Vous êtes sur la page 1sur 16

SLE (Systemic Lupus Erytematosus)

A. Definisi
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah
penyakit radang multisistem yang penyebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit
yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh
terdapatnya berbagai macam autoantibody dalam tubuh. SLE merupakan prototype penyakit
autoimun multisistem yang ditandai oleh munculnya sekumpulan reaksi imun abnormal yang
menghasilkan beragam manifestasi klinik.
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya
perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu
kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang
mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.
Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun
terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002). Berbeda dengan
HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan
tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus
yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati,
sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa
berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda,
misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan
jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
SLE disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi kerentanan individu
melalui mekanisme yang berbeda. Faktor-faktor yang berpengaruh antara lain faktor genetik,
hormonal, lingkungan, ras dan induksi obat tertentu. Faktor genetik mempunyai peran yang
signifikan dalam perkembangan penyakit autoimun. Hal ini disebabkan adanya gangguan
pada haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang
berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen serta gen-gen yang mengkode
reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin. Hormonal juga dapat menyebabkan terjadinya
penyakit autoimun melalui hormon estrogen dengan mekanisme menekan imunitas yang
1

diperantarai oleh sel T dan menyebabkan proliferasi sel B limfosit. Faktor lingkungan yang
menyebabkan timbulnnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang
terpapar dan dapat menyebabkan apoptosis dari sel keratonosit sehingga menyebabkan
perubahan sistem imun di daerah tersebut. Infeksi virus dapat menyebabkan peningkatan
antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik. Adanya induksi obat
tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan
asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing
oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk
menyerang benda asing tersebut. Ras pada etiologi SLE berkaitan dengan kerentanan genetik
dan induksi obat.
Semua mekanisme tersebut dapat mengakibatkan abnormalitas dari sistem imun
berupa proliferasi autoimun yang menyebabkan tejadinya produksi autoantibodi. Produksi
tersebut juga dapat disebabkan karena terjadinya defek pada apoptosis sehingga tejadi
kematian sel secara besar-besaran. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan
antigen membentuk kompleks imun. Gangguan klirens kompleks imun yang dapat
disebabkan oleh defisiensi komplemen mengakibatkan kompleks imun semakin lama berada
di dalam tubuh dan terdeposisi sehingga dapat mengaktifkan komplemen dan menimbulkan
kerusakan jaringan. Hal ini memicu lepasnya mediator-mediator inflamasi yang dapat
menyebabkan terjadinya inflamasi yang bersifat kronik. Inflamasi inilah yang menimbulkan
penyakit SLE. Karena sistemik, maka penyakit ini mempunyai manifestasi yang sangat luas
meliputi muskuloskeletal, kulit, ginjal, saluran cerna, hati dan limpa, kelenjar getah bening,
kelenjar parotis, dll. Oleh sebab itu terapi yang diberikan juga sangat kompleks meliputi
NSAID, kortikosteroid, imunosupresan, antimalaria, alternatif lain seperti antibodi
monoklonal, anti-DNA, intravena gamaglobulin, dll. Banyaknya obat yang diberikan
menuntut peran farmasis yang lebih besar dalam melakukan asuhan kefarmasian. Oleh
karena itu dilakukan penelitian studi penggunaan obat (drug utilization study) untuk
mengetahui pola penggunaan obat dalam aplikasi praktis dalam rangka peningkatan peran
farmasis klinik di pelayanan.
B. Epidemiologi
2

SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 : 1.
Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE
juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini
dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente,
2002). Prevalensi SLE berbeda beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika Amerika
mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12
kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di
Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50
kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000
populasi (Bartels, 2006).
C. Penyebab Dan Patogenesis
Penyebab dan patogenesis SLE masih belum diketahui dengan jelas. Namun
demikian terdapat banyak bukti bahwa

patogenesis SLE bersifat multifactor. Yaitu

mencakup pengaruh factor lingkungan, factor genetic dan hormonal terhadap Respon imun.
Faktor genetic mempunyai pengaruh penting dalam kerentanan dan ekpresi penyakit.
Sekitar 10 % - 20 % pasien SLE mempunyai kerabat dekat yang juga menderita SLE.
Penelitian menunjukkan bahwa banyak Gen yang berperan terutama yang mengkode system
Imun seperti Gen yang mengkode reseptor sel T, Imunoglobulin dan sitokin.
Sistem neuroendokrin ikut berperan melalui pengaruhnya terhadap system imun
secara timbal balik. Beberapa penelitian berhasil menunjukkan bahwa pengaruh hormone
prolaktin dapat merangsang respon imun.
Faktor lingkungan yang dianggap ikut berperan ialah pajanan berlebih terhadap sinar
ultraviolet dan berbagai macam infeksi.

D. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
3

kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan


penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah
alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel Tsupresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

PATHWAY
Faktor penyebab (genetik, lingkungan,hormonal)

Limfosit T tidak berfungsi (abnormal)

Pembentukan Antibodi terhadap tubuh sendiri (inti sel)


Penumpukan kompleks imun di seluruh organ
Clinical manifestation

Muskuloskletal
Nyeri sendi

Mukokutan

Ginjal

Paru

Oral

eritema,

PK Nefritis

PK Efusi

ulkus palatum,

sikatriks,

gagal ginjal

Pleura

lesi di mulut

lesi diskoid
anoreksia

Nyeri

Intoleransi
Aktivitas

Gangguan
Citra

Tubuh

Gangguan
Integritas Kulit

Ketidakseimbangan
nutrisi
nutrisi kurang dari
kebutuhan

E. Manifestasi Klinis
1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem Integumen
5

Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem Kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem Pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem Vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem Perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem Saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk
penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

F. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan
darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan serta penurunan berat badan dan
kemungkinan pula artritis, peuritis dan perikarditis. Pemeriksaan serum : anemia sedang
hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia dan antibodi antinukleus yang
positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mendukung tapi tidak memastikan diagnosis.
6

Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan
darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan serta penurunan berat badan dan
kemungkinan pula artritis, peuritis dan perikarditis.
Pemeriksaan serum : anemia sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau
leukopenia dan antibodi antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mendukung
tapi tidak memastikan diagnosis.

G. Penatalaksanaan Medis
1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama
kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.
2. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
3. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SLE


( Systemic Lupus Erythematosus )
A. Pengkajian
Penting dilakukan Pengkajian terhadap Klien secara holistik (Biologis, Psikologis,Social dan
Spiritual ) untuk mendapatkan data yang lengkap dan sistematis. Adapun metode yang dapat
dipakai dalam Proses Pengkajian yaitu :
7

1. Anamnesa
a.

Alasan dirawat / Keluhan utama

b.

Riwayat kesehatan dan penyakit yang lalu

c.

Masalah kesehatan yang sedang dialami

d.

Masalah pola fungsi sehari-hari

e.

Masalah yang dirasakan beresiko atau diketahui beresiko tinggi pada klien

f.

Pola emosi, konsep diri, Gambaran diri,pola pemecahan masalah

g.

Masalah kebudayaan / kepercayaan, Nilai, Keyakinan

h.

Hubungan social/keluarga.dll

Pemeriksaan 4 Gejala cardinal: Suhu umumnya terjadi peningkatan suhu tubuh, Tekanan
Darah akan meningkat terutama bila terdapat masalah pada ginjal.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Pengamatan secara seksama setatus kesehatan Klien dari kepala sampai kaki. Pada
Klien dengan SLE mungkin akan ditemukan antara lain:
1) Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) pada daerah pipi dan
hidung.
2) Lesi dan kebiruan di ujung jari akibat buruknya sirkulasi dan hipoksia kronik
3) Lesi berskuama di kepala, leher dan punggung, pada beberapa penderita
ditemukan eritema atau sikatrik.
4) Luka-luka di selaput lender mulut atau pharing.
5) Dapat terlihat tanda peradangan satu atau lebih persendian yaitu
pembengkakan, warna kemerahan dan rentang gerak yang terbatas.
6) Perdarahan sering terjadi terutama dari mulut atau bercampur urina (urine
kemerahan)
7) Gerakan dinding thorak mungkin tidak simetris atau tampak tanda tanda
sesak (Napas cuping hidung,Retraksi supra sterna, bahkan intercostals,apabila
terdapat ganguan organ paru)
b. Palpasi
Pemeriksaan dengan meraba klien
8

1) Sklerosis, yaitu terjadi pengencangan dan pengerasan kulit jari-jari tangan


2) Nyeri tekan pada daerah sendi yang meradang
3) Oedem mata dan kaki, mungkin menandakan keterlibatan ginjal dan
hipertensi
c. Perkusi
Pemeriksaan pisik dengan mengetuk bagian tubuh tertentu; untuk mengetahui
Reflek, atau untuk mengetahui kesehatan suatu organ tubuh misalnya : Perkusi
organ dada untuk mengetahui keadaan Paru dan jantung.
d. Auskultasi
Pemeriksaan pisik dengan cara mendengar, biasanya menggunakan alat Stetoskup,
antara lain untuk mendengar denyut jantung dan Paru-paru.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ulkus palatum
dan lesi dimulut.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri,
depresi.
4. Gangguan Citra Tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta
psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
5. Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,
penumpukan kompleks imun
6. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan pengobatan berhubungan
dengan kurangnya informasi, misinterpretasi, keterbatasan kognitif ditandai dengan
sering bertanya, menyatakan masalahnya, dan tidak akurat dalam mengikuti
instruksi/pencegahan komplikasi.
Intervensi
Dx 1 : Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

Tujuan & Kriteria Hasil


1. Tujuan dan Kriteria Hasil
: Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama 3x24
jam, nyeri pasien berkurang

Intervensi
1. Kaji skala nyeri
pasien
2. Atur posisi
imobilisasi pada
daerah nyeri.
3. Bantu klien dalam

dengan kriteria hasil :


pasien tidak tampak

mengidentifikasi

meringis.

factor pencetus.
4. Jelaskan dan bantu
klien dengan

Rasionalisasi
1. nyeri merupakan
respon subjektif yang
dapat dikaji dengan
skala nyeri.
2. imobilisasi yang
adekuat dapat
mengurangi nyeri.
3. nyeri dipengaruhi oleh
kecemasan dan

tindakan pereda nyeri

pergerakan sendi.
4. pendekatan dengan

non farmakologi dan

menggunakan

non invasive.
5. Ajarkan teknik
distraksi dan
relaksasi.

relaksasi dan tindakan


non farmakologi lain
menunjukkan
keefektifan dalam
mengurangi nyeri.
5. teknik ini dapat
membantu
mengurangi nyeri.

Dx 2 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


penurunan masukan oral
Tujuan/KH
Setelah

diberikan

Intervensi
asuhan
1. Pantau asupan

Rasionalisasi
1. memastikan asupan

keperawatan selama 3x24 jam,

makanan setiap

nutrisi yang

nutrisi pasien terpenuhi dengan

hari.
2. Ajarkan klien untuk

adekuat.
2. kebersihan mulut

kriteria hasil : berat badan


pasien kembali normal.

tetap menjaga
kebersihan mulut.
3. Ciptakan
lingkungan yang

dapat
meningkatkan
nafsu makan klien.
3. lingkungan yang
10

bersih di sekitar
klien.
4. Konsultasi dengan
tim pendukung
ahli gizi atau diet.
5. Bantu klien dalam
pemilihan
makanan atau

kotor dapat
menurunkan nafsu
makan klien.
4. menyediakan diet
berdasarkan
kebutuhan individu
dan rute yang tepat.
5. kebiasaan diet

cairan yang

sebelumnya

memenuhi

mungkin tidak

kebutuhan nutrisi.

memuaskan pada
pemenuhan
kebutuhan saat ini .

Dx 3 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit,


rasa nyeri,depresi
Tujuan & KH
INTERVENSI
Setelah diberikan asuuhan 1. Berikan lingkungan yang
keperawatan

selama

3x24 jam, pasien dapat


melakukan aktivitas yang
dapat ditoleransi dengan
kriteria

hasil

mendemonstrasikan
perilaku
memungkinkan
melakukan aktivitas

aman misalnya menaikkan

cedera akibat

restrain, menggunakan

kecelakaan atau

pegangan tangga pada toilet.


2. Pertahankan istirahat tirah
baring atau duduk.
3. Kolaborasi : konsul dengan
fisioterapi.

yang

RASIONALISASI
1. menghindari

terjatuh.
2. istirahat
dianjurkan untuk
mencegah
kelelahan dan
mempertahankan
kekuatan.
3. berguna dalam
memformulasikan
program latihan.
11

Dx 4 : Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan


fisik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik
Tujuan & KH
Setelah mendapatkan

asuhan

Intervensi
1. Sediakan waktu untuk

Rasionalisasi
1. faktor penguat

keperawatan selama 3x24 jam,

pasien dan orang

yang ada dapat

pasien

terdekat untuk

membangkitkan

mengekspresikan

semangat klien dan

mau

dan

mampu

menerima keadaan yang sedang


berlangsung

dengan

kriteria

hasil : pasien dapat bergaul


dengan

lingkungannya,pasien

tidak menunjukkan rasa malu


terhadap dirinya

perasaan.
2. Observasi makna
perubahan yang
dialami oleh klien.
3. Catat perilaku menarik
diri : peningkatan
ketergantungan,

menerima terapi.
2. mengekspresikan
perasaan
membantu
memudahkan
koping.
3. mengetahui

manipulasi atau tidak

perasaan klien

terlibat pada

tentang keadaannya

perawatan.
4. Jelaskan bahwa
keadaan klien masih

dan kontrol
emosinya.
4. dugaan masalah

dapat berubah ke arah

pada penilaian

yang lebih baik

yang dapat

asalkan klien menaati

memerlukan

pengobatan.

evaluasi lanjut dan


terapi lebih ketat.
5. ketaatan berobat
akan mempercepat
kesembuhan.

12

Dx 5 : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier


kulit, penumpukan kompleks imun
Tujuan & KH
Setelah
diberikan
keperawatan

selama

asuhan
3x24

jam,

integritas kulit membaik dengan

Intervensi
1. Kaji kerusakan
jaringan lunak
2. Observasi atau catat

meningkat

untuk memberi
informasi tentang

warna dan keadaan

kriteria hasil : pertumbuhan jaringan


kulit

Rasionalisasi
1. menjadi data dasar

intervensi.
2. mengetahui

kulit.
3. Beri perawatan kulit

perkembangan

sering agar tidak

keadaan kulit

terjadi kering ataupun


lembab.

pasien.
3. terjadi kering atau
lembab dapat
mempercepat
kerusakan kulit.

Dx 6 : Kurangnya pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan pengobatan


berhubungan dengan kurangnya informasi, misinterpretasi, keterbatasan
kognitif ditandai dengan sering bertanya, menyatakan masalahnya, dan tidak
akurat dalam mengikuti instruksi/pencegahan komplikasi.
Tujuan & KH
setelah

diberikan

Intervensi
asuhan

keperawatan selama 3x24


jam

diharapkan

mengetahui

pasien
informasi

tentang penyakitnya dengan


criteria hasil:
- melakukan prosedur yang
diperlukan dan menjelaskan
alasan dari suatu tindakan.

Rasionalisasi

1. Kaji tingkat pengetahuan 1. mengetahui seberapa jauh


klien dan keluarga tentang

pengalaman

penyakitnya.
2. Berikan penjelasan pada

pengetahuan

dan
klien

keluarga

dan

tentang

klien dan keluarga tentang


penyakitnya

penyakitnya.
dan 2. dengan

kondisinya sekarang.
3. Anjurkan
klien
dan
keluarga
memperhatikan

untuk
diet

mengetahui

penyakit dan kondisinya


sekarang,

klien

dan

keluarganya akan merasa


tenang dan mengurangi
13

memulai

perubahan

gaya

hidup yang diperlukan dan

makanannya
4. Anjurkan
klien
keluarga

ikut serta dalam regimen

rasa cemas.
dan 3. diet dan pola makan yang
untuk

memperhatikan perawatan

perawatan.

diri dan lingkungan bagi


anggota
sakit.
5. Minta
mengulangi

keluarga yang

tepat

membantu

kesembuhan
4. perawatan diri

proses
(mandi,

toileting,
berpakaian/berdandan)

klien/keluarga
kembali

tentang materi yang telah


diberikan.

dan kebersihan lingkungan


penting

untuk

menciptakan

perasaan

nyaman/rileks klien sakit.


5. mengetahui seberapa jauh
pemahaman
keluarga

klien

serta

dan

menilai

keberhasilan dari tindakan


yang dilakukan.

IMPLEMENTASI
Sesuai dengan intervensi
EVALUASI
DX 1: Exspresi wajah pasien tidak lagi meringis
DX 2: Berat badan pasien sudah dalam rentang normal
DX 3: Px terilhat sudah bisa melakukan aktivitas sehari hari tanpa bantuan dari orang
lain
DX 4 : Px terlihat dapat bergaul dengan orang lain dan tidak malu
DX 5 :Kulit Px terlihat lebih lembab dan kerusakan integritas kulit bisa diminimaliskan
DX 6 : Px dan keluarga Px mulai mengerti dan tidak bingung tentang penyakit yang
diderita Px

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Doenges Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: ECG


2. Http://wwww.total kesehatan nanca.com/SLE.html
3. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III.Jakarta : Balai Penerbit FKUI,Jakarta.
4. Brunner & Suddarth.2002.Keperawatan Medikal Bedah.ed 8.volume 2.Jakarta : EGC.
5. Nanda,2005-2006, Diagnosis Keperawatan

15

16

Vous aimerez peut-être aussi