Vous êtes sur la page 1sur 34

Portofolio

EFUSI PLEURA SINISTRA ET CAUSA SUSPEK TB PARU KASUS BARU

Disusun Oleh :
dr. Abdul Hakim Rambe

Pendamping :
dr. Hedi Mulyadora

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BAYUNG LENCIR


SUMATERA SELATAN
PROGRAM DOKTER INTERNSIP KEMENTRIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
2016

PORTOFOLIO

Kasus 1
Topik: Efusi Pleura Sinistra et Causa Suspek TB Paru Kasus Baru
Tanggal (Kasus) : 28 Desember 2015
Presenter : dr. Abdul Hakim Rambe
Tanggal Presentasi : 10 Maret 2016
Pendamping : dr. Hedi Mulyadora
Tempat Presentasi : Ruang Pertemuan RSUD Bayunglencir
Objektif Presentasi :
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
Neonatus
Deskripsi : Laki-Laki 71 tahun, Efusi Pleura Sinistra et Causa Suspek TB Paru
Kasus Baru
Tujuan : Tatalaksana Efusi Pleura Sinistra et Causa Suspek TB Paru Kasus
Baru
Bahan
Tinjauan
Riset
Kasus
Audit
Bahasan :
Pustaka
Cara membahas
Diskusi
Presentasi dan
Email
Pos
diskusi
Data
Pasien:

Nama : Tn. H Umur : 71 tahun Pekerjaan : Tani


No. Reg :
Alamat : B. Lencir Agama : Islam Bangsa :
038722
Indonesia
Nama RS: RSUD
Telp :
Terdaftar sejak :
BayungLencir
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis / Gambaran Klinis: Efusi Pleura Sinistra et Causa Suspek TB Paru
Kasus Baru
2. Riwayat Pengobatan : 3. Riwayat Kesehatan / Penyakit :
Sejak 1 bulan yang lalu pasien mengeluh batuk-batuk. Batuk tidak
disertai dahak dan tidak berdarah. Pasien mengeluh nafsu makan dan berat badan
menurun. Pasien mengeluh badan terasa lemah dan lemas. Terkadang pasien
merasakan nyeri dada. Pasien juga mengalami demam yang dirasakan tidak terlalu
tinggi. Keluhan keringat pada malam hari ada. BAB dan BAK dalam batas
normal.
Sejak 2 minggu yang lalu pasien mengeluh sesak napas. Sesak napas
2

dirasakan pasien terus menerus, semakin hari semakin memberat. Sesak napas
dirasakan sepanjang hari, baik saat beraktifitas maupun saat istirahat. Sesak
sedikit berkurang dengan perubahan posisi yaitu jika pasien miring ke kiri. Sesak
tidak dipengaruhi oleh cuaca dan tidak disertai bunyi mengi. Sesak tidak
berkurang dengan penggunaan 2 bantal saat tidur. Pasien kemudian di bawa
berobat ke IGD RSUD Bayung Lencir.
4. Riwayat Keluarga :
- Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama seperti pasien disangkal.
- Riwayat keluarga dengan keluhan batuk lama disangkal.
- Riwayat keluarga dengan penyakit jantung disangkal.
- Riwayat keluarga dengan penyakit asma disangkal.
5. Riwayat Pekerjaan : pasien bekerja sebagai tani
6. Lain-lain :
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya disangkal
Riwayat pengobatan paru dengan OAT disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit darah tinggi disangkal
Riwayat penyakit ginjal disangkal
Riwayat trauma pada dada disangkal
Daftar Pustaka:
1. Price, SA. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke6. Jakarta : EGC;2005.)
2.

Ahmad, Zen. 2002. Tuberkulosis Paru. Dalam : Hadi H, Rasyid A, Ahmad


Z, Anwar J. Naskah Lengkap Workshop Pulmonology Pertemuan Ilmiah
Tahunan IV Ilmu Penyakit Dalam, Sumbagsel. Lembaga Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam FK UNSRI, hlm: 95-119.

3.

Herryanto, dkk. 2004. Riwayat Pengobatan Penderita TB Paru Meninggal


di Kabupaten Bandung. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 3 No 1. hlm:1-6.

4.

Light RW, et al. Pleural Disease, 5th Ed. Ch.1, Anatomy of the Pleura.
Tennessee: Lippincott Williams & Wilkins, 2007

5.

Light RW, et al. Pleural Disease, 5th Ed. Ch.2, Physiology of the Pleural
Space. Tennessee : Lippincott Williams & Wilkins, 2007

6.

Halim, Hadi. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam : Sudoyo, Aru W Dkk.


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Hal 2329 - 2336. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009

7.

Carolyn J. Hildreth,et.al. Pleural Effusion. The Journal of the American


Medical Association. JAMA, January 21, 2009Vol 301, No. 3

8.

Halim, Hadi. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam : Sudoyo, Aru W Dkk.


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Hal 2329 - 2336. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009

9.

Kasper, Braunwald, Et Al. Harrisons Principles Of Internal Medicine Vol


II. 16th Ed. 2005. Mcgraw-Hill: New York

10. Steven A. Sahn. The Pathophysiology of Pleural Effusions. Department of


Medicine,Division of Pulmonary and Critical Care Medicine, Medical
University of South Carolina, Charleston, South Carolina 29425
11. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, edisi 2. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI, 2007
12. Konsensus Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia
13. PDPI. 2002. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia, Jakarta.
14. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2011.
Hasil Pembelajaran
1. Diagnosis efusi pleura dan TB paru
2. Tatalaksana penyakit TB paru dan efusi pleura
3. Edukasi kepada keluarga dan pasien mengenai TB paru
1. Subjektif :
Sejak 1 bulan yang lalu pasien mengeluh batuk-batuk. Batuk tidak disertai
dahak dan tidak berdarah. Pasien mengeluh nafsu makan dan berat badan
menurun. Pasien mengeluh badan terasa lemah dan lemas. Terkadang pasien
merasakan nyeri dada. Pasien juga mengalami demam yang dirasakan tidak terlalu
tinggi. Keluhan keringat pada malam hari ada. BAB dan BAK dalam batas
normal.
Sejak 2 minggu yang lalu pasien mengeluh sesak napas. Sesak napas
dirasakan pasien terus menerus, semakin hari semakin memberat. Sesak napas
dirasakan sepanjang hari, baik saat beraktifitas maupun saat istirahat. Sesak

sedikit berkurang dengan perubahan posisi yaitu jika pasien miring ke kiri. Sesak
tidak dipengaruhi oleh cuaca dan tidak disertai bunyi mengi. Sesak tidak
berkurang dengan penggunaan 2 bantal saat tidur. Pasien kemudian di bawa
berobat ke IGD RSUD Bayung Lencir.
Gejala-gejala yang dialami pasien merupakan manifestasi klinik dari
penyakit tuberculosis paru dengan gejala utama batuk lama, diikuti dengan gejala
sistemik seperti demam, keringat malam, anoreksia, dan penurunan berat badan.
2. Objektif :
Dari hasil pemeriksaan fisik dan penunjang dapat ditegakkan diagnosis efusi
pleura ec Suspek TB paru kasus Baru.
Gejala Klinis :
Pasien mengaku tersiram minyak panas pada bagian lengan dan tungkai 2 jam
sebelum masuk rumah sakit. Pasien masih merasa nyeri pada kedua lengan dan
kedua tungkai, nyeri dirasakan bertambah apabila terkena hembusan angin, sesak
nafas tidak ada, merasa kedinginan tidak ada, terbentur di kepala tidak ada,
pingsan tidak ada.
Pasien mengeluh batuk-batuk sejak 1 bulan yang lalu. Batuk tidak disertai
dahak dan tidak berdarah. Pasien mengeluh nafsu makan dan berat badan
menurun. Pasien mengeluh badan terasa lemah dan lemas. Terkadang pasien
merasakan nyeri dada. Pasien juga mengalami demam yang dirasakan tidak terlalu
tinggi. Keluhan keringat pada malam hari ada. BAB dan BAK dalam batas
normal.
Sejak 2 minggu yang lalu pasien mengeluh sesak napas. Sesak napas
dirasakan pasien terus menerus, semakin hari semakin memberat. Sesak napas
dirasakan sepanjang hari, baik saat beraktifitas maupun saat istirahat. Sesak
sedikit berkurang dengan perubahan posisi yaitu jika pasien miring ke kiri. Sesak
tidak dipengaruhi oleh cuaca dan tidak disertai bunyi mengi. Sesak tidak
berkurang dengan penggunaan 2 bantal saat tidur.
Dari kondisi tersebut, kita menilai bahwa pasien pertama mengalami gejala
lokal infeksi paru-paru yaitu batuk >2 minggu. Pasien juga mengalami gejala
sistemik infeksi tuberkulosis seperti demam, keringat malam, anoreksia, dan

penurunan berat badan. Sesak napas yang dialami pasien kemungkinan besar
disebabkan oleh komplikasi dari infeksi TB paru, yaitu efusi pleura.
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum
Keadaan sakit
Kesadaran
Tekanan Darah
Nadi
Pernafasan
Suhu
Status generalisata
o Kepala
:
Mata

: tampak sakit sedang


: compos mentis, GCS 15 E4M6V5
: 120/90 mmHg
: 82 kali per menit, reguler, isi dan tegangan cukup
: 26 kali per menit, thoracoabdominal
: 36,7o C (aksila)

: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Pupil isokor,


RC (+/+) 3mm/3mm.

Hidung : Nafas cuping hidung (-/-)


Mulut

: Gurgling (-), Snoring (-) , atrofi papil lidah (-)

o Leher

: JVP(5-2) mmHg, pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)

o Thorak

: Bentuk dada normal, retraksi (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok(-)
krepitasi (-), penggunaan otot bantu nafas (-)

Paru
Inspeksi : Statis simetris kanan dan kiri, dinamis dinding dada kiri
tertinggal.
Palpasi : Benjolan (-), nyeri tekan (-), Stemfremitus paru kiri
menurun.
Perkusi : Lapang paru kiri redup mulai ICS 3. Lapang paru kanan
sonor.
Auskultasi: Vesikuler paru kiri menurun, ronkhi (-) kedua
paru, wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba linea axilaris anterior sinistra ICS VI
Perkusi : batas atas ICS II, batas kanan linea parasternalis dextra,
batas kiri linea axilaris anterior sinistra ICSVI
Auskultasi :HR 79 x/menit, reguler, Bunyi Jantung I dan II normal,
Murmur (-), Gallop (-)
o Abdomen
Inspeksi : datar, scar (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba,lien tidak teraba.
Auskultasi: bising usus (+) normal
6

Perkusi : timpani, shifting dullness (-)


o Genital (Tidak diperiksa)
o Ekstremitas
- Regio antebrachii posterior dextra: luka bakar dengan luas 4,5%, warna
kemerahan, permukaan luka basah/
berair, bula (+), nyeri (+)
- Regio brachii et antebrachii anterior sinistra: luka bakar dengan luas
4,5%, warna kemerahan,
permukaan luka basah/berair,
bula (+), nyeri (+)
- Regio tibialis anterior et posterior dextra: luka bakar dengan luas
9%, warna kemerahan,
permukaan luka basah/berair,
bula (+), nyeri (+)
- Regio tibialis anterior et posterior sinistra:luka bakar dengan luas
9%, warna kemerahan,
permukaan luka basah/berair,
bula (+), nyeri (+)
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan darah rutin
Hemoglobin : 13 g/dl (dbn)
Eritrosit : 5,0 juta sel (dbn)
Hematokrit : 38 % (dbn)
Leukosit :7000/ mm3 (dbn)
3
Trombosit : 250.000 /mm (dbn).
Rontgen Thorax
3.

Assessment :
Tuan H, Laki-laki berusia 71 tahun, sudah menikah, bekerja sebagai petani

datang dengan keluhan utama sesak napas. Sesak napas dirasakan pasien terus
menerus, semakin hari semakin memberat. Sesak napas dirasakan sepanjang hari,
baik saat beraktifitas maupun saat istirahat. Sesak sedikit berkurang dengan
perubahan posisi yaitu jika pasien miring ke kiri. Sesak tidak dipengaruhi oleh
cuaca dan tidak disertai bunyi mengi. Sesak tidak berkurang dengan penggunaan 2
bantal saat tidur.
1 bulan yang lalu pasien mengeluh batuk-batuk. Batuk tidak disertai
dahak dan tidak berdarah. Pasien mengeluh nafsu makan dan berat badan
menurun. Pasien mengeluh badan terasa lemah dan lemas. Terkadang pasien
merasakan nyeri dada. Pasien juga mengalami demam yang dirasakan tidak terlalu
tinggi. Keluhan keringat pada malam hari ada. BAB dan BAK dalam batas
normal.

Dari kondisi tersebut, kita menilai bahwa pasien telah mengalami gangguan
pernapasan akibat efusi pleura. Tuberkulosis paru dapat disertai efusi pleura yang
bukan karena tuberkulosis dan sebaliknya non tuberkulosis paru dapat disertai
efusi pleura karena tuberkulosis. Gambaran klinik dan radiologik antara transudat
dan eksudat bahkan antara efusi pleura tuberkulosis dan non tuberkulosis hampir
tidak bisa dibedakan, sebab itu pemeriksaan laboratorium menjadi sangat penting.
Setelah adanya efusi pleura dapat dibuktikan melalui pungsi percobaan, kemudian
diteruskan dengan membedakan eksudat dan transudat dan akhirnya dicari
etiologinya. Apabila diagnosis efusi pleura tuberkulosis sudah ditegakkan maka
pengelolaannya menjadi tidak masalah, efusi ditangani seperti efusi pada
umumnya, sedangkan tuberkulosisnya diterapi seperti tuberkulosis pada
umumnya.
Efusi pleura terjadi karena tertimbunnya cairan pleura secara berlebihan
sebagai akibat transudasi (perubahan tekanan hidrostatik dan onkotik) dan
eksudasi (perubahan permeabilita membran) pada permukaan pleura seperti terjadi
pada proses infeksi dan neoplasma. Pada keadaan normal ruangan interpleura
terisi sedikit cairan untuk sekedar melicinkan permukaan kedua pleura yang saling
bergerak karena pernapasan. Cairan disaring keluar pleura parietalis yang
bertekanan tinggi dan diserap oleh sirkulasi di pleura viseralis yang bertekanan
rendah. Disamping sirkulasi dalam pembuluh darah, pembuluh limfe pada lapisn
subepitelial pleura parietalis dan viseralis mempunyai peranan dalam proses
penyerapan cairan pleura tersebut. Jadi mekanisme yang berhubungan dengan
terjadinya efusi pleura pada umunya ialah kenaikan tekanan hidrostatik dan
penurunan tekanan osmotik pada sirkulasi kapiler, penurunan tekanan kavum
pleura, kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga
pleura. Sedangkan pada efusi pleura tuberkulosis terjadinya disertai pecahnya
granuloma di subpleura yang diteruskan ke rongga pleura.
Pada kebanyakan penderita umumnya asimtomatis atau memberikan gejala
demam, berat badan yang menurun, nyeri dada terutama pada waktu bernapas
dalam, sehingga pernapasan penderita menjadi dangkal dan cepat dan pergerakan
pernapasan pada hemitoraks yang sakit menjadi tertinggal. Sesak napas terjadi

pada waktu permulaan pleuritis, disebabkan karena nyeri dadanya dan apabila
jumlah cairan meningkat, terutama kalau cairannya penuh. Batuk pada umumnya
nonproduktif dan ringan, terutama apabila disertai dengan proses tuberkulosis di
parunya.
4. Plan :
Diagnosis : Efusi pleura et causa suspek TB paru kasus baru
Penatalaksanaan :
Non farmakologi :
-

Edukasi pasien agar tidak meludah sembarangan dan menutup mulut saat

batuk.
Periksa laboratorium darah rutin pasien
Sputum BTA 3X
Sitologi dan analisis cairan pleura
CT Scan toraks setelah cairan berkurang
Pemeriksaan fungsi hati jika akan diberikan terapi OAT

Farmakologi :
-

Oksigen nasal 3 l/menit


IVFD RL gtt xx/menit makro
RHZE 450/300/1000/1000
Punksi pleura sinistra dan pemasangan WSD

Prognosis
Vitam : dubia ad bonam
Functionam : dubia ad bonam
Edukasi keluarga :
1.
2.

Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai penyakit TB paru


Memberikan penjelasan kepada keluarga pasien mengenai kondisi klinis

3.

pasien, dan proses penyembuhan memerlukan waktu yang tidak sebentar.


Memberikan penjelasan kepada keluarga pasien bahwa pasien
membutuhkan dukungan pengawasan untuk minum obat teratur.

TINJAUAN PUSTAKA
1.

EFUSI PLEURA
1.1. DEFINISI
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan cairan di
dalam rongga pleura.6
1.2. EPIDEMIOLOGI
Perkiraan prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di
negara-negara industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan prevelensi
penyakit yang mendasarinya. Secara umum, kejadian efusi pleura sama antara
laki-laki dan perempuan.1

10

1.3. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung dari keseimbangan cairan
dan protein

dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal, cairan pleura

dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi
ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan interstitial
submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk kedalam rongga pleura.
Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.6
Proses penumpukan cairan dapat disebabkan oleh peradangan. Bila proses
radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi
empiema/ piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura
dapat menyebabkan hemotoraks.
Efusi cairan dapat berbentuk transudat terjadi apabila hubungan normal
antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotik menjadi terganggu,
sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi reabsorpsi
oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada: 6
a. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
b. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
c. Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura
d. Menurunnya tekanan intrapleura
Penyebabnya karena penyakit lain bukan primer paru seperti gagal jantung
kongestif,

sirosis

hepatis,

sindrom

nefrotik,

dialis

peritoneum,

hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva, keganasan,


atelektasis paru dan pneumotoraks.
Efusi eksudat terjadi apabila ada proses peradangan yang menyebabkan
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial
berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam
rongga pleura. Penyeban pleuritis eksudativa yang paling sering adalah
mikobakterium tuberkulosis

dan dikenal sebagai pleuritis

eksudativa

tuberkulosa. Sebab lain seperti parapnemonia, parasit, jamur, pneumonia atipik,


keganasan paru, proses imunologik seperti pleuritis lupus, pleuritis reumatoid,
sarkoidosis, radang sebab lain seperti pankreatitism asbestosis, pleuritis uremia
dan akibat radiasi.6
11

1.4. MANIFESTASI KLINIS


Gejala yang muncul akibat efusi pleura antara lain, yaitu:
-

Sesak napas

Batuk

Nyeri dada, nyeri pleuritik biasanya mendahului efusi jika penyakit


pleura

1.5. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis yang baik dan
pemeriksaan fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi
percobaan, biopsi dan analisa cairan pleura.
1.5.1. Anamnesis
Pada saat anamnesis pasien biasanya mengeluhkan sukar bernapas
atau sesak napas, dapat disertai dengan batuk dan nyeri pleuritik. Perlu juga
ditanyakan faktor risiko dan etiologi penyakit, seperti gejala-gejala pada:
- Gagal jantung kongestif
- TB paru
- Sirosis hepatis
- Sindrom nefrotik
- Dialisis peritoneum
- Hipoalbuminemia oleh bergabai keadaan
- Perikarditis konstriktiva
- Keganasan
- Atelektasis paru
- Pneumotoraks
1.5.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik toraks dapat ditemukan:

12

- Inspeksi: pergerakan dinding dada berkurang atau terhambat pada


bagian yang mengalami efusi. Ruang interkostal menonjol (efusi pleura
berat)
- Palpasi: fremitus raba berkurang pada bagian yang terkena
- Perkusi: perkusi meredup di atas efusi pleura
- Auskultasi: suara napas berkurang di atas efusi pleura
1.5.3. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Toraks (X Ray)
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan
membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral
lebih tinggi daripada bagian medial. Bila permukaannya horizontal
dari lateral ke medial, pasti terdapat udara dalam rongga tersebut yang
dapat berasal dari luar atau dalam paru-paru sendiri. kadang-kadang
sulit membedakan antara bayangan cairan bebas dalam pleura dengan
adhesi karena radang (pleuritis). Perlu pemeriksaan foto dada dengan
posisi lateral dekubitus. Cairan bebas akan mengikuti gravitasi.
Cairan dalam pleura bisa juga tidak membentuk kurva, karena
terperangkap atau terlokalisasi. Keadaan ini sering terdapat pada
daerah bawah paru-paru yang berbatasan dengan permukaan atas
diafragma. Cairan ini dinamakan juga sebagai efusi subpulmonik.
Begitu juga dengan bagian kanan dimana efusi subpulmonik sering
terlihat sebagai bayangan garis tipis (fisura) yang berdekatan dengan
diafragma kanan. Untuk jelasnya bisa dilihat dengan foto dada lateral
dekubitus, sehingga gambaran perubahan efusi tersebut menjadi nyata.
Cairan dalam pleura kadang-kadang menumpuk mengelilingi
lobus paru (biasanya lobus bawah) dan terlihat dalam foto sebagai
bayangan konsolidasi parenkim lobus, bisa juga mengumpul di daerah
paramediastinal dan terlihat dalam foto sebagai fisura interlobaris,
bisa juga terdapat secara paralel dengan sisi jantung, sehingga terlihat
sebagai kardiomegali.

13

Cairan seperti empiema dapat juga terlokalisasi. Gambaran yang


terlihat adalah sebagai bayangan dengan densitas keras di atas
diafragma, keadaan ini sulit dibedakan dengan tumor paru.
Hal lain yang dapat terlihat dari foto dada pada efusi pleura
adalah terdorongnya mediastinum pada sisi yang berlawanan dengan
cairan. Di samping itu foto dada dapat juga menerangkan asal mula
terjadinya efusi pleura yakni bila terdapat jantung yang membesar,
adanya massa tumor, adanya densitas parenkim yang lebih keras pada
pneumonia atau abses paru.
Pemeriksaan

dengan

ultrasonografi

pada

pleura

dapat

menentukan adanya cairan dalam rongga pleura. Pemeriksaan ini


sangat memebantu sebagai penuntun waktu melakukan aspirasi cairan
terutama pada efusi yang terlokalisasi. Pemeriksaan CT scan/dada
dapat membantu. Adanya perbedaan densitas cairan dengan jaringan
sekitarnya, sangat memudahkan dalam menentukan adanya efusi
pleura. Pemeriksaan ini tidak banyak dilakukan karena biayannya
masih mahal.
2. Torakosintesis
Aspirasi cairan pleura (torakosintesis) berguna sebagai sarana
untuk diagnostik maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya
dilakukan pada pasien dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada
bagian bawah paru sela iga garis aksilatis posterior dengan memakai
jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya
tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap kali aspirasi. Aspirasi lebih
baik dikerjakan berulang-ulang dari pada satu kali aspirasi sekaligus
dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut.
edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat.
Mekanisme sebenarnya belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena
adanya tekanan intrapleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan
aliran darah melalui permeabilitas kapiler yang abnormal.

14

Komplikasi torakosintesis adalah pneumotoraks (udara masuk


melalui jarum), hemototaks (trauma pada pembuluh darah interkostalis)
dan emboli udara yang agak jarang terjadi. Secara biokimia efusi pleura
terbagi atas trasudat dan eksudat yang perbedaannya dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 1. Perbedaan Biokimia Efusi Pleura
Transudat
<3

Eksudat
>3

< 0,5

>0,5

Kadar LDH dalam efusi (I.U)

< 200

>200

Kadar LDH dalam efusi

< 0,6

>0,6

Berat jenis cairan efusi

< 1,016

>1,016

Rivalita

Negatif

Positif

Kadar protein dalam efusi (g/dl)


Kadar protein dalam efusi
Kadar protein dalam serum

Kadar LDH dalam serum

3. Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk
diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis
atau dominasi sel-sel tertentu.
-

Sel neutrofil: menunjukkan adanya infeksi akut

Sel limfosit: menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis


tuberkulosa atau limfoma maligna

Sel mesotel: bila jumlahnya meningkat, ini menunjukkan adanya


infark paru. Biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit

Sel mesotel maligna: pada mesotelioma

Sel-sel besar dengan banyak inti: pada artritis reumatoid

Sel L.E: pada lupus eritematosus sistemik

Sel maligna: pada paru/metastase

15

4. Bakteriologi
Biasanya
mengandung

cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat


mikroorganisme,

apalagi

bila

cairannya

purulen

(menunjukkan empiema). Efusi yang purulen dapat mengandung


kuman-kuman yang aerob atau anaerob. Jenis kuman yang sering
ditemukan dalam cairan pleura adalah: pneumokokus, E.coli, klebsiela,
pseudomonas, enterobacter. Pleuritis tuberkulosa, biakan cairan
terhadap kuman asam hanya dapat menunjukkan yang positif sampai
20%-30%.
5. Biopsi pleura
Pemeriksaan histopatologi satu atau beberapa contoh jaringan
pleura dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus-kasus pleuritis
tuberkulosis dan tumor pleura. Bila ternyata hasil biopsi pertama tidak
memuaskan, dapat dilakukan beberapa biopsi ulangan. Komplikasi
biopsi adalah pneumotoraks, hemtoraks, penyebaran infeksi atau tumor
pada dinding dada.
1.6. TATALAKSANA
Tatalaksana pada efusi pleura bertujuan untuk menghilangkan gejala
nyeri dan sesak yang dirasakan pasien, mengobati penyakit dasar,
mencegah fibrosis pleura, dan mencegah kekambuhan. 8
1.6.1 Aspirasi Cairan Pleura
Aspirasi cairan pleura (torakosintesis) berguna sebagai sarana
untuk diagnostik maupun terapeutik. Berikut cara melakukan
torakosintesis:
1.

Pasien dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul


atau diletakkan di atas bantal. Jika tidak mungkin duduk,
aspirasi dapat dilakukan dalam posisi tidur terlentang.

2.

Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto


toraks, atau di daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau

16

pada linea aksilaris media di bawah batas suara sonor dan


redup.
3.

Setelah dilakukan anestesi secara memadai, dilakukan


penusukan dengan jarum ukuran besar

4.

Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 10001500 cc pada sekali aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan
berulang-ulang

daripada

satu

kali

aspirasi

sekaligus

menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut.


Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang
terlalu cepat.8
Cara cairan dapat dikeluarkan dengan jalan aspirasi berulang
atau dengan pemasangan selang toraks yang dihubungkan dengan
Water Seal Drainage (WSD). Cairan yang dikeluarkan pada setiap
pengambilan sebaiknya tidak melebihi dari 1000 ml untuk
mencegah terajdinya edema paru akibat pengembangan paru secara
tiba-tiba dapat menimbulkan refleksi vagal, berupa batuk-batuk,
bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi.
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang
toraks

dihubungkan dengan WSD, sehingga

cairan

dapat

dikeluarkan secara lambat namun aman dan sempurna.


1.6.2. Pleurodesis
Tujuan utama tindakan ini adalah melekatkan pleura visceral
dengan pleura parietalis, dengan jalan memasukkan suatu bahan
kimia atau kuman ke dalam rongga pleura sehingga terjadi keadaan
pleuritis obliteratif. Pleurodesis merupakan penanganan terpilih
pada efusi keganasan. Bahan kimia yang lazim digunakan adalah
sitostatika (misalnya tiotepa 45 mg) diberikan dengan selang waktu
710 hari; pemberian obat tidak perlu disertai pemasangan WSD.
Setelah 13 hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang

17

menghilangkan rongga pleura sehingga mencegah penimbunan


kembali cairan di dalam rongga tersebut
1.6.3. Pembedahan
Pleurektomi jarang dikerjakan papa efusi pleura keganasan, oleh
karena efusi pleura keganasana pada umumnya merupakan stadium
lanjut dari suatu keganasan dan pembedahan menimbulkan resiko
yang besar. Bentuk operasi yang lain adalah ligasi duktus torasikus
dan pintas pleuroperitonium, kedua pembedahan ini terutama
dilakukan pada efusi pleura keganasan akibat limfoma atau
keganasan lain pada kelenjar limfe hilus dan mediastinum, dimana
cairan pleura tetap terbentuk setelah dilakukan pleurodesis.10

2. TUBERKULOSIS PARU
2.1. DEFINISI
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis
2.2. ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis di Indonesia merupakan salah satu masalah utama kesehatan
masyarakat, dimana jumlah penderita TB di Indonesia merupakan urutan ke-3
terbanyak di dunia setelah India dan China.Indonesia menyumbang sekitar
10% dari seluruh kejadian TB di dunia. Pada tahun 2004, diperkirakan terdapat
539.000 kasus baru dengan angka kematian 101.000 orang.11
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001,
penyakit system pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah
penyakit system sirkulasi, dan TB merupakan penyebab kematian pertama pada
golongan penyakit infeksi.12
Sekitar sepertiga penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi kuman TB.
Selain itu, diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kasus kematian akibat TB
terjadi di negara berkembang.
Saat ini, tingginya angka kejadian HIV/AIDS di dunia meningkatkan
angka kejadian TB secara signifikan. Di samping itu, masalah resistensi kuman
18

terhadap obat (multidrug resistance / MDR) menjadi masalah berat dalam


menanggulangi dan menurunkan angka kejadian TB di dunia.11
2.3. KLASIFIKASI
a) Pembagian secara patologis :6

Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis)


Tuberkulosis post primer (adult tuberculosis)

b) Pembagian secara aktivitas radiologis. Tuberkulosis paru aktif, non


aktif, dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh).6
c) Pembagian secara radiologis (luas lesi)

Tuberculosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrate non kavitas


pada satu paru maupun kedua paru tetapi jumlahnya tidak melebihi

satu lobus paru.


Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter
tidak lebih dari 4 cm. jumlah infiltrate bayangan halus tidak lebih
dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari

sepertiga bagian satu paru.


Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrate dan kavitas yang
melebihi keadaan pada moderately advanced tuberculosis.

Klasifikasi yang banyak digunakan di Indonesia adalah :6

Tuberculosis paru
Bekas tuberculosis paru
Tuberculosis paru tersangka, yang terbagi dalam : a) TB paru
tersangka yang diobati. Sputum BTA negative tetapi tanda lain postif.
B) TB paru tersangka yang tidak diobati. Sputum BTA negative dan
tanda lain meragukan.
Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan termasuk

TB paru aktif atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan :
1) status bakteriologi, 2) Mikroskopis sputum BTA (langsung), 3) biakan
sputum BTA, 4) status radiologis, 5) status kemoterapi, riwayat pengobatan
dengan obat anti tuberculosis.6
WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni :6
Kategori I :

19

Kasus baru dengan sputum positif


Kasus baru dengan bentuk TB berat

Kategori II :

Kasus kambuh
Kasus gagal dengan sputum BTA positif

Kategori III :

Kasus BTA negative dengan kelainan paru yang tidak luas


Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I

Kategori IV : TB kronik.
2.3.1 Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:13
1) Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi.
Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka
diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.
2.3.2 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu:13
1) Tuberkulosis paru BTA positif.
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak
ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif

20

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
2.3.3. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya13
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
4) Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB
lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh,
gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus
dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan
medis spesialistik.

21

2.4. PATOFISIOLOGI
2.4.1. TUBERKULOSIS PRIMER
Penularan TB Paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam tergantung pada ada atau tidaknya
sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana yang
lembab dan gelap, kuman dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila
partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran
napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5
mikrometer. Kuman akan direspon pertama kali oleh neutrofil, kemudian oleh
makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag
keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.6
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh yang lain. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil
dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang
primer ini terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura,
maka dapat terjadi efusi pleura. Kuman dapat pula masuk melalui saluran
pencernaan, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional
kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti
paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran
ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis local) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis local dengan limfadenitis
regional disebut kompleks primer (Ranke). Semua proses ini membutuhkan waktu
3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya akan menjadi :6

Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang paling sering
terjadi.

22

Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis fibrotic,


kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya
>5 mm dan sekitar 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena

kuman yang dorman.


Berkomplikasi dan menyebar secara : a) perkontinuitatum, yakni
menyebar ke sekitarnya, b) secara bronkogen pada paru yang bersangkutan
maupun paru di sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum
dan ludah sehingga menyebar ke usus, c) secara limfogen, ke organ tubuh
lain, d) secara hematogen, ke organ lain.

2.4.2. TUBERKULOSIS PASCA PRIMER (TUBERKULOSIS SEKUNDER)


Kuman yang dorman pada tuberculosis primer akan muncul bertahuntahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa
(Tuberkulosis sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis
sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alcohol, penyakit
maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberculosis sekunder ini dimulai dengan
sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apical-posterior lobus
superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke
nodus hilus paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia
kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma
yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia Langhans yang dikelilingi oleh selsel limfosit dan jaringan ikat. TB sekunder juga dapat berasal dari infeksi eksogen
dari usia muda menjadi TB usia tua. Tergantung dari jumlah kuman, virulensi, dan
imunitas pasien, sarang dini ini menjadi :6

Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat


Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan
sebukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras,
menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai
granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan
bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lunak membentuk
jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah
kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama semakin

23

menebal karena infiltrasi jaringan fibrosis dalam jumlah besar


sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan
dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat
oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag dan proses yang
berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijuan lain adalah
cryptic disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia
lanjut.
Kavitas dapat : a) meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia
baru. Bila isi kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri maka akan terjadi
TB milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan
selanjutnya ke usus menjadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti perjalanan
seperti sudah dijelaskan. Bisa juga terjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal
atau empiema bila ruptur ke pleura, b) memadat atau membungkus diri sehingga
menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur atau menyembuh atau
dapat kembali aktif menjadi cair dan jadi kavitas lagi.6
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang : 1) sarang yang sudah
sembuh. Sarang tipe ini tidak butuh pengobatan lagi. 2) sarang aktif eksudatif.
Sarang bentuk ini butuh pengobatan yang lengkap dan sempurna, 3) sarang yang
berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini akan sembuh spontan, tetapi
sebaiknya diberikan pengobatan sempurna.6
2.5 MANIFESTASI KLINIS6,13
Penderita TB akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk
berdahak kronis, demam subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak
napas, nyeri dada, dan penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat menurunkan
produktivitas penderita bahkan kematian. Adapun gejala utama penderita TB yaitu
batuk terus-menerus dan berdahak selama dua sampai tiga minggu atau lebih.
Selain itu, gejala yang sering dijumpai yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa
kegiatan, dan demam meriang lebih dari satu bulan.

24

2.6 DIAGNOSIS6,13
Infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis bisa menimbulkan efek lokal di
bagian tubuh mana pun atau efek sistemik infeksi kronis.
2.6.1. Anamnesis.
Dalam melakukan anamnesis pada pasien TB, diperlukan indeks
kecurigaan yang tinggi terutama pada pasien dengan imunosupresi atau
dari daerah endernisnya. Orang yang terkena TB dpat mengalami banyak
gejala, baik gejala lokal maupun sistemik. Berikut adalah gejala gejala
yang sering didapatkan dari anamnesis pada penderita TB.
Gejala lokal:
-

Batuk
sesak napas
hemoptisis
limfadenopati
ruam (rnisalnya lupus vulgaris)
kelainan rontgen toraks
gangguan GI.

Efek sistemik:
-

Demam,

keringat malam

anoreksia

penurunan berat badan

2.6.2 Pemeriksaan fisik


Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu
kelainan pun terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi
secara asimtomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam,
akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, karena hantaran
getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai seeara palpasi, perkusi dan auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB
paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian
apeks (puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka

25

didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan
didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan
nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara
napasnya menjadi vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup
besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi
memberikan suara amforik.
Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit
jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang
sehat menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni
lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan
daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri
pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan
gagal jantung kanan. Di sini akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal
dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia, sianosis, right
ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang
mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites,
dan edema.
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura.
Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi
memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara napas yang lemah
sampai tidak terdengar sama sekali.
Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit
baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologiada pada
pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.
2.6.3. Pemeriksaan Penunjang
1.

Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang

praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang


membutuhkan biaya lebih dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi

26

dalam beberapa hal ia memberikan keuntungan seperti pada tuberkulosis


anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal di atas diagnosis dapat
diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan
sputum hampir selalu negatif.
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen
apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga
mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai
rumor paru (misalnya pada tuberkulosis endobronkial).
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan
dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat
maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini
dikenal sebagai tuberkuloma.
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding
tipis, Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi
fibrosis

terlihat

bayangan

yang

bergaris-garis.

Pada

kalsifikasi

bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi.


Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang
dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian
paru.
Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus
yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru
sdalah penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru
efusi pleura/empiema), bayangan hitam radio-Iusen di pinggir parupleura
pneumotoraks).
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan
sekaligus (pada tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garisgaris fibrotik, kalsifikasi, kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun
atelektasis dan emfisema.
Tuberkulosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh,

27

terutama gambaran radiologis, sehingga dikatakan tuberculosis is the


greatest imitator. Gambaran infiltrasi dan tuberkuloma sering diartikan
sebagai pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus atau karsinoma
metastasis. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru. Di
samping itu perlu diingat juga faktor kesalahan dalam membaca foto.
Faktor kesalahan ini dapat mencapai 25%. Oleh sebab itu untuk
diagnostik radiologi sering dilakukan juga foto lateral, top lordotik, oblik,
tomografi dan foto dengan proyeksi densitas keras.
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan
adanya aktivitas penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata.
Lesi penyakit yang sudah non-aktif, sering menetap selama hidup pasien.
Lesi yang berupa fibrotik, kalsifikasi, kavitas, schwarte, sering dijumpai
pada orang-orang yang sudah tua.
Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah
bronkografi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang
disebabkan oleh tuberkulosis, Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila
pasien akan menjalani pembedahan paru.
Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah
banyak dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography
Scanning (CT Scan). Pemeriksaan ini lebih superior dibanding radiologis
biasa. Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat
dibuat transversal.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic
Resonance Imaging (MRI), Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan,
tetapi dapat mengevaluasi proses-proses dekat apeks paru, tulang
belakang, perbatasan dada-perut, Sayatan bisa dibuat transversal, sagital
dan koronal.

2. Pemeriksaan laboratorium
Darah

28

Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya


kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak
spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan
jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran
ke kiri. Jumlah lirnfosit masih di bawah normal. Laju endap darah
mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali
normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun
ke arah normal lagi.
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga: 1). Anemia ringan
dengan gambaran normokrom dan normositer; 2). Gama globulin
meningkat; 3). Kadar natrium darah menurun, Pemeriksaan tersebut di
atas nilainya juga tidak spesifik, Pemeriksaan serologis yang pernah
dipakai adalah reaksi Takahashi.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih
aktif atau tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer
1/128. Pemeriksaan ini juga kurang mendapat perhatian karena angkaangka positif palsu dan negatif palsunya masih besar.
Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga
dipakai yakni Peroksidase Anti Peroksida (pAP-TB) yang oleh
beberapa peneliti mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitasnya
cukup tinggi (85-95%), tetapi beberapa peneliti lain meragukannya
karena mendapatkan angka-angka yang lebih rendah. Sungguhpun
begitu PAPTB ini masih dapat dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila
digunakan sebagai sarana tunggal untuk diagnosis TB, Prinsip dasar uji
PAP-TB ini adalah menentukan adanya antibodi IgG yang spesifik
terhadap antigen M.tuberculosis. Sebagai antigen dipakai polimer
sitoplasma M. tuberculin var bovis BCG yang dihancurkan secara
ultrasonik dan dipisahkan secara ultrasentrifus. Hasil uji PAP-TB
dinyatakan patologis bila pada titer 1: 10.000 didapatkan hasil uji PAPTB positif. Hasil positif palsu kadangkadang masih didapatkan pada
pasien reumatik, kehamilan dan masa 3 bulan revaksinasi BCG.

29

Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama cara dan nilainya
dengan uji PAP-TB adalah uji Mycodol. Di sini dipakai antigen LAM
(Lipoarabinomannan) yang dilekatkan pada suatu alat berbentuk sisir
plastik. Sisir ini dicelupkan ke dalam serum pasien. Antibodi spesifik
anti LAM dalam serum akan terdeteksi sebagai perubahan warna pada
sisir yang intensitasnya sesuai dengan jumlah antibodi.
Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya
kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping
itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap
pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan inimudah dan murah
sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadangkadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang
tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini dianjurkan
satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air
sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga
dengan mernberikan tambahan obat-obat mukolitik ekspektoran atau
dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila
masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkos-kopi diambil
dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (broncho alveolar
lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan
lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit
mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya
sesegar rnungkin.
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit
ditemukan. Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat
proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung
kuman BTA mudah ke luar. Diperkirakan di Indonesia terdapat 50%
pasien BTA positif tetapi kurnan tersebut tidak ditemukan dalam sputum
mereka.

30

Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya


ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain
diperlukan 5.000 kuman dalam I mL sputum.
2.7

TATALAKSANA6,14
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3

bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah
INH, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, etambutol. Sedangkan jenis obat
tambahan lainnya (lini 2) adalah kanamisin, amikasin, kuinolon, dan beberapa
obat berikut ini belum tersedia di Indonesia (kapreomisin, Sikloserino, PAS,
derivat rifampisin dan INH, thioamides (ethionamide dan prothionamide).
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a) TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks lesi luas.
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau 2 RHZE/ 6HE
atau 2 RHZE / 4R3H3 Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi,
pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi
b) TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau : 6 RHE atau 2
RHZE/ 4R3H3
c) TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE.
Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat
hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
d) TB Paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2
(contoh paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid,
sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin).
Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat diberikan
2 RHZES / 1 RHZE.Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.
Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE
selama 5 bulan.Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk

31

mendapatkan hasil yang optimal. Sebaiknya kasus gagal pengobatan


dirujuk ke dokter spesialis paru.
e) TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan
kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
Berobat > 4 bulan
i. BTA saat ini negatif
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka
pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif,
lakukan analisis lebih lanjutuntuk memastikan diagnosis
TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit
paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai
dariawal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka
waktu pengobatan yang lebih lama.
ii. BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
Berobat < 4 bulan
i. Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama.
ii. Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif
pengobatan diteruskan. Jika memungkinkan seharusnya
diperiksa uji resistensi terhadap OAT.
f) TB Paru kasus kronik
Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan
hasil uji resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT yang masih
sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam,
makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan.Jika tidak mampu dapat
diberikan INH seumur hidup. Pertimbangkan pembedahan untuk
meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Kasus TB paru kronik
perlu dirujuk ke dokter spesialis paru.

32

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
1. KATEGORI 1 (2HRZE/4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien baru TB paru BTA (+)
- Pasien TB paru BTA (-), foto toraks (+)
- Pasien TB ekstra paru

33

3 . OAT Sisipan (RHZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari). 2

2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi dibagi atas kompilkasi dini dan lanjut:14
Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, poncent
atrhopathy
Komplikasi lanjut: SOPT, fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, Ca
paru, ARDS.

34

Vous aimerez peut-être aussi