Vous êtes sur la page 1sur 5

Definisi Akalasia

Kegagalan sfingter esofagus bawah untuk berelaksasi pada saat menelan disertai
penurunan progresif kemampuan peristaltik pada esofagus.

Epidemiologi
Prevalensi akalasia diperkirakan 7,9 sampai 12,6 per 100.000 populasi. Dimana,
insidensinya kira-kira 1 dari 100.000 orang.

Faktor Risiko
Faktor pencetus tidak diketahui, walaupun genetik, infeksi, lingkungan dan faktor
autoimun mungkin berperan. Abnormalitas neuromuskular lainnya ditemukan pada pasien
akalasia termasuk trauma pada nervus vagus, perubahan degeneratif dalam nervus motor
dorsal vagus, dan hipertrofi otot polos.

Patofisiologi
Patofisiologi dari akalasia yaitu terjadinya kematian sel ganglion inhibitor intramural
yang mengandung nitric oxide dan peptida inhibitor vasoaktif, sehingga terjadi kehilangan
kemampuan peristaltik normal dan kemampuan LES untuk berelaksasi selama menelan. Hal
ini menyebabkan kegagalan pengosongan esofagus dan adanya akumulasi makanan di
esofagus. Jika kadaan ini terus terjadi, maka tekanan hidrostatis intraluminal meningkat dan
ahirnya bolus dapat melewati esofagus pada satu waktu tertentu. Hambatan juga
menyebabkan esofagus berdilatasi membentuk mesoesofagus.1,2

Gambaran Klinis
Gejala dari akalasia yaitu nyeri dada, disfagia progresif, regurgitasi, penurunan berat
badan, batuk pada malam hari, aspirasi, pneumonia.
Disfagia yang mula-mula dirasakan sebagai rasa penuh atau rasa mengganjal di
daerah esofagus distal, hilang timbul, dan semakin lama semakin memberat. Pasien akan
makan secara perlahan-lahan dan selalu disertai dengan minum banyak. 2 Kebanyakan pasien
dapat beradaptasi dengan perubahan dalam diet mereka dan mampu menjaga berat badan,
sementara yang lainnya mengalami penurunan berat badan. 1 Mula-mula keadaan gizi baik
dan baru menurun pada tahap lanjut.2
Regurgitasi terjadi pada 60% pasien yang terjadi lebih sering dalam posisi terlentang
dan dapat menyebabkan aspirasi.1 Regurgitasi terjadi bila penyaki sudah lanjut dan sudah
terjadi dilatasi esofagus bagian proksimal. Regurgitasi biasanya dirasakan pada waktu malam
sehingga pasien terbangun dari tidurnya. Makanan yang mengalir balik belum dicerna, tidak
asam, dan baunya manis karena pengaruh ludah. Keadaan ini membahayakan karena dapat
menimbulkan pneumonia aspirasi.2

Pemeriksaan Penunjang
USG endoskopi atau CT scan dapat membantu menegakkan diagnosis.1
Tes barium harus menjadi pemeriksaan pertama yang dilakukan dalam evaluasi pasien
dengan disfagia. Biasanya menunjukkan penyempitan pada gastroesophageal junction.
Dilatasi esofagus dapat terjadi pada pasien dengan akalasia lama.1 Selain itu, apabila proses
akalasia sudah lama, bentuk esofagus berubah menjadi berkelok-kelok dan berbentuk huruf
S.2 Endoskopi dilakukan untuk menyingkirkan tumor dari gastroesophageal junction.1
Pada akalasia, terdapat gangguan kontraksi dinding esofagus, sehingga pengukuran
tekanan di dalam lumen esofagus dengan manometri sangat menentukan diagnosis. Tekanan

di dalam esofagogaster meninggi dan tekanan di dalam lumen esofagus lebih tinggi daripada
tekanan di dalam lambung.2
Kriteria diagnosis1
1.
2.
3.
4.

Disfagia
Regurgitasi
Pemeriksaan radiologis adanya penyempitan esofagus distal
Tidak adanya peristaltik esofagus pada pemeriksaan manometri.

Diagnosis banding
Benign striktur karena refluks gastroesofageal dan karsinoma esofagus. Kadang
infiltrasi tumor pada gastroesophageal junction bisa mirip tidak hanya secara klinis dan
radiologis dari akalasia tetapi juga profil manometrinya. Kondisi ini disebut pseudo akalasia
dan harus dicurigai pada pasien usia lebih dari 60 tahun dengan onset disfagia kurang dari 6
bulan, dan penurunan berat badan yang berlebihan.1
Tatalaksana
1. Terapi Farmakologi
a. Ca channel blocker dan nitrat. Nifedipin (10-30 mg po) menurunkan tekanan LES
20%-40% dibandingkan dengan efek placebo, tapi pengosongan esofagus dan
gejalanya tidak berkurang. Pemberian nifedipin 20 mg menurunkan tekanan LES
lebih baik daripada pengguanan isosorbit dinitrat 5mg sublingual dan menibulkan
efek samping yang lebih sedikit. Tetapi isosorbit dapat memperbaiki pengosongan
esofagus dan gejala disfagia lebih baik dibanding dengan pemberian nifedipin.
Terapi farmakologis merupakan pengobatan yang bersifat sementara, dengan
alasan ini diperlukan terapi non farmakologi.
2. Terapi Non- Farmakologi
a. Pneumatic dilatation, dilatasi dilakukan dengan dilatator yang terdiri atas sonde
dengan balon yang dapat diisi udara atau air bertekanan tinggi sehingga otot
sirkuler teregang dan sobek. Dilatasi ini harus diulang sewaktu timbul gejala

kembali. Dilatator yang paling umum digunakan yaitu Rigiflex balloon. Terapi
dengan cara dilatasi memberikan efek jangka pendek sangat baik, namun
efeketivitas dan durabilitas kurang baik pada efek jangka panjang. Komplikasi
yang dapat terjadi pada terapi dilatasi ini yaitu perforasi esofagus.
b. Surgical myotomy. Teknik bedah yang sering dipakai adalah invasi minimal
laparoskopi atau thoraskopik. Teknik lainnya yaitu teknik Heller yang
dimodifikasi, teknik ini dapat menurunkan 70 - 90% gejala dan menimbulkan efek
yang sedikit. Komplikasi dari pembedahan ini yaitu esofagitis refluks, dan Barret
esofagus. Kekambuhan pada terapi bedah dapat terjadi sebanyak 75 80% setelah
10 tahun. Indikasi dilakukan esofagotomi adalah (1) pasien masih muda, (2)
mengalami kegagalan terapi farmakologis atau dilatasi balon, (3) berisiko tinggi
mengalami perforasi pada teknik dilatasi, yaitu pasien dengan espfagus berkelokkelok atau divertikula, atau telah menjalani pembedahan untuk kelainan lain
sebelumnya, dan (4) ingin menghindari prosedur terapi berulang.
3. BTX (Botulinum Toxin) diinjeksikan ke LES secara rutin. Toksin botulinum yang

disuntikkan dengan bantuan endoskop adalah toksin yang bekerja menghambat


pengeluaran asetilkolin di prasinaps pada serabut saraf sehingga dapat menurunkan
tonus sfingter esofagus. Perbaikan gejala jangka pendek mencapai 85%, setelah 6
bulan kekambuhannya 26%. Keuntungannya lebih mudah dilakukan dan risiko
terjadinya komplikasi lebih kecil.

Komplikasi
Aspirasi makanan dapat menyebabkan pneumonia berulang. Akalasia juga merupakan
faktor risiko terjadinya karsinoma sel skuamosa esofagus karena terjadinya iritasi terus
menerus terhadap mukosa oleh makanan yang tidak dicerna dan mengalami fermentasi. 1
Karsinoma dapat terjadi pada 5% pasien yang tidak mendapatkan terapi. Jika sudah terjadi

karsinoma, prognosisnya lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma esofagus yang bukan
berasal dari akalasia. Hal ini diduga karena gejalanya sangat mirip dengan akalasia sehingga
menimbulkan keterlambatan diagnosis.1

Daftar Pustaka
1. Ebook eka (hijau)
2. De jong (merah)
3. Jurnal eka (hitam)

Vous aimerez peut-être aussi