Vous êtes sur la page 1sur 41

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit

infeksi

paru

masih

merupakan

penyebab

kematian

yang

sangat penting di Indonesia. Baik yang mengenai cabang-cabang pembuluh paru


(bronkus, bronkiolus) atau yang mengenai jaringan paru-paru. 1
Abses

paru

merupakan

salah

satu

penyakit

infeksi

paru

yang

didefinisikan sebagai kematian jaringan paru-paru dan pembentukan rongga yang


berisi sel-sel mati atau cairan akibat infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada
jaringan paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus)
dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih. 1
Abses

paru

dapat

diklasifikasikan

berdasarkan

perlangsungan

dan

penyebabnya. Berdasarkan perlangsungannya abses paru diklasifikasikan menjadi


akut dan kronik. Disebut akut

apabila perlangsungannya terjadi dalam waktu

minggu.Abses disebut kronik apabila perlangsungannya terjadi dalam waktu > 4-6
minggu.Sedangkan menurut penyebabnya abses paru dibagi menjadi abses primer
dan

sekunder.

Abses

primer

muncul karena nekrosis jaringan paru (akibat

pnumonitis, infeksi dan neoplasma) ataupun pneumonia pada orang normal. Disebut
abses sekunder

apabila disebabkan kondisi sebelumnya seperti septik emboli

(misalnya endokarditis sisi kanan), obstruksi bronkus (misalnya aspirasi benda asing),
bronkiektasis ataupun pada kasus imunokompromis. 2
Abses paru biasanya terjadi pada umur tua karena terdapat peningkatan
insiden penyakit periodontal dan peningkatan prevalensi aspirasi. Kemajuan ilmu
kedokteran saat ini menyebabkan kejadian abses paru menurun (jarang ditemukan)
karena adanya perbaikan resiko terjadinya abses paru seperti teknik operasi dan
anastesi yang lebih baik dan penggunaan antibiotic lebih dini, kecuali pada kondisikondisi

yang

memudahkan

terjadinya

aspirasi

dan pada

populasi

dengan immunocompromised. Karena angka harapan hidup yang lebih baik pada
pasien HIV maka pada tahun-tahun belakangan ini kasus abses paru tampak
mengalami peningkatan lagi. Kelainan ini jarang dijumpai dan terutama terjadi
pada manula sehingga maka dari itu penulis mencoba membahas mengenai kasus
abses paru yang terdapat di salah satu Rumah Sakit di Kota Palu, Sulawesi Tengah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Paru
2.1.1 Paru
Paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m2 untuk
pertukaran udara. Tiap paru memiliki: apeks yang mencapai ujung sternal kosta
pertama, permukaan costovertebral yang melapisi dinding dada, basis yang terletak di
atas diafragma dan permukaan mediastinal yang menempel dan membentuk struktur
mediastinal di sebelahnya.3
Setelah melalui saluran hidung dan faring, temoat udara pernapasan
dihangatkan dan dilembapkan oleh uap air, udara inspirasi berjalan menuruni trakea,
melalui bronkiolus, bronkhiolus respiratorius dan ductus alveolaris sampai ke
alveolus.4
Antara trakea dan kantong alveolar terdapat 23 kali percabangan saluran
udara. 16 percabangan pertama saluran udara merupakan zona konduksi menyalurkan
udara dari dan ke lingkungan luar. Bagian ini terdiri atas bronkus, bronkhiolus dan
bronkhiolus terminalis. 7 percabngan berikutnya merupakan zona peralihan dan zona
respirasi, tempat terjadinya pertukaran gas, dan terdiri dari bronkhiolus respiratorius,
ductus alveolaris, dan alveolus. Adanya percabangan saluran udara yang majemuk ini
sangat meningkatkan luas total penampang melintang saluran udara, dari 2,5 cm 2 di

trakea, menjadi 11.800 cm2 di alveoli. Akibatnya kecepatan aliran udara di dalam
saluran udara kecil berkurang ke nilai yang sangat rendah. 4
Tiap alveolus dikelilingi oleh pembuluh kapiler paru. Di sebagian besar
daerah, udara dan darah dipisahkan hanya oleh epitel alveolus dan ondetol kapiler
sehingga keduanya hanya terpisah sejauh 0,5 mikro meter. Manusia memiliki 300 juta
alveolus, dan luas permukaan total dinding alveolus yang berhubungan dengan
kapiler dikedua paru adalah sekitar 70 m2. 4
Tiap alveolus dilapisi oleh 2 jenis sel epitel. Sel tipe I merupakan sel gepeng
yang memiliki perluasan sitoplasma yang besar dan merupakan sel pelapis utama. Sel
tipe II (pneumosit granular) lebih tebal dan mengandung banyak badan inklusi
lamelar. Mungkin terdapat pula sel epitel jenis khusus lainnya, dan paru juga
memiliki makrofag alveolus paru (PAMs = Pulmonari Alveolar Makrophages),
limfosit, sel plasma, dan sel mast. Sel mast mengandung heparin, berbagai lipid,
histamin dan berbagai protease yang ikut ambil bagian dalam reaksi alergi. 4

Gambar 1. Anatomi paru kanan dan kiri dilihat dari medial


4

2.1.2 Otot Pernapasan


Gerakan diafragma menyebabkan perubahan volume intratoraks sebesar 75%
selama inspirasi tenang.Otot diafragma melekat di sekeliling bagian dasar rongga
toraks, yang membentuk kubah diatas hepar dan bergerak ke arah bawah seperti
piston pada saat berkontraksi. Jarak pergerakan diafragma berkisar antara 1,5 cm
sampai 7 cm saat inspirasi dalam. 5
Sebelum inspirasi dimulai, otot-otot pernapasan berada dalam keadaan lemas,
tidak ada udara yang mengalir dan tekanan intra-alveolus setara dengan tekanan
atmosfer. Otot inspirasi utama otot yang berkontraksi untuk melakukan inspirasi
sewaktu bernapas tenang adalah diafragma dan otot interkostal eksternal. 5
Otot inspirasi utama adalah diafragma suatu lembaran otot rangka yang
membentuk lantai rongga thoraks dan disarafi oleh saraf frenikus. Diafragma dalam
keadaan melemas berbentuk kubah yang menonjol keatas ke dalam rongga thoraks.
Ketika berkontraksi diafragma turun dan memperbesar volume rongga thoraks
dengan meningkatkan ukuran vertikal. Dinding abdomen, jika melemas, menonjol
keluar sewaktu inspirasi karena diafragma yang turun menekan isi abdomen ke bawah
dan ke depan. 75% pembesaran rongga thoraks sewaktu bernapas tenang dilakukan
oleh kontraksi diafragma. 5

Inspirasi dalam (lebih banyak udara dihirup) dapat dilakukan dengan


mengontraksikan diafragma dan otot interkostal eksternal secara lebih kuat dengan
mengaktifkan otot inspirasi tambahan (aksesorius) untuk semakin memperbesar
rongga thoraks. Kontraksi otot-otot tambahan ini yang terletak di leher, mengangkat
sternum dan dua iga pertama, memperbesar bagian atas rongga thoraks. Dengan
semakin membesarnya volume rongga thoraks dibandingkan dengan keadaan istirahat
maka paru juga semakin mengembang, menyebabkan tekanan intra-alveolus semakin
turun. Akibatnya, terjadi peningkatan aliran masuk udara sebelum tercapai
keseimbangan dengan tekanan atmosfer yaitu tercapai pernapasan yang lebih dalam. 5
Selama pernapasan tenang, ekspirasi normalnya merupakan suatu proses
pasif, karena dicapai oleh recoil elastik paru ketika otot-otot inspirasi melemas, tanpa
memerlukan kontraksi otot atau pengeluaran energi. Sebaliknya, inpirasi selalu aktif
karena ditimbulkan hanya oleh kontraksi otot inspirasi dengan menggunakan energi.
Untuk menghasilkan ekspirasi paksa atau aktif, otot-otot ekspirasi harus lebih
berkontraksi untuk mengurangi volume rongga thoraks dan paru. Otot ekspirasi yang
paling penting adalah otot dinding dalam abdomen. Sewaktu otot abdomen
berkontraksi terjadi peningkatan tekanan intra abdomen yang menimbulkan gaya
keatas pada diafragma, mendorongnya semakin keatas kedalam rongga thoraks dari
posisi lemasnya sehingga ukuran vertikal rongga thoraks menjadi semakin kecil. 5
Otot ekspirasi lain adalah otot interkostalis internal yang kontraksinya
menarik iga turun dan masuk, mendatarkan dinding dada dan semakin mengurangi
6

ukuran rongga thoraks, tindakan ini berlawanan dengan otot interkostal eksternal.
Semakin ekspirasi paksa, tekanan intrapleura melebihi tekanan atmosfer tetapi paru
tidak kolaps. Karena tekanan intra-alveolus juga meningkat setara maka tetap terdapat
gradien tekanan transmural menembus dinding paru sehingga paru tetap teregang dan
mengisi rongga thoraks. Sebagai contoh, jika tekanan didalam thoraks meningkat 10
mmHg, maka tekanan intrapleura menjadi 766 mmHg dan tekanan intra-alveolus
menjadi 770 mmHg tetap terdapat perbedaan tekanan 4 mmHg. 5

Gambar 2. Otot-otot pernapasan dinding dada

2.2 Mekanisme Pernapasan


2.2.1 Inspirasi dan Ekspirasi
Paru dan dinding dada merupakan struktur yang elastis. Pada keadaan normal,
hanya ditemukan selapis tipis cairan diantara paru dan dinding dada (ruang
intrapleura). Paru dengan mudah dapat bergeser sepanjang dinding dada, namun
sukar untuk dipisahkan dari dinding dada seperti halnya 2 lempeng kaca basah yang
dapat digeser namun tidak dapat dipisahkan. Tekanan didalam ruang antara paru dan
dinding dada (tekanan intrapleura) bersifat subatmosferik. Pada saat lahir, jaringan
paru

mengembang

sehingga

teregang,

dan

pada

akhir

ekspirasi

tenang,

kecenderungan daya recoil jaringan paru untuk menjauhi dinding dada diimbangi
oleh daya recoil dinding dada ke arah yang berlawanan. Jika dindinga dada dibuka,
paru akan colaps; dan bila kehilangan elastisitasnya, dada akan mengembang (barrel
shaped). 4
Inspirasi merupakan proses aktif. Kontraksi otot inspirasi akan meningkatkan
volume intra thoraks. Tekanan intrapleura dibagian basis paru akan turun dari nilai
normal sekitar -2,5 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) pada awal inspirasi,
menjadi -6 mmHg. Jaringan paru akan semakin teregang. Tekanan didalam saluran
udara menjadi sedikit lebih negatif, dan udara mengalir kedalam paru. Pada akhir
inspirasi, daya recoil paru mulai menarik dinding dada kembali ke kedudukan
ekspirasi, sampai tercapai keseimbangan kembali antara daya recoil jaringan paru dan
dinding dada. Tekanan di saluran udara menjadi sedikit lebih positif, dan udara
8

mengalir meningggalkan paru. Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan


proses pasif yang tidak memerlukan kontraksi otot untuk menurunkan volume intra
thoraks. Namun, pada awal ekspirasi, sedikit kontraksi otot inspirasi masih terjadi.
Kontraksi ini berfungsi sebagai peredam daya recoil paru dan memperlambat
ekspirasi. 4
Pada inspirasi kuat, tekanan intrapleura menurun menjadi -30mmHg sehingga
pengembangan jaringan paru menjadi lebih besar. Bila ventilasi meningkat, derahad
pengempisan jaringan paru juga ditingkatkan oleh kontraksi aktif otot ekspirasi yang
menurunkan volume intra thoraks. 4
Pada inspirasi kuat, tekanan intrapleura turun menjadi -30 mmHg sehingga
pengembangan jaringan paru menjadi lebih besar. Bila ventilasi meningkat, derajat
pengempisan jaringan paru juga ditingkatkan oleh kontraksi aktif otot ekspirasi yang
menurunkan volume intratoraks. 4
2.2.2 Volume dan Kapasitas Paru
Volume paru dan kapasitas paru merupakan gambaran fungsi ventilasi sistem
pernapasan.Dengan mengetahui besarnya volume dan kapasitas fungsi paru dapat
diketahui besarnya kapasitas ventilasi maupun ada tidaknya kelainan fungsi paru.
a. Volume Paru

Empat macam volume paru tersebut jika semuanya dijumlahkan, sama dengan
volume maksimal paru yang mengembang atau disebut juga total lung
capacity, masing-masing volume tersebut adalah sebagai berikut : 5
1. Volume tidal merupakan jumlah udara yang masuk ke dalam paru setiap
kali inspirasi atau ekspirasi pada setiap pernapasan normal. Nilai rerata
pada kondisi istirahat = 500 ml.
2.

Volume cadangan inspirasi merupakan jumlah udara yang masih dapat


masuk ke dalam paru pada inspirasi maksimal setelah inspirasi biasa dan
diatas volume tidal, digunakan pada saat aktivitas fisik. Volume cadangan
inspirasi dicapai dengan kontraksi maksimal diafragma, musculus
intercostalis eksternus dan otot inspirasi tambahan. Nilai rerata = 3000 ml.

3. Volume cadangan ekspirasi merupakan jumlah udara yang dapat


dikeluarkan secara aktif dari dalam paru melalui kontraksi otot ekspirasi
secara maksimal, setelah ekspirasi biasa. Nilai rerata = 1000 ml.
4. Volume residual merupakan udara yang masih tertinggal di dalam paru
setelah ekspirasi maksimal. Volume ini tidak dapat diukur secara langsung
menggunakan spirometri. Namun, volume ini dapat diukur secara tidak
langsung melalui teknik pengenceran gas yang melibatkan inspirasi
sejumlah gas tertentu yang tidak berbahaya seperti helium. Nilai rerata =
1200 ml.
b. Kapasitas Paru
10

Kapasitas paru merupakan jumlah oksigen yang dapat dimasukkan ke dalam


paru seseorang secara maksimal. Jumlah oksigen yang dapat dimasukkan ke
dalam paru akan ditentukan oleh kemampuan compliance sistem pernapasan.
Semakin baik kerja sistem pernapasan berarti volume oksigen yang diperoleh
semakin banyak. 5
1. Kapasitas vital yaitu jumlah udara terbesar yang dapat dikeluarkan dari
paru dalam satu kali bernapas setelah inspirasi maksimal. Kapasitas vital
mencerminkan perubahan volume maksimal yang dapat terjadi di paru.
Kapasitas vital merupakan hasil penjumlahan volume tidal dengan volume
cadangan inspirasi dan volume cadangan ekspirasi. Nilai rerata = 4500 ml.
2. Kapasitas inspirasi yaitu volume udara maksimal yang dapat dihirup pada
akhir ekspirasi biasa. Kapasitas inspirasi merupakan penjumlahan volume
tidal dengan volume cadangan inspirasi. Nilai rerata = 3500 ml.
3. Kapasitas residual fungsional yaitu jumlah udara di paru pada akhir
ekspirasi pasif normal. Kapasitas residual fungsional merupakan
penjumlahan dari volume cadangan ekspirasi dengan volume residual.
Nilai rerata = 2200 ml.
4. Kapasitas total paru yaitu jumlah udara dalam paru sesudah inspirasi
maksimal. Kapasitas total paru merupakan penjumlahan dari keseluruhan

11

empat volume paru atau penjumalahan dari kapasitas vital dengan volume
residual. Nilai rerata = 5700 ml.

Gambar 3.Diagram yang memperlihatkan peristiwa pernapasan selama


bernapas normal, inspirasi maksimal dan ekspirasi maksimal.
2.3 Abses Paru
2.3.1 Definisi
Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru
yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam
parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Abses paru harus dibedakan dengan kavitas
pada pasien tuberkulosis paru. Abses paru lebih sering terjadi pada laki-laki
dibnading perempuan dan umumnya terjadi pada umur tua karena terdapat peningkata
insidens penyakit periodontal dan peningkatan prevalensi aspirasi. 3

12

2.3.2 Etiologi
Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme yaitu :
a. Kelompok bakteri anaerob, biasanya diakibatkan oleh pneumonia aspirasi.
- Bacteriodes melaninogenus
- Bacteriodes fragilis
- Peptostreptococcus species
- Bacillus intermedius
- Fusobacterium nucleatum
b. Kelompok bakteri aerob
- Gram positif :staphylococcus aureus, streptococcus microaerophilic,
-

streptococcus pyogenes, streptococcus pneumonia.


Gram negatif : klebsiella pneumoniae, pseudomonas aeruginosa,
escherichia coli, haemophilus influenza, actinomyces species, nocardia

species, gram negati fbacilli. 6


c. Jamur : mucoraceae, aspergillus species
Studi yang dilakukan Barlett et al mendapatkan 46% abses paru disebabkan
hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri anaerob dan aerob.7

2.3.3. Epidemiologi

13

Kebanyakan pasien dengan abses paru primer dapat sembuh dengan


antibiotik, dengan tingkat kesembuhan rata-rata sebanyak 90-95%. Faktor
host yang menyebabkan prognosis memburuk antara lain usia lanjut,
kekurangan

tenaga,

malnutrisi,

infeksi

HIV

atau

bentuk

lain

imunosupresi, keganasan, dan durasi gejala lebih dari 8 minggu. Tingkat


kematian

untuk

pasien

dengan

status

imunokompromis

mendasar

atau obstruksi bronkial yang kemudian membentuk abses paru dapat mencapai
75%.Organisme aerobik, yang biasanya didapat di rumah sakit, juga dapat
menghasilkan prognosa yang buruk. Sebuah studi retrospektif melaporkan
tingkat kematian abses paru yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan
gram negatif digabungkan adalah sekitar 20%. 7
a. Jenis kelamin
Laki-laki mempunyai prevalensi yang dominan dalam kejadian abses
paru yang dilaporkan dalam beberapa seri kasus yang sudah dipublikasikan.
b. Umur
Abses paru pada umumnya terjadi pada pasien usia lanjut dikarenakan
meningkatnya penyakit periodontal dan peningkatkan prevalensi disfagi dan
aspirasi pada usia ini. Namun, serangkaian kasus dari warga yang tinggal
dipusat perkotaan dengan prevalensi alkoholisme tinggi melaporkan usia ratarata yang mengalami abses paru adalah 41 tahun. Orang-orang tua, orang-

14

orang dengan immunocompromise, malnutrisi, debilitated dan khususnya


orang-orang

yang

tidak

pernah

mendapatkan antibiotik adalah orang-

orang yang paling rentan dan memiliki prognosis yang paling buruk 7
2.3.4

Patofisiologi
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara yaitu aspirasi dan
hematogen. Yang paling sering dijumpai adalah kelompok abses paru
bronkogenik yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor
dan striktur bronkial. Keadaan ini menyebabkan obstruksi bronkus dan
terbawanya organisme virulen yang akan menyebabkan terjadinya infeksi
pada daerah distal obstruksi tersebut. Abses jenis ini banyak terjadi pada
pasien bronchitis kronik karena banyaknya mukus pada saluran napas
bawahnya yang merupakan kultur medis yang sangat baik bagi organisme
yang teraspirasi. Pada perokok usia lanjut keganasan bronkogenik bisa
merupakan dasar untuk terjadinya abses paru. 7
Secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septikemi
atau sebagai fenomena septik emboli sekunder dari fokus infeksi dari bagian
lain tubuh. Penyebaran hematogen ini umumnya akan berbentuk abses
multipel dan biasanya disebabkan oleh staphylococcus. Penanganan abses
multipel adalah lebih sulit daripada abses single walaupun ukurannya besar.
Secara umum diameter abses paru bervariasi dari beberapa milimeter sampai
dengan 5cm atau lebih. 7
Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia
yang terjadi pada orang normal sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi
15

pada orang yang sebelumnya sudah mempunyai kondisis seperti obstruksi,


bronchiektasis, dan gangguan imunitas. 7
Selain itu abses paru dapat terjadi akibat necrotizing pneumonia yang
menyebabkan terjadinya nekrosis dan pencairan pada daerah yang mengalami
konsolidasi,

dengan

organisme

penyebabnya

paling

sering

ialah

Staphylococcus Aureus, Klebsiella Pneumonia dan grup Pseudomonas. Abses


yang terjadi biasanya multipel dan berukuran kecil-kecil (<2 cm). 7
Bulla atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru.
Kista bronkogenik yang berisi cairan dan elemen sekresi epitel merupakan
media kultur untuk tumbuhnya mikroorganisme. Bila kista tersebut
mengalami infeksi oleh mikroorganisme yang virulens maka akan terjadilah
abses paru. 7
Abses hepar bakterial atau amubik bisa mengalami ruptur dan
menembus diafragma yang akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah
paru kanan dan rongga pleura. Abses paru biasanya satu (single), tapi bisa
multipel yang biasanya unilateral pada satu paru, yang terjadi pada pasien
dengan keadaan umum yang jelek atau pasien yang mengalami penyakit
menahun seperti malnutrisi, sirosis hati, gangguan imunologis yang
menyebabkan daya tahan tubuh menurun, atau penggunaan sitostatika. Abses
akibat aspirasi paling sering terjadi pada segmen posterior lobus atas dan
segmen apikal lobus bawah, dan sering terjadi pada paru kanan, karena
bronkus utama kanan lebih lurus dibanding kiri. 7
Abses bisa mengalami ruptur kedalam bronkus, dengan isinya
diekspektorasikan keluar dengan meninggalkan kavitas yang berisi air dan
16

udara. Kadang-kadang abses ruptur ke rongga pleura sehingga terjadi


2.3.5

empiema yang bisa diikuti dengan terjadinya fistula bronkopleura. 7


Manifestasi Klinis
Onset penyakit bisa berjalan lambat atau mendadak/akut.Disebut abses
akut bila terjadinya kurang dari 4-6 minggu. Umumnya pasien mempunyai
riwayat perjalanan penyakit 1-3 minggu dengan gejala awal adalah badan
terasa lemah, tidak nafsu makan, penurunan berat badan, batuk kering,
keringat malam, demam intermitten bisa disertai menggigil dengan suhu
tubuh mencapai 39,4 derajat celcius atau lebih. Tidak ada demam tidak
menyingkirkan adanya abses paru.Setelah beberapa hari dahak bisa menjadi
purulen dan bisa mengandung darah. 7
Kadang-kadang kita belum curiga adanya abses paru sampai dengan
abses tersebut menembus bronkus dan mengeluarkan banyak sputum dalam
beberapa jam sampai dengan beberapa hari yang bisa mengandung jaringan
paru yang mengalami gangren. Sputum yang berbau amis dan berwarna
anchovy menunjukkan penyebabnya bakteri anaerob dan disebut dengan
putrid abscesses, tetapi tidak didapatkannya sputum dengan ciri diatas tidak
menyingkirkan kemungkinan infeksi anaerob. Bila terdapat nyeri dada
menunjukkan keterlibatan pleura. Batuk darah bisa dijumpai, biasanya ringan
tapi ada yang massif 7
Pada beberapa kasus penyakit berjalan sangat akut

dengan

mengeluarkan sputum yang berjumlah banyak dengan lokasi abses biasanya di


segmen apikal lobus atas. Seringkali ditemukan adanya faktor predisposisi
seperti disebutkan diatas. Sedangkan abses paru sekunder seperti yang
17

disebabkan oleh septic emboli paru dengan infark, abses sudah bisa timbul
hanya dalam waktu 2-3 hari 7
Pemeriksaan fisis yang ditemukan adalah suhu badan meningkat
sampai 40 derajat celcius, pada paru ditemukan kelainan seperti nyeri tekan
lokal, pada daerah terbatas perkusi terdengar redup dengan suara nafas
bronchial.Bila abses luas dan letaknya dekat dengan dinding dada kadangkadang terdengar suara amforik.Suara napas bronchial atau amforik terjadi
bila kavitasnya besar dan karena bronkus masih tetap dalam keadaan terbuka
disertai dengan adanya konsolidasi sekitar abses dan drainase abses yang baik.
Biasanya juga akan terdengan suara ronchi 7
Bila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks
(empiema torakis) sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan
dinding dada tertinggal pada tempat lesi, vocal fremitus menghilang, perkusi
redup atau pekak, bunyi nafas menghilang dan terdapat tanda-tanda
pendorongan
2.3.6

mediastinum

terutama

pendorongan

jantung

ke

arah

kontralateral tempat lesi. 7


Gambaran Laboratoris
Hitung leukosit umumnya tinggi berkisar 10.000-30.000/mm3 dengan
hitung jenis bergeser ke kiri dan sel polimorfonuklear yang banyak terutama
neutrofil yang immatur.Bila abses berlangsung lama sering ditemukan adanya
anemia. Pemeriksaan dahak dapat membantu dalam menemukan organisme
penyebab abses, namun dahak tersebut hendaknya diperoleh dari aspirasi
trantracheal, transtorakal atau bilasan/sikatan bronkus, karena dahak yang

18

dibatukkan akan terkontaminasi dengan organisme anaerobik normal pada


rongga mulut dan saluran napas atas 7
Prosedur invasif ini tidak biasa dilakukan, kecuali bila respons
terhadap antibiotik tidak adekuat. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dari
dahak

adalah

pewarnaan

langsung

dengan

teknik

gram,

biakan

mikroorganisme aerob, anaerob, jamur, basil mikobakterium tuberkulosis dan


mikobakterium lain. Dahak bisa mengandung spirochaeta, fusiform bacilli
atau sejumlah besar bakteri baik yang patogen maupun flora manusia seperti
Streptococcus viridans.Clostridium dapat ditemukan dari aspirasi transtrakeal.
Kultur darah dapat membantu menemukan etiologi, sedangkan pemeriksaan
2.3.7

serologi juga dapat dilakukan untuk jamur dan parasit. 7


Gambaran Radiologi
Foto dada PA dan lateral sangat membantu dalam melihat lokasi lesi
dan bentuk abses paru. Pada hari pertama penyakit, foto dada hanya
menunjukkan gambaran opak dari satu atau lebih segmen paru, atau hanya
berupa gambaran densitas homogen yang berbentuk bulat. Kemudian akan
ditemukan gambaran radiolusence dalam bayangan infiltrat yang padat.
Selanjutnya bila abses tersebut mengalami ruptur sehingga terjadi drainase
abses yang tidak sempurna kedalam bronkus, maka baru akan tampak kavitas
ireguler dengan batas cairan dan permukaan udara didalamnya. Gambaran
spesifik ini tampak dengan mudah bila kita melakukan foto dada PA dengan
posisi berdiri 7
Khas pada abses paru anaerobik kavitasnya single (soliter) yang
biasanya ditemukan pada infeksi baru primer, sedangkan abses paru sekunder
19

(aerobik, nokomial atau hematogen) lesinya bisa multipel. Sepertiga kasus


abses paru bisa disertai empiema. Empiema yang terlokalisir dan disertai
fistula bronkopleura akan sulit dibedakan dengan gambaran abses paru. Untuk
suatu gambaran abses paru simple, noduler dan disertai limfadenopati hilus
maka harus dipikirkan sebabnya adalah suatu keganasan paru. 7

Gambar 4.Gambaran kavitas disertai air fluid level pada abses


paru.Foto diambil dalam posisi lateral (kiri) dan PA (kanan)
CT-scan bisa menunjukkan tempat lesi yang menyebabkan obstruksi
endobronkial, dan gambaran abses tampak seperti massa bulat dalam paru
dengan kavitasi sentral. CT scan juga bisa menunjukkan lokasi abses berada
dalam parenkim paru yang membedakannya dari empyema.3
Lesi-lesi yang bisa menyebabkan abses paru bakterial meliputi
karsinoma bronkigenik dengan kavitas, bronkiektasis, empiema sekunder dari
fistula bronkopleura, tuberkulosis paru, bulla yang mengalami infeksi, nodul
silikat dengan sianosis sentral, abses hepar akibat amuba. Pemeriksaan
diagnostik secara seksama seperti yang disebutkan diatas harus dilakukan
untuk membedakannya dari abses biasa . 8

20

Gambar 5.Gambaran CT-Scan terdapat konsolidasi di lobus medius inferior


kanan, bagian dorsal tampak kavitas dengan air fluid level didalamnya.Lobus
superior kanan dan paru-paru kiri dalam batas normal.
2.3.8

Diagnosis
Diagnosis abses paru ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisis dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menyingkirikan
diagnosis banding yang lain dengan gejala yang hampir menyerupai abses
paru.
-

Keluhan penderita yang khas seperti malaise, demam ringan sampai


demam tinggi, batuk purulen dan penurunan berat badan.

Pemeriksaan laboratorium dimana terdapat peningkatan jumlah leukosit


yang umumnya mencapai 10.000-30.000/mm3. Anemia dapat ditemukan
pada abses lama 7

21

2.3.9

Komplikasi
Komplikasi lokal meliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi lewat
bronkus atau penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya. Abses paru
yang drainasenya kurang baik, bisa mengalami ruptur ke segmen lain dengan
kecenderungan penyebaran infeksi staphylococcus, sedangkan yang ruptur ke
rongga pleura menjadi piotoraks (empiema). Komplikasi sering lainnya
berupa abses otak, hemoptisis masif, ruptur pleura viseralis sehingga terjadi
piopneumotoraks dan fistula bronkopleura. Abses paru yang resisten (kronik),
yaitu yang resisten dengan pengobatan selama 6 minggu, akan menyebabkan
kerusakan paru yang permanen dan mungkin akan menyisakan suatu
bronkiektasis dan amiloidosis. Abses paru kronik bisa menyebabkan anemia,
malnutrisi, ganggguan cairan dan elektrolit serta gagal jantung terutama pada
manula 7

2.3.10 Pengobatan
Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi
secepatnya dari patogen penyebab dengan pengobatan yang cukup, drainase
yang adekuat dari empiema dan pencegahan komplikasi yang terjadi.
Pasien abses paru memerlukan istirahat yang cukup. Bila abses
paru pada foto dada menunjukkan diameter 4 cm atau lebih sebaiknya pasien
dirawat inap. Posisi berbaring pasien hendaknya miring dengan paru yang

22

terkena abses berada diatas supaya gravitasi drainase lebih baik. Bila segmen
superior lobus bawah yang terkena, maka hendaknya bagian atas tubuh
pasien/kepala berada di bagian terbawah. Diet biasanya bubur biasa dengan
tinggi kalori tinggi protein. Bila abses telah mengalami resolusi dapat
diberikan nasi biasa7
Penyembuhan sempurna abses paru tergantung dari pengobatan
antibiotik yang adekuat dan diberikan sedini mungkin segera setelah sampel
dahak dan darah diambil untuk kultur dan tes sensitivitas. Kebanyakan kasus
abses paru yang disebabkan bakteri anaerob kumannya tidak dapat ditentukan
dengan pasti, sehingga pengobatan diberikan secara empirik. Kebanyakan
pasien mengalami perbaikan hanya dengan antibiotik dan postural drainage,
sedangkan kira-kira 10% harus dilakukan tindakan operatif.7
Antibiotik

yang

paling

baik

adalah

clindamicyn

karena

mempunyai spektrum yang lebih baik pada bakteri anaerob. Clindamicyn


diberikan mula-mula dengan dosis 3 x 600 mg intravena, kemudian 4 x 300
mg oral/hari, regimen alternatif adalah penisilin G 2-10 juta unit/hari, ada
yang memberikan sampai dengan 25 juta unit atau lebih/hari dikombinasikan
dengan streptomisin, kemudian dilanjutkan dengan penisilin oral 4 x 500-750
mg/hari. Antibiotik parenteral diganti ke oral bila pasien tidak panas lagi dan
sudah merasa baikan. Kombinasi penisilin 12-18 juta unit/hari dan
metronidazol 2 gram/hari dengan dosis terbagi (untuk penyebab bakteri
23

anaerob) yang diberikan selama 10 hari dikatakan sama efektifnya dengan


klindamisin, walaupun begitu harus diingat bahwa bakteri anaerob seperti
Pretovella, Bakterioides Spp dan Fusobacterium karena memproduksi betalaktamase, resisten terhadap penisilin. Kombinasi beta-laktam dan betalaktamase inhibitor seperti tikarkilin klavulanat, amoksisilin + asam
klavulanat atau piperasilin + tazobaktam juga aktif terhadap kebanyakan
bakteri anaerob dan pada kebanyakan strain basil gram negatif.7
Dosis pengobatan tunggal metronidazol diberikan dengan dosis
15 mg/kgBB intravena dalam waktu lebih dari 1 jam, kemudian diikuti 6 jam
kemudian dengan infus 7,5 mg/kgBB 3-4 kali/hari, tetapi pengobatan tunggal
dengan metronidazole ini tidak dianjurkan karena beberapa anaerobic cocci
dan kebanyakan microaerophilic streptococci sudah resisten. Pengobatan
terhadap penyebab patogen aerobik kebanyakan dipakai klindamisin

penisilin atau klindamisin + sefalosporin.7


Kemudian

antibiotik

diberikan

sesuai

dengan

hasil

tes

sensivitas.Abses paru yang disebabkan staphylococcus harus diobati dengan


penicillinase-resistant penicilin atau cefalosporin generasi pertama, sedangkan
untuk staphylococcus aureus seperti yang disebabkan oleh emboli paru septik
nosokomial pilihannya adalah vankomisin.Abses paru yang disebabkan
nocardia pilihannya adalah sulfonamid 3 x 1 gram oral.Abses paru amubik
diberikan metronidazol 3 x 750 mg, sedangkan bila penyakitnya serius seperti
24

terjadi ruptur dari abses harus ditambahkan emetin parenteral pada 5 hari
pertama.7
Antibiotik diberikan sampai dengan pneumonitis telah mengalami
resolusi dan kavitasnya hilang, tinggal berupa lesi yang kecil dan stabil dalam
waktu lebih dari 2-3 minggu.Resolusi sempurna biasanya membutuhkan
waktu pengobatan 6-10 minggu dengan pemberian antibiotik oral sebagai
pasien rawat jalan.Pemberian antibiotik yang kurang dari waktu ini sering
menyebabkan kekambuhan dengan melibatkan organisme yang resisten
terhadap antibiotik yang diberikan sebelumnya.7
Tindakan operasi diperlukan pada kurang dari 10-20% kasus.
Indikasi operasi adalah :
-

Abses paru yang tidak mengalami perbaikan

Komplikasi : empiema, hemoptisis masif, fistula bronkopleura

Pengobatan

penyakit

yang

mendasari

karsinoma

obstruksi

primer/metastasis, pengeluaran benda asing, bronkiektasis, gangguan


mutulitas gastroesofageal, malformasi atau kelainan kongenital.
Lobektomi merupakan prosedur paling sering, sedangkan reseksi
segmental biasanya cukup untuk lesi-lesi yang kecil.Pneumoektomi
diperlukan terhadap abses multipel atau gangren paru yang refrakter

25

terhadap penanganan dengan obat-obatan.Angka mortalitas setelah


pneumoektomi mencapai 5-10%.7
Pasien dengan resiko tinggi untuk operasi maka untuk sementara
dapat dilakukan drainase per kutan via kateter secara hati-hati untuk
mencegah kebocoran isi abses kedalam rongga pleura.
2.3.11 Prognosis
Prognosis abses paru tergantung dari keadaan umum pasien, letak
abses serta luasnya kerusakan paru yang terjadi, dan respons pengobatan yang
kita berikan.
Faktor-faktor yang membuat prognosis menjadi jelek adalah
kavitas yang besar (lebih dari 6 cm), penyakit dasar yang berat, multiple
abses, status imunocompromised, umur yang sangat tua, empiema, nekrosis
paru yang progresif, lesi yang obstruktif, abses yang disebabkan bakteri
aerobik (termasuk Staphylococcus Aureus dan basil gram negatif), dan abses
paru yang belum mendapat pengobatan dalam jangka waktu yang lama.
Angka mortalitas pada pasien-pasien ini bisa mencapai 75% dan bila sembuh
maka angka kekambuhannya tinggi.9
Kebanyakan pasien dengan abses paru primer dengan pengobatan
antibiotik tingkat kesembuhan mencapai sekitar 90-95 % .10

26

BAB III
LAPORAN KASUS
Tanggal Pemeriksaan : 23 Maret 2016
Jam

: 12.20 WITA

Ruangan

: Pav. Wallet Bawah RSU Anutapura

27

IDENTITAS
Pasien
Nama

: Ny. R

Jenis Kelamin : Perempuan


Umur

: 42 Tahun

Alamat

: Desa Lembasada

Agama

: Islam

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Batuk berlendir
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk dengan keluhan batuk disertai lendir berwarna kuning kehijauan
berbau amis sejak kurang lebih 1 minggu sebelum masuk RS. Batuk dialami
sepanjang waktu.Pasien juga merasakan sesak sejak kurang lebih 1 minggu yang lalu,
sesak yang dirasakan tidak dipengaruhi oleh aktivitas.Pasien menyangkal sesak saat
berjalan, terbangun dimalam haru karena sesak, maupun tidur dengan lebih 1 bantal.
Pasien juga merasakan demam sejak 1 minggu yang lalu, demam terus
menerus, menggigil (-), mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun sehingga berat
badan pasien dirasakan berkurang.Pasien juga mengeluh nyeri dada sebelah kanan
seperti ditusuk-tusuk tidak tembus belakang.
2 minggu sebelum masuk RS pasien mengaku mengalami BAB cair lebih dari
5 kali sehari dan terdapat ampas tanpa disertai lendir maupun darah.
Pasien belum pernah menjalani pengobatan sebelumnya, pasien juga
menyangkal pernah meminum obat paru selama 6 bulan atau buang air kecil
berwarna merah ketika meminum obat.

28

Riwayat Penyakit Dahulu

: Hipertensi (+), Asma (-), DM (-)

Riwayat Alergi

: Tidak ada.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga

: Tidak ada yang mengalami hal serupa.

PEMERIKSAAN FISIK
KU

: Sakit Sedang

Tekanan Darah : 150/90 mmHg

Kesadaran

: Compos Mentis

Nadi

: 74 kali/menit

Respirasi

: 24 kali/menit

Suhu

: 36,8C

BB

: 45 kg

Kepala Leher :

Wajah

: deformitas (-)

Mata

: konjungtiva : anemis + / +

Hidung
Mulut

Leher

sklera
: ikterik - / pupil
: isokor (+)
: epistaksis (-)
: sianosis (-)
lidah kotor (-)
: Bentuk normal, trakea ditengah massa (-) KGB submentalis,

submandibularis, cervikalis anterior, supraklavikularis, retroaurikularis tak


teraba besar.
Thorax :
Inspeksi

: Pergerakan napas simetris, bentuk normochest, massa

Palpasi

: Ekspansi paru simetris, vocal fremitus kanan menurun dibanding kiri.

Perkusi

: Sonor pada kedua paru simetris, batas paru hepar pada SIC VI linea
mid klavikularis dexter.
29

Auskultasi : Bunyi napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-) , wheezing (-/-),


Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

Auskultasi

: Ictus cordis tidak tampak


: Ictus cordis tidak teraba
: Pekak,
- Batas jantung atas kanan SIC II parasternal dextra
- Batas jantung atas kiri SIC II parasternal sinistra
- Batas jantung bawah kanan SIC V parasternal dextra
- Batas jantung bawah kiri SIC VI midclavicula sinistra
:
- BJ I/II murni regular
-

Murmur (-)

- Gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi

: Bentuk datar, mengikuti gerak pernapasan, massa (-)

Auskultasi : Bunyi peristaltik usus (+) kesan normal.


Perkusi

: Timpani

Palpasi

: Nyeri tekan (+) region umbilicus


Hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas :
Atas

: Akral hangat (+), edema (-)

Bawah

: Akral hangat (+), edema (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil laboratorium :
a. Darah Rutin
WBC

: 21,2 x 103/uL

RBC

: 4,45 x 108/uL
30

HGB

: 10,7 g/dL

HCT

: 32,32 %

PLT

: 285 x 103/uL

GDS

135 mg/dL

b. Kimia darah
Ureum

: 25 mg/dl

Kreatinin

: 1,4 mg/dl

c. Sputum

: BTA Negatif

Radiology :
Foto Thorax PA dan Lateral Dekubitus

31

Gambar 5.Tampak konsolidasi di lobus medius dan inferior dengan kavitas


berdinding tebal serta air fluid didalamnya. Pada posisi dekubitus juga tampak air
fluid level.
KESAN : Abses Paru Kanan
FOLLOW UP :
a. 19 Maret 2016
S : Pasien sadar , batuk (+), sesak nafas, demam (+), nyeri ulu hati, BAB
cair > 5 kali.
O : KU

: Lemah

TD

: 130/80 mmHg

Suhu

: 38,9C

Nadi

: 110 x/menit

Respirasi : 26 x/menit
Konsul Penyakit Dalam, advis :
IVFD RL 28 tpm
Paracetamol 3x500 mg
Ambroxol syr 3x1
Ceftriakson 2x1 gr/IV
Injeksi Ranitidin 2x1 amp/IV
Loperamide 2x1
Anjuran : Darah Rutin, Kimia darah, Sputum BTA.
b. 20 Maret 2016
S : Pasien sadar, batuk (+), demam (+), sesak (+)
O : KU

: Lemah

TD

: 140/90

Nadi

: 72 x/menit

Respirasi

: 24 x/menit

32

Suhu

: 37,4C

Konsul Penyakit Dalam, advis :


IVFD RL 28tpm
Paracetamol 3x500 mg
Ambroxol syr 3x1
Captopril 25 mg
Ceftriakson 2x1 gr/IV
Injeksi Ranitidin 2x1 amp/IV
Hasil laboratorium :
- Darah Rutin
WBC

: 21,2 x 103/uL

RBC

: 4,45 x 108/uL

HGB

: 10,7 g/dL

HCT

: 32,32 %

PLT

: 285 x 103/uL

GDS

135 mg/dL

- Kimia darah
Ureum

: 25 mg/dl

Kreatinin

: 1,4 mg/dl

- Sputum : BTA Negatif


Anjuran : Foto Thorax
c. 21 Maret 2016
S : Pasien sadar, batuk (+), demam (+), sesak, nafsu makan menurun.
O : KU

: Lemah

TD

: 130/70

Nadi

: 68 x/menit

Respirasi

: 24 x/menit

Suhu

: 37,9 C

33

Hasil Foto Thorax :

Kesan : Abses Paru Kanan.


Konsul Penyakit Dalam, advis :
IVFD RL 28 tpm
Paracetamol 3x500 mg
Ambroxol syr 3x1
Captopril 25 mg
Curcuma 3x1
Ceftriakson 2x1 gr/IV
Injeksi Ranitidin 2x1 amp/IV
d. 22 Maret 2016
S : Pasien sadar, batuk (+), sesak berkurang, demam menurun, nyeri ulu
hati (+).
O : KU

: Sedang

TD

: 130/80

Nadi

: 68 x/menit

Respirasi

: 22 x/menit

Suhu

: 36,7 C

Konsul Penyakit Dalam, advis :


IVFD RL 28 tpm
34

Paracetamol 3x500 mg Stop


Ambroxol syr 3x1
Captopril 25 mg
Curcuma 3x1
Ceftriakson 2x1 gr/IV
Injeksi Ranitidin 2x1 amp/IV
e. 23 Maret 2016
S : Pasien sadar, batuk berkurang, sesak berkurang, demam menurun,
nyeri ulu hati (+).
O : KU

: Sedang

TD

: 150/90

Nadi

: 74 x/menit

Respirasi

: 24 x/menit

Suhu

: 36,8 C

Konsul Penyakit Dalam, advis :


Terapi lanjut.

Resume :
Pasien masuk dengan keluhan batuk disertai lendir berwarna kuning
kehijauan berbau amis sejak kurang lebih 1 minggu sebelum masuk RS, batuk
dialami sepanjang waktu. Pasien juga merasakan sesak sejak 1 minggu yang
lalu, sesak yang dirasakan tidak dipengaruhi oleh aktivitas. Demam (+) sejak
1 minggu yang lalu, demam terus menerus. Nafsu makan berkurang. Pasien
juga merasakan nyeri dada disebelah kanan, BAB cair lebih dari 5 kali dalam
sehari disertai ampas. Pasien memiliki riwayat hipertensi. Sebelumnya pasien
belum pernah melakukan pengobatan di RS. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan TD 150/90, Nadi 74 kali/menit, Respirasi 24 kali/menit, Suhu
35

36,8C. Anemis +/+, Palpasi thoraks didapatkan hemithoraks dekstra terdapat


fremitus vokal menurun, Palpasi abdomen nyeri tekan epigastrium.
Diagnosis kerja

: Abses Paru Kanan + Hipertensi grade 1

Diagnosis banding

: Tuberkulosis Paru
Emfisema
Bronkietaksis
Pneumonia

Penatalaksanaan :
IVFD RL 28 tpm
Paracetamol 3x500 mg
Injeksi Ranitidin 2x1 amp/IV
Curcuma 3x1
Ceftriakson 2x1 gr/IV
Loperamide 2x1
Captopril 25mg
Prognosis : Dubia ad bonam.

BAB IV
DISKUSI KASUS
Pasien wanita usia 42 tahun dari anamnesis didapatkan keluhan yaitu batuk
berlendir warna kuning kehijauan berbau amis yang disertai dengan sesak napas,
nyeri dada sebelah kanan dan demam.
Pada pengukuran tanda-tanda vital didapatkan TD 150/90 mmHg, nadi 74
kali/menit, respirasi 24 kali/menit, suhu 36,8 C . Pada pemeriksaan fisik
36

didapatkan konjungtiva anemis (+/+), vocal fremitus menurun/melemah dibagian


hemithorax dextra dan nyeri tekan epigastrium.
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil darah rutin leukositosis,
hemoglobin menurun, hematokrit normal, platelet normal dan gula darah sewaktu
normal. Hasil pemeriksaan kimia darah urea dan kreatinin normal. Hasil pemeriksaan
sputum BTA negatif. Sedangkan hasil pemeriksaan foto thorax PA dan lateral
didapatkan kesan abses paru kanan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien
ini didiagnosis dengan abses paru kanan.
Dari anamnesis didapatkan keluhan batuk berlendir warna kuning kehijauan
bau amis, sesak napas, nyeri dada dan demam hal ini telah sesuai dengan teori bahwa
pada pasien abses paru gejala awal adalah badan terasa lemah, tidak nafsu makan,
demam intermitten dengan suhu tubuh mencapai 39,4 C

atau lebih dan batuk

kering dimana setelah beberapa hari akan menjadi batuk berdahak yang bisa menjadi
purulen dan mengandung darah. Batuk merupakan refleks pertahanan tubuh yang
timbul akibat iritasi percabangan trakheobronkhial untuk membersihkan saluran
napas. Adanya sputum yang berlebihan menunjukkan bahwa terdapat gangguan
seperti infeksi pada membran mukosa. Sputum yang berwarna kuning kehijauan
disertai dengan bau amis disebabkan oleh infeksi dan penimbunan nanah. Dimana
warna hijau timbul karena adanya verdoperoksidase yang dihasilkan oleh lekosit
PMN dalam sputum.7
Kadang-kadang kita belum curiga adanya abses paru sampai dengan abses
tersebut menembus bronkus dan mengeluarkan banyak sputum dalam beberapa jam
sampai dengan beberapa hari yang bisa mengandung jaringan paru yang mengalami
gangren. Sputum yang berbau amis dan berwarna anchovy menunjukkan
penyebabnya bakteri anaerob dan disebut dengan putrid abscesses,tetapi tidak
didapatkannya sputum dengan ciri khas ini tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi
anaerob. Nyeri dada pada pasien menunjukkan keterlibatan pleura. Selain itu pasien
37

juga mengalami sesak dimana sesak ini dapat disebabkan oleh adanya pus yang
menumpuk menutupi jalan napas.7
Dari pemeriksaan fisik didapatkan TD 150/90 yang sudah termasuk dalam
Hipertensi Grade 1, Nadi dan Respirasi dalam batas normal, Suhu 36,8 C

dimana

pasien sudah mengalami demam sebelum masuk RS. Pada mata didapatkan
konjungtiva anemis.Hal ini dapat terjadi karena asupan gizi pasien yang kurang,
sehingga zat besi yang berguna dalam pengikatan hemoglobin berkurang.Pada
hemithoraks dekstra terdapat fremitus vokal menurun, hal ini menandakan bahwa
terdapat sesuatu pada paru kanan pasien dimana kemungkinan adanya cairan dan jika
dihubungkan dengan gejala yang dialami pasien yaitu adanya demam dan batuk
berdahak kuning kehijauan menandakan adanya cairan supuratif atau nanah.Dari hal
ini, kita dapat menyingkirkan diagnosis banding lain dan semakin mengarah kepada
adanya suatu abses paru.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan Hb 10,7 g/dL yang
semakin mendukung adanya anemia. Leukosit sebanyak 21.200/ul menunjukkan
adanya infeksi yang mungkin dapat disebabkan oleh bakterihal ini sudah sesuai
dengan teori dimana pada abses paru hitung leukosit umumnya tinggi berkisar
10.000-30.000/mm3 dengan hitung jenis bergeser ke kiri dan sel polimorfonuklear
yang banyak terumata netropil yang immatur.7
Pemeriksaan sputum BTA negatif sehingga dapat menyingkirkan bahwa
penyebabnya adalah kuman TB sehingga pasien positif tidak menderita TB. Pada foto
thoraks PA dan lateral dekubitustampak konsolidasi di lobus medius dan inferior
dengan kavitas berdinding tebal serta air fluid didalamnya hal ini telah sesuai dengan
teori bahwa pada abses paru akan tampak kavitas irregular dengan batas cairan dan
permukaan udara (air fluid level) didalamnya.8
Gambaran spesifik ini tampak dengan mudah bila kita melakukan foto dada
PA dengan posisi berdiri sehingga dari pemeriksaan ini dapat disimpulkan bahwa
pasien menderita abses paru kanan lobus posterior.
38

Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya dari
patogen penyebab dengan penyebab yang cukup, drainase yang adekuat dari empiema
dan pencegahan komplikasi yang terjadi. Terapi non farmakologis berupa diet dengan
nutrisi yang baik yaitu tinggi kalori dan tinggi protein agar proses penyembuhan
dapat menjadi baik. Pada pasien ini tidak dilakukan drainage karena pasien menolak
dengan alasan tidak nyaman, tetapi sebaiknya dianjurkan pada pasien abses paru
dilakukan drainage. Postural drainage pada pasien abses paru dilakukan oleh
fisioterapi. Terdapat berbagai macam cara postural drainage yang sesuai dengan letak
absesnya. Letak abses paru pada pasien ini yaitu di lobus inferior segmen posterior
paru kanan.Sehingga caranya adalah dengan mengatur posisi pasien tidur tengkurap,
dibawah perut diganjal 2-3 bantal dan perut kanan lebih sedikit diganjal. 11

Gambar 6. Postural drainage


Terapi farmakologis berupa cairan intravena yaitu RL 28 tpm. Untuk
pengobatan kausatif diberikan injeksi ceftriakson 2x1 gr/IV, dimana menurut teori
pada pengobatan abses paru antibiotik yang paling baik adalah klindamisin karena
mempunyai spektrum yang lebih baik pada bakteri anaerob.7
Namun pada pasien ini diberikan injeksi ceftriaxone karena pada hari pertama
perawatan belum diketahui dengan pasti diagnosisnya, sehingga antibiotik yang
diberikan adalah antibiotik spektrum luas berupa antibiotik injeksi ceftriaxone.
Ceftriaxone merupakan golongan sefalosporin. Ceftriaxone mempunyai spektrum
39

luas dan waktu paruh eliminasi 8 jam. Ceftriaxone efektif terhadap mikroorganisme
gram positif dan gram negatif.Ceftriaxone juga sangat stabil terhadap enzim beta
laktamase yang dihasilkan oleh bakteri. Pemberian antibiotik ini diteruskan hingga
didapatkan adanya perbaikan pada abses paru kanan. Pada pasien ini, ketika diikuti
perkembangannya ternyata terdapat perbaikan. Keluhan batuk pasien diberikan
antitusif yang dapat berfungsi untuk menghambat atau menekan batuk dengan
menekan pusat batuk, serta

meningkatkan ambang rangsang sehingga akan

mengurangi iritasi. Secara umum berdasarkan tempat kerja obat, antitusif dibagi atas
antitusif yang bekerja di perifer dan antitusif yang bekerja di sentral. Antitusif yang
bekerja di sentral dibagi atas golongan narkotik dan nonnarkotik. Untuk simptomatis
yaitu Paracetamol 3x500 mg untuk demam, Injeksi Ranitidin 2x1 amp/IV untuk
mengurangi nyeri ulu hati. Roboransia atau peningkat daya tahan tubuh yaitu
curcuma 3x1 yang berguna untuk penambah nafsu makan dan loperamide untuk
keluhan buang air besar cair.
Prognosis pasien ini secara vitam adalah bonam. Faktor-faktor yang membuat
prognosis menjadi jelek adalah kavitas yang besar (lebih dari 6 cm), penyakit dasar
yang berat, status immunocomprimised, usia lanjut, abses yang disebabkan bakteri
aerobik (termasuk Staphylococcus auerus dan hasi Gram negatif), dan abses paru
yang belum mendapat pengobatan dalam jangka waktu yang lama. 7
DAFTAR PUSTAKA
1. Jain A, Acute left lung abscess caused by multidrug- resistant

Pseudomonas aeruginosa treated with Elores: A case study. International


Journal of Advanced Research. 2015. Volume 3, Issue 7, 173-176, from;
Journal homepage: http://www.journalijar.com.
2. Tutar N, et all, Lung abscess: analysis of the results as communityacquired or nosocomial. Turkish Journal of Medical Sciences;2013. Hal
255-262.From; http://journals.tubitak.gov.tr/medical.
40

3. Ivan Kuhajda, et all, Lung abscess-etiology, diagnostic and treatment


options.

NCBI.

2015.

Vol.

3(13),

Pp:183.

from;

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4543327.
4. Ganong W.F, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 2005, EGC.
5. Sherwood L, Fisiologi Manusia, 2009, EGC.
6. Murtaza Mustafa, et all, Lung abscess : Diagnosis, Treatment and
Mortality.2015. Vol. 28. Hal 54-60.
7. Rasyid A. Abses Paru. Editor: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata K M, Setiati S. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5.
Jilid III. Jakarta: Interna Publishing; 2010. Hal 2323-2338.
8. Dennis L, Anthony S, Harrisons Infection Disease, 2010, The McGrawHill Companies. Hal 205-206.
9. Shabir
Bhimji,
et
all,
Lung
Abscess
Surgery,
http://emedicine.medscape.com/article/428135-overview#showall
10. Nader
Kamangar,
et
all,
Lung
Abscess,
from
http://emedicine.medscape.com/article/299425-overview#showall
11. Siraj O, An Update on The Drainage og Pyogenic Lung Abscesses, from
http://www.thoracicmedicine.org.

41

Vous aimerez peut-être aussi