalam (untuk
menurunkan stimulasi vagal dan bronkokonstriksi). Pada
pasien

asma,

menyebabkan

oksibarbiturat
pelepasan

barbiturat.Meskipun

halothane

kurang
histamin
lebih

disukai

karena

dibandingkan
disenangi

oleh

beberapa ahli anestesi, semua bahan inhalasi secara kasar


sama dengan bronkodilator. Bronkodilator ketamin sangat
membantu.

c.

Pengelolaan individual pada pasien jantung sesuai dengan


lesi. Wheezing, walaupun pengelolaan hemodinamik tepat,
dapat terjadi bronkospasme.

d. Pada pasien dimana tidak mendapatkan preoperative


wheezing dan kemudian terjadi fase perpanjanga ekspirasi
dan wheezing sesudah intubasi merupakan masalah
diagnostik yang akut. Sekresi yang banyak pada saluran
pernapasan atau tube endotrakheal dapat menyebabkan
bising pada pernapasan dan dapat dihilangkan dengan
suction.
e.

Bronkospasme
pelepasan

intraoperativ

histamin

karena

dapat
obat

disebabkan
(thiopental,

oleh
curare,

succinylcholine, morphine), anesthesia ringan, stimulasi


parasimpatomimetik (adanya tube endotrakheal, rangsangan
operasi), aspirasi, anafilaksis aktivitas obat beta-bloker.
Anafilaksis menyebabkan hipotensi, vasodilatasi dan edema
periorbital dan dapat disebabkan oleh beberapa obat
tertentu. Pengobatan anafilaksis dengan dipenhydramin, 2
mg/kg; epinefrin, 3-5 g/kg IV; dan methylprednisolon 1-2
mg/kg IV.
f.

Tebutaline 0,01 mg/kg subkutan; albuterol 0,1 mg/kg


inhalasi; terbutaline 0,1 mg/kg inhalasi atau metaproterenol
5 mcg/kg inhalasi telah digunakan dan memberikan hasil
yang memuaskan. Jika terjadi bronkospasme, dapat
diberikan aminofilin 5-6 mg/kg IV, 20-30 menit, dan
dimulai dengan infus aminofilin 0,4-0,9 mg/kg/jam (lihat
table 1). Perhatikan disritmia ventricular. Jika pasien tidak
respon terhadap pengobatan awal, dapat diberikan epinefrin
IV.

3.

Chronic Obstruction Pulmonary Disease (Copd)


Michael A. Lyew, M.D. dan Diane M. Peters-Koren, M.D.

COPD ditandai dengan kurangnya aliran udara ekspirasi yang


persisten dengan meningkatnya residual volume dan function
residual capacity. Resiko anestesi adalah : hipoksemia,
hiperkarbia,

bronkospasme

Postoperative

Pulmonary

dan

peningkatan

Complication

(PPC),

insiden
termasuk

atelektasis, pneumonia dan gagal nafas.


a.

Merokok adalah faktor predisposisi yang besar yang


menyebabkan

COPD,

dimana

sebagian

besar

diklasifikasikan dalam bronchitis kronis dan emfisema.


Gabungan dari keduanya dapat terjadi. Penyebab minor dari
emfisema adalah defisiensi homozygot a-1 antitripsin,
dimana hal tersebut juga berperan sebagai penyebab
sirhosis. Merokok lebih dari 20 pak/tahun, usia lanjut,
obesitas, status ASA yang tinggi, serta operasi thorax dan
upper abdominal merupakan co-faktor COPD untuk PPC.
COPD dini dengan atau tanpa gejala, tes fungsi paru rutin
(PFTs) tidak diperlukan, kecuali sebelum reseksi paru.
Dispnu (terutama pada saat istirahat), batuk dan produksi
sputum menandakan perlunya persiapan yang intensif,
termasuk PFTs dasar dan pengukuran gas darah arteri.

b. Perbandingan FEV1/FVC menunjukkan beratnya COPD.


Resiko

PPC

meningkat

setelah

pembedahan

upper

abdominal, jika pada preoperative nilai dari FEV1/FVC <


70%, FEV25-75%/FVC < 50%, FVC < 75%, dan MVV <
50%. Gagal nafas sering terjadi jika FEV1/FVC < 50% dan
PaCO2 > 50 mmHg. Retensi CO2 sering terjadi jika
FEV1/FVC < 35%. Perbaikan nilai aliran ekspirasi dan
PaCO2 setelah pemberian bronkodilator menurunkan resiko
PPC. Malnutrisi dan gangguan elektrolit perlu diperhatikan
karena keduanya menyebabkan penurunan fungsi otot
pernapasan. Selanjutnya dapat terjadi hipoksemia dan
hiperkarbia menunjukan adanya polisitemia, hipertensi
pulmonal dan cor-pulmonal. Pada COPD dini, foto thorax
normal, tetapi dapat terlihat pembesaran paru pada
emfisema dan blood diversion pada lobus atas serta
kardiomegali pada bronchitis kronik.
c.

Sebelum operasi elektif, fungsi paru harus optimal.


Merokok harus dihentikan pada yang berat; untuk
menurunkan level carboxyhemoglobin dibutuhkan 12-18
jam. Pengobatan penuh pada infeksi saluran nafas akut dan
dilanjutkan dengan inhalasi bronkodilator serta obat
anticholinergik. Jaga atau tingkatkan terapi steroid. Koreksi
hipokalemi, tunjang gizi dan manuver ventilasi untuk
meningkatkan cadangan nafas. Sediakan cadangan oksigen
(O2) untuk memperbaiki hipertensi pulmonal. Pengobatan
right ventricular failure dengan digoksin, diuretik dan
vasodilator. Waktu yang inadekuat untuk mengoptimalkan
keadaan sebelum operasi meningkatkan resiko PPC dan
merupakan operasi yang emergensi.

d. Jenis pembedahan dan status fisik menentukan teknik


anestesi dan tingkat monitoring. Blok spinal dan epidural
lebih tinggi dari T6 menurunkan volume cadangan ekspirasi
dan refleks batuk serta menghilangkan sekresi. Penggunaan
sedative

dibatasi

karena

efeknya

terhadap

depresi

pernafasan. Bronkospasme saat dilakukan anestesi umum


pada pasien dapat disebabkan oleh intubasi endotrakheal,
rangsang nyeri dan pelepasan histamin karena obat.
Nitrogen oksida dihindari jika terdapat bulla atau hipertensi
pulmonal. Jaga pH normal arteri, tetapi tidak PaCO2 , pada
pasien dengan retensi CO2 preoperative untuk menjaga
kompensasi metabolik. Gradien antara CO2 tidal dan CO2
arteri bisa meningkat. CVP menggambarkan fungsi
ventrikel kanan lebih baik daripada volume intravaskuler
jika terdapat hipertensi pulmonal.
e.

Hindari atau minimalkan bronkospasme selama keadaan


gawat extubasi dalam keadaan tidak sadar atau sadar setelah
profilaksis dengan lidokain IV atau inhalasi bronkodilator.
Pasien-pasien seperti ini memiliki level PaCO2 yang rendah
dan desaturasi oksigen pada analgesia epidural kemudian
kontrol nyeri dengan opioid parenteral. Pengaturan FiO2
tergantung ventilasi pada hipoksia. Mobilisasi dini dan
manuver ventilator merupakan anjuran. Hindari hidrasi
yang berlebihan. CO2 yang berlebihan pada sepsis atau
intake kalori yang berlebihan membutuhkan bantuan
ventilasi. Kontrol ventilasi juga diperlukan pada tindakn di
daerah thorax dan upper abdominal sampai fungsi paru
diperbaiki.

4.

Cigarette Smoking
James Gilbert, M.D.

Kathryn R. Hamilton, M.D.

Diketahui, riwayat merokok meningkatkan insiden komplikasi


pernapasan postoperative. Efek merokok adalah rusaknya
mukosiliar, hipersekresi mucous, dan obstruksi jalan nafas. Hal
ini meningkatkan sensitivitas bronchiolar sehingga terjadi
bronkokonstriksi dan peningkatan resistensi jalan nafas dan
pengurangan dinamik. Efek akut dari mengisap asam rokok
adalah peningkatan level karbonmonoksida dan disosiasi kurva
oxyhemoglobin

pada

leftward

shift.

Carboxyhemoglobin

(CoHb) dapat meningkat sampai 8-10% pada perokok berat,


yang berarti mengurangi kapasitas oksigen pembawa. Nikotin
adalah agonis adrenergik yang meningkatkan heart rate, BP dan
resistensi vaskuler perifer.
a.

Adanya batuk produktif, sputum purulen atau penurunan


FEV1 menandakan peningkatan resiko terhadap komplikasi
pulmonal. Adanya beberapa faktor resiko atau kemungkinan
adanya batuk pada intraoperatif atau postoperative dapat
mengganggu jalannya operasi (misalnya operasi mata dan
herniorrhaphy) memerlukan evaluasi yang lebih sebelum
pembedahan.

b.

Studi fungsi paru yang sederhana menyatakan adanya


penurunan FEV1 dan peningkatan closing volume. Studi
fungsi paru dilakukan dengan atau tanpa bronkodilator
untuk

mengevaluasi

efek

obat

selama

persiapan

preoperative pada pasien. Diperlukan adanya ABGs, foto


thorax dan EKG. Apabila beberapa tes hasilnya abnormal,
jika lama operasi diperkirakan lebih dari 3 jam atau jika
lokasi operasi pada daerah upper abdominal atau thorax,

pertimbangkan penundaan tindakan elektif untuk persiapan


akan adanya efek pada paru yang luas.
c.

Merokok harus dihentikan minimal 6-8 minggu sebelum


operasi

untuk

mengurangi

angka

kesakitan

pada

postoperative pulmonal dan memperbaiki fungsi imun serta


penyakit saluran nafas yang reversible. Merokok 48 jam
sebelum operasi berdampak pulmonary toilet yang agresif,
meskipun demikian, berhenti merokok lebih cepat sebelum
operasi masih kontroversi. Namun, walaupun hanya
beberapa hari tidak merokok, terjadi aktivitas perbaikan
cilia dan 1-2 minggu tidak merokok secara signifikan
menurunkan volume sputum dan reaktivitas saluran nafas.
Waktu paruh yang singkat dari CoHb menurun setelah 12
jam tidak merokok.
d.

Infiltasi lokal sebagai syarat untuk sedativ IV atau anestesi


regional diperlukan, tetapi untuk anestesi umum tidak
digunakan,

hal

ini

penting

untuk

mempertahankan

kelembaban yang adekuat, mempertahankan FRC dan


cukup bermanfaat pada anestesi yang dalam untuk
mengurangi reaktivitas jalan nafas. Preoperativ dengan
menggunakan antikolinergik tidak bermanfaat. Pulmonary
toilet yang aktif, termasuk perkusi dan vibrasi, diperlukan
setelah extubasi, diikuti dengan tindakan suction pada jalan
nafas selama tindakan operasi. Pengurangan FRC terjadi
pada semua pasien yang dianestesi tetapi lebih banyak pada
perokok. Walaupun

penurunan

SaO2

pada

perokok

memperlihatkan gejala yang asimptomatik, selama periode


postoperative suplemen O2 harus ditransportasikan dan
dipertahankan.
e.

Siapkan analgetik postoperative dengan cara blok saraf atau


analgetik epidural jika memungkinkan. Jika hal ini tidak

mungkin atau kecil kemungkinannya untuk dilakukan, dosis


analgetik IV secara titrasi yang berulangkali akan
memberikan efek yang diinginkan; Hindari kombinasi
beberapa obat sedatif kerja lama atau fenotiazin. Juga baik
memilih analgetik yang kurang mengandung antitusive
(misalnya

obat

preoperative

nonsteroid

pulmonal

antiinflamasi).

dilanjutkan

sampai

Terapi
periode

postoperative. Pertahankan hidrasi dan terapi O2 yang


adekuat. Spirometer atau terapi fisik pada thorax (jika
terjadi atelektasis atau infiltrat pada daerah tertentu), terapi
bronkodilator dan mobilisasi dini untuk mengurangi
komplikasi postoperative pulmonal.

5.

Infeksi Saluran Nafas Atas


Alan R. Tait, Ph.D.
Paul R. Knight, M.D., Ph.D.

Resiko tindak anestesi pada pasien infeksi saluran nafas atas


yang akut (ISPA) masih kontroversial. Studi menunjukkan
bahwa hal tersebut kurang jelas. Walaupun beberapa studi
mengatakan bahwa tindakan anestesi pada pasien dengan ISPA
memiliki resiko terjadinya laringospasme, bronkospasme dan
desaturasi pada postoperative, pendapat lain mengatakan bahwa
pasien ISPA akut dan carries ISPA tanpa komplikasi, tidak
menurunkan angka kesakitan.
a.

Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk


menentukan apakah pasien sedang mengidap suatu proses
infeksi atau tidak. Evaluasi pasien akan adanya demam,
batuk, produksi sputum, dispnu dan letargi. Tentukan

apakah gejala tersebut terjadi secara akut atau musiman.


Shreiner dan kawan-kawan mengatakan bahwa sangat
penting untuk memprediksikan kemungkinan yang akan
terjadi. Thorax foto harus dipertimbangkan jika dipikirkan
bahwa saluran nafas bawah ikut terlibat.
b.

Perkiraan pembedahan yang urgency. Pembedahan yang


nonurgency dengan adanya asma telah dinyatakan sebagai
faktor yang paling sering mempengaruhi keputusan para
ahli anestesi untuk menunda operasi elektif pada pasien
dengan ISPA. Jika pembedahan urgent, pertimbangan
tekhnik regional untuk menghindari manipulasi jalan nafas.
Jika hal ini gagal atau tidak dapat dilakukan, alihkan pada
anestesi umum dengan mempertimbangkan lamanya pasien
puasa. Kelembaban dan hidrasi dapat menolong mobilisasi
sekresi.

c.

Jika pembedahan elektif, perkirakan kemungkinan infeksi.


Dengan waktu yang singkat, hal ini tidaklah mudah;
walaupun demikian, informasi bisa didapatkan dari data
tentang riwayat dan pemeriksaan fisik pasien. Walaupun
95% pasien dengan gejala ISPA mendapatkan infeksi virus,
beberapa pasien memperlihatkan sekresi atau sputum yang
mukopurulen, demam, atau sepsis. Jika diduga infeksi
bakteri, pasien harus diberikan antibiotik dan pembedahan
harus ditunda paling kurang 4 minggu. Pasien dengan
nasofaringitis berat, wheezing, demam lebih dari 38oC,
batuk yang produktif atau flu atau gejala batuk yang disertai
sesak nafas harus dijadwal ulang. Pasien tanpa infeksi,
alergi, rhinitis vasomotor kronis atau penyakit-penyakit
tingkatan sedang, tidak berkomplikasi, gejala cold akut
dimana tidak terdapat sekresi dapat dilakukan pembedahan.

Jika pasien pasien ini akan dioperasi, pertimbangkan


resiko dan keuntungan tindak operasi (misalnya operasi
yang telah berulangkali ditunda, dan tidak diperlukannya
pembedahan yang menambah resiko komplikasi pada
pasien dengan ISPA). Jika perbandingan resiko dan
keuntungan baik, operasi dapat dilakukan; jika tidak baik
atau ragu-ragu, operasi ditunda paling kurang 4 minggu.
d.

Jika tekhnik regional cocok, operasi dapat dilakukan. Jika


dilakukan

anestesi

umum,

gunakan

mask

jika

memungkinkan. Jika biasa menggunakan Laryngeal Mask


Airway (LMA), pertimbangkan penggunaannya untuk
tindakan yang normalnya memerlukan intubasi tracheal.
Antisialogoque dapat digunakan pada anak-anak untuk
mengurangi stimulasi vagal pada manupulasi jalan nafas.
Gunakan pulse oxymetri pada semua pasien.
e.

Jika pasien telah diintubasi, suction trachea sebelum


dilakukan extubasi. Lanjutkan pulse oxymetri selama
pemindahan pasien dan dalam ruang pemulihan. Pasien
dengan ISPA memperlihatkan tingkat saturasi terbesar
selama masa pemulihan. Diperlukan penggunaan oksigen
dengan menggunakan facemask.

6.

Tuberculosis Atau Suspek Tuberculosis


Susan M. Ryan, Ph.D., M.D.

Peningkatan Tuberkulosa (TB) dan peningkatan resistensi


terhadap antibiotik mendapat perhatian besar dalam kesehatan
masyarakat. TB menyebar melalui inhalasi droplet nuclei;
aerosol

partikel

Konsultasikan

kering,

dengan

sisa-sisa

spesialis

yang

penyakit

ada
infeksi

diudara.
untuk

membantu diagnosa, pengobatan dan waktu operasi. Pegawai


Rumah Sakit Departemen Kesehatan, National Institute for
Occupational Safety and Health (NIOSH), dan Center for
Disease Control and Prevention (CDC) bermanfaat sebagai
sumber informasi.
a.

TB adalah penyakit paru primer. Diperlukan data tentang


diagnosa, riwayat pengobatan dan gejala pada paru-paru,
serta keterlibatan ekstrapulmonal (limfatik, CNS, ginjal dan
sum-sum tulang). TB yang dini biasanya asimptomatik atau
timbul dengan gejala yang tidak spesifik (anoreksia, fatique,
kehilangan beratbadan, berkeringat pada malam hari).
Selanjutnya dapat terjadi batuk yang produktif, hemoptisis
dan nyeri pada dada. Takipnu, ronkhi, dan melemahnya
bunyi pernafasan bisa terjadi. Jika ekstrapulmonal terlibat
maka

gejala

yang

paling

sering

terlihat

adalah

limfadenopati. Penemuan pada foto thorax tergantung pada


tingkat dan kronisitas penyakit Jika foto thorax abnormal
maka dilihat foto sebelumnya. Pada TB primer terlihat
infiltrat di lobus atas atau seperti infiltrat halus yang
multiple. Limfadenopatui hilar atau efusi pleura bisa terjadi.
Pada TB kronik, bisa terdapat bintik atau nodul pada apikal
dan subapikal. Dahulu, pengobatan TB dimana terdapat
granuloma adalah dengan apical scarring. Perhatikan
adanya peningkatan leukosit dan anemia normositik
normokrom. Pada TB pulmonal dapat terjadi hiponatremia
dan

meningitis

TB

disebabkan

oleh

syndrome

of

inappropriate secretion on antidiuretic hormone (SIADH).


b.

Hilangkan infeksi TB yang aktif sebelum pembedahan yang


tidak mendesak. Observasi penyebab TB jika ada dugaan
adanya TB aktif. Jika foto thorax normal atau ada sedikit

perubahan pada pasien yang asimptomatik, tidak ada tes


yang direkomendasikan. Jika pada foto thorax diduga
adanya TB aktif atau secara klinik diduga kuat pengobatan
tidak adekuat, ambil tiga contoh sputum untuk smear basil
tahan asam (BTA) dan kultur TB. Satu smear positif
membantu diagnosa. Apabila BTA negatif, tindakan
pencegahan dan pembedahan tergantung pada tingkatan
penyakit dan kecurigaan TB yang tidak diobati. Jika BTA
negatif, TB aktif tidak dapat disingkirkan (pasien dengan
resiko tinggi atau pasien yang memberikan gejala) dan
dilakukan

pengobatan

serta

penundaan

tindakan

pembedahan. PPD yang positif (tes penyaringan yang baik


tetapi tidak pasti) dapat dicurigai adanya TB, tetapi PPD
negatif

(walaupun

dengan

kontrol)

tidak

dapat

menyingkirkan adanya TB; Foto thorax dan analisa sputum


lebih dipercaya. Pada pasien dengan HIV positif cenderung
mendapatkan

penyakit

paru

aktif

dan

melibatkan

ekstrapulmonal. Pada pasien-pasien tersebut, tes PPD


positif dengan ukuran 5 mm. Pada pasien dengan HIV
positif yang berat, foto thorax bisa negatif untuk beberapa
hari saat pasien terinfeksi dengan TB. Sebagai tambahan,
BTA positif dihasilkan oleh beberapa mycobacteria; namun
tetap diobati sebagai TB sampai hasil kultur didapatkan.
c.

Pasien dengan HIV positif dan diduga TB adalah penduduk


atau imigran dari daerah dengan prevalensi tinggi,
penyalahguna obat, kontak TB, tunawisma, malnutrisi.
Pikirkan diagnosa TB jika terjadi pneumonia pada pasien
dengan resiko tinggi atau pasien yang tidak respon terhadap
antibiotik atau adanya kontak pada kasus yang aktif.

d.

Observasi pernafasan sebagai pencegahan termasuk pasien


yang diintubasi. Ruang khusus dengan tekanan ventilasi
negatif dan 6-10 kali/jam perubahan udara, pencegahan
gejala pada saluran nafas yang membahayakan dan masker
atau alat bantu nafas untuk setiap orang yang masuk dalam
ruangan. Tipe masker berguna untuk kesehatan kerja
(HCW) dan alat bantu pernafasan yang diakui oleh NIOSH :
fitted air-filtering mask, powered air purifying respirators
(PAPR), atau respirator tekanan positif dengan tambahan
udara. Selama pemindahan pasien ketempat lain, gunakan
masker pada pasien. Jika pasien diintubasi dan dilakukan
ventilasi, gunakan masker selama pemindahan pasien.

e.

Jika pasien dengan BTA positif, dilakukan penundaan untuk


pembedahan elektif dan tindak pengobatan selama 2
minggu dan tiga kali sputum negatif. Jika pasien BTA
negatif tetapi kultur positif atau pasien dengan resiko tinggi,
pasien dengan gejala TB, tindak pengobatan dilanjutkan
minimal satu minggu sampai terjadi perubahan pada kondisi
pasien. Kasus yang gawat memerlukan keputusan klinik,
pengobatan

yang

memungkinkan

selama

sebelum

pembedahan, dan tindak pencegahan di ruangan operasi.


f.

TB diobati dengan kombinasi obat selama 6 bulan sampai 1


tahun atau lebih. Masalah yang besar adalah terjadinya
resistensi, dan terapi obat harus dilakukan secara hati-hati
dan disesuaikan dengan sensitivitas. Respon terhadap terapi
ditandai dengan berkurangnya bakteri, sputum dengan BTA
negatif dan perubahan secara klinik. Pasien diperkirakan
masih infeksius selama 2-3 minggu setelah pengobatan.

g.

Ventilasi yang adekuat diruang operasi sangat penting.


Dapat digunakan ventilator dengan tekanan negatif.

Peralatan anestesi : gunakan alat-alat sekali pakai. Letakkan


penyaring bakteri pada lubang pernafasan atau dengan
menggunakan tube endotrakheal (ET) untuk mencegah
kontaminasi. Atur tube ET dan kateter suction dengan
cermat.

Bersihkan

mesin

dan

peralatan

anestesi

menggunakan larutan tuberkulosidal dan sterilkan jika


memungkinkan.

Ahli

anestesi

dan

yang

lainnya

menggunakan masker seperti biasanya, lindungi daerah


steril. Sebagai tambahan perhatikan dan gunakan alat
pelindung pernafasan untuk mencegah infeksi dari droplet.
Satu masker dapat disiapkan . Respirator dengan katup
ekshalasi, PAPR, respirator tekanan positif tidak melindungi
daerah yang steril. Pembedahan dan prosedurnya : terdapat
resiko tinggi terhadap kontaminasi selama dilakukan
tindakan dimana cairan tubuh yang terinfeksi keluar
(trakheostomi,

thorakotomi,

bipso

paru

terbuka,

bronkoskopi, kauterisasi jaringan yang terinfeksi) dan


selama perawatan tube ET. Hindari atau minimalkan
tindakan suction pada ET. Pemulihan : PACU harus
tersendiri dan terdapat standar pencegahan TB. Jika tidak,
pemulihan pasien dilakukan diruang operasi atau ICU.
Tenaga

kesehatan

harus

menggunakan

pelindung

pernafasan.
7.

Restrictive Lung Disease


A. Sue Carlisle, M.D., Ph.D.

Restrictive Lung Disease (RLD) adalah istilah yang digunakan


untuk menggambarkan kumpulan gejala fisiologis yang ditandai
dengan menurunnya kapasitats total dari paru-paru. RLD dapat
disebabkan oleh bermacam-macam sebab intrinsik dimana daya

pengembangan parenkhim paru menurun atau oleh faktor


ekstrinsik yang berdampak pada dinding dada, pleura dan
abdomen. Keadaan ini dapat disebabkan secara sendiri-sendiri
atau bersamaan menghasilkan restrictive fisiologis. Perubahan
instrinsik bisa permanen, seperti terjadinya fibrosis paru atau
reversible seperti terjadinya edema paru atau pneumonia.
Perubahan ekstrinsik dapat terjadi secara sekunder pada
bermacam-macam

keadaan

termasuk

kelemahan

otot

pernafasan, penebalan pleura, kiposkoliosis, chest wall scarring


dan kegemukan. Sebagai tambahan beberapa tindakan seperti
laparoskopik dimana dibutuhkan penurunan tekanan dalam
cavum peritoneum, secara temporal dapat menyebabkan
restrictive fisiologis. RLD juga sering terjadi obstructive lung
disease (OLD) dan kombinasi keduanya dapat mempersulit
diagnosa dan pengobatan.
a.

Riwayat pasien yang diduga mengalami RLD harus


ditanyakan dimana akan menyebabkan adanya penyakit
paru instrinsik, penyakit neuromuskular dan penyakit tulang
termasuk kiphoskoliosis, infeksi paru dan congestive heart
failure. Gejalanya adalah penurunan toleransi kerja, dispnu
saat bekerja, batuk atau kesukaran bernafas dalam. Evaluasi
dini pada pasien RLD adalah observasi pola pernafasan.
Pasien-pasien ini cenderung memiliki penurunan tidak
volum dan peningkatan respiratory rate karena pola
bernafas yang kurang baik serta perluasan system
noncompliant.

Pasien

dengan

deformitas

skeletal,

weaknesss, rales dan ronkhi harus ditindaki secara hati-hati.


Obesitas adalah hal yang paling penting yang dapat
menyebabkan RLD yang berat. Besarnya gejala dan tingkat
toleransi terhatap latihan dapat menjadi acuan untuk
evaluasi preoperative yang lebih lanjut.

b.

Radiografi pada thorax berguna untuk evaluasi pada


beberapa kasus RLD yang dalam pengobatan seperti edema
paru, pneumonia dan pneumonia interstisial. Fungsi paru
dapat dievaluasi dengan spirometer untuk mendeteksi
penurunan volume paru dan adanya obstruksi serta restriktif
fisiologis. Pada beberapa kasus, dalam beberapa studi
tentang fungsi paru, kurva volume aliran udara diperlukan
untuk menilai berat tidaknya RLD (lihat bagan). Total lung
capacity dan diffusing capacity juga diperlukan. Pada
beberapa kasus, nilai ABG preoperative berguna untuk
prognosis postoperative apakah dibutuhkan tambahan
ventilator setelah operasi. Pada kasus yang berat echo
jantung atau kateterisasi jantung kanan preoperative
berguna untuk mengevaluasi hipertensi pulmonal atau
kegagalan ventrikel. Komponen reversible harus diobati
sebelum tindakan pembedahan elektif.

c.

Jika memungkinkan, pilihlah tekhnik anestesi yang tidak


memerlukan sedasi yang luas atau ventilasi mekanik.
Tekhnik regional dapat digunakan jika otot pernafasan tidak
dapat dijamin. Pada beberapa kasus, diperlukan anestesi
umum dan ventilasi mekanis. Monitoring intraoperative
dilakukan dengan pulse oximeter dan arterial line untuk
monitoring tekanan darah dan contoh gas darah. Pada
kasus-kasus yang berat, adanya hipertensi pulmonal dan
ventricular failure dilakukan pemasangan kateter pada arteri
pulmonal (PA) atau transesopharingeal echo (TEE) untuk
melihat perubahan pada tekanan arteri pulmonal dan fungsi
ventrikel. Ventilasi pada beberapa ruang operasi tidak cukup
untuk mempertahankan tekanan dan aliran ventilasi yang
adekuat bagi pasien dengan compliance yang kurang. Jenis
ventilator

ICU

dibutuhkan.

Atur

ventilator

untuk

menurunkan tidal volume dan meningkatkan frekwensi


compliance pada pasien dengan daya compliance yang
rendah. Tindakan ini atau tindakan dengan menggunakan
ventilasi

dengan

tekanan

yang

dikontrol

dapat

menghindarkan masalah tekanan yang tinggi seperti


barotrauma

dan

hemodinamik

yang

membahayakan.

Hemodinamik yang membahayakan bisa terjadi karena


cardiac output dan tekanan darah menurun atau menurunnya
ventilasi.
d.

Setelah operasi, pada pasien dapat diberikan pH normal dan


oksigenasi

yang

adekuat

untuk

mempertahankan

kemampuan tubuh. Jika dilakukan intubasi trachea,


perhatikan meticulous uantuk mengontrol nyeri. Efeknya
minimal terhadap alat pernafasan (mekanisme kompensasi
pada pasien) dan lebih menguntungkan. Jika pasien tidak
dapat mentoleransi ekstubasi, ventilasi, volume yang
optimal, serta pulmonary toilet dan nutrisi yang baik,
lakukan ventilasi non-infasif seperti tekanan udara positif
bilevel.

SUMBER

Decision Making in Anesthesiologi, An Algorithmic Approach. Third


edition; By Louis L. Bready Rhonda M. Mullins, Swan Helene Npprity, R.
Brain Smith; Mosby Inc. 2000, page 86 105

D.

Vous aimerez peut-être aussi