Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Pergeseran filosofis pengelolaan organisasi entitas bisnis yang mengalami perubahan dari
pandangan manajemen klasik ke manajemen modern khususnya di beberapa negara industri
seperti Amerika dan Eropa telah melahirkan sebuah orientasi baru tentang tanggung jawab
perusahaan. Pandangan Manajemen klasik tentang tanggung jawab perusahaan yang hanya
beorientasi kepada pemilik modal dan kreditur dengan mencapai tingkat laba maksimum
telah bergeser dengan adanya konsep Manajemen modern, dimana orientasi perusahaan
dalam mencapai laba maksimum perlu dihubungkan dengan tanggung jawab sosial
perusahaan kearah keseimbangan antara tuntutan para pemilik perusahaan, kebutuhan para
pegawai, pelanggan, pemasok, lingkungan dan juga masyarakat umum, karena menurut
pandangan Manajemen modern perusahaan dalam menjalankan operasionalnya harus
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan sumber-sumber ekonomi yang digunakan oleh
perusahaan semuanya berasal dari lingkungan sosial dimana perusahaan itu berada. Oleh
karena itu perusahaan sebagai organisasi bisnis harus mampu merespon apa yang dituntut
oleh lingkungan sosialnya, sehingga entitas bisnis dan entitas sosial dapat saling berinteraksi
dan berkomunikasi untuk kepentingan bersama.
Seiring dengan perkembangan konsep manajemen tersebut, para akuntan juga membicarakan
bagaimana permasalahan tanggung jawab sosial ini dapat diadaptasikan dalam ruang lingkup
akuntansi (Hines, 1988) dalam Azhar Maksum, (1991), sehingga tujuan utama pelaporan
keuangan guna memberikan infromasi kepada para pemegang saham dan kreditur menjadi
ikut bergeser pula kearah kecenderungan bahwa perlunya pelaporan yang bersifat dari luar
organisasi perusahaan (externality) dalam rangka memberikan informasi kepada beberapa
kelompok orang luar yang berkepentingan terhadap perusahaan. Berdasarkan uraian diatas
dapat dipahami bahwa ide dasar yang melandasi perlunya dikembangkan akuntansi sosial
(sosial Accounting), secara umum sebenarnya adalah tuntutan terhadap perluasan tanggung
jawab perusahaan.
Beberapa penulis seperti Estes (1973); Bowman dan Mason (1976); K.Most (1977); Carrol
AB (1984); Henderson (1984) dan Chua (1990) dalam Sawardjono (1991), menggambarkan
beberapa contoh konkrit yang dapat dianggap sebagai externality, antara lain seperti
melaporkan jumlah karyawan, jaminan kesehatan, informasi tentang upaya pencegahan
pencemaran lingkungan, standar kualitas, pengepakan produk ramah lingkungan, penyaluran
beasiswa pendidikan, kesempatan magang, pelatihan kerja bagi mahasiswa, dan kepedulian
sosial kepada masyarakat sekitar industri. Permasalahan penting lainnya yang menjadi isu
dikalangan para akuntan sehubungan externalily adalah mengenai seberapa jauh perusahaan
harus bertanggung jawab terhadap sosial ekonomi seluruhnya, dan bagaimana perlakuan
akuntansi yang tepat untuk menggambarkan transaksi yang terjadi antara perusahaan dengan
lingkungan sosialnya tersebut.
Harahap (1988;1993; 2001) mengemukakan bahwa persoalan apakah perusahaan perlu
mempunyai tanggungjawab sosial atau tidak, sampai saat ini masih terus merupakan
perdebatan ilmiah dalam sistem ekonomi kapitalis. Lebih jauh Harahap (2002) menyebutkan
bahwa fenomena ini merupakan bentuk dari penyadaran kapitalis terhadap tanggung jawab
sosial perusahaan melalui penyajian informasi akuntansi. Pro dan kontra tersebut tentunya
dapat dipahami karena kelompok yang mendukung maupun yang tidak mendukung punya
kepentingan dan argumentasinya masing-masing.
Di Indonesia sendiri, permasalahan akuntansi sosial memang bukanlah hal yang baru, para
pakar akuntansi di Indonesia juga telah melakukan analisis dan studi tentang kemungkinan
penerapan akuntansi sosial di Indonesia (Harahap, 1988); lihat juga Bambang Sudibyo
(1988); Hadibroto (1988) dalam Arief Suadi (1988), hanya saja akuntansi sosial menjadi
kurang popular.
Terdapat dua hal yang menjadi kendala sulitnya penerapan akuntansi sosial di Indonesia,
yaitu (1) lemahnya tekanan sosial yang menghendaki pertanggungjawaban sosial perusahaan,
dan (2) rendahnya kesadaran perusahaan di Indonesia tentang pentingnya pertanggung
jawaban sosial. Menurut Penulis, perkembangan lingkungan bisnis yang demikian pesat saat
ini telah mendorong perusahaan-perusahaan di Indonesia menuju kearah kesadaran akan
pentingnya pertanggungjawaban sosial, sehingga perlu dianalisis kembali penerapan
akuntansi sosial dalam situasi dan kondisi perekonomian Indonesia sekarang ini.
Sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan, akuntansi berfungsi untuk memberikan
informasi untuk pengambilan keputusan dan pertangungjawaban. Selama ini, laporan
keuangan hanya difokuskan kepada kepentingan investor dan kreditor sebagai pemakai utama
laporan
keuangan.
Hal
ini
tertuang
mulai
dari Standar
Financial
Accounting
Concepts (SFAC) No.1. Selama ini perusahaan hanya menyampaikan informasi mengenai
hasil operasi keuangan perusahaan kepada pemakai, tetapi mengabaikan eksternalitas dari
operasi yang dilakukannya, misalnya polusi udara, pencemaran air, pemutusan hubungan
kerja, dan lainnya. Akhir-akhir ini banyak sekali ditemukan berita di surat kabar,
televisi mengenai dampak operasi perusahaan yang tidak memperhatikan lingkungan di mana
mereka beroperasi.
Pembahasan
1. Definisi Akuntansi sosial
Istilah Akuntansi Sosial (Social Accounting) sebenarnya bukan merupakan istilah baku dalam
akuntansi. Para pakar akuntansi membuat istilah masing-masing untuk menggambarkan
transaksi antara perusahaan dengan lingkungannnya. Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi
(1988) mempergunakan istilah Social Accounting dan mendefinisikannya sebagai proses
pemilihan variabel-variabel yang menentukan tingkat prestasi sosial perusahaan baik secara
internal maupun eksternal. Lee D Parker (1986) dalam Arief Suadi (1988) menggunakan
istilah Sosial Responsibility Accounting, yang merupakan cabang dari ilmu akuntansi.
Sementara itu Belkoui dalam Harahap (1993) membuat suatu terminologi Socio Economic
Accounting (SEA) yang berarti proses pengukuran, pengaturan dan pengungkapan dampak
pertukaran antara perusahaan dengan lingkungannya.
Hadibroto (1988); Bambang Sudibyo (1988) dan para pakar akuntansi di Indonesia
menggunakan istilah Akuntansi pertanggung jawaban sosial (APS) sebagai akuntansi yang
memerlukan laporan mengenai terlaksananya pertanggungjawaban sosial perusahaan.
Hendriksen (1994), menggambarkan akuntansi sosial sebagai suatu pernyataan tujuan,
serangkaian konsep sosial dan metode pengukurannya, struktur pelaporan dan komunikasi
informasi kepada pihakpihak yang berkepentingan. Pernyataan Hendriksen (1994) tersebut
memberikan gambaran tentang hubungan mendasar antara konsep akuntansi sosial dengan
informasi yang dihasilkan, sehingga secara kongkrit informasi tersebut dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Berdasarkan beberapa uraian diatas, pada dasarnya definisi yang diberikan oleh para pakar
akuntansi mengenai akuntansi sosial memiliki karakteristik yang sama, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988), yaitu Akuntansi sosial
berkaitan erat dengan masalah : (1) Penilaian dampak sosial dari kegiatan entitas bisnis, (2)
mengukur kegiatan tersebut (3) melaporkan tanggungjawab sosial perusahaan, dan (4) sistem
informasi internal dan eksternal atas penilaian terhadap sumber-sumber daya perusahaan dan
dampaknya secara sosial ekonomi.
Akuntansi Sosial sering juga disebut Akuntansi Lingkungan ataupun Akuntansi Sosial
Ekonomi, oleh Belkoui (2000), yang diterjemahkan Ramanathan, didefinisikan sebagai
proses seleksi variabel-variabel kinerja sosial tingkat perusahaan, ukuran dan prosedur
pengukuran; yang secara sistematis mengembangkan informasi yang bermanfaat untuk
mengevaluasi kinerja sosial perusahaan dan mengkomunikasikan informasi tersebut kepada
kelompok sosial yang tertarik, baik di dalam maupun di luar perusahaan. Sedangkan menurut
Haniffa (2002), Akuntansi sosial mengidentifikasi, menilai dan mengukur aspek penting dari
kegiatan sosial ekonomi perusahaan dan negara dalam memelihara kualitas hidup masyarakat
sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkannya.
Kegundahan Gray (1994) tentang memaknai akuntansi sosial dan lingkungan membawa
proses pertumbuhan pemahaman terhadap sub disiplin akuntansi ini. Akuntansi sosial dan
lingkungan (yang kita ketahui juga sebagai akuntansi sosial, akuntansi lingkungan, corporate
social
reporting, corporate
sosial
responsibility
reporting, non-financial
reporting,
dalam caranya untuk tidak membebaskan manusia dan organisasinya tumbuh begitu saja
dengan tidak memperdulikan sosial dan lingkungannya.
Secara khusus Hendricksen dan Breda (1992: 10) menggambarkan keprihatinan organisasi
pada isu-isu dalam pandangan mikro-ekonomi akuntansi tidak harus mencakup semua efek
organisasi terhadap masyarakat. Adalah penting biaya polusi terhadap lingkungan,
pengangguran, kondisi kerja yang tidak sehat, dan masalah sosial lainnya biasanya tidak
dilaporkan oleh organisasi, kecuali bahwa biaya tersebut ditanggung langsung oleh organisasi
melalui perpajakan dan regulasi.
Menurut Sahid (2002), ada beberapa pengertian akuntansi lingkungan atau akuntansi sosial,
ada pengertian yang luas dan ada pula pengertian yang sempit. Dalam pengertian yang luas
dalam himpunan istilah lingkungan untuk manajemen (Handry Satriago), akuntansi
lingkungan merupakan proses akunting yang:
a.
Mengambil
langkah-langkah
aktif
untuk
menyusun
inisiatif-inisiatif
untuk
Merencanakan bentuk-bentuk baru sistem laporan finansial dan non finansial, sistem
informasi dan sistem pengawasan untuk lebih mendukung keputusan manajemen yang secara
lingkungan tidak berbahaya;
e.
akuntansi lingkungan sebagai kompilasi data lingkungan dalam kerangka kerja akuntansi.
(Sahid, 2002)
Dari definisi-definisi tersebut dapat dilihat bahwa akuntansi sosial memberikan gambaran
mengenai interaksi dari aktivitas perusahaan terhadap lingkungan sosialnya. Akuntansi sosial
juga memberikan informasi yang dapat digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja
sosial dari perusahaan.
Dari beberapa pengertian akuntansi sosial di atas maka dapt dismpulkan dari pengertian
akuntansi sosialadalah mengidentifikasi, mengukur dan melaporkan hubungan antara bisnis
dan lingkungannya. Lingkungan bisnis meliputi sumber daya alam, komunitas dimasa bisnis
tersebut beroperasi, orang-orang yang dipekerjakan, pelanggan, pesaing, dan perusahaan serta
kelompok lain yang berurusan dengan bisnis tersebut. Prose pelaporan dapat bersifat baik
internal maupun eksternal.
Howard Bowen (1908-1989) adalah seorang historian ekonom Amerika yang memberikan
inspirasi kemunculan akuntansi sosial dan lingkungan. Bowen mengawali karirnya di
University of Iowa, hingga keposisi the presiden of Grinnell College, the University of Iowa.
Kontribusi Bowen adalah dengan publikasi buku dengan judul Social Responsibility of
Businessmen tahun 1953. Bowen (1953) meletakan dasar konsep ini dengan mengatakan
it refers to the obligation of businessman to pursue those policies, to make those
decisions, or to follow those lines of action which are desirable in terms of the objectives and
values of our society .
Kemudian secara kolektif dijadikan landasan awal mendefinisikan tanggungjawab sosial bagi
kewajiban pelaku bisnis untuk menetapkan tujuan bisnis yang selaras dengan tujuan
(objectives) dan nilai-nilai masyarakat (Society values). Konsep ini merontokan faham
ekonomi yang dengan perngorbanan sekecil-kecilnya untuk memperoleh hasil yang sebesarbesarnya. Jadi sudah lama hukum ekonomi yang selalu kita dengar di sekitar kita ini telah
rontok. Jangan lah kita pakai lagi pemahaman hukum ekonomi ini, berkorban sedikit untuk
hasil yang sebesarnya. Nilai-nilai sosial dan lingkungan harus menjadi tujuan organisasi.
Sekalipun masa itu belum sangat berarti dalam perkembangannya, tetapi American
Accounting Association (1971) mencatat bahwa fase ini mulai bermunculan gagasan, konsep,
proposal dan pendekatan untuk memperkenalkan awal akuntansi sosial dan lingkungan.
Asosiasi ini berpandangan bahwa Non-Financial Measures (atau Pengukuran Non Keuangan)
adalah penting untuk efektivitas operasional organisasi.
Fase Kedua Keith Davis
Menyambung apa yang digagas oleh Bowen (1953), Davis (1960) memperkenalkan tulisnya
tentang Can Business Afford to Ignore its Social Responsibilities? Davis secara tajam
berpandangan bahwa tanggungjawab sosial harus dimiliki oleh organisasi. Businesses'
decisions and actions taken for reasons at least partially beyond the firms direct economic
or technical interest (Davis, 1960)
Dengan pernyataan ini Davis menegaskan adanya tanggung jawab sosial organisasi di luar
tanggung jawab ekonomi semata. Argumen Davis menjadi sangat relevan, karena pada masa
tersebut (1960an) pandangan mengenai tanggung jawab sosial organisasi masih sangat
didominasi oleh pemikiran para ekonom klasik. Pada saat itu, para ekonom klasik
memandang para pelaku bisnis itu memiliki tanggung jawab sosial sebatas penggunaan
sumber daya organisasi mereka secara efisien, untuk menghasilkan barang dan jasa dengan
harga yang terjangkau oleh masyarakat. Tanggungjawab sosial mereka sebatas masyarakat
dapat membeli dengan harga yang telah diciptakan secara efisien. Bila hal tersebut berjalan
dengan baik maka organisasi akan mendapatkan keuntungan atas penjualan dan kemudian
organisasi akan mampu melakukan tanggung jawab sosialnya, seperti:
a. Menciptakan lapangan kerja.
b. Memberi kontribusi untuk pemerintahan dengan cara membayar pajak.
c. Menghasilkan barang dengan harga yang rasional.
Para ekonom klasik ini secara kuat berpandangan bahwa memupuk laba semaksimal mungkin
adalah cara klasik mereka dalam berbisnis.
Pada lingkaran ini organisasi bisnis diharapkan mampu melaksanakan pertumbuhan ekonomi,
menghasilkan barang/ jasa, dan menyediakan aktivitas pekerjaan kepada masyarakat.
2.
Menunjukkan tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi ekonomi sementara pada saat yang
sama memiliki kepekaan kesadaran terhadap perubahan nilai-nilai dan prioritas-prioritas
Mencakup kewajiban perusahaan untuk lebih aktif dalam meningkatkan kualitas lingkungan
sosial. Pada tahun 1971 ini ditandai dengan pemahaman yang komprehensif terhadap
akuntansi sosial dan lingkungan dalam kehidupan bisnis, sebagai akibat three concentric
cicles.
Today it is clear that the terms of social contract between society and business are, in fact,
changing in substantial and important ways. Business is being ask to assume broader
responsibilities to society than ever before and to serve a wider range of human values.
Business enterprise, in effect, are being asked to contribute more to the quality of American
life than just supplying quantities of goods and services.
Carroll (1979) menjelaskan komponen-komponen tanggungjawab sosial organisasi bisnis ke
dalam empat kategori, yaitu:
1.
bahwa motif profit adalah motif utama dalam membangun organisasi bisnis. Organisasi bisnis
pada dasarnya adalah tanggungjawab ekonomi karena lembaga bisnis terdiri atas aktivitas
ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa bagi masyarakat yang menguntungkan.
2.
dengan menaati hukum dan peraturan yang berlaku di mana hukum dan peraturan tersebut
pada hakikatnya dibuat oleh masyarakat melalui lembaga legislatif. Tanggungjawab legal ini
adalah koridor dan sistem untuk mengatur organisasi dalam berbisnis.
3.
dan norma moral masyarakat. Masing-masing pihak dalam menjalankan bisnis diatur standar,
etika, norma agar masing-masing puas dalam berbisnis.
4.
Selain isu mengenai kapasitas organisasi dalam memberikan respons terhadap tekanantekanan sosial yang akan tercermin dari citra organisasi di mata publik, perkembangan
akuntansi sosial pada tahun 1970-an sampai 1980-an juga lingmencatat adanya kebutuhan
baru dari organisasi yang melaksanakan aktivitas pelaporan sosial dan lingkungan agar
aktivitas sosial dan lingkungan yang mereka lakukan terukur. Oleh karenanya, para peneliti
seperti Carroll (1979); Wartick dan Cochran (1985); dan Wood (1991) mengembangkan
konsep yang disebut dengan corporate social performance (CSP), yang didalamnya
mengandung tiga dimensi, yaitu:
1.
Dimensi kategori tanggung jawab sosial (ekonomi, hukum, etika, dan discretionary).
2.
3.
Dimensi dalam isu sosial tempat perusahaan terlibat (lingkungan, diskriminasi pekerja,
Sekalipun masa tersebut terjadi resistan dan pengendalian keuangan yang ketat, konsep dan
kerangka model akuntansi sosial dan pelaporannya tetap berjalan. Hanya pada masa ini
beberapa konsep baru dengan nama baru mulai muncul. Istilah baru tersebut adalah Socially
Responsible Investing (SRI). SRI ini banyak digunakan pada umumnya di UK.
Fase Keenam Balance Scorecard
Fase ini merupakan bentuk kombinasi finansiil dan non-finansiil dalam menilai kinerja
organisasi. Diperkenalkan pertama kali tahun 1987 oleh Art Schneiderman, yang kemudian
didesain ulang secara komprehensif oleh Kaplan dan Norton (1990). Akuntansi sosial dan
lingkungan mendapatkan tempat tersendiri dalam kemunculan Balance Scorecard. Ke empat
perspektif sangat fenomenal tersebut adalah
Customer: encourages the identification of measures that answer the question "How do
customers see us?"
Internal Business Processes: encourages the identification of measures that answer the
question "What must we excel at?"
Learning and Growth: encourages the identification of measures that answer the question
"Can we continue to improve and create value?".
Awal tahun 1990an merupakan booming model pelaporan akuntansi sosial dan lingkungan
dengan memanfaatkan konsep Balance Scorecard. Banyak perusahaan besar di Amerika dan
Eropa menggunakan konsep ini agar mereka mampu mengekspresikan kepedulian
organisasinya kepada stakeholdernya.
Fase Ketujuh Robert Hugh Gray
Kontribusi Gray (1992) untuk pengembangan akuntansi sosial dan lingkungan tidak
diragukan lagi. Publikasinya telah mewarnai konsep akuntansi sosial dan lingkungan hingga
gagasan accounting for sustainability. Gray (1993) mengidentifikasikan warna yang beda
terhadap metode akuntansi sustainabilitas. Metode tersebut adalah
1.
Sustainable Cost, metode ini memberikan penekanan pada biaya yang harus
dikeluarkan oleh organisasi pada akhir periode akuntansi, untuk mengembalikan dampak
lingkungan hidup seperti posisi semula.
2.
terhadap keberadaan Modal Alam (Natural Capital), sebagai penyertaan yang selalu ada.
3.
Input Output Analysis, metode ini melaporkan arus fisik pemanfaatan material
dan energy dan keluar atas produk dan barang sisa dalam unit.
Pada Fase ini, pemahaman akuntansi sosial dan lingkungan secara khusus didesain secara
quantitative dalam bentuk nilai moneter, sebagaimana melengkapi akuntansi konvensional
selama ini.
Fase Kedelapan John Elkingtons Triple Bottom Line
Elkington (1997) adalah peletak dasar konsep triple bottom line. Konsep ini memberikan
inspirasi lebih serius tentang perluasan akuntansi konvensioanl yang single bottom line, yaitu
keuangan saja. Istilah Triple Bottom Linemenjadi penting saat people, planet dan profit
ditawarkan menjadi konsep akuntansi pertanggungjawaban sosial dan lingkungan.
1.
Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan
untuk terus beroperasi dan berkembang.
2.
Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan keragaman hayati. Beberapa
program Corporate Social Responsibility yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa
penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana air bersih, perbaikan pemukiman dan
pengembangan pariwisata.
Triple bottom line dengan triple P dapat disimpulkan bahwa profit sebagai wujud aspek
ekonomi, planet sebagai wujud aspek lingkungan dan people sebagai aspek sosial. Dan jika
dirinci lebih lanjut dari ketiga aspek Tripple Bottom Line, maka ketiga aspek tersebut dapat
diwujudkan dalam kegiatan berikut:
1.
kecil dan menegah, agrobisnis, pembukaan lapangan pekerjaan, infrastruktur ekonomi dan
usaha produktif lain.
3.
2.
3.
Penerapan inovasi.
Sedangkan menurut Brodshaw dan Vogel (1981) menyatakan bahwa ada tiga dimensi dari
garis besar ruang lingkup akuntansi sosial dan lingkungan yaitu sebagai berikut:
1.
organisasi, dimana usaha-usaha amal ini tidak berhubungan secara langsung dengan kegiatan
normal organisasi.
2.
dengan pemerintah yang meliputi posisi suatu organisasi dengan adanya berbagai kebijakan
pemerintah yang mempengaruhi baik untuk organisasi atau masyarakat secara keseluruhan.
Akuntansi sosial dan lingkungan pada fase ini mulai disibukkan dengan model laporan yang
memberikan kategori relasi aktivitas berhubungan dengan masyarakat, ekonomi dan
lingkungan.
Fase Kesembilan Sustainability Reporting
Pada waktu yang hampir bersamaan dengan Elkington (1997), NGO CERES (Coalition for
Environmentally Responsible Economies) dan the United Nations Environment Programmes
(UNEP) mendirikan GRI (Global Reporting Initiative), organisasi independen yang
membangun standar Sustainability Reporting. Guideline GRI pertama dikeluarkan tahun
1999 (GRI, 1997)
GRI was set up to develop and disseminate globally applicable Sustainability Reporting
Guidelines. It helps organisations and their stakeholders to report on the economic,
environmental, and social dimensions of their activities, products, and services, using six
extra-financial indicators.
The GRI recognises the need for non-financial indicators to measure a company's impact in
terms of sustainable development and also to assess its overall performance, a factor that
contributes to its future profitability.
GRI mengidentifikasikan 6 (enam) extra-indikator keuangan: aspek kemasyarakatan,
ekonomi, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia, tanggungjawab produk. Hingga
sekarang GRI telah mengeluarkan pedoman generasi ke 3 (G3 GRI) pada tahun 2006. Fase
ini membawa perkembangan akuntansi sosial dan lingkungan menjadi lebih baik dan menjadi
pola adopsi yang cukup luas. Model pelaporan GRI G3 ini menginspirasi model pelaporan
akuntansi sosial dan lingkungan sebagai alternatif pelaporan akuntansi konvensional. Model
GRI ini disimpulkan dengan tanpa kehadiran aspek spiritual, yang banyak ahli dari banyak
lintas disiplin ilmu, mempunyai banyak terobosan pelaporan komprehensif aktivitas bisnis,
kendatipun tanpa aspek spiritual ada di dalamnya.
Fase Kesepuluh Sosio-Spiritualitas Akuntansi
Akuntansi telah memasuki phenomena baru beyond materiality (Sukoharsono, 2008). Akhir
tahun 2000, Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya memperkenalkan
pemahaman akuntansi tidak hanya terbatas pada angka moneter dan tabel jurnal transaksi
ekonomi, tetapi juga memperkenalkan relasi spiritualitas dan metafisika (Sukoharsono,
2009). Spiritualitas dipahami bahwa setiap individu dan organisasi (kelompok orang)
diberikan secara luas pada satu pihak dan aspirasi individu pada pihak lain, (3) memberikan
dengan cara yang optimal, kepada semua kelompok sosial, informasi yang relevan tentang
tujuan, kebijakan, program, strategi dan kontribusi suatu perusahaan terhadap tujuan-tujuan
sosial perusahaan.
Berdasarkan tujuan akuntansi sosial yang diuraikan diatas dapat dipahami bahwa akuntansi
sosial berperan dan menjalankan fungsinya sebagai bahasa bisnis yang mengakomodasi
masalahmasalah sosial yang dihadapi oleh perusahaan, sehingga pospos biaya sosial yang
dikeluarkan kepada masyarakat dapat menunjang operasional dan pencapaian tujuan jangka
panjang perusahaan.
tanpa
memikirkan
lingkungan
sekitarnya.
Sehingga
seringkali
menyebabkan tindakan yang menjurus menghalalkan segala cara. Polusi air dan udara,
kebisingan suara, keracunan, radiasi, kemacetan lalu lintas, produksi makanan haram, serta
limbah kimia yang bisa mengancam masyarakat dan ekosistem adalah suatu contoh bentuk
dampak negatif (negative externalities) yang dapat timbul dari keberadaan dan aktivitas
perusahaan. Dalam usaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi sering kali
mengakibatkan perusakan lingkungan, berupa pencemaran air, penggundulan hutan,
pencemaran udara, dan lainnya. Perusahaan menganggap semua yang dilakukannya sebagai
eksternalitas dari usaha meningkatkan produktivitas dan efisiensi perusahaan. Tapi tindakan
perusahaan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi tersebut, di satu sisi hanya akan
meningkatkan produktivitas perusahaan, tetapi di sisi lain juga mungkin akan merugikan
pihak-pihak yang berkepentingan, antara lain karyawan, konsumen, dan tentu saja
masyarakat.
Keberadaan perusahaan tidak terlepas dari kepentingan berbagai pihak. Investor
berkepentingan terhadap sumber
berkepentingan
terhadap
pengembalian
pokok
dan
bunga
pinjaman.
Pemerintah
mengungkapkan kegiatan ekonomi dan sosial suatu negara, mencakup akuntansi sosial dan
pelaporan akuntansi dalam pembangunan ekonomi. Pada tingkat mikro bertujuan untuk
mengukur dan melaporkan pengaruh kegiatan perusahaan terhadap lingkungan yang
mencakup, financial, managerial social accounting dan social auditing.
Akuntansi pertanggungjawaban sosial juga merupakan alat yang sangat berguna bagi
perusahaan dalam mengungkapan aktivitas sosialnya di dalam laporan keuangan.
Pengungkapan tanggung jawab sosial dalam laporan keuangan penting karena melalui social
reporting disclosure, pemakai laporan keuangan akan dapat menganalisis sejauh mana
perhatian dan tanggung jawab sosial perusahaan dalam menjalankan bisnis.
Adapun Tujuan akuntansi pertanggungjawaban sosial yaitu :
a.
Untuk membebaskan akuntabilitas organisasi atas dasar asumsi adanya kotrak sosial
diantara organnisasi dan masyarakat. Keberadaan kontrak sosial ini menuntut dibebaskannya
akuntabilitas sosial.
c.
karena itu, perusahaan tidak bisa mengabaikan eksistensi pemerintah dalam melakukan
operasinya. Hal tersebut berlaku sama bagi komunitas lokal, karyawan, pemasok, pelanggan,
investor dan kreditor yang masing-masing elemen stakeholder tersebut memiliki kekuasaan,
legitimasi, dan kepentingan sehingga masing-masing elemen tersebut membuat sebuah
hubungan fungsional dengan perusahaan untuk bisa memenuhi kebutuhannya masingmasing. Stakeholder sendiri memiliki bermacam-macam definisi yang kesemuanya memiliki
kesamaan. Hanya saja, fokus dan penekanan yang berbeda memberikan ruang perdebatan
mengenai apa itu stakeholder. Definisi stakeholder dalam beberapa literatur adalah sebagai
berikut,Segenap pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang sedang
diangkat,semua yang melandasi suatu pihak menjadi stakeholder adalah ada atau tidaknya
kepentingan darinya yang terkait. Stakeholder bermacam-macam,tergantung situasi dan
kondisi.
Menurut Gaffikin (2008 : 201), ide pertanggungjawaban sosial perusahaan bisnis sudah ada
pada zaman Yunani Klasik. Perusahaan bisnis diharapkan untuk menerapkan standar yang
tinggi mengenai moralitas dalam perdagangan. Pada zaman pertengahan di Eropa, Gereja
mewajibkan industri dan perusahaan bisnis berperilaku sesuai dengan kode moral Gereja. Isu
ini kemudian menjadi hangat di Amerika Serikat pada tahun 1960. Pada tahun 2000 perhatian
serupa diberikan oleh Global Reporting Initiative (GRI), sebagai bagian dari program
lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang memberikan pedoman SR yang meliputi tiga
elemen, yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial yang selanjutnya direvisi pada tahun 2002
(Satyo, 2005).
Hal lain yang memicu timbulnya pemikiran akuntansi pertanggungjawaban sosial ini
adalah perubahan pandangan manajemen dalam pengelolaan perusahaan. Pandangan
manajemen klasik mengungkapkan bahwa ada satu dan hanya ada satu tanggungjawab
perusahaan, yaitu untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya guna menambah nilai suatu
perusahaan. Sebaliknya, pandangan manajemen modern mengungkapkan bahwa kebijakan
perusahaan
dibuat
dengan
mempertimbangkan
tanggung jawab
sosial
mengingat
tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomis dan legal kepada pemegang saham
atau shareholder , tapi juga kewajiban-kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang
berkepentingan (stakeholders) yang jangkauannya melebihi kewajiban-kewajiban di atas.
b.
c.
Ansry Zulfikar (1987) dalam Achmad Sonhadji (1989) memberikan beberapa teknik
pengukuran yang dapat dipakai, antara lain ;
a.
Penilaian pengganti, yaitu jika nilai dari sesuatu tidak dapat langsung ditentukan,
Teknik survey, yaitu mencakup cara-cara untuk mendapatkan informasi dari kelompok
Biaya perbaikan dan pencegahan, yaitu biaya-biaya perbaikan yang dikeluarkan oleh
Penilaian dari penilai independen, yaitu memberikan suatu wewnang kepada pihak
e.
Putusan pengadilan, yaitu dengan suatu keputusan yang mempunyai kekuatan hukum
Praktik yang sederhana, yaitu laporan terdiri dari uraian akuntansi sosial yang tidak
disertai dengan data kuantitaif, baik satuan uang maupun satuan yang lainnya
b.
Praktik yang lebih maju, yaitu laporan terdiri dari uraian akuntansi sosial dan disertai
Praktik yang paling maju, yaitu laporan dalam bentuk kualitatif, perusahaan juga
dengan
semakin
berkembangnya
pasar
modal,
perusahaan-perusahaan
melaporkan dan mengungkapkan aktifitas sosial untuk memberikan informasi kepada pemilik
modal, calon investor dan pihak-pihak luar (stakeholders) lainnya yang juga berkepentingan.
Praktik pengungkapan sosial (social disclosure) dalam laporan tahunan perusahaan telah
dilakukan dinegara negara Eropa barat, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Singapura
dan Malaysia. Keadaan ini turut mendorong perusahaanperusahaan untuk mengungkapkan
secara sukarela untuk setiap periode mengenai lingkungan sosialnya, sehingga dapat
menunjukkan kepada kepada pihakpihak yang berkepentingan terhadap laporan tahunan
perusahaan yang dapat menjelaskan kepedulian dan kepekaan sosial suatu entitas bisnis.
Di negara Amerika Serikat praktik pengungkapan sosial ini sudah dimulai sejak tahun 1970an dan sampai saat ini FASB telah banyak merekomendasikan secara lebih spesifik tentang
standar pelaporan externalities. Davidson (1993) memberikan contoh FAS No. 5 yang
Suatu analisis yang serupa dapat dibuat dalam hal biaya. Bagi Pigou, biaya sosial terdiri atas
seluruh biaya untuk menghasilkan suatu produk, tanpa mempedulikan siapa yang
membayarnya. Biaya yang di bayarkan oleh produsen disebut sebagai biaya pribadi. Selisih
antara biaya sosial dan biaya pribadi (disebut sebagai biaya sosial yang tidak
dikompensasikan) dan disebabkan oleh banyak faktor.
Menurut Pigou, optimalitas-Pareto hanya dapat dicapai jika manfaat sosial marginal sama
dengan biaya sosial marginal. Perbedaan antara Pigou dengan model ekonomi tradisionaldimana pendapatan marginal setara dengan biaya marginal- berasal dari perbedaan antara
manfaat sosial dan pribadi dengan biaya sosial dan pribadi.
Dengan demikian, ketika akuntan mengukur manfaat pribadi (pendapatan) dan biaya pribadi
(beban) serta mengabaikan yang lainnya, mereka bersikap konsisten dengan teori ekonomi
tradisional. Gerakan kearah akuntansi sosial, sebagian besar terdiri dari usaha-usaha untuk
memasukkan biaya sosial dan biaya sosial yang tidak terbagi kedalam model akuntansi.
Berdasarkan analisis Pigou dan gagasan mengenai suatu kontrak sosial, K.V.Ramanathan
(1976) mengembangkan suatu kerangka kerja teoritis untuk akuntansi atas biaya dan manfaat
sosial. Terdapat dua masalah utama dengan pendekatan Ramanathan. Pertama, untuk
menentukan kontribusi neto kepada masyarakat, beberapa jenis system nilai harus ditentukan.
Bagaimana entitas tersebut menentukan apa yang merupakan kontribusi atau apa yang
merupakan kerugian bagi masyarakat?. Beberapa kerugian seperti polusi secara universal
dibenci dan memasukkannya dalam suatu laporan akuntansi dan dibenarkan dengan relative
mudah. Masalah utama kedua berkaitan dengan pengukuran. Adalah teramat sulit untuk
menguantifikasi jumlah pos yang akan dimasukkan dalam laporan kontribusi neto kepada
masyarakat.
Salah satu alasan utama dari lambatnya kemajuan akuntansi sosial adalah kesulitan dalam
mengukur kontribusi dan kerugian. Proses tersebut terdiri atas tiga langkah, yaitu :
1)
2)
3)
Cara lain untuk mengidentifikasi asal dari biaya dan manfaat sosial adalah dengan memeriksa
proses distribusi dan produksi perusahaan individual guna mengidentifikassi bagaimana
kerugian dan kontribusi serta menentukan bagaimana hal itu terjadi. Jika satu bagian dari
proses produksidan distribusi diperiksa mungkin ditemukan produk sampingan yang
negative diciptakan bersama-sama dengan produk yang berguna.
Ketika aktivitas yang menimbulkan biaya dan manfaat sosial ditentukan dari kerugian serta
kontribusi tertentu diidentifikasikan, maka dampak pada manusia dapat dihitung. Untuk
mengukur suatu kerugian dibutuhkan informasi mengenai variable-variabel utama, yaitu
waktu dan dampak.
1)
Waktu
Beberapa peristiwa yang menghasilkan biaya sosial membutuhkan waktu beberapa tahun
untuk menimbulkan suatu akibat. Dalam hal pengukuran, adalah penting untuk menentukan
lamanya waktu tersebut. dampak jangka panjang sebaiknya diberikan bobot yang berbeda
dengan dampak jangka pendek.
2)
Dampak
Orang-orang dapat dipengaruhi secara ekonomi, fisik, psikologis, dan sosial oleh berbagai
kerugian. Untuk mengukur biaya sosial tersebut adalah perlu untuk mengidentifikasikan
kerugian-kerugian tersebut dan menguantifikasikannya.
Biaya-biaya tersebut dapat diklasifikasikan sebagai kerugian ekonomi, fisik, psikologis, atau
sosial.
1)
Kerugian ekonomi
Biaya-biaya ini meliputi tagihan pengobatan dan rumah sakit yang tidak dikompensasi,
hilangnya produktivitas, dan hilangnya pendapatan yang diderita oleh pekerja. Jelaslah,
perhitungan ganda atas hilangnya pendapatan dan produktivitas harus duhindari.
2)
Kerugian fisik
Menghitung nilai dari kehidupan atau kesehatan manusia adalah hal yang sulit untuk
dilakukan, tetapi seringkali dicoba dalam analisis biaya-manfaat yang tradisional.
3)
Kerugian psikologis
Kerugian-kerugian ini juga sulit untuk dikuantifikasi dan harus didiskontokan pada tingkat
bunga yang sesuai.
4)
Kerugian sosial
Dalam keluarga pekerja, perubahan peran dapat terjadi sebagai akibat dari penyakit tersebut.
keluarga tersebut dapat menjadi begitu trauma sehingga terjadi perpecahan. Nilai sekarang
dari seluruh dampak ini bagaimanapun juga harus dihitung.
DAFTAR PUSTAKA
Arfan Ikhsan & Muhammad Ishak 2008, Akuntansi Keperilakuan Penerbit. Salemba Empat,
Jakarta.
Siegel, Gary dan Marcony HR 1989 Behavioral Accounting, South-Western Publishing
Co., Ohio
Cater, Usry. Cost Accounting, Salemba Empat, Jakrta: 2008.