Vous êtes sur la page 1sur 35

STATUS ASMA RINGAN

IDENTITAS
Nama

Umur

JK

Alamat

Pekerjaan

Tanggal masuk Rumah Sakit :


Tanggal Pemeriksaan

No. Rekam Medik

Ruangan/ Kamar

AUTOANAMNESIS
Keluhan Utama:
Sesak nafas sejak................SMRS
Keluhan Tambahan :
Batuk (?), pilek (?), gatal- gatal kulit (?), sakit mata (?)
Riwayat Penyakit Sekarang :
Dua hari SMRS, Ibu OS mengeluhkan anaknya batuk berdahak berwarna putih kental, tidak
bercampur darah, dan sulit untuk dikeluarkan, sehingga saat tidur berbunyi banyak lendir.
Batuk ini muncul tiba-tiba (?), setelah ibu OS menyapu karpet rumahnya(?), setelah makanmakanan yang (?), stress (?), setelah aktivitas/berlari (?), batuk dirasakan lebih sering pada
malam hari, hingga menyebabkan nyeri seperti kram (?),sesak disertai dengan bunyi mengi
/tidak (?), sesak baru pertama kali muncul atau pernah muncul sebelumnya, frekuensi muncul
dalam satu bulannya (?), obat yang biasa dipakai diberikan atau tidak (?). Ibu OS
mengeluhkan anaknya pilek, pilek mampet/ meler, warna ingus...., gatal-gatal (?) setelah
memakan (.....) kemudian disertai dengan sesak, matanya memerah dan berair terus menerus
dan banyak belek nya. Ibu OS juga mengeluhkan OS demam (?), muncul mendadak atau naik
perlahan- lahan dan hilang timbul, muntah sebanyak(...), muntah berisi cairan dan makanan,
tidak ada darah. BAB konsistensi (...), berlendir (..), berdarah (..), BAK normal seperti

biasanya. OS sudah dibawa berobat ke dokter, perbaikan (...), anak masih mau makan dan
minum (?)
Satu hari SMRS, OS mengeluhkan sesak yang disertai dengan bunyi mengi dan semakin
berat, OS masih batuk (?), pilek (?), ingus (?), batuk berdahak berwarna putih kental, tidak
bercampur darah, dan sulit untuk dikeluarkan.
Riwayat Asma sejak umur 10 tahun.
Riwayat Penyakit Dahulu (RPD):
TB paru (?)
Asma (?)
Dermatitis atopik (?)
Rhinitis (?)
Konjungtivitis (?)
Riwayat Penyakit Keluarga (RPK):
Asma orangtua (+)
Tb paru (?)
ISPA (?)
Dermatitis atopik (?)
Rhinitis (?)
Konjungtivitis (?)
Riwayat Pengobatan :

Meminum obat namun ibu tidak ingat dosisnya, dan belum ada perbaikan (?)
Belum pernah dirawat inap di RS sebelumnya(?)
Belum pernah pengobatan jangka panjang. (?)

Riwayat Kehamilan :
Kunjungan ANC teratur ke bidan, Ibu tidak mengkonsumsi obat-obatan selama masa
kehamilan, penyulit kehamilan tidak ada.
Riwayat Kelahiran :
Anak lahir cukup bulan, lahir normal, ditolong bidan, langsung menangis, tidak terdapat
kelainan atau cacat bawaan, BB lahir= 3200 gram, PB lahir ? , lingkar kepala ibu tidak ingat.

Riwayat Makanan :
ASI sejak usia 0 6 bulan
MP-ASI sejak usia 6 bulan

Kesan : Makanan sesuai usia


Riwayat Imunisasi :
Saat lahir

Hepatitis B-1, polio-0

I bulan

Hepatitis B-2

2 bulan

BCG, DPT-1, polio-1

4 bulan

DPT-2, polio-2

Riwayat Tumbuh Kembang :

6 bulan

DPT-3, polio-3, Hepatitis B-3

Bisa tengkurap usia 4 bulan, bisa

9 bulan

Campak

mengoceh usia 6 bulan


Merangkak, suka menggenggam

Kesan : Imunisasi dasar lengkap

benda pada usia 7 bulan


Bisa duduk usia 7 bulan
Berjalan dengan bantuan usia 11 bulan

Kesan : tumbuh kembang sesuai usia


Riwayat Alergi :

Alergi obat (-), alergi cuaca (-), alergi seafood (..), alergi coklat, kacang, susu sapi (..),
alegi debu (..), alergi bulu (-)

Riwayat Psikososial :
Ayah perokok (?)
Rumah jendela (?)
Kamar banyak boneka (?)

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Composmentis

Tanda Vital

Suhu
Nadi

: 36,5 C
: x/menit takikardi

Tek. Darah
RR

: mmHg
: x/menit

Status Gizi

Tinggi Badan : 155 cm


Berat badan : 44 kg
BB/TB
: 18,33 (IMT normal)

STATUS GENERALIS
Kepala

Bentuk
: Normocephal
Rambut
: Hitam dan tidak rontok
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), skelra ikterik (-/-)
Hidung
: Konka hiperemis (-/-), keluar sekret (-/-)
Telinga: Keluar sekret (-/-)
Mulut
: Pharynk hiperemis (-), bibir anemis (-/-), bibir sianosis (-/-)

Leher

Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)


Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorax

Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Dinding dada simetris, retraksi sela iga (-)


: Vocal fremitus kiri dan kanan sama
: Sonor dikedua lapang paru, batas paru-hepar ICS 5
: Bunyi napas, wheezing (+/+) , ronkhi (-/-)

Jantung

Inspeksi
Palpasi

Perkusi
Aukultasi

: Ictus cordis terlihat


: Ictus cordis teraba di linea midsternal sinistra intercostal 5
midclavicularis sinistra
: Jantung dalam batas normal
: Bunyi jantung 1&2 murni, tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Epigastrium
Hati
Limpa
Ginjal
Perkusi

: Dinding perut simetris, distensi (-), massa (-), bekas operasi (-),
: Bising usus (+), 8 x/menit
:
: Nyeri tekan (-)
: Tidak teraba pembesaran
: Tidak teraba pembesaran
: Balotement (-), nyeri ketok (-)
: Timpani pada keempat kuadran abdomen

Extremitas

Superior : Akral hangat, RCT<2 detik, edema (-), sianosis (-), kekuatan motorik : 5 /

5, sensibilitas : normal, refleks fisiologis : normal, refleks patologis : negatif


Inferior : Akral hangat, RCT<2 detik, edema (-), sianosis (-), kekuatan motorik : 5 / 5,
sensibilitas : normal, refleks fisiologis : normal, refleks patologis : negatif

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium 18 Juni 2011
Analisa Gas Darah
Temperatur
Ph
PCO2
PO2
Calculated data
HCO3 act
BE (ecf)
BE (B)
02 sat
Serologi
Hb
Leukosit
Hematokrit
Trombosit

Nilai
37,0 C
7,298
45,8
135,4
22,6
-4,00
-3.5
97,8

Rujukan
7,350-7,450
33-44 mmHg
71-104 mmHg
21- 28 mmol/L
2,00- + 3,00 mmol/L
-2,4--+2,3mmol/L
94-98 %

Hasil
15,5
21,41
45
359

Rujukan
13,2-17,3
3,80- 18,60
40- 52
150-440

RESUME
Dari anamnesis :
OS mengeluhkan sesak nafas yang dipicu oleh batuk sebelumnya. Batuk ini muncul tiba-tiba
karena pasien saat itu merasa sedang banyak pikiran. Sesak dirasakan terus menerus yang dan
semakin berat saat malam hari. Pasien mengaku sesak mengganggu tidurnya. Sesak ini
bertambah saat beraktivitas dan berkurang saat beristirahat tanpa disertai nyeri dada. Dua hari
SMRS. Os juga mengeluh mual, dan muntah, sebanyak 10 x, muntah cairan dan makanan.
OS memiliki riwayat Asma sejak umur 10 tahun. Dan ibu OS juga mempunyai riwayat
penyakit Asma, merokok (-), alergi debu (+)
Dari pemeriksaan fisik didapatkan : pernafasan 24x/ menit, nadi 112x/ menit, retraksi sela iga
(+), auskultasi: Bunyi napas wheezing (+/+)
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan : PCO2

DAFTAR MASALAH

Asma bronkial
Cough et causa infeksi bakteri

ASSESMENT

Asma bronkial
Berdasarkan anamnesa, OS mengeluh Sesak dirasakan terus menerus yang dan

semakin berat saat malam hari. Pasien mengaku sesak mengganggu tidurnya. Sesak ini
bertambah saat beraktivitas dan berkurang saat beristirahat tanpa disertai nyeri dada. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan : pernafasan 24x/ menit, nadi 112x/ menit, retraksi sela iga (+),
auskultasi: Bunyi napas wheezing (+/+)
Rencana terapi : cek elektrolit, combivent 3 x 1, metil prednisolon 3 x 1 ampul

Cough et causa infeksi bakteri


Berdasarkan anamnesis OS mengeluh batuk berdahak berwarna putih kental, tidak

bercampur darah, dan sulit untuk dikeluarkan.Pemeriksaan fisik : ronkhi +/+, leukositosis.
Rencana terapi : pemeriksaan sputum, pemeriksaan rontgen thorax, ceftiakson 1x 2 gr.

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan (Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, 2004). Asma adalah
suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran

napas yang menyebabkan

hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik
berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan
atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan
(Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor 1023/menkes/sk/xi/2008).
Secara khas, sebagian besar serangan berlangsung singkat selama beberapa menit
hingga beberapa jam setelah itu, pasien tampak mengalami kesembuhan klinik yang total.
Namun demikian, ada suatu fase ketika pasien mengalami obstruksi jalan napas dengan
derajat tertentu setiap harinya. Fase ini dapat ringan dengan atau tanpa disertai episode yang
berat atau yang lebih serius lagi, dengan obstruksi hebat yang berlangsung selama berharihari atau berminggu-minggu. Keadaan semacam ini dikenal sebagai status asmatikus. Pada
beberapa keadaan yang jarang ditemui, serangan asma yang akut dapat berakhir dengan
kematian.
Etiologi
Dari sudut etiologik, asma merupakan penyakit heterogenosa. Klasifikasi asma dibuat
berdasarkan rangsangan utama yang membangkitkan atau rangsangan yang berkaitan dengan
episode akut. Berdasarkan stimuli yang menyebabkan asma, dua kategori timbal balik dapat
dipisahkan :
1. Asma ekstrinsik imunologik
Ditemukan kurang dari 10% dari semua kasus. Biasanya terlihat pada anak-anak,
umumnya tidak berat dan lebih mudah ditangani daripada bentuk intrinsik. Kebanyakan
penderita adalah atopik dan mempunyai riwayat keluarga yang jelas dari semua bentuk
alergi dan mungkin asma bronkial. Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh
faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, dan spora
jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi.
2. Asma intrinsik imunologik
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti aspirin dan obat-obat sejenisnya, latihan jasmani,
emosi, cuaca/ udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran
pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan
berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema.

Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan. Dapat terjadi pada segala usia dan ada
kecenderungan untuk lebih sering kambuh dan berat. Lebih sering berkembang ke status
asmatikus.
Banyak penderita mempunyai kedua bentuk asma diatas. Penting untuk ditekankan bahwa
perbedaan ini sering hanya merupakan perkiraan saja dan jawaban terhadap subklasifikasi
yang diberikan biasanya dapat dibangkitkan oleh lebih dari satu jenis rangsangan. Dengan
mengingat hal ini, dapat diperoleh dua kelompok besar, yaitu alergi dan idiosinkrasi.
Asma alergik seringkali disertai dengan riwayat pribadi dan atau keluarga mengenai
penyakit alergi, seperti rinitis, urtikaria dan ekzema. Reaksi kulit wheal and flare yang positif
terhadap penyuntikan intradermal ekstrak antigen yang terbawa udara, peningkatan kadar IgE
dalam serum dan respons positif terhadap tes provokasi yang meliputi inhalasi antigen
spesifik
Idiosinkrasi disebut sebagai bagian dari populasi pasien asma yang akan
memperlihatkan riwayat alergi pribadi atau keluarga negative, uji kulit negatif, dan kadar IgE
serum normal. Oleh sebab itu tidak dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme
imunologik yang sudah jelas. Banyak pasien kelompok ini akan menderita kompleks gejala
yang khusus berdasarkan gangguan saluran napas bagian atas. Gejala awal mungkin hanya
berupa gejala flu biasa, tetapi setelah beberapa hari pasien mulai mengalami mengi
paroksismal dan dispnea yang dapat berlangsung selama berhari-hari samapai berbulanbulan.

Faktor risiko
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik dan faktor
lingkungan.
1. Faktor genetik
Hipereaktivitas
Atopi/alergi bronkus
Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
Jenis kelamin
Ras/etnik

2. Faktor lingkungan
Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur dll)
Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)
Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan

laut, susu sapi, telur)


Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, bloker dll)
Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain)
Ekpresi emosi berlebih
Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan

aktifitas tertentu
Perubahan cuaca

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu dan faktor
lingkungan. Interaksi faktor genetik atau pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui
kemungkinan :

Pajanan limgkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik asma

Baik faktor lingkungan maupun faktor pejamu atau genetik masing-masing meningkatkan
risiko asma

Disini faktor pejamu termasuk predisposisi yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma,
yaitu genetik asma, alergik (atopik), hiperreaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Fenotip
yang berkaitan dengan asma dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif
(hiperreaktivitas bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya.
Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan atau predisposisi
asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu allergen,
sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status
ekonomi dan besarnya keluarga. Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja
dipertimbangkan sebagai penyebab utama asma dengan pengertian faktor lingkungan tersebut
pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan kondisi asma tetap aktif
dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan menetapnya gejala.
Epidemiologi

Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4
5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial terjadi
pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia dini. Sekitar separuh kasus timbul
sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia
kanak-kanak terdapat predisposisi laki-laki : perempuan = 2 : 1 yang kemudian menjadi sama
pada usia 30 tahun.
Asma merupakan 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu
tergambar dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke 5 dari 10 penyebab
kesakitan bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma,
bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar
5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di Indonesia sekitar 13 per 1.000 penduduk,
dibandingkan bronkitis kronik 11 per 1.000 penduduk dan obstruksi paru 2 per 1.000
penduduk.
Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi asma pada
anak dengan hiperreaktivitas bronkus 2,4% dan hiperreaktivitas bronkus serta gangguan faal
paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuisioner
International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari 402
kuisioner yang kembali dengan rata-rata umur 13,8 0,8 tahun didapatkan prevalensi asma
(gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma), 6,2% dari 64% diantaranya mempunyai gejala
klasik. Bagian anak FKUI-RSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak usia SLTP di
Jakarta pusat pada 19951996 dengan mengunakan kuisioner modifikasi dari ATS, ISAAC
dan Robertson, serta melakukan uji provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya 1.296 siswa
dengan usia 11 tahun 5 bulan 18 tahun 4 bulan, didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan
5,8% dengan recent asthma. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada
siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2.234 anak usia 1314 tahun melalui kuisioner
ISAAC, pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek yang dipilih
secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent asthma) 8,9% dan
prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5%.
Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo Surabaya melakukan penelitian di
lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuisioner modifikasi ATS,
yaitu proyek pneumobile Indonesia dan Respiratory Sympton questioner of Institute of

Respiratory Medicine, New South Wales dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE)
menggunakan alat peak flow meter dan uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13
70 tahun (rata-rata 35,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7 % dengan rincian
laki-laki 9,2 % dan perempuan 6,6 %.
Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan,
terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel.
1. Inflamasi akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain virus, iritan,
alergen yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.

Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik


Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 1015
menit. Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan performed mediator
seperti histamin protease dan newly generated mediator seperti leukotrien,
prostaglandin dan platelet activating factor yang menyebabkan kontraksi otot polos,
sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi tersebut dapat hilang segera, baik secara
spontan maupun dengan bronkodilator seperti simpatomimetik. Perubahan ini dapat
dicegah dengan pemberian kromoglikat atau antagonis H1 dan H2 sebelumnya.
Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian kortikosteroid beberapa saat
sebelumnya. Tetapi pemberian kortikosteroid untuk beberapa hari sebelumnya dapat
mencegah reaksi ini.

Reaksi fase lambat dan lama


Reaksi ini timbul antara 69 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel CD4+, netrofil dan makrofag. Patogenesis
reaksi yang tergantung pada IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan netrofil
48 jam setelah rangsangan. Reaksi lamabat ini mungkin juga berhubungan dengan
reaktivasi sel mast. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan mungkin juga
mempunyai peranan pada reaksi lambat karena mediator ini menyebabkan kontraksi
otot polos bronkus yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat dapat dihambat
oleh pemberian kromiglikat, kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya.

2. Inflamasi kronik
Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan
inflamasi di dalam dan disekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi, seperti
limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus. Pada
otopsi ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan
sumbatan bronkus oleh mukus yang lengket dan kental. Sumbatan bronkus oleh mukus
ini bahkan dapat terlihat sampai alveoli. Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklear
terjadi akibat factor kemotaktik dari sel mast seperti ECF-A dan LTB4. Mediator PAF
yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan makrofag yang dapat menyebabkan hipertrofi
otot polos dan kerusakan mukosa bronkus serta menyebabkan bronkokonstriksi yang
lebih kuat. Kortikosteroid biasanya memberikan hasil yang baik. Diduga, ketotifen dapat
juga mencegah fase ketiga ini.

Airway remodeling
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling.
Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya
seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstitial, fibrogenic
growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :
1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.
2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
3. Penebalan membran retikular basal
4. Pembuluh darah meningkat
5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
6. Perubahan struktur parenkim
7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat
inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan
gejala dan tanda asma seperti hiperreaktivitas jalan napas, masalah distenbilitas/regangan
jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling
bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses
tersebut.

Patologi Anatomi

Gambaran makroskopik yang penting dari asma yang lanjut adalah : (1) Mukus
penyumbat dalam bronki, (2) Inflamasi paru yang berlebihan, tetapi bukan emfisema yang
nyata, dan (3) Kadang-kadang terdapat daerah bronkiektasis terutama dalam kasus yang
berhubungan dengan aspergilosis. Jalan udara seringkali tersumbat oleh mukus, yang terdiri
dari sel yang mengalami deskuamasi. Musin sering mengandung komponen seroprotein yang
timbul dari reaksi peradangan hebat dalam submukosa. Dinding bronki tampak lebih tebal
dari biasa. Apabila eksudat supuratif terdapat dalam lumen, maka superinfeksi dan bronkitis
harus diwaspadai.
Secara mikroskopik terdapat hiperplasia dari kelenjar mucus, bertambah tebalnya otot
polos bronkus dan hipertofi serta hiperplasia dari sel goblet mukosa. Daerah-daerah yang
tidak mengandung epitel respirasi sering ditemukan, ditambah dengan edema subepitel.
Pertambahan jumlah limfosit peradangan yang agak banyak, terutama eosinofil terdapat pada
mukosa yang edema. Sumbatan di dalam jalan napas mengandung : (1) Gulungan sel epitel
yang lepas dan sekret protein yang membentuk spiral Curschmann, (2) Eosinofil yang padat
dengan kristal Charcot-Leyden, (3) kristal Charcot-Leyden bebas yang dilepaskan oleh
eosinofil, dan (4) Debris seluler. Superinfeksi bakteri dapat membentuk perubahan anatomi
kearah bronkitis.
Patofisiologi
Tanda patofisiologik asma adalah penurunan diameter jalan napas yang disebabkan
oleh kontraksi otot polos, kongesti pembuluh darah, edema dinding bronkus dan sekret kental
yang lengket. Hasil akhir adalah peningkatan resistensi jalan napas, penurunan ekspirasi
paksa (forced expiratory volume) dan kecepatan aliran udara, hiperinflasi paru dan toraks,
peningkatan kerja bernapas, perubahan fungsi otot-otot pernapasan, perubahan rekoil elastik
(elastic recoil), penyebaran abnormal aliran darah ventilasi dan pulmonal dengan rasio yang
tidak sesuai dan perubahan gas darah arteri. Pada dasarnya asma diperkirakan sebagai
penyakit saluran napas, sesungguhnya semua aspek fungsi paru mengalami kerusakan selama
serangan akut. Pada pasien yang sangat simtomatik seringkali ditemukan hipertrofi ventrikel
kanan dan hipertensi paru pada elektrokardiografi. Seorang pasien yang dirawat, kapasitas
vital paksa (forced vital capasity) cenderung kurang dari atau sama dengan 50% dari nilai
normal. Volume ekspirasi 1 detik rata-rata 30% atau kurang dari yang diperkirakan,
sementara rata-rata aliran mid ekspiratori maksimum dan minimum berkurang sampai 20%

atau kurang dari yang diharapkan. Untuk mengimbangi perubahan mekanik, udara yang
terperangkap (air trapping) ditemukan dalam jumlah besar.
Gambaran klinik
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas.
Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik
mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi
pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih
kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa
disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant ashtma. Bila hal yang terkahir ini
dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji
provokasi bronkus dengan metakolin.
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak
jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus nonalergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan
cuaca.
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal
minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk
sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan
kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji
provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.

Diagnosis
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit
yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa
perlu berobat ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala
berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabilitas yang berkaitan dengan
cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiltas kelainan faal paru akan
lebih meningkatkan nilai diagnostic

Riwayat penyakit atau gejala :


1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.
3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.
4. Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu.
5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit


1. Riwayat keluarga (atopi).
2. Riwayat alergi/atopi.
3. Penyakit lain yang memberatkan.
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan.
Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari atau bila ada

beban fisik sangat karakteristik untuk asma. Walaupun demikian cukup banyak asma anak
dengan batuk kronik berulang, terutama terjadi pada malam hari ketika hendak tidur, disertai
sesak, tetapi tidak jelas mengi dan sering didiagnosis bronkitis kronik. Pada anak yang
demikian, yang sudah dapat dilakukan uji faal paru (provokasi bronkus) sebagian besar akan
terbukti adanya sifat-sifat asma.
Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan obat batuk
biasa dan kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator, sangat mungkin
merupakan bentuk asma.

Pemeriksaan fisik
o Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pada asma ringan dan sedang tidak
ditemukan kelainan fisik di luar serangan.
o Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk paroksismal,
kadang-kadang terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat retraksi daerah
supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma kronik bentuk
toraks emfisematous, bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter anteroposterior
toraks bertambah.
o Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian bawah posterior.
Daerah pekak jantung dan hati mengecil.

o Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara napas
melemah atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Terdengar
juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara lender bila sekresi bronkus banyak.
o Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Mengi
dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat disertai gejala
sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan obat bantu
napas.
o Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin bila hubungannya dengan
tinggi badan kedua orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang dapat
menghambat perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan biasanya terdapat pada
asma yang sangat berat. Anak perlu diukur tinggi dan berat badannya pada tiap kali
kunjungan, karena akibat pengobatan sering dapat dinilai dari perbaikan
pertumbuhannya.

Uji faal paru


Berguna untuk menilai asma meliputi diagnosis dan penatalaksanaannya. Pengukuran faal
paru digunakan untuk menilai :
1. Derajat obstruksi bronkus
2. Menilai hasil provokasi bronkus
3. Menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit.
Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah PEFR, FEV1, PVC, FEV1/FVC.
Sebaiknya tiap anak dengan asma di uji faal parunya pada tiap kunjungan. peak flow
meter adalah yang paling sederhana, sedangkan dengan spirometer memberikan data
yang lebih lengkap. Volume kapasitas paksa (FVC), aliran puncak ekspirasi (PEFR) dan
rasio FEV1/FVC berkurang > 15% dari nilai normalnya. Perpanjangan waktu ekspirasi
paksa biasanya ditemukan, walaupun PEFR dan FEV1/FVC hanya berkurang sedikit.
Inflasi yang berlebihan biasanya terlihat secara klinis, akan digambarkan dengan
meningginya isi total paru (TLC), isi kapasitas residu fungsional dan isi residu. Di luar
serangan faal paru tersebut umumnya akan normal kecuali pada asma yang berat. Uji
provokasi bronkus dilakukan bila diagnosis masih diragukan. Tujuannya untuk
menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus. Uji Provokasi bronkus dapat dilakukan
dengan :
1. Histamin

2. Metakolin
3. Beban lari
4. Udara dingin
5. Uap air
6. Alergen
Yang sering dilakukan adalah cara nomor 1, 2 dan 3. Hiperreaktivitas positif bila PEFR,
FEV1 turun > 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan setelah diberi bronkodilator nilai
normal akan tercapai lagi. Bila PEFR dan FEV1 sudah rendah dan setelah diberi
bronkodilator naik > 15% yang berarti hiperreaktivitas bronkus positif dan uji provokasi
tidak perlu dilakukan.

Foto rontgen toraks


Tampak corakan paru yang meningkat. Atelektasis juga sering ditemukan. Hiperinflasi
terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik. Rontgen foto sinus paranasalis perlu
juga bila asmanya sulit dikontrol.

Pemeriksaan darah eosinofil dan uji tuberkulin


Pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat menunjang diagnosis
asma. Dalam sputum dapat ditemukan kristal Charcot-Leyden dan spiral Curshman. Bila
ada infeksi mungkin akan didapatkan leukositosis polimormonuklear.

Uji kulit alergi dan imunologi


1. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau
pengukuran IgE spesifik serum.
2. Uji kulit adalah cara utama untuk mendignosis status alergi/atopi, umumnya
dilakukan dengan prick test. Alergen yang digunakan adalah alergen yang banyak
didapat di daerahnya. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis
atopi, dapat juga mendapatkan hasil positif palsu maupun negative palsu. Sehingga
konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala
klinik harus selalu dilakukan. Untuk menentukan hal itu, sebenarnya ada pemeriksaan
yang lebih tepat, yaitu uji provokasi bronkus dengan alergen yang bersangkutan.
Reaksi uji kulit alergi dapat ditekan dengan pemberian antihistamin
3. Pemeriksaan

IgE

spesifik

dapat

memperkuat

diagnosis

dan

menentukan

penatalaksaannya. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak
dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/kelainan kulit pada lengan

tempat uji kulit dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai
dalam diagnosis alergi/atopi.

Diagnosis banding asma :

Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis dan fibrosis kistik.

Kelainan trakea dan bronkus misalnya laringotrakeomalasia dan stenosis bronkus.

Tuberkulosis paru ditandai dengan batuk berdahak selama kurang lebih 2 minggu disertai
dengan keringat malam, demam dan penurunan BB.

Bronkitis kronik. Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan
sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti
tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkarkan dahulu. Gejala utama batuk
disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien berumur > 35 tahun dan perokok berat.
Gejalanya dimulai dengan batuk pagi hari, lama-kelamaan disertai mengi dan
menurunnya kemampuan kegiatan jasmani.pada stadium lanjut dapat ditemukan sianosis
dan tanda-tanda kor pulmonal. Tidak ditemukan eosinofilia, suhu biasanya tinggi dan
tidak herediter.

Asma kardial. Dispnea paroksismal terutama malam hari dan biasanya didapatkan tandatanda kelainan jantung.

Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan
dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat
pengobatan.
Tabel klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
Derajat

Gejala

asma
Intermitten

Bulanan

Gejala < 1x/minggu

Tanpa gejala diluar serangan

Gejala

Faal paru

malam
2x/bulan

APE 80%
VEP1 80% nilai
prediksi APE 80%
nilai terbaik

Serangan singkat

Variabilitas APE

<

20%
Persisten

Mingguan

ringan

Gejala > 1x/minggu tetapi <

> 2x/bulan

APE > 80%

VEP1

80%

1x/hari

nilai prediksi APE

Serangan dpt mengganggu

80% nilai terbaik

aktivitas dan tidur


Persisten

Harian

sedang

Gejala setiap hari

Serangan

>

1x/minggu

Variabilitas APE
20-30%
APE 60-80%
VEP1 60-80% nilai
prediksi APE 60-80%

mengganggu

nilai terbaik

aktivitas dan tidur

Variabilitas APE

30%
APE 60%

VEp1 60% nilai

>

membutuhkan bronkodilator

Persisten

setiap hari
Kontinua

berat

Gejala terus menerus

Sering kambuh

prediksi 60% nilai

Aktivitas fisik terbatas

terbaik

Sering

Variabilitas APE

>

30%

Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan, dan pengobatan yang telah
berlangsung seringkali tidak adekuat. Pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan
faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus
mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.
Tabel klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan
Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian
Gejala dan faal paru dalam pengobatan

Tahap I : intermitten

Gejala < 1x/minggu

Tahap I

Tahap 2

Tahap 3

intermiten

persisten

persisten

Intermiten

sedang
Persisten

sedang
Persisten

ringan

sedang

Serangan singkat

Gejala malam < 2x/bulan

Faal paru normal di luar serangan


Tahap II : persisten ringan

Gejala > 1x/minggu, tetapi < 1x/hari,

Persisten

Persisten

Persisten

ringan

sedang

berat

Persisten

Persisten

Persisten

sedang

berat

berat

Persisten

Persisten

Persisten

berat

berat

berat

gejala malam > 2x/bulan, tetapi <


1x/minggu
Faal paru normal diluar serangan
Tahap III : persisten sedang

Gejala setiap hari, serangan


mempengaruhi aktivitas dan tidur

Gejala malam > 1x/minggu

60% < VEP1 < 80% nilai prediksi

60% < APE < 80% nilai terbaik


Tahap IV : persisten berat

Gejala terus menerus, serangan sering,


gejala malam sering

VEP1 60% nilai prediksi atau

APE 60% nilai terbaik

Pengobatan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempetahankan
kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma
adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan
hiperresponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan
asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan, mempunyai manfaat,
aman dan terjangkau.
Tatalaksana Pasien Asma
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari (asma terkontrol).

Tujuan :

Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;


Mencegah eksaserbasi akut;
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;
Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;
Menghindari efek samping obat;
Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel;
Mencegah kematian karena asma.
Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi
genetiknya.

Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter dan pasien
sebagai dasar yang kuat dan efektif, hal ini dapat tercipta apabila adanya komunikasi yang
terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan pasien, ini merupakan
kunci keberhasilan pengobatan.
Ada 5 (lima) komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma, yaitu:

KIE dan hubungan dokter-pasien


Identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko;
Penilaian, pengobatan dan monitor asma;
Penatalaksanaan asma eksaserbasi akut, dan
Keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi, diabetes melitus, dll

Pada prinsipnya penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi: 1) Penatalaksanaan asma


akut/saat serangan, dan 2) Penatalaksanaan asma jangka panjang
1. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh pasien.
Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah dan apabila tidak ada
perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan disesuaikan
dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat

serangan

termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya
diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah :
bronkodilator (2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)
kortikosteroid sistemik

Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya 2 agonis kerja cepat yang sebaiknya
diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan secara sistemik.
Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada keadaan
tertentu

(seperti

ada

riwayat

serangan

berat

sebelumnya)

kortikosteroid

oral

(metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3- 5 hari. Pada serangan sedang
diberikan 2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan
ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau 14 drip). Pada anak belum diberikan
ipratropium bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila diperlukan dapat diberikan oksigen
dan pemberian cairan IV Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan
IV, 2 agonis kerja cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV
(bolus atau drip). Apabila 2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan dengan
adrenalin subkutan. Pada serangan asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU.
Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan
nebuliser. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer).

Serangan asma dan penanggulangannya


o

Serangan asma yang ringan biasanya cukup diobati dengan obat bronkodilator
oral atau aerosol, bahkan ada yang demikian ringannya hingga tidak memerlukan
pengobatan.

Serangan asma yang sedang dan akut perlu pengobatan dengan obat yang
kerjanya cepat, misalnya bronkodilator aerosol atau bronkodilator subkutan seperti
adrenalin.

Pada serangan ringan akut tidak diperlukan kortikosteroid tetapi pada serangan
ringan kronik atau serangan sedang mungkin diperlukan tambahan kortikosteroid dan
bronkodilator. Pada serangan sedang oksigen sudah perlu diberikan 12 liter/menit.

Pada serangan asma yang berat bila gagal dengan bronkdilator aerosol atau

subkutan dan kortikosteroid perlu teofilin intravena, oksigen dan koreksi


keseimbangan cairan, asam-basa dan elektrolit. Bila upaya-upaya tersebut gagal atau
diduga akan gagal, keadaan jiwa anak mungkin terancam, berarti anak tersebut sudah
masuk dalam keadaan status asmatikus.
2. Penatalaksanaan asma jangka panjang
Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah
serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma.
Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: 1) Edukasi; 2) Obat asma (pengontrol dan
pelega); dan Menjaga kebugaran.
Edukasi
Edukasi yang diberikan mencakup :

Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan


Mengenali gejala serangan asma secara dini
Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya
Mengenali dan menghindari faktor pencetus
Kontrol teratur

Alat edukasi untuk dewasa yang dapat digunakan oleh dokter dan pasien adalah pelangi
asma, sedangkan pada anak digunakan lembaran harian.

Obat asma
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada saat serangan
asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan diberikan
dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti inflamasi
(kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan
kortikosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol.
Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain :
o
o
o
o

Inhalasi kortikosteroid
2 agonis kerja panjang
antileukotrien
teofilin lepas lambat
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas,

terdiri dari pengontrol dan pelega.


1. Pengontrol (controller)

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikas
setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma
persisten. Pengontrol sering disebut pencegah. Yang termasuk obat pengotrol :

Kortikosteroid inhalasi

Kortikosteroid sistemik

Sodium kromoglikat

Nedokromil sodium

Metilsantin

Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi

Agonis beta-2 kerja lama, oral

Leukotrien modifier

Antihistamin generasi ke dua (antagonis-H1)

2. Pelega (reliever)
Prinsipnya adalah untuk mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut,
seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas.
Termasuk pelega adalah :

Agonis beta-2 kerja singkat

Kortikosteroid sistemik (steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila


penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).

Antikolinergik

Aminofilin

Adrenalin
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara, yaitu inhalasi, oral dan

parenteral (subkutan, intramuskular dan intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung


ke jalan napas adalah :
1. Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
2. Efek sistemik minimal atau dihindarkan

3. Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorbsi pada
pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah cepat
bila diberikan secara inhalasi daripada oral.
Pengobatan Sesuai Berat Asma
Berat asma

Medikasi pengontrol harian

Asma intermiten

Tidak perlu

Asma persisten
ringan

Steroid inhalasi
(200-400_g BD/hari atau
ekivalennya)

Asma persisten
sedang

Asma persisten berat

Alternatif / pilihan lain

Teofilin lepas lambat


kromolin
Leukotriene modifiers

Kombinasi inhalasi steroid


(400-800_g BD/hari atau
ekivalennya & LABA

Steroid inhalasi

Kombinasi Inhalasi steroid


(>800_g BD atau ekivalennya)
dan LABA ditambah
ditambah dibawah ini :

Prednisolon / metil
prednisolon selang
sehari 10 mg ditambah
LABA oral, ditambah
teofilin lepas lambat

Teofilin lepas lambat


Leukotriene modifiers
Steroid oral

Alternatif lain

(400-800_g BD/hari atau


ekivalennya) ditambah
teofilin lepas lambat
atau steroid inhalasi
(400-800_g BD/hari atau
ekivalennya) ditambah
LABA oral atau steroid
inhalasi (400-800_g
BD/hari atau
ekivalennya) ditambah
leukotriene modifiers

Ditambah LABA oral


atau ditambah teofilin
lepas lambat

Bronkodilator simpatomimetik seperti juga bronkodilator lainnya, disamping dipakai


untuk mengobati serangan asma juga dipakai sebagai obat untuk mengatasi serangan asma.
Dianjurkan memakai beta-2 selektif. Bentuk aerosol (inhalasi) merupakan cara pencegah dan
penggagal serangan asma yang baik dan cepat kerjanya. Simpatomimetik sering
dikombinasikan dengan dengan teofilin peroral. Dengan dosis tengah, efek bronkodilatasinya
bersifat aditif sedangkan efek sampingnya lebih sedikit. Pada penggunaan jangka panjang,
misalnya asma kronik atau persisten, teofilin obat tunggal atau kombinasi dengan
simpatomimetik merupakan obat yang harus dipakai lebih dahulu sebelum ditambah dengan
obat lain dalam rangka mencegah kambuhnya serangan asma.
Kortikosteroid merupakan obat penting dalam pencegahan asma dan hendaknya
dipertimbangkan bila hasil pengobatan dengan bronkodilator tidak memadai. Dosis prednison
12 mg/kgBB/hari, biasanya tidaj memberikan efek samping. Pemberian kortikosteroid
jangka pendek pada waktu serangan asma dapat mencegah keadaan yang lebih gawat dan
perawatan di rumah sakit tidak diperlukan. Anak yang telah mendapat terapi kortikosteroid
lama dengan dosis rumatan, bila mendapat serangan asma akut dosis kortikosteroid perlu
ditinggikan. Pada asma yang persisten atau kronik, pemberian kortikosteroid mungkin
diperlukan.. Jika terpaksa menggunakan kortikostreroid jangka panjang harus diberikan
secara inhalasi. Pada bayi dan anak kecil serangan asma mungkin lebih banyak disebabkan
oleh udem mukosa dan sekresi bronkus daripada bronkospasme. Pemberian kortikosteroid
mungkin sangat berguna.
Disodium kromogikat (DSCG) inhalasi, salah satu kerjanya adalah mencegah
degranulasi sel mast merupakan onat untuk mencegah serangan asma, terutama bila diberikan
secara teratur (Bernstein, 1981). Bila diberikan sebelum kegiatan jasmani dapat mencegah
asma yang diinduksi aktivitas fisik Pada asma ringan dan sedang efektifitas pencegahannya
sama dengan teofilin, efek samping lebih sedikit (Hambleton dkk 1977, Furukawa dkk 1984).
Obat pencegahan yang ideal untuk anak adalah obat yang diberikan secara oral 12
kali/hari. Ketotifen yang salah satu kerjanya memperkuat dinding sel mast sehingga
mencegah keluarnya mediator dilaporkan dapat merupakan obat pencegahan peroral yang
dapat diberikan 2 kali/hari.
Terapi imnulogik tidak dianjurkan sebagai tindakan rutin (Lichtenstein 1978). Tetapi
tindakan ini yang salah satu tugasnya membentuk antibodi penghalang perlu dipertimbangkan

bila tindakan-tindakan lainnya telah dusahakan semaksimal mungkin dan tidak memberikan
hasil.

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol


bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya ridak ada), termasuk gejala malam.
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk latihan fisik
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis beta2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan).
4. Variasi harian APE < 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat

Integrasi dari pendekatan-pendekatan tersebut dikenal dengan program penatalaksanaan


asma, yang meliputi 7 komponen, yaitu :
1. Edukasi
2. Menilai dan memonitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat

Ke 7 hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan bahasa yang mudah
dan dikenal (dalam istilah) dengan 7 langkah mengatasi asma, yaitu :
1. Mengenal seluk beluk asma
2. Menentukan klasifikasi
3. Mengenali dan meghindari pencetus
4. Merencanakan pengobatan jangka panjang
5. Mengatasi serangan asma dengan tepat
6. Memeriksakan diri secara teratur
7. Menjaga kebugaran dan berolahraga
Aktivitas fisik tidak dilarang bahkan dianjurkan tetapi diatur. Jalan yang dapat ditempuh

supaya dapat tetap beraktivitas adalah :

1. Menambah toleransi secara bertahap, menghindari percepatan gerak yang mendadak,


Mengalihkan macam kegiatan, misalnya lari, naik ke sepeda, berenang.
2. Bila mulai batuk-batuk istirahat dahulu sebentar, minum air dan kemudian bila batukbatuk sudah mereda kegiatan dapat dimulai kembali.
3. Ada beberapa orang yang memerlukan makan obat atau menghirup obat aerosol
dahulu beberapa waktu sebelum kegiatan olahraga.
Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan faktor
lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma:
1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan
dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.
2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma. Apabila
seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu (enhancer) maka
terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung
lama

atau

proses

inflamasinya

berat

secara

klinis

berhubungan

dengan

hiperreaktivitas bronkus.
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger)
maka akan terjadi serangan asma (mengi)
Faktor-faktor pemicu antara lain: Alergen dalam ruangan: tungau debu rumah, binatang
berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi serta pajanan asap
rokok; pemacu: Rinovirus, ozon, pemakaian b2 agonis; sedangkan pencetus: Semua
faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan
metakolin
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut:

Sehubungan dengan asal-usul tersebut, upaya pencegahan asma dapat dibedakan


menjadi 3 yaitu:
1. Pencegahan primer
2. Pencegahan sekunder

3. Pencegahan tersier
Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko
asma (orangtua asma), dengan cara :

Penghindaran asap rokok dan polutan

perkembangan bayi/anak
Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak

mengganggu asupan janin


Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
Diet hipoalergenik ibu menyusui

lain selama kehamilan dan masa

Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah
tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan
terutama tungau debu rumah.
Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah
menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal
dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic children) mendapatkan bahwa
pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi dengan dermatitis atopi dan IgE
spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau debu rumah menurunkan kejadian
asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penelitian ini
bukan sebagai pengendali asma (controller).
Penanggulangan serangan asma lebih penting ditujukan untuk mencegah serangan
asma bukan untuk mengatasi serangan asma. Pencegahan serangan asma terdiri atas :

Menghindari faktor-faktor pencetus

Obat-obatan dan terapi imunologi


Penggunaan obat-obatan atau tindakan untuk mencegah dan meredakan atau reaksi-reaksi
yang akan atau sudah timbul oleh pencetus tadi.

Macam-macam pencetus asma :


1. Alergen
Faktor alergi dianggap mempunyai peranan penting pada sebagian besar anak dengan
asma (William dkk 1958, Ford 1969). Disamping itu hiperreaktivitas saluran napas juga
merupakan factor yang penting. Sensitisasi tergantung pada lama dan intensitas hubungan
dengan bahan alergenik sehingga dengan berhubungan dengan umur. Pada bayi dan anak

kecil sering berhubungan dengan isi dari debu rumah. Dengan bertambahnya umur makin
banyak jenis alergen pencetusnya. Asma karena makanan biasanya terjadi pada bayi dan
anak kecil.
2. Infeksi
Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak kecil. Virus penyebab biasanya
respiratory syncytial virus (RSV) dan virus parainfluenza. Kadang-kadang juga dapat
disebabkan oleh bakteri, jamur dan parasit.
3. Cuaca
Perubahan tekanan udara (Sultz dkk 1972), suhu udara, angin dan kelembaban (Lopez
dan Salvagio 1980) dihubungkan dengan percepatan dan terjadinya serangan asma.
4. Iritan
Hairspray, minyak wangi, asap rokok, cerutu dan pipa, bau tajam dari cat, SO2, dan
polutan udara yang berbahaya lainnya, juga udara dingin dan air dingin.Iritasi hidung dan
batuk dapat menimbulkan refleks bronkokonstriksi (Mc. Fadden 1980). Udara kering
mungkin juga merupakan pencetus hiperventilasi dan kegiatan jasmani (strauss dkk 1978,
Zebailos dkk 1978).
5. Kegiatan jasmani
Kegiatan jasmani yang berat dapat menimbulkan serangan pada anak dengan asma
(Goldfrey 1978, Eggleston 1980). Tertawa dan menangis dapat merupakan pencetus. Pada
anak dengan faal paru di bawah normal sangat rentan terhadap kegiatan jasmani.
6. Infeksi saluran napas bagian atas
Disamping infeksi virus saluran napas bagian atas, sinusitis akut dan kronik dapat
mempermudah terjadinya asma pada anak (Rachelesfsky dkk 1978). Rinitis alergi dapat
memperberat asma melalui mekanisme iritasi atau refleks.
7. Refluks gastroesofagitis
Iritasi trakeobronkial karena isi lambung dapat memberatkan asma pada anak dan orang
dewasa (Dess 1974).
8. Psikis
Tidak adanya perhatian dan tidak mau mengakui persoalan yang berhubungan dengan
asma oleh anak sendiri atau keluarganya akan memperlambat atau menggagalkan usaha-

usaha pencegahan. Dan sebaliknya jika terlalu takut terhadap serangan asma atau hari
depan anak juga tidak baik, karena dapat memperberat serangan asma. Membatasi
aktivitas anak, anak sering tidak masuk sekolah, sering bangun malam, terganggunya
irama kehidupan keluarga karena anak sering mendapat serangan asma, pengeluaran uang
untuk biaya pengobatan dan rasa khawatir, dapat mempengaruhi anak asma dan
keluarganya.
Berbagai pencetus serangan asma dan cara menghindarinya perlu diketahui dan
diajarkan pada si anak dan keluarganya, debu rumah dan unsur di dalamnya merupakan
pencetus yang sering dijumpai pada anak. Pada 76,5% anak dengan asma yang berobat di
poliklinik Subbagian Pulmonologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM Jakarta,
debu rumah diduga sebagai pencetusnya.
Serangan asma setelah makan atau minum zat yang tidak tahan, dapat terjadi tidak
lama setelah makan, tetapi dapat juga terjadi beberapa waktu setelahnya.

Komplikasi
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi
emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks membungkuk ke depan
dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letak rendah, gambaran jantung
menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi
bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison.
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat
terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung lama dapat
berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi bronkopneumonia. Serangan asma
yang terus menerus dan beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
disebut status asmatikus. Bila tidak dtolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal
pernapasan, gagak jantung, bahkan kematian.
Prognosis dan perjalanan klinis
Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan
kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10

juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas
kesehatan terbatas.
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik
ditemukan pada 5080% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada
masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 710 tahun setelah diagnosis
pertama bervariasi dari 2678% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang
menderita penyakit yang berat relatif berat (6 19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 70
80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang

Vous aimerez peut-être aussi