Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PTERYGIUM
Disusun Oleh :
Rizky Fachmia B.
Dyah Puspitarini
Faradhia Zauhara
115070100111091
115070107111068
125070101111002
Pembimbing :
dr. Ovi Sofia, Sp.M.
BAB I
PENDAHULUAN
case
control
dari
Australia
membuktikan
bahwa
pterygium
dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko. Ditemukan bahwa pasien pterygium lebih
banyak pada pasien yang bermukim di daerah tropis, berhubungan dengan debu, dan
terpapar langsung ultraviolet (Stephen & Antony, 2004). Distribusi frekuensi pterygium
juga dipengaruhi usia. Pterygium jarang ditemukan pada pasien berusia di bawah 20
tahun. Pterygium umumnya dialami setelah usia 20 tahun, dan pasien di atas 40 tahun
memiliki prevalensi pterygium tertinggi (Fisher, 2013).
Pterygium tahap awal biasanya tidak menyebabkan penurunan visus. Keluhan
awal dari penderita pterygium adalah rasa tidak nyaman dan mata terlihat sedikit
merah. Akan tetapi pada saat bertumbuh lebih jauh, dapat menyebabkan penurunan
visus (NHS, 2011). Hal ini menjadi dasar pentingnya pengetahuan lebih dalam seputar
penyakit pterygium serta tatalaksananya.
Dalam makalah kasus panjang ini akan penulis laporkan sebuah laporan kasus
mengenai pasien yang mengalami penglihatan yang kabur pada mata kiri pasien oleh
karena pterygium grade 2 di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Saiful Anwar Malang.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi, faktor resiko, dan etiologi pterygium?
komplikasi
serta
tidak
sampai
menimbulkan
penurunan
tajam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak
bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium
berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterygium
adalah lipatan berbentuk sayap pada konjungtiva dan jaringan fibrovaskular yang telah
menginvasi kornea superficial. Kebanyakan pterygium ditemukan di bagian nasal dan
bilateral. Pterygium dibagi menjadi 3 bagian yaitu body, apex (head), dan cap. Bagian
segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya ke arah kantus disebut body,
sedangkan bagian atasnya disebut apex, dan ke belakang disebut cap. Subepitelial
cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterygium
(American Academy of Ophtalmology, 2008; Droutsas & Sekundo, 2010).
2.2 Epidemiologi
Kasus pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung
pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor
yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada
daerah berdebu dan kering. Insiden pterygium di Indonesia yang terletak di daerah
ekuator, yaitu 13,1 %. Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang
umur 20-49 tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren
lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua.
Terdapat sekitar 3,34 hingga 5,61 per 100 penduduk Indonesia mengalami gangguan
Riskesdas, 2013).
2.3 Faktor resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi
ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter
(Edward, 2002):
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium
adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan
konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang,
waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor
penting.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium
dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterygium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.
3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal
defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Dalam
beberapa penelitian juga didapatkan pterygium angiogenesis factor dan
penggunaan
pharmacotherapy
antiangiogenesis
sebagai
terapi.
Debu,
kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye
dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.
2.4 Etiologi dan Pathogenesis
Etiologi dari pterygium tidak diketahui secara pasti. Namun pterygium lebih
banyak dijumpai pada orang-orang yang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, diduga
pterygium disebabkan karena iritasi kronis dari faktor-faktor lingkungan seperti terpapar
matahari (sinar ultraviolet), udara panas dan kering, udara berangin, dan debu yang
banyak (Khurana, 2007).
Patogenesis terjadinya pterygium belum diketahui dengan jelas. Beberapa
penelitian menunjukkan korelasi pterygium dengan paparan sinar UV, inflamasi,
paparan angin, debu dan iritasi kronis lainnya. Pterygium ditemukan lebih sering terjadi
pada daerah dengan paparan tinggi sinar UV khususnya pada ekuator. Selain itu,
pterygium juga banyak ditemukan pada pekerja aktif diluar ruangan (American
Academy of Ophthalmology, 2008).
Bedah eksisi adalah satu satunya pengobatan yang memuaskan yang dapat
diindikasikan untuk, menurut Ziegler :
Mengganggu visus
Mengganggu pergerakan bola mata
Berkembang progresif
Mendahului suaru operasi intraokuler
Kosmetik
eksisi.
5. Conjungtival graft
Suatu free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian
superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan
dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan.
6. Teknik cangkok membran amnion
Penggunaan
pertama
teknik
cangkok
membran
amnion
ini
dan
anti-angiogenik,
sehingga
jaringan
ini
sesuai
untuk
kondisi adanya defek konjungtiva yang luas dan perlu ditutupnya sklera.
Membran amnion ini tidak memiliki Human Leukocyte Antigen (HLA),
sehingga tidak ada resiko penolakan. Keuntungan dari teknik ini dibanding
yang lain adalah durasi pembedahan yang lebih singkat, tidak terlalu nyeri
di mata, proses penyembuhan yang lebih cepat, dan biasanya secara
kosmetik lebih bagus (Todorovic et al., 2016).
2.9 Komplikasi
Komplikasi meliputi distorsi dan atau pengurangan penglihatan sentral,
kemerahan, iritasi, jaringan parut pada konjungtiva dan kornea serta keterlibatan yang
luas dari otot otot ekstraokuler dapat membatasi motilitas okular dan berkontribusi
terhadap terjadinya diplopia. Pada pasien yang belum menjalani bedah eksisi, jaringan
parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari diplopia. Pada pasien
dengan pterygium yang sebelumnya telah menjalani eksisi bedah, jaringan parut atau
disisertion dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari diplopia.
Komplikasi pasca operasi pterygium dapat meliputi sklera dan atau kornea
yang menipis atau ekstasia dapat muncul beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun
setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk ditangani.
Komplikasi yang paling umum dari operasi pterygium adalah rekurensi. Bedah
eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50 80%. Tingkat rekurensi
telah berkurang menjadi sekitar 5 - 15% dengan penggunaan autografts konjungtiva/
limbal atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi (Fisher Pj, 2012).
2.10 Prognosis
Pada umumnya aspek kosmetik dan visual pada pasien pterygium yang telah
dilakukan pembedahan memiliki prognosis yang baik. Walaupun terdapat sedikit rasa
tak nyaman pada pasien setelah operasi, kebanyakan pasien dapat melanjutkan
beraktivitas 48 jam setelah pembedahan. Akan tetapi, pterygium sering mengakibatkan
rekurensi,
sehingga
penting
dilakukan
tindakan-tindakan
pencegahan
untuk
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama
Jenis kelamin
Usia
Alamat
Pekerjaan
Agama/Suku
No. Register
: Ny. S
: Perempuan
: 45 tahun
: Ds. Tutuling Jaya Halmahera Timur
: Ibu Rumah Tangga
: Islam/Jawa
: 11301xxx
3.2 Anamnesa
3.2.1 Keluhan utama
Keluhan utama pasien ini adalah mata kiri merah dan mengganjal.
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh mata mengganjal dan merah bila terkena air pada mata kiri
sejak 1 tahun yang lalu. Sejak 5 tahun yang lalu terdapat selaput yang menutupi mata,
semakin lama semakin membesar. Sebelum muncul keluhan ini, pasien sering
mengalami mata merah dan gatal. Pandangan kabur (-), cekot cekot (-), nrocoh (-),
silau (-). Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga namun pasien juga memiliki
ternak sapi dan sering menggembala sapi miliknya.
3.2.3 Riwayat Penyakit Terdahulu
Pasien tidak pernah mempunyai keluhan yang serupa sebelumnya. Pasien
mempunyai riwayat hipertesi dan berobat dengan teratur. Pasien tidak mempunyai
penyakit diabetes mellitus. Pasien pernah di operasi daging tumbuh pada mata kanan
kurang lebih 20 tahun yang lalu.
3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang serupa dengan pasien.
3.2.5 Riwayat Pengobatan
Pasien berobat ke RKZ kurang lebih 3 tahun lalu dan diberi obat tetes, tetapi
setelah itu pasien tidak kembali untuk kontrol.
3.3 Pemeriksaan Fisik
3.3.1 Pemeriksaan Oftalmologi (Pada tanggal 28 Juli 2016)
VISUS
POSISI BM
GERAKAN BM
PALPEBRA
CONJUNCTIVA
Lekoma (+)
CORNEA
Dalam
Rad line (+)
Bulat, 3mm, RP (+),
Jernih
14,3 mmHg
C.O.A.
IRIS
PUPIL
LENSA
T.I.O.
jaringan
Gambar 3.1
Mata Kanan Pasien. Terdapat lekoma
3.4 Assesment
Gambar 3.2 Mata Kiri saat Follow Up. Terdapat graft yang menempel dengan
baik di konjungtiva bulbi
Assesment :
kacamata bila keluar rumah untuk melindungi mata dari paparan sinar UV
Asam mefenamat 3 x 1
Tobroson ed 6 x 1 OS
Protagent A ed 6 x 1 OS
5/5F
Orthoporia
VISUS
POSISI BM
GERAKAN BM
5/5
Orthoporia
1.8
1.8
1.8
PALPEBRA
CONJUNCTIVA
Jernih
Dalam
Rad line (+)
Bulat, 3mm, RP (+),
Jernih
n/p
Prognosis
Ad visam
Ad sanam
Ad fungsionam
Ad kosmetika
CORNEA
C.O.A.
IRIS
PUPIL
LENSA
T.I.O.
1.8
1.8
1.8
1.8
1.8
1.8
1.8
1.8
: bonam
: dubia
: bonam
: bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan mata kiri merah dan mengganjal
bila terkena air sejak 1 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluhkan terdapat selaput
yang menutupi matanya sejak 5 tahun yang lalu. Diagnosis pterygium pada pasien ini
dapat ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis. Berikut ini akan dibahas temuan-
temuan pada pasien ini dan perbandingannya dengan teori untuk menegakkan
diagnosis.
Dari anamnesis, menurut literatur didapatkan keluhan berupa mata sering
berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan
keluhan berupa gangguan penglihatan (Ilyas, 2011). Keluhan pasien pada kasus ini
sesuai teori yang ada yaitu pasien mengeluhkan mata gatal dan merah bila terkena air.
Dari pemeriksaan fisik, menurut literatur pada inspeksi pterygium umumnya
nampak berbentuk segitiga yang tumbuh dari kelopak baik bagian nasal maupun
temporal yang menjalar ke kornea, umumnya berwarna putih, akan tetapi bisa
berwarna merah apabila terkena iritasi (Tradjutrisno, 2009). Pada pasien ini dapat
ditemukan adanya jaringan fibrovaskular di bagian nasal okuli sinistra, dengan apeks
jaringan fibrovaskular yang mencapai tepi limbus. Hal ini cocok dengan gambaran
pterygium.
Berdasarkan poin anamnesis serta pemeriksaan fisik di atas, maka diagnosis
pterygium pasien ini dapat ditegakkan, sehingga tidak diperlukan pemeriksaan
penunjang. Menurut Stephen 2004, diagnosis banding pterygium yaitu pinguekula dan
pseudopterygium. Namun paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko penyebab
pinguekula. Sedangkan pseudopterygium adalah akibat inflamasi permukaan ocular
sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau
ulkus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi pseudopterygium, cirinya tidak melekat
pada limbus kornea. Pada anamnesis, tidak didapatkan adanya riwayat trauma atau
kelainan pada mata sebelumnya dan lokasinya khas pterygium. Sehingga, diagnosis
banding pseudopterygium bisa dieliminasi. Selain itu, bentuk lesi pada pasien ini tidak
kekuningan dan bentuknya lebih sesuai dengan deskripsi pterygium, tidak seperti
pinguekula. Maka, dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa pasien terdiagnosis
dengan pterygium.
Setelah diagnosis pterygium ditegakkan, perlu ditentukan progresivitas dan
derajat pterygium pasien ini. Tipe pterygium dibagi menjadi tipe progresif dan regresif.
Pterygium tipe progresif memiliki karakteristik tebal dengan vaskularisasi dan jaringan
fibrovaskular yang banyak. Sedangkan tipe regresif memiliki karakteristik jaringan
fibrovaskular atropi dengan sedikit pembuluh darah (Khurana, 2007). Pada pasien ini
tidak ditemukan adanya pembuluh darah dan jaringan fibrovaskularnya tipis, maka
pasien berada dalamtipe regresif (inaktif).
Menurut Youngson, pasien ini termasuk dalam pterygium derajat 2 karena
pterygium sudah mencapai tepi limbus.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian
nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium
berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Kebanyakan
pterygium ditemukan di bagian nasal dan bilateral.
Pasien mengeluhkan mata kiri merah dan mengganjal bila terkena air sejak 1
tahun yang lalu. Pasien juga mengeluhkan terdapat selaput yang menutupi matanya
sejak 5 tahun yang lalu. Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya jaringan fibrovaskular
di bagian nasal okuli sinistra, dengan apeks jaringan fibrovaskular yang mencapai tepi
limbus serta adanya penurunan visus. Setelah operasi, pasien kontrol 6 hari kemudian
dan pasien masih mengeluh mata mengganjal. Dari pemeriksaan fisik ditemukan graft
yang menempel dengan baik serta tampak bekas jahitan di konjungtiva bulbi.
Terapi pterygium terdiri dari terapi konservatif dan pembedahan.
Penatalaksanaan tergantung dari derajat pterygium dan apakah terdapat gangguan
pada pengelihatan pasien ataupun tidak. Prognosis pasien dengan pterygium pada
umumnya baik. Pencegahan pterygium dapat dilakukan dengan menghindari faktorfaktor resiko terjadinya penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA
degenerations of the conjunctiva, cornea, and sclera chapter 17. In External Disease and
Cornea. Singapore: Lifelong Education Ophthalmologist. pp 366.
Ang Kpl, Chua Llj, Dan Htd., 2006. Current concepts and techniques in pterygium treatment.
Curr Opin Ophtalmol. 18: 308 -313.
Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI
Bowling, B. 2016. Kanskis Clinical Ophtalmology. 8th ed. Sydney: Elsevier.
Droutsas K and Sekundo W. 2010. Epidemiology of pterygium- a review. Ophtalmology 107(6):
511-6
Edward J H, Mark J. Mannis. 2002. Ocular Surface Disease, Medical Surgical management.
Fisher Pj. Pterygium. Updated : 2012. Available from : http://emedicine.medscape.com/
article/1192527-overview#showall (Diakses 4 Agustus 2016).
Fisher, Jerome P., 2013. Pterygium. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/
1192527-overview. [Accessed August, 3rd 2011].
Gondhowiardjo D, Tjahjono., 2006. Pterygium. Panduan Manajemen Klinis Perdami. Jakarta:
CV. Ondo.
Ilyas, Yaslis. 2011. Kinerja, Teori, Penilaian dan Pelatihan. Jakarta. BP FKUM UI
Jerome, P. F., 2011. Pterygium (Online). http://emedicine.medscape.com/article/1192527.
(Diakses 4 Agustus 2016)
Khurana, A.K. 2007. Comprehensive Ophtalmology Fourth Edition. New Delhi : New Age
International Publishers.
O'Brien, K.P., Remm, M., dan Sonnhammer, E.L. 2005. Inparanoid: a comprehensive database
of eukaryotic orthologs. Nucleic Acids Res. 33: D476480
Shintya, Djajakusli., Rukiah Syawal, Junaedi Sirajuddin, dan Noor Syamsu. The Profile of Tear
Mucin Layer and Impression Cytology in Pterygium Patients. Jurnal OftalmologiIndonesia
(JOI), Vol. 7. No. 4 Desember 2010: 139143
Stephen GW. Pterygium in Duane's Clinical Ophthalmology, chapter 35, vol 6, Lippincont
William & Wilkin, 2004
Todorovic, D., Vulovic, T. S., et al. 2016. Updates on the Treatment of Pterygium.Ser J Exp Clin
Res,17(1):1-1.
Waller G, Antony, Stephen, Adams P. 2003. Pterygium, Duanes Clinical Ophthalmology,
Chapter 35.
World Health Organization. Visual impairment and blindness in 2011. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs282/en/ [Accesed 2016 August 3]