Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
1 Asma
2.1.1 Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan.1,2,3
2.1.2 Epidemiologi
Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4
5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial terjadi
pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia dini. Sekitar separuh kasus timbul
sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia
kanak-kanak terdapat predisposisi laki-laki : perempuan = 2 : 1 yang kemudian menjadi sama
pada usia 30 tahun.2
Kira-kira 220% populasi anak dilaporkan pernah menderita asma. Belum ada
penyelidikan menyeluruh mengenai angka kejadian asma pada anak di Indonesia, namun
diperkirakan berkisar antara 510%. Dilaporkan di beberapa negara angka kejadian asma
meningkat, misalnya di Jepang. Australia dan Taiwan. Di poliklinik Subbagian Paru Anak
FKUI-RSCM Jakarta, lebih dari 50% kunjungan merupakan penderita asma. Jumlah
kunjungan di poliklinik Subbagian Paru Anak berkisar antara 12.00013.000 atau rata-rata
12.324 kunjungan pertahun. Pada tahun 1985 yang perlu mendapat perawatan karena
serangan asma yang berat ada 5 anak, 2 anak di antaranya adalah pasien poliklinik paru.
Sedang yang lainnya dikirim oleh dokter luar. Tahun 1986 hanya terdapat 1 anak dan pada
tahun 1987 terdapat 1 anak yang dirawat karena serangan asma yang berat.2
2.1.2 Patogenesa
Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul
mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Mekanisme utama
timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama
asma adalah untuk mengatasi bronkospasme.8
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas,
melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan
peningkatan reaktivitas saluran napas.Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik
adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen
saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak
bergejala. 1,3.8
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan
manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi
memberikan kontribusi pada 40 % penderita asma anak dan dewasa.8
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya
menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk Ig E spesifik oleh sel plasma. Ig E
melekat pada Fc reseptor pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya
dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat ( immediate asthma reaction). Terjadi
degranulasi sel mast, dilepaskan mediator-mediator : histamin, leukotrien C4(LTC4),
prostaglandin D2(PGD2), tromboksan A2, tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan
spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, oedema, peningkatan permeabilitas kapiler,
disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma
akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali( serangan asma hilang) dengan pengobatan.8
Setelah 6- 8 jam maka terjadi proses selanjutnya , disebut reaksi asma lambat (late
asthma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL3, IL4, GM-CSF yang diproduksi oleh sel mast
dan sel limfosit T yang teraktivasi, akan mengaktifkan sel-sel radang : eosinofil, basofil,
monosit dan limfosit. Sedikitnya ada dua jenis T-helper (Th), limfosit subtipe CD4+ telah
dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL 3
dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM CSF), Thl terutama
memproduksi IL 2, IF gamma dan TNF beta sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin
yang terlibat dalam asma, yaitu IL 4, IL 5, IL 9, IL 13, dan IL 16. Sitokin yang
dihasilkan oleh Th2 bertanggungjawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat .
Masing masing sel radang berkemampuan mengeluarkan mediator inflamasi. Eosinofil
memproduksi LTC4, Eosinophil Peroxidase (EPX), Eosinophil Cathion Protein (ECP) dan
Major Basic Protein (MBP). Mediator-mediator tersebut merupakan mediator inflamasi yang
menimbulkan kerusakan jaringan. Sel basofil mensekresi histamin, LTC4, PGD2. Mediator
tersebut dapat menimbulkan bronkospasme. Sel makrofag mensekresi IL8, platelet activating
factor (PAF), regulated upon activation novel T cell expression and presumably secreted
(RANTES) .Semua mediator diatas merupakan mediator inflamasi yang meningkatkan proses
keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator inlamasi tersebut akan membuat
kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel,
penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan
spesifik maupun non spesifik.Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan
lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan
berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.8
Remodeling Saluran Napas
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses
reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang
menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair.
Kerusakan epitel bronkus adalah akibat dilepaskannya sitokin dari sel inflamasi seperti
eosinofil. Kini dibuktikan bahwa otot polos saluran napas juga memproduksi sitokin dan
kemokin seperti eotaxin, RANTES, GM-CSF dan IL-5, juga faktor pertumbuhan dan
mediator lipid, sehingga mengakibatkan penumpukan kolagen di lamina propia. 8
Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil
Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami
hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi
pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal (pseudothickening),
hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan
semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen
bronkus yang persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis.8
Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel
bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat antiinflamasi
tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan
obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada
penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai
asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini
mencurigakan bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses
inflamasi. Apabila intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi
tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses remodeling.8
2.1.4 Patofisiologi
Tanda patofisiologik asma adalah penurunan diameter jalan napas yang disebabkan
oleh kontraksi otot polos, kongesti pembuluh darah, edema dinding bronkus dan sekret kental
yang lengket. Hasil akhir adalah peningkatan resistensi jalan napas, penurunan ekspirasi
paksa (forced expiratory volume) dan kecepatan aliran udara, hiperinflasi paru dan toraks,
peningkatan kerja bernapas, perubahan fungsi otot-otot pernapasan, perubahan rekoil elastik
(elastic recoil), penyebaran abnormal aliran darah ventilasi dan pulmonal dengan rasio yang
tidak sesuai dan perubahan gas darah arteri. Pada dasarnya asma diperkirakan sebagai
penyakit saluran napas, sesungguhnya semua aspek fungsi paru mengalami kerusakan selama
serangan akut. Pada pasien yang sangat simtomatik seringkali ditemukan hipertrofi ventrikel
kanan dan hipertensi paru pada elektrokardiografi. Seorang pasien yang dirawat, kapasitas
vital paksa (forced vital capasity) cenderung kurang dari atau sama dengan 50% dari nilai
normal. Volume ekspirasi 1 detik rata-rata 30% atau kurang dari yang diperkirakan,
sementara rata-rata aliran mid ekspiratori maksimum dan minimum berkurang sampai 20%
atau kurang dari yang diharapkan. Untuk mengimbangi perubahan mekanik, udara yang
terperangkap (air trapping) ditemukan dalam jumlah besar.1,8
2.1.5 Diagnosis
UKK Pulmonologi PP IDAI telah membuat pedoman nasional asma dengan gejala
awal berupa batuk dan/atau mengi. Pada alur diagnosis selain anamnesis yang cermat
beberapa pemeriksaan penunjang juga perlu dilakukan tergantung pada fasilitas yang tersedia.
KNAA (Konsensus Nasional Asma Anak) memberi batasan sebagai berikut: Asma adalah
mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik timbul secara episodik,
cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta
mempunyai riwayat asma atau atopi lain dalam keluarga atau penderita sendiri.1
Sedangkan GINA mendefinisikan asma secara lengkap sebagai berikut: gangguan
inflamasi kronis saluran napas dengan banyak sel yang berperan, antara lain sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode mengi
yang berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada waktu malam atau
dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas dan
bervariasi, sebagian besar bersifat reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan.
Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap pelbagai
rangsangan.1,3
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Uji fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter. Diagnosis asma dapat
ditegakkan bila didapatkan :
Variasi pada PFR (peak flow meter = arus puncak ekspirasi) atau FEV1 (forced
expiratory volume 1 second = volume ekspirasi paksa pada detik pertama) 15%
Kenaikan 15% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator
menunjang diagnosis. Foto toraks untuk melihat adanya gambaran emfisematous atau adanya
komplikasi pada saat serangan.1
2.1.7 Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana asma secara umum adalah untuk menjamin tercapainya proses
tumbuh kembang secara optimal. Penatalaksanaan asma secara global yang dianjurkan oleh
WHO meliputi; pencegahan dan kontrol lingkungan hidup, terapi farmakologi, pemakaian tes
objektif faal paru untuk menilai dan memonitor perjalanan asma, edukasi asma pada
penderita. Pengobatan asma didasarkan pada keadaan penderita asma, artinya saat eksaserbasi
atau saat di luar serangan. Pada saat serangan, asma dapat digolongkan dalam keadaan asma
ringan, asma sedang dan asma berat. Diluar serangan pembagian asma menjadi 3, yaitu asma
episodik jarang, asma episodik sering, asma persisten (asma berat dan asma sangat berat).1,2,3
Obat asma dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan
obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan pada saat eksasertasi atau saat gejala
asma sedang timbul dan apabila serangan sudah teratasi maka obat ini dihentikan.1,10
Termasuk obat pereda asma adalah: inhalasi agonis b2 aksi cepat (terbutalin,
salbutamal, orsiprenalin, fenoterol), steroid sistemik (prednison, prednisolon, metil
prednisolon), inhalasi anti kolinergik (ipratropium bromid, oksitropium bromid), xantinergik
aksi cepat (teofilin), agonis aksi cepat oral (terbutalin, salbutamol, orsiprenalin,
heksoprenalin, trimetokuinol). Obat pengendali asma digunakan untuk pencegahan dan untuk
mengatasi masalah inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus
menerus dalam jangka waktu relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan respon
terhadap pengobatan. Termasuk obat ini adalah: inhalasi anti inflamasi non steroid
(kromoglikat, nedokromil), inhalasi steroid (beklometason, budesonid, triamsionolon,
flunisonid dan flutikason dipropionat), inhalasi atau oral agonis beta 2 aksi lambat
( prokaterol, bambuterol, salmeterol, klenbuterol), dan golongan obat oral lepas lambat
(terbutalin, salbutamol, teofilin), antihistamin (ketotifen), anti leukotrin (zafirlukas).1,2,3
Pemberian obat inhalasi pada anak harus disesuaikan dengan umur. Lebih dari 50%
anak dengan asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa (metered dose inhaler).Tabel
berikut memperlihatkan anjuran pemakaian alat inhalasi disesuaikan dengan usianya.3
napas. Oleh karena itu, kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi spektrum luas, sehingga
berdampak pada berkurangnya aktivasi inflamasi, stabilisasi kebocoran vaskular, penurunan
produksi mukus dan peningkatan respon -adrenergik.12
Kortikosteroid menembus membran sel dan akan berikatan dengan reseptor
glukokortikoid yang banyak terdpat pada sitoplasma sel target. Selanjutnya kompleks
tersebut akan masuk ke dalam nukleus dan berikatan dengan elemen respon glukokortikoid
yang spesifik (specific glucocorticoid response element) untuk dapat mengatur transkripsi
gen. Jadi kortikosteroid mengendalikan inflamasi melalui proses transkripsi gen , suatu
proses yang rumit, memerlukan waktu 6 12 jam. Mekanisme utama steroid pada asma
diduga melalui inhibisi pembentukan sitokin tertentu, seperti IL1, TNFa, GM-CSF, IL-3, IL4, IL-5, IL-6, dan IL-8. Disisi lain steroid juga meningkatkan pembentukan reseptor 2
sehingga mampu mencegah reaksi takifilaksis akibat pemakaian obat 2 agonis jangka
panjang. Steroid juga mempercepat regenerasi sel epitel, dan jangka panjang juga
mengurangi jumlah sel mast.12,13
2.3.2 Preparat steroid inhalasi.
Preparat steroid inhalasi dirancang dengan tujuan untuk mendapatkan efek topikal
pada saluran pernapasan yang maksimal dan efek samping sistemik yang minimal.Sekitar
70% - 90% dari dosis obat yang diinhalasi akan terdeposisi di orofaring, sebagian tertelan
masuk ke lambung, hanya 10% - 30% yang akan mencapai paru. Obat yang diabsorpsi
melalui saluran pencernaan kemudian akan mengalami proses inaktivasi di hepar.
Selanjutnya, baik obat yang tertelan maupun obat yang terdeposisi di paru akan diabsorpsi
masuk sirkulasi sistemik.14
Bioavaibilitas sistemik preparat inhalasi steroid adalah jumlah obat yang diabsorpsi
melalui paru-paru dan jumlah obat yang diabsorpsi melalui saluran pencernaan (obat yang
tertelan dan obat yang lolos dari proses inaktivasi di hepar). Obat steroid inhalasi yang
mencapai paru-paru hampir seluruhnya diabsorpsi, sehingga keseimbangan antara efek terapi
dan efek samping sistemik sepenuhnya tergantung pada bioavaibilitas obat yang tertelan. Hal
ini penting dipertimbangkan, karena pada anak kecil sangat besar kemungkinan obat
tertelan.13