Vous êtes sur la page 1sur 44

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA NON-INSULIN DEPENDENT


DIABETES MELLITUS PADA ANAK

Oleh:
Amega Furi Masta

115070107111075

Gustika ayu S

115070107111084

Athira Fitriah

115070107121012

Shane Htet Naung

115070107111084
Periode :

14 Desember 7 Februari 2016


Pembimbing :
dr. Haryudi Aji Cahyono, Sp.A (K)

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolik yang ditandai

dengan hiperglikemia akibat defek pada insulin, baik karena adanya gangguan
sekresi insulin maupun resistensi terhadap insulin. Progresifitas DM biasanya
berjalan lambat disertai dengan gejala-gejala yang ringan sampai dengan gejalagejala yang berat, bahkan dapat menyebabkan kematian, baik akibat komplikasi
akut maupun kronis (International Diabetes Federation, 2014). DM merupakan
salah satu non-communicable diseases sebagaimana penyakit yang dijuluki
seperti ini contohnya dislipidemia dan hipertensi yang trennya semakin
meningkat dewasa ini, seiring perubahan gaya hidup ke arah sedenter dan
konsumsi makanan tinggi kalori, lemak, dan natrium (Permana, 2009).
DM yang sering terjadi adalah DM tipe 2. Diabetes militus tipe 2,biasanya
disebut NIDDM,adalah kerusakan genetik dan faktor lingkungan. DM tipe 2
adalah tipe paling umum dari diabetes militus yang meliputi 90% dari semua
populasi diabetes. Biasanya didiagnosa setelah umur 40 tahun dan umumnya
menyerang orang dewasa, orang yang gemuk dan pastinya populasi etnik dan
ras. Pada usia muda sering terjadi pada dekade kedua kehidupan rata-rata usia
13,5 tahun. Hal ini berhubungan dengan puncak pubertas dan secara fisiologi
terjadi resistensi insulin pada usia muda. (IDAI hal 161)
Proses yang terjadi adalah resistensi sel tubuh terhadap insulin baik
secara predominan maupun dominan, dimana biasanya DM tipe 2 disertai juga
dengan adanya defisiensi maupun defek sekresi insulin (International Diabetes
Federation, 2014).

Diabetes Melitus telah menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling
serius di abad 21 (Donath et al., 1999). Pada tahun 2013, jumlah penderita DM
usia 20-79 tahun di dunia berkisar 382 juta dan diperkirakan akan meningkat
menjadi 592 juta pada 20 tahun kedepan (International Diabetes Federation,
2014). Indonesia menempati peringkat ke-7 di dunia sebagai negara dengan
jumlah penderita diabetes melitus terbanyak yaitu 5 juta orang pada tahun 1998
(Sudoyo et al., 2007) dan diperkirakan pada tahun 2030 akan didapatkan 21,3
juta jiwa penderita diabetes melitus (Depkes, 2013). Diganti epidemiologiny atira
1.2

Rumusan Masalah

1.2.1

Apa definisi, etiologi, dan epidemiologi dari DM tipe 2 pada anak-anak?

1.2.2

Bagaimana tanda, gejala, perjalanan penyakit, pemeriksaan penunjang


serta diagnosis dari DM tipe 2 pada anak-anak?

1.2.3

Bagaimana manajemen dan terapi DM tipe 2 pada anak-anak?

1.2.4

Bagaimana prognosis dan apa saja komplikasi dari DM tipe 2 pada anakanak?

1.3

Tujuan

1.3.1

Untuk mengetahui definisi, etiologi, dan epidimiologi DM tipe 2 pada


anak-anak.

1.3.2

Untuk mengetahui tanda, gejala, perjalanan penyakit, pemeriksaan


penunjang serta diagnosis DM tipe 2 pada anak-anak.

1.3.3

Untuk mengetahui manajemen dan terapi DM tipe 2 pada anak-anak.

1.3.4

Untuk mengetahui prognosis serta komplikasi DM tipe 2 pada anak-anak.

1.4

Manfaat
2

1. Menjadi landasan pembelajaran tentang DM tipe 2 bagi tenaga kesehatan


khususnya dokter muda di RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang.
2. Untuk meningkatkan pelayanan medis terhadap DM tipe 2 melalui
pembaruan pengetahuan mengenai penyakit ini

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diabetes Melitus


Diabetes Melitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan
karakteristik hiperglikemia kronik dan terjadi akibat gangguan sekresi insulin,
kerja insulin, dan atau keduanya (IDAI, 2013).
2.2 Epidemiologi Diabetes Melitus
Diabetes melitus tipe 1 (DM tipe 1)

terjadi sekitar 10% dari semua

diabetes. Sekitar 50% kasus orang dengan DM tipe 1 muncul pada usia dewasa

Gambar 1. Rata-rata insiden DM tipe 1 di berbagai negara (Ramin & Omar, 2011)

Menurut data IDF (2011), jumlah anak di dunia (usia 0-14 tahun) dengan
DM tipe 1 adalah sebanyak 490.100, dengan penambahan kasus baru sebanyak

77.800 anak per tahun. Di indonesia sendiri, berdasarkan data registrasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2012, insiden DM tipe 1 berkisar 0,2-0,42 per
100.000 anak per tahun (bervariasi di setiap provinsi)(Ramin & Omar, 2011).
Diabetes Mllitus tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin . DM tipe 2 ini
merupakan penyakit metabolik yang prevalensinya meningkat dari tahun ke
tahun . Penyakit ini

selalu dihubungkan dengan sindrom resistensi insulin

lainnya seperti hiperlipidemia, hipertensi, akantosis nigrikans, hiperandrogenisme


ovarium, dan penyakit perlemakan hati non-alkoholik (Van Belle et al., 2011).
Onset DM tipe-2 biasa terjadi setelah usia 40 tahun, tetapi dapat pula terjadi
pada semua usia termasuk masa anak dan remaja. Pada anak yang mempunyai
riwayat keluarga DM tipe-2 dikenal dengan istilah Maturity Onset Diabetes of the
Young (MODY)(Ramin & Omar, 2011).
DM tipe-2 pada usia muda sering terjadi pada dekade kedua dalam
kehidupan, rata-rata usia diagnosis 13,5 tahun. Hal ini berhubungan dengan
puncak pubertas dan secara fisiologi terjadi resistensi insulin pada usia muda
(Ramin & Omar, 2011).
2.3 Etiologi Diabetes Melitus
Penyebab dari DM tipe 2 karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak
mampu merespon insulin secara normal, keadaan ini disebut resietensi
insulin. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga
timbul gangguan gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang
berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel langerhans
secara autoimun sebagaimana terjadi pada DM tipe 1. Dengan demikian
defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak
absolut.

Obesitas yang pada umumnya menyebabkan gangguan pada kerja


insulin, merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes tipe ini, dan
sebagian besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadi
penurunan kepekaan jaringan pada insulin, yang telah terbukti terjadi pada
sebagian besar dengan pasien diabetes tipe 2 terlepas pada berat badan,
terjadi pula suatu defisiensi jaringan terhadap insulin maupun kerusakan
respon sel terhadap glukosa dapat lebih diperparah dengan meningkatya
hiperglikemia, dan kedua kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui
manuver-manuver teurapetik yang mengurangi hiperglikemia tersebut (Ditjen
Bina Farmasi dan Alkes, 2005)

2.4 Patofisiologi Diabetes Melitus


DM tipe 1 adalah keadaan hiperglikemia kronis yang berhubungan
dengan kehancuran selektif sel beta pankreas sehingga pankreas tidak mampu
memproduksi insulin. DM tipe 1A disebabkan oleh destruksi autoimun dari sel
penghasil insulin di pulau Langerhans (Atkinson, 1994). Proses ini terjadi pada
subyek yang rentan secara genetik, mungkin dipicu oleh satu atau lebih agen
lingkungan, dan biasanya kondisi asimtomatik dan euglycemic berlangsung
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Dengan demikian, penanda genetic
untuk diabetes tipe 1A telah ada sejak lahir, penanda kekebalan terdeteksi
setelah timbulnya proses autoimun, dan penanda metabolic dapat dideteksi
dengan tes sensitive ketika kerusakan sel beta telah terjadi, tetapi sebelum
timbulnya gejala hiperglikemia (McCulloch, 1991). Periode laten panjang ini
adalah refleksi dari sejumlah besar sel beta fungsional yang telah rusak sebelum
hiperglikemia terjadi. Diabetes mellitus tipe 1B mengacu pada destruksi pulau
(islet) pancreas non-autoimun.

Patogenesis diabetes tipe 1A cukup berbeda dari diabetes melitus tipe 2,


dimana penurunan pelepasan insulin (dasarnya non-autoimun) dan resistensi
insulin memainkan peran penting. Studi asosiasi genome menunjukkan lokus
genetic diabetes tipe 1 dan tipe 2 tidak tumpang tindih (overlap), meskipun
peradangan (misalnya, yang dimediasi interleukin-1) mungkin memainkan peran
dalam kerusakan pulau sel beta pada kedua tipe diabetes (Larsen, 2007).
Mekanisme penurunan masa dan fungsi sel beta akibat destruksi sel beta
tersebut dapat diamati secara ringkas pada gambar 2.1 sebagai berikut,

Gambar 2.1Perkembangan Fungsi Sel Beta Pankreas pada DM Tipe 1(van Belle et al., 2011)

Patogenesis DM tipe 1 diawali dengan adanya mutasi pada gen rentan


yang dipicu oleh faktor lingkungan baik virus, bakteri, nutrisi dan bahan kimia.

Pada pankreas, mutasi tersebut menyebabkan meningkatnya ekspresi dari INF-


dan MHC kelas 1 oleh sel beta yang merupakan pemicu serangan autoreaktif
oleh sel limfosit T CD8. Akibatnya, terbentuklah antigen sel beta yang kemudian
ditangkap

oleh

APC

(Antigen

presenting

cells)

dan

ditranser

menuju

peripancreatic-draining lymph node. Sementara itu di perifer, faktor lingkungan


mengubah keadaan metabolik yang mendukung keadaan proinflamasi sehingga
meningkatkan respon efektor sel limfosit T terhadap fungsi sel Treg. Antigen sel
beta tadi juga dipresentasikan oleh sel helper CD4 yang menginisiasi konversi
sel B menjadi sel plasma sehingga dihasilkan autoantibodi terhadap insulin. Hal
ini menyebabkan sel limfosit T CD8 yang autoreaktif terus dirangsang untuk
membelah dan bermigrasi ke pankreas sehingga menyebabkan destruksi sel
beta yang ditandai dengan penurunan massa sel beta secara bertahap. Stres
yang disebabkan oleh destruksi sel beta, yang melibatkan perforin, IFN-, dan
TNF-,

IL-1

menyebabkan

sel

beta

menghentikan

produksi

insulin

(pseudoatrophy) (Longo et al., 2011).


Destruksi sel beta juga menyebabkan pelepasan antigen sel beta baru.
Antigen ini kemudian kembali ditangkap oleh APC, terjadi migrasi sel B, dan
kembali bermigrasi nodul limfa pankreas sehingga terbentuknya suatu lingkaran
setan pada proses ini. Fase selanjutnya melibatkan spesifisitas baru pada sel
CD4 dan CD8, sel T dan sel B dalam proses penyebarannya yang menyebabkan
destruksi sel beta pankreas terus berlanjut. Hal yang aneh ditemukan juga pada
reaksi inflamasi autoimun tersebut. Reaksi inflamasi autoimun tersebut juga
dapat merangsang proliferasi sel beta sehingga dapat dilihat pada timeline diatas
bahwa terjadi grafik fluktuatif naik dan turun pada masa sel beta pankreas. Pada
keadaan hiperglikemi, reaksi remisi juga sering ditemukan setelah gejala klinis
muncul. Fase tersebut merupakan fase sementara relatif atau disebut juga
dengan honeymoon phase. Fase ini biasanya terjadi dalam waktu beberapa
8

bulan sampai satu tahun, yaitu suatu periode dimana ditemukannya kadar
glukosa darah tidak sampai tahap hiperglikemia yang biasanya menjadi
pengecoh dalam penanganan DM tipe 1 (Van Belle et al., 2011).
Seiring dengan perjalanan patogenesis DM tipe 1 ditemukan adanya
peningkatan kadar ICA512, GAD-65, IA-2A, IAA dan ZnT8t. Peningkatan ini
disebabkan oleh beberapa faktor pencetus seperti infeksi virus dan faktor
lingkungan sehingga mengaktifkan sel limfosit T yang berada di islet
(peripancreatic lymph node) dan sirkulasi (Suryono dkk., 2013). Infiltrasi sel
limfosit T memicu pelepasan beberapa sitokin [Tumor Necrosis Factor (TNF-),
interferon , dan interleukin 1 [IL-1]) yang menimbulkan peradangan pada sel
beta (insulitis) dan akhirnya menyebabkan kerusakan permanen sel beta
pankreas (Longo et al., 2011).
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu resistensi insulin dan disfungsi sel -pankreas. Akhir-akhir ini banyak juga
dibahas mengenai peran sel pancreas, amilin dan sebagainya.

Resistensi

insulin adalah keadaan dimana insulin tidak dapat bekerja optimal pada selsel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar. Keadaan

resisten

terhadap efek insulin menyebabkan sel -pancreas mensekresi insulin dalam


kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankan homeostasis glukosa
darah

,sehingga

terjadi

hiperinsulinemia

kompensatoar

untuk

mempertahankan keadaan euglikemia. Pada

fase tertentu dari perjalanan

penyakit

mulai

DM

tipe

2,kadar

glukosa

darah

meningkat

walaupun

dikompensasi dengan hiperinsulinemia; disamping itu juga terjadi peningkatan


asam lemak bebas dalam darah(Longo et al., 2011).
Kemungkinan mekanisme gangguan respons jaringan terhadap insulin
dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Faktor-faktor yang menurunkan respons jaringan terhadap insulin(Longo et al.,
2011)
Inhibitor prareseptor
Antibodi terhadap insulin
Inhibitor reseptor
Down regulation receptor yang disebabkan oleh
hiperinsulinisme; hiperinsulinisme primer (adenoma sel
), hiperinsulinisme sekunder terhadap defek pasca
reseptor (obesitas, sindrom Cushing, akromegali,
kehamilan) atau hiperglikemia yang lama (diabetes
melitus, pasca uji toleransi glukosa)
Kelainan pascareseptor
Respons yang jelek terhadap organ sasaran akibat
obesitas, penyakit hepatik, inaktivitas otot
Kelebihan hormon
Glukokortikoid, hormon pertumbuhan, kontrasepsi oral,
progesteron, somatomamotropin chorionic manusia,
katekolamin,tirosin

Pada dasarnya

resistensi insulin dapat terjadi akibat perubahan-

perubahan yang mencegah insulin untuk mencapai reseptor (prareseptor),


perubahan dalam pengikatan insulin atau transduksi sinyal oleh reseptor, atau
perubahan dalam salah satu tahap kerja insulin pasca reseptor(Longo et al.,
2011).
Keadaan glukotoksisitas dan lipotoksisitas akibat kekurangan insulin
relatif

(walaupun

telah

dikompensasi

dengan

hiperinsulinemia)

mengakibatkan sel pancreas mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan


metabolisme glukosa berupa Glukosa Puasa Terganggu, Gangguan Toleransi
Glukosa dan akhirnya DM tipe 2. Akhir-akhir ini diketahui juga bahwa pada
DM

tipe

Glukagon

ada

berperan

peran
pada

sel pankreas

yang

produksi glukosa

di

menghasilkan
hepar

pada

glukagon.
keadaan

puasa(Longo et al., 2011).


Patofisiologi DM tipe 2 autoimun belum jelas, mungkin merupakan DM
tipe 1 autoimun pada infividu dengan overweight atau obes yang didasari oleh
resistensi insulin. Telah diketahui bahwa obesitas dan resistensi insulin akan
menyebabkan respons inflamasi terhadap paparan antigen akibat apoptosis sel
.
2.5 Gejala Diabetes Melitus

10

Gejala pada penyakit Diabetes Melitus dikelompokan menjadi tiga


kelompok, yaitu tanda yang paling sering, jarang, dan tanda gejala yang parah
(ketoasidosis diabetik). Gejala yang paling sering antara lain penurunan berat
badan, poliuri (pada anak-anak sering bedwetting), minum berlebihan, dan
mudah lelah (pada anak-anak tidak mau bermain atau melakukan suatu
kegiatan). Gejala yang jarang ditemui pada DM antara lain makan berlebihan,
penglihatan kabur, perubahan suasana hati, infeksi kulit, oral trush atauvaginal
trush, serta nyei perut. Pada keadaan yang parah, misalkan pada kondisi
ketoasidosis diabetik, gejala yang muncul dapat berupa sering muntah, nyeri
perut akut, pipi kemerahan, bau nafas aseton, dehidrasi dengan poliuri,
penurunan tingkat kesadaran, nafas kussmaul, koma, dan/ atau syok
(International Diabetes Federation, 2011).
Gejala yang umum adalah obes, riwayat keluarga DM tipe 2, dan
akantosis nigrikans. Gejala klinis dapat ringan sampai berat dan tidak jarang
ditemukan KAD. Beberapa anak dengan gejala klinis yang klasik seperti
penurunan berat badan, sedangkan yang lain dapat tanpa gejala dan ditemukan
glikosuria atau hiperglikemia pada saat skrining kesehatan.
2.6 Klasifikasi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus diklasifikasikan sebagai berikut (Tanto, 2014):
a. Diabetes Melitus tipe 1 (DM tipe 1)
b. Diabetes Melitus tipe 2 (DM tipe 2)
c. Diabetes Melitus tipe lain, yang disebabkan oleh :
i.

Defek genetik fungsi sel pankreas (monogenik) : maturity-onset


diabetes of the young (MODY), neonatal Diabetes Melitus(NDM).
MODY umumnya ditandai dengan hiperglikemia ringan pada usia

11

muda, biasanya sebelum 25 tahun, sementara NDM merupakan


diabetes yang terjadi dalam enam bulan pertama kehidupan.
ii.

Defek genetik kerja insulin

iii.

Kelainan eksokrin pankreas

iv.

Gangguan endokrin : akromegali, sindrom Cushing, glukagonoma,


feokromositoma, hipertiroidisme, somatostatinoma, aldosteronoma,

v.

Terinduksi obat : Vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,


diazoxid, interferon-, takrolimus, antipsikotik generasi kedua,

vi.

Infeksi : rubella kongenital, sitomegalovirus,

vii.

DM bentuk imune-mediated, atau

viii.

Sindrom lainnya yang berhubungan dengan DM : sindrom Down,


Klinefelter, Turner, Wolfram, Prader-Willi, dan sebagainya

d. Diabetes melitus gestasional


2.7 Diagnosis Diabetes Melitus
2.7.1

Anamnesis
Anak dengan Diabetes Melitus tipe 1 biasanya menunjukkan gejala

asimptomatis pada 73 % pasien. Tetapi dapat pula muncul gejala khas pada
pasien berupa poliuri, polidipsi, mudah lelah, dan penurunan berat badan yang
tidak diketahui penyebabnya. Pada anak juga bisa muncul eneuresis nokturnal
(pada anak besar dan dehidrasi sedang hingga berat karena cairan tubuh
banyak keluar melalui urin. Selain itu juga terdapat gejala lain yang lebih jarang
muncul seperti polifagia, pandangan kabur, parestesia pada kaki, luka yang sulit
sembuh, kulit kering dan gatal, atau gejala ketoasidosis (tanda-tanda asidosis,
nafas kussmaul, nafas bau keton, dan penurunan kesadaran) (Tanto, 2014).
2.7.2

Pemeriksaan Fisis

12

Hasil dari pemeriksaan fisik pada anak dengan DM, dapat ditemukan
tanda kurus dan dehidrasi ringan, pada diabetes awal biasanya tidak ada gejala
spesifik. Insiden yang banyak pada anak DM tipe 1 adalah gejala yang
berhubungan dengan autoimmune endocrinopathies (misalnya penyakit tiroid
dengan gejala aktivitas berlebihan atau kurang aktivitas dan kemungkinan goiter
terpalpasi). Penemuan katarak cukup jarang, umumnya pada anak perempuan
dengan long prodrome of mild hyperglycemia. Dapat pula ditemukan dilatasi
venula retina dan gambaran kapiler mikroaneurisma (kondisi background
retinopathy) yang merupakan gejala awal dari diabetik retinopati. Komplikasi
yang bisa dialami oleh anak DM tipe 1 adanya tanda-tanda dehidrasi (mulut
kering, mata cowong, dan penurunan turgor kulit) yang didapatkan pada kondisi
ketoasidosis diabetik (Tanto, 2014).
2.7.3

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah tes glukosa darah dan tes

toleransi glukosa (TTG). Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar
glukosa darah kapiler <126 mg/dL (7mmol/L) (Tanto, 2014).
Tes Toleransi Glukosa adalah pemeriksaan penunjang yang dilakukan jika
terdapat kasus dengan diagnosis yang masih meragukan, yaitu ditemukan
gejala-gejala klinis yang khas untuk DM namun pemeriksaan kadar glukosa
darah tidak menyakinkan. Sebelum dilakukan pemeriksaan TTG, pasien harus
memenuhi syarat tidak sedang menderita suatu penyakit, tidak sedang dalam
pengobatan/minum obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah,
kadar gula darah sewaktu pasien sudah diperiksa, pasien harus diet tinggi
karbohidrat (sejumlah 150-200 gram karbohidrat per hari) selama tiga hari
berturut-turut, tidak ada batasan aktivitas fisik, dan puasa semalam menjelang
pemeriksaan TTG dilakukan. Sampel glukosa darah diambil dari pembuluh darah

13

vena pada menit ke-0 (sebelum diberikan glukosa oral) dan menit ke-120.Setelah
darah diambil pada menit ke-0, pasien minum larutan glukosa 1,75 g/kgBB
(maksimum 75 gram) dalam 200-250 ml air, yang dihabiskan dalam waktu 5
menit. Tunggu selang waktu 120 menit, kemudian ambil sampel darah dan cek
kembali kadar glukosanya. Seluruh sampel darahyang diambil selama proses
pemeriksaan langsung dimasukkan dalam wadah yang berisi pengawet EDTA/
heparin dan segera disimpan di lemari es atau langsung dilakukan sentrifugasi
agar kadar glukosa darah tidak turun. Kadar glukosa darah dapat berkurang
sebanyak 5% setiap jam apabila dibiarkan dalam suhu ruangan.Interpretasi hasil
tes toleransi glukosadisebut normal jika kadar glukosa darah puasa < 110 mg/dL
(6,7 mmol/L) dan kadar glukosa darah pada menit ke-120 menunjukkan < 140
mg/dL (7,8 mmol/L). Anak disebut menderita Diabetes Melitus (DM) apabila
kadar glukosa darah puasa 140 mg/dL (7,8 mmol/L) atau kadar glukosa darah
pada jam ke 2 200 mg/dL (11,1 mmol/L), sedangkan anak dikatakan menderita
toleransi gula terganggu (TGT) apabila kadar glukosa darah puasa < 140 mg/dL
(7,8 mmol/L) dan kadar glukosa darah pada menit ke 120 menunjukkan 140
199 mg/dL (7,8 11,1mmol/L) (Tanto, 2014).
Maka dapat disimpulkan bahwa diagnosis Diabetes Melitus(DM) dapat
ditegakkan

dari

hasil

anamnesis

gejala

klinis,

pemeriksaan

fisik,

dan

pemeriksaan laboratorium. Anak didiagnosis menderita Diabetes Melitus(DM) jika


memenuhi beberapa kriteria yaitu pada pasien ditemukan gejala khas/ gejala
klasik dari DM (poliuria, polidipsi, polifagia, maupun penurunan berat badan) dan
kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L), pada pasien yang
asimptomatis ditemukan kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL (11,1
mmol/L), atau pada pasien asimptomatis kadar glukosa puasa 126 mg/dL atau
7 mmol/L dan TTG terganggu pada lebih dari 1 kali pemeriksaan (Tanto, 2014).

14

Tambahan pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat membantu dalam


diagnosis DM antara lain deteksi autoantibodi pada serum (Islet cell
autoantibodies

(ICAs),Glutamic

acid

decarboxylase

(GAD65A),

Insulin

autoantibodies (IAA), Transmembrane tyrosine phosphatase (ICA512A), dan


Zinc transporter 8 autoantibody (ZnT8A)), keton darah, urinalisis (reduksi, keton,
protein), C-peptide<0,85 ng/mL (menggambarkan kadar insulin secara tidak
langsung), dan HbA1c (parameter kontrol metabolik) (Tanto, 2014).
2.8 Tatalaksana Diabetes Melitus Anak
2.8.1

Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe 1


Hal pertama yang harus diketahui bahwa DM tipe-1 tidak dapat

disembuhkan tetapi kualitas hidup penderita dapat dipertahankan seoptimal


mungkin dengan mengusahakan kadar glukosa darah berada dalam kadar yang
normal atau mendekati nilai normal, tanpa menyebabkan hipoglikemia. Untuk
mencapai kontrol metabolik yang baik, pengelolaan DM tipe-1 pada anak
sebaiknya dilakukan secara terpadu oleh suatu tim yang terdiri dari ahli
endokrinologi anak, ahli gizi, ahli psikiatri, psikologi anak, pekerja sosial, dan
edukator. Kerjasama yang baik antara tim dan pihak penderita akan lebih
menjamin tercapainya kontrol metabolik yang baik. Untuk itu komponen
pengelolaan DM tipe-1 meliputi pemberian insulin, pengaturan makan, olahraga,
edukasi,

yang

didukung

oleh

pemantauan

mandiri

(home

monitoring).

Keseluruhan komponen berjalan secara terintegrasi untuk mendapatkan kontrol


metabolikyang baik (Rustamaet al., 2010).
Dari faktor penderita juga terdapat beberapa kendala pencapaian kontrol
metabolik yang baik. Faktor pendidikan, sosioekonomi dan kepercayaan
merupakan beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan
penderita terutama dalam segi edukasi.

15

2.8.1.1 Edukasi
Studi yang dilakukan pada anak dengan DM tipe 1 telah menunjukkan
edukasi pasien dan keluarga, perawatan yang intensif, dan kontak lewat telepon
dengan tim diabetes berkaitan dengan penurunan angka rawat inap, kunjungan
ke IGD, dan keseluruhan biaya. Edukasi harus bersifat personal sesuai dengan
kepentingan tiap individu yang berbeda (Rustama et al., 2011).
Edukasi diabetes yang tepat untuk anak dan keluarga dari anak dengan
diabetes tipe 1 cukup kompleks.Manajemen anak dengan Diabetes Tipe 1
disesuaikan dengan onset terjadinya penyakit. Jika bayi (kurang dari 1 tahun)
didiagnosis

diabetes,

orangtua

harus

beradaptasi

mempelajari keterampilan yang diperlukan.

pada

diagnosis

dan

Bayi tidak memiliki respon

katekolamin pada hipoglikemia dan tidak dapat mengkomunikasikan sensasi


yang berkaitan dengan hipoglikemia , oleh karena itu, risiko hipoglikemia berat,
dengan kejang atau koma, tertinggi pada kelompok umur ini. Selain itu, karena
otak masih berkembang pada bayi, efek samping dari hipoglikemia berat dapat
lebih besar daripada anak yang lebih tua. Oleh karena itu, orangtua bayi dengan
diabetes membutuhkan dukungan tim diabetes yang memahami kesulitan
menangani bayi dengan diabetes dan mendukung secara emosional. Pada balita
usia 1-3 tahun, risiko hipoglikemia menjadi ketakutan orangtua terutama bila
anak menolak untuk makan. Pada anak prasekolah dan anak usia sekolah awal
(3-7 tahun), kebanyakan anak di kelompok usia ini dapat berpatisipasi untuk
manajemen dirinya sendiri dengan cek gula darah, membuat catatan gula
darahnya, dan bisa juga menghitung karbohidrat. Hipoglikmia yang tidak
terdeteksi menjadi masalah karena variasi aktivitas dan asupan makanan pada
kelompok umur ini, dan karena perhatian mengenai efek merugikan hipoglikemia
pada perkembangan dan fungsi otak. Pada anak usia sekolah (8-11 tahun)
setelah didiagnosis diabetes umumnyaanak-anak kelompok usia ini dilaporkan
16

mengalami depresi ringan dan kecemasan, tetapi biasanya menghilang dalam 6


bulan setelah diagnosis. Setelah 1-2 tahun pertama anak usia sekolah, gejala
depresif meningkat, dan kecemasan menurun untuk laki-laki tetapi meningkat
untuk perempuan pada 6 tahun pertama setelah diagnosis. Peningkatan afek
depresif ini mungkin berkaitan dengan akhir periode fisiologik honeymoon, ketika
anak-anak menyadari penyakitnya tidak akan sembuh dan akan menjadi lebih
sulit ditangani. Sedangkan pada anak usia remaja dimana merupakan masa
perubahan biologis yang cepat disertai dengan peningkatan fisik, kognitif, dan
maturitas emosional,konflik orangtua-anak berkaitan dengan hasil yang buruk
untuk pengontrolan diabetes sering terjadi (Rustamaet al., 2010).
Jika edukasi sesuai usia pasien mengenai diabetes telah diberikan, maka
target glikemik merupakan salah satu hal lain penting yang perlu disampaikan
juga saat memberikan edukasi kepada pasien. Kontrol metaboliK yang baik
mengurangi baik onset dan progresi komplikasi terkait diabetes pada penderita
diabetes tipe 1, usaha yang agresif sebaiknya dilakukan untuk mendapatkan
kontrol glikemik sesuai target. Namun, perhatian klinis juga sebaiknya dilakukan
selama usaha pengontrolan diabetes. Terjadinya hipoglikemi berat berikaitan
dengan fungsi kognitif yang lebih buruk pada banyak penelitian (Rustama et al.,
2011).

Tabel 2.2 Target Gula Darah yang direkomendasikan untuk anak dan remaja dengan diabetes
tipe 1 (Rustamaet al., 2010)
Usia
(tahun)
<6

A1C
(%)
< 8.0

Puasa/preprandial
(mmol/L)
6.0-10.0

2 jam postprandial
-

Keterangan
Perhatian dibutuhkan untuk
mencegah
terjadinya
hipoglikemia karena potensi
yang
berkaitan
antara
hipoglikemia dan penurunan
kognitif.
Pertimbangkan target <8.5%
jika kelebihan hipoglikemia

17

6-12

< 7.5

4.0-10.0

13-18

< 7.0

4.0-7.0

5.0-10.0

terjadi
Pertimbangkan target <8.0%
jika
terjadi
hipoglikemia
berlebihan
Cocok
untuk
kebanyakan
remaja

2.8.1.2 Terapi Insulin


Terapi insulin merupakan terapi utama untuk manajemen diabetes tipe 1.
Regimen insulin bervariasi dapat digunakan. Tetapi hanya sedikit yang telah
dipelajari secara spesifik pada anak-anak dengan diabetes onset baru. Pilihan
regimen insulin tergantung pada banyak faktor, termasuk usia anak, durasi
diabetes, gaya hidup keluarga, faktor sosioekonomi, keluarga, pasien, dan
pilihan dokter. Terlepas dari regimen yang dipilih, semua anak sebaiknya diobati
untuk memenuhi target gula darah (Canadian Diabetes Association, 2013)
Awitan, puncak kerja, dan lama kerja insulin merupakan faktor yang
menentukan dalam pengelolaan penderitaan DM. Respons klinis pasien
terhadap insulin tergantung beberapa faktor antara lain umur individu, tebal
jaringan lemak, status pubertas, dosis insulin, tempat injeksi, latihan, kepekatan,
jenis, dan campuran insulin, serta suhu ruangan dan suhu tubuh (Canadian
Diabetes Association, 2013).
Periode honeymoon, yang dapat berlangsung hingga 2 tahun setelah
diagnosis, memiliki ciri-ciri sebagai kadar gula darah yang bagus dan kebutuhan
insulin rendah (<0.5 unit/kg/hari). Pada akhir periode, manajemen yang lebih
intensif diperlukan untuk meneruskan kadar gula darah yang diinginkan tercapai.
Dua metode dari manajemen diabetes intensif telah digunakan : regimen bolus
basal (insulin kerja panajng analog dan analog insulin kerja cepat) dan infus
insulin subkutan (CSII, insulin pump therapy) (Rustama et al., 2011).
Dosis total insulin adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari. Selama pemberian perlu
dilakukan pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih.Gejala hipoglikemia

18

dapat timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase honeymoon. Pada
keadaan ini, dosis insulin harus diturunkan bahkan sampai kurang dari 0,5 UI/kg
BB/hari, tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama sekali. (Rustamaet al., 2010).
Saat ini telah berkembang teknologi DNA rekombinan, sehingga insulin
rekombinan manusia saat ini telah dapat dikembangkan. Insulin rekombinan ini
lebih disukai sebagai pilihan utama, selain dapat diproduksi secara luas juga
memiliki imunigenitas yang lebih rendah dibandingkan insulin dari babi dan sapi.
Berbagai pilihan regimen insulin yang tersedia dijelaskan dalam table sebagai
berikut:
Tabel 2.3 Berbagai Regimen Insulin (Rustama et al., 2011)
Jenis Insulin
Kerja
cepat
(rapid
acting)
Kerja
pendek
(regular/soluble)
Kerja menengah
Semilente
NPH
IZS lente tipe
Insulin basal
Glargine
Detemir
Kerja Panjang
Ultralente tipe
Insulin campuran
Cepat-menengah
Pendek-menengah

Awitan (jam)
0.15-0.35

Puncak Kerja (jam)


1-3

Lama Kerja (jam)


3-5

0.5-1

2-4

5-8

1-2
2-4
3-4

4-10
4-12
6-15

8-16
12-24
18-24

2-4
1-2

Tidak ada
6-12

24
20-24

4-8

12-24

20-30

0.5
0.5

1-12
1-12

16-24
16-24

Jenis kerja panjang kurang sesuai untuk pemakaian pada anak, kecuali
regimen basal bolus. Jenis insulin harus disesuaikan dengan usia anak (proses
tumbuh kembang anak), aspek sosioekonomi (pendidikan dan kemampuan
finansial), sosiokultural (sikap muslim terhadap insulin babi), dan faktor distribusi
obat.Dua hal yang penting dikenali dalam pemberian insulin, yaitu efek Somogyi
dan efek Subuh (Dawn effect). Efek Somagyi terjadi sebagai kompensasi
terhadap hipoglikemia yang terjadi sebelumnya (rebound effect). Akibat
pemberian insulin yang berlebihan terjadi hipoglikemia pada malam hari (jam
02.00-03.00). Sebaliknya efek Subuh terjadi akibat kerja hormon-hormon kontra

19

insulin pada malam hari. Efek Somogyi memerlukan penambahan makanan kecil
sebelum tidur atau pengurangan dosis malam hari, sedangkan efek Subuh
memerlukan

penambahan

dosis

insulin

malam

hari

untuk

mengindari

hiperglikemia pada pagi hari (Rustamaet al., 2010).


Insulin mempunyai kecenderungan membentuk agregat dalam bentuk
dimer dan heksamer yang akan memperlambat absorpsi dan lama awitan
kerjanya. Insulin Lispro, Aspart, dan Glulisine tidak membentuk agregat dimer
maupun heksamer, sehingga dapat digunakan sebagai insulin kerja cepat.
Ketiganya merupakan analog insulin kerja pendek (insulin regular) yang dibuat
secara biosintetik. Insulin kerja cepat direkomendasikan untuk digunakan pada
jam makan, atau penatalaksanaan insulin saat sakit. Insulin jenis ini dapat
digunakan dalam regimen dua kali sehari, atau regimen basal bolus.
Insulin kerja cepat akan sangat efektif untuk digunakan (Canadian Diabetes
Association, 2013):
1. jika perlu dapat diberikan segera sebelum makan, yang tidak saja
mengatasi hiperglikemia setelah makan juga hipoglikemia malam hari
2. pada saat snack sore, akan menurunkan kadar glukosa darah yang biasa
terjadi saat sebelum makan malam pada pengguna regimen dua kali
sehari yang dikombinasi dengan insulin kerja menengah
3. setelah makan, untuk mnurunkan kadar glukosa darah post prandial pada
anak pre-pubertas dengan kebiasaan makan yang sulit diramalkan (bayi,
balita, dan anak prasekolah)
a. Insulin Kerja Pendek (short acting)
Insulin jenis ini tersedia dalam bentuk larutan jernih, dikenal dengan
insulin regular. Biasanya dipergunakan untuk mengatasi keadaan akut seperti
ketoasidosis, penderita baru, dan tindakan bedah. Insulin jenis ini kadang-

20

kadang juga digunakan sebagai pengobatan bolus (15-20 menit) sebelum


makan, atau kombinasi dengan insulin kerja menengah pada regimen 2 kali
sehari (Rustamaet al., 2010).
DM tipe-1 yang berusia balita sebaiknya menggunakan insulin jenis ini
untuk menghindari efek hipoglikemia akibat pola hidup dan pola makan yang
seringkali tidak teratur. Fleksibilitas penatalaksanaan pada usia balita menuntut
pemakaian insulin kerja pendek atau digabung dengan insulin kerja menengah
(Canadian Diabetes Association, 2013).
Insulin kerja pendek pilihan terbaik untuk terapi intravena dan digunakan
pada KAD dan mengontrol diabetes saat prosedur operasi. Insulin kerja cepat
juga dapat digunakan sebagai terapi intravena, tetapi efeknya tidak lebih baik
dibandingkan insulin kerja pendek dan harga lebih mahal.
b. Insulin Kerja Menengah (Intermediate Acting)
Insulin jenis ini tersedia dalam bentuk suspense sehingga terlihat keruh.
Mengingat lama kerjanya maka sesuai bila digunakan untuk regimen dua kali
sehari dan sebelum tidur pada regimen basal-bolus. Sebelum digunakan, insulin
harus dibuat merata konsentrasinya, jangan dengan mengoocok karena dapat
menyebabkan degradasi protein, tetapi dengan jalan menggulung-gulung di
antara kedua telapak tangan (Rustamaet al., 2010).
Jenis insulin ini lebih sering digunakan untuk penderita yang telah
mempunyai pola hidup yang lebih teratur.

Keteraturan ini sangat penting,

terutama untuk menghindari terjadinya hipoglikemia. Sebagian besar penderita


diabetes anak menggunakan insulin jenis ini.
DM tipe-1 usia bayi (0-2 tahun) mempunyai pola hidup (makan, minum,
tidur) yang masih teratur sehingga mudah mencapai kontrol metabolik yang baik.

21

Dua sediaan insulin jangka menengah yang tersedia adalah (Canadian Diabetes
Association, 2013):
1. Isophane atau insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn)
2. Insulin Crystalline zinc-asetate (insulin lente)
Insulin Isophane paling sering digunakan pada anak, terutama karena
memungkinkan untuk digabung dengan insulin regular dalam satu syringe tanpa
adanya interaksi (insulin regular bila dicampur dngan insulin lente dalam satu
syringe, akan mengurangi reaksi sehingga mengurangi efek kerja jangka
pendeknya) (Rustama et al., 2010).
c. Insulin Kerja Panjang (long acting)
Insulin kerja panjang tradisional (Ultralente) mempunyai kerja lebih dari 24
jam, sehingga dapat digunakan untuk regimen basal bolus.
d. Insulin Kerja Campuran
Saat ini di Indonesia terdapat beberapa sediaan insulin campuran yang
mempunyai pola kerja bifasik, terdiri dari kombinasi insulin kerja cepat dan
menengah, atau kerja pendek dan menengah yang sudah dikemas oleh pabrik.
Sediaan insulin campuran kerja pendek dan kerja cepat dengan insulin kerja
menengah tersedia dalam beberapa rasio antara lain 10:90, 15:8, 20:80, 25:75,
30:70,

40:60, 50:50. Sediaan yang ada di Indonesia antara lain dengan

kombinasi 30:70 artinya terdiri dari 30% insulin kerja cepat atau pendek, dan
70% insulin kerja menengah (Rustamaet al., 2010).
Insulin campuran memberikan kemudahan bagi penderita. Pemakaian
sediaan ini dianjurkan bagi penderita yang telah mempunyai kontrol.Insulin kerja
campuran memberikan kemudahan bagi penderita. Pemakaian sediaan ini
dianjurkan bagi penderita yang telah mempunyai kontrol metabolic yang baik
denngan campuran insulin sendiri yang sesuai. Penggunaan sediaan ini banyak

22

bermanfaat pada kasus-kasus sebagai berikut:Penderita diabetes muda usia


dengan pendidikan orangtua yang rendah. Penderita dengan problem psikososial
pada individu maupun keluarganya. Para remaja yang tidak senang dengan
perhitungan dosis insulin campuran yang rumit. Pada penderita dengan
penggunaan insulin dengan rasio yang stabil (Rustama et al., 2010).
e. Insulin Basal Analog
Insulin basal analog merupakan insulin jenis baru yang mempunyai kerja
panjang sampai dengan 24 jam. Di Indonesia saat ini sudah tersedia insulin
glargine dan detemir, keduanya mempunyai profil kerja yang lebih terduga
dengan variasi harian yang lebih stabil dibandingkan dengan insulin NPH. Insulin
ini tidak direkomendasikan untuk anak usia kurang dari 6 tahun tapi tercatat
insulin glargine dapat diberikan pada anak usia 1-5 tahun. Insulin glargine serta
detemir tidak dapat dicampur dengan insulin jenis lainnya (Rustama et al., 2010).
Glargine dan detemir direkomendasikan sebagai insulin basak karena
sifat kerjanya yang tidak mempunyai kadar puncak (peakless) dengan lama kerja
24 jam. Bila dibandingkan dengan NPH pada kelompok anak usia 5-16 tahun,
keduanya dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa dengan lebih baik,
namun secara keseluruhan tidak memperbaiki kadar HbA1c secara bermakna.
Insulin glargine dan detemir juga mengurangi risiko hipoglikemia nokturnal yang
berat (Rustamaet al., 2010).
Beberapa prinsip pemakaian insulin perlu dikemukakan lebih dahulu
sebelum membahas regimen insulin (Rustamaet al., 2010):
a. Tujuan terapi insulin adalah menjamin ketersediaan kadar insulin yang
cukup di dalam tubuh selama 24 jam untuk memenuhi kebutuhan sebagai
insulin basal maupun insulin koreksi dengan kadar yang lebih tinggi (bolus)
akibat efek glikemia makanan.

23

b. Regimen insulin sangat bersifat individual, sehingga tidak ada regimen


yang seragam untuk semua penderita DM tipe 1. Regimen apapun yang
digunakan bertujuan untuk mengikuti pola sekresi insulin pada orang
normal sehingga mampu menormalkan metabolism gula atau minimal
mendekati normal.
c. Pemilihan regimen insulin harus memperhatikan beberapa faktor yakni
umur, lama menderita diabetes, gaya hidup penderita (pola makan, jadwal
latihan, sekolah, dsb), target kontrol metabolic, dan kebiasaan individu
maupun keluarganya.
d. Kecil kemungkinannya untuk mencapai normoglikemia pada anak dan
remaja dengan pemberian insulin satu kali perhari.
e. Regimen apapun yang digunakan. Insulin tidak boleh dihentikan pada
keadaan sakit. Dosis insulin disesuaikan dengan keadaan sakit penderita,
dan sebaiknya dikonsulkan kepada dokter.
f.

Berdasarkan hasil penelitian, sukar sekali mencapai normoglikemia secara


konsisten pada DM tipe 1. Rerata HbA1c pada kelompok pengobatan
intensif adalah 7-7.5%.

g. Konsep basal-bolus (missal: insulin pump, kombinasi pemberian insulin


basal 1-2 kali dan insulin kerja cepat atau kerja pendek sebagai bolus saat
makan

utama/makanan

kecil)

mempunyai

kemungkinan

terbaik

menyerupai sekresi insulin fisiologis.


h. Bagi anak-anak sangat dianjurkan paling tidak menggunakan 2 kali injeksi
insulin per hari (campuran insulin kerja cepat/pendek dengan insulin basal).
i.

Pada fase remisi seringkali hanya memerlukan 1 kali suntikan insulin kerja
menengah panjang atau basal untuk mencapai kontrol metabolic yang baik.

24

Selama periode honeymoon, total dosis insulin harian < 0.5 U/kgBB/hari.
Anak sebelum pubertas (di luar periode honeymoon) dalam kisaran dosis 0.7-1.0
U/kgBB/hari. Selama pubertas, kebutuhan akan meningkat di atas 1 U sampai
dengan 2 U/kgBB/hari. Pada anak dengan regimen dua kali suntikan, pada pagi
hari diberikan lebih banyak (lebih kurang2/3) dari total dosis harian dan dosis
lebih sedikit (lebih kurang 1/3) pada sore hari. Pada regimen ini, kandungan
insulinnya terdiri dari 1/3 dosis insulin kerja pendek dan kurang lebih 2/3 insulin
kerja menengah.Pada regimen basal bolus, insulin kerja menengah (sebagai
insulin basal) diberikan pada malam hari sebesar 30% (jika bolus menggunakan
insulin kerja pendek) dan 50% (jika bolus menggunakan insulin kerja cpat) dari
total harian. Kebutuhan insulin bolus lebih kurang 50% (jika menggunakan insulin
kerja cepat) sampai dengan 70% (jika menggunakan insulin kerja pendek) yang
diberikan secara terbagi antara 3-4 kali (Rustamaet al., 2010).
Glargine

sering

diberikan

sehari

sekali,

tetapi

beberapa

anak

membutuhkan dua kali pemberian atau dikombinasikan dengan NPH sebagai


insulin basal. Glargine dapat diberikan sebelum makan pagi atau saat akan tidur
malam yang akan memberikan efek yang sama, tetapi hipoglikemia malam hari
akan berkurang jika diberikan setelah makan pagi. Glargine sebagai insulin
basal, kebutuhannya adalah 20% lebih rendah untuk mencegah hipoglikemia.
Detemir sering diberikan sehari dua kali pada anak, dan bila akan diganti dengan
NPH, dosis tetap sama (Rustama et al., 2010).
Penyesuaian dosis insulin bertujuan untuk mencapai kontrol metabolik
yang optimal, tanpa meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia dan tanpa
mengabaikan kualitas hidup penderita baik janga pendek maupun jangka
panjang. Keseimbangan antara kontrol metabolik dan kualitas hidup sangat sulit
dicapai tapi harus diusahakan. Pengaturan dosis insulin yang terlalu kaku atau
terlalu

fleksibel

tidak

mencapai

tercapainya

kontrol

metabolik

yang
25

baik.Penyesuaian dosis biasanya dibuthkan pada periode honeymoon, masa


remaja, masa sakit, dan sedang menjalankan pembedahan. Pada dasarnya,
kebutuhan insulin sesuai dengan kebutuhan metabolism tubuh. Masalahnya
penyesuain dosis insulin tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan karena
belum ada regimen insulin yang benar benar sesuai dengan fisiologi insulin
alamiah. Selain itu pola hidup penderita juga mempengaruhi kadar glukosa
darah. Meskipun demikian penyesuaian dosis insulin yang tidak tepat dapat
mencetuskan kedaruratan medik (Rustamaet al., 2010).
Pada periode honeymoon, dosis insulin yang dibutuhkan sangat rendah,
bahkan pada beberapa kasus kontrol metabolic dapat dicapai tanpa pemberian
insulin sama sekali. Dosis insulin pada periode ini perlu disesuaikan untuk
menghindari serangan hipoglikemia. Pada masa remaja, kebutuhan insulin
meningkat karena kerja hormone steroid seks, meningkatnya amplitude dan
frekuensi sekresi growth hormone, yang kesemuanya merupakan hormone anti
insulin (Rustama et al., 2011).
Pada saat sakit, dosis insulin perlu disesuaikan dengan asupan makanan
tetapi jangan menghentikan insulin sama sekali. penghentian insulin akan
meningkatkan lipolisis dan glikogenolisis sehingga kadar glukosa darah
meningkat dan penderita rentan untuk menderita ketoasidosis. Pada saat terjadi
perubahan pola makan untuk jangka tertentu misalnya Ramadhan, dosis insulin
juga harus disesuaikan hingga 2/3

atau dari total insulin harian, serta

distribusinya disesuaikan dengan porsi dosis sebelum buka puasa lebih besar
dari dosis sebelum makan sahur (Rustamaet al., 2010)..
Pada regimen dua atau tiga kali suntikan, penyesuaian dosis dilakukan
berdasarkan pola kadar glukosa darah harian selama beberapa hari (7-10 hari)
dengan mempertimbangkan pola aktivitas dan pola makan penderita. Pada

26

regimen basal-bolus, penyesuaian dosis insulin dilakukan lebih fleksibel dan


dinamis(Rustama et al., 2011).
2.8.1.3 Nutrisi
Semua anak dengan DM tipe 1 sebaiknya menerima konseling dari ahli
diabetes anak. Mengkonsumsi berbagai variasi makanan dari keempat grup
makanan (produk gandum, sayur dan buah, susu, dan daging). Tidak ada bukti
kuat yang menunjukkan satu kelompok makanan lebih superior daripada
kelompok makanan lainnya untuk mendapat kadar gula darah sesuai target.
Terapi nutrisi disesuaikan bagi tiap individu anak, karena berbeda, tergantung
kebutuhan gizi anak, kebiasaan makan, gaya hidup, kemampuan, dan minat).
dan harus meyakinkan pertumbuhan normal tanpa mengganggu usaha kontrol
gula darah (Rustama et al., 2011).
Pengaturan makan merupakan salah satu penanganan dan edukasi pada
diabetes. Waktu makan yang teratur dan rutin dalam keluarga membantu
pemulihan jenis dan asupan makanan sehingga akan menghasilkan glukosa
darah yang baik (Rustama et al., 2011).
Pengaturan makan pada penderita DM tipe-1 bertujuan mencapai kontrol
metabolic yang baik. Tanpa emngabaikan kalori yang dibutuhkan untuk
metabolisme basal, pertumbuhan, pubertas, ataupun untuk aktivitas. Dengan ini
diharapkan

anak tidak

menjadi

obes

dan dapat

mencegah terjadinya

hipoglikemia. Sedangkan pada DM Tipe-2 bertujuan mengurangi asupan kalori,


penurunan berat badan, serta mencegah, memperlambat, dan menurunkan risiko
kardiovaskular (Rustamaet al., 2010).
Pengaturan makan dilakukan segera setelah diagnosis. Ada beberapa
cara untuk menghitung kebutuhan kalori, antara lain berdasarkan berat badan
ideal dan berdasarkan umur. Jumlah kalori per hari yang dibutuhkan jika dihitung

27

berdasarkan berat badan ideal, maka memerlukan data umur, jenis kelamin,
tinggi dan berat badan saat penghitungan, serta data kecukupan kalori yang
dianjurkan. Dapat pula menggunakan penghitungan berdasarkan umur: bila
berusia 0-12 tahun menggunakan rumus 1000+ (usia x 100) = kal/hari dan jika
berusia lebih dari 12 tahun= 2000 kal/m2 (Rustama et al., 2011).
Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia
pubertas dapat juga ditentukan dengan rumus sebagai berikut: 1000 + (usia
dalam tahun x 100) = ....... Kalori/hari. Komposisi sumber kalori per hari
sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-15% protein (semakin menurun
dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak (Rustama et al., 2011).
Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali
makanan kecil sebagai berikut :

20% berupa makan pagi.

10% berupa makanan kecil.

25% berupa makan siang.

10% berupa makanan kecil.

25% berupa makan malam.

10% berupa makanan kecil.


Makanan kitamengandung karbohidrat,protein, lemak, serta vitamin dan
mineral. Karbohidrat, protein dan lemak merupakan penyumbang energi yang
terbesar. Sembilan puluh sampai seratus persen karbohidrat akan diubah
menjadi glukosa dalam waktu 15-90 menit setelah makan. Protein 58% akan
dirubah menjadi glukosa dalam waktu 3-4 jam setelah makan, sedangkan lemak
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengubah 10% lemak menjadi
glukosa. Komposisi makanan yang disarankan per hari adalah:

28

Jenis karbohidrat yang dianjurkan ialah yang berserat tinggi, indeks


glikemik dan glycemic load yang rendah, misalnya golongan buahbuahan, sayuran, dan sereal yang akan membantu mencegah lonjakanlonjakan kadar glukosa darah. Kebutuhan serat per hari pada anak
sampai usia 1 tahun adalah 2.8 3.4 gram per megajoule, pada anak di
atas 2 tahun dapat digunakan rumus = umur (tahun) + 5= gram/hari. Serat
yang larut (soluble) akan menurunkan kadar lipid, misalnya pada sayuran,
buah, kacang-kacangan, gandum. Golongan serat yang tidak (insoluble
fiber) akan menyebabkan fungsi usus lebih baik, missal terdapat pada
beras merah dan sereal.

Kebutuhan sukrosa 10% dari total kalori per hari. Asupan sukrosa bila
tidak berlebihan tidak akan menaikkan kadar glukosa darah,

Kebutuhan lemak 30-35% dari total kalori per hari. Disarankan asupan
lemak harus lebih rendah dari total kebutuhan lemak dengan menurunkan
asupan lemak jenuh dan asam lemak trans. Asam lemak tak jenuh rantai
tunggal dan asam lemak takjenuh rantai ganda dapat digunakan sebagai
pengganti asupan lemak dengan jumlah yang sesuai untuk memperbaiki
profil lemak.

Asam lemak jenuh produk hewani antara lain terdapat di susu, keju,
mentega, dan daging merah, sedangkan asamlemak tak jenuh rantai
sedang hasil olahan pabrik antara lain biscuit, kue, dan coklat. Asam
lemak tak jenuh rantai ganda terdapat pada tumbuh-tumbuhan antara lain
jagung, bunga matahari, kedelai, biji-bijian. Minyak ikan dan minyak
tumbuh-tumbuhan mengandung asam lemak tak jenuh n-3, sedangkan
asam lemak tak jenuh rantai tunggal terdapat

29

Bila terdapat penyakit penyerta, kebutuhan nutrisi juga disesuaikan untuk


memenuhi peningkatan nutrisi yang dibutuhkan tubuh.
2.8.1.4 Olahraga
Olahraga dapat membantu menurunkan berat badan, mempertahankan
berat badan ideal dan meningkatkan rasa percaya diri. Pada penderita DM
berolahraga dapat membantu menurunkan kadar glukosa darah, menimbulkan
perasaan sehat atau well being, dan meningkatkan sensitivitas terhadap
insulin, sehingga mengurangi kebutuhan akan insulin. Pada beberapa penelitian
terlibat bahwa olahraga dapat meningkatkan kapasitas kerja jantung dan
mengurangi terjadinya komplikasi DM jangka panjang (Rustama et al., 2011).
Pada anak sehat, olahraga akan menurunkan sekresi insulin dan
meningkatkan hormone kontraregulator glukosa yang akan meningkatkan
produksi glukosa di hati. Glukosa akan digunakan oleh otot selama olahraga dan
akan menjaga kadar glukosa darah tetap stabil selama olahraga. Sedangkan
pada penderita DM tipe 1 yang terkontrol, pancreas tidak dapat mengatur kadar
insulin sebagai respons dari olahraga dan juga mungkin disertai gangguan
hormon kontraregulasi glukosa, sehingga terjadi hipoglikemia selama olahraga
(Rustama et al., 2011).

30

Gambar 2.2 Respon fisiologi terhadap olahraga pada anak diabetic dan non-diabetik
(Rustama et al., 2011)

Bagi penderita DM, terutama yang tidak terkontrol dengan baik, olahraga
dapat

menyebabkan

keadaan

yang

tidak

diinginkan

seperti

keadaan

hiperglikemia sampai dengan KAD, makin beratnya komplikasi diabetik yang


sudah dialami, dan hipoglikemia. Sekitar 40% kejadian hipoglikemia pada
penderita DM dicetuskan oleh olahraga. Oleh karena itu pada penderita DM tipe
1 yang memutuskan untuk berolahraga teratur, terutama olahraga dengan
intensitas sedang-berat diharapkan berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter
yang merawatnya sebelum memulai program olahraganya. Mereka diharapkan
memeriksa status kesehatannya dengan cermat dan menyesuaikan intensitas,
dan lama olahraga dengan keadaan kesehatan saat itu (Rustama et al., 2011).
Bagi penderita DM tipe 1 ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
sebelum, selama, dan setelah berolahraga. Ada beberapa penyesuaian diet,
insulin, dan cara monitoring gula darah agar aman berolahraga, antara lain:

Sebelum berolah raga:

Tentukan waktu, lama, jenis, intensitas olahraga. Diskusikan


dengan pelatih/guru olahraga dan konsultasikan dengan dokter

Asupan karbohidrat dalam 1-3 jam sebelum berolah raga

Cek kontrol metabolik, minimal 2 kali sebelum berolah raga

Kalau gula darah (GD) <90 mg/dL dan cenderung turun,


tambahkan ekstra karbohidrat.

Kalau GD 90-250 mg/dL, tidak diperlukan ekstra karbohidrat


(tergantung lama aktifitas dan respons individual)

Kalau GD > 250 mg/dL dan keton urin/darah (+), tunda olahraga
sampai GD normal dengan insulin

31

Bila olahraga aerobik, perkiraan energy yang dikeluarkan dan


tentukan apakah penyesuain insulin atau tambahan karbohidrat
diperlukan

Bila olahraga anaerobik atau olahraga saat panas, atau olahraga


kompetisi insulin dapat dinaikkan

Pertimbangkan pemberian cairan untuk hidrasi (@ 250 mL 20


menit sebelum olahraga)

Selama berolahraga:
Monitor GD tiap 30 menit
Teruskan asupan cairan (250 mL tiap 20-30 menit)
Konsumsi karbohidrat tiap 20-30 menit, bila diperlukan
Setelah berolahraga

Monitor GD, termasuk sepanjang malam (terutama bila tidak biasa

dengan program olahraga yang sedang dijalani)


Pertimbangkan mengubah terapi insulin
Pertimbangkan tambahan karbohidrat kerja lambat dalam 1-2 jam
setelah olahraga untuk menghindari hipoglikemia awitan lambat.
Hipoglikemia awitan lambat dapat terjadi sampai 2 kali 24 jam setelah
latihan
Respon seorang, juga penderita DM tipe 1, terhadap suatu jenis olahraga

sangat individual, karena itu acuan di atas merupakan acuan secara umum.
Seorang atlet berpengalaman pun perlu waktu yang cukup lama, untuk
mendapatkan

pola

pengelolaan

yang

benar-benar

sesuai

untuk

jenis

olahraganya (Rustama et al., 2011).


Tabel 2.3 Faktor yang berpengaruh pada perubahan kadar glukosa selama olahraga
Hipoglikemia

Kadar
glukosa
berubah

tidak

Hiperglikemia

32

Hiperinsulinemia karena
pemberian insulin yang
berlebihan
(basal
atau
bolus).
Olahraga
yang
berkepanjangan
berlangsungan
>30-60
menit
tanpa
asupan
karbohidrat
Aerobik
intensitas
sedang (kapasitas aerobic
maksimal 50-75%)
Olahraga berlebihan

Pemberian insulin
dan
konsumsi
karbohidrat
yang
sesuai

Hipoinsulinemia
sebelum
dan
selama
olahraga
Emosi yang berlebihan
selama olahraga kompetisi
akan meningkatkan respon
terhadap adrenal
Olahraga tidak teratur
dengan instensitas aktifitas
anaerobik
menimbulkan
peningkatan
respons
terhadap adrenal
Konsumsi
karbohidrat
berlebihan
Setalah
olahraga,
produksi glukosa meningkat
berlebihan

2.8.2 Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe 2


Resistensi
kegagalan sel

insulin

mulai

merupakan
terjadi

dasar

sebelum

dari

diabetes

berkembangnya

tipe

2,

diabetes

dan
yaitu

dengan terjadinya ketidakseimbangan antara resistensi insulin dan sekresi


insulin. De Fronzo menyatakan bahwa fungsi sel menurun sebesar kira
-kira 20% pada saat terjadi intoleransi glukosa. Dengan demikian jelas
bahwa

pendekatan pengobatan

resistensi

insulin

diabetes

tipe 2

harus

memperbaiki

dan memperbaiki fungsi sel (Reinehr, 2013).

Pada umumnya pengobatan, tindak lanjut,dan pemantauan DM tipe-2


sama dengan DM tipe-1. Perubahan gaya hidup, obat hipoglikemik oral, dan
insulin merupakan terapi utama pada dm tipe-2 anak. Perubahan gaya hidup
dengan menurunkan berat badan, pemilihan jenis makanan, dan meningkatkan
aktifitas merupakan rekomendasi pada DM tipe-2 anak. Dianjurkan olahraga
paling sedikit 30-60 menit per hari dan kurang dari 1-2 jam untuk menonton
televisi. Konsumsi kalori harian harus diturunkan, asupan lemak diturunkan
menjadi 25-35% dari kebutuhan total kalori per hari (Rustama et al., 2011).
Tujuan pemberian obat-obatan adalah menurunkan resistensi insulin,
meningkatkan sekresi insulin, atau menurunkan absorbsi glukosa postpandrial.

33

Obat hipoglikemik oral pilihan pada anak dengan DM tipe-2 adalah metformin.
Obat ini dapat meningkatkan sensitivitas terhadap insulin, memperbaiki kadar
glukosa darah tanpa menyebabkan peningkatan berat badan, menurunkan
HbA1c tanpa resiko hipoglikemia, kadar trigliserida dan LDL-C cenderung turun
selama terapi. Harus berhati-hati pada insufisiensi ginjal karena resiko asidosis
laktat berat, pemeriksaan fungsi ginjal dan serum kreatinin perlu dilakukan pada
awal terapi dan selama pemantauan. Kontraindikasi yang lain adalah asidosis
metabolik dan KAD berulang. Efek samping dari metformin adalah diare, mual,
dispepsia, kembung, dan sakit perut tetapi obat tetap diteruskan karena gejala
akan menghilang. Dosis awal 500 mg/hari pada malam hari, dosis dapat
dinaikkan 500 mg tiap minggu (atau 850 mg setiap 2 minggu) sampai maksimum
2000 mg/hari dalam dosis terbagi untuk pasien berusia kurang dari 16 tahun,
atau maksimal 2550 mg/hari terbagi 2-3 dosis untuk pasien berusia lebih dari 16
tahun. Bila dalam tiga bulan tidak ada perbaikan maka perlu ditambahkan
Glitazone, sulfonylurea, atau insulin dengan atau tanpa kombinasi dengan
meglitinid, amilin, a GLP-1 mimetik, atau DPP-IV inhibitor. Golongan sulfonylurea
merangsang sekresi insulin dan merupakan pilihan alternatif pada pasien yang
tidak toleransi terhadap metformin (Rustama et al., 2010).
Insulin sering diberikan untuk mencapai kontrol glukosa yang baik. Dosis
awal 0,5-1,0 U/kgBB/hari sampai target kadar glukosa darah tercapai. Dapat
digunakan insulin kerja panjang atau kerja menengah untuk mengkontrol kadar
glukosa pada target yang telah ditentukan, sedangkan sebagai tambahan dapat
diberikan insulin kerja pendek atau kerja cepat. Bila tingkat kepatuhan rendah,
insulin campuran dapat sebagai pilihan.
Hal yang mendasar dalam pengelolaan DM tipe-.2 adalah perubahan
pola hidup yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur. Dengan atau

34

tanpa terapi farmakologik, pola makan yang seimbang dan olah raga teratur
(bila tidak ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan (Reinehr, 2013).
2.9 Komplikasi Diabetes Melitus
2.9.1

Komplikasi Jangka Pendek


a. Ketoasidosis diabetikum (KAD) : karena pemecahan asam lemak
(dari adiposit) dan asam amino (dari hepar), sehingga terbentuk
benda keton (-OHB dan asetoasetat) yang menyebabkan asidosis
b. Hipoglikemia
c. Hiperglikemia

2.9.2

Komplikasi Jangka Panjang


a. Mikrovaskular
-

Retinopati diabetik

Nefropati diabetik

Neuropati perifer

b. Makrovaskular : pada anak jarang komplikasi penyakit jantung dan


pembuluh darah, tetapi jika kontrol metaboliknya buruk maka
kemungkinan bisa terjadi di usia lebih dewasa.
2.9.3

Komplikasi Lain yang Berhubungan


a. Gangguan pertumbuhan, perkembangan, dan pubertas
b. Hipotiroidisme dan hipertiroidisme
c. Lipodistrofi
d. Gastropati
e. Vitiligo
f.

Insufisiensi adrenal primer

g. Necrobiosis lipoidica diabetikorum


h. Gangguan gerakan sendi

35

Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk:


1. Mengurangi terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan dialisis.
2. Menunda end stage renal disease dan dengan ini memperpanjang umur
penderita.

36

BAB III
PENUTUP

3.1

Kesimpulan
Diabetes melitus merupakan kelompok penyakit metabolik yang ditandai

dengan karateristik hiperglikemia dan terjadi akibat defek sekresi insulin, kinerja
insulinm maupun keduanya. Disebut DM tipe 1 apabila terjadi defisiensi absolut
sekresi insulin. Pada DM tipe 1 kerusakan sel pankreas akibat proses autoimun
atau idiopatik (International Diabetes Federation, 2014). Insiden DM tipe 1 di
Indonesia menurut IDAI tahun 2011, berkisar 0,2-0,42 per 100.000 anak per
tahun namun bervariasi di setiap provinsinya. Sebagian besar DM tipe 1 bersifat
asimtomatis.Gejala klasik DM berupa poluria, polidipsia, serta penurunan berat
badan yang cepat tanpa sebab yang jelas yang pada umumnya muncul secara
akut (1-2 minggu sebelum diagnosis ditegakkan).Pada anak, gejala klasik
poliuria sering ditemukan pada anak dengan dehidrasi sedang-berat. Gejala lain
akibat hiperglikemia berupa luka sulit sembuh, kulit kering dan gatal, parestesia
pada kaki, atau pandangan kabur. Pada kasus yang terlambat didiagnosis dapat
ditemui komplikasi DM tipe 1 berupa ketoasidosis. Diagnosis DM disesuaikan
dengan kriteria diagnosisnya, yaitu:
1. Kadar HbA1C 6,5%
2. Gejala klasik DM dan kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dL (11,1
mmol/L)
3. Pada pasien asimtomatis, ditemukan kadar glukosa darah sewaktu >200
mg/dL (11,1 mmol/L) atau kadar glukosa puasa lebih tinggi dari normal

37

(126 mg/dL atau 7 mmol/L), dengan hasil TTG terganggu pada lebih dari
satu kali pemeriksaan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain dengan deteksi
autoantibodi pada serum, keton darah, urinalisis, C-peptide, serta HbA1c sebagai
parameter kontrol metabolik (ADA, 2012).
Tujuan dan sasaran terapi DM tipe 1 ditujukan agar kualitas hidup pasien
tetap optimal, dengan kontrol metabolik yang baik. Pemeriksaan HbA1c
merupakan parameter kontrol metabolik standar pada pasien DM. nilai HbA1c
<7% berarti kontrol metabolik baik. Secara garis besar, tata laksana DM tipe 1
meliputi pemberian insulin, pengaturan makan, olahraga, serta edukasi, yang
didukung oleh pemantauan mandiri(Rustama et al., 2011). Komplikasi DM tipe 1
dapat dibagi menjadi komplikasi jangka pendek dan komplikasi jangka
panjang.Komplikasi jangka pendek seperti ketoasidosis diabetikum, hipoglikemia,
ataupun

hiperglikemia.Komplikasi

jangka

panjang

dibedakan

menjadi

mikrovaskular dan makrovaskular, komplikasi mikrovaskular antara lain seperti


retinopati diabetikum, nefropati diabetik, dan neuropati perifer; sedangkan
komplikasi

makrovaskular

perkembangan,

dan

antara

pubertas,

loain

seperti

hipotiroidisme

gangguan

dan

pertumbuhan,

hipertiroidisme,

serta

lipodistrofi (Pudjiadi et al., 2011).

38

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (ADA), Kaufman FR. 2012. Medical management


of type 1 diabetes. Edisi ke-6. Virginia. Amerika Serikat: ADA
American Diabetes Associati on: Standards of medical care in diabetes
2008 (Position statement). Diabetes Care 2008;31 (Suppl.1):S12-54.
Bloomgarden ZT. Approaches to Treatment of Type 2 Diabetes. Diabetes
Care 2008; 31 1697-1703
Canadian Diabetes Association. 2013. Canadian Journal of Diabetes (37):1
Diakses dari
(http://guidelines.diabetes.ca/app_themes/cdacpg/resources/cpg_2013_fu
ll_en.pdf) pada 1 Agustus 2015
Dabelea D, Mayer-Davis EJ, Saydah S, Imperatore G, 2014. Prevalence of Type
1 and Type 2 Diabetes Among Children and Adolescent from 2001 to
2009. JAMA 311 (17):1778-1786.
Depkes.

2013.

Diabetes

MelitusPenyebabKematianNomor

KemenkesTawarkanSolusi

CERDIK

di

MelaluiPosbindu,

(http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=2383,

Dunia:
(Online),

diakses

25

Desember 2013).
Donath, M. Y., Gross, D. J., Cerasi, E., Kaiser, N. 1999. Hyperglycemia-Induced
Beta-Cell Apoptosis in Pancreatic Islets of PsammomysObesusDuring
Development of Diabetes. (Abstract).Diabetes, 48 (4): 738-744.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran,Edisi 11, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal. 881-1027
Hawkins M, Rossetti L. Insulin Resistance and Its Role in the Pathogenesis of
Type 2 Diabetes. In : Kahn CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Jacobson

39

AM, Smith RJ (Eds) Joslins Diabetes Melitus. Lippincott Williams &


Wilkin. Philadelphia. Pg 425-448, 2005
International

Diabetes

Federation.

2011.

Diabetes

in

Childhood

and

Adolescence. Diabetes Atlas


International Diabetes Federation. 2014. Epidemiology and Prevention. Diabetes
Atlas, (Online), (http://www.idf.org/diabetesatlas, diakses 16 Februari
2014).
Leahy JL. -cell Dysfunction in Type 2 Dia betes In : Kahn CR, King GL,
Moses AC, Weir GC, Jacobson AM , Smith RJ

(Eds) Joslins

Diabetes Melitus. Lippincott Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg 449-462,


2005
Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci SL, Loscalzo J. 2011. Harrison's
Principle of Internal Medicine, 18th Ed., The McGraw-Hill Companies,
Boston, p. 3328-3329.
NICE. 2014. Clinical Guideline Type 1 Diabetes: Diagnosis and Management of
Type 1 Diabetes in Children, Young People and Adults.
Permana, Hikmat. 2009. Komplikasi Kronik dan Penyakit Penyerta pada
Diabetesi.DivisiEndokrinologidanMetabolisme,
DepartemenIlmuPenyakitDalam,

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Padjajaran, RumahSakit Hasan Sadikin, Bandung, hal. 2-5.


Pudjiadi AH, Hegar B, Hardyastuti S, Idris NS, Gandaputra EP dkk., 2011.
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta:
Badan Penerbit IDAI
Ramin & Omar. 2011. Nelson Textbook of Pediatric 19 ed. Philadelphia: WB
Saunders Co: 7138-7139
Reinehr T, 2013. Type 2 Diabetes Melitus in Children and Adolescent.World
Journal of Diabetes 4(6): 270-281.

40

Rustama, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N. 2010. Buku
Ajar Endokrinologi Anak Edisi I: Diabetes Melitus. Unit Anak dan Remaja
IDAI: Jakarta.
Rustama, Hegar B, Hardyastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
2011. Diabetes melitus. Dalam: Buku ajar endokrinologi anak. UKK
Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI, Jakarta: Badan Penerbit IDAI
Rhisbud MV, Bhonde RR. 2002. Models of Pancreatic Regeneration in Diabetes.
(Abstract).Diabetes Res ClinPract, 58 (3): 155-165.
Steel S danTibby SM. 2009.Paediatric Diabetic Ketoacidosis. Continuing
Education Anaesthectic Critical Care and Pain 9(6): 194-199.
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. 2007. Buku Ajar
IlmuPenyakitDalam. Edisi IV, Jilid III, DepartemenIlmuPenyakitDalam
FKUI, Jakarta, hal. 1852-1857
Suryono S, Waspadji S, Soegondo S, Soewondo P, Subekti I, Semiardji G dkk.
2013. Penatalaksanaan Diabetes MelitusTerpadu. BalaiPenerbit FKUI,
Jakarta, hal. 3-29.
Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. 2014. Kapita Selekta Kedokteran.
Jakarta : Media Aesculapius. Hal : 29 34
Van Belle TL, Coppieters KT, Von Herrath MG. Type 1 Diabetes: Etiology,
Immunology, and Therapeutic Strategies. Institute for Allergy and
Immunology.Physiol Rev, 2011; 91(1): 79-118.
Wolfsdorf J, Glaser N, Sperling MA. 2006. Diabetic Ketoacidosis in Infants,
Children, and Adolescent: A Consensus Statement from the American
Diabetes Association. Journal od Diabetes Care 29(5): 1150-1159.
Atkinson MA, Maclaren NK. The pathogenesis of insulin-dependent diabetes
mellitus. N Engl J Med 1994; 331:1428.

41

McCulloch DK, Palmer JP. The appropriate use of B-cell function testing in the
preclinical period of type 1 diabetes. Diabet Med 1991; 8:800.
Larsen CM, Faulenbach M, Vaag A, et al. Interleukin-1-receptor antagonist in
type 2 diabetes mellitus. N Engl J Med 2007; 356:1517.
Smyth DJ, Cooper JD, Bailey R, et al. A genome-wide association study of
nonsynonymous SNPs identifies a type 1 diabetes locus in the interferoninduced helicase (IFIH1) region. Nat Genet 2006; 38:617.
Wellcome Trust Case Control Consortium. Genome-wide association study of
14,000 cases of seven common diseases and 3,000 shared controls.
Nature 2007; 447:661.
Todd JA, Walker NM, Cooper JD, et al. Robust associations of four new
chromosome regions from genome-wide analyses of type 1 diabetes. Nat
Genet 2007; 39:857.
Hakonarson H, Grant SF, Bradfield JP, et al. A genome-wide association study
identifies KIAA0350 as a type 1 diabetes gene. Nature 2007; 448:591.
Lowe CE, Cooper JD, Brusko T, et al. Large-scale genetic fine mapping and
genotype-phenotype associations implicate polymorphism in the IL2RA
region in type 1 diabetes. Nat Genet 2007; 39:1074.
Concannon P, Onengut-Gumuscu S, Todd JA, et al. A human type 1 diabetes
susceptibility locus maps to chromosome 21q22.3. Diabetes 2008;
57:2858.

42

Concannon P, Rich SS, Nepom GT. Genetics of type 1A diabetes. N Engl J Med
2009; 360:1646.
Cooper JD, Smyth DJ, Smiles AM, et al. Meta-analysis of genome-wide
association study data identifies additional type 1 diabetes risk loci. Nat
Genet 2008; 40:1399.

43

Vous aimerez peut-être aussi