Vous êtes sur la page 1sur 44

HYPERTENSION HEART FAILURE, DCFC GRADE III-IV,

& EFUSI PLEURA


DENGAN RIWAYAT DIABETES MELLITUS

LAPORAN KASUS

Oleh
Aditha Fitrina Andiani
122011101049

Pembimbing
dr. Dandy Hari Hartono, Sp.JP, FIHA

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2016

HYPERTENSION HEART FAILURE, DCFC GRADE III-IV,


& EFUSI PLEURA
DENGAN RIWAYAT DIABETES MELLITUS
LAPORAN KASUS
disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya
SMF/Lab. Ilmu Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi Jember

Oleh
Aditha Fitrina Andiani
122011101049

Pembimbing
dr. Dandy Hari Hartono, Sp.JP, FIHA

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM

RSD dr. SOEBANDI JEMBER


2016

BAB 1. PENDAHULUAN
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan salah satu kelompok
penyakit kelainan jantung dan pembuluh darah yang ditandai dengan peningkatan
tekanan darah dapat mengakibatkan terjadinya stroke, serangan jantung, gagal
jantung, dan gagal ginjal. Tekanan darah tinggi yang menetap tersebut dapat
mempengaruhi otak, mata, tulang, dan fungsi seksual. Selain itu juga hipertensi
merupakan penyebab kematian ketiga di dunia. ( Spark, 2007).
Prevalensi diseluruh dunia, diperkirakan 15-20%. Diprediksikan oleh
WHO pada tahun 2025 nanti sekitar 29% orang dewasa di seluruh dunia
menderita hipertensi (Depkes RI, 2006). Di Asia diperkirakan prevalensi
hipertensi sudah mendekati prevalensi di dunia yaitu mencapai 8-18%. Tingginya
angka kejadian hipertensi bisa terjadi karena berbagai faktor pemicu. Faktor
pemicu hipertensi digolongkan kedalam 2 golongan yaitu faktor yang tidak dapat
di kontrol, seperti keturunan, jenis kelamin, dan umur, dan yang dapat di kontrol
seperti adanya diabetes, kegemukan, gaya hidup, pola makan, aktivitas, kebiasaan
merokok, serta alkohol dan garam (Sianturi, 2003).
Keadaan Hipertensi dapat menyebab payahnya jantung untuk bekerja,
sehingga jatuh dalam keadaan gagal jantung. Gagal jantung menjadi masalah
utama dalam bidang kardiologi karena bertambahnya jumlah penderita dan
kejadian rawat ulang serta kematian dan kecacatan. Penyebab meningkatnya
masalah gagal jantung adalah:
(1) Keberhasilan penanganan serangan akut miokard infark yang berhasil
menyelamatkan nyawa namun kecacatannya menyebabkan gagal jantung.
(2) Bertambahnya jumlah orang yang mencapai usia lanjut sedangkan pada
usia lanjut akan terjadi gagal jantung karena perjalanan usia.
(3) Masih tingginya kejadian infeksi di Indonesia yang dapat menyebabkan
penyakit jantung reumatik pasca infeksi Streptococcus beta hemolitikus,
infeksi virus yang menyebabkan miokarditis, infeksi yang menyebabkan
endokarditis

serta

tuberkulosis

tuberkulosa.

yang

menyebabkan

pericarditis

(4) Masih seringnya ditemukan faktor faktor risiko penyakit jantung koroner
seperti banyaknya diabetes, perokok, hiperkolesterolemia, hipertensi dan
obesitas.
Menurut Gibney (2009), Seperti yang dipaparkan diatas hipertensi dapat
menjadi faktor risiko utama untuk terjadinya DM. Hubungannya dengan DM tipe
2 sangatlah kompleks, hipertensi dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin
(resisten insulin) (Mihardja, 2009). Padahal insulin berperan meningkatkan
ambilan glukosa di banyak sel dan dengan cara ini juga mengatur metabolisme
karbohidrat, sehingga jika terjadi resistensi insulin oleh sel, maka kadar gula di
dalam darah juga dapat mengalami gangguan (Guyton, 2008).
DM tipe 2 menempati lebih dari 90% kasus di negara maju. Negara sedang
berkembang, hampir seluruh diabetes tergolong sebagai penderita DM tipe 2, 40%
diantaranya terbukti dari kelompok masyarakat yang terlanjur mengubah gaya
hidup tradisional menjadi modern. DM tipe 2 merupakan yang terbanyak di
Indonesia. Bila dikaitkan dengan pernyataan diatas, selain hipertensi dapat
menyebabkan terjadinya DM, DM pun dapat menjadi penyebab aneka penyakit
seperti hipertensi, stroke, jantung koroner, gagal ginjal, katarak, glaukoma,
kerusakan retina mata yang dapat membuat buta, impotensi, gangguan fungsi hati,
dan luka yang lama sembuh mengakibatkan infeksi, sehingga harus diamputasi
terutama pada kaki (Dinkes, 2009).

BAB 2. LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama

: Tn AW

Umur

: 68 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Baratan, Jember

Status

: Menikah

Pendidikan

: S1

Pekerjaan

: Pensiunan

Suku

: Jawa

Agama

: Islam

Status Pelayanan

: NPBI

No. RM

: 12198

Tanggal MRS

: 10 Juli 2016

Tanggal pemeriksaan : 16 Juli 2016


Tanggal KRS

: 25 Juli 2016

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien dan
keluarga pasien pada tanggal 16 Juli 2016 di ruang Anturium.
2.2.1

Keluhan Utama
Sesak

2.2.2

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien MRS melalui IGD dengan keluhan sesak pada tanggal 10 Mei
2016. Sesak dirasakan sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit . Pasien
tidak bisa berjalan terlalu jauh karena sesak. Untuk berjalan ke kamar
mandi didalam rumah saja terkadang sudah kelelahan dan sesak. Sesak
dirasakan terutama jika beraktivitas. Sesak tidak berkurang bila pasien
istirahat atau dengan posisi pasien tidur. Sekitar 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit, pasien mengalami batuk berdahak sehingga memperberat
sesaknya. Sudah diberi obat batuk, tetapi batuk tidak membaik. Kaki
pasien juga mengalami bengkak sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Semakin hari setelah masuk rumah sakit, pasien merasa kakinya cekotcekot atau sakit semua. Hal ini membuat pasien semakin susah untuk
berjalan. Selama di Rumah Sakit pasien beberapa kali mengalami gelisah
dan keringat dingin, yang membaik jika diberi air gula. Dulunya pasien
perokok berat, sudah 20 tahun lebih pasien merokok. Pasien berhenti sejak
10 tahun yang lalu. Pada tahun 2003 pasien didiagnosa diabetes.
Sebelumnya pasien memang sudah sering ke poli karena diabetes. Untuk
penyakit mengenai jantungnya pasien baru rutin ke poli sejak 3 tahun yang
lalu. Saat MRS BAK (+) normal, BAB (+) normal, dan sesak serta
bengkak dirasakan sudah berkurang .

2.2.3

Riwayat Penyakit Dahulu


Sejak 3 tahun yang lalu pasien sudah sering ke poli karena memiliki
riwayat penyakit jantung dan diabetes.

2.2.4

Riwayat Penyakit Keluarga


Dari riwayat keluarga tidak didapatkan keluarga yang memiliki riwayat
sesak ataupun penyakit yang sama.

2.2.5

Riwayat Pengobatan
Sebelumnya pasien pernah mendapatkan obat dari poli, namun pasien
tidak ingat nama obatnya.

2.2.6

Riwayat Sosial Lingkungan Ekonomi


Pasien merupakan pensiunan dan punya 3 anak. Saat ini tinggal bersama
istrinya.

2.2.7

Riwayat Gizi
Sehari pasien makan 2 3 kali. Rata-rata menu setiap harinya adalah
nasi, kadang-kadang sayur, ikan, tempe, tahu, daging, dan kadang makan
buah-buahan.
BB: 72 kg
TB: 170 cm
BMI = Berat Badan (Kg)
Tinggi Badan(m)2

= 72
(1,75)2

BMI = 23,5 kg/m2 (Berat badan lebih, beresiko)


Kesan : Riwayat gizi kurang baik dengan berat badan lebih, beresiko.
2.2.8

Anamnesis Sistem
-

Sistem serebrospinal

: nyeri kepala (+), penurunan kesadaran (-)

Sistem kardiovaskular

: berdebar-debar (+)

Sistem pernapasan

: sesak (+), batuk (+), mengi (-)


- Sistem gastrointestinal

mual

(+), muntah (-), diare (-), nafsu makan


menurun (+), nyeri perut (-), BAB normal

Sistem urogenital

: BAK lancar, kuning, merah (-), dan

spontan.
-

Sistem integumentum

: turgor kulit normal, purpura (-), ptekie (-)

Sistem muskuloskeletal

: edema (+), atrofi (-), deformitas (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1

2.3.2

Pemeriksaan Umum
Keadaan umum

: cukup

Kesadaran

: compos mentis, GCS 4-5-6

Vital sign

: TD

: 90/60 mmHg

Nadi

: 88 x/menit, regular, kuat angkat

RR

: 24 x/menit

Suhu Aksila

: 36,7o C

Pernapasan

: sesak (+), batuk berdahak (+), mengi (-)

Kulit

: turgor kulit normal, purpura (-), ptekie (-)

Kelenjar limfe

: pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)

Otot

: edema (+) di kedua ekstremitas bawah, atrofi (-)

Tulang

: deformitas (-)

Status gizi

: BB

: 72 kg

TB

: 175 cm

BMI

: 23,5

Pemeriksaan Khusus

a. Kepala
-

Bentuk

: bulat, simetris

Rambut

: hitam dan beruban, lurus, pendek

Mata

: konjungtiva anemis : +/+

Hidung

sklera ikterus

: -/-

edema palpebra

: -/-

refleks cahaya

: +/+

: sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (-)

10

Telinga

: sekret (-), bau (-), perdarahan (-)

Mulut

: sianosis (-), bau (-)

b. Leher
-

KGB

: tidak ada pembesaran

Tiroid

: tidak membesar

JVP

: tidak meningkat

c. Thorax
1. Cor

Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: ictus cordis teraba di ICS VI AAL S

Perkusi

: redup di ICS IV PSL D s/d ICS VI AAL S

Auskultasi

: S1S2 tunggal, reguler, suara tambahan (-)

2. Pulmo

:
Ventral

Dorsal

Inspeksi:
Simetris
Retraksi -/ Ketinggalan gerak -/Palpasi:
Fremitus raba

Inspeksi:
Simetris
Retraksi -/ Ketinggalan gerak -/P: Palpasi:
Fremitus raba

N N
N N

N
Perkusi :

S
S

S
S
S
S

N N
N N

N
Perkusi :

S
S
S
R R
R

S
S

11

S
S
S
S

S
S
S
R R
R

Ventral
Auskultasi :

Dorsal
Auskultasi :

DS
V V
V V
V V
V
V

Rhon
ki
- - - - -

Wheez
ing
- - -

DS
V V
V V
V V
V V
V
Rhon
ki
- - - - -

Wheez
ing
- - -

d. Abdomen
-

Inspeksi

: cembung

Auskultasi : bising usus (+), 12 x/menit

Palpasi

: soepel, hepatomegali (-), splenomegali (-), nyeri tekan

abdomen (-), nyeri ketok ginjal (-)


-

Perkusi

: timpani

e. Ekstremitas
-

Superior

: akral hangat +/+, edema-/-

Inferior

: akral hangat +/+, edema +/+

12

Status Psikiatri Singkat


1. Emosi dan afek

: adekuat

2. Proses berpikir
Bentuk

: realistik

Arus

: koheren

Isi

: waham (-)

3. Kecerdasan

: dalam batas normal

4. Kemauan

: dalam batas normal

5. Psikomotor

: dalam batas normal

6. Ingatan

: dalam batas normal

2.4 Pemeriksaan Penunjang


A. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium 10 Juli 2016
HEMATOLOGI LENGKAP
Jenis
Hasil
Pemeriksaan
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
FAAL HATI
SGOT
SGPT
Albumin
GULA DARAH
Glukosa Sewaktu
LEMAK
Trigliserida
Kolesterol total
ELEKTROLIT
Natrium
Kalium
Chlorida
FAAL GINJAL
Kreatinin Serum

Nilai Normal

Pemeriksaan
10,4 gr/dL
7,0 x109/L
32,4%
206 x109/L

13-16 gr/dL
4,5-11 x109/L
37-49%
150-450 x109/L
10-31 U/L

18 U/L
9 U/L
3,1 gr/dL

9-43 U/L
3,4-4,8 gr/dL

179 mg/dL stik

<200 mg/dL

78 mg/dL
119 mg/dL

<150 mg/dL
<200 mg/dL

138,5 mmol/L
4,99 mmol/L
112,5 mmol/L

135-155 mmol/L
3,5-5,0 mmol/L
90-110 mmol/L

2,7 mg/dL

0,5-1,1 mg/dL

13

BUN
Urea

64 mg/dL
147 gr/24h

6-20 mg/dL
26-43 gr/24h

Hasil pemeriksaan laboratorium (16 Juli 2016)


HEMATOLOGI LENGKAP
Jenis
Hasil
Pemeriksaan
Hemoglobin
Leukosit
Trombosit
GULA DARAH
Glukosa Sewaktu
Glukosa Sewaktu
(17.00)
ELEKTROLIT
Natrium
Kalium
Chlorida
Calsium
FAAL GINJAL
Kreatinin Serum
BUN
Urea
Asam Urat

Nilai Normal

Pemeriksaan
9,7 gr/dL
9,7 x109/L
193 x109/L

13-16 gr/dL
4,5-11 x109/L
150-450 x109/L

104 mg/dL stik


340 mg/dl stik

<200 mg/dL
<200 mg/dL

135,5 mmol/L
4,89 mmol/L
106,6 mmol/L
2,12 mmol/L

135-155 mmol/L
3,5-5,0 mmol/L
90-110 mmol/L
2,15-2,57 mmol/L

3,5 mg/dL
70 mg/dL
149 gr/24h
9 mg/dL

0,5-1,1 mg/dL
6-20 mg/dL
26-43 gr/24h
3,4-7 mg/dL

Hasil pemeriksaan laboratorium (21 Juli 2016)


HEMATOLOGI LENGKAP
Jenis
Hasil
Pemeriksaan
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
GULA DARAH
Glukosa Sewaktu
FAAL GINJAL
Kreatinin Serum
BUN
Urea

Nilai Normal

Pemeriksaan
10,1 gr/dL
18,1 x109/L
30 %
228 x109/L

13-16 gr/dL
4,5-11 x109/L
37-49%
150-450 x109/L

63 mg/dL stik

<200 mg/dL

5,6 mg/dL
128 mg/dL
274 gr/24h

0,5-1,1 mg/dL
6-20 mg/dL
26-43 gr/24h

14

Asam Urat

11,6 mg/dL

3,4-7 mg/dL

Hasil pemeriksaan laboratorium (23 Juli 2016)


TRANSUDAT
Jenis
Pemeriksaan
Warna

Hasil
Pemeriksaan
Jernih

Volume
Kejernihan
pH
BJ
Eritrosit
Glukosa
Albumin
Tp/Total Protein

2,8 ml
Jernih
8.0
1.015
Negatip
83
0.80
1.70

Nilai Normal
Tras Kuning-Eks Sawo
Matang

Tras <1000-Eks >1000

Tras <3.0 Eks >3,0


mg/dl

Kesan dari pemeriksaan Laboratorium :


Anemia, Faal Ginjal meningkat (kemungkinan AKI), Hiponatremia ,Hipokalsemi

B. Thorax Foto

15

C. EKG
Tanggal 10 Juli 2016

Tanggal 13 Juli 2016

16

Tanggal 15 Juli 2016

Tanggal 21 Juli 2016

Tanggal 25 Juli 2016

17

2.5 Resume

Anamnesis

: Pasien laki-laki usia 68 tahun. Pasien datang dengan keluhan

sesak sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit saat beraktivitas dan
terutama saat posisi tidur. Pasien mengeluh kedua kaki bengkak dan cekotcekot disertai batuk. Sebelumnya pasien sudah pernah periksa ke poli dan
diagnosa Hipertensi dan Diabetes. Saat ini BAK (+) normal, BAB (+) normal,

dan sesak serta bengkak dirasakan sudah berkurang.


Pemeriksaan fisik
: Didapatkan keadaan umum

pasien

cukup,

kesadaran compos mentis, konjungtiva anemis, fremitus raba menurun sekitar

ICS V dextra, ditemukan piting-edema di kedua ekstremitas bawah.


Pemeriksaan penunjang :
Laboratorium

DL

: Anemia

Faal hati

: Dalam batas normal

Lemak

: Dalam batas normal

Faal ginjal

: Kreatinin serum, BUN, dan urea tinggi

Elektrolit

: Hiponatremia, Hipokalsemia

Pleura

: Transudat

Thorax Foto
EKG

18

2.6 Diagnosis
-

HHF + DCFC gr III-IV + Efusi Pleura Dextra + Diabetes Mellitus Tipe 2

2.7 Planning
2.7.1 Planning Terapi
-

O2 3-4 lpm (saat sesak)

Inf. RL:D5 10 tpm

Inj. Lasix 1-1-0

p/o Spironolakton 100 mg 2x1/2

p/o Ramipril 2,5 mg 0-0-1

p/o Codein 20 mg 2x1

p/o Glimepirid 3 mg 1-0-0

p/o Metformin 2x1

p/o Aminefron 3x1

p/o Allopurinol 300 mg 0-0-1

2.7.2 Planning Monitoring


-

Produksi urin / 24 jam

Berat badan

Hb darah

Gula darah

Faal Ginjal

2.7.3 Planning Edukasi


Diet rendah garam, rendah kolestrol
2.8 Prognosis
Dubia ad malam

19

2.9 Follow Up
Rabu, 16 Juli 2016
H7MRS
S Sesak, pasien susah tidur gelisah,
kaki bengkak dan cekot-cekot

Kamis, 19 Juli 2016


H9MRS
Sesak, pasien tidak bisa
tidurgelisah, Pasien menggigigl
e.c. Phlebitis

20

O KU : lemah
Kes : compos mentis
TD : 90/60mmHg
N : 88x/mnt
RR : 24x/mnt
Tax : 36,7oC
K/L : a/i/c/d : +/-/-/+
Thorax:
Cor
I : ictus cordis tidak tampak
P : ictus cordis teraba di ICS VI
AAL S
P : redup
A : S1S2 tunggal, reguler,
e/g/m : -/-/Pulmo :
I : simetris, retraksi -/P : fremitus raba /+
P : sonor +/+
A : Ves /+, Rh -/-, Wh -/Abd : cembung, BU (+) N,
timpani, soepel
Ext : AH (+) & pitting edema
(+) di kedua ekstremitas
bawah

KU : lemah
Kes : compos mentis
TD : 90/50mmHg
N : 80x/mnt
RR : 24x/mnt
Tax : 36,3oC
K/L : a/i/c/d : +/-/-/+
Thorax:
Cor
I : ictus cordis tidak tampak
P : ictus cordis teraba di ICS
VI AAL S
P : redup
A : S1S2 tunggal, reguler,
e/g/m : -/-/Pulmo :
I : simetris, retraksi -/P : fremitus raba /+
P : sonor +/+
A : Ves /+, Rh -/-, Wh -/Abd : flat, BU (+) N, timpani,
soepel
Ext : AH (+) & pitting edema
(+) di kedua ekstremitas
bawah

Monitoring:
Produksi urin /24 jam: 1500 cc
BB : 72 kg
GDA : 107

Monitoring:
Produksi urin /24 jam : 2000
cc
BB : 72kg
GDA: tanggal 18 : 344
Tanggal 19 : 138
A HHF + DCFC gr III-IV + Efusi HHF + DCFC gr III-IV + Efusi
Pleura Dextra + Diabetes Pleura Dextra + Diabetes
Mellitus Tipe 2
Mellitus Tipe 2
P

Inf. RL:D5 10 tpm


Inj. Lasix 1-1-0
p/o Spironolakton 100
2x1/2
p/o Ramipril 2,5 mg 0-0-1
p/o Codein 20 mg 2x1

mg

Jumat, 22 Juli 2016

21

Inf. RL:D5 10 tpm


Inj. Lasix 1-1-0
p/o Spironolakton 100 mg
2x1/2
p/o Ramipril 2,5 mg 0-0-1
p/o Codein 20 mg 2x1
p/o Glimepirid 3 mg 1-0-0
p/o Metformin 2x1
Senin, 25 Juli 2016

H12MRS
S Sesak berkurang
O KU : cukup
Kes : compos mentis
TD : 90/60mmHg
N : 60x/mnt
RR : 20x/mnt
Tax : 35,6oC
K/L : a/i/c/d : +/-/-/Thorax:
Cor
I : ictus cordis tidak tampak
P : ictus cordis teraba di ICS VI
AAL S
P : redup
A : S1S2 tunggal, reguler,
e/g/m : -/-/Pulmo :
I : simetris, retraksi -/P : fremitus raba /+
P : sonor +/+
A : Ves /+, Rh -/-, Wh -/Abd : flat, BU (+) N, timpani,
soepel
Ext : AH (+) & pitting edema
(+) di kedua ekstremitas
bawah

H15MRS
Pasien sudah tidak memakai
02 sejak hari Sabtu, keadaan
sudah lebih baik
KU : cukup
Kes : compos mentis
TD : 110/80mmHg
N : 64x/mnt
RR : 18x/mnt
Tax : 35,7oC
K/L : a/i/c/d : +/-/-/Thorax:
Cor
I : ictus cordis tidak tampak
P : ictus cordis teraba di ICS
VI AAL S
P : redup
A : S1S2 tunggal, reguler,
e/g/m : -/-/Pulmo :
I : simetris, retraksi -/P : fremitus raba +/+
P : sonor +/+
A : Ves /+, Rh -/-, Wh -/Abd : flat, BU (+) N, timpani,
soepel
Ext : AH (+) & pitting edema
(+) di kedua ekstremitas
bawah sudah berkurang

Monitoring:
Monitoring:
Produksi urin /24 jam : 2000 Produksi urin /24 jam : 2000
cc
cc
BB : 72kg
BB : 72kg
GDA : 66
GDA : 216
A HHF + DCFC gr III-IV + Efusi
HHF + DCFC gr III-IV + Efusi
Pleura Dextra + Diabetes
Pleura Dextra (Post Punksi)+
Mellitus Tipe 2
Diabetes Mellitus Tipe 2
P

Konsul Paru :
Dari Paru, terapi punksi hari
Sabtu
Inf. RL:D5 10 tpm
Inj. Lasix 1-1-0
p/o Spironolakton 100 mg

22

Inf. RL:D5 10 tpm


Inj. Lasix 1-1-0
p/o Spironolakton 100 mg
2x1/2
p/o Ramipril 2,5 mg 0-0-1
p/o Codein 20 mg 2x1

2x1/2
p/o Ramipril 2,5 mg 0-0-1
p/o Codein 20 mg 2x1
p/o Glimepirid 2 mg 1-0-0
(Dosis
diturunkan
karena
pasien
cenderung
hipoglikemia
p/o Metformin 2x1
p/o Aminefron 3x1
p/o Allopurinol 300 mg 0-0-1
p/o Acarbose 3x1

23

p/o
p/o
p/o
p/o
p/o

Glimepirid 2 mg 1-0-0
Metformin 2x1
Aminefron 3x1
Allopurinol 300 mg 0-0-1
Acarbose 3x1

BAB 3. PEMBAHASAN
Textbook
Anamnesis
- Sesak nafas
- Ortopneu
- Paroxysmal nocturnal dyspnoe
- Toleransi aktifitas yang berkurang
- Cepat lelah
- Bengkak di pergelangan kaki
- Batuk di malam / dini hari
- Mengi
- Berat badan bertambah > 2 kg/minggu
- Berat badan turun (gagal jantung stadium
lanjut)
- Perasaan kembung/ begah
- Nafsu makan menurun
- Perasaan bingung (terutama pasien usia
lanjut)
- Depresi
- Berdebar
- Pingsan
Pemeriksaan Fisik
- Peningkatan JVP
- Refluks hepatojugular
- Suara jantung S3 (gallop)
- Apex jantung bergeser ke lateral
- Bising jantung
- Edema perifer
- Krepitasi pulmonal
- Sura pekak di basal paru pada perkusi
- Takikardia
- Nadi ireguler
- Nafas cepat
- Hepatomegali
- Asites
- Kaheksia
Diagnosis
1. EKG
2. Foto Thorax

24

Pasien
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

+
+
+
+
+
+
+
+

3. Laboratorium

Tatalaksana
1. Diuretik
2. ACE-inhibitor
3. Beta Blocker
4. ARB
5. Antagonis Aldosteon
6. OAD

+
+
+
+

3.1 Definisi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana dijumpai tekanan darah lebih dari
140/90 mmHg atau lebih untuk usia 13-50 tahun dan tekanan darah mencapai
160/95 mmHg untuk usia di atas 50 tahun, dan harus dilakukan pengukuran
tekanan darah minimal sebanyak dua kali untuk lebih memastikan keadaan
tersebut (WHO, 2001)
Hypertension Heart Failure (HHF) merupakan jatuhnya keadaan jantung
menjadi gagal jantung yang disebabkan oleh hipertensi. Hipertensi yang dialami
bisa dikarenakan adanya pengaruh salah satu penyakit metabolik yaitu Diabetes
Mellitus. Gagal jantung yang dialami bisa diklasifikasikan berdasarkan tabel
berikut ini :

25

Tabel 1. Klasifikasi Gagal Jantung


3.2 Epidemiologi
Dari beberapa penelitian dan statistik, terdapat korelasi yang sangat kuat
antara penyakit kardiovaskular dengan diabetes. Sekitar 68% orang berusia 65
tahun atau lebih tua, yang mengidap diabetes meninggal karena terkena penyakit
jantung dan 16% nya terkena stroke. Selain itu, orang yang terkena diabetes
mendapatkan 2-4 x lebih berisiko terkena penyakit jantung atau stroke dibanding
dengan orang yang tidak diabetes. Menurut The American Heart Association,
diabetes merupakan 1 dari 7 faktor utama terjadinya penyakit kardiovaskular.
Untuk kejadian hipertensi, prevalensi diseluruh dunia, diperkirakan 1520%. Diprediksikan oleh WHO pada tahun 2025 nanti sekitar 29% orang dewasa
di seluruh dunia menderita hipertensi (Depkes RI, 2006). Di Asia diperkirakan
prevalensi hipertensi sudah mendekati prevalensi di dunia yaitu mencapai 8-18%.
Dan di Indonesia prevalensi nasional hipertensi pada penduduk umur >18 tahun
lebih tinggi dibanding dengan rata-rata di Asia yaitu sebesar 29,8%. Hipertensi
merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis, yakni
mencapai 6,7% dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia. Hipertensi
merupakan gangguan sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan
tekanan darah di atas normal, yaitu 140/90 mmHg. Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Balitbangkes tahun 2007 menunjukan prevalensi hipertensi secara
nasional mencapai 31,7% (Depkes, 2010).
3.3 Etiologi
Diabetes bisa diobati, tapi bahkan ketika tingkat glukosa di bawah kontrol
itu sangat meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke. Itu karena orang
dengan diabetes, terutama diabetes tipe 2, mungkin memiliki kondisi berikut yang
berkontribusi terhadap risiko untuk mengembangkan penyakit jantung.
Tekanan darah tinggi (hipertensi)

26

Tekanan darah tinggi telah lama dikenal sebagai faktor risiko utama untuk
penyakit jantung. Studi melaporkan hubungan positif antara hipertensi dan
resistensi insulin. Ketika pasien memiliki kedua hipertensi dan diabetes, yang
merupakan kombinasi umum, risiko mereka untuk ganda penyakit kardiovaskular.
Abnormal kolesterol dan trigliserida tinggi
Pasien dengan diabetes sering memiliki kadar kolesterol yang tidak sehat
termasuk LDL tinggi kolesterol, HDL rendah kolesterol, dan trigliserida tinggi.
Tiga serangkai ini dari jumlah lipid miskin sering terjadi pada pasien dengan
penyakit jantung koroner dini. Hal ini juga karakteristik dari gangguan lipid
terkait dengan resistensi insulin disebut aterogenik dislipidemia, atau dislipidemia
diabetik pada pasien dengan diabetes. Selengkapnya kelainan aboutcholesterol
yang berkaitan dengan diabetes.
Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko utama untuk penyakit jantung dan telah
sangat terkait dengan resistensi insulin. Berat badan dapat meningkatkan risiko
kardiovaskular, menurunkan kadar insulin dan meningkatkan sensitivitas insulin.
Obesitas dan resistensi insulin juga telah dikaitkan dengan faktor risiko lainnya,
termasuk tekanan darah tinggi.
Kurangnya aktivitas fisik
Aktivitas fisik merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi utama untuk
resistensi insulin dan penyakit kardiovaskular. Berolahraga dan menurunkan berat
badan dapat mencegah atau menunda timbulnya diabetes tipe 2, mengurangi
tekanan darah dan membantu mengurangi risiko serangan jantung dan stroke.
Kemungkinan bahwa setiap jenis intensitas sedang dan / atau kuat, aktivitas-baik
fisik aerobik olahraga, pekerjaan rumah tangga, berkebun atau bekerja terkait
aktivitas fisik-juga sama menguntungkan.
Tidak terkontrol gula darah (terlalu tinggi) atau dari kisaran normal
Diabetes dapat menyebabkan gula darah naik ke tingkat berbahaya. Obat
mungkin diperlukan untuk mengelola gula darah.
Merokok

27

Merokok menempatkan individu, apakah mereka memiliki diabetes, berisiko


lebih tinggi untuk penyakit jantung dan stroke. Pelajari cara menghentikan
kebiasaan itu.
Individu dengan resistensi insulin atau diabetes dalam kombinasi dengan
satu atau lebih faktor risiko ini beresiko lebih besar terkena penyakit jantung atau
stroke. Namun, dengan mengelola faktor risiko, pasien dengan diabetes mungkin
menghindari atau menunda perkembangan penyakit jantung dan pembuluh darah.

3.3 Patofisiologi
Hipertensi dan dislipidemia sering terjadi bersama-sama dan berhubungan
dengan resistensi insulin untuk uptake glukosa. Resistensi insulin juga dikaitkan
dengan ketidakseimbangan yang tidak menguntungkan dalam produksi mediator
endotel yang mengatur agregasi platelet, koagulasi, fibrinolisis. Faktor-faktor
risiko ini membuat penyakit jantung koroner, stroke, diabetes, mortalitas penyakit
kardiovaskular meningkat lebih lanjut. Konstelasi resistensi insulin, obesitas
perut, hipertensi, dan dislipidemia telah ditetapkan sebagai sindrom metabolik.
Pasien dengan hipertensi esensial juga mengalami resistensi insulin tahan insulin,
dan hiperinsulinemia.
Resistensi

insulin

dapat

menjadi

penanda

untuk

memprediksi

perkembangan akhir hipertensi dan penyakit kardiovaskular. Meskipun sindrom


metabolik mungkin sebagian diwariskan sebagai kondisi poligenik, perkembangan
sindrom tersebut dapat dimodifikasi oleh faktor lingkungan, seperti tingkat
aktivitas fisik dan diet. Insulin meningkatkan sensitivitas dan tekanan darah
menurun dalam menanggapi penurunan berat badan. Evaluasi pada pasien
hipertensi dan individu yang berisiko untuk mengembangkan hipertensi harus
mencakup penilaian risiko penyakit kardiovaskular secara keseluruhan. Demikian
pula, pengenalan strategi modifikasi gaya hidup dan terapi obat harus mengatasi
risiko secara keseluruhan dan tidak hanya fokus pada hipertensi.

28

Gambar 1. Patofisiologi Hipertensi


Kaplan

menggambarkan

beberapa

faktor

yang

berperan

dalam

pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar: Tekanan Darah =


Curah Jantung x Tahanan Perifer. (Yogiantoro, 2006). Mekanisme patofisiologi
yang berhubungan dengan peningkatan hipertensi esensial antara lain :
1) Curah jantung dan tahanan perifer Keseimbangan curah jantung dan tahanan
perifer sangat berpengaruh terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian
besar kasus hipertensi esensial curah jantung biasanya normal tetapi tahanan
perifernya meningkat. Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus
yang terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan
berpengaruh pada peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan
konsentrasi otot halus ini semakin lama akan mengakibatkan penebalan
pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi oleh angiotensin yang

29

menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang irreversible (Gray, et al.


2005).
2) Sistem Renin-Angiotensin Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan
volume cairan ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin
merupakan sistem endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah.
Renin disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon
glomerulus underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari
sistem saraf simpatetik (Gray, et al. 2005). Mekanisme terjadinya hipertensi
adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin
I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam
mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi
hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi
angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paruparu, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat
aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena
bersifat sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu:
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk
mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat
sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin
menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan
tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan
hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume
cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)
dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl
akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan
ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan
darah (Gray, et al. 2005).

30

3) Sistem Saraf Otonom Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan


vasokonstriksi dan dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran
yang penting dalam pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi
karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin
bersama sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan
beberapa hormon (Gray, et al. 2005).
4) Disfungsi Endotelium Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang
penting dalam pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi
sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium.
Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara
klinis pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan
produksi dari oksida nitrit (Gray, et al. 2005).
5) Substansi vasoaktif Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor
natrium dalam mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal.
Bradikinin merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin.
Endothelin dapat meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta
mengaktifkan sistem renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide
merupakan hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon
peningkatan volum darah. Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air
dari ginjal yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi
(Gray, et al. 2005).
6) Hiperkoagulasi Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari
dinding pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium),
ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga
hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin
lama akan semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat
dicegah dengan pemberian obat anti-hipertensi (Gray, et al. 2005).
7) Disfungsi diastolik Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat
beristirahat ketika

terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi

peningkatan kebutuhan input ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi

31

peningkatan tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan


ventrikel (Gray, et al. 2005).
Pada pasien ini, terjadi efusi pleura pada bagian dextra. Jenis efusi pleura
yang dihasilkan adalah transudatif. Efusi pleura transudatif terjadi jika terdapat
perubahan dalam tekanan hidrostatik dan onkotik pada membran pleura,
misalnya jumlah cairan yang dihasilkan melebihi jumlah cairan yang dapat
diabsorbsi. Pada keadaan ini, endotel pembuluh darah paru dalam kondisi yang
normal, dimana fungsi filtrasi masih normal pula sehingga kandungan sel dan
dan protein pada cairan efusi transudat lebih rendah. Jika masalah utama yang
menyebabkannya dapat diatasi maka efusi pleura dapat sembuh tanpa adanya
masalah yang lebih lanjut.17 Selain itu, efusi pleura transudat juga dapat terjadi
akibat migrasi cairan yang berasal dari peritoneum, bisa pula iatrogenik
sebagai komplikasi dari pemasangan kateter vena sentra dan pipa nasogastrik.
Untuk kasus kali ini, efusi pleura terjadi karena terjadinya gagal jantung pada
pasien. Berikt mekanis terjadinya efusi pleura.

Gambar 2. Patofisiologi Efusi Pleura


32

3.4 Manifestasi Klinis


Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala
pada hipertensi esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah,
gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi esensial
berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ
target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung (Julius, 2008).
Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi
mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun tahun. Masa laten ini
menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang
bermakna. Bila terdapat gejala biasanya bersifat tidak spesifik, misalnya sakit
kepala atau pusing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah
marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata
berkunang-kunang. Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat dapat
mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium, stroke atau
gagal ginjal. Namun deteksi dini dan parawatan hipertensi dapat menurunkan
jumlah morbiditas dan mortalitas (Julius, 2008).
Berikut manifestasi klinis dari pasien yang sudah mengalami gagal
jantung.

Tabel 2. Manifestasi Klinis Gagal Jantung


Keadaan gagal jantung tersebut dapat jatuh dalam keadaan efusi pleura.
Pada efusi pleura, Efek yang ditimbulkan oleh akumulasi cairan di rongga pleura
bergantung pada jumlah dan penyebabnya. Efusi dalam jumlah yang kecil sering
tidak bergejala. Bahkan efusi dengan jumlah yang besar namun proses
33

akumulasinya berlangsung perlahan hanya menimbulkan sedikit atau bahkan tidak


menimbulkan gangguan sama sekali. Jika efusi terjadi sebagai akibat penyakit
inflamasi, maka gejala yang muncul berupa gejala pleuritis pada saat awal proses
dan gejala dapat menghilang jika telah terjadi akumulasi cairan. Gejala yang
biasanya muncul pada efusi pleura yang jumlahnya cukup besar yakni : nafas
terasa pendek hingga sesak nafas yang nyata dan progresif, kemudian dapat
timbul nyeri khas pleuritik pada area yang terlibat, khususnya jika penyebabnya
adalah keganasan. Nyeri dada meningkatkan kemungkinan suatu efusi eksudat
misalnya infeksi, mesotelioma atau infark pulmoner. Batuk kering berulang juga
sering muncul, khususnya jika cairan terakumulasi dalam jumlah yang banyak
secara tiba-tiba. Batuk yang lebih berat dan atau disertai sputum atau darah dapat
merupakan tanda dari penyakit dasarnya seperti pneumonia atau lesi
endobronkial. Riwayat penyakit pasien juga perlu ditanyakan misalnya apakah
pada pasien terdapat hepatitis kronis, sirosis hepatis, pankreatitis, riwayat
pembedahan tulang belakang, riwayat keganasan, dll. Riwayat pekerjaan seperti
paparan yang lama terhadap asbestos dimana hal ini dapat meningkatkan resiko
mesotelioma. Selain itu perlu juga ditanyakan obatobat yang selama ini
dikonsumsi pasien.
Hasil pemeriksaan fisik juga tergantung dari luas dan lokasi dari efusi.
Temuan pemeriksaan fisik tidak didapati sebelum efusi mencapai volume 300mL.
Gangguan pergerakan toraks, fremitus melemah, suara beda pada perkusi toraks,
egofoni, serta suara nafas yang melemah hingga menghilang biasanya dapat
ditemukan. Friction rub pada pleura juga dapat ditemukan. Cairan efusi yang
masif (> 1000 mL) dapat mendorong mediastinum ke sisi kontralateral. Efusi
yang sedikit secara pemeriksaan fisik kadang sulit dibedakan dengan pneumonia
lobaris, tumor pleura, atau fibrosis pleura. Merubah posisi pasien dalam
pemeriksaan fisik dapat membantu penilaian yang lebih baik sebab efusi dapat
bergerak berpindah tempat sesuai dengan posisi pasien. Pemeriksaan fisik yang
sesuai dengan penyakit dasar juga dapat ditemukan misalnya, edema perifer,
distensi vena leher, S3 gallop pada gagal jantung kongestif. Edema juga dapat
muncul pada sindroma nefrotik serta penyakit perikardial. Ascites mungkin

34

menandakan suatu penyakit hati, sedangkan jika ditemukan limfadenopati atau


massa yang dapat diraba mungkin merupakan suatu keganasan.

3.5 Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk
diagnosis gagal jantung yaitu dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor.
Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:
Kriteria Mayor :
- Paroksismal nocturnal dispnu atau ortopnoe
- Distensi vena leher
- Ronki paru
- Kardiomegali
- Edema paru akut
- Gallop S3
- Central venous pressure > 12 mmHg
- LVH pada EKG
-Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
Kriteria Minor :
- Oedem ekstremitas
- Batuk malam hari
- Dispnea deffort
- Hepatomegali
- Efusi pleura
- Takikardia (>120 x/menit)

35

Gambar 3. Algoritma Diagnostik Gagal Jantung


1. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal
jantung.Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung. Abnormalitas
EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika
EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat
kecil (< 10%).
2. Foto Toraks
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks
dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi
penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas.
Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah
perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju
filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan
tambahan laindipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis
atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala
ringan sampai sedang yang belum

diterapi, meskipun

anemia

ringan,

hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai


terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI

36

(Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor


Blocker), atau antagonis aldosterone.
4. Peptida Natriuretik
Terdapat

bukti - bukti

peptidanatriuretik
memulangkan

yang

mendukung

penggunaan

kadar plasma

untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau

pasien,

dan

mengidentifikasi

pasien pasien yang

berisiko

mengalami dekompensasi. Konsentrasi peptida natriuretik yang normal sebelum


pasien diobati mempunyai nilai prediktif negatif yang tinggi dan membuat
kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab gejala-gejala yang dikeluhkan
pasien menjadi sangat kecil. Kadar peptida natriuretik yang tetap tinggi walaupun
terapi optimal mengindikasikan prognosis buruk. Kadar peptida natriuretik
meningkat sebagai respon peningkatan tekanan dinding ventrikel. Peptida
natriuretik mempunyai waktu paruh yang panjang, penurunan tiba-tiba tekanan
dinding ventrikel tidak langsung menurunkan kadar peptida natriuretik.
5. Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran
klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar
troponin

kardiak sering

pada gagal

jantung berat atau

selama

episode

dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.


6. Ekokardiografi
Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound jantung
termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan tissue Doppler
imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung
dengan

pemeriksaan ekokardiografi

secepatnya

adalah

pada pasien dengan dugaan

gagal

keharusan

dan

dilakukan

jantung. Pengukuran fungsi

ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien


dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 50%).
7. Diagnosis gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal (HFPEF/ heart failure
with preserved ejection fraction)

37

Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam mendiagnosis gagal jantung


dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tiga kriteria:
a. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung
b. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit terganggu (fraksi
ejeksi > 45 - 50%)
c. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri abnormal /
kekakuan diastolik)
8. Ekokardiografi transesofagus
Direkomendasikan pada pasien dengan ekokardiografi transtorakal tidak adekuat
(obesitas, pasien dengan ventlator), pasien dengan kelainan katup, pasien
endokardits, penyakit jantung bawaan atau untuk mengeksklusi trombus di left
atrial appendagepada pasien fibrilasi atrial
9. Ekokardiografi beban
Ekokardiografi beban (dobutamin atau latihan) digunakan untuk mendeteksi
disfungsi ventrikel yang disebabkan oleh iskemia dan menilai viabilitas
miokard pada keadaan hipokinesis atau akinesis berat
3.8 Tatalaksana
a. Tatalaksana Nonfarmakologi
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan
gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas

dan

prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakantindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku
yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal
jantung.
1) Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup
pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi.
2) Pemantauan berat badan mandiri
38

Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat
badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertmbangan
dokter.
3) Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan
gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien
dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis.
4) Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala
dan meningkatkan kualitas hidup.
5) Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat.Kaheksia
jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka kelangsungan
hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat badan stabil
sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia.
Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati.
6) Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.
Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit
atau di rumah.
7) Aktvitas seksual
Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi tekanan
pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan tidak boleh
dikombinasikan dengan preparat nitrat.
b. Tatalaksana Farmakologi
Tujuan penatalaksanaan gagal jantung adalah untuk mencegah bertambah
progresifnya penyakit, mengurangi gejala / keluhan, mengurangi masa rawatan
dan mencegah kematian.Penatalaksanaan terhadap gagal jantung meliputi:
-

Membatasi aktifitas fisik untuk mengurangi kerja jantung

39

mengurangi pre load pada jantung dengan membatasi cairan dan garam,
penggunaan vasodilator untuk dilatasi vena dan penggunaan diuretik untuk

mengurangi volume cairan.


Mengurangi after load dengan penggunaan vasodilator arteri atau
menghambat angiotensin II dengan pemakaian Angiotensin Converting

Enzyme ( ACE ) inhibitors


Meningkatkan kontraktilitas jantung dengan pemberian inotropik positif Mengurangi efek adrenergik dengan antagonis reseptor

Beberapa terapi yang digunakan dalam gagal jantung :


a. Diuretik
Pada pasien gagal jantung dengan adanya overload maka harus diberikan
diuretiks dimana pemberian lebih awal berhubungan dengan hasil yang lebih baik.
Pada pasien ini tujuan pemberian diuretik adalah mencapai peningkatan output
urin dan penurunan berat badan 0,5 1 kg/hari sampai tercapai euvolemia secara
klinis. Pada kasus adanya resistensi diuretik maka pemberian diuretik dapat
berupa kombinasi beberapa macam obat lebih efektif dan memiliki efek samping
yang lebih rendah dibandingkan pemberian satu jenis obat dengan dosis yang
lebih tinggi. Pada pasien yang mendapat diuretik harus dimonitor berat badan,
keseimbangan cairan masuk dan keluar, kadar elektrolit dan fungsi ginjal.
Golongan loop diuretiks ( furosemid ) merupakan diuretik kuat yang menghambat
transpor sodium keluar pada loop ascending Henle sehingga menyebabkan
meningkatnya pengeluaran cairan dan sodium. Golongan tiazid bekerja pada
tubulus distal ginjal dengan mengurangi reabsorbsi sodium dan meningkatkan
eksresi cairan. Pemberian diuretik dapat berupa kombinasi thiazid dengan loop
diuretik untuk edema yang resisten, namun harus diperhatikan secara cermat
kemungkinan dehidrasi, hipovolemia, hiponatremia, atau hipokalemia.
b. Vasodilator
Pemberian vasodilator seperti nitrogliserin diberikan pada pasien yang
kurang respon dengan hanya pemberian diuretik. Tujuan pemberian vasodilator
akan mengurangi preload dan mempercepat pengurangan bendungan paru.
Golongan nitrat ( nitrogliserin ) mendilatasi arteri perifer dan vena dengan
merelaksasikan otot polos vaskuler yang menyebabkan pengurangan preload dan
afterload. Pemberian nitrat ( sublingual/IV ) mengurangi preload dan berguna
40

untuk pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak
sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan
vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Oleh karena itu dosis pemberian harus
adekuat sehingga terjadi keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa
mengganggu perfusi jaringan. Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai
vasodilator yang diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien
gagal jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari
pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati.
c. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
Oleh karena pentingnya aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
dalam progresifnya gagal jantung maka blokade sistem ini menjadi salah satu
dasar keberhasilan terapi. Golongan ACE inhibitor bekerja dengan memblok
pembentukan angiotensin II dan aldosteron yang menyebabkan penurunan
resistensi vaskuler dan mengurangi retensi sodium/cairan. Pasien dengan tidak
ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran terhadap ACE Inhibitor
(ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan gagal jantung yang
simtomatik dan LVEF <40% dimana dengan ACE inhibitor akan memperbaiki
fungsi ventrikel. Beberapa contoh obat golongan ACE inhibitor adalah captopril,
enalapril, lisinopril, ramipril dan trandolapril.
d. Inotropik
Pasien dengan low output dan adanya tanda tanda hipoperfusi atau
bendungan dipertimbangkan untuk pemberian obat inotropik seperti dopamin,
dobutamin, milrinone, enoximone dan levosimendan. Obat obatan ini akan
memperbaiki gejala yang berhubungan dengan perfusi yang buruk dan
mempertahankan fungsi end organ pada pasien dengan disfungsi sistolik berat.
Obat inotropik memberikan hasil yang bagus pada pasien dengan hipotensi relatif
dan intoleran atau tidak respon dengan vasodilator dan diuretiks. Dobutamin dan
dopamin

bekerja

dengan

merangsang

reseptor

meningkatkan kontraktilitas miokard dan cardiac output.


e. Glikosida Digoksin

41

adrenergik

sehingga

Diberikan pada pasien gagal jantung dan atrial fibrilasi dimana


digoksin digunakan untuk mengurangi frekuensi jantung. Digoksin bekerja
dengan menghambat kerja sodium potassium ATPase. Blokade terhadap enzim
ini berhubungan dengan:
- Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi
ventrikel kiri.
-Menstimulasi baroreseptor jantung
-Mengurangi sekresi renin dari ginjal.
-Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan aktifitas
vagal.
Pemberian digoksin pada pasien dewasa dengan gagal jantung dan fungsi
ginjal normal dengan dosis 0,25 mg. Pada pasien tua dan adanya gangguan ginjal
dosis dikurangi menjadi 0,0625 mg sampai 0,125 mg. Efek samping obat ini dapat
berupa blok sinoatrial dan AV, aritmia serta tanda tanda toksisitas seperti mual,
anoreksia, pusing dan gangguan penglihatan warna.
f. Beta Blocker
Beta bloker menghambat efek sistemik saraf simpatis yang dimediasi
melalui reseptor beta-1, beta-2 dan alpha-1 pada otot jantung.

Manfaat dari

pemberian B-bloker adalah :


- Mengurangi frekuensi jantung dimana memperlambat pengisian diastolik
sehingga memperbaiki perfusi miokard
- Meningkatkan LVEF Carvedilol bekerja dengan menghambat reseptor beta-1,
beta-2 dan alpha-1. Sementara itu bisoprolol, nebivolol dan metaprolol merupakan
antagonis selektif beta-1.
Hipertensi berhubungan dengan peningkatan risiko menjadi gagal
jantung. Terapi antihipertensi secara jelas menurunkan angka kejadian gagal
jantung ( kecuali penghambat adrenoreseptor alfa, yang kurang efektif dibanding
antihipertensi lain dalam pencegahan gagal jantung ). Penghambat kanal kalsium
(CCB) dengan inotropic negative (verapamil dan diltiazem) seharusnya tidak
digunakan untuk mengobati hipertensi pada pasien gagal jantung sistolik (tetapi
masih dapat digunakan pada gagal jantung diastolik).Bila tekanan darah belum

42

terkontrol dengan pemberian ACE/ ARB, penyekat , MRA dan diuretic, maka
hidralazin dan amlodipine dapat diberikan.Pada pasien dengan gaal jantung akut,
direkomndasikan pemberian nitrat untuk menurunkan tekanan darah.

Tabel 3. Rekomendasi Terapi Hipertensi pada Gagal Jantung


Selain Hipertensi, Diabetes merupakan penyakit penyerta yang sangat
sering terjadi pada gagal jantung, dan berhubungan dengan perburukan prognosis
dan status fungsional. Diabetes dapat dicegahkan dengan pemberian ACE/ ARB.
Penyekat bukan merupakan kontraindikasi pada diabetes dan memiliki efek
yang sama dalam memperbaiki prognosis pada pasien diabetes maupun non
diabetes. Golongan Tiazolidindion (glitazon) menyebabkan retensi garam dan
cairan serta meningkatkan perburukan gagal jantung dan hospitalisasi, sehingga
pemberiannya harus dihindarkan. Metformin tidak direkomendasikan bagi pasien
dengan gangguan ginjal atau hati yang berat, karena risiko asidosis laktat, tetapi
sampai saat ini merupakan terapi yang paling sering digunakan dan aman bagi
pasien gagal jantung lain. Obat anti diabetik yang baru belum diketahui
keamanannya bagi pasien gagal jantung.

43

Tabel 4. Rekomendasi Tatalaksana Gagal Jantung pada Pasien Diabetes

44

DAFTAR PUSTAKA
Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the diagnosis
and treatment of acute and chronic heart failure 2008. Eur Heart J
2008;29:2388442.
Jameson, J.Larry dan Loscalzo, Joseph. 2013. Harrison: Nefrologi dan Gangguan
Asam Basa, editor edisi bahasa Indonesia Alifa Dimanti, Rudi, Ferdy.
Jakarta: EGC
Lydia, Aida dan Marbun, Maruhum. 2014. Sindroma Nefrotik, dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing.
McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task
Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure
2012 of the European Society of Cardiology. Developed in collaboration
with the Heart. Eur Heart J [Internet] 2013;32:e1641 e61. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22611136
Pia I. Acute HF: Guidance on Reducing Readmissions [Internet]. 2013 [cited
2015
Feb
21];Available
from:
http://www.medscape.com/viewarticle/777325
Prodjosudjadi W. 2006. Sindroma Nefrotik, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Rydn L, Grant PJ, Anker SD, et al. ESC guidelines on diabetes, prediabetes, and
cardiovascular diseases developed in collaboration with the EASD. Eur
Heart J 2013;34:303587.
Salme U. Sindrom Nefrotik. 2010. Journal [Serial On The Internet]. Available
From: Www.Scribd.Com.
Seigneux S, Marthin PY. 2009. Management Of With Nephrotic Syndrome. Swiss
Med Wkly.
Tjokroprawiro, A., Setiawan P.B., Effendi, C., Santoso, Soegiarto. 2015. Buku
Ajar Imu Penyakit Dalam Edisi 2 Jilid II. Surabaya: Airlangga University
Press.
Waldman, M. 2007. Adult Minimal-Change Disease: Clinical Characteristics,
Treatment, And Outcomes, Clin J Am Soc Nephrol.

45

Vous aimerez peut-être aussi