Vous êtes sur la page 1sur 10

1

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Atresia Ani
2.1 Definisi
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia
rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma
VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2009).
2.2 Embriologi
Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum, kolon
desendens, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani.emdodern usus belakang ini
juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra (Sadler T.W, 1997).
Bagian akhir usus belakang bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga
yang dilapisi endoderm yang berhubungan langsung dengan ektoderm
permukaan. Daerah pertemuan antara endoderm dan ektoderm membentuk
membran kloaka (Sadler T.W, 1997).
Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu
septum urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang.Sekat ini tumbuh
kearah kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus
uroginetalis primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis.

Ketika

mudigah berumur
7 minggu, septum urorektal mencapai membran kloaka, dan di daeraah ini
terbentuklah korpus parienalis.

Membran kloakalis kemudian terbagi menjadi

membran analis di belakang, dan membran urogenitalis di depan (Sadler


T.W,
1997).

Universitas Sumatera Utara

Sementara

itu,

membran

analis

dikelilingi

oleh

tonjol-tonjol

mesenkim, yang dikenal sebagai celah anus atau proktodeum. Pada minggu ke-9,
membran analis koyak, dan terbukalah jalan antara rektum dan dunia luar.
Bagian atas kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh
nasi usus belakang, yaitu arteri mesentrika inferior.

Akan tetapi, sepertiga

bagian bawah kanalis analis berasal dari ektoderm dan ektoderm dibentuk oleh
linea pektinata, yang terdapat tepat di bawah kolumna analis. Pada garis ini,
epitel berubah dari epitel torak menjadi epitel berlapis gepeng (Sadler T.W,
1997).
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan
hindgut.

Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah,

esofagus,

lambung

sebagian duodenum,

hati dan

sistem bilier

serta

pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik,


kolon asenden sampai pertengahan kolon transversum.

Hindgut meluas dari

midgut hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm


kloaka, dan ektoderm dari protoderm atau analpit.

Usus terbentuk mulai

minggu keempat disebut sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang


lengkap dari septum urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau supra
levator.

Sedangkan anomali letak rendah atau infra levator berasal dari defek

perkembangan proktoderm dan lipatan genital.

Pada anomali letak tinggi, otot

levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus


dan internus dapat tidak ada atau rudimenter (Faradilla, 2009).
2.3 Epidemiologi
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh
dunia adalah 1 dalam 5000 kelahiran ( Grosfeld J, 2006).
Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada
perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui
pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal.

Sedangkan pada bayi

perempuan, jenis atresia ani yang paling banyak ditemui adalah atresia ani
diikut i fistula rektovestibular dan fistula perineal (Oldham K, 2005).

Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester menunjukkan bahwa


atresia ani letak rendah lebih banyak ditemukan dibandingka n atresia letak
tinggi ( Boocock G, 1987).
2.4 Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan.
3. Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah
komponen genetik.

Pada tahun 1950an,

didapatkan bahwa risiko

malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia
ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1
dalam 5000 kelahiran.

Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara

atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome).

Kedua hal

tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda


dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat
multigenik (Levitt M, 2007).
2.5 Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal
pada kehidupan embr ional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan
adanya fistula.

Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi

cairan, muntah dengan segala akibatnya.


menuju rektum,

Apabila urin mengalir melalui fistel

maka urin akan diabsorbsi sehingga

terjadi asidosis

hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan


infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum
dengan organ sekitarnya.

Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina

(rektovagina) atau perineum (rektovestibuler).


fistula menuju ke vesika

Pada laki-laki umumnya

urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada
letak rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).

2.6 Klasiikasi.
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia
ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.
Pada laki laki golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan
fistel urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan pada
invertogram: udara
> 1 cm dari kulit. Golongan II pada laki laki dibagi 5 kelainan yaitu kelainan
fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada
invertogram: udara < 1 cm dari kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I
dibagi menjadi 6 kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel
rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara >
1 cm dari kulit. Golongan II pada perempuan dibagi 4 kelainan yaitu kelainan
fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1
cm dari kulit (Hamami A.H, 2004).
2.7
Klinis.

Manifestasi

Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48
jam.
Gejala itu dapat berupa :
1. Perut kembung.
2. Muntah.
3. Tidak bisa buang air besar.
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat
dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan (FK UII, 2009).
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah dimana
rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses
bayi tidak
ujung dari

dapat

melaluinya,

malformasi

anorektal

intermedia

dimana

rektum dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus
sama sekali tidak ada (Departement of Surgery University of Michigan, 2009).
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih
abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% - 60%.
Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih
sering.

Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan tetapi

beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler


(Grosfeld J, 2006).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan
malformasi anorektal adalah
1. Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang
paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus,
diikut i oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi
duodenum (1%-2%).
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral
seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum.
Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele,
meningocele, dan teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada
atresia ani.

Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital

dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani
letak rendah
15% sampai 20%.

Kelainan tersebut

dapat

berdiri sendiri ataupun

muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal


and

Renal

abnormality)

dan

VACTERL

(Vertebrae,

Anorectal,

Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality) ( Oldham


K, 2005).

2.8 Diagnosa
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
teliti. Pada anamnesis dapat ditemukan :
a. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.
b. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula.
c. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan
kelainan adalah letak rendah (Faradilla, 2009).
Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa menggunakan cara:
1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :
a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti
atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti
(PSARP) tanpa kolostomi
b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih
dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif.
Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran
rektum <
1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut
letak tinggi.

Pada

laki-laki

fistel dapat

berupa

rektovesikalis,

rektouretralis dan rektoperinealis.


2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa
kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi
terlebih dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran
<
1 cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1
cm dari kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu.
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila mekonium
didadapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka kelainan
adalah letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah letak
tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir
agar usus terisis\ udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang
posisi badan vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud)
dengan bertujuan

agar udara berkumpul didaerah paling distal.

Bila terdapat fistula

lakukan fistulografi (Faradilla, 2009).


Pada

pemeriksan

klinis,

pasien

atresia

menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna.

ani

tidak

selalu

Untuk itu, diagnosis harus

ditegakkan pada pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan inspeksi


daerah perianal dan dengan memasukkan termometer melalui anus. (Levitt M,
2007)
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula
rektoperineal hingga 16-24 jam.

Distensi abdomen tidak ditemukan selama

beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui
fistula rektoperineal atau fistula urinarius.

Hal ini dikarenakan bagian distal

rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga
rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi
untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus
ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk
menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M, 2007).
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum,
ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa
pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan
dengan atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan colostomy (Levitt M, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani
letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin
tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat
keluarnya mekonium) (Levitt M, 2007).
2.9 penatalaksanaan.
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya.

Pada atresia ani

letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu
penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough,
tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus
yang lebih tinggi.
Faradillah

Pena dan Defries pada tahun 1982 yang dikutip oleh

memperkenalkan

metode

operasi

dengan

pendekatan

postero

sagital

anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan


muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan
pemotongan fistel (Faradilla, 2009).
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara
jangka panjang, meliput i anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik
serta antisipasi trauma psikis.

Untuk

menangani secara tepat,

harus

ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan berbagai


cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG.

Komplikasi

yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan
letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan
anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi
yang buruk. Dari berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung
pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula (Faradilla, 2009).
Menurut Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menganjurkan pada
:
a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau
TCD
dahulu, setelah 6 12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP).
b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot
sfingter ani ekternus.
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back
incicion.
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana
dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. (Faradilla, 2009).
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan
intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi.
Operasi definitif setelah 4 8 minggu.

Saat ini teknik yang paling banyak

dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baikminimal, limited atau full


postero sagital anorektoplasti (Faradilla, 2009).
Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya
ditemukan vital ke vetibulum atau vagina (80-90%).
fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina.
tidak

Golongan I Pada

Evakuasi feces menjadi

lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara


fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya
minum susu.

Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan makanan

padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila
terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus
genetalis dan jalan cerna.

Evakuasi feses umumnya tidak sempurna

sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi. Pada atresia rektum, anus tampak
normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari
1-2 cm.
kolostomi.

Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan


Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari

kulit perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Lubang fistel perineum
biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda
timah anus yang buntu ada di posteriornya.

Kelainan ini umumnya

menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang
seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya
harus segera dilakukan terapi definitif.
invertogram udara < 1 cm dari kulit.

Bila tidak ada fistel dan pada


Dapat segera dilakukan pembedahan

definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak ada, sehingga perlu segera dilakukan
kolostomi (Hamami A.H, 2004).
Yang harus diperhatikan ialah adanya fitel atau kenormalan
bentuk perineum dan tidak adanya butir mekonium di urine. Dari kedua hal tadi
pada anak laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel
perineum.

Golongan I.

Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari

orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika


urinaria.

Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang

kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra
karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim
maka fistel ke vesikaurinaria.

Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita

memerlukan kolostomi segera.

Pada atresia rektum tindakannya sama pada

perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari
kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi.

Golongan II.

Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari
letak anus

normal.

Pada membran anal biasanya tampak

bayangan mekonium di

bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit
secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan wanita, tindakan definitive
harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara < 1cm dari kulit pada
invertogram, perlu juga segera dilakukan pertolongan bedah (Hamami A.H,
2004).
2.10 prognosis
Prognosis bergantung dari fungsi klinis.

Dengan khusus dinilai

pengendalian defekasi, pencemaran pakaian dalam.

Sensibilitas rektum dan

kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok dubur (Hamami A.H, 2004).
Fungsi kontineia tidak hanya bergantung pada kekuatan sfingter atau
ensibilitasnya,

tetapi juga

bergantung

pada

usia

serta

kooperasi dan

keadaan mental penderita (Hamami A.H, 2004).


Hasil operasi atresia ani meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya
metode PSARP (Levitt M, 2007).

Vous aimerez peut-être aussi