1. PENDAHULUAN Seiring berkembangnya kekuatan pasar non-liberal, yang ditunjukkan oleh sikap hormat EMU ( European Monetary Union) (Buda, 1998; Ferner dan Hyman, 1998), maka Jerman seperti Negara anggota Eropa lainnya mau tidak mau harus berhadapan dengan rejim baru ekonomi makro (Grahl dan Teague, 2003). Dengan munculnya integrasi ekonomi Eropa, yang menekankan pertimbangan transparansi, biaya unit yang rendah, dan fleksibilitas kerja, maka interest dari pemerintah dan korporat semakin diarahkan kepada perbaikan kinerja ekonomi lewat deregulasi pasar kerja (Marginson dan Sisson, 2001; Lane, 2003). Agenda non-liberal adalah reaksi terhadap sistem representasi ganda di ranah kepegawaian, yang menjadi jantung Modell Deutschland. Langkah menuju desentralisasi ibaratnya mengganggu ekuilibrium historis antara ko-determinasi level pabrik dan penawaran kolektif level sector, atau dengan kata lain, memicu konflik interest antara works council (WC) dan trade union. Potensi ketegangan historis antara dua aktor hubungan industri tersebut tidak bisa diabaikan, karena para wakil pegawai ini dihadapkan dengan dilemma saat menyatukan kepentingan khusus (tempat kerjanya) dan kepentingan umum (afiliasi kelas). Dikasus Jerman, pemerintah Adenauer berusaha mempertimbangkan pembagian kepentingan ini saat menetapkan Works Constitution Act tahun 1952 (Thelen, 1991; Artus, 2001). Kecenderungan mikro-korporatis WC, yang disebut Streeck (1995) dengan egoisme pabrik (WC menetapkan interest pabrik diatas interest perusahaan dan sektor), adalah sesuatu yang terpaksa harus dihadapi oleh trade union Jerman.