Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Otitis
media
akut
telingatengah oleh bakteri atau virus dengan gejala klinik nyeri telinga, demam,
bahkan hingga
hilangnya
pendengaran,
tinnitus dan
vertigo.
Penyakit
ini
lebih sering terjadi pada anak-anak dan umumnya berlangsung dalam waktu 36 minggu. Penyebab utama OMA adalah invasi bakteri piogenik ke dalam telinga
tengah yang normalnya adalah steril.
Bakteri
tersering
penyebab
OMA
adalah
diantaranya
juga Haemofilus
anhemolitikus,
influenza
napas
Proteus vulgaris
sering
atas
yang
influenza,
dan
Escherichia
Pseudomonas
Streptokokus
kadang-kadang
coli, Streptokokus
aurogenosa. Haemofilus
dan disfungsi
tuba
eustachii
juga
menjadi
jarang juga mengenai orang dewasa. Anak-anak lebih sering terkena OMA
dikarenakan beberapa hal, diantaranya adalah sistem kekebalan tubuh anak yang
belum sempurna dan tuba
eusthacius
anak
lebih
horizontal. Adenoid anak relative lebih besar dan terletak berdekatan dengan muara
saluran tuba
eusthachii
sehingga
Adenoid yan mudah terinfeksi menjadi jalur penyebaran bakteri dan virus ke telinga
tengah.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
udara dan dilapisi oleh membran mukosa. Pada bagian lateral, telinga tengah
berbatasan dengan membran timpani, sedangkan pada bagian medial berbatasan
dengan dinding lateral telinga dalam. Teinga tengah terdiri dari dua bagian, yaitu
kavum timpani yang secara langsung berbatasan langsung dengan membran timpani
dan resessus epitimpanika pada bagian superior.
Telinga tengah terhubung dengan area mastoid pada bagian posterior dan
nasofaring melalui suatu kanal yang disebut tuba Eustachius (pharyngotympanic
tube) pada bagian anterior. Kondisi ini memungkinkan transmisi getaran dari
membran timpani melalui telinga tengah hingga mencapai telinga dalam. Hal ini
dapat tercapai oleh adanya tulang-tulang yang dapat bergerak dan saling terhubung
sehingga menjembatani ruang di antara membran timpani dan telinga tengah. Tulangtulang ini disebut juga osikulus auditorius, terdiri dari malleus (terhubung dengan
membran timpani), incus (terhubung dengan malleus melalui persendian sinovial),
dan stapes (terhubung dengan incus melalui persendian sinovial dan melekat pada
bagian lateral telinga dalam pada jendela oval). Osikulus auditorius tersebut berfungsi
untuk mentransmisikan getaran suara yang dihantarkan dari membran timpani ke
telinga dalam (Tortora dkk, 2009; Drake dkk, 2010).
telinga tengah. Kedua daerah ini adalah antrum mastoid dan tuba Eustachius. Berbeda
dengan yang lain, kedua area ini tidak memiliki membran pembatas sehingga
langsung terhubung dengan telinga tengah. Area mastoid yang berada di dekat telinga
tengah adalah antrum mastoid yang merupakan kavitas yang terisi dengan sel-sel
mastoid yang berisi udara di sepanjang pars mastoideus dari tulang temporal,
termasuk bagian prossessus mastoideus. Sesuai dengan yang disebutkan diatas,
antrum mastoid berhubungan dengan resessus epitimpanika pada bagian posterior
melalui aditus. Antrum mastoid juga berbatasan dengan fossa kranial media hanya
oleh tegmen timpani. Membran mukosa yang melapisi sel udara mastoid
bersambungan dengan membran mukosa yang melapisi telinga tengah. Oleh karena
itu, otitis media dapat dengan mudah menyebar ke area mastoid. Seperti yang sudah
disebutkan, tuba Eustachius (pharyngotympanic tube) menghubungkan nasofaring
dan telinga tengah serta menyetarakan tekanan pada kedua sisi membran timpani.
Muara tuba Eustachius yang terletak di telinga tengah berada pada dinding
anterior dan dari sini akan memanjang ke arah depan, medial, dan ke bawah hingga
memasuki nasofaring. Tuba Eustachius terdiri dari dua bagian, yaitu :
1.bagian yang memiliki struktur tulang, terletak pada bagian sepertiga
mendekati telinga tengah
2.bagian yang memiliki struktur kartilaginosa, terletak pada bagian dua pertiga
yang mendekati nasofaring
Secara umum, tuba Eustachius cenderung selalu menutup. Dengan adanya
kontraksi dari m. tensor veli palatini, tuba Eustachius dapat terbuka pada saat
menelan, menguap, atau membuka rahang sehingga terjadi keseimbangan tekanan
atmosfer antara kedua ruang diantara membran timpani (Levine dkk, 1997).
2.2
2.2.1
peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum
mastoid yang berlangsung kurang dari tiga minggu. (Aboet, 2006; Djaafar,2007;
Donaldson, 2010). Salah satu penyebab OMA yang cukup sering adalah infeksi oleh
berbagai mikroorganisme. Aboet (2006) dan Ramakrishnan,dkk (2007) menyatakan
bahwa S. pneumoniae, H. influenzae, dan M. catarrhalis merupakan penyebab utama
OMA. Hal yang sama juga didapati oleh Donaldson (2010), yang mendapati bahwa
ketiga organisme tersebut merupakan patogen yang paling seringmenyebabkan OMA,
ditambah dengan Streptococcus pyogenes. Donaldson mendapati bahwa patogen
tersebut merupakan mikroorganisme yang sering menyebabkan OMA pada anakanak, terutama pada pasien usia kurang dari 6 minggu. S. pneumoniae dan H.
influenzae merupakan patogen yang paling sering menyebabkan OMA dan invasif
pada anak-anak dan paling sering menyebabkan rekurensi OMA. S. pneumoniae
sendiri sebenarnya merupakan patogen yang paling sering menjadi penyebab OMA
untuk berbagai usia. Sementara itu, H. influenzae terutama terjadi pada anak-anak
beberapa faktor predisposisi yang dapat memicu terjadinya OMA. Pada beberapa
situasi tertentu, alergi atau infeksi saluran nafas atas dapat menyebabkan kongesti dan
pembengkakan dari mukosa nasal, nasofaring, dan tuba Eustachius. Hal ini dapat
memicu obstruksi tuba Eustachius dan membuat cairan sekresi di telinga tengah
terakumulasi. Infeksi sekunder oleh bakteri dan virus pada efusi tersebut dapat
Insidensi
maksimal
Komentar
berkisar antara
enam
sampai
24
Penitipan anak
Etnis
Anak-anak
Amerika,
Alaska,
dan
Inuit
Kanada
Mendasari
cleftpalate, dan Down syndrome
(sumber: Adaptasi dari Ramakrishnan, K., Sparks, R. A., Berryhill, W. E., 2007.
Diagnosis and Treatment of Otitis Media. American Family Physician, 76 (11): 1651.)
Usia Sebagai Salah Satu Faktor Resiko OMA
Pada kondisi normal, telinga tengah biasanya dijaga agar tetap steril, sekalipun
terdapat mikroorganisme di nasofaring dan faring yang dapatbermigrasi ke telinga
tengah. Hal ini disebabkan silia mukosa tuba Eustachius, enzim, dan antibodi secara
fisiologis memiliki mekanisme untuk mencegah masuknya mikroba ke dalam telinga
tengah. Hal ini juga berlaku pada saat seseorang mengalami infeksi saluran nafas
atas. Selain itu, enzim penghasil mukus, seperti muramidase, dan antibodi juga
merupakan tambahan dalam mekanisme proteksi telinga tengah yang berfungsi
sebagai mekanisme pertahanan bila telinga terpapar dengan patogen pada saat
menelan. Di sisi lain, telinga tengah juga memiliki anyaman kapiler subepitel pada
bagian permukaannya yang penting karena menyediakan faktor humoral, leukosit
polimorfonuklear, dan sel fagosit lainnya. Keseluruhan sistem proteksi ini akan dapat
melindungi telinga tengah dari berbagai infeksi jika dapat berfungsi secara optimal
(Levine dkk, 1997; Donaldson, 2010). Kegagalan salah satu atau kombinasi fungsi
fisiologis tersebut mengakibatkan terjadinya kecenderungan terjadinya OMA menjadi
meningkat.
Pada awal perkembangan anatomi dan fisiologi tubuh manusia, mekanisme
tersebut belum sepenuhnya matang pada masa neonatus, bayi, dan anak-anak. Hal ini
disebabkan karena adanya perbedaan struktur anatomi dari tuba Eustachius pada
masa anak-anak dan orang dewasa. Pada anak-anak, tuba Eustachius lebih pendek,
lebar, dan terletak cenderung lebih horizontal jika dibandingkan tuba Eustachius pada
orang dewasa (Djaafar dkk, 2007). Kondisi ini membuat inflamasi pada tuba
Eustachius menjadi sangat sering terjadi pada anakanak. Inflamasi tersebut akan
memicu gangguan fisiologis tuba Eustachius dalam memproteksi telinga tengah
sehingga kecenderungan terjadinya infeksi pada telinga tengah meningkat. Seiring
dengan perkembangan anak-anak, tuba Eustachius akan bertambah panjang dan
sempit serta lebih mengarah ke medial sehingga fisiologi tuba Eustachius akan lebih
adekuat. Oleh karena itu, secara umum insidensi OMA akan menurun seiring dengan
peningkatan usia manusia (Levine dkk, 1997). Selain itu, kejadian OMA juga
didukung oleh gangguan sistem imun pada tubuh pasien (Djaafar, 2007). Kombinasi
keseluruhan dari seluruh fungsi fisiologis tersebut dapat memicu kejadian OMA.
Faktor imunologis pada tuba Eustachius juga berperan dalam terjadinya OMA.
Maturitas perkembangan sistem imun pada anak masih sangat minimal dan sedang
berkembang, termasuk dalam proses pembentukan Immunoglobulin (Ig) di dalam
tubuh. Rendahnya IgA, IgG2, dan IgG4 pada anak, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif, meningkatkan kecenderungan terjadinya OMA pada anak dibandingkan
kalangan usia yang lebih tua. Hal ini juga ditemukan pada anakanak yang mengalami
kelainan immunodefisiensi kongenital, seperti pada kasus Down Syndrome. Kondisi
immunodefisiensi ini menyebabkan OMA karena infeksi lebih rentan terjadi pada
usia yang lebih muda. Hal yang berbeda terjadi pada orang dewasa, dimana
perkembangan sistem immunologis telah berkembang lebih adekuat sehingga invasi
mikroorganisme dapat diantisipasi lebih baik (Donaldson, 2010).
Secara umum, angka kejadian OMA bervariasi pada berbagai tingkat
usiamanusia. Donaldson di dalam penelitiannya menyatakan bahwa anak-anak
berusia 6-11 bulan lebih rentan terkena OMA, dimana frekuensinya akan berkurang
seiring dengan pertambahan usia, yaitu pada rentang usia 18-20 bulan. Pada usiayang
lebih tua, beberapa anak cenderung tetap mengalami OMA dengan persentase
kejadian yang cukup kecil dan terjadi paling sering pada usia empat tahun dan awal
usia lima tahun. Setelah gigi permanen muncul, insidensi OMA menurun dengan
signifikan, walaupun beberapa individu yang memang memiliki kecenderungan tinggi
mengalami otitis tetap sering mengalami episode eksaserbasi akut hingga memasuki
usia dewasa. Kadang-kadang, individu dewasa yang tidak pernah memiliki riwayat
penyakit telinga sebelumnya, namun mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Atas
(ISPA) yang disebabkan oleh adanya infeksi virus juga mengalami OMA (Donaldson,
2010). Kaneshiro, Lanphear, dan Donaldson melakukan suatu studi yang juga
mempertimbangkan faktor usia dengan terjadinya OMA. Kaneshiro menyatakan
bahwa OMA merupakan penyakit yang umum terjadi pada bayi, balita, dan anakanak,
sedangkan kasus OMA pada orang dewasa juga pernah dilaporkan terjadi, namun
dengan frekuensi yang tidak setinggi pada anak-anak (Kaneshiro, 2010).
2.2.3
Patofisiologi OMA
Secara umum, OMA didasari inflamasi pada tuba Eustachius. Hal yang paling
sering memicu kondisi tersebut sehingga terjadi OMA adalah infeksi saluran
pernafasan atas yang melibatkan nasofaring, walaupun beberapa kondisi lainnya
seperti infeksi (terutama infeksi virus), alergi, dan kondisi inflamasi lainnya yang
berkaitan dengan tuba Eustachius juga akan memicu manifestasi yang sama.
9
Manifestasi inflamasi dalam hal ini akan menjalar dari nasofaringhingga mencapai
ujung medial tuba Eustachius atau secara langsung terjadi di tuba Eustachius,
sehingga memicu stasis sehingga mengubah tekanan di dalam telinga tengah. Di sisi
lain, stasis juga akan memicu infeksi bakteri patogenik yang berasal dari nasofaring
dan masuk ke dalam telinga tengah dengan cara refluks, aspirasi, atau insuflasi aktif.
Beberapa variasi juga terdapat pada anakanak yang cenderung mengalami otitis
(otitis-prone children). Pada pasien ini, adanya gangguan neuromuskular atau atau
abnormalitas pada tuba Eustachius (tuba Eustachius cenderung terbuka) membuat
konten nasofaring dapat dengan mudah mengalami refluks ke telinga tengah,
termasuk bakteri patogenik yang berada di nasofaring.
Pada akhirnya, semua kondisi ini akan memicu reaksi inflamasi akut yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi, invasi leukosit, fagositosis, dan respon imun
lokal yang terjadi di telinga tengah, yang akan bermanifestasi pada gejala-gejala
klinis OMA. Infeksi virus pada telinga tengah cukup sering terjadi pada pasien OMA
dan umumnya diikuti dengan infeksi bakteri. Kondisi demikian disebabkan virus
memfasilitasi bakteri supaya melekat di mukosa dan memicu inflamasi. Dalam hal
ini, virus akan terlebih dahulu merusak lapisan mukosa sehingga mukosa menjadi
terpapar dan kondisi ini akan memicu bakteri menjadi patogenik dengan cara
melakukan adhesi di permukaan mukosa nasofaring, tuba Eustachius, dan telinga
tengah yang sudah mengalami kerusakan. Data lain juga menunjukkan bahwa
kerusakan mukosa juga dapat diakibatkan endotoksin oleh invasi bakteri sehingga
pada akhirnya patogen dapat melekat di permukaan mukosa (Donaldson, 2010).
2.2.4
Diagnosis OMA
Kriteria diagnostik OMA mencakup adanya onset gejala yang cepat atau akut,
efusi telinga tengah, dan tanda serta gejala inflamasi telinga tengah, seperti eritema
membran timpani atau otalgia yang mempengaruhi tidur dan aktivitas sehari-hari.
OMA juga ditandai dengan kelainan pada membran timpani, yaitu adanya penonjolan
membran timpani, keterbatasan atau ketidakmampuan pergerakan membran timpani,
10
Timpanocentesis
merupakan
gold
standard
untuk
mengetahui
mengidentifikasi patogen spesifik yang menyebabkan OMA (Linsk dkk, 2002). Hal
ini diperlukan untuk mengetahui antibiotik serta terapi lain yang diperlukan untuk
pasien OMA
2.2.5
Klasifikasi
Ada 5 stadium OMA berdasarkan pada perubahan mukosa telinga tengah,
yaitu:
1. Stadium Oklusi
Stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi membrane timpani akibat
tekanan negatif telinga tengah. Membran timpani kadang tampak normal atau
berwarna suram.
2. Stadium Hiperemis
Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar di sebagian atau
seluruh membran timpani, membrane timpani tampak hiperemis disertai edem.
11
3. Stadium Supurasi
Stadium ini ditandai edem yang hebat telinga tengahdisertai hancurnya sel
epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani sehingga
membran timpani tampak menonjol (bulging)ke arah liang telinga luar.
4. Stadium Perforasi
Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah keluar dari
telinga tengah ke liangtelinga.
12
5. Stadium Resolusi
Pada stadium ini membran timpani berangsur normal, perforasi membran
timpani kembali menutup dan secret purulen tidak ada lagi. Bila daya tahan tubuh
baik atau virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa
pengobatan.
2.2.6. Tatalaksana
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan
pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan
pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan
pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan
ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba
Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki sistem imum
lokal dan sistemik (Titisari, 2005).
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba
Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes
hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun
atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun
13
pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik
(Djaafar, 2007).
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan
analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika
terjadi rseistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau
sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya
adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan
pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal
selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak,
diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis,
amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3
dosis (Djaafar, 2007).
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk
melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat
hilang dan tidak terjadi ruptur (Djaafar, 2007).
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara
berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3
sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret
akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari
(Djaafar, 2007).
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret
tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret
mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat
dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi
mastoiditis (Djaafar, 2007).
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.
Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam
dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang
segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya.
Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap
14
15
timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posteriorinferior.
Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan,
kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi
pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis
nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi
merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali
terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau
timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan
terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur
(Kerschner, 2007).
2. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan
pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret
untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak
memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang
sistem imun tubuh rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat
menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan
pendengaran secara signifikan disbanding dengan plasebo dalam tiga penelitian
prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.
3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan
efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi
tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan
OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan
adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren
(Kerschner, 2007).
1.2.7
Komplikasi
16
Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah
ISPA pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat,
menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap
lingkungan merokok, dan lain-lain (Kerschner, 2007).
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1
Identitas Pasien
Nama
: Tn. JS
Usia
: 43 Tahun
: Hindu
Alamat
: Pulukan
Pekerjaan
: wiraswasta
17
2.2
Anamnesis
2.2.1
Keluhan Utama
Pasien merasa nyeri pada telinga kanan sejak 3 hari yang lalu
2.2.2
Keluhan Tambahan
Terdapat carian kekuningan yang keluar dari telinga sebelah kanan, pasien
juga mengeluhkan pendengan telinga kanan yang berkurang.
2.2.3
Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku penyakitnya belum pernah diobati.
2.3.
Pemeriksaan Fisik
2.3.1
Status Generalis
Keadaan Umum
: Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda Vital
Tekanan darah
: 130/90 mmHg (pre-hipertensi)
Nadi
: 78 kali/menit
Pernapasan
: 16 kali/menit
Suhu
: Afebris
Kepala
Bentuk kepala : Normocephale
18
Mata
Konjungtiva
anemis
(-),
Lclera
ikterik
(-),nistagmus(-)
Gigi-Mulut
: Lengkap, mulut basah
Leher
: KGB tidak membesar
Thoraks
Jantung
: S1/S2 tunggal Reg, murmur (-), gallop (-)
Paru
: Vesikular (+/+), ronkhi (-)/(-), wheezing (-)/(-)
Abdomen
: Bising usus (+) Normal, Distensi (-) Nyeri Tekan (-)
Ekstremitas : Edema (-)/(-), sianosis (-), CRT<2 detik
3.3.2
Status Lokalis
Telinga
Daun telinga
Tragus
Liang telinga luar
Mastoid
Discharge
Membran timpani
Tumor
Otoskopi
Kanan
Nyeri Tarik (-)
Nyeri tekan (-)
Lapang
Nyeri Tekan (-)
+
Kiri
Normal
Normal
Normal
Normal
-
Perforasi Sentral
Serumen (+)
MT Perforasi Sentral
Intak
Serumen (+)
Hidung
Hidung luar
Cavum nasi
Septum nasi
Discharge
Mukosa
Tumor
Konka
Sinus
Kanan
Kiri
Normal
Normal
Lapang
Lapang
Tidak ada deviasi septum nasi
Merah muda
Merah muda
Normal
Normal
Tidak ditemukan nyeri tekan pada sinus
19
Tenggorokan
Warna
Mukosa
Dinding belakang faring
Suara
: merah muda
: normal
: normal
: normal
Tonsil
Pembesaran
Hiperemis
Permukaan mukosa
Kripta
Detritus
3.4
Kanan
Tidak rata
(merah muda)
Tidak melebar
Tidak ada
Kiri
Tidak rata
(merah muda)
Tidak melebar
Tidak ada
Diagnosis
Otitis Media Akut dengan Perforasi Sentral
3.5 Tatalaksana
Farmakologis
Non-Farmakologis
3.6
Prognosis
Dubia ad bonam
20
BAB 4
PEMBAHASAN
Otitis media akut (OMA) atau Otitis Media Supuratif Akut (OMSA)
adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius, antrum mastoid yang berlangsung kurang dari tiga minggu. Salah
satu penyebab OMA yang cukup sering adalah infeksi oleh berbagai
mikroorganisme. Pada kasus ini pasien mengeluh nyeri pada telinga kanan
sehak 3 hari yang lalu. Pasien linga kanannya mengmengatakan telnga
kanannya keluar cairan berwaena kuning yang berbau tidak enak dan
pendengaran pada telinga kanan juga dirasa berkurang. Pasien sering
menggunakan cotton bud untuk membersihkan telinganya. Pasien mengatakan
sebelumnya pasien mengalami batuk pilek sekitar seminggu yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Status generalis dalam batas normal. Pada inspeksi ditemukan telinga luar
dalam batas normal. Pada pemeriksaan otoskop didapatkan liang telinga kanan
tampak sedikit serumen dan terlihat membran timpani mengalami perforasi
dibagian sentral, dan pada telinga kirinya didapatkan sedikit serumen dan MT
stadium intak. Berdasarkan gejala dan tanda yang ditemukan pada anamnesa
maupun pemeriksaan, maka dapat disimpulkan pasien mengalami otitis media
akut stadium perforasi AD.
Pasien
diberikan
tatalaksana
farmakologis
berupa
antibiotik
21
BAB 5
RINGKASAN
Otitis
media
akut
telingatengah oleh bakteri atau virus dengan gejala klinik nyeri telinga, demam,
bahkan hingga
hilangnya
pendengaran,
tinnitus dan
vertigo.
Penyakit
ini
lebih sering terjadi pada anak-anak dan umumnya berlangsung dalam waktu 36 minggu. Penyebab utama OMA adalah invasi bakteri piogenik ke dalam telinga
tengah yang normalnya adalah steril.
Kriteria diagnostik OMA mencakup adanya onset gejala yang cepat atau akut,
efusi telinga tengah, dan tanda serta gejala inflamasi telinga tengah, seperti eritema
membran timpani atau otalgia yang mempengaruhi tidur dan aktivitas sehari-hari.
OMA juga ditandai dengan kelainan pada membran timpani, yaitu adanya penonjolan
membran timpani, keterbatasan atau ketidakmampuan pergerakan membran timpani,
atau adanya air-fluid level di belakang membrane timpani. Pemeriksaan membran
timpani untuk mengetahui kondisi tersebut dapat diketahui dengan menggunakan
kombinasi otoskopi, otoskopi pneumatik, dan timpanometri. Gejala non-spesifik
seperti demam, sakit kepala, iritabilitas, batuk, rinitis, anoreksia, emesis, dan diare
umum terjadi pada bayi dan anak-anak.
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada
stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian
antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada
otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang
mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari
perforasi membran timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik
22
DAFTAR PUSTAKA
Aboet, A., 2006. Terapi pada Otitis Media Supuratif Akut. Majalah
Kedokteran Nusantara, 39 (3): 356.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI,
2002. Perokok Pasif Beban Yang Terlupakan. Jakarta.
Balzanelli, C., Gamba, P., Redaelli de Zinis, L. O., 2003. Acute Otitis Media
andBylander, A., Gisselsson-Solen, M., Wilhelmsson, C., Hermansson, A. Melhus,A.,
2007. Journals of Clinical Microbiology, 45 (9): 3003 3005.
Dahlan, M. Sopiyudin., 2010. Konsistensi V Menentukan Besar Sampel.
Dalam:Hariyanto, B., Riefmanto, ed. Langkah-langkah Membuat Proposal
Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan Seri Evidence BasedMedicine :
Seri 3 cetakan 2. Jakarta: Segung Seto, 83.
Departemen Kesehatan RI, 2004. Kebijakan Departemen Kesehatan tentang
Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Pekerja Wanita. Jakarta.
Departemen
Kesehatan
RI,
2004.
Beban
Kesehatan
Akibat
PenggunaanTembakau). Jakarta.
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R. D., 2007. Kelainan Telinga Tengah.
Dalam:Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R. D., ed. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher EdisiKeenam. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, 64 66
Torpy, J. M., 2010. Acute Otitis Media. The Journal of the American
MedicalAssociation (JAMA), 304 (19): 2194.
Tortora, G. J., Derrickson, B. H., 2009. The Special Senses. Dalam: Roesch,
B.,dkk, ed. Principles of Anatomy and Physiology 12th edition International
Student Version Volume 1. Hoboken: John Wiley and Sons, Inc, 620 621.
Williamson,
for middle
ear disease,
23
24