Vous êtes sur la page 1sur 7

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aswaja atau Ahlus Sunnah wa Jama'ah sebagai paham keagamaan, mempunyai
pengalaman tersendiri dalam sejarah Islam. Ia sering dikonotasikan sebagai ajaran (mazhab)
dalam Islam yang berkaitan dengan konsep 'aqidah, syari'ah dan tasawuf dengan corak
moderat. Salah satu ciri intrinsik paham ini sebagai identitas ialah keseimbangan pada
dalil naqliyah dan 'aqliyah. Keseimbangan demikian memungkinkan adanya sikap akomodatif
atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan
secara prinsipil dengan nash-nash formal.
Fleksibilitas Aswaja juga tampak dalam konsep 'ibadah. Konsep ibadah menurut
Aswaja, baik yang individual maupun sosial tidak semuanya bersifat muqayadah terikat oleh
syarat dan rukun serta ketentuan lain, tapi ada dan bahkan lebih banyak yang bersifat bebas
(mutlaqah) tanpa ketentuan-ketentuan yang mengikat. Sehingga teknik pelaksanaannya dapat
berubah-ubah sesuai dengan kondisi perkembangan rnasyarakat yang selalu berubah.
Demikian sifat-sifat fleksibilitas itu membentuk sikap para ulamanya. Karakter para
ulama Aswaja menurut Imam Ghazali menunjukkan bahwa mereka mempunyai ciri faqih fi
mashalih al-khalqi fi al-dunya. Artinya mereka faham benar dan peka terhadap kemaslahatan
makhluk di dunia. Pada gilirannya mereka mampu mengambil kebijakan dan bersikap dalam
lingkup kemaslahatan. Dan karena kemaslahatan itu sering berubah, maka sikap dan kebijakan
itu menjadi zamani (kontekstual) dan fleksibel.
Dalam proses tersebut, kehidupan manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor dan aspek
yang walaupun dapat dibedakan, namun saling kait-mengait. Di sini manusia dituntut untuk
mengendalikan dan mengarahkan aspek-aspek tersebut untuk mencapai kelestarian sekaligus
menemukan makna hidupnya.
Sedang dalam berikhtiar mencapai kelestarian dan makna hidup itu, Islam Aswaja
merupakan jalan hidup yang menyeluruh, menyangkut segala aspek kehidupan manusia sebagai
makhluk individual mau pun sosial dalam berbagai komunitas bermasyarakat dan berbangsa.
Aktualisasi Islam Aswaja berarti konsep pendekatan masalah-masalah sosial dan pemecahan
legitimasinya secara Islami, yang pada gilirannya Islam Aswaja menjadi sebuah komponen
yang mernbentuk dan mengisi kehidupan masyarakat, bukan malah menjadi faktor tandingan
yang disintegratif terhadap kehidupan.

B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang tersebut di atas dapat diketahui adanya permasalahan
yang perlu di cari pemecahannya. Permasalahan tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa pentingnya ajaran aswaja perlu di aktualisasikan?
2. Bagaimana mengaktualisasikan ajaran aswaja dalam hidup bermasyarakat, berbangsa
1

dan bernegara ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Urgensi Aktualisasi Ajaran Ahlu Sunah Wal Jamaah


Ahlussunnah wal Jamaah bukanlah suatu yang baru timbul sebagai reaksi dari
timbulnya beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran yang murni seperti Syiah, Khawarij,
Mu'tazilah dan sebagainya. As-Sunnah wal Jamaah sudah ada sebelum semuanya itu
timbul. Aliran-aliran itulah yang merupakan gangguan terhadap kemurnian as-Sunnah wal
Jamaah. Setelah gangguan itu membadai dan berkecamuk, dirasakan perlunya predikat
Ahlussunnah wal Jamaah, dipopulerkan oleh kaum muslimin yang tetap setia menegakkan asSunnah wal Jamaah, mempertahankannya dari segala macam ganguan yang ditimbulkan oleh
aliran-aliran yang mengganggu itu. Mengajak seluruh pemeluk islam untuk kembali kepada
as-Sunnah wal Jamaah.
Ketika Rasulullah saw. menerangkan bahwa umatnya akan tergolong menjadi banyak
sekali (73) golongan, beliau menegaskan bahwa yang benar dan selamat dari sek ian
banyak golongan itu hanyalah Ahlussunnah wa Jamaah. Atas pertanyaan para sahabat
mengenai definisi as-Sunah wal Jamaah, beliau merumuskan dengan sabdanya yang artinya :
"Apa yang aku berada di atasnya, hari ini, bersama para sahabatku".
Ahlussunnah wal Jamaah adalah golongan pengikut setia pada al-Sunnah wa alJamaah, yaitu ajaran Islam yang diajarkan dan diamalkan Oleh Rasulullah saw. bersama para
sahabatnya pada zamanya itu.
Arti penting yang harus kita perhatikan dari hadits di atas, kemungkinan adanya
saudara kita yang menjadi bagian golongan yang celaka. Kita memang secara mutlak tidak
dapat memberikan jaminan bahwa apa yang kita yakini kebenarannya adalah kebenaran
hakiki di sisi Allah. Namun kita memiliki kewajiban untuk menyampaikan apa yang jelas di
sampaikan oleh Rasullah.

B. Aktualisasi Ajaran Ahlu Sunah Wal Jamaah dalam Hidup Bermasyakarat, Berbangsa
dan Bernegara
Era globalisasi menawarkan banyak wacana, pemikiran, bahkan ideologi. Berbagai
problem yang dihadapi oleh umat manusia mendorong tumbuhnya beragam solusi yang
ditawarkan oleh berbagai sumber nilai dan ajaran. Dalam kondisi demikian, Islam sebagai
sumber nilai dan ajaran sejatinya memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjawab
berbagai problem manusia modern, khususnya di tengah arus globalisasi. Islam sejatinya
tampil sebagai jalan yang memberi tuntunan bagi manusia modern tanpa kehilangan
modernitasnya, sehingga Islam mampu memberikan solusi yang konstruktif bagi
3

perkembangan modernitas.
Wilayah peran yang bisa dimainkan Islam sebagai agama adalah pada ranah
kultural. Yaitu sebagai pendorong semangat transformasi. Sebagaimana agama pada
umumnya, kekuatan Islam adalah pada aspek motivasi (kultural) yang dapat ditumbuhkan
demi tercapainya kemajuan peradaban Islam. Islam harus hadir menjadi angin
yang mengarahkan perahu kehidupan agar tidak tersesat dalam gelombang besar globalisasi.
Globalisasi sebagai produk budaya hadir dengan segala paradoksalitasnya. Di satu sisi,
globalisasi telah mengantarkan umat manusia kepada kehidupan tanpa batas budaya.
Manusia seakan-akan hidup di sebuah desa kecil (small village) yang begitu mudah
digerakan oleh suatu nilai. Namun di sisi lain, globalisasi cenderung mengancam nilai- nilai
yang diyakini sebagai jalan kebenaran kelompok tertentu, termasuk agama.
Globalisasi memaksa penyeragaman di tengah keragaman budaya dan agama.
Dua sisi diametral globalisasi ini harus disikapi secara proporsional oleh Islam
sehingga dapat menjaga nilai-nilai otentik Islam tanpa kehilangan kemampuan adaptasinya
dengan perkembangan zaman. Sebagai kerangka acuan nilai, maka Islam sejatinya dapat
memperkuat sisi positif dari globalisasi dan dapat menutup sisi negatifnya.
Ijtihad (jihad pemikiran) yang dilakukan oleh para cendekiawan muslim
merupakan respon dan tanggung jawab atas ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin. Islam
sebagai ajaran yang diyakini dapat menjawab berbagai tantangan zaman akan terbukti
ketika ia mampu menjadi solusi dari problem dan tuntunan di tengah kebimbangan dan
keraguan- raguan yang menghantui masyarakat modern. Di sinilah urgensi peran cendekiawan
muslim di tengah era globalisasi.
Salah satu aspek penting dari pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah moderasi
(wasathiyah) di antara dua ektrem, yaitu melampaui batas (ifrath) dan menyia-nyiakan
(tafrith). Moderasi yang ditawarkan oleh Ahlus Sunnah wal Jamaahdapat memperkuat ikatan
kolektivitas (jamaah). Moderasi merupakan perwujudan dari keseimbangan di antara
pemahaman dan pemaknaan yang beragam, sehingga dapat menjaga kohesivitas dan
persaudaraan di antara umat Islam. Dalam pergulatan arus globalisasi, sejatinya
pemikiran ahlussunnnah wal jamaah ini menjadi kekuatan yang mampu menjadi jalan
alternatif bagi masyarakat modern yang cenderung sekularistik, individualistik, dan
materialistik.
Kekuatan Ahlus Sunnah wal Jamaah bukan pada aspek doktrinal spritual semata, tapi
juga pada ikatan persaudaraan (jamaah) yang kental, sehingga mampu mendorong tumbuhnya
solidaritas di atas landasan ajaran yang satu (tauhid). Inilah yang seharusnya menjadi
perhatian kita semua karena kecenderungan yang tumbuh di tengah globalisasi adalah
individualisme yang mementingkan kepentingan pribadi dan menomorduakan kebersamaan,
solidaritas, dan soliditas.
Eksistensi pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah tergantung pada konsistensi dan sikap
konsekuen untuk menyeleraskan antara pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan sikap
dan perilaku kita. Ini bagian terpenting yang harus ditegakkan sehingga kita tidak terjerumus
dalam arus sekularisasi yang memisahkan ajaran dari kenyataan. Membumikan pemikiran
4

Ahlus Sunnah wal Jamaah menjadi tuntutan yang tak terelakkan di tengah perilaku pragmatis
dan materialistik.
Selama ini Ahlus Sunnah wal Jamaah lebih ditempatkan sebagai sebuah doktrin untuk
diyakini, bukan dipahami. Akibatnya, upaya aktualisasi pemikiran Ahlus Sunnah wal
Jamaah cenderung mengalami stagnasi dan involusi. Padahal sebagai sebuah pemikiran,
Ahlus Sunnah wal Jamaah dapat dikaji, ditelaah, dan direaktualisasi bagi kepentingan
pembumian pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaahitu sendiri tanpa kehilangan substansinya.
Sebagaimana pemikiran pada umumnya, pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah lahir
dari idealisasi-idealisasi atas ajaran yang tertuang dalam Al-Quran dan as-Sunnah. Karena itu,
otoritas idealisasi dan penafsiran tersebut hanya ada pada sekolompok orang yang dianggap
memiliki otoritas untuk melakukannya, yaitu para cendekiawan muslim. Wajar apabila
pemikiran tersebut tidak sepenuhnya bisa dipahami dan dipraktikkan oleh masyarakat awam
(banyak), tanpa proses mediasi dari para cendekiawan (ulama) muslim itu sendiri. Karena itu,
proses aktualisasi dan tajdid pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah harus melibatkan
keteladanan yang mudah dipahami oleh masyarakat. Keteladanan merupakan aspek
visualisasi pemikiran atau ajaran yang dapat mudah ditangkap oleh masyarakat banyak.
Inilah tantangan pertama yang harus dijawab oleh cendekiawan muslim, khususnya dari
kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Kedua, tantangan yang tak kalah pentingnya adalah media atau alat yang harus
digunakan bagi penyebaran pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Di tengah semakin
canggihnya teknologi informasi, pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah harus bisa
disosialisasikan dengan memanfaatkan teknologi informasi yang dapat diakses oleh berbagai
kalangan tanpa terbatas oleh ruang dan waktu. Dengan demikian, pemikiran Ahlus Sunnah wal
Jamaah semakin dekat dengan masyarakat melalui pemahaman yang berkualitas dan
memberikan solusi atas problem manusia modern.
Ketiga, peningkatan pembinaan masyarakat melalui pendidikan yang diwarnai oleh
pemikiran ahlussunnah wal jamaah. Lembaga pendidikan sebagai wahana yang sangat efektif
dan strategis bagi penyebaran dan penumbuhan nilai dan pemahaman, harus menjadi target
bagi pembumian pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah mulai level pendidikan yang paling
rendah sampai yang paling tinggi, mulai pendidikan formal sampai pendidikan informal.
Dengan demikian, beragam aspek yang dapat menjadi pintu masuk bagi pembumian
pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah dapat dilakukan dengan tingkat efektivitas yang cukup
bisa diandalkan.

BAB III
5

PENUTUPAN

A. KESIMPULAN
Dengan ulasan makalah yang singkat tersebut bisa disimpulkan, bahwa ternyata
aktualisasi ajaran Islam Aswaja pada dasarnya sangat multidimensional. Namun kalau
diklasifikasikan ada tiga dimensi sosial sebagaimana syariat Islam itu sendiri, yaitu;
hubungan antara manusia sebagai individu (vs) Allah; antara manusia (vs) manusia, dan
manusia (vs) alam lingkungannya.

DAFTAR PUSTAKA

http://qama-zaidun.blogspot.co.id/2015/07/aktualisasi-nilai-nilai-aswaja-dalam.html
http://alfathimiyyah.net/?p=3546
https://id.scribd.com/doc/45257279/isi-makalah

Vous aimerez peut-être aussi