Vous êtes sur la page 1sur 20

AKUNTA

NSI
SEKTOR
PUBLIK
TUGAS MAKALAH
DESENTRALISASI
FISKAL DAN
HUBUNGAN
PEMERINTAH
PUSAT DAN
PEMERINTAH
DAERAH
DINA ANTARISKASARI
NIM :
156020304111025

PROGRAM MAGISTER
AKUNTANSI
STAR BPKP BATCH 5

2016/2017

A. KONSEP DESENTRALISASI
Desentralisasi mengacu pada tren global dalam pemindahan tanggungjawab
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau lokal. Pengertian dan penafsiran
terhadap desentralisasi sangat beragam antar negara, antar ilmuwan, maupun antar praktisi
pemerintahan. Istilah desentralisasi memiliki makna yang berbeda untuk orang yang
berbeda, dan pendekatan terhadap desentralisasipun sangat bervariasi dari negara yang
satu ke negara yang lain. Meskipun demikian, pemahaman umum tentang definisi dan ruang
lingkup desentralisasi banyak mengacu kepada pendapat Rondinelli dan Bank Dunia (1999).
Desentralisasi menurut Rondinelli dan Cheema (1983) adalah transfer perencanaan,
pengambilan keputusan dan atau kewenangan administrasi dari pemerintah pusat kepada
organisasi pusat di daerah, unit administrasi lokal, organisasi semi otonomi dan parastatal
(perusahaan), pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah.

Perbedaan konsep

desentralisasi ditentukan terutama berdasarkan tingkat kewenangan untuk perencanaan,


memutuskan dan mengelola kewenangan yang ditransfer oleh pemerintah pusat dan
besaran otonomi yang diterima untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Selanjutnya
Rondinelli (2000), memberikan 4 dimensi desentralisasi yang diuraikan dalam tabel berikut:
No.
1

Kategori
Desentralisas
i
Desentralisasi
Politik

Desentralisasi
Administrasi

Desentralisasi
Fiskal

Desentralisasi
Ekonomi dan
Pasar

Tujuan

Instrumen

Meningkatkan
kekuasaan
kepada
penduduk dan
perwakilan politik
mereka
dalam pembuatan keputusan
publik.

Perbedaan
konstitusi
dan
undang-undang, pengembangan
partai politik, penguatan legislatif,
pembentukan
institusi
politik
lokal, pendukungan kelompok
kepentingan publik yang efektif.
Dekonsentrasi, delegasi, dan
devolusi masing-masing dengan
karakteristik yang berbeda.
Pengaturan
kembali
dalam
pengeluaran, penerimaan dan
transfer fiskal antar tingkatan
pemerintahan.

Memperbaiki
efisiensi
manajemen
untuk
penyediaan layanan publik.
Memperbaiki
kinerja
keuangan
melalui
peningkatan
keputusan
dalam
menciptakan
penerimaan dan pengeluaran
yang rasional.
Menciptakan lingkungan yang
lebih baik bagi dunia usaha
dan menyediakan barang dan
jasa berdasarkan respon
terhadap kebutuhan lokal dan
mekanisme pasar.

Transfer fungsi pemerintahan


kepada
organisasi
bisnis,
kelompok
masyarakat
atau
organisasi non profit melalui
privatisasi
dan
penguatan
ekonomi
pasar
melalui
deregulasi.

Di Indonesia, desentralisasi politik telah berlangsung dengan beralihnya sebagian


kekuasaan politik kepada pemerintah daerah dimana kepala daerah dan anggota DPRD
2

dipilih secara langsung. Desentralisasi administrasi sudah terwujud melalui pengalihan


sebagian besar kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah sehingga sebagian
besar pelayanan masyarakat dilakukan oleh pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal juga
sudah berlangsung sejak tahun 2001 dengan pengalihan dana dari pusat ke daerah. Proses
ketiga jenis desentralisasi tersebut masih akan terus berlanjut dan masyarakat akan
menuntut lebih jauh untuk melihat bukti bahwa terjadinya desentralisasi memang akan
membawa perbaikan kesejahteraan buat mereka. Dalam makalah ini akan dibahas lebih
jauh mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia.

B. HUBUNGAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH


1. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN
a. Otonomi Daerah
1. Landasan Hukum
a. UU No. 22 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU no. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
b. PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Wewenang antara Pemerintah,
Propinsi dan Kabupaten/Kota
c. UU dan PP lainnya
2. Perubahan UU No 22 Tahun 1999 menjadi UU No 32 Tahun 2004
No
1

UU No. 22 Tahun 1999


Otonomi
Daerah
itu
adalah

UU No. 32 Tahun 2004


Otonomi
Daerah
adalah

kewenangan Daerah Otonom untuk

wewenang

mengatur dan mengurus kepentingan

otonom untuk mengatur dan mengurus

masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri

sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat

kepentingan

sesuai dengan peraturan perundang-

sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.
Kewenangan

mencakup

undangan yang berlaku.


Pola yang dikembangkan UU No.22

kewenangan dalam seluruh bidang

Tahun 1999 vide PP No.25 Tahun 2000

pemerintahan,

adalah pembagian kewenangan antara

dalam

bidang

Daerah
kecuali
politik

kewenangan
luar

negeri,

dan

urusan

hak,

kewajiban

daerah

pemerintahan

masyarakat

dan

setempat

pemerintah dan daerah, dimana sudah

pertahanan

keamananan,peradilan,

ditentukan

moneter

fiskal,

kewenangan pemerintah dan apa-apa

dan

agama,

serta

kewenangan bidang lain

apa-apa

yang

menjadi

yang menjadi kewenangan propinsi dan


apa

yang

Kabupaten/Kota
yang
3

tidak

menjadi
adalah
temasuk

kewenangan
kewenangan
kewenangan

pemerintah dan propinsi. Dalam konteks


ini undang-undang tidak memberi ruang
kepada pemerintah untuk mencampuri
urusan yang telah menjadi kewenangan
Propinsi, Kabupaten dan Kota. Propinsi
tidak pula dapat mencampuri urusan4

Titik tekanan pada undang-undang No.

urusan Kabupaten/Kota
Undang-undang ini menganut paham

22

pada

pembagian urusan. Antara pembagian

kewenangan dan dengan kewenangan

kewenangan dengan pembagian urusan

itu daerah menentukan apa-apa yang

jelas

akan menjadi isi dari kewenangannya.

mendasar. Secara yuridis yang diartikan

Pola ini merangsang kreatifitas dan

dengan kewenangan adalah hak dan

prakarsa

kekuasaan

Tahun

1999

daerah

adalah

menggali

berbagai

terdapat

perbedaan

Pemerintah

yang

untuk

aktifitas dan gagasan guna mewujudkan

menentukan atau mengambil kebijakan

pelayanan

dalam

publik

dalam

rangka

rangka

penyelenggaraan

penyelenggaraan pemerintahan daerah.

pemerintahan

Sementara itu, kalau titik penekanannya

No.25 Tahun 2000 pada pasal 1 angka

pada

3)

pembagian

kewenangan

urusan,

daerah

hanya

maka

(Peraturan

Pemerintah

sebatas

urusan yang telah ditetapkan dalam


peraturan

perundang-undangan

dan

bertambah apabila ada penyerahan dari


pemerintah.
3. Latar Belakang
Alasan diperlukannya desentralisasi di Indonesia:
a. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi
dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja
yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
b. Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai
tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan
dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.
c. Dari

sudut

pemerintahan

teknik
daerah

organisatoris

pemerintahan,

(desentralisasi)

pemerintahan yang efisien.

adalah

alasan

untuk

mengadakan

mencapai

suatu

d. Dari sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan supaya adanya perhatian dapat
sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan suatu daerah, seperti geografi,
keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang
sejarahnya.
e. Dari

sudut

pembangunan

ekonomi,

desentralisasi

diperlukan

karena

pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu


pembangunan tersebut.
Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan
menjadi urusan Pemerintah, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

politik luar negeri;


pertahanan;
keamanan;
yustisi;
moneter dan fiskal nasional; dan
agama.

Selain urusan di atas, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya


untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan
tugas pembantuan. Pemerintah daerah mengurusi bidang pemerintahan di luar yang diurusi
pemerintah pusat, yang terdiri dari 31 bidang urusan pemerintahan, yaitu:

4. Hak Dan Kewajiban Daerah Terkait Otonomi


Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak:
a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
b. memilih pimpinan daerah;
5

c.
d.
e.
f.

mengelola aparatur daerah;


mengelola kekayaan daerah;
memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

lainnya yang berada di daerah;


g. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
h. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam Peraturan perundangundangan.
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.

melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan


nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
meningkatkan kualitas kehidupan, masyarakat;
mengembangkan kehidupan demokrasi;
mewujudkan keadilan dan pemerataan;
meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
mengembangkan sistem jaminan sosial;
menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
melestarikan lingkungan hidup;
mengelola administrasi kependudukan;
melestarikan nilai sosial budaya;
membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan

kewenangannya; dan
p. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
5. Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan

otonomi

daerah

adalah

meningkatkan

kemampuan

daerah

dalam

penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis pada potensi lokal, dengan sasaran:


a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Terwujudnya kemandirian daerah yang berbasis potensi lokal.


Meningkatnya kemampuan keuangan daerah.
Meningkatnya kinerja yang sinergis diantara unsur-unsur penentu kebijakan
Untuk terciptanya efisiensi-efektifitas penyelenggaraan pemerintahan
Sebagai sarana pendidikan politik
Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan
Stabilitas politik
Kesetaraan politik
Akuntabilitas publik

6. Permasalahan Otonomi Daerah


a. Daerah belum sepenuhnya memahami makna otonomi daerah sehingga muncul
ego yang berlebihan
b. Belum optimalnya sinergi pembangunan antar sektor dan daerah
c. Terbatasnya kemampuan aparatur daerah dalam pelayanan masyarakat.
d. Rendahnya kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan.
6

e. Adanya konflik antar daerah mengenai penguasan sumber daya alam dan aset
f.
g.
h.
i.

ekonomi daerah.
Eksternalitas
Tidak tercapainya economic of scale dalam penyediaan public goods
Kurang efisiennya pelaksanaan pajak daerah
Adanya anggapan bahwa dengan adanya otonomi maka perilaku KKN juga ikut
bergeser ke daerah

7. Langkah Kebijakan
Strategis kebijakan yang ditempuh adalah:
a.
b.
c.
d.

Sosialisasi otonomi daerah agar diperoleh pemahaman yang benar.


Mengembangkan potensi lokal dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah.
Memperbaiki koordinasi dalam penyusunan dan pelaksanaan pogram.
Mendorong dan melaksanakan kerjasama antar daerah.

b. OTONOMI KHUSUS
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan
otonomi khusus. Daerah-daerah yang diberikan otonomi khusus ini adalah:

1. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;


2. Provinsi Aceh;
3. Provinsi Papua; dan
4. Provinsi Papua Barat.

Bagi daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain
diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah diberlakukan pula ketentuan
khusus yang diatur dalam undang-undang lain, yaitu sebagai berikut:
1. Bagi Provinsi DKI Jakarta diberlakukan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
2. Bagi

Provinsi

NAD

diberlakukan

UU

Nomor

44

Tahun

1999

tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11


Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan

3. Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat diberlakukan UU Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

PERIMBANGAN

KEUANGAN

ANTARA

PEMERINTAH

PUSAT

DAN

DAERAH
A. DANA ALOKASI UMUM (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU merupakan
instrumen transfer yang bertujuan untuk meminimumkan ketimpangan fiskal antardaerah
(horizontal imbalances), sekaligus memeratakan kemampuan antar daerah (equalization
grant). DAU bersifat Block Grant yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah
sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
1. Alokasi DAU
a. DAU dialokasikan untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota.
b. Besaran DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam
Negeri (PDN) netto yang ditetapkan dalam APBN.
c. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan
sesuai dengan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota.
d. Dalam hal penentuan proporsi belum dapat dihitung secara kuantitatif, proporsi
DAU

antara provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan imbangan 10%

(sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen).


2. Tahapan Penghitungan DAU
a. Tahapan Akademis. Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi
formula DAU dilakukan oleh Tim Independen dari berbagai universitas dengan
tujuan untuk memperoleh kebijakan penghitungan DAU yang sesuai dengan
ketentuan UU dan karakteristik Otonomi Daerah di Indonesia.
b. Tahapan Administratif. Dalam tahapan ini Depkeu c.q. DJPK melakukan
koordinasi dengan instansi terkait untuk penyiapan data dasar penghitungan
DAU termasuk didalamnya kegiatan konsolidasi dan verifikasi data untuk
mendapatkan validitas dan kemutakhiran data yang akan digunakan.
c. Tahapan Teknis. Merupakan tahap pembuatan simulasi penghitungan DAU yang
akan dikonsultasikan pemerintah kepada DPR RI dan dilakukan berdasarkan
formula DAU sebagaimana diamanatkan UU dengan menggunakan data yang
tersedia serta memperhatikan hasil rekomendasi pihak akademis.

d. Tahapan Politis. Merupakan tahap akhir, pembahasan penghitungan dan alokasi


DAU antara pemerintah dengan Panja Belanja Daerah Panitia Anggaran DPR RI
untuk konsultasi dan mendapatkan persetujuan hasil penghitungan DAU.
3. Formulasi DAU
a. Formula DAU
Formula DAU menggunakan pendekatan celah fiskal (fiscal gap) yaitu selisih
antara kebutuhan fiskal (fiscal needs) dikurangi dengan kapasitas fiskal (fiscal
capacity) daerah dan Alokasi Dasar (AD) berupa jumlah gaji PNS daerah.
Rumus formula DAU:
DAU= Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiscal (CF)
AD = Gaji PNS Daerah
CF = Kebutuhan Fiskal Kapasitas Fiskal
b. Variabel DAU
Komponen variabel kebutuhan fiskal (fiscal needs) yang digunakan untuk
pendekatan perhitungan kebutuhan daerah terdiri dari: jumlah penduduk, luas
wilayah, indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan konstruksi
(IKK), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. Komponen
variabel kapasitas fiskal (fiscal capacity) yang merupakan sumber pendanaan
daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil
(DBH).
c. Metode Penghitungan DAU
Alokasi Dasar (AD). Besaran Alokasi Dasar dihitung berdasarkan realisasi gaji
Pegawai Negeri Sipil Daerah tahun sebelumnya (t-1) yang meliputi gaji pokok
dan tunjangan-tunjangan yang melekat sesuai dengan peraturan penggajian
PNS yang berlaku.
Celah Fiskal (CF). Untuk mendapatkan alokasi berdasar celah fiskal suatu
daerah dihitung dengan mengalikan bobot celah fiskal daerah bersangkutan (CF
daerah dibagi dengan total CF nasional) dengan alokasi DAU CF nasional. Untuk
CF suatu daerah dihitung berdasarkan selisih antara KbF dengan KpF, sebagai
berikut:
Kebutuhan Fiskal (KbF)
KbF = TBR (1IP +2IW + 3IPM +4IKK +5IPDRB/kap)
Keterangan:
TBR

= Total Belanja Rata-rata APBD

IP

= Indeks Jumlah Penduduk

IW

= Indeks Luas Wilayah


9

IPM

= Indeks Pembangunan Manusia

IKK

= Indeks Kemahalan Konstruksi

IPDRB/kap

= Indek Produk Domestik Regional Bruto per Kapita

= Bobot Indeks

Catatan: Bobot 1, 2, 3, 4,dan 5, ditentukan dengan mempergunakan pertimbangan


pembobotan secara proporsional utk mencapai tingkat pemerataan fiskal antar daerah
terbaik, dengan menggunakan indikator Coef of Variation dan Index Williamson
Kapasitas Fiskal (KpF)
KpF = PAD + DBH Pajak + DBH SDA
Keterangan:
PAD = Pendapatan Asli Daerah
DBH Pajak = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pajak
DBH SDA = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Sumber Daya Alam

B. DANA ALOKASI KHUSUS (DAK)


DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada
daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Besarnya alokasi DAK
ditetapkan setiap tahun dalam APBN.
Pada awalnya, DAK yang disediakan bagi daerah, seluruhnya bersumber dari dana
reboisasi (DR) yang dialokasikan sebesar 40 persen dari penerimaannya. Namun, mulai
tahun 2003, selain untuk membiayai kegiatan reboisasi di daerah penghasil, DAK juga
diberikan dalam bentuk DAK Non-DR yang disediakan bagi daerah tertentu untuk
membiayai kebutuhan khusus, seperti (a) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara
umum dengan menggunakan rumus alokasi umum; dan/atau (b) kebutuhan yang
merupakan komitmen atau prioritas nasional. Pada tahun 2011 juga terdapat penambahan 5
bidang sasaran DAK yaitu Bidang Listrik Pedesaan, Bidang Perumahan dan Permukiman,
Bidang Keselamatan Transportasi Darat, Bidang Transportasi Pedesaan dan Bidang Sarana
dan Prasarana Kawasan Perbatasan. Selain itu pada Bidang Kesehatan terdapat satu sub
bidang tambahan yaitu Pelayanan Farmasi.
DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang
merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional yang menjadi urusan
daerah. Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Kegiatan khusus yang
ditetapkan

oleh

pemerintah

mengutamakan

kegiatan

pembangunan,

pengadaan,

peningkatan, perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan
10

umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang. Daerah tertentu
sebagaimana dimaksud adalah daerah yang dapat memperoleh alokasi DAK berdasarkan:
a. Kriteria umum
Kriteria umum dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang
dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri
Sipil Daerah (PNSD).
Kemampuan Keuangan Daerah = Penerimaan umum APBD - Belanja PNSD
Penerimaan Umum APBD

= PAD + DAU + (DBH DBHDR)

b. Kriteria khusus
Kriteria khusus dirumuskan berdasarkan:
a. Peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi
khusus, misalnya: UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi
Papua dan UU Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam; dan
b. Karakteristik daerah, contoh: daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan
darat dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, daerah yang termasuk
rawan banjir dan longsor, serta daerah yang termasuk daerah ketahanan
pangan. Kriteria khusus tersebut dirumuskan melalui indeks kewilayahan oleh
Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan masukan dari Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional dan menteri/pimpinan lembaga terkait.
c. Kriteria teknis
Kriteria teknis disusun berdasarkan indikator-indikator kegiatan khusus yang akan
didanai dari DAK. Kriteria teknis dirumuskan melalui indeks teknis oleh menteri teknis
terkait. Menteri teknis menyampaikan kriteria teknis tersebut kepada Menteri
Keuangan.

C. DANA BAGI HASIL (DBH)


DBH merupakan salah satu jenis dari dana perimbangan pemerintah daerah yang
digunakan untuk membiayai kegiatan desentralisasi. Dana perimbangan tersebut bersumber
dari APBN pemerintah pusat. Kegiatan desentralisasi yang dimaksud disini adalah sesuai
dengan Undang-undang No 33 Tahun 2004 adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DBH merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
11

rangka pelaksanaan Desentralisasi. DBH yang merupakan bagian dari dana perimbangan
bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah dan antar pemerintah daerah.
Jenis DBH
a. Bersumber dari pajak
1) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
DBH yang berasal dari BPHTB dibagi antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Pemerintah pusat mendapat porsi sebesar 20% yang dibagikan sama
besar ke seluruh pemerintah kabupaten/kota di Indonesia. Sedangkan porsi
pemerintah daerah sebesar 80% dari BPHTB dibagi sesuai dengan perincian
sebagai berikut:
Sebesar 16% untuk pemerintah daerah provinsi yang bersangkutan dan

disalurkan melalui rekening kas umum pemerintah provinsi


Sebesar 64% untuk kabupaten/kota penghasil dan disalurkan melalui

rekening kas umum daerah kabupaten/kota.


2) Pajak Penghasilan (PPh)
DBH yang berasal dari penerimaan Pajak Penghasilan pasal 25 dan pasal 29 wajib
pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21 diserahkan kepada pemerintah
daerah dengan porsi sebesar 20%. Sedangkan sisanya sebesar 80% di serahkan
kepada pemerintah pusat. DBH yang berasal dari PPh yang diserahkan kepada
pemerintah daerah dibagi antara pemerintah daerah provinsi dengan porsi sebesar
60% dan pemerintah daerah kabupaten/kota dengan porsi sebesar 40%
b. Bersumber dari Sumber Daya Alam
1) Kehutanan
DBH yang bersumber dari penerimaan kehutanan dibagi sebagai berikut:

JENIS

Pemerintah

KEGIATAN

Pusat

IHPH
PSDH
Dana

20%
20%
60%

Provinsi
16%
16%
40%

Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kot
Kabupaten/Kot
a lain dalam
a ybs
provinsi ybs
64%
32%
32%
-

Reboisasi
Dana reboisasi yang dialokasikan untuk pemerintah pusat digunakan untuk
reboisasi hutan secara nasional, sedangkan yang dialokasikan untuk pemerintah
daerah digunakan untuk reboisasi hutan diwilayah pemerintah daerah yang
bersangkutan.
2) Pertambangan Umum
DBH yang berasal dari penerimaan pertambangan umum dibagi antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah dengan imbangan sebesar 20% untuk pemerintah
pusat dan 80% untuk pemerintah daerah yang bersangkutan. Penerimaan
12

pertambangan umum terbagi atas dua jenis yaitu; penerimaan tetap (Land-rent),
dan penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (Royalti).
3) Perikanan
Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan
20% untuk Pemerintah pusat dan 80% untuk seluruh kabupaten/kota. Penerimaan
perikanan berasal dari penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan
penerimaan pungutan hasil perikanan. Alokasi DBH sebesar 80% untuk
kabupaten/kota dibagi sama rata ke seluruh kabupaten/kota di wilayah Indonesia.
4) Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
DBH yang berasal dari penerimaan pertambangan minyak dan gas bumi setelah
dikurangi potongan pajak dan komponen lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dibagi dengan perincian sebagai berikut:

Alokasi
Pemerintah daerah
Jenis
Penerimaa
n

Pendidikan

Pemerinta
h Pusat

dana
Kabupaten/kot

Provinsi yang

Kabupaten/kot

a dalam

bersangkutan

a penghasil

provinsi yang
bersangkutan

Minyak

84,5%

3%

6%

6%*

0,5%

bumi
Gas bumi

69,5%

6%

12%

12%*

0,5%

*) Dibagi sama rata untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan

5) Pertambangan Panas Bumi


DBH yang berasal dari penerimaan pertambangan panas bumi terdiri dari dua jenis,
yaitu setoran bagian pemerintah, iuran tetap dan iuran produksi.

D. DANA DEKONSENTRASI DAN DANA TUGAS PEMBANTUAN (PP No 7/2008)


1. Dana Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu. Dana Dekonsentrasi (DK) adalah dana yang berasal dari APBN yang
dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan
dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang
dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.
Karakteristik Kegiatan Dana Dekonsentrasi menurut PMK 156/PMK07/2008
tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan sebagai
berikut:

13

a) Pendanaan dalam rangka Dekonsentrasi dialokasikan untuk kegiatan bersifat non-fisik,


yaitu kegiatan yang menghasilkan keluaran yang tidak menambah aset tetap.
b) Kegiatan yang bersifat non-fisik antara lain berupa sinkronisasi dan koordinasi
perencanaan, fasilitasi, bimbingan teknis, pelatihan, penyuluhan, supervisi, penelitian
dan survey, pembinaan dan pengawasan, serta pengendalian.
c) Dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi, sebagian kecil dana
dekonsentrasi dapat dialokasikan sebagai dana penunjang untuk pelaksanaan tugas
administratif dan/atau pengadaan input berupa barang habis pakai dan/atau aset tetap.
d) Penentuan besarnya alokasi dana penunjang harus memperhatikan asas kepatutan,
kewajaran, ekonomis, dan efisiensi, serta disesuaikan dengan karakteristik kegiatan
masing-masing kementerian/ lembaga.
2. Dana Tugas Pembantuan
Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau
desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Dana Tugas
Pembantuan (TP) adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan
desa yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan
tugas pembantuan.
Cakupan Tugas Pembantuan:
a) TP dari Pemerintah Pusat kepada Kepala Daerah dan Desa (APBN)
b) TP dari Provinsi kepada Kabupaten/Kota dan Desa (APBD)
c) TP dari Kabupaten/Kota ke Desa (APBD)

C. GRAND DESIGN DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA (KAJIAN DJPK)


Desentralisasi fiskal merupakan salah satu implementasi dari paradigma hubungan
pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam UU No. 22 dan No.
25 tahun 1999 antara lain ditandai dengan dialokasikannya Dana Alokasi Umum (DAU)
sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana
Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber daya alam yang berada di daerah yang
bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak yang terbatas kepada pemerintah daerah.
Selanjutnya, amandemen undang-undang desentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004
menitikberatkan kepada mekanisme pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan
kepada pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah (Brodjonegoro 2004). Di sisi
fiskal, UU No. 33 tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam
yang dimiliki daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana
yang menjadi sumber DAU.
Meskipun telah dilakukan berbagai penyempurnaan kebijakan, desentralisasi fiskal di
Indonesia masih mempunyai berbagai kelemahan dan kekurangan, baik dalam tataran
14

konsep maupun implementasinya. Masih terdapat peraturan yang saling berbenturan satu
sama lain, masih terdapat perbedaan pendapat maupun perebutan kewenangan antar level
pemerintahan dalam pengelolaan fiskal daerah, ataupun masih sering terjadi multi-tafsir
dalam implementasi kebijakan di daerah. Hal ini disebabkan tidak adanya kesamaan
persepsi mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia. Kesamaan persepsi inilah yang
seharusnya diwadahi dalam suatu grand design desentralisasi fiskal.
Desentralisasi fiskal adalah salah satu instrumen yang digunakan oleh pemerintah
dalam mengelola pembangunan guna mendorong perekonomian daerah maupun nasional.
Melalui mekanisme hubungan keuangan yang lebih baik diharapkan akan tercipta
kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaan pembangunan di daerah, sehingga akan
berimbas kepada kondisi perekonomian yang tujuan akhirnya adalah kesejahteraan
masyarakat.
Arah dari kebijakan desentralisasi diharapkan dapat menghindari kegagalan dari
sistem desentralisasi (Prudhomme 1995), yaitu praktek kebijakan desentralisasi yang justru
menciptakan inefisiensi dari perekonomian. Mekanisme atau desain dari desentralisasi fiskal
yang dapat memperparah inefisiensi suatu perekonomian, misalnya terjadi ketika sistem
transfer justru menimbulkan kondisi soft budget constraint, terciptanya local capture yang
melemahkan akuntabilitas dari sistem pemerintahan pada tingkatan yang lebih rendah, serta
kondisi low transaction costs di tingkat lokal tidak terpenuhi.
Dari perkembangan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia, terdapat empat
elemen utama desentralisasi fiskal yang harus disempurnakan, yaitu:
1. Sistem dana perimbangan (transfer).
Masalah strategis pada desentralisasi fiskal di Indonesia adalah pada sistem transfer
antar tingkat pemerintahan. Transfer dari pemerintah pusat pada prakteknya masih
merupakan sumber pembiayaan dominan pada sebagian besar pemerintah daerah di
Indonesia. Sampai saat ini, penerapan sistem transfer di Indonesia di cirikan oleh:
a. Sering adanya perubahan formula untuk block grants (DAU) dan juga conditional
grants DAK,
b. Peningkatan cakupan sektor dari dana bagi hasil (DBH) dan penerapan earmarked
pengeluaran dari alokasi DBH yang diterima oleh daerah,
c. Perubahan total alokasi block grants DAU dan DAK, dan
d. Belum adanya hubungan antara transfer dan expenditure assignments atau dalam
hal ini target pencapaian SPM (standar pelayanan minimum).
2. Sistem pajak dan pinjaman daerah.
Pembatasan otonomi dari segi penerimaan cenderung berimplikasi pada penetapan
retribusi baru, dan juga untuk beberapa daerah, pembatasan atau penundaan
mekanisme penerusan pinjaman luar negeri, tidak berarti tidak adanya praktek defisit
15

anggaran. Kondisi yang ada di Indonesia, pemerintah daerah di Indonesia cenderung


menetapkan berbagai jenis retribusi untuk mengurangi keterbatasan jenis pajak yang
berada di bawah kebijaksanaan pemerintah daerah (Lewis 2003). Praktek penetapan
berbagai retribusi oleh pemerintah daerah untuk mengatasi keterbatasan penerimaan
dari pajak daerah bukan merupakan kejadian yang hanya terjadi di Indonesia. Negaranegara lain di mana pemerintah daerahnya memiliki otonomi pajak yang relatif rendah
juga mengalami peningkatan praktek adopsi retribusi untuk menghasilkan pendapatan
tambahan (Bryson 2008).
3. Sistem administrasi dan anggaran pemerintahan pusat dan daerah.
Isu tentang desentralisasi fiskal tidak hanya terbatas pada sistem penerimaan untuk
pemerintah daerah, yaitu sistem transfer dan revenue assignments, tetapi juga
menyangkut efisiensi dari pengeluaran pemerintah. Efisiensi pada bagian pendapatan
tidak akan efektif jika tidak ada disiplin fiskal dari pengeluaran pemerintah dan
peningkatan

efisiensi

pengelolaan

anggaran

pusat

dan

daerah.

Kebijakan

penganggaran pada pemerintahan pusat dan daerah merupakan reformasi yang relatif
baru dilakukan untuk kasus Indonesia (Harun 2007). Perubahan terbaru pada proses
administrasi penganggaran di tingkat pusat dan daerah adalah menyatukan proses
penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah, yang bertujuan untuk memperkuat:
a. Akuntabilitas dari pengeluaran (input),
b. Keterkaitan dengan kinerja pemerintah (output), dan
c. Keterkaitan dengan pancapaian peningkatan aspek kesejahteraan di masyarakat
(outcome).
4. Penyediaan pelayanan publik dalam konteks penerapan SPM.
Dalam konteks penyediaan layanan publik, otonomi luas untuk tingkat kabupaten/kota
belum dikaitkan dengan skala ekonomis terkait dengan jenis pelayanan publik, hal yang
sama terjadi pada pembagian kewenangan untuk propinsi, yang sampai saat ini lebih
berfungsi sebagai lapisan representasi unit dan fungsi pemerintah pusat pada tingkat
lokal. Untuk itu, terkait dengan isu pemekaran wilayah, kriteria benefit costs dari
kebijakan pemekaran juga tidak disertai oleh kebijakan pemerintah pusat untuk tetap
mendasarkan administrasi pelayanan berdasarkan cakupan skala ekonomis dari
pelayanan publik yang terkait.
Penyediaan layanan publik melalui penerapan SPM seyogyanya mengkaitkan antaran
batasan sumberdaya dan penetapan target SPM sektor (Martinez-Vazquez et al. 2004,
Brodjonegoro 2004). Pengaturan standar pelayanan minimum (SPM) adalah langkah
pemerintah pusat untuk mempertahankan kesamaan akses pada penyampaian layanan
dasar, sehingga, konsep penerapan SPM harus juga mempertimbangkan diskresi bagi
pemerintah daerah. Namun demikian, konsep desentralisasi penyediaan barang publik
16

yang disesuaikan preferensi lokal, juga berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan


dalam akses dan kualitas pelayanan publik (Joumard dan Giorno 2005).
Visi Desentralisasi Fiskal Indonesia (menuju tahun 2030) ialah:
Alokasi Sumber Daya Nasional Yang Efisien Melalui Hubungan Keuangan Pusat dan
Daerah Yang Transparan dan Akuntabel.
Untuk menjabarkan visi tersebut, maka ditetapkan beberapa misi yang harus sebagai
berikut:
1) Mengembangkan hubungan keuangan pusat dan daerah yang meminimumkan
ketimpangan vertikal dan horizontal.
2) Mengembangkan sistem pajak daerah yang mendukung alokasi sumber daya
nasional yang efisien.
3) Mengembangkan keleluasaan belanja daerah yang bertanggung jawab untuk
mencapai standar pelayanan minimum.
4) Harmonisasi belanja pusat dan daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang
optimal.
Salah satu tujuan desentralisasi di Indonesia adalah meminimalisir ketimpangan
vertikal dan horizontal. Kebijakan desentralisasi fiskal yang pelaksanaannya dimulai pada
tahun 2001 bertumpu pada alokasi pusat kepada daerah yang dikenal sebagai dana
perimbangan. Dari data yang diperoleh, dapat ditunjukkan bahwa terjadi peningkatan secara
signifikan jumlah yang dialokasikan ke daerah untuk semua jenis dana perimbangan,
dimana peran DAU dalam dana perimbangan sangatlah menonjol, sedangkan peran DAK
adalah yang terkecil terhadap dana perimbangan. Besarnya peran DAU dan juga DBH juga
menunjukkan bahwa dalam era desentralisasi saat ini, pemerintah daerah memperoleh
kepercayaan yang sangat besar dalam penggunaan dana transfer dari pusat, mengingat
bahwa penggunaan kedua jenis dana perimbangan tersebut sama sekali tidak diatur oleh
pemerintah pusat.
Tabel Dana Perimbangan Tahun 2001 dan 2008

17

Dana Alokasi Umum (DAU)


DAU

merupakan

dana

perimbangan

yang

memiliki

tujuan

utama

adalah

pengurangan kesenjangan fiskal antar daerah. Dalam UU no.33/2004 telah dinyatakan


dengan tegas bahwa DAU dibagikan dengan formula yang didasarkan atas alokasi dasar
dan kesenjangan fiskal (fiscal gap). Alokasi dasar ditetapkan terutama berdasarkan
besarnya belanja pegawai, sedangkan kesenjangan fiskal dihitung dari selisih antara
kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Dengan masih adanya peran belanja pegawai,
mendorong pemerintah daerah untuk terus menambah jumlah pegawainya, terlepas dari
pertimbangan efisiensi pegawai. Selain itu, keberadaan variabel belanja pegawai dalam
formula DAU dianggap pula sebagai pencetus motivasi untuk melakukan pemekaran
daerah, karena bagi daerah otonom baru sebagai hasil pemekaran, mereka akan otomatis
membutuhkan pegawai yang pembiayaannya dijamin oleh alokasi DAU.
Sementara itu, perhitungan kebutuhan fiskal pada saat ini belum dilakukan dengan
menggunakan pendekatan kebutuhan belanja yang sesungguhnya, melainkan masih
menggunakan beberapa variabel pendekatan (proxy variables), diantaranya adalah: jumlah
penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB).
Kondisi yang diharapkan adalah:
1) DAU harus mampu mengatasi ketimpangan horizontal yang sampai saat ini masih
cukup tinggi, sebagai akibat adanya kebijakan-kebijakan yang justru mendistorsi
formulasi DAU untuk mencapai tujuan tersebut, seperti holdharmless policy dan
penggunaan belanja pegawai sebagai variabel.
2) Penilaian kebutuhan fiskal dalam formulasi DAU tidak lagi menggunakan proxy,
namun telah menggunakan alat ukur yang lebih mencerminkan kebutuhan riil tiaptiap daerah.
3) Penghitungan DAU dilakukan oleh lembaga yang independen yang terlepas dari
berbagai macam kepentingan politik. Pembagian DAU bukan dari kepentingan politik
tetapi kepentingan daerah dalam pengertian yang sebenarnya yaitu kepentingan
pemenuhan kebutuhan pelayanan minimum.
Dana Alokasi Khusus (DAK)
DAK merupakan suatu bentuk transfer pusat guna mendanai kewenangan yang telah
didesentralisasikan, yang juga sekaligus mengemban tugas untuk mendukung prioritas
nasional. Sebagaimana terdapat di banyak negara lain, maka bentuk transfer yang bersifat
specific grant akan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjaga keselarasan
arah pembangunan nasional. Di samping itu, DAK di Indonesia juga mempunyai fungsi
18

untuk menjembatani pencapaian standar pelayanan minimum secara nasional, yang berarti
bahwa DAK selayaknya dilakosikan kepada daerah tertentu yang belum bisa mencapai
kualitas standar nasional pelayanan publik sebagaimana yang diharapkan. DAK tidak
dialokasikan kepada semua daerah, namun hanya kepada daerah tertentu yang mempunyai
kondisi khusus.
Sejak dilakukannya kebijakan desentralisasi fiskal pada tahun 2001, sangat
dirasakan tidak jelasnya peran dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam membiayai otonomi
daerah. Euforia terhadap desentralisasi dan otonomi daerah pada tahun 2000 tampaknya
mengakibatkan pengambil keputusan untuk lebih memberikan prioritas kepada alokasi dana
transfer, seperti DAU dan DBH, yang memberikan diskresi yang luas bagi pemda untuk
mengatur penggunaannya. Sebagai akibatnya, peran DAK yang dapat dijadikan stimulus
tercapainya target pembangunan nasional dan mengedepankan eksternalitas dari
pelayanan publik daerah menjadi terabaikan. Hal ini tampak dari alokasi DAK yang hanya
sebesar 700,9 Milyar Rupiah pada tahun 2001. Alokasi DAK inipun pada dasarnya adalah
alokasi dana reboisasi, yang seperti diamanatkan oleh Undang-undang pada saat itu (UU
No.25/1999) sebagian didaerahkan kembali dalam bentuk alokasi DAK.
Namun sejalan dengan waktu dan menguatnya kebutuhan untuk pemenuhan
berbagai program prioritas nasional, maka peran DAK menjadi meningkat. Besarnya alokasi
DAK pada tahun 2008 telah menjadi 21.202 Milyar Rupiah, suatu peningkatan sangat
signifikan dibandingkan dengan alokasi DAK tahun 2001. Namun demikian, alokasi DAK
yang pada saat ini hanya sebesar 8,05 % dari total dana perimbangan, relatif masih rendah
peranannya dalam mendukung kebijakan desentralisasi fiskal.
Selain itu, DAK masih dirasakan belum jelas arah dan kegunaannya. Seperti
diketahui, jenis-jenis DAK saat ini meliputi 12 (dua belas) bidang, yaitu : Pendidikan,
kesehatan,

jalan,irigasi,air

bersih,

kelautan

dan

perikanan,

pertanian,

prasarana

pemerintahan, lingkungan hidup,kependudukan dan kehutanan. Dengan demikian, jumlah


alokasi DAK yang meningkat pada dasarnya terbagi atas alokasi untuk banyak bidang,
sehingga efektivitas alokasi DAK per bidang menjadi sangat minimal.

19

REFERENSI
Ahmad Burhanudin Taufiq. 2010. Analisis Belanja Publik dan Penerapan Standard Costing
pada Manajemen Penganggaran Dana Alokasi Umum (DAU) Suatu Kajian Alternatif
Pendekatan Transfer Fiskal. Jakarta: Universitas Indonesia.
Budi Mulyana, Subkhan, Kuwat Slamet. 2006. Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi
Fiskal dan Pengelolaan APBD di Indonesia. Jakarta: Lembaga Pengkajian Keuangan
Publik dan Akuntansi Pemerintah.
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Negara. Grand Design Desentralisasi Fiskal
Indonesia.
Kusnu Goesniadhie S. 2009. Analisis Mewujudkan Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
Universitas Wisnuwardhana Malang: Jurnal Hukum Maksigama, Fakultas Hukum
Universitas Wisnuwardhana Malang, Vol. XXXIII, No.1, ISSN: 1410-8763, hal. 1-27.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

20

Vous aimerez peut-être aussi