Vous êtes sur la page 1sur 9

AKHLAK TASAWUF

Tugas Ini Disusun Guna Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Akhlak Tasawuf

Disusun Oleh :
Nama

: Hikmatul Alia

NPM

: 1602030026

NC

: 085669271518

Prodi

: AS

Kelas

:A

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


STAIN METRO
2016

1. Sejarah Akhlak
A. Ilmu akhlak diluar agama Islam.
1.

Akhlak pada Bangsa Yunani

Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya
apa yang disebut Sophisticians, yaitu otang-orang yang bijaksana (500-450 SM). Sedangkan
sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai akhlak, karena pada
masa itu perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai alam.
Sejarah mencatat, bahwa filosof Yunani yang pertama kali mengemukakan pemikiran di
bidang akhlak adalah Socrates (469-399 M). Socrates dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak,
karena ia yang pertama kali berusaha sungguh-sungguh membentuk pola hubungan antarmanusia
dengan dasar ilmu pengetahuan. Dia berpendapat bahwa akhlak dan bentuk pola hubungan itu tidak
akan menjadi benar, kecuali bila didasarkan pada ilmu pengetahuan, sehingga ia berpendapat bahwa
keutamaan itu adalah ilmu.
Selanjutnya, Golongan terpenting yang lahir setelah Socrates dan mengaku sebagai pengikutnya
ialah Cynics dan Cyrenics. Golongan Cynics dibangun oleh Antithenes yang hidup pada tahun 444370 SM.Menurut golongan ini bahwa ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan, dan sebaik-baik
manusia adalah orang yang berperangai ketuhanan. Sebagai konsekuensinya,golongan ini banyak
mengurangi kebutuhannya terhadap dunia sedapat mungkin, rela menerima apa adanya, suka
menanggung penderitaan, tidak suka terhadap kemewahan, menjauhi kelezatan, tidak peduli dengan
cercaan orang, yang penting ia dapat memelihara akhlak yang mulia.
Adapun golongan Cyrenics dibangun oleh Aristippus yang labu di Cyrena (kota Barka di utara
Afrika). Golongan ini berpendapat bahwamencari kelezatan dan menjauhi kepedihan adalah
merupakan satu-satunya tujuan hidup yang benar. Menurutnya perbuatan yang utama adalah
perbuatan yang tingkat kadar kelezatannya lebih besar daripada kepedihan. Dengan demikian
menurutnya kebahagiaan dan keutamaan itu terletak pada tercapainya kelezatan dan
mengutamakannya.
Pada tahap selanjutnya datanglah Plato (427-347 SM). Ia seorang ahli filsafat Athena dan murid
dari Socrates. Dalam pandangan terhadap akhlak,Plato berupaya memadukan antara unsur yang
datang dari diri manusia sendiri, dan unsur yang datang dari luar. Unsur dari diri manusia berupa
akal pikiran dan potensi rohaniah lainnya, sedangkan unsur dari luar berupa pancaran nilai-nilai
luhur dari yang bersifat mutlak. Perpaduan dari kedua unsur inilah yang membawa manusia menjadi
orang yang utama.
Setelah Plato, datang pula Aristoteles (394-322 SM). Sebagai seorang murid Plato, Aristoteles
berupaya membangun suatu paham yang khas, danAristoteles berpendapat bahwa tujuan akhir yang

dikehendaki oleh manusia dari apa yang dilakukannya adalah bahagia atau kebahagiaan. Jalan
untuk mencapai kebahagiaan ini adalah dengan mempergunakan akal dengan sebaik-baiknya.
Atistoteles juga dikenal sebagai tokoh yang membawa teori pertengahan. Menurutnya bahwa tiaptiap keutamaan adalah tengah-tengah di antara kedua keburukan. Dermawan misalnya adalah
tengah-tengah antara boros dan kikir, keberanian adalah tengah-tengah antara membabi buta dan
takut. Demikian dengan keutamaan lainnya.
Selanjutnya pemikir akhlak dari kalangan pemikir Yunani ini adalah Stoics dan Epicurus. Keduanya
berbeda pendapat dalam hal mengemukakan pandangannya tentang kebaikan. Stoics berpendirian
sebagaimana paham Cynics yang pandangannya telah dikemukakan di atas. Sementara Epicurus
mendasarkan pemikirannya pada paham Cyrenics sebagaimana telah dikemukakan juga di atas.
Paham mereka banyak diikuti di zaman baru.
2. Akhlak pada agama nasrani dan Bangsa Romawi (Abad Pertengahan)
Menurut agama nasrani ini bahwa Tuhan adalah sumber akhlak. Tuhanlah yang menentukan dan
membentuk patokan-patokan akhlak yang harus dipelihara dan dilaksanakan dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan. Tuhanlah yang menjelaskan arti baik dan buruk. Menurut agama ini bahwa
yang disebut baik ialah perbuatan yang disukai Tuhan serta berusaha melaksanakannya dengan
sebaik-baiknya. Dengan

demikian,

ajaran

akhlak

pada

agama

Nasrani

ini

tampak

bersifat teocentri (memusat pada Tuhan) dan sufistik (bercorak batin). Karena itu tidaklah
mengherankan jika ajaran akhlak agama Nasrani yang dibawa oleh para pendeta berdasarkan ajaran
Taurat ini sejalan dengan ajaran ahli-ahli filsafat Yunani dari aliran Stoics sebagaiama diungkapkan
sebelumnya.
Selanjutnya Kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja waktu itu,
gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno.
Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan "hakikat" telah diterima dari wahyu. Apa yang diperintahkan
oleh wahyu tentu benar adanya. Oleh karena itu, tidak ada artinya lagi penggunaan akal pikiran
untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan
doktrin yang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki persamaan dan menguatkan pendapat gereja. Di
luar ketentuan seperti itu penggunaan filsafat tidak diperkenankan. Namun demikian, sebagian dari
kalangan gereja ada yang mempergunakan pemikiran Plato, Aristoteles dan Stoics untuk
memperkuat ajaran gereja, dan mencocokkannya dengan akal. Filsafat yang menentang agama
Nasrani dibuang jauh-jauh.
Dengan demikian ajaran akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu adalah ajaran akhlak
yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani dan ajaran Nasrani. Di antara mereka yang

termasyhur ialah Abelard, seorang ahli filsafat Perancis (1079-1142) dan Thomas Aquinas, seorang
ahli filsafat Agama berkebangsaan Itali (1226-1274).
3. Akhlak pada agama nasrani dan Bangsa Romawi (Abad Pertengahan)
Bangsa Arab pada zaman Jahiliyah tidak mempunyai ahli-ahli filsafat yang mengajak kepada aliran
paham tertentu, sebagaimana yang dijumpai pada bangsa Yunani dan Romawi yang telah disebutkan
di atas. Hal yang demikian sebagai akibat dari tidak berkembangnya kegiatan ilmiah di kalangan
masyarakat Arab. Pada masa itu bangsa Arab hanya mempunyai ahli-ahli hikmah dan ahli syair. Di
dalam kata-kata hikmah dan syair tersebut dapat dijumpai ajaran yang memerintahkan agar berbuat
baik dan menjauhi keburukan, mendorong pada perbuatan yang utama dan menjauhi dari perbuatan
yang tercela dan hina. Hal yang demikian misalnya terlihat pada kata-kata hikmah yang
dikemukakan Luqmanul Hakim, Aktsam bin Shaifi; dan pada syair yang dikarang oleh Zuhair bin
Abi Sulma dan Hakim al-Thai.
B.

Akhlak pada agama Islam

Ajaran akhlak menemukan bentuknya yang sempurna pada Agama Islam dengan titik pangkalnya
pada Tuhan dan akal manusia. Agama Islam pada intinya mengajak manusia agar percaya kepada
Tuhan dan mengakuinya bahwa Dia-lah Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Pelindung, Pemberi
Rahmat, Pengasih dan Penyayang terhadap segala makhluk-Nya. Segala apa yang ada dunia ini,
dari gejala-gejala yang bermacam-macam dan segala makhluk yang beraneka warna, dari biji dan
binatang melata di bumi sampai kepada langit yang berlapis semua milik Tuhan, dan diatur olehNya.
Selain itu, agama Islam juga mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat
ajaran yang menuntun kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Semua ini terkandung dalam ajaran
al-Qur'an yang diturunkan Allah Swt. dan ajaran yang didatangkan dari Nabi Muhammad SAW
yang disebut dengan Sunnah .
Perhatian Islam terhadap pembinaan akhlak lebih lanjut dapat dijelaskan dengan menunjukkan
universalitas al-Qur'an mengenai jalan yang harus ditempuh manusia. Hasil penelitian Thabathabi
terhadap kandungan al-Qur'an mengenai jalan yang harus ditempuh manusia itu ada tiga macam,
dengan uraiannya secara singkat sebagai berikut:
Pertama, menurut petunjuk al-Quran, dalam hidupnya manusia hanya menuju kepada
kebahagiaan, ketenangan dan pencapaian cita-citanya. Kebahagiaan dan ketenangan merupakan
suatu warna khusus di antara warna-warna kehidupan yang diinginkan manusia, yang di
naungannya ia berharap menemukan kemerdekaan, kesejahteraan, kesentosaan dan lainlain. Kedua, perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia senantiasa berada dalam suatu kerangka

peraturan dan hukum tertentu. Hal ini merupakan suatu kebenaran yang tidak dapat diingkari, dalam
segala keadaan, mengingat begitu jelas dan gamblangnya persoalan. Hal itu disebabkan karena
manusia yang mempunyai akal hanya melakukan sesuatu setelah ia menghendakinya. Perbuatannya
itu berdasarkan kehendak jiwa yang diketahuinya dengan jelas. Ketiga, jalan hidup terbaik dan
terkuat manusia adalah jalan yang didasarkan fitrah, bukan berdasarkan emosi dan dorongan hawa
nafsu.
Selanjutnya perhatian Islam terhadap pembinaan akhlak dapat pula dijumpai dari perhatian Nabi
Muhammad SAW. sebagaimana terlihat dalam ucapan dan perbuatannya yang mengandung
akhlak. Di dalam hadisnya kita misalnya menemukan pernyataan bahwa beliau diutus ke muka
bumi ini untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Orang yang paling berat timbangan amal
baiknya di akhirat adalah orang yang paling mulia akhlaknya. Orang yang paling sempurna
imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan lain sebagainya.
C.

Akhlak Pada Zaman Baru

Pada akhir abad kelimabelas Masehi, Eropa mulai mengalami kebangkitan dalam bidang filsafat,
ilmu pengetahuan dan teknolog. Para ahli bangsa Eropa termasuk Itali mulai meningkatkan
kegiatan dalam bidang filsafat Yunani, ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Kehidupan mereka
yang semula terikat pada dogma kristiani, khayal dan mitos mulai digeser dengan memberikan
peran yang lebih besar kepada kemampuan akal pikiran.

Segala sesuatu yang selama ini dianggap

mapan mulai diteliti, dikritik dan diperbaharui, hingga akhirnya mereka menerapkan pola bertindak
dan berpikir secara liberal.
Diantara masalah yang mereka kritik dan dilakukan pembaharuan adalah masalah akhlak.
Penentuan patokan baik buruk yang semula didasarkan pada dogma gereja diganti dengan
penentuan baik buruk berdasarkan pandangan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman
empirik. Akhlak yang mereka bangun didasarkan pada penyelidikan menurut kenyataan empirik dan
tidak mengikuti gambaran-gambaran khayal atau keyakinan yang terdapat dalam ajaran agama.
Sumber akhlak yang semula ajaran al-kitab dan dogma kristiani dan khayalan mereka ganti dengan
ajaran akhlak yang bersumber pada logika dan pengalaman empirik. Hal yang demikian pada
gilirannya melahirkan apa yang disebut dengan etika dan moral yang berbasis pada pemikiran akal
pikiran.

2. Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata 'etika' yaitu ethossedangkan
bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu: tempat tinggal yang biasa,

padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan
arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh
Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul
kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukanatau ilmu tentang adat
kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan
mencari arti kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari
sebuah kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K.
Bertens terhadap arti kata 'etika' yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan
Kamus Bahasa Indonesia yang baru.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 - mengutip dari
Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : "ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak
(moral)". Sedangkan kata etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 - mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban

moral

(akhlak);
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dari perbadingan kedua kamus tersebut terlihat bahwa dalam Kamus Bahasa Indonesia yang
lama hanya terdapat satu arti saja yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan Kamus Bahasa Indonesia
yang baru memuat beberapa arti. Kalau kita misalnya sedang membaca sebuah kalimat di berita
surat kabar "Dalam dunia bisnis etika merosot terus" maka kata etika di sini bila dikaitkan dengan
arti yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tersebut tidak cocok karena maksud
dari kata etika dalam kalimat tersebut bukan etika sebagai ilmu melainkannilai mengenai benar
dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Jadi arti kata etika dalam Kamus Bahasa
Indonesia yang lama tidak lengkap.
K. Bertens berpendapat bahwa arti kata etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
tersebut dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik dibalik, karena arti kata ke-3
lebih mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga arti dan susunannya menjadi seperti berikut :
1. Nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya.
Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika

agama Budha, etika

Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu
melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia
perorangan maupun pada taraf sosial.

2. Kumpulan asas atau nilai moral.


Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik
3. Ilmu tentang yang baik atau buruk.
Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai
tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat
dan sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan
metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.
Moral
Kata Moral berasal dari kata latin mos yang berarti kebiasaan. Moral berasal dari Bahasa
Latin yaitu Moralitas adalah istilah manusiamenyebut ke manusia atau orang lainnya dalam
tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya
dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah
hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia.
Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu
tanpa moral manusia tidak bisa melakukan prosessosialisasi. Moral dalam zaman sekarang
mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari
sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia
harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan
dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan
masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi
dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di
masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka
orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari
budaya dan Agama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang
dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara
hati, serta nasihat, dll.
Menurut Immanuel Kant, moralitas adalah hal kenyakinan dan sikap batin dan bukan hal
sekedar penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara, agama atau adatistiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu moral seseorang adalah hal kesetiaannya pada
hatinya sendiri.Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan
hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk
mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.
Adapun pengertian moral dalam kamus filsafat dapat dijabarkan sebagai berikut:
a) Menyangkut kegiatan-kegiatan yang dipandang baik atau buruk, benar atau salah, tepat atau
tidak tepat.

b) Sesuai dengan kaidah-kaidah yang diterima, menyangkut apa yang dianggap benar, baik, adil
dan pantas.
c) Memiliki:
Kemampuan untuk diarahkan oleh (dipengaruhi oleh) keinsyafan benar atau salah.
Kemampuan untuk mengarahkan (mempengaruhi) orang lain sesuai dengan kaidah-kaidah
perilaku nilai benar dan salah.
3. Persamaan Antara Akhlak, Etika, Moral
Akhlaq, Etika, Moral , dan Susila secara konseptual memiliki makna yang berbeda, namun
pada aras praktis, memiliki prinsip-prinsip yang sama, yakni sama-sama berkaitan dengan nilai
perbuatan manusia. Seseorang yang sering kali berkelakuan baik kita sebut sebagai orang yan
berakhlaq, beretika, bermoral, dan sekaligus orang yang mengerti susila. Sebaliknya, orang yang
perilakunnya buruk di sebut orang yang tidak berakhlaq, tidak bermoral, tidak tahu etika atau orang
yang tidak berasusila. Konotasi baik dan buruk dalam hal ini sangat bergantung pada sifat positif
atau negative dari suatu perbuatan manusia sebagai makhluk individual dalam komunitas sosialnya.
Dalam perspektif agama, perbuatan manusia didunia ini hanya ada dua pilihan yaitu baik
dan benar. Jalan yang di tempuh manusia adalah jalan lurus yang sesuai dengan petunjuk ajaran
agama dan keyakinannya, atau sebaliknya, yakni jalan menyimpang atau jalan setan, kebenaran atau
kesesatan. Itu sebuah logika binner yang tidak pernah bertemu dan tidak pernah ada kompromi.
Artinya, tidak boleh ada jalan ketiga sebagai jalan tengah antara keduanya. Keempat istilah tersebut
sama-sama mengacu pada perbuatan manusia yang selanjutnya ia diberikan kebebasan untuk
menentukan apakah mau memilih jalan yang berniai baik atau buruk, benara atau salah berdasarkan
kepeutusannya. Tentu saja, masing-masing pilihan mempunyai konsekuensi berbeda.
Ditinjau dari aspek pembentukan karakter, keempat istilah itu merupakan suatu proses yang
tidak pernah ada kata berhenti di dalamnya. Proses itu harus terus-menerus di dorong untuk terus
menginspirasi terwujudnya manusia manusia yang memiliki karakter yang baik dan mulia, yang
kemudian terefleksikan ke dalam bentuk perilaku pada tataran fakta empiric di lapangan sosial
dimana manusia tinggal. Kesadaran terhadap arah yang positif ini menjadi penting ditanamkan, agar
supaya tugas manusia sebagai khalifatullah fi al-ardi menjadi kenyataan sesuai titah Allah swt.
Bukankah Allah telah membekali manusia berupa sebuah potensi fitri, jika manusia mampu
memeliharanya, maka ia akan mencapai drajad yang lebih mulia dari pada malaikat. Sebaliknya,
jika tidak mampu, maka ia akan jatuh ke posisi drajad binatang dan bahkan lebih sesat lagi. Inilah
di antara argumentasinya, bahwa betapa perilaku manusia itu harus senatiasa dibina, di bombing, di
arahkan bahkan harus di control melalui regulasi-regulasi, agar supaya manusia selalu berada di
jalan yang benar dan lurus. Untuk mewujudkan cita-cita luhur itu, memang dibutuhkan suatu proses
yang panjang sekaligus dengan cost yang tidak sedikit.

Perbedaan Antara Akhlak Dengan Etika, Moral


Berdasarkan paparan di atas, maka secara formal perbedaan keempat istilah tersebut adalah
antara lain sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)

Etika bertolak ukur pada akal pikiran atau rasio.


Moral tolak ukurnya adalah norma-norma yang berlaku pada masyarakat.
Etika bersifat pemikiran filosofis yang berada pada tataran konsep atau teoritis.
Pada aras aplikatif, etika bersifat lokalitas dan temporer sesuai consensus, dengan demikian
dia disebut etiket (etiqqueta), etika praksis, atau dikenal juga dengan adab/ tatakrama/

5)

tatasusila.
Moral berada pada dataran realitas praktis dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang

6)
7)
8)

dalam masyarakat.
Etika di pakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Moral yang di ungkapkan dengan istilah moralitas di pakai untuk menilai suatu perbuatan.
Akhlaq berada pada tataran aplikatif dari suatu tindakan manusia dan bersifat umum, namun
lebih mengacu pada barometer ajaran agama. Jadi, etika islam (termasuk salah satu dari

9)

berbagai etika relegius yang ada) itu tidak lain adalah akhlaq itu sendiri.
Akhlaq juga berada pada level spontanitas-spesifik, karena kebiasaan individual/ komunitas
yang dapat disebut dengan Adab , seperti adab encari ilmu, adab pergaulan keluarga dan
lain-lain.

Vous aimerez peut-être aussi