Vous êtes sur la page 1sur 30

BAB I

PENDAHULUAN

Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat
dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal,
telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Penyebab paling sering dari
abses leher dalam adalah infeksi gigi (43%) dan penyalahgunaan narkoba suntikan (12%).1
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat komplikasikomplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf kranial,
mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Lokasinya terletak di dasar
mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat serius. Etiologi infeksi di daerah leher dapat
bermacam-macam. Kuman penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran
kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob. Asmar dikutip Murray dkk, mendapatkan
kultur dari abses retrofaring 90 % mengandung kuman aerob, dan 50% pasien ditemukan
kuman anaerob.1,2,3
Infeksi kepala dan leher yang mengancam jiwa ini sudah jarang terjadi sejak
diperkenalkannya antibiotik dan angka kematiannya menjadi lebih rendah. Disamping itu
higiene mulut yang meningkat juga berperan dalam hal ini. Sebelum era antibiotik, 70 %
infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi di faring dan tonsil ke parafaring.4
Disamping drainase abses yang optimal, pemberian antibiotik diperlukan untuk terapi
yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik yang efektif terhadap pasien, diperlukan
pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotik terhadap kuman. Namun ini
memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan pemberian antibiotik secara
empiris. Berbagai kepustakaan melaporkan pemberian terapi antibiotik spektrum luas secara
kombinasi. Kombinasi yang diberikan pun bervariasi.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI LEHER DALAM


Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia
servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda. Kedua
fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot platisma
sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior
untuk berinsersi di bagian inferior mandibula.5,6

Gambar 1. Potongan aksial leher setinggi orofaring


Lapisan fasia leher dalam
Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus organ,
otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang potensial. Fasia
servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis
profunda. Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke arah
toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia servikalis
superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf dan
pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.
Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu :7,8

1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak sampai
daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah dan melekat pada
klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.trapezius, m. masseter, kelenjar
parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer , lapisan
pembungkus dan lapisan anterior.
2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi muskular
terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan membungkus m.
sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Dibagian superior melekat pada os
hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula dan skapula.
Divisi viscera membungkus organ organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid, trakea dan
esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian posterior sampai ke
esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan
ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan
perikardium. Fasia bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada bagian
posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m. buccinator.
3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi alar
terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi prevertebra, yang berjalan
dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi viscera lapisan
media fasia servikalis profunda. Divisi alar melengkapi bagian posterolateral ruang
retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space.
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral meluas
ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan dari dasar
tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari danger space dan
dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk
selubung karotis ( carotid sheath ) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang
faringomaksilaris sampai ke toraks.

Ruang faringeal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti
penting, yaitu ruang retrofaring, dan ruang parafaring. 4,5
1. Ruang retrofaring (retropharyngeal space)
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari
mukosa faring, fasia faringobasilaris, dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan
ikat jarang dan fasia prevertebralis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah
mengikatnya pada vertebra.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi oleh :
-

anterior : fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia servikalis


profunda ) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid -

posterior : divisi

alar lapisan profunda fasia servikalis profunda


-

lateral : selubung karotis ( carotid sheath ) dan daerah parafaring (fosa


faringomaksila).
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum setinggi
bifurkasio trakea ( vertebra torakal I atau II ) dimana divisi viscera dan alar bersatu.
Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiannya ialah karena di
ruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Daerah retrofaring terbagi menjadi
2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh midline raphe . Tiap tiap bagian
mengandung 2 5 buah kelenjar limfe retrofaring yang biasanya menghilang setelah
berumur 4 5 tahun. Kelenjar ini menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus
paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustakius dan telinga tengah. Pada peradangan
kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya akan
tertumpah di dalam ruang retrofaring. Daerah ini disebut juga dengan ruang
retroviscera, retroesofagus dan ruang viscera posterior.

2. Ruang parafaring (fosa faringomaksila : pharyngomaxillary fossa)


Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar
tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang
ini dibatasi di bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas luarnya adalah
ramus asendens mandibula yang melekat dengan m.pterigoideus interna dan bagian
posterior kelenjar parotis.

Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid
dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (prestiloid) adalah bagian yang
lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang,
beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis
interna, v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut
selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh
suatu lapisan fasia yang tipis.

Gambar 2. Potongan axial orofaring menunjukkan ruang retrofaring dan parafaring.9

Gambar 3. Potongan oblik leher menunjukkan ruang faringomaksila (parafaring), ruang


submaksila, dan ruang potensial lainnya.9

Gambar 8. Potongan koronal ruang parafaring.9


Selain itu juga dijumpai daerah potensial lainnya di leher yaitu :
-

danger space : dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi prevertebra pada
bagian posterior ( tepat di belakang ruang retrofaring ).

prevertebral space : dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior dan korpus vertebra
pada bagian posterior ( tepat di belakang danger space ). Ruang ini berjalan sepanjang
kollumna vertebralis dan merupakan jalur penyebaran infeksi leher dalam ke daerah
koksigeus.

Gambar 9. Potongan sagital faring menunjukkan ruang retrofaring, danger space, dan
prevertebral space.10
Ruang submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Ruang submaksila
selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot
digastrikus anterior. Ruang mandibular dibatasi pada bagian lateral oleh garis inferior dari
badan mandibula, medial oleh perut anterior musculus digastricus, posterior oleh ligament
stylohyoid dan perut posterior dari musculus digastricus, superior oleh musculus mylohyoid
dan hyoglossus, dan inferior oleh lapisan superficial dari deep servikal fascia. Ruang ini
mengandung glandula saliva sub mandibular dan sub mandibular lymphanodes.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam ruang
submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila
saja.

Gambar 10. Ruang sublingual dan ruang submandibula yang dibagi oleh m.mylohyoideus.11

Gambar 11. Ruang sublingual di bagian superior dari m. mylohyoid. Ruang


submandibular di inferior dari m. mylohyoid.11

2.2. DEFINISI
Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di
sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau
karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini
merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi
ke bagian lain dari tubuh. Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam
ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber
infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.5
2.3. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS 12
Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam tubuh.
Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara perluasan
langsung maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang
ada di bagian tubuh tertentu, maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar
lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik
kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.
Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak dibanding dengan
kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai 10:1 sampai 10000:1. Bakteriologi
dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman yang paling dominan adalah kuman
anaerob yaitu, Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp.
Bakteri aerob dan fakultatif adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus.
Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil dan
gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas
melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi molar I yang berada di atas
mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual,
sedangkan molar II dan III apeknya berada di bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih
cepat ke daerah submaksila.

Parhischar dkk mendapatkan, dari 210 abses leher dalam, 175 (83,3%) dapat
diidentifikasi penyebabnya (tabel 1). Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%. Tujuh puluh
enam persen Ludwigs angina disebabkan infeksi gigi, abses submandibula 61% disebabkan
oleh infeksi gigi.
Yang dkk melaporkan dari 100 orang abses leher dalam, 77 (77%) pasien dapat
diidentifikasi sumber infeksi sebagai penyebab. Penyebab terbanyak berasal dari infeksi
orofaring 35%, odontogenik 23%. Penyebab lain adalah infeksi kulit, sialolitiasis, trauma,
tuberkulosis, dan kista yang terinfeksi.

2.3. GAMBARAN KLINIS


2.3.1. ABSES PERITONSIL (QUINSY)
Abses peritonsil merupakan akumulasi pus terlokalisir di jaringan peritonsil yang
terbentuk akibat dari tonsilitis supuratif. Penjelasan lain adalah abses peritonsil merupakan
abses yang terbentuk di kelompok kelenjar air liur di fosa supratonsil, yang disebut sebagai
kelenjar Weber. Nidus akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina dan muskulus
konstiktor faringeus. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius (superior), dan sinus
piriformis (inferior) membentuk batas ruang peritonsil potensial. Karena terbentuk dari
jaringan ikat longgar, infeksi parah area ini bisa secara cepat membentuk material purulen.
Inflamasi dan supurasi progresif bisa menyebar langsung melibatkan palatum mole, dinding
lateral faring, dan kadang-kadang dasar dari lidah. 5,13 Insidensi abses peritonsil di Amerika
Serikat adalah sekitar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, mewakili sekitar 45.000 kasus
per tahun. Tidak ada data akurat secara internasional.13 Meskipun tonsilitis penyakit anak,
hanya sepertiga kasus abses peritonsil ditemukan di kelompok umur ini. Umur pasien dengan
abses peritonsil bervariasi, dengan jarak 1-76 tahun, dengan insidensi tertinggi pada pasien
dengan usia 15-35 tahun.13 Tidak ada predileksi jenis kelamin ataupun ras.13
Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab
tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.1 Biasanya, organisme Gram positif
aerob dan anaerob diidentifikasi melalui kultur. Kultur menunjukkan Streptococcus beta
hemolyticus yang paling sering. Selanjutnya, yang paling sering adalah Staphlococcus,
9

Pneumococcus, dan Haemophilus. Terakhir, organisme lain yang bisa dikultur adalah
Lactobacillus, bentuk-bentuk filamentosa seperti Actinomyces sp., Micrococcus, Neisseria
sp., diphteroid, Bacteroides sp., dan bakteri tidak bersporulasi. Beberapa bukti menunjukkan
bakteri anaerob sering menyebabkan infeksi ini. 14
Gejala dan tanda5,13
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), mungkin terdapat
muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara
gumam (hot potato voice) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta
pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Pasien biasanya memiliki riwayat
faringitis akut ditemani dengan tonsilitis dan rasa faring tidak nyaman unilateral dan makin
memburuk. Pasien mungkin mengalami malaise, kelelahan, dan sakit kepala. Pasien sering
mengalami demam dan rasa tenggorokan penuh yang tidak simetris. Karena limfadenopati
dan inflamasi otot servikal, pasien sering mengalami nyeri leher dan bahkan keterbatasan
gerak leher. Dokter harus memikirkan diagnosis abses peritonsil pada pasien dengan gejala
faring persisten meskipun sudah diberikan rejimen antibiotik yang adekuat. Seiring derajat
inflamasi dan infeksi berlanjut, gejala berlanjut ke dasar mulut, ruang parafaring, dan ruang
prevertebral. Kelanjutan di dasar mulut mengkhawatirkan karena obstruksi jalan napas;
dokter harus sadar dengan gawat darurat yang mungkin terjadi.
Pada pemeriksaan fisik mungkin hasil bervariasi dari tonsilitis akut dengan faring
asimetris unilateral sampai dehidrasi dan sepsis, Kebanyakan pasien memiliki nyeri berat.
Pemeriksaan rongga mulut menunjukkan tanda-tanda eritem, palatum mole asimetris,
eksudasi tonsil, dan uvula disposisi kontralateral. Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh
faring, karena trismus. Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat
teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak,
hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah depan dan bawah. Abses
peritonsil biasanya unilateral dan terletak di kutub superior tonsil yang terkena, pada fosa
supratonsil. Pada tingkat lipatan supratonsil, mukosa dapat tampak pucat dan mungkin
menunjukkan bintil-bintil kecil. Palpasi pada palatum mole sering menunjukkan fluktuasi.
Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel dianjurkan untuk pasien dengan airway distress.

10

Laringoskopi adalah kunci untuk menyingkirkan epiglotitis dan supraglotitis, juga kelainan
pita suara.
Derajat trismus tergantung dari inflamasi ruang faring lateral. Penemuan
limfadenopati servikal ipsilateral melibatkan satu atau lebih kelenjar tidak tak biasa. Kelenjar
limfa yang terkena mungkin agak padat. Pada pasien dengan inflamasi kelenjar limfa yang
signifikan, tortikolis dan keterbatasan mobilitas mungkin dialami.

Gambar 12. Abses peritonsil dengan deviasi uvula.15


Pemeriksaan radiologi
Foto x-ray jaringan lunak polos : Foto jaringan lunak leher lateral menampakkan
nasofaring dan orofaring dapat membantu dokter untuk menyingkirkan abses retrofaring.
Pada foto anteroposterior, foto menunjukkan distorsi jaringan lunak tetapi tidak berguna
untuk menentukan lokasi abses.
Aspirasi jarum
Aspirasi jarum dapat dilakukan sebelum drainase. Ini membantu identifikasi lokasi abses
di ruang peritonsil. Lokasi aspirasi dianestesi dengan lidocaine dengan epinefrin, dan jarum
ukuran 16-18 G dipasang di spuit 10cc. Infiltrasi adalah metode pilihan untuk anestesi lokal
untuk aspirasi dan insisi abses peritonsil.

Jarum ditusukkan di mukosa yang telah teranestesi dimana aspirasi akan dilakukan.

Aspirasi material purulen merupakan diagnostik, dan dapat dikirim untuk kultur.

11

Gambar 13. Aspirasi jarum pada abses peritonsil.15


Diagnosis
Indikasi untuk mempertimbangkan kemungkinan abses peritonsil meliputi sebagai
berikut: Pembengkakan unilateral area peritonsil, Pembengkakan unilateral palatum mole,
dengan disposisi anterior tonsil ipsilateral serta Tonsilitis yang non resolusi, dengan
pembesaran tonsil unilateral persisten.13 Pada dewasa, tanda klinis yang berhubungan dengan
abses peritonsil antara lain trismus, deviasi uvula, disposisi inferior kutub superior dari tonsil
yang terkena.16 Pada kasus abses peritonsil, saat insisi dan drainase dilakukan, gejala pasien
akan membaik. Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik, karena dapat
menentukan lokasi akurat ruang abses. Cairan aspirasi dapat dikultur, dan pada beberapa
kasus, insisi dan drainase mungkin tidak perlu. Jika pasien terus menerus melaporkan nyeri
tenggorok berulang dan/atau kronik setelah insisi dan drainase, ini dapat menjadi indikasi
tonsilektomi.
Terapi 5,13
Medikamentosa

Pasien dengan dehidrasi membutuhkan cairan intravena sampai inflamasi hilang dan pasien
bisa melanjutkan intake cairan oral adekuat.

Antipiretik dan analgetik digunakan untuk meredakan demam dan rasa tidak nyaman.

Terapi antibiotik sebaiknya dimulai setelah kultur diperoleh dari abses. Penggunaan penisilin
intravena dosis tinggi tetap sebagai pilihan baik untuk terapi empiris untuk abses peritonsil.

Sebagai pilihan alternatif, karena biasanya pus mikrobial, obat yang mengobati kopatogen
dan tahan terhadapp beta laktamase juga dianjurkan sebagai pilihan pertama.

12

Cephalexin atau sefalosporin lain (dengan atau tanpa metronidazol) tampaknya merupakan
pilihan awal. Pilihan alternatif antara lain (1) cefuroxime or cefpodoxime (dengan atau tanpa
metronidazol), (2) klindamisin, (3) trovafloxacin, atau (4) amoksisilin/klavulanat (jika
mononucleosis sudah disingkirkan). Pasien dapat diberi resep antibiotik oral jika intake oral
sudah terpenuhi; lama pengobatan sebaiknya sekitar 7-10 hari.

Penggunaan steroid kontroversial. Pada studi oleh Ozbek, penambahan dosis tunggal
dexametason ke dalam antibiotik parenteral telah ditemukan secara signifikan mengurangi
waktu rawat inap, nyeri tenggorok, demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok
pasien yang hanya diobati dengan antibiotik parenteral.17 Dan juga, penggunaan steroid pada
pasien dengan gejala dan tanda mononukleosis selama studi belum menuju pembentukan
abses peritonsil.

Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.
Bedah
Penanganan pasien yang diduga abses peritonsil sebaiknya meliputi rujukan ke
spesialis THT atau bedah dengan pengalaman terhadap penanganan penyakit ini. Rujukan
segera sebaiknya dipertimbangkan jika diagnosis belum jelas dan diindikasikan pada pasien
dengan obstruksi jalan napas. Pada pasien kooperatif, tindakan dapat dilakukan di kursi
pemeriksaan. Lipatan supratonsil dianestesi dengan injeksi anestesi lokal dengan epinefrin
untuk mengurangi perdarahan. Tempat aspirasi atau insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan
geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Pada pasien sangat muda atau inkooperatif atau
saat abses terletak di tempat tidak biasa, sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.

13

Gambar 14. Insisi dan drainase pada abses peritonsil.15


Tonsilektomi
Pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama-sama tindakan
drainase abses disebut tonsilektomi achaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah
drainase abses, disebut tonsilektomi atiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu setelah
drainase abses, disebut tonsilektomi afroid.
Komplikasi
Sejumlah komplikasi klinis dapat terjadi jika diagnosis abses peritonsil terlewat atau
terlambat. Keparahan komplikasi tergantung progresifitas penyakit dan juga karakteristik
ruang-ruang yang terkena. Penanganan dan pencegahan segera penting.5,13
1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
2. Penjalaran infeksi atau abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Pada
penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak.
4. Penjalaran dapat berlanjut ke ruang submandibular dan sublingual di dasar mulut (Angina
Ludovici).
5. Perdarahan merupakan komplikasi potensial jika arteri karotid eksterna atau cabangnya
terluka. Perdarahan dapat terjadi intraoperatif atau periode awal pascaoperasi.18
Kebanyakan pasien yang diobati dengan antibiotik dan drainase adekuat sembuh dalam
beberapa hari. Sebagian kecil pasien mengalami abses kembali, membutuhkan tonsilektomi.
Jika pasien berlanjut melaporkan nyeri tenggorok berulang dan/atau kronis setelah insisi dan
drainase tepat, tonsilektomi diindikasikan. 15
2.3.2. ABSES RETROFARING
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam ( deep
neck infection ). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal dari proses
infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang menyebar ke kelenjar limfe
retrofaring.
14

Penyakit ini ditemukan biasanya pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini
terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing
2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus
paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun
kelenjar limfa akan mengalami atrofi. Abses retrofaringeal, dulu secara eksklusif merupakan
penyakit anak, sekarang meningkat frekuensinya pada orang dewasa. Abses retrofaringeal
menunjukan tantangan diagnostik pada dokter gawat darurat karena kejadiannya yang tidak
frekuen dan presentasi yang bervariasi. Pengenalan segera dan penanganan agresif terhadap
abses retrofaringeal penting karena penyakit ini masih memiliki mortalitas dan morbiditas
yang signifikan.
Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1) infeksi
saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2) trauma dinding belakang
faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi,
intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3) tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses
dingin). Pasien dengan penyakit immunocompromised atau penyakit kronis seperti diabetes,
kanker, alkoholisme, dan AIDS memiliki resiko yang meningkat terhadap abses
retrofaringeal.5,19
Gejala dan tanda 5,19
Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil,
rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau minum. Juga
terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan, terutama
di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor.
Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan
suara. Pada bayi, nyeri tenggorok dan/atau pembengkakan leher dapat menyebabkan asupan
gizi yang kurang disertai letargi. Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya
unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis. Kelenjar getah bening leher juga dapat
membengkak. Pada anak dapat ditemukan gejala dan tanda tonsilitis, faringitis, dan juga otitis
media.

15

Diagnosis 5
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas
atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen jaringan lunak
leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm
pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari
22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra
servikal.
Terapi 5
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai
terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob,
diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi
langsung dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak
terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien
dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.

Gambar 15.(A)Insisi pada abses retrofaring dengan posisi Trendelenburg.(B) Insisi


pada abses peritonsil.19
Komplikasi 5,19
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah sebagai berikut: penjalaran ke ruang parafaring &
ruang vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan napas sampai asfiksia, bila pecah
spontan, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru serta dislokasi
atlantooksipital.selain itu, komplikasi lain berupa abses epidural, sepsis, erosi vertebra
servikal 2 dan 3, defisit nervus kranialis (nervus IX-XII ada di dalam faisa servikalis) ,

16

trombosis septik sekunder dari erosi ke dalam arteri karotid, kompresi arteri karotid dan vena
jugularis interna serta palsi nervus fasialis.
Prognosis umumnya baik jika abses retrofaringeal diidentifikasi segera, ditangani secara
agresif, dan komplikasi tidak terjadi. Tingkat kematian bisa setinggi 40-50% jika pasien
mengalami komplikasi serius.
2.3.4

ABSES PARAFARING
Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang

parafaring. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat tusukan saat
tonsilektomi, limfogen dan hematogen.
Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia.
Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus
lapisan otot tipis (m.konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dan fosa
tonsilaris.
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus
paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya
abses ruang parafaring.
Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.
Patofisiologi
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan sekitar dan membentuk
abses sublingual, submental, submandibula, mastikator atau parafaring. Dari gigi anterior
sampai M1 bawah biasanya yang mula-mula terlibat adalah ruang sublingual dan submental.
Bila infeksi dari M2 dan M3 bawah, ruang yang terlibat dulu adalah submandibula. Hal ini
disebakan posisi akar gigi M2 dan M3 berada di bawah garis perlekatan m. milohiod pada
mandibula sedang gigi anterior dan M1 berada diatas garis perlekatan tersebut.

17

Gambar 16. Jalur infeksi dari gigi. Gambar 17. Jalur perluasan potensial abses leher dalam.

Gejala dan tanda5


Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus submandibula, demam tinggi dan pembengkakan diniding lateral faring, sehingga
menonjol ke arah medial.
Pemeriksaan Radiologi
Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur diagnostik
yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat
diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak
dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher. Keterbatasan pemeriksaan foto polos leher
adalah tidak dapat membedakan antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto
toraks dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks,
pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer
dapat membantu menggambarkan lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya
daerah densitas rendah, peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan edema
jaringan lunak disekitar abses.
Terapi 5
Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob
dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan

18

antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi
dari luar dan inttra oral.
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas
belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis,
insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).

Gambar 18. Insisi Mosher.


Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri
eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang
parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap
insisi eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.
Komplikasi5
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau langsung (per
kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan
intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Abses juga dapat
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami
nekrosis, dapat terjadi ruptur sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau
endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis atau septikemia.

19

2.3.5. ABSES SUBMANDIBULA


Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah submandibula.20 Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam
(deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari
proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga
kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.5
Akhir-akhir ini abses leher bagian dalam termasuk abses submandibula sudah semakin
jarang dijumpai.20 Hal ini disebabkan penggunaan antibiotik yang luas dan kesehatan mulut
yang meningkat. Walaupun demikian, angka morbiditas dari komplikasi yang timbul akibat
abses submandibula masih cukup tinggi sehingga diagnosis dan penanganan yang cepat dan
tepat sangat dibutuhkan.
Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau kelenjar limfa
submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. 5 Infeksi
pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari mandibula, jika apeksnya
ditemukan di bawah perlekatan dari musculus mylohyoid. Infeksi dari gigi dapat menyebar ke
ruang submandibula melalui beberapa jalan yaitu secara langsung melalui pinggir
myolohioid, posterior dari ruang sublingual, periostitis dan melalui ruang mastikor.20
Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik
kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan
adalah Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus Pneumonia,
Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering ditemukan
pada abses leher dalam adalah kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella,
maupun Fusobacterium.20
Gejala dan tanda 5
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau
di bawah lidah. Pasien juga biasanya akan mengeluhkan air liur yang banyak, trismus akibat
keterlibatan muskulus pterigoideus, disfagia dan sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh
lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
adanya pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi
20

didapatkan material yang bernanah atau purulent (merupakan tanda khas). Angulus mandibula
dapat diraba. Lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.
CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan gold standard pada abses leher
dalam. Berdasarkan suatu penelitianbahwa hanya dengan pemeriksaan klinis tanpa CT-scan
mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien.
Gambaran abses yang tampak adalah lesi dengan hipodens (intensitas rendah), batas yang
lebih jelas, dan kadang ada air fluid level.20
Terapi
Antibiotik (parenteral)
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji
kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya
diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik kombinasi (mencakup
terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gram negatif) adalah pilihan terbaik
mengingat kuman penyebabnya adalah campuran dari berbagai kuman. Secara empiris
kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas
kultur pus telah didapat pemberian antibiotik dapat disesuaikan. 20 Berdasarkan uji kepekaaan,
kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi terhadap terhadap ceforazone sulbactam,
moxyfloxacine, ceforazone, ceftriaxone, yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin
angka sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif. Antibiotik
biasanya dilakukan selama lebih
kurang 10 hari.20
Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi abses
dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau
eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang
paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat inap
sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.21

21

Gambar 21. (a)Insisi pada abses submandibula atau parotid. (b). Insisi pada abses
submasseter. Pada saat insisi kutaneus, perjalanan arteri dan vena fasialis (a) harus
diperhatikan, begitu juga dengan nervus fasialis (b).21
Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan trakeostomi perlu
dipertimbangkan.21
Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering meluas ke
ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis. Perluasan ini dapat secara
langsung atau melalui ruang mastikor melewati muskulus pterigoideus medial kemudian ke
parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.20
Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri
selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis. Abses juga dapat
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami
nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis atau
endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.21
Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat didiagnosis secara
dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase awal dimana abses
masih kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat
menghasilkan penyembuhan yang sempurna.Apabila telah terjadi mediastinitis, angka
mortalitas mencapai 40-50% walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri karotis
mempunyai angka mortalitas 20-40% sedangkan trombosis vena jugularis mempunyai angka
mortalitas 60%.21

22

2.3.6. ANGINA LUDOVICI (LUDWIGS ANGINA)


Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis (peradangan
jaringan ikat) dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak
membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula. Penyakit ini termasuk dalam
grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari rongga mulut seperti
gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang membedakan angina
Ludovici dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua
ruang submandibularis (sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).
Etiologi 5,22
Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan
anaerob. Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh odontogen baik
melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral hygiene yang kurang. Selain itu,
95% kasus angina Ludwig melibatkan ruang submandibular bilateral dan gangguan jalan
nafas merupakan komplikasi paling berbahaya yang seringkali merenggut nyawa. Rute
infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar ketiga rahang bawah atau dari
perikoronitis, yang merupakan infeksi dari gusi sekitar gigi molar ketiga yang erupsi
sebagian. Hal ini mengakibatkan pentingnya mendapatkan konsultasi gigi untuk molar bawah
ketiga pada tanda pertama sakit, perdarahan dari gusi, kepekaan terhadap panas/dingin atau
adanya bengkak di sudut rahang. Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga
menjadi penyebab odontogenik dari angina Ludwig. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang
terletak pada tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses akan menyebar ke
ruang submandibular. Di samping itu, perawatan gigi terakhir juga dapat menyebabkan
angina Ludwig, antara lain: penyebaran organisme dari gangren pulpa ke jaringan periapikal
saat dilakukan terapi endodontik, serta inokulasi Streptococcus yang berasal dari mulut dan
tenggorokan ke lidah dan jaringan submandibular oleh manipulasi instrumen saat perawatan
gigi.
Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain sialadenitis kelenjar
submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat keganasan mulut, abses
peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher,
trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah,
infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut.
23

Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig melalui
isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri anaerob yang
diisolasi seringkali berupa bacteroides, peptostreptococci, dan peptococci.
Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium nucleatum, Aerobacter
aeruginosa, spirochetes, Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies Clostridium. Bakteri
Gram negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria, Escherichia coli, spesies
Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies Klebsiella.
Gejala dan tanda 5,23
Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu terasa tegang
dan nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan mengalami kesulitan membuka
mulut, berbicara, dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus serta
kesulitan bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami kesulitan makan dan minum. Gejala
klinis umum angina Ludovici meliputi malaise, lemah, lesu, malnutrisi, dan dalam kasus yang
parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan bernapas. Gejala klinis ekstra oral meliputi
eritema, pembengkakan, perabaan yang keras seperti papan (board-like) serta peninggian
suhu pada leher dan jaringan ruang submandibula-sublingual yang terinfeksi; disfonia (hot
potato voice) akibat edema pada organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakan,
nyeri dan peninggian lidah; nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan
dalam artikulasi bicara (disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan
karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar bawah dapat
dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular yang
dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan menunjukkan
adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien tidak mampu menelan
air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan sianosis menunjukkan adanya
hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat penanganan segera. Pada pasien juga
mungkin akan ditemukan tanda-tanda dehidrasi karena kurangnya asupan makanan dan
minuman.
Walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan dalam mendiagnosis atau
menilai dalamnya abses leher, foto polos ini dapat menunjukkan luasnya pembengkakkan
jaringan lunak. Radiografi dada dapat menunjukkan perluasan proses infeksi ke mediastinum
dan paru-paru. Foto panoramik rahang dapat membantu menentukan letak fokal infeksi atau
abses, serta struktur tulang rahang yang terinfeksi. CT-scan merupakan metode pencitraan
24

terpilih karena dapat memberikan evaluasi radiologik terbaik pada abses leher dalam. CTscan dapat mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta derajat obstruksi jalan
napas sehingga dapat sangat membantu dalam memutuskan kapan dibutuhkannya pernapasan
buatan.
Terapi
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu: Pertama dan
paling utama, menjaga patensi jalan napas.

kedua, terapi antibiotik secara progesif,

dibutuhkan untuk mengobati dan membatasi penyebaran infeksi. ketiga, dekompresi ruang
submandibular, sublingual, dan submental.23
Trakeostomi awalnya dilakukan pada kebanyakan pasien, namun dengan adanya
teknik intubasi serta penempatan fiber-optic Endotracheal Tube yang lebih baik, maka
kebutuhan akan trakeostomi berkurang. Intubasi dilakukan melalui hidung dengan
menggunakan teleskop yang fleksibel saat pasien masih sadar dan dalam posisi tegak. Jika
tidak memungkinkan, dapat dilakukan krikotiroidotomi atau trakheotomi dengan anestesi
lokal.23
Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, di samping terapi antibiotik dan operasi
dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam kondisi yang lebih terkontrol,
menghindari kebutuhan akan trakheotomi/krikotiroidotomi, serta mengurangi waktu
pemulihan di rumah sakit. Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti dengan pemberian dosis 4
mg tiap 6 jam selama 48 jam.23
Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera diberikan. Awalnya
pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV terbagi setiap 4 jam) merupakan lini
pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan meningkatnya prevalensi produksi betalaktamase terutama pada Bacteroides sp, penambahan metronidazole, clindamycin, cefoxitin,
piperacilin-tazobactam, amoxicillin-clavulanate harus dipertimbangkan. Kultur darah dapat
membantu mengoptimalkan regimen terapi.23
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi
ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang terdapat pus
atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam tumpul. Jika
terbentuk nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis tengah secara
horisontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi dilakukan di bawah dan
25

paralel dengan corpus mandibula melalui fascia dalam sampai kedalaman kelenjar
submaksila. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas os hyoid sampai batas bawah dagu.
Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi dari penyakit ini, maka gigi tersebut harus
diekstraksi untuk mencegah kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.23

Gambar 22. Insisi pada angina Ludovici.31


Komplikasi 5,23
Angina Ludwig merupakan selulitis bilateral dari ruang submandibular yang terdiri
dari dua ruang yaitu ruang sublingual dan ruang submaksilar. Secara klinis, kedua ruang ini
berfungsi sebagai satu kesatuan karena adanya hubungan bebas serta kesamaan dalam tanda
dan gejala klinis. Celah buccopharingeal, yang dibentuk oleh m. styloglossus melalui m.
constrictor media dan superior, merupakan penghubung antara ruang submandibular dengan
ruang pharingeal lateral. Infeksi angina Ludwig dapat menyebar secara langsung melalui
celah buccopharingeal ini ke ruang pharingeal lateral, di mana selulitis akan dengan cepat
menjadi berbahaya serta menimbulkan obstruksi jalan napas yang berat.
Akibat barrier anatomik yang tidak dibatasi, infeksi dapat menyebar secara mudah ke
jaringan leher, ruang fascia retropharingeal, bahkan hingga mediastinum dan ruang
subphrenik. Selain gejala obstruksi jalan napas yang dapat terjadi tiba-tiba, komplikasi dari
angina Ludwig dapat berupa trombosis sinus kavernosus, aspirasi dari sekret yang terinfeksi,
dan pembentukan abses subphrenik. Komplikasi lebih lanjut yang telah dilaporkan meliputi
sepsis, mediastinitis, efusi perikardial/pleura, empiema, infeksi dari carotid sheath yang
mengakibatkan ruptur a. carotis, dan thrombophlebitis supuratif dari v. jugularis interna.
Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas untuk
mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan radang. Sekitar
45% 65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada area yang terinfeksi, disertai
dengan pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil pengobatan yang lengkap. Selain itu,
35% dari individu yang terinfeksi memerlukan intubasi dan trakeostomi.22
26

Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Kematian pada era
preantibiotik adalah sekitar 50%. Namun dengan diagnosis dini, perlindungan jalan nafas
yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat serta penanganan dalam
ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi. Begitu pula angka
mortalitas dapat menurun hingga kurang dari 5%.23

BAB III
KESIMPULAN

Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat
komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf
kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Lokasinya terletak di
dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat serius. Oleh karena itu, penatalaksanaan
abses leher dalam meliputi operasi untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman
penyebab dan pemberian antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi yang mengancam
jiwa dan mempercepat perbaikan.
27

DAFTAR PUSTAKA
1

Andrina YMR. Abses retrofaring. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga
Hidung

Tenggorokan

Universitas

Sumatera

Utara.

2003.

Diunduh

dari:

repository.usu.ac.id pada tanggal 21 Agustus 2016.


2

Baba Y, Kato Y, Saito H, Ogawa K. Management of deep neck infection by a transnasal


approach: a case report. Journal of Medical Case Report. 3: 7317, 2009. Diunduh dari:
www.jmedicalcasereports.com pada tanggal 21 Agustus 2016.

Berger TJ, Shahidi H. Retropharyngeal Abscess. Emedicine Journal. 2001, Volume 2,


Number 8. Diunduh dari: author.emedicine.com/PED/topic2682.html pada tanggal 21
Agustus 2016.

28

Pulungan,

M.

Rusli.

Pola

Kuman

Abses

Leher

Dalam.

Diunduh

dari

http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHER-DALAM-Revisi
pada tanggal 21 Agustus 2016.
5

Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku ajar
ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
2011:p. 185-8

Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [Diperbaharui Juli 2009]
Diunduh dari: www.eMedicine Specialties//Otolaringology and facial plastic
surgery.com pada tanggal 22 Agustus 2016

Scott BA, Stiernberg CM. Deep neck space infections. Dalam : Bailey BJ, Ed. Head and
neck surgery otolaryngology, Vol 3. Philadelphia: JB Lippincott Company , 2003 .
h.738-49.

Snell RS. Fascia Cervicalis Profunda. Dalam: Snell RS. Anatomi Klinik Untuk
Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006. Hal. 849-51.

Axial

Section

of

Oropharynx.

Diakses:

24

Agustus

2016.

Terdapat

pada:

http://atlas.likar.info/Okologlotochnaya_kletchatka/.
10 Acevedo JL, Isaacson GC. Pediatric Retropharyngeal Abscess. Terakhir diperbaharui: Juli
2016.

Diakses:

24 Agustus

2016. Terdapat

pada:

http://emedicine.medscape.com /article/995851-overview.
11 A Hartmann

RW.

Ludwigs

Angina

in

Children.

Am

Fam

Physician. 1999 Jul 1;60(1):109-112. Diakses: 24 Agustus 2016. Terdapat pada:


http://www.aafp.org/afp/1999/0701/ p109.html.
12 Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [Diperbaharui Juli 2009]
Diunduh dari: www.eMedicine Specialties//Otolaringology and facial plastic surgery.com pada
tanggal 24 Agustus 2016.
13 Gosselin BJ, Geibel J. Peritonsillar Abscess. Terakhir diperbaharui: 4 Februari 2010.
Diakses:

24

Agustus

2016.

Terdapat

pada:

http://emedicine.medscape.com/

article/194863-overview#showall.
14 Repanos C, Mukherjee P, Alwahab Y. Role of microbiological studies in management of
peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Aug 2009;123(8):877-9.
15 Peritonsillar Abscess. Dalam: Access Emergency Medicine from McGraw-Hill. Diakses:
24

Agustus

2016.

Terdapat

pada:

http://www.accessemergencymedicine

29

.com/overflow.aspx?searchStr=peritonsillar+abscess&hasExactMatch=True&hasDrug
Match=False&searchSource=Images&ftbool=False.
16 Kilty SJ, Gaboury I. Clinical predictors of peritonsillar abscess in adults. J Otolaryngol
Head Neck Surg. Apr 2008;37(2):165-8.
17 Ozbek C, Aygenc E, Tuna EU, Selcuk A, Ozdem C. Use of steroids in the treatment of
peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Jun 2004;118(6):439-42.
18 Heidemann CH, Wallen M, Aakesson M, et al. Post-tonsillectomy hemorrhage:
assessment of risk factors with special attention to introduction of coblation technique.
Eur Arch Otorhinolaryngol. Jul 2009;266(7):1011-5.
19 Kahn JH, OConnor RE. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine. Terakhir
diperbaharui:

17

Juni

2010.

Diakses

24

Agustus

2016.

Terdapat

pada:

http://emedicine.medscape.com/ article/764421-overview#showall.
20 Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal infection.
International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33.
21 Gmez CM, Iglesia V, Palleiro O, Lpez CB. Phlegmon in the submandibular region
secondary to odontogenic infection. Emergencias 2007;19:52-53.
22 Topazian R. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. St. Louis: W.B. Saunders; 2002.
23 MD Guidelines. Ludwigs Angina. Diakses: 24 Agustus 2016. Terdapat pada:
http://www.mdguidelines.com/ludwigs-angina.

30

Vous aimerez peut-être aussi