Vous êtes sur la page 1sur 9

Definisi

Resusitasi jantung paru merupakan usaha yang dilakukan untuk mengembalikan


fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory arrest) dan atau
henti jantung (cardiac arrest) pada orang dimana fungsi tersebut gagal total oleh suatu
sebab yang memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya bila kedua fungsi tersebut
bekerja kembali.
B. Pengajaran resusitasi jantung paru (RJP) dibagi dalam 3 fase, yaitu :
1. Bantuan Hidup Dasar (BDH).
2. Bantuan Hidup Lanjut (BHL).
3. Bantuan Hidup Jangka Lama.
9 langkah dengan menggunakan huruf abjad
Fase I : untuk oksigenasi darurat, terdiri dari :
1) Airway Control : penguasaan jalan nafas.
2) Breathing Support : ventilasi bantuan dan oksigen paru darurat.
3)

Circulation Support : pengenalan tidak adanya denyut nadi dan pengadaan

sirkulasi
buatan dengan kompresi jantung, penghentian perdarahan dan posisi untuk syok.
Fase II : untuk memulai sirkulasi spontan terdiri dari :
4)

Drugs and Fluid Intravenous Infusion : pemberian obat dan cairan tanpa

menunggu
hasil EKG.
5)

Electrocardioscopy (Cardiography).

6)

Fibrillation Treatment : biasanya dengan syok listrik (defibrilasi).

Fase III : untuk pengelolaan intensif pasca resusitasi, terdiri dari :


7) Gauging : menetukan dan memberi terapi penyebab kematian dan menilai sejauh
mana pasien dapat diselamatkan.
8) Human Mentation : SSP diharapkan pulih dengan tindakan resusitasi otak yang

baru dan
9) Intensive Care : resusitasi jangka panjang.

1. Fase I (Bantuan Hidup Dasar)


Bila terjadi nafas primer, jantung terus dapat memompa darah selama
beberapa menit dan sisa O2 yang berada dalam paru darah akan terus beredar ke otak
dan organ vital lain. Penanganan dini pada korban dengan henti nafas atau sumbatan
jalan nafas dapat mencegah henti jantung. Bila terjadi henti jantung primer, O2 tidak
beredar dan O2 yang tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik. Henti
jantung dapat disertai dengan fenomena listrik berikut : fibrilasi fentrikular,
takhikardia fentrikular, asistol ventrikular atau disosiasi elektromekanis.
Penilaian tahapan BHD sangat penting. Tindakan resusitasi meliputi posisi
pembukaan jalan nafas buatan dan kompresi dada luar dilakukan kalau memang betul
dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang tepat. Setiap langkah ABC RJP dimulai
dengan penentuan tidak ada respon, tidak ada nafas dan tidak ada nadi.
Pada korban yang tiba- tiba kolaps, kesadaran harus segera ditentukan dengan
tindakan goncangan atau teriak yang terdiri dari menggoncangkan korban dengan
lembut dan memanggil keras.
Bila tidak dijumpai tanggapan hendaknya korban diletakkan dalam posisi
terlentang dan ABC BHD hendaknya dilakukan. Sementara itu mintalah pertolongan
dan bila mungkin aktifitaskan sistem pelayanan medis darurat.
1 . Airway (Jalan Nafas)
Sumbatan jalan nafas oleh lidah yang menutupi dinding posterior faring adalah
merupakan persoalan yang sering timbul pada pasien yang tidak sadar dengan posisi
terlentang. Resusitasi tidak akan berhasil bila sumbatan tidak diatasi. Tiga cara telah
dianjurkan untuk menjaga agar jalan nafas tetap terbuka yaitu dengan metode ekstensi
kepala angkat leher, metode ekstensi kepala angkat dagu dan metode angkat dagu
dorong mandibula, dimana metode angkat dagu dorong mandibula lebih efektif dalam
membuka jalan nafas atas daripada angkat leher.
Pendorongan mandibula saja tanpa ekstensi kepala juga merupakan metode
paling aman untuk memelihara jalan nafas atas tetap terbuka, pada pasien dengan
dugaan patah tulang leher. Bila korban yang tidak sadar bernafas spontan dan adekuat

dengan tidak ada sianosis, korban sebaiknya diletakkan dalam posisi mantap untuk
mencegah aspirasi. Bila tidak diketahui atau dicurigai ada trauma kepala dan leher,
korban hanya digerakkan atau dipindahkan bila memang mutlak diperlukan karena
gerak yang tidak betul dapat mengakibatkan paralisis pada korban dengan cedera
leher. Disini teknik dorong mandibula tanpa ekstensi kepala merupakan cara yang
paling aman untuk membuka jalan nafas, bila dengan ini belum berhasil dapat
dilakukan sedikit ekstensi kepala.
2.

Breathing (Pernafasan)
Setelah jalan nafas terbuka, penolong hendaknya segera menilai apakah pasien

dapat bernafas spontan atau tidak. Ini dapat dilakukan dengan mendengarkan gerak
nafas pada dada korban. Bila pernafasan spontan tidak timbul kembali diperlukan
ventilasi buatan.
Untuk melakukan ventilasi mulut ke mulut penolong hendaknya mempertahankan
kepala dan leher korban dalam salah satu sikap yang telah disebutkan diatas dan
memencet hidung korban dengan satu tangan atau dua kali ventilasi dalam. Kemudian
segera raba denyut nadi karotis atau femoralis. Bila ia tetap henti nafas tetapi masih
mempunyai denyut nadi diberikan ventilasi yang dalam sebesar 800 ml sampai 1200
ml setiap 5 detik.
Bila denyut nadi karotis tidak teraba, dua kali ventilasi dalam harus diberikan
sesudah tiap 15 kompresi dada pada resusitasi yang dilakukan oleh seorang penolong
dan satu ventilasi dalam sesudah tiap 5 kompresi dada pada yang dilakukan oleh 2
penolong. Tanda ventilasi buatan yang adekuat adalah dada korban yang terlihat naik
turun dengan amplitudo yang cukup ada udara keluar melalui hidung dan mulut
korban selama respirasi sebagai tambahan selama pemberian ventilasi pada korban,
penolong dapat merasakan tahanan dan pengembangan paru korban ketika diisi.
Pada beberapa pasien ventilasi mulut ke hidung mungkin lebih efektif
daripada fentilasi mulut ke mulut. Ventilasi mulut ke stoma hendaknya dilakukan pada
pasien dengan trakeostomi. Bila ventilasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung tidak
berhasil baik walaupun jalan nafas telah dicoba dibuka, faring korban harus diperiksa
untuk melihat apakah ada sekresi atau benda asing.
Pada tindakan jari menyapu, korban hendaknya digulingkan pada salah satu
sisinya. Sesudah dengan paksa membuka mulut korban dengan satu tangan
memegang lidah dan rahangnya, penolong memasukkan jari telunjuk dan jari tengah

tangan yang lain kedalam satu sisi mulut korban dalam satu gerakan menyapu. Bila
tindakan ini gagal untuk mengeluarkan benda asing, hendaknya dikerjakan hentakan
abdomen atau hentakan dada, sehingga tekanan udara dalam abdomen meningkat dan
akan mendorong benda untuk keluar.
Hentakan dada dilakukan pada korban yang terlentang, teknik ini sama dengan
kompresi dada luar. Urutan yang dianjurkan adalah:
1. Berikan 6 sampai 10 kali hentakan abdomen.
2. Buka mulut dan lakukan sapuan jari.
3. Reposisi pasien, buka jalan nafas dan coba beri ventilasi buatan dapat dilakukan
dengan sukses.
Bila sesudah dilakukan gerak tripel (ekstensi kepala, buka mulut dan dorong
mandibula), pembersihan mulut dan faring ternyata masih ada sumbatan jalan nafas,
dapat dicoba pemasangan pipa jalan nafas. Bila dengan ini belum berhasil perlu
dilakukan intubasi trakheal. Bila tidak mungkin atau tidak dapat dilakukan intubasi
trakheal, sebagai alternatifnya adalah krikotomi atau fungsi membrane krikotiroid
dengan jarum berlumen besar (misal dengan kanula intravena 14 G). Bila masih ada
sumbatan di bronkhus maka perlu tindakan pengeluaran benda asing dari bronkhus
atau terapi bronkhospasme dengan aminophilin atau adrenalin.

4. Circulation (Sirkulasi)
Bantuan ketiga dalam BHD adalah menilai dan membantu sirkulasi. Tandatanda henti jantung adalah:
a.

Kesadaran hilang dalam waktu 15 detik setelah henti jantung.

b.

Tak teraba denyut nadi arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa atau
brakhialis pada bayi).

c.

Henti nafas atau megap- megap.

d. Terlihat seperti mati.


e.

Warna kulit pucat sampai kelabu.

f.

Pupil dilatasi (45 detik setelah henti jantung)

g.

Tidak ada nadi yang teraba pada arteri besar, pemeriksaan arteri karotis sesering
mungkin merupakan tanda utama henti jantung. Diagnosis henti jantung dapat

ditegakkan bila pasien tidak sadar dan tidak teraba denyut arteri besar. Pemberian
ventilasi buatan dan kompresi dada luar diperlukan pada keadaan sangat gawat.
Korban hendaknya terlentang pada permukaan yang keras agar kompresi dada
luar yang dilakukan efektif. Penolong berlutut di samping korban dan meletakkan
sebelah tangannya diatas tengah pertengahan bawah sternum korban sepanjang sumbu
panjangnya dengan jarak 2 jari dari persambungan episternum. Tangan penolong yang
lain diletakkan diatas tangan pertama, jari- jari terkunci dengan lurus dan kedua bahu
tepat diatas sternum korban, penolong memberikan tekanan ventrikel ke bawah yang
cukup untuk menekan sternum 4 sampai 5 cm.
Setelah kompresi harus ada relaksasi, tetapi kedua tangan tidak boleh diangkat
dari dada korban, dianjurkan lama kompresi sama dengan lama relaksasi. Bila ada
satu penolong, 15 kompresi dada luar (laju 80 sampai 100 kali/ menit) harus diikuti
dengan pemberian 2 kali ventilasi dalam (2 sampai 3 detik). Dalam satu menit harus
ada 4 siklus kompresi dan ventilasi (yaitu minimal 60 kompresi dada dan 8 ventilasi).
Jadi 15 kali kompresi dan 2 ventilasi harus selesai maksimal dalam 15 detik. Bila ada
2 penolong, kompresi dada diberikan oleh satu penolong dengan laju 80 sampai 100
kali/ menit dan pemberian satu kali ventilasi dalam 1 sampai 1,5 detik oleh penolong
kedua sesudah tiap kompresi kelima. Dalam satu menit minimal harus ada 60
kompresi dada dan 12 ventilasi. Jadi lima kompresi dan satu ventilasi maksimal dalam
5 detik.
Kompresi dada harus dilakukan secara halus dan berirama. Bila dilakkan
dengan benar, kompresi dada luar dapat menghasilkan tekanan sistolik lebih dari 100
mmHg, dan tekanan rata- rata 40 mmHg pada arteri karotis. Kompresi dada tidak
boleh terputus lebih dari 7 detik setiap kalinya, kecuali pada intubasi trakheal,
transportasi naik turun tangga dapat sampai 15 detik. Sesudah 4 daur kompresi dan
ventilasi dengan rasio 15 : 2, lakukan reevaluasi pada pasien. Periksa apakah denyut
karotis sudah timbul (5 detik). Bila tidak ada denyut lanjutkan dengan langkah berikut
: Periksa pernafasan 3 sampai 5 detik bila ada, pantau pernafasan dan nadi dengan
ketat. Bila tidak ada lakukan ventilasi buatan 12 kali per menit dan pantau nadi
dengan ketat. Bila RJP dilanjutkan beberapa menit dihentikan, periksa apakah sudah
timbul nadi dan ventilasi spontan begitu seterusnya
2. Fase II (Banuan Hidup Lanjut)

Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik yang ditujukan untuk


memperbaiki ventilasi dan oksigenasi korban dan pada diagnosis serta terapi
gangguan irama utama selama henti jantung. Bantuan hidup dasar memerlukan
peralatan khusus dan penggunaan obat. Harus segera dimulai bila diagnosis henti
jantung atau henti nafas dibuat dan harus diteruskan sampai bantuan hidup lanjut
diberikan. Setelah dilakukan ABC RJP dan belum timbul denyut jantung spontan,
maka resusitasi diteruskan dengan langkah DEF.
Drug and Fluid (Obat dan Cairan)
Tanpa menunggu hasil EKG dapat diberikan :
1. Adrenalin : 0,5 1,0 mg dosis untuk orang dewasa, 10 mcg/ kg pada anak- anak.
Cara pemberian : iv, intratrakeal lewat pipa trakeal (1 ml adrenalin diencerkan
dengan 9
ml akuades steril, bukan NaCl, berarti dalam 1 ml mengandung 100 mcg
adrenalin). Jika
keduanya tidak mungkin : lakukan intrakardial (hanya oleh tenaga yang sudah
terlatih).
Di ulang tiap 5 menit dengan dosis sama sampai timbul denyut spontan atau mati
jantung.
2. Natrium Bikarbonat : dosis mula 1 mEq/ kg (bila henti jantung lebih dari 2 menit)
kemudian dapat diulang tiap 10 menit dengan dosis 0,5 mEq/ kg sampai timbul
denyut
jantung spontan atau mati jantung.
Penggunaan natrium bikarbonat tidak lagi dianjurkan kecuali pada resusitasi yang
lama,
yaitu pada korban yang diberi ventilasi buatan yang lama dan efisien, sebab kalau
tidak
asidosis intraseluler justru bertambah dan tidak berkurang. Penjelasan untuk
keanehan ini
bukanlah hal yang baru. CO2 yang tidak dihasilkan dari pemecahan bikarbonat
segera
menyeberangi membran sel jika CO2 tidak diangkut oleh respirasi.
3.

EKG
Meliputi fibrilasi ventrikuler, asistol ventrikuler dan disosiasi elektro mekanis.

4. Fibrilation Treatment (Terapi Fibrilasi)

Elektroda dipasang disebelah kiri puting susu kiri disebelah kanan sternum atas,
defibrilasi luar arus searah:
100 300 joule pada dewasa.
100 200 joule pada anak.
50 100 joule pada bayi.
3. Fase III (Bantuan Hidup Jangka Lama Atau Pengelolaan Pasca
Resusitasi).
Jenis pengelolaan pasien yang diperlukan pasien yang telah mendapat
resusitasi bergantung sepenuhnya kepada resusitasi. Pasien yang mempunyai defisit
neurologis dan tekanan darah terpelihara normal tanpa aritmia hanya memerlukan
pantauan intensif dan observasi terus menerus terhadap sirkulasi, pernafasan, fungsi
otak, ginjal dan hati. Pasien yang mempunyai kegagalan satu atau lebih dari satu
sistem memerlukan bantuan ventilasi atau sirkulasi, terapi aritmia, dialisis atau
resusitasi otak.
Organ yang paling terpengaruh oleh kerusakan hipoksemik dan iskemik
selama henti jantung adalah otak. Satu dari lima orang yang selamat dari henti jantung
mempunyai defisit neurologis. Bila pasien tetap tidak sadar, hendaknya dilakukan
upaya untuk memelihara perfusi dan oksigenasi otak. Tindakan ini meliputi
penggunaan agen vasoaktif untuk memelihara tekanan darah sistemik yang normal,
penggunaan steroid untuk mengurangi sembab otak dan penggunaan diuretik untuk
menurunkan tekanan intracranial. Oksigen tambahan hendaknya diberikan dan
hiperventilasi derajad sedang juga membantu.

4.

Keputusan Untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi.


Semua tenaga kesehatan dituntut untuk memulai RJP segera setelah diagnosis
henti nafas atau henti jantung dibuat, tetapi dokter pribadi korban hendaknya lebih
dulu diminta nasehatnya sebelum upaya resusitasi dihentikan. Tidak sadar ada
pernafasan spontan dan refleks muntah dan dilatasi pupil yang menetap selama 15
sampai 30 menit atau lebih merupakan petunjuk kematian otak kecuali pasien
hipotermik atau dibawah efek barbiturat atau dalam anesthesia umum. Akan tetapi
tidak adanya tanggapan jantung terhadap tindakan resusitasi. Tidak ada aktivitas

listrik jantung selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJP dan
terapi obat yang optimal menandakan mati jantung.
Dalam resusitasi darurat, seseorang dinyatakan mati, jika :
1. Terdapat tanda- tanda mati jantung.
2. Sesudah dimulai resusitasi pasien tetap tidak sadar, tidak timbul ventilasi spontan
dan refleks muntah serta pupil tetap dilatasi selama 15 sampai 30 menit atau lebih,
kecuali kalau pasien hipotermik atau dibawah pengaruh barbiturat atau anestesia
umum.
Dalam keadaan darurat resusitasi dapat diakhiri bila ada salah satu dari berikut
ini:
1. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
2.

Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang lebih bertanggung jawab
meneruskan resusitasi (bila tidak ada dokter).

3. Seorang dokter mengambil alih tanggung jawab (bila tidak ada dokter sebelumnya).
4. Penolong terlalu capek sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi.
5. Pasien dinyatakan mati
Setelah dimulai resusitasi ternyata diketahui bahwa pasien berada dalam
stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dapat
dipastikan bahwa fungsi serebral tak akan pulih (yaitu sesudah setengah atau satu jam
terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP).

C. RJP Pada Anak


1. Letakkan penderita pada posisi terlentang di atas alas yang keras
2. Tiup nafas dua kali (tanpa alat atau dengan alat)
3. Pijat jantung dengan menggunakan satu tangan dengan bertumpu pada telapak tangan
di atas tulang dada, di tengah sternum.
4. Penekanan tulang dada dilakukan sampai turun 3-4 cm dengan frekuensi 100
kali/menit.
D. RJP Pada Bayi
1. Letakkan penderita pada posisi terlentang di atas alas yang keras
2. Tiup nafas 2 kali

3. Untuk pijat jantung gunakan penekanan dua atau tiga jari. Bisa menggunakan ibu jari
tangan kanan dan kiri menekan dada dengan kedua tangan melingkari punggung dan
dada bayi. Bisa juga dengan menggunakan jari telunjuk, jari tengah dan atau jari
manis langsung menekan dada.
4. Tekan tulang dada sampai turun kira-kira sepertiga diameter anterio

Vous aimerez peut-être aussi