Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat
dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal,
telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Penyebab paling sering dari
abses leher dalam adalah infeksi gigi (43%) dan penyalahgunaan narkoba suntikan (12%).1
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat komplikasikomplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf kranial,
mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Lokasinya terletak di dasar
mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat serius. Etiologi infeksi di daerah leher dapat
bermacam-macam. Kuman penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran
kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob. Asmar dikutip Murray dkk, mendapatkan
kultur dari abses retrofaring 90 % mengandung kuman aerob, dan 50% pasien ditemukan
kuman anaerob.1,2,3
Infeksi kepala dan leher yang mengancam jiwa ini sudah jarang terjadi sejak
diperkenalkannya antibiotik dan angka kematiannya menjadi lebih rendah. Disamping itu
higiene mulut yang meningkat juga berperan dalam hal ini. Sebelum era antibiotik, 70 %
infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi di faring dan tonsil ke parafaring.4
Disamping drainase abses yang optimal, pemberian antibiotik diperlukan untuk terapi
yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik yang efektif terhadap pasien, diperlukan
pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotik terhadap kuman. Namun ini
memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan pemberian antibiotik secara
empiris. Berbagai kepustakaan melaporkan pemberian terapi antibiotik spektrum luas secara
kombinasi. Kombinasi yang diberikan pun bervariasi.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak sampai
daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah dan melekat pada
klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.trapezius, m. masseter, kelenjar
parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer , lapisan
pembungkus dan lapisan anterior.
2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi muskular
terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan membungkus m.
sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Dibagian superior melekat pada os
hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula dan skapula.
Divisi viscera membungkus organ organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid, trakea dan
esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian posterior sampai ke
esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan
ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan
perikardium. Fasia bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada bagian
posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m. buccinator.
3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi alar
terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi prevertebra, yang berjalan
dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi viscera lapisan
media fasia servikalis profunda. Divisi alar melengkapi bagian posterolateral ruang
retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space.
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral meluas
ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan dari dasar
tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari danger space dan
dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk
selubung karotis ( carotid sheath ) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang
faringomaksilaris sampai ke toraks.
Ruang faringeal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti
penting, yaitu ruang retrofaring, dan ruang parafaring. 4,5
1. Ruang retrofaring (retropharyngeal space)
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari
mukosa faring, fasia faringobasilaris, dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan
ikat jarang dan fasia prevertebralis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah
mengikatnya pada vertebra.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi oleh :
-
posterior : divisi
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid
dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (prestiloid) adalah bagian yang
lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang,
beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis
interna, v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut
selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh
suatu lapisan fasia yang tipis.
danger space : dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi prevertebra pada
bagian posterior ( tepat di belakang ruang retrofaring ).
prevertebral space : dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior dan korpus vertebra
pada bagian posterior ( tepat di belakang danger space ). Ruang ini berjalan sepanjang
kollumna vertebralis dan merupakan jalur penyebaran infeksi leher dalam ke daerah
koksigeus.
Gambar 9. Potongan sagital faring menunjukkan ruang retrofaring, danger space, dan
prevertebral space.10
Ruang submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Ruang submaksila
selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot
digastrikus anterior. Ruang mandibular dibatasi pada bagian lateral oleh garis inferior dari
badan mandibula, medial oleh perut anterior musculus digastricus, posterior oleh ligament
stylohyoid dan perut posterior dari musculus digastricus, superior oleh musculus mylohyoid
dan hyoglossus, dan inferior oleh lapisan superficial dari deep servikal fascia. Ruang ini
mengandung glandula saliva sub mandibular dan sub mandibular lymphanodes.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam ruang
submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila
saja.
Gambar 10. Ruang sublingual dan ruang submandibula yang dibagi oleh m.mylohyoideus.11
2.2. DEFINISI
Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di
sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau
karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini
merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi
ke bagian lain dari tubuh. Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam
ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber
infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.5
2.3. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS 12
Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam tubuh.
Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara perluasan
langsung maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang
ada di bagian tubuh tertentu, maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar
lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik
kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.
Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak dibanding dengan
kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai 10:1 sampai 10000:1. Bakteriologi
dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman yang paling dominan adalah kuman
anaerob yaitu, Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp.
Bakteri aerob dan fakultatif adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus.
Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil dan
gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas
melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi molar I yang berada di atas
mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual,
sedangkan molar II dan III apeknya berada di bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih
cepat ke daerah submaksila.
Parhischar dkk mendapatkan, dari 210 abses leher dalam, 175 (83,3%) dapat
diidentifikasi penyebabnya (tabel 1). Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%. Tujuh puluh
enam persen Ludwigs angina disebabkan infeksi gigi, abses submandibula 61% disebabkan
oleh infeksi gigi.
Yang dkk melaporkan dari 100 orang abses leher dalam, 77 (77%) pasien dapat
diidentifikasi sumber infeksi sebagai penyebab. Penyebab terbanyak berasal dari infeksi
orofaring 35%, odontogenik 23%. Penyebab lain adalah infeksi kulit, sialolitiasis, trauma,
tuberkulosis, dan kista yang terinfeksi.
Pneumococcus, dan Haemophilus. Terakhir, organisme lain yang bisa dikultur adalah
Lactobacillus, bentuk-bentuk filamentosa seperti Actinomyces sp., Micrococcus, Neisseria
sp., diphteroid, Bacteroides sp., dan bakteri tidak bersporulasi. Beberapa bukti menunjukkan
bakteri anaerob sering menyebabkan infeksi ini. 14
Gejala dan tanda5,13
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), mungkin terdapat
muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara
gumam (hot potato voice) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta
pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Pasien biasanya memiliki riwayat
faringitis akut ditemani dengan tonsilitis dan rasa faring tidak nyaman unilateral dan makin
memburuk. Pasien mungkin mengalami malaise, kelelahan, dan sakit kepala. Pasien sering
mengalami demam dan rasa tenggorokan penuh yang tidak simetris. Karena limfadenopati
dan inflamasi otot servikal, pasien sering mengalami nyeri leher dan bahkan keterbatasan
gerak leher. Dokter harus memikirkan diagnosis abses peritonsil pada pasien dengan gejala
faring persisten meskipun sudah diberikan rejimen antibiotik yang adekuat. Seiring derajat
inflamasi dan infeksi berlanjut, gejala berlanjut ke dasar mulut, ruang parafaring, dan ruang
prevertebral. Kelanjutan di dasar mulut mengkhawatirkan karena obstruksi jalan napas;
dokter harus sadar dengan gawat darurat yang mungkin terjadi.
Pada pemeriksaan fisik mungkin hasil bervariasi dari tonsilitis akut dengan faring
asimetris unilateral sampai dehidrasi dan sepsis, Kebanyakan pasien memiliki nyeri berat.
Pemeriksaan rongga mulut menunjukkan tanda-tanda eritem, palatum mole asimetris,
eksudasi tonsil, dan uvula disposisi kontralateral. Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh
faring, karena trismus. Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat
teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak,
hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah depan dan bawah. Abses
peritonsil biasanya unilateral dan terletak di kutub superior tonsil yang terkena, pada fosa
supratonsil. Pada tingkat lipatan supratonsil, mukosa dapat tampak pucat dan mungkin
menunjukkan bintil-bintil kecil. Palpasi pada palatum mole sering menunjukkan fluktuasi.
Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel dianjurkan untuk pasien dengan airway distress.
10
Laringoskopi adalah kunci untuk menyingkirkan epiglotitis dan supraglotitis, juga kelainan
pita suara.
Derajat trismus tergantung dari inflamasi ruang faring lateral. Penemuan
limfadenopati servikal ipsilateral melibatkan satu atau lebih kelenjar tidak tak biasa. Kelenjar
limfa yang terkena mungkin agak padat. Pada pasien dengan inflamasi kelenjar limfa yang
signifikan, tortikolis dan keterbatasan mobilitas mungkin dialami.
Jarum ditusukkan di mukosa yang telah teranestesi dimana aspirasi akan dilakukan.
Aspirasi material purulen merupakan diagnostik, dan dapat dikirim untuk kultur.
11
Pasien dengan dehidrasi membutuhkan cairan intravena sampai inflamasi hilang dan pasien
bisa melanjutkan intake cairan oral adekuat.
Antipiretik dan analgetik digunakan untuk meredakan demam dan rasa tidak nyaman.
Terapi antibiotik sebaiknya dimulai setelah kultur diperoleh dari abses. Penggunaan penisilin
intravena dosis tinggi tetap sebagai pilihan baik untuk terapi empiris untuk abses peritonsil.
Sebagai pilihan alternatif, karena biasanya pus mikrobial, obat yang mengobati kopatogen
dan tahan terhadapp beta laktamase juga dianjurkan sebagai pilihan pertama.
12
Cephalexin atau sefalosporin lain (dengan atau tanpa metronidazol) tampaknya merupakan
pilihan awal. Pilihan alternatif antara lain (1) cefuroxime or cefpodoxime (dengan atau tanpa
metronidazol), (2) klindamisin, (3) trovafloxacin, atau (4) amoksisilin/klavulanat (jika
mononucleosis sudah disingkirkan). Pasien dapat diberi resep antibiotik oral jika intake oral
sudah terpenuhi; lama pengobatan sebaiknya sekitar 7-10 hari.
Penggunaan steroid kontroversial. Pada studi oleh Ozbek, penambahan dosis tunggal
dexametason ke dalam antibiotik parenteral telah ditemukan secara signifikan mengurangi
waktu rawat inap, nyeri tenggorok, demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok
pasien yang hanya diobati dengan antibiotik parenteral.17 Dan juga, penggunaan steroid pada
pasien dengan gejala dan tanda mononukleosis selama studi belum menuju pembentukan
abses peritonsil.
Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.
Bedah
Penanganan pasien yang diduga abses peritonsil sebaiknya meliputi rujukan ke
spesialis THT atau bedah dengan pengalaman terhadap penanganan penyakit ini. Rujukan
segera sebaiknya dipertimbangkan jika diagnosis belum jelas dan diindikasikan pada pasien
dengan obstruksi jalan napas. Pada pasien kooperatif, tindakan dapat dilakukan di kursi
pemeriksaan. Lipatan supratonsil dianestesi dengan injeksi anestesi lokal dengan epinefrin
untuk mengurangi perdarahan. Tempat aspirasi atau insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan
geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Pada pasien sangat muda atau inkooperatif atau
saat abses terletak di tempat tidak biasa, sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
13
Penyakit ini ditemukan biasanya pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini
terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing
2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus
paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun
kelenjar limfa akan mengalami atrofi. Abses retrofaringeal, dulu secara eksklusif merupakan
penyakit anak, sekarang meningkat frekuensinya pada orang dewasa. Abses retrofaringeal
menunjukan tantangan diagnostik pada dokter gawat darurat karena kejadiannya yang tidak
frekuen dan presentasi yang bervariasi. Pengenalan segera dan penanganan agresif terhadap
abses retrofaringeal penting karena penyakit ini masih memiliki mortalitas dan morbiditas
yang signifikan.
Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1) infeksi
saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2) trauma dinding belakang
faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi,
intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3) tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses
dingin). Pasien dengan penyakit immunocompromised atau penyakit kronis seperti diabetes,
kanker, alkoholisme, dan AIDS memiliki resiko yang meningkat terhadap abses
retrofaringeal.5,19
Gejala dan tanda 5,19
Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil,
rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau minum. Juga
terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan, terutama
di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor.
Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan
suara. Pada bayi, nyeri tenggorok dan/atau pembengkakan leher dapat menyebabkan asupan
gizi yang kurang disertai letargi. Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya
unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis. Kelenjar getah bening leher juga dapat
membengkak. Pada anak dapat ditemukan gejala dan tanda tonsilitis, faringitis, dan juga otitis
media.
15
Diagnosis 5
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas
atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen jaringan lunak
leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm
pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari
22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra
servikal.
Terapi 5
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai
terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob,
diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi
langsung dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak
terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien
dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.
16
trombosis septik sekunder dari erosi ke dalam arteri karotid, kompresi arteri karotid dan vena
jugularis interna serta palsi nervus fasialis.
Prognosis umumnya baik jika abses retrofaringeal diidentifikasi segera, ditangani secara
agresif, dan komplikasi tidak terjadi. Tingkat kematian bisa setinggi 40-50% jika pasien
mengalami komplikasi serius.
2.3.4
ABSES PARAFARING
Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang
parafaring. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat tusukan saat
tonsilektomi, limfogen dan hematogen.
Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia.
Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus
lapisan otot tipis (m.konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dan fosa
tonsilaris.
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus
paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya
abses ruang parafaring.
Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.
Patofisiologi
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan sekitar dan membentuk
abses sublingual, submental, submandibula, mastikator atau parafaring. Dari gigi anterior
sampai M1 bawah biasanya yang mula-mula terlibat adalah ruang sublingual dan submental.
Bila infeksi dari M2 dan M3 bawah, ruang yang terlibat dulu adalah submandibula. Hal ini
disebakan posisi akar gigi M2 dan M3 berada di bawah garis perlekatan m. milohiod pada
mandibula sedang gigi anterior dan M1 berada diatas garis perlekatan tersebut.
17
Gambar 16. Jalur infeksi dari gigi. Gambar 17. Jalur perluasan potensial abses leher dalam.
18
antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi
dari luar dan inttra oral.
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas
belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis,
insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).
19
didapatkan material yang bernanah atau purulent (merupakan tanda khas). Angulus mandibula
dapat diraba. Lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.
CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan gold standard pada abses leher
dalam. Berdasarkan suatu penelitianbahwa hanya dengan pemeriksaan klinis tanpa CT-scan
mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien.
Gambaran abses yang tampak adalah lesi dengan hipodens (intensitas rendah), batas yang
lebih jelas, dan kadang ada air fluid level.20
Terapi
Antibiotik (parenteral)
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji
kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya
diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik kombinasi (mencakup
terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gram negatif) adalah pilihan terbaik
mengingat kuman penyebabnya adalah campuran dari berbagai kuman. Secara empiris
kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas
kultur pus telah didapat pemberian antibiotik dapat disesuaikan. 20 Berdasarkan uji kepekaaan,
kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi terhadap terhadap ceforazone sulbactam,
moxyfloxacine, ceforazone, ceftriaxone, yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin
angka sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif. Antibiotik
biasanya dilakukan selama lebih
kurang 10 hari.20
Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi abses
dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau
eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang
paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat inap
sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.21
21
Gambar 21. (a)Insisi pada abses submandibula atau parotid. (b). Insisi pada abses
submasseter. Pada saat insisi kutaneus, perjalanan arteri dan vena fasialis (a) harus
diperhatikan, begitu juga dengan nervus fasialis (b).21
Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan trakeostomi perlu
dipertimbangkan.21
Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering meluas ke
ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis. Perluasan ini dapat secara
langsung atau melalui ruang mastikor melewati muskulus pterigoideus medial kemudian ke
parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.20
Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri
selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis. Abses juga dapat
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami
nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis atau
endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.21
Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat didiagnosis secara
dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase awal dimana abses
masih kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat
menghasilkan penyembuhan yang sempurna.Apabila telah terjadi mediastinitis, angka
mortalitas mencapai 40-50% walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri karotis
mempunyai angka mortalitas 20-40% sedangkan trombosis vena jugularis mempunyai angka
mortalitas 60%.21
22
Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig melalui
isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri anaerob yang
diisolasi seringkali berupa bacteroides, peptostreptococci, dan peptococci.
Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium nucleatum, Aerobacter
aeruginosa, spirochetes, Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies Clostridium. Bakteri
Gram negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria, Escherichia coli, spesies
Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies Klebsiella.
Gejala dan tanda 5,23
Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu terasa tegang
dan nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan mengalami kesulitan membuka
mulut, berbicara, dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus serta
kesulitan bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami kesulitan makan dan minum. Gejala
klinis umum angina Ludovici meliputi malaise, lemah, lesu, malnutrisi, dan dalam kasus yang
parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan bernapas. Gejala klinis ekstra oral meliputi
eritema, pembengkakan, perabaan yang keras seperti papan (board-like) serta peninggian
suhu pada leher dan jaringan ruang submandibula-sublingual yang terinfeksi; disfonia (hot
potato voice) akibat edema pada organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakan,
nyeri dan peninggian lidah; nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan
dalam artikulasi bicara (disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan
karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar bawah dapat
dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular yang
dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan menunjukkan
adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien tidak mampu menelan
air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan sianosis menunjukkan adanya
hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat penanganan segera. Pada pasien juga
mungkin akan ditemukan tanda-tanda dehidrasi karena kurangnya asupan makanan dan
minuman.
Walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan dalam mendiagnosis atau
menilai dalamnya abses leher, foto polos ini dapat menunjukkan luasnya pembengkakkan
jaringan lunak. Radiografi dada dapat menunjukkan perluasan proses infeksi ke mediastinum
dan paru-paru. Foto panoramik rahang dapat membantu menentukan letak fokal infeksi atau
abses, serta struktur tulang rahang yang terinfeksi. CT-scan merupakan metode pencitraan
24
terpilih karena dapat memberikan evaluasi radiologik terbaik pada abses leher dalam. CTscan dapat mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta derajat obstruksi jalan
napas sehingga dapat sangat membantu dalam memutuskan kapan dibutuhkannya pernapasan
buatan.
Terapi
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu: Pertama dan
paling utama, menjaga patensi jalan napas.
dibutuhkan untuk mengobati dan membatasi penyebaran infeksi. ketiga, dekompresi ruang
submandibular, sublingual, dan submental.23
Trakeostomi awalnya dilakukan pada kebanyakan pasien, namun dengan adanya
teknik intubasi serta penempatan fiber-optic Endotracheal Tube yang lebih baik, maka
kebutuhan akan trakeostomi berkurang. Intubasi dilakukan melalui hidung dengan
menggunakan teleskop yang fleksibel saat pasien masih sadar dan dalam posisi tegak. Jika
tidak memungkinkan, dapat dilakukan krikotiroidotomi atau trakheotomi dengan anestesi
lokal.23
Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, di samping terapi antibiotik dan operasi
dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam kondisi yang lebih terkontrol,
menghindari kebutuhan akan trakheotomi/krikotiroidotomi, serta mengurangi waktu
pemulihan di rumah sakit. Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti dengan pemberian dosis 4
mg tiap 6 jam selama 48 jam.23
Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera diberikan. Awalnya
pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV terbagi setiap 4 jam) merupakan lini
pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan meningkatnya prevalensi produksi betalaktamase terutama pada Bacteroides sp, penambahan metronidazole, clindamycin, cefoxitin,
piperacilin-tazobactam, amoxicillin-clavulanate harus dipertimbangkan. Kultur darah dapat
membantu mengoptimalkan regimen terapi.23
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi
ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang terdapat pus
atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam tumpul. Jika
terbentuk nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis tengah secara
horisontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi dilakukan di bawah dan
25
paralel dengan corpus mandibula melalui fascia dalam sampai kedalaman kelenjar
submaksila. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas os hyoid sampai batas bawah dagu.
Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi dari penyakit ini, maka gigi tersebut harus
diekstraksi untuk mencegah kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.23
Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Kematian pada era
preantibiotik adalah sekitar 50%. Namun dengan diagnosis dini, perlindungan jalan nafas
yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat serta penanganan dalam
ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi. Begitu pula angka
mortalitas dapat menurun hingga kurang dari 5%.23
BAB III
KESIMPULAN
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat
komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf
kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Lokasinya terletak di
dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat serius. Oleh karena itu, penatalaksanaan
abses leher dalam meliputi operasi untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman
penyebab dan pemberian antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi yang mengancam
jiwa dan mempercepat perbaikan.
27
DAFTAR PUSTAKA
1
Andrina YMR. Abses retrofaring. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga
Hidung
Tenggorokan
Universitas
Sumatera
Utara.
2003.
Diunduh
dari:
28
Pulungan,
M.
Rusli.
Pola
Kuman
Abses
Leher
Dalam.
Diunduh
dari
http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHER-DALAM-Revisi
pada tanggal 21 Agustus 2016.
5
Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku ajar
ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
2011:p. 185-8
Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [Diperbaharui Juli 2009]
Diunduh dari: www.eMedicine Specialties//Otolaringology and facial plastic
surgery.com pada tanggal 22 Agustus 2016
Scott BA, Stiernberg CM. Deep neck space infections. Dalam : Bailey BJ, Ed. Head and
neck surgery otolaryngology, Vol 3. Philadelphia: JB Lippincott Company , 2003 .
h.738-49.
Snell RS. Fascia Cervicalis Profunda. Dalam: Snell RS. Anatomi Klinik Untuk
Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006. Hal. 849-51.
Axial
Section
of
Oropharynx.
Diakses:
24
Agustus
2016.
Terdapat
pada:
http://atlas.likar.info/Okologlotochnaya_kletchatka/.
10 Acevedo JL, Isaacson GC. Pediatric Retropharyngeal Abscess. Terakhir diperbaharui: Juli
2016.
Diakses:
24 Agustus
2016. Terdapat
pada:
http://emedicine.medscape.com /article/995851-overview.
11 A Hartmann
RW.
Ludwigs
Angina
in
Children.
Am
Fam
24
Agustus
2016.
Terdapat
pada:
http://emedicine.medscape.com/
article/194863-overview#showall.
14 Repanos C, Mukherjee P, Alwahab Y. Role of microbiological studies in management of
peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Aug 2009;123(8):877-9.
15 Peritonsillar Abscess. Dalam: Access Emergency Medicine from McGraw-Hill. Diakses:
24
Agustus
2016.
Terdapat
pada:
http://www.accessemergencymedicine
29
.com/overflow.aspx?searchStr=peritonsillar+abscess&hasExactMatch=True&hasDrug
Match=False&searchSource=Images&ftbool=False.
16 Kilty SJ, Gaboury I. Clinical predictors of peritonsillar abscess in adults. J Otolaryngol
Head Neck Surg. Apr 2008;37(2):165-8.
17 Ozbek C, Aygenc E, Tuna EU, Selcuk A, Ozdem C. Use of steroids in the treatment of
peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Jun 2004;118(6):439-42.
18 Heidemann CH, Wallen M, Aakesson M, et al. Post-tonsillectomy hemorrhage:
assessment of risk factors with special attention to introduction of coblation technique.
Eur Arch Otorhinolaryngol. Jul 2009;266(7):1011-5.
19 Kahn JH, OConnor RE. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine. Terakhir
diperbaharui:
17
Juni
2010.
Diakses
24
Agustus
2016.
Terdapat
pada:
http://emedicine.medscape.com/ article/764421-overview#showall.
20 Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal infection.
International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33.
21 Gmez CM, Iglesia V, Palleiro O, Lpez CB. Phlegmon in the submandibular region
secondary to odontogenic infection. Emergencias 2007;19:52-53.
22 Topazian R. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. St. Louis: W.B. Saunders; 2002.
23 MD Guidelines. Ludwigs Angina. Diakses: 24 Agustus 2016. Terdapat pada:
http://www.mdguidelines.com/ludwigs-angina.
30