Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Oleh:
Amega Furi Masta
115070107111075
Gustika ayu S
115070107111084
Athira Fitriah
115070107121012
115070107111084
Periode :
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia akibat defek pada insulin, baik karena adanya gangguan
sekresi insulin maupun resistensi terhadap insulin. Progresifitas DM biasanya
berjalan lambat disertai dengan gejala-gejala yang ringan sampai dengan gejalagejala yang berat, bahkan dapat menyebabkan kematian, baik akibat komplikasi
akut maupun kronis (International Diabetes Federation, 2014). DM merupakan
salah satu non-communicable diseases sebagaimana penyakit yang dijuluki
seperti ini contohnya dislipidemia dan hipertensi yang trennya semakin
meningkat dewasa ini, seiring perubahan gaya hidup ke arah sedenter dan
konsumsi makanan tinggi kalori, lemak, dan natrium (Permana, 2009).
DM yang sering terjadi adalah DM tipe 2. Diabetes militus tipe 2,biasanya
disebut NIDDM,adalah kerusakan genetik dan faktor lingkungan. DM tipe 2
adalah tipe paling umum dari diabetes militus yang meliputi 90% dari semua
populasi diabetes. Biasanya didiagnosa setelah umur 40 tahun dan umumnya
menyerang orang dewasa, orang yang gemuk dan pastinya populasi etnik dan
ras. Pada usia muda sering terjadi pada dekade kedua kehidupan rata-rata usia
13,5 tahun. Hal ini berhubungan dengan puncak pubertas dan secara fisiologi
terjadi resistensi insulin pada usia muda. (IDAI hal 161)
Proses yang terjadi adalah resistensi sel tubuh terhadap insulin baik
secara predominan maupun dominan, dimana biasanya DM tipe 2 disertai juga
dengan adanya defisiensi maupun defek sekresi insulin (International Diabetes
Federation, 2014).
Diabetes Melitus telah menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling
serius di abad 21 (Donath et al., 1999). Pada tahun 2013, jumlah penderita DM
usia 20-79 tahun di dunia berkisar 382 juta dan diperkirakan akan meningkat
menjadi 592 juta pada 20 tahun kedepan (International Diabetes Federation,
2014). Indonesia menempati peringkat ke-7 di dunia sebagai negara dengan
jumlah penderita diabetes melitus terbanyak yaitu 5 juta orang pada tahun 1998
(Sudoyo et al., 2007) dan diperkirakan pada tahun 2030 akan didapatkan 21,3
juta jiwa penderita diabetes melitus (Depkes, 2013). Diganti epidemiologiny atira
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
1.2.2
1.2.3
1.2.4
Bagaimana prognosis dan apa saja komplikasi dari DM tipe 2 pada anakanak?
1.3
Tujuan
1.3.1
1.3.2
1.3.3
1.3.4
1.4
Manfaat
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
diabetes. Sekitar 50% kasus orang dengan DM tipe 1 muncul pada usia dewasa
Gambar 1. Rata-rata insiden DM tipe 1 di berbagai negara (Ramin & Omar, 2011)
Menurut data IDF (2011), jumlah anak di dunia (usia 0-14 tahun) dengan
DM tipe 1 adalah sebanyak 490.100, dengan penambahan kasus baru sebanyak
77.800 anak per tahun. Di indonesia sendiri, berdasarkan data registrasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2012, insiden DM tipe 1 berkisar 0,2-0,42 per
100.000 anak per tahun (bervariasi di setiap provinsi)(Ramin & Omar, 2011).
Diabetes Mllitus tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin . DM tipe 2 ini
merupakan penyakit metabolik yang prevalensinya meningkat dari tahun ke
tahun . Penyakit ini
Gambar 2.1Perkembangan Fungsi Sel Beta Pankreas pada DM Tipe 1(van Belle et al., 2011)
oleh
APC
(Antigen
presenting
cells)
dan
ditranser
menuju
IL-1
menyebabkan
sel
beta
menghentikan
produksi
insulin
bulan sampai satu tahun, yaitu suatu periode dimana ditemukannya kadar
glukosa darah tidak sampai tahap hiperglikemia yang biasanya menjadi
pengecoh dalam penanganan DM tipe 1 (Van Belle et al., 2011).
Seiring dengan perjalanan patogenesis DM tipe 1 ditemukan adanya
peningkatan kadar ICA512, GAD-65, IA-2A, IAA dan ZnT8t. Peningkatan ini
disebabkan oleh beberapa faktor pencetus seperti infeksi virus dan faktor
lingkungan sehingga mengaktifkan sel limfosit T yang berada di islet
(peripancreatic lymph node) dan sirkulasi (Suryono dkk., 2013). Infiltrasi sel
limfosit T memicu pelepasan beberapa sitokin [Tumor Necrosis Factor (TNF-),
interferon , dan interleukin 1 [IL-1]) yang menimbulkan peradangan pada sel
beta (insulitis) dan akhirnya menyebabkan kerusakan permanen sel beta
pankreas (Longo et al., 2011).
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu resistensi insulin dan disfungsi sel -pankreas. Akhir-akhir ini banyak juga
dibahas mengenai peran sel pancreas, amilin dan sebagainya.
Resistensi
insulin adalah keadaan dimana insulin tidak dapat bekerja optimal pada selsel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar. Keadaan
resisten
,sehingga
terjadi
hiperinsulinemia
kompensatoar
untuk
penyakit
mulai
DM
tipe
2,kadar
glukosa
darah
meningkat
walaupun
Tabel 2.1 Faktor-faktor yang menurunkan respons jaringan terhadap insulin(Longo et al.,
2011)
Inhibitor prareseptor
Antibodi terhadap insulin
Inhibitor reseptor
Down regulation receptor yang disebabkan oleh
hiperinsulinisme; hiperinsulinisme primer (adenoma sel
), hiperinsulinisme sekunder terhadap defek pasca
reseptor (obesitas, sindrom Cushing, akromegali,
kehamilan) atau hiperglikemia yang lama (diabetes
melitus, pasca uji toleransi glukosa)
Kelainan pascareseptor
Respons yang jelek terhadap organ sasaran akibat
obesitas, penyakit hepatik, inaktivitas otot
Kelebihan hormon
Glukokortikoid, hormon pertumbuhan, kontrasepsi oral,
progesteron, somatomamotropin chorionic manusia,
katekolamin,tirosin
Pada dasarnya
(walaupun
telah
dikompensasi
dengan
hiperinsulinemia)
tipe
Glukagon
ada
berperan
peran
pada
sel pankreas
yang
produksi glukosa
di
menghasilkan
hepar
pada
glukagon.
keadaan
10
11
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
viii.
Anamnesis
Anak dengan Diabetes Melitus tipe 1 biasanya menunjukkan gejala
asimptomatis pada 73 % pasien. Tetapi dapat pula muncul gejala khas pada
pasien berupa poliuri, polidipsi, mudah lelah, dan penurunan berat badan yang
tidak diketahui penyebabnya. Pada anak juga bisa muncul eneuresis nokturnal
(pada anak besar dan dehidrasi sedang hingga berat karena cairan tubuh
banyak keluar melalui urin. Selain itu juga terdapat gejala lain yang lebih jarang
muncul seperti polifagia, pandangan kabur, parestesia pada kaki, luka yang sulit
sembuh, kulit kering dan gatal, atau gejala ketoasidosis (tanda-tanda asidosis,
nafas kussmaul, nafas bau keton, dan penurunan kesadaran) (Tanto, 2014).
2.7.2
Pemeriksaan Fisis
12
Hasil dari pemeriksaan fisik pada anak dengan DM, dapat ditemukan
tanda kurus dan dehidrasi ringan, pada diabetes awal biasanya tidak ada gejala
spesifik. Insiden yang banyak pada anak DM tipe 1 adalah gejala yang
berhubungan dengan autoimmune endocrinopathies (misalnya penyakit tiroid
dengan gejala aktivitas berlebihan atau kurang aktivitas dan kemungkinan goiter
terpalpasi). Penemuan katarak cukup jarang, umumnya pada anak perempuan
dengan long prodrome of mild hyperglycemia. Dapat pula ditemukan dilatasi
venula retina dan gambaran kapiler mikroaneurisma (kondisi background
retinopathy) yang merupakan gejala awal dari diabetik retinopati. Komplikasi
yang bisa dialami oleh anak DM tipe 1 adanya tanda-tanda dehidrasi (mulut
kering, mata cowong, dan penurunan turgor kulit) yang didapatkan pada kondisi
ketoasidosis diabetik (Tanto, 2014).
2.7.3
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah tes glukosa darah dan tes
toleransi glukosa (TTG). Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar
glukosa darah kapiler <126 mg/dL (7mmol/L) (Tanto, 2014).
Tes Toleransi Glukosa adalah pemeriksaan penunjang yang dilakukan jika
terdapat kasus dengan diagnosis yang masih meragukan, yaitu ditemukan
gejala-gejala klinis yang khas untuk DM namun pemeriksaan kadar glukosa
darah tidak menyakinkan. Sebelum dilakukan pemeriksaan TTG, pasien harus
memenuhi syarat tidak sedang menderita suatu penyakit, tidak sedang dalam
pengobatan/minum obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah,
kadar gula darah sewaktu pasien sudah diperiksa, pasien harus diet tinggi
karbohidrat (sejumlah 150-200 gram karbohidrat per hari) selama tiga hari
berturut-turut, tidak ada batasan aktivitas fisik, dan puasa semalam menjelang
pemeriksaan TTG dilakukan. Sampel glukosa darah diambil dari pembuluh darah
13
vena pada menit ke-0 (sebelum diberikan glukosa oral) dan menit ke-120.Setelah
darah diambil pada menit ke-0, pasien minum larutan glukosa 1,75 g/kgBB
(maksimum 75 gram) dalam 200-250 ml air, yang dihabiskan dalam waktu 5
menit. Tunggu selang waktu 120 menit, kemudian ambil sampel darah dan cek
kembali kadar glukosanya. Seluruh sampel darahyang diambil selama proses
pemeriksaan langsung dimasukkan dalam wadah yang berisi pengawet EDTA/
heparin dan segera disimpan di lemari es atau langsung dilakukan sentrifugasi
agar kadar glukosa darah tidak turun. Kadar glukosa darah dapat berkurang
sebanyak 5% setiap jam apabila dibiarkan dalam suhu ruangan.Interpretasi hasil
tes toleransi glukosadisebut normal jika kadar glukosa darah puasa < 110 mg/dL
(6,7 mmol/L) dan kadar glukosa darah pada menit ke-120 menunjukkan < 140
mg/dL (7,8 mmol/L). Anak disebut menderita Diabetes Melitus (DM) apabila
kadar glukosa darah puasa 140 mg/dL (7,8 mmol/L) atau kadar glukosa darah
pada jam ke 2 200 mg/dL (11,1 mmol/L), sedangkan anak dikatakan menderita
toleransi gula terganggu (TGT) apabila kadar glukosa darah puasa < 140 mg/dL
(7,8 mmol/L) dan kadar glukosa darah pada menit ke 120 menunjukkan 140
199 mg/dL (7,8 11,1mmol/L) (Tanto, 2014).
Maka dapat disimpulkan bahwa diagnosis Diabetes Melitus(DM) dapat
ditegakkan
dari
hasil
anamnesis
gejala
klinis,
pemeriksaan
fisik,
dan
14
(ICAs),Glutamic
acid
decarboxylase
(GAD65A),
Insulin
yang
didukung
oleh
pemantauan
mandiri
(home
monitoring).
15
2.8.1.1 Edukasi
Studi yang dilakukan pada anak dengan DM tipe 1 telah menunjukkan
edukasi pasien dan keluarga, perawatan yang intensif, dan kontak lewat telepon
dengan tim diabetes berkaitan dengan penurunan angka rawat inap, kunjungan
ke IGD, dan keseluruhan biaya. Edukasi harus bersifat personal sesuai dengan
kepentingan tiap individu yang berbeda (Rustama et al., 2011).
Edukasi diabetes yang tepat untuk anak dan keluarga dari anak dengan
diabetes tipe 1 cukup kompleks.Manajemen anak dengan Diabetes Tipe 1
disesuaikan dengan onset terjadinya penyakit. Jika bayi (kurang dari 1 tahun)
didiagnosis
diabetes,
orangtua
harus
beradaptasi
pada
diagnosis
dan
Tabel 2.2 Target Gula Darah yang direkomendasikan untuk anak dan remaja dengan diabetes
tipe 1 (Rustamaet al., 2010)
Usia
(tahun)
<6
A1C
(%)
< 8.0
Puasa/preprandial
(mmol/L)
6.0-10.0
2 jam postprandial
-
Keterangan
Perhatian dibutuhkan untuk
mencegah
terjadinya
hipoglikemia karena potensi
yang
berkaitan
antara
hipoglikemia dan penurunan
kognitif.
Pertimbangkan target <8.5%
jika kelebihan hipoglikemia
17
6-12
< 7.5
4.0-10.0
13-18
< 7.0
4.0-7.0
5.0-10.0
terjadi
Pertimbangkan target <8.0%
jika
terjadi
hipoglikemia
berlebihan
Cocok
untuk
kebanyakan
remaja
18
dapat timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase honeymoon. Pada
keadaan ini, dosis insulin harus diturunkan bahkan sampai kurang dari 0,5 UI/kg
BB/hari, tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama sekali. (Rustamaet al., 2010).
Saat ini telah berkembang teknologi DNA rekombinan, sehingga insulin
rekombinan manusia saat ini telah dapat dikembangkan. Insulin rekombinan ini
lebih disukai sebagai pilihan utama, selain dapat diproduksi secara luas juga
memiliki imunigenitas yang lebih rendah dibandingkan insulin dari babi dan sapi.
Berbagai pilihan regimen insulin yang tersedia dijelaskan dalam table sebagai
berikut:
Tabel 2.3 Berbagai Regimen Insulin (Rustama et al., 2011)
Jenis Insulin
Kerja
cepat
(rapid
acting)
Kerja
pendek
(regular/soluble)
Kerja menengah
Semilente
NPH
IZS lente tipe
Insulin basal
Glargine
Detemir
Kerja Panjang
Ultralente tipe
Insulin campuran
Cepat-menengah
Pendek-menengah
Awitan (jam)
0.15-0.35
0.5-1
2-4
5-8
1-2
2-4
3-4
4-10
4-12
6-15
8-16
12-24
18-24
2-4
1-2
Tidak ada
6-12
24
20-24
4-8
12-24
20-30
0.5
0.5
1-12
1-12
16-24
16-24
Jenis kerja panjang kurang sesuai untuk pemakaian pada anak, kecuali
regimen basal bolus. Jenis insulin harus disesuaikan dengan usia anak (proses
tumbuh kembang anak), aspek sosioekonomi (pendidikan dan kemampuan
finansial), sosiokultural (sikap muslim terhadap insulin babi), dan faktor distribusi
obat.Dua hal yang penting dikenali dalam pemberian insulin, yaitu efek Somogyi
dan efek Subuh (Dawn effect). Efek Somagyi terjadi sebagai kompensasi
terhadap hipoglikemia yang terjadi sebelumnya (rebound effect). Akibat
pemberian insulin yang berlebihan terjadi hipoglikemia pada malam hari (jam
02.00-03.00). Sebaliknya efek Subuh terjadi akibat kerja hormon-hormon kontra
19
insulin pada malam hari. Efek Somogyi memerlukan penambahan makanan kecil
sebelum tidur atau pengurangan dosis malam hari, sedangkan efek Subuh
memerlukan
penambahan
dosis
insulin
malam
hari
untuk
mengindari
20
21
Dua sediaan insulin jangka menengah yang tersedia adalah (Canadian Diabetes
Association, 2013):
1. Isophane atau insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn)
2. Insulin Crystalline zinc-asetate (insulin lente)
Insulin Isophane paling sering digunakan pada anak, terutama karena
memungkinkan untuk digabung dengan insulin regular dalam satu syringe tanpa
adanya interaksi (insulin regular bila dicampur dngan insulin lente dalam satu
syringe, akan mengurangi reaksi sehingga mengurangi efek kerja jangka
pendeknya) (Rustama et al., 2010).
c. Insulin Kerja Panjang (long acting)
Insulin kerja panjang tradisional (Ultralente) mempunyai kerja lebih dari 24
jam, sehingga dapat digunakan untuk regimen basal bolus.
d. Insulin Kerja Campuran
Saat ini di Indonesia terdapat beberapa sediaan insulin campuran yang
mempunyai pola kerja bifasik, terdiri dari kombinasi insulin kerja cepat dan
menengah, atau kerja pendek dan menengah yang sudah dikemas oleh pabrik.
Sediaan insulin campuran kerja pendek dan kerja cepat dengan insulin kerja
menengah tersedia dalam beberapa rasio antara lain 10:90, 15:8, 20:80, 25:75,
30:70,
kombinasi 30:70 artinya terdiri dari 30% insulin kerja cepat atau pendek, dan
70% insulin kerja menengah (Rustamaet al., 2010).
Insulin campuran memberikan kemudahan bagi penderita. Pemakaian
sediaan ini dianjurkan bagi penderita yang telah mempunyai kontrol.Insulin kerja
campuran memberikan kemudahan bagi penderita. Pemakaian sediaan ini
dianjurkan bagi penderita yang telah mempunyai kontrol metabolic yang baik
denngan campuran insulin sendiri yang sesuai. Penggunaan sediaan ini banyak
22
23
utama/makanan
kecil)
mempunyai
kemungkinan
terbaik
Pada fase remisi seringkali hanya memerlukan 1 kali suntikan insulin kerja
menengah panjang atau basal untuk mencapai kontrol metabolic yang baik.
24
Selama periode honeymoon, total dosis insulin harian < 0.5 U/kgBB/hari.
Anak sebelum pubertas (di luar periode honeymoon) dalam kisaran dosis 0.7-1.0
U/kgBB/hari. Selama pubertas, kebutuhan akan meningkat di atas 1 U sampai
dengan 2 U/kgBB/hari. Pada anak dengan regimen dua kali suntikan, pada pagi
hari diberikan lebih banyak (lebih kurang2/3) dari total dosis harian dan dosis
lebih sedikit (lebih kurang 1/3) pada sore hari. Pada regimen ini, kandungan
insulinnya terdiri dari 1/3 dosis insulin kerja pendek dan kurang lebih 2/3 insulin
kerja menengah.Pada regimen basal bolus, insulin kerja menengah (sebagai
insulin basal) diberikan pada malam hari sebesar 30% (jika bolus menggunakan
insulin kerja pendek) dan 50% (jika bolus menggunakan insulin kerja cpat) dari
total harian. Kebutuhan insulin bolus lebih kurang 50% (jika menggunakan insulin
kerja cepat) sampai dengan 70% (jika menggunakan insulin kerja pendek) yang
diberikan secara terbagi antara 3-4 kali (Rustamaet al., 2010).
Glargine
sering
diberikan
sehari
sekali,
tetapi
beberapa
anak
fleksibel
tidak
mencapai
tercapainya
kontrol
metabolik
yang
25
distribusinya disesuaikan dengan porsi dosis sebelum buka puasa lebih besar
dari dosis sebelum makan sahur (Rustamaet al., 2010)..
Pada regimen dua atau tiga kali suntikan, penyesuaian dosis dilakukan
berdasarkan pola kadar glukosa darah harian selama beberapa hari (7-10 hari)
dengan mempertimbangkan pola aktivitas dan pola makan penderita. Pada
26
anak tidak
menjadi
obes
dan dapat
mencegah terjadinya
27
berdasarkan berat badan ideal, maka memerlukan data umur, jenis kelamin,
tinggi dan berat badan saat penghitungan, serta data kecukupan kalori yang
dianjurkan. Dapat pula menggunakan penghitungan berdasarkan umur: bila
berusia 0-12 tahun menggunakan rumus 1000+ (usia x 100) = kal/hari dan jika
berusia lebih dari 12 tahun= 2000 kal/m2 (Rustama et al., 2011).
Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia
pubertas dapat juga ditentukan dengan rumus sebagai berikut: 1000 + (usia
dalam tahun x 100) = ....... Kalori/hari. Komposisi sumber kalori per hari
sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-15% protein (semakin menurun
dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak (Rustama et al., 2011).
Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali
makanan kecil sebagai berikut :
28
Kebutuhan sukrosa 10% dari total kalori per hari. Asupan sukrosa bila
tidak berlebihan tidak akan menaikkan kadar glukosa darah,
Kebutuhan lemak 30-35% dari total kalori per hari. Disarankan asupan
lemak harus lebih rendah dari total kebutuhan lemak dengan menurunkan
asupan lemak jenuh dan asam lemak trans. Asam lemak tak jenuh rantai
tunggal dan asam lemak takjenuh rantai ganda dapat digunakan sebagai
pengganti asupan lemak dengan jumlah yang sesuai untuk memperbaiki
profil lemak.
Asam lemak jenuh produk hewani antara lain terdapat di susu, keju,
mentega, dan daging merah, sedangkan asamlemak tak jenuh rantai
sedang hasil olahan pabrik antara lain biscuit, kue, dan coklat. Asam
lemak tak jenuh rantai ganda terdapat pada tumbuh-tumbuhan antara lain
jagung, bunga matahari, kedelai, biji-bijian. Minyak ikan dan minyak
tumbuh-tumbuhan mengandung asam lemak tak jenuh n-3, sedangkan
asam lemak tak jenuh rantai tunggal terdapat
29
30
Gambar 2.2 Respon fisiologi terhadap olahraga pada anak diabetic dan non-diabetik
(Rustama et al., 2011)
Bagi penderita DM, terutama yang tidak terkontrol dengan baik, olahraga
dapat
menyebabkan
keadaan
yang
tidak
diinginkan
seperti
keadaan
Kalau GD > 250 mg/dL dan keton urin/darah (+), tunda olahraga
sampai GD normal dengan insulin
31
Selama berolahraga:
Monitor GD tiap 30 menit
Teruskan asupan cairan (250 mL tiap 20-30 menit)
Konsumsi karbohidrat tiap 20-30 menit, bila diperlukan
Setelah berolahraga
sangat individual, karena itu acuan di atas merupakan acuan secara umum.
Seorang atlet berpengalaman pun perlu waktu yang cukup lama, untuk
mendapatkan
pola
pengelolaan
yang
benar-benar
sesuai
untuk
jenis
Kadar
glukosa
berubah
tidak
Hiperglikemia
32
Hiperinsulinemia karena
pemberian insulin yang
berlebihan
(basal
atau
bolus).
Olahraga
yang
berkepanjangan
berlangsungan
>30-60
menit
tanpa
asupan
karbohidrat
Aerobik
intensitas
sedang (kapasitas aerobic
maksimal 50-75%)
Olahraga berlebihan
Pemberian insulin
dan
konsumsi
karbohidrat
yang
sesuai
Hipoinsulinemia
sebelum
dan
selama
olahraga
Emosi yang berlebihan
selama olahraga kompetisi
akan meningkatkan respon
terhadap adrenal
Olahraga tidak teratur
dengan instensitas aktifitas
anaerobik
menimbulkan
peningkatan
respons
terhadap adrenal
Konsumsi
karbohidrat
berlebihan
Setalah
olahraga,
produksi glukosa meningkat
berlebihan
insulin
mulai
merupakan
terjadi
dasar
sebelum
dari
diabetes
berkembangnya
tipe
2,
diabetes
dan
yaitu
pendekatan pengobatan
resistensi
insulin
diabetes
tipe 2
harus
memperbaiki
33
Obat hipoglikemik oral pilihan pada anak dengan DM tipe-2 adalah metformin.
Obat ini dapat meningkatkan sensitivitas terhadap insulin, memperbaiki kadar
glukosa darah tanpa menyebabkan peningkatan berat badan, menurunkan
HbA1c tanpa resiko hipoglikemia, kadar trigliserida dan LDL-C cenderung turun
selama terapi. Harus berhati-hati pada insufisiensi ginjal karena resiko asidosis
laktat berat, pemeriksaan fungsi ginjal dan serum kreatinin perlu dilakukan pada
awal terapi dan selama pemantauan. Kontraindikasi yang lain adalah asidosis
metabolik dan KAD berulang. Efek samping dari metformin adalah diare, mual,
dispepsia, kembung, dan sakit perut tetapi obat tetap diteruskan karena gejala
akan menghilang. Dosis awal 500 mg/hari pada malam hari, dosis dapat
dinaikkan 500 mg tiap minggu (atau 850 mg setiap 2 minggu) sampai maksimum
2000 mg/hari dalam dosis terbagi untuk pasien berusia kurang dari 16 tahun,
atau maksimal 2550 mg/hari terbagi 2-3 dosis untuk pasien berusia lebih dari 16
tahun. Bila dalam tiga bulan tidak ada perbaikan maka perlu ditambahkan
Glitazone, sulfonylurea, atau insulin dengan atau tanpa kombinasi dengan
meglitinid, amilin, a GLP-1 mimetik, atau DPP-IV inhibitor. Golongan sulfonylurea
merangsang sekresi insulin dan merupakan pilihan alternatif pada pasien yang
tidak toleransi terhadap metformin (Rustama et al., 2010).
Insulin sering diberikan untuk mencapai kontrol glukosa yang baik. Dosis
awal 0,5-1,0 U/kgBB/hari sampai target kadar glukosa darah tercapai. Dapat
digunakan insulin kerja panjang atau kerja menengah untuk mengkontrol kadar
glukosa pada target yang telah ditentukan, sedangkan sebagai tambahan dapat
diberikan insulin kerja pendek atau kerja cepat. Bila tingkat kepatuhan rendah,
insulin campuran dapat sebagai pilihan.
Hal yang mendasar dalam pengelolaan DM tipe-.2 adalah perubahan
pola hidup yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur. Dengan atau
34
tanpa terapi farmakologik, pola makan yang seimbang dan olah raga teratur
(bila tidak ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan (Reinehr, 2013).
2.9 Komplikasi Diabetes Melitus
2.9.1
2.9.2
Retinopati diabetik
Nefropati diabetik
Neuropati perifer
35
36
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Diabetes melitus merupakan kelompok penyakit metabolik yang ditandai
dengan karateristik hiperglikemia dan terjadi akibat defek sekresi insulin, kinerja
insulinm maupun keduanya. Disebut DM tipe 1 apabila terjadi defisiensi absolut
sekresi insulin. Pada DM tipe 1 kerusakan sel pankreas akibat proses autoimun
atau idiopatik (International Diabetes Federation, 2014). Insiden DM tipe 1 di
Indonesia menurut IDAI tahun 2011, berkisar 0,2-0,42 per 100.000 anak per
tahun namun bervariasi di setiap provinsinya. Sebagian besar DM tipe 1 bersifat
asimtomatis.Gejala klasik DM berupa poluria, polidipsia, serta penurunan berat
badan yang cepat tanpa sebab yang jelas yang pada umumnya muncul secara
akut (1-2 minggu sebelum diagnosis ditegakkan).Pada anak, gejala klasik
poliuria sering ditemukan pada anak dengan dehidrasi sedang-berat. Gejala lain
akibat hiperglikemia berupa luka sulit sembuh, kulit kering dan gatal, parestesia
pada kaki, atau pandangan kabur. Pada kasus yang terlambat didiagnosis dapat
ditemui komplikasi DM tipe 1 berupa ketoasidosis. Diagnosis DM disesuaikan
dengan kriteria diagnosisnya, yaitu:
1. Kadar HbA1C 6,5%
2. Gejala klasik DM dan kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dL (11,1
mmol/L)
3. Pada pasien asimtomatis, ditemukan kadar glukosa darah sewaktu >200
mg/dL (11,1 mmol/L) atau kadar glukosa puasa lebih tinggi dari normal
37
(126 mg/dL atau 7 mmol/L), dengan hasil TTG terganggu pada lebih dari
satu kali pemeriksaan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain dengan deteksi
autoantibodi pada serum, keton darah, urinalisis, C-peptide, serta HbA1c sebagai
parameter kontrol metabolik (ADA, 2012).
Tujuan dan sasaran terapi DM tipe 1 ditujukan agar kualitas hidup pasien
tetap optimal, dengan kontrol metabolik yang baik. Pemeriksaan HbA1c
merupakan parameter kontrol metabolik standar pada pasien DM. nilai HbA1c
<7% berarti kontrol metabolik baik. Secara garis besar, tata laksana DM tipe 1
meliputi pemberian insulin, pengaturan makan, olahraga, serta edukasi, yang
didukung oleh pemantauan mandiri(Rustama et al., 2011). Komplikasi DM tipe 1
dapat dibagi menjadi komplikasi jangka pendek dan komplikasi jangka
panjang.Komplikasi jangka pendek seperti ketoasidosis diabetikum, hipoglikemia,
ataupun
hiperglikemia.Komplikasi
jangka
panjang
dibedakan
menjadi
makrovaskular
perkembangan,
dan
antara
pubertas,
loain
seperti
hipotiroidisme
gangguan
dan
pertumbuhan,
hipertiroidisme,
serta
38
DAFTAR PUSTAKA
2013.
Diabetes
MelitusPenyebabKematianNomor
KemenkesTawarkanSolusi
CERDIK
di
MelaluiPosbindu,
(http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=2383,
Dunia:
(Online),
diakses
25
Desember 2013).
Donath, M. Y., Gross, D. J., Cerasi, E., Kaiser, N. 1999. Hyperglycemia-Induced
Beta-Cell Apoptosis in Pancreatic Islets of PsammomysObesusDuring
Development of Diabetes. (Abstract).Diabetes, 48 (4): 738-744.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran,Edisi 11, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal. 881-1027
Hawkins M, Rossetti L. Insulin Resistance and Its Role in the Pathogenesis of
Type 2 Diabetes. In : Kahn CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Jacobson
39
Diabetes
Federation.
2011.
Diabetes
in
Childhood
and
(Eds) Joslins
Fakultas
Kedokteran
Universitas
40
Rustama, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N. 2010. Buku
Ajar Endokrinologi Anak Edisi I: Diabetes Melitus. Unit Anak dan Remaja
IDAI: Jakarta.
Rustama, Hegar B, Hardyastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
2011. Diabetes melitus. Dalam: Buku ajar endokrinologi anak. UKK
Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI, Jakarta: Badan Penerbit IDAI
Rhisbud MV, Bhonde RR. 2002. Models of Pancreatic Regeneration in Diabetes.
(Abstract).Diabetes Res ClinPract, 58 (3): 155-165.
Steel S danTibby SM. 2009.Paediatric Diabetic Ketoacidosis. Continuing
Education Anaesthectic Critical Care and Pain 9(6): 194-199.
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. 2007. Buku Ajar
IlmuPenyakitDalam. Edisi IV, Jilid III, DepartemenIlmuPenyakitDalam
FKUI, Jakarta, hal. 1852-1857
Suryono S, Waspadji S, Soegondo S, Soewondo P, Subekti I, Semiardji G dkk.
2013. Penatalaksanaan Diabetes MelitusTerpadu. BalaiPenerbit FKUI,
Jakarta, hal. 3-29.
Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. 2014. Kapita Selekta Kedokteran.
Jakarta : Media Aesculapius. Hal : 29 34
Van Belle TL, Coppieters KT, Von Herrath MG. Type 1 Diabetes: Etiology,
Immunology, and Therapeutic Strategies. Institute for Allergy and
Immunology.Physiol Rev, 2011; 91(1): 79-118.
Wolfsdorf J, Glaser N, Sperling MA. 2006. Diabetic Ketoacidosis in Infants,
Children, and Adolescent: A Consensus Statement from the American
Diabetes Association. Journal od Diabetes Care 29(5): 1150-1159.
Atkinson MA, Maclaren NK. The pathogenesis of insulin-dependent diabetes
mellitus. N Engl J Med 1994; 331:1428.
41
McCulloch DK, Palmer JP. The appropriate use of B-cell function testing in the
preclinical period of type 1 diabetes. Diabet Med 1991; 8:800.
Larsen CM, Faulenbach M, Vaag A, et al. Interleukin-1-receptor antagonist in
type 2 diabetes mellitus. N Engl J Med 2007; 356:1517.
Smyth DJ, Cooper JD, Bailey R, et al. A genome-wide association study of
nonsynonymous SNPs identifies a type 1 diabetes locus in the interferoninduced helicase (IFIH1) region. Nat Genet 2006; 38:617.
Wellcome Trust Case Control Consortium. Genome-wide association study of
14,000 cases of seven common diseases and 3,000 shared controls.
Nature 2007; 447:661.
Todd JA, Walker NM, Cooper JD, et al. Robust associations of four new
chromosome regions from genome-wide analyses of type 1 diabetes. Nat
Genet 2007; 39:857.
Hakonarson H, Grant SF, Bradfield JP, et al. A genome-wide association study
identifies KIAA0350 as a type 1 diabetes gene. Nature 2007; 448:591.
Lowe CE, Cooper JD, Brusko T, et al. Large-scale genetic fine mapping and
genotype-phenotype associations implicate polymorphism in the IL2RA
region in type 1 diabetes. Nat Genet 2007; 39:1074.
Concannon P, Onengut-Gumuscu S, Todd JA, et al. A human type 1 diabetes
susceptibility locus maps to chromosome 21q22.3. Diabetes 2008;
57:2858.
42
Concannon P, Rich SS, Nepom GT. Genetics of type 1A diabetes. N Engl J Med
2009; 360:1646.
Cooper JD, Smyth DJ, Smiles AM, et al. Meta-analysis of genome-wide
association study data identifies additional type 1 diabetes risk loci. Nat
Genet 2008; 40:1399.
43