Vous êtes sur la page 1sur 14

LAPORAN PENDAHULUAN

CARSINOMA SERVIKS DAN ANEMIA


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi
Departemen Surgikal di Ruang 9 RSSA Malang

Oleh:
Kelompok 10
Anastasia Maulida
NIM. 125070218113008

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

CHOLANGITIS
A. DEFINISI
Cholangitis adalah peradangan pada duktus biliaris (Dorland, 2011). Cholangitis adalah
infeksi bakterial dari saluran empedu yang tersumbat, sumbatan dapat disebabkan oleh
penyebab dari dalam saluran empedu misalnya batu koledokus, askaris yang memasuki
duktus koledokus atau dari luar lumen misalnya karsinoma caput pankreas yang menekan
duktus koledokus, atau dari dinding saluran empedu misalnya kolangio-karsinoma atau
striktur saluran empedu (Connor, 1991 dan Nurman, 1999).
B. ETIOLOGI
Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan obstruksi dari sistem bilier yang dapat
menyebabkan terjadinya cholangitis, seperti kelainan anatomi atau benda asing dalam
saluran empedu. Dalam keadaan ini terjadi kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan
cholangitis. Penyebab yang paling sering dari cholangitis di USA adalah batu koledokus
yang ditemukan pada 10-20% pasien batu kandung empedu (Shailesh, 1993). Penyebab
kedua cholangitis adalah obstruksi maligna dari saluran empedu oleh karsinoma pankreas,
metastasis dari tumor peri pankreas, metastasis porta hepatis (Shailesh, 1993 dan Axon,
1990). Selain itu pemakaian jangka panjang stent biliaris seringkali disertai obstruksi stent
oleh cairan biliaris yang kental dan debris biliaris yang menyebabkan cholangitis (Cameron,
1997).
C. PATOFISIOLOGI
Adanya hambatan dari aliran cairan empedu akan menimbulkan stasis cairan empedu
dan apabila berlangsung lama maka akan terjadi kolonisasi bakteri dan pertumbuhan kuman
yang berlebihan. Bakteri ini berasal dari flora duodenum yang masuk melalui sfingter Oddi,
dapat juga dari penyebaran limfogen dari kandung empedu yang meradang akut (Nurman,
1999). Mikroorganisme yang menyebabkan infeksi pada cholangitis akut yang sering
dijumpai adalah bakteri gram (-) enterik E. Coli, Klebsiella, Streptococcus faecalis dan
bakteri anaerob. Bakteri seperti Proteus, Pseudomonas dan Enterobacter enterococci juga
tidak jarang ditemukan (Malet, 1996). Cholangitis terjadi akibat kombinasi dari adanya
hambatan dari aliran cairan empedu yang berlangsung lama dan terjadi kolonisasi dan
proliferasi bakteri.
Adanya tekanan yang tinggi dari saluran empedu yang tersumbat, bakteri akan kembali
(refluks) ke dalam saluran limfe dan aliran darah dan dapat mengakibatkan sepsis (Nurman,
1999). Selain itu, beberapa dari efek serius cholangitis dapat disebabkan oleh endotoksemia
yang dihasilkan oleh produk pemecahan bakteri gram negatif. Endotoksin diserap di usus
lebih mudah bila terdapat obstruksi bilier, karena ketiadaan garam empedu yang biasanya

mengeluarkan endotoksin sehingga mencegah penyerapannya. Selanjutnya kegagalan


garam empedu mencapai intestin dapat menyebabkan perubahan flora usus. Selain itu
fungsi sel-sel Kupfer yang jelek dapat menghambat kemampuan hati untuk mengekstraksi
endotoksin dari darah portal. Bilamana cholangitis tidak diobati, dapat timbul bakteremia
sistemik yang dapat menimbulkan abses hati (Malet, 1996).
D. MANIFESTASI KLINIS
Pada sekitar 50-60% kasus cholangitis, ditemukan manifestasi klinis berupa Trias
Charcot yaitu demam, ikterus dan nyeri abdomen kuadran kanan atas. Nyeri ini bersifat
kolik, menjalar ke belakang atau ke skapula kanan, kadang-kadang nyeri bersifat konstan
(Cameron, 1997 dan Nurman, 1999). Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala lain seperti
mual dan muntah yang dapat mengakibatkan penurunan nafsu makan (anoreksia) sehingga
asupan nutrisi berkurang yang dapat mengakibatkan kelelahan serta menurunnya berat
badan pada penderita cholangitis. Pasien dengan cholangitis supuratif selain menunjukkan
manifestasi klinis berupa trias charcot tapi juga menunjukkan adanya penurunan kesadaran
dan hipotensi (Cameron, 1997).
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG sangat mudah melihat pelebaran duktus biliaris intra/ekstra
hepatal sehingga dengan mudah dapat mendiagnosis apakah ada ikterus onstruksi
atau ikterus non obstruksi. Apabila terjadi sumbatan daerah duktus biliaris yang paling
sering adalah bagian distal maka akan terlihat duktus biliaris komunis melebar dengan
cepat yang kemudian diikuti pelebaran bagian proximal. Untuk membedakan obstruksi
letak tinggi atau letak rendah dengan mudah dapat dibedakan karena pada obstruksi
letak tinggi atau intrahepatal tidak tampak pelebaran dari duktus biliaris komunis.
Apabila terlihat pelebaran duktus biliaris intra dan ekstra hepatal maka ini dapat
dikategorikan obstruksi letak rendah (distal) (Soetikno, 2007).
2. Pada pemeriksaaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis pada sebagian besar
pasien.

Jumlah sel darah putih biasanya melebihi 13.000. Lekopeni atau

trombositopenia kadang-kadang dapat ditemukan, biasanya jika terjadi sepsis parah.


Sebagian besar penderita mengalami hiperbilirubinemia sedang. Peningkatan bilirubin
yang tertinggi terjadi pada obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk alkali fosfatase
(GGT) dan transaminase serum (SGOT/SGPT) juga sedikit meningkat yang
menggambarkan proses kolestatik (Cameron, 1997; Shojamanes, 2006; Josh, 2006).
Biasanya aPTT dan PTT tidak meningkat kecuali bila terdapat sepsis yang
menimbulkan Koagulasi Intravaskuler Diseminata (DIC) atau apabila terdapat sirosis

pada pasien tersebut. Pemeriksaan koagulasi tersebut diperlukan apabila pasien


memerlukan intervensi operatif. Kadar C-reactive protein dan LED pada umumnya
meningkat. Kultur darah (2 set): antara 20% dan 30% kultur darah memberikan hasil
yang positif, banyak diantaranya menunjukkan infeksi polimikrobial.
3. Foto Polos Abdomen
Pada pemeriksaan ini diharapkan dapat melihat batu opak dikandung empedu atau di
duktus kholedekus. Kadang-kadang pemeriksaan ini dipakai untuk skrening, melihat
keadaan secara keseluruhan dalam rongga abdomen (Soetikno, 2007).
4. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP) adalah pemeriksaan duktus
billiaris dan duktus pankreatikus dengan memakai pesawat MRI, dengan memakai
heavily T2W acquisition untuk memaksimalkan signal dari cairan yang menetap pada
duktus biliaris dan duktus pankreatikus (Soetikno, 2007).
F. PENATALAKSANAAN
Penalaksnaan Konservatif
Penatalaksanaan awal kolangitis adalah terapi konservatif dimana keseimbangan
cairan dan elektrolit harus harus dikoreksi dan penggunaan antibiotik. Antibiotik yang dipakai
pada kasus ringan sampai berat adalah cephalosporin (misalnya cefazolin, cefixitin). Pada
kasus berat digunakan aminoglikosida ditambah dengan clindamycin atau metronidazole.
Saluran empedu yang mengalami obstruksi harus didrainase sesegera munkin pada pasien
dengan kondisi stabil.
Dekompresi Biliaris
Sebagian besar pasien (sekitar 70%) dengan kolangitis akut akan berespon terhadap
terapi antibiotik saja. Pada kasus tersebut demam menghilang dan tes fungsi hati kembali
ke normal dalam 24 sampai 48 jam. Jika pasien tidak menunjukkan perbaikan dalam 12
sampai 24 jam pertama, dekompresi biliaris darurat harus dipertimbangkan. Pada sebagian
besar kasus, dekompresi biliaris dilakukan segera secara non operatif baik dengan jalur
endoskopik maupun perkutan. Yaitu: (Sabiston, 1968 dan Cameron, 1997).
a. Penanggulangan sfingterotomi endoskopik
Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum tidak membaik atau malah semakin
buruk, dapat dilakukan sfingterotomi endoskopik, untuk pengaliran empedu dan nanah
serta membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa nasobilier.
Apabila batu duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi
endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada penderita ini mungkin
dianjurkan litotripsi terlebih dahulu (De Jong, 1997 dan Burkitt, 1996).
b. Lisis batu

Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada batu
kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan pengobatan selama satu
sampai dua tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan

kedalam kandung empedu

dengan metil eter berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi invasif
walaupun kerap disertai dengan penyulit (De Jong, 1997).
ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) adalahpenghancuran batu saluran
empedu dengan menggunakan berbagai jenis lithotripter yang dilengkapi dengan
pencitraan flouroskopi sebelum prosedur, diperlukan sfingterotomi endoskopik dan
pemasangan kateter nasobiliaris untuk memasukkan material kontras. Terapi dilanjutkan
sampai terjadi penghancuran

yang adekuat atau telah diberikan pelepasan jumlah

gelombang kejut yang maksimum (Cameron, 1997; De Jong, 1997; Josh, 2006).
c. PTBD ( Percutaneous Transhepatik Biliar Drainage)
Pengaliran bilier transhepatik biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai salah
satu alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi ikterus
berat pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien dengan pipa
T pada saluran empedu dapat juga dimasukkan koledokoskop dari luar untuk membantu
mengambil batu intrahepatik (De Jong, 1997; Brunicardi, 2000).
Penatalaksanaan Definitif
a. Kolesistektomi Terbuka
Merupakan operasi yang membutuhkan anestesi umum kemudian dilakukan irisan pada
bagian anterior dinding abdomen dengan panjang 12-20cm
Teknik operasi kolesistektomi terbuka
Dilakukan dengan insisi subtotal kanan (Kocher) sebagai salah satu insisi yang serbs
guna dalam diseksi lambung empedu dan saluran empedu.
b. Kolangiografi operatif
Dilakukan secara rutin untuk mendapatkan peta anatomik di daerah yang sering
mengalami anomalidan untuk menyingkirkan batu empedu yang tidak dicurigai.
Kolangiografi dilakukan mengan menggunakan kanlua kangiografi seperti Berci Lehman
dn Colangiocath. Insisi dibuat di saluran sistikus Insisi harus cukup besar untuk
memasukkan kanula Kanula dipertahankan ditempatnya dengan hemoclip. Kemudian
material kontras dimasukkan yaitu hypaque 25%. Sistem operasi kolangiografi adalah
fluorokolangiopatidengan penguatan citra serta monitor televisi. Ini memungkinkan
pengisian saluran empedu secara lambat dan pemaparan multiple saluran sistem saat
diisi.
c. Laparoskopi Kolesistektomi
Merupakan cara invasif untuk mengangkat batu empedu dengan menggunakan teknik
laparoskopi.
kehamilan.

Kontraindikasinya

adalah

sepsis

abdomen,

gangguan

pendarahan

d. Eksplorasi koledokus: eksplorasi laparoskopi duktus empedu


Umumnya sebelum tindakan operatif batu duktus empedu dideteksi dengan kolangiografi
intraoperatif mengalirkan saline melalui kateter kolangiografi setelah sfingter oddi
direlaksasikan dengan glukagoN. Jika irigasi tidak berhasil, dapat dilakuakan
pemasangan kateter balon melalui duktus sisikus dan turun ke duktus empedu
G. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dari penyakit cholangitis terutama yang derajat tinggi (cholangitis
supuratif) adalah sebagai berikut:
1. Abses hati piogenik
Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak dan
dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orang tua sebagai
komplikasi penyakit saluran empedu seperti cholangitis. Infeksi pada saluran empedu
intrahepatik menyebabkan cholangitis yang menimbulkan kolangiolitis dengan akibat
abses multiple (De Jong, 1997).
2. Bakteremia , sepsis bakteri gram negatif
Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (25-40%). Komplikasi
bakteremia pada cholangitis dapat terjadi oleh karena etiologi utama penyebab
terjadinya cholangitis adalah infeksi bakteri. Demam merupakan keluhan utama sekitar
10-15% (Josh, 2006).
3. Peritonitis sistem bilier
Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi dan peritonitis. Jika
empedu terkena infeksi, maka akan menyebabkan peritonitis dan sepsis yang
mempunyai resiko tinggi yang sangat fatal.
4. Kerusakan duktus empedu
Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan kolesistektomi atau pada
eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai dengan anatominya. Kesalahan yang
sangat fatal adalah tidak mengetahui cara melakukan transeksi atau ligasi pada
duktus.
5. Perdarahan
Arteri hepatik dan arteri sistikus serta vaskularisasi hepar lainnya dapat mengalami
trauma dan perdarahan pada saat melakukan operasi. Perdarahan yang terjadi
kadang susah untuk dikontrol.
6. Cholangitis asendens dan infeksi lain
Cholangitis asendens adalah komplikasi yang terjadinya lambat pada pembedahan
sistem bilier yang merupakan anastomosis yang dibentuk antara duktus empedu dan
usus besar bagian asendens. Refluks pada bagian intestinal dapat berlanjut menjadi

infeksi aktif sehingga terjadi stagnan empedu pada sistem duktus yang menyebabkan
drainase tidak adekuat.
Komplikasi lain yang harus diperhatikan pada pembedahan sistem bilier adalah abses
subprenikus. Hal ini harus dijaga

pada pasien yang mengalami demam beberapa hari

setelah operasi. Komplikasi yang berhubungan dengan pemakaian kateter pada pasien
yang diterapi dengan perkutaneus atau drainase endoskopik adalah perdarahan (intraabdomen atau perkutaneus) dan sepsis.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN SECARA UMUM


1.

Pengkajian

a.

Identitas
Cholangitis cukup jarang terjadi, biasanya terjadi bersamaan dengan penyakit lain yang
menimbulkan obstruksi billier dan bactibilia misal setelah prosedur ERCP, 1-3% pasien
mengalami cholangitis.

b.

Keluhan utama pada penderita cholangitis, klien mengeluh demam, ikterus dan nyeri
abdomen kuadran kanan atas. Nyeri ini bersifat kolik, menjalar ke belakang atau ke
skapula kanan, kadang-kadang nyeri bersifat konstan.

c.

Riwayat penyakit
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu, contohnya riwayat dari keadaan
berikut dapat meningkatkan resiko cholangitis

Batu kandung empedu atau batu saluran empedu

Pasca cholecystectomy

Manipula endoskopik atau ERCP cholangiogram

Riwayat cholangitis sebelumnya

Riwayat HIV/AIDS: choalngitis yang berhubungan dengan aids memliki ciri edema
bilier ekstrahepatik ulserasi dan obstruksi bilier

Riwayat penyakit sekarang


Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak memiliki gejala klasik
tersebut. Sebagian besar pasien mengeluh nyeri abdomen kuadran lateral atas. Gejala
lain yang dapat terjadi meliputi: jaundice, demam, menggigil dan kekakuan.
Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apabila klien mempunyai penyakit keturunan seperti diabetes mellitus,
hipertensi, anemia.
d.

Pemeriksaan fisik
Sistem pernafasan
Inspeksi : pergerakan dinging dada simetris, pernafasan dangkal, klien tampak gelisah
Palpasi : vocal vremitus teraba merata
Perkusi : sonor
Auskultasi : tidak terdapat suara tambahan (ronchi, wheezing)
Sistem kardiovaskuler
Terdapat takikardi dan diaphoresis
Sistem neurologi
Tidak terdapat gangguan pada system neurologi

Sistem pencernaan
Inspeksi : tampak ada distensi abdomen diperut kanan atas klien mengeluh mual
muntah
Auskultasi : peristaltic usus 5-12x / menit flatulensi
Perkusi : adanya pembengkakan di abdomen atas/ kuadran kanan atas, nyeri tekan
epigastrium
Sistem eliminasi
Warna urine lebih pekat dan warna feses seperti tanah liat
Sistem integument
Terdapat ikterik/jaundice dengan kulit berkeringat dan gatal
Sistem musculoskeletal
Terdapat kelemahan otot karena gangguan produksi ATP
2. Diagnosa Keperawatan
Pre operasi

Risiko infeksi berhubungan dengan supresi respon inflamasi dan statis cairan empedu

Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi

Nyeriberhubungandengandistensikandungempedu

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual


muntah, nyeri abdomen dan kurang minat pada makanan

Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah dan kehilangan
cairan aktif

Keletihan berhubungan dengan kurang energi

Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan pigmentasi (ikterus)

Post operasi
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi
Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
3. Intervensi Keperawatan
Risiko infeksi berhubungan dengan supresi respon inflamasi dan statis cairan empedu
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam nyeri berkurang
Kriteria hasil :

Tanda dan gejala infeksi berkurang/tidak ada

Memperlihatkan personal hygiene yang adekuat

Intervensi :

Pantau tanda dan gejala infeksi

Kaji factor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi

Pantau hasil laboratorium

Amati penampilan praktek hygiene personal untuk perlindungan terhadap infeksi

Jelaskan pada pasien dan keluarga mengapa sakit atau terapi meningkatkan resiko
terhadap infeksi

Instruksikan untuk menjaga personal hygiene

Ajarkan pasien dan keluarga tehnik mencuci tangan yang benar

Ajarkan kepada pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan meninggalkan
ruang pasien

Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi factor dilingkungan mereka, gaya hidup


atau praktik kesehatan yang meningkatkan risiko infeksi

Ajarkan keluarga bagaimana membuang balutan luka yang kotor dan sampah biologis
lainnya

Nyeri berhubungan dengan distensi kandung empedu


Tujuan : setalah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam nyeri berkurang
Kriteria hasil :

Keadaan umum normal pasien tampak nyaman

Nyeri berkurang pasien tampak rileks ditunjukkan dengan skala nyeri 1-3

Pasien melakukan managemen nyeri saat nyeri kembali dating

TTV dalam batas normal

Intervensi :

BHSP

Observasi, catat lokasi dan skala nyeri dan karakter nyeri

Anjurkan pasien dalam posisi nyaman

Anjurkan managemen nyeri distraksi relaksasi nafas dalam

Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesic

Observasi tanda tanda vital

Kaji respon pasien

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual


muntah, nyeri abdomen dan kurang minat pada makanan
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam keseimbangan nutrisi
terpenuhi

Kriteria hasil :

Asupan nutrisi kembali seimbang

Pasien menunjukkan energy yang adekuat

TTV dalam batas normal

Mual muntah berkurang

Intervensi :

BHSP

Observasi tanda tanda vital

Anjurkan untuk makan sedikit tapi sering

Berkolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian program diet

Monitoring asupan gizi pasien

Kaji respon pasien

Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi


Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam suhu tubuh kembali
normal
Kriteria hasil :

Suhu tubuh kembali normal pasien nyaman

Tanda vital dalam bats normal

Pasien dapat melakukan tindakan untuk mengurangi suhu tubuh

Intervensi :

BHSP

Observasi tanda vital

Anjurkan menggunakan pakaian tipis dan minum air putih

Anjurkan untuk melakukan kompres dingin pada daerah dada dan ketiak

Kolaborasi dalam pemberian antipiretik

Kaji respon pasien

Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah dan kehilangan
cairan aktif
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, risiko kekurangan
volume cairan berkurang
Kriteria hasil :

Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT
normal

Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal

Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa
lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan

Intervensi :

Timbang popok/pembalut jika diperlukan

Pertahankan catatan intake dan output yang akurat

Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah
ortostatik ), jika diperlukan

Monitor vital sign

Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian

Lakukan terapi IV

Monitor status nutrisi

Berikan cairan

Berikan cairan IV pada suhu ruangan

Dorong masukan oral

Berikan penggantian nesogatrik sesuai output

Dorong keluarga untuk membantu pasien makan

Tawarkan snack ( jus buah, buah segar )

Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk

Atur kemungkinan tranfusi

Persiapan untuk tranfusi

Keletihan berhubungan dengan kurang energi


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, keletihan berkurang
Kriteria hasil :
Beradaptasi dengan keletihan yang dibuktikan oleh toleransi aktivitas, ketahanan, dan
status nutrisi (energy dan energy psikomotor)
Intervensi :

Pantau bukti adanya keletihan fisik dan emosi yang berlebihan pada pasien

Pantau respon kardiorespirasi terhadap aktivitas missal takikardi, disritmia, dyspnea


pucat dan sesak napas)

Pantau dan catat pola tidur pasien dan jumlah jam tidurnya

Pantau lokasi dan sifat ketidaknyamanannya atau nyeri selama bergerak dan
beraktivitas

Tentukan persepsi pasien pada orang terdekat pasien tentang penyebab keletihan

Pantau asupan nutrisi untuk menjamin keadekuatan sumber energy

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan pigmentasi (ikterus)


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, integritas kulit
membaik
Kriteria hasil :

Kebutuhan kulit tetap dapat dipertahankan

Tidak ada ikterus

Tidak ada eritema pada kulit

Intervensi :

Kaji warna kulit tiap 8 jam

Bersihkan kulit saat terkena kotoran

Pantau bilirubin direk dan indirek

Rubah posisi setiap 2 jam

Jaga kebersihan kulit dan kelembabannya


Risiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
Tujuan: setelah dilakukan tindkan keperawatan selama 1x24 jam, risiko infeksi pada klien
minimal
Kriteria hasil:

Tidak ada tanda infeksi

Tidak ada demam

Luka insisi tidak terbuka

Tidak ada komplikasi

Intervensi :

Observasi dan lapotkan tanda dan gejala infeksi seperti kemerahan, panas, nyeri,

tumor dan adanya fungsiolaesa


Kaji temperature tiap 4 jam
Catat dan laporkan nilai laboratorium (leukosit, protein serum, albumin)
Kaji warna kulit kelembaban, tekstur, dan turgor
Gunakan strategi untuk mencegah infeksi nosokomial
Tingkatkan intake cairan
Istirahat yang adekuat
Ganti IV line sesuai dengan aturan yang berlaku
Pastikan perawatan yang efektif pada IV line

Dorong pasien untuk istirahat


Berikan terapi antibiotic sesuai instruksi
Ajari pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi dan kalau terjadi untuk

melapor kepada perawat


Ajari pasien dan keluarga tentang bagaimana mencegah infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, dkk. Cholangitis in Schwartz Principles of Surgery, Eight


edition, New York ; McGraw-Hill, 2000, p : 1203-1213
Burkitt G, Quick C, Gatt D. Management of gallstone disease in essensial surgery, second
edition, New York ; Churchill Livingstone, 1996, P : 215-220
Cameron L, John, Terapi bedah Mutakhir, Edisi 4, Binarupa Aksaram Jakarta, 1997, hal :
476-479
De Jong, Wim, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1997 hal : 776-778.
Josh, J. Adams, Cholangitus, in http://www.emidiche.com 2006, p : 1-11
Kaminstein, David, MD, Cholangitis, in : http://www.healthatoz.com 2006, p : 1-8
Kiriyama, Seiki et al. 2012. New diagnostic criteria and severity assessment of acute
cholangitis in revised Tokyo guidelines. J Hepatobilliary Pancreat Sci (2012) 19: 548-556.
Japan
Sabiston C, Davidm Textbook of Surgery, WB. Sauders company, 1968, p : 1154 1161
Shojamanes, Homayoun, Mo, Cholangitis, in : http:/www.emidicine.com7 2006, p : 1-10
Soetikno, Rista D. 2007. IMAGING PADA IKTERUS OBSTRUKSI. Bandung : Bagian/UPF
Radiologi FKUNPAD/RSUP dr. Hasan Sadikin

Vous aimerez peut-être aussi