Vous êtes sur la page 1sur 6

Aspirin Dosis Rendah untuk Mencegah Rekurensi

Tromboemboli Vena
Pasien yang mengalami epsiode pertama dari tromboemboli vena
yang tidak terprovokasi mempunyai resiko tinggi untuk terjadi kekambuhan
setelah penghentian terapi antikoagulan. Terapi jangka panjang dengan
antagonis vitamin K sangat efektif untuk mencegah terjadinya kekambuhan
tromboemboli vena. Akan tetapi penggunaan antagonis vitamin K membuat
ketidaknyamanan pada pasien, karena dapat meningkatkan resiko
perdarahan, sehingga banyak pasien dengan tromboemboli vena
menghentikan pengobatan antikoagulan ini setelah 3 6 bulan.
Aspirin merupakan obat yang sederhana, terjangkau dan tersedia
secara luas, dosis rendah aspirin efektif untuk mencegah terjadinya
gangguan vaskuler arteri dan mencegah terjadinya tromboemboli vena pada
pasien yang menjalani tindakan bedah. Selain itu aspirin juga efektif
mencegah kambuhnya tromboemboli vena setelah serangan pertama.
Penelitian yang dilakukan di Australia yang disebut ASPIRE study
(Aspirin to Prevent Recurrent Venous Thromboembolism) mengevaluasi
efektifitas dari Aspirin dosis rendah, dibandingkan dengan plasebo, dalam
mencegah terjadinya kekambuhan tromboemboli vena pada pasien yang
telah mendapat terapi inisial lengkap antikoagulan (warfarin) pasca episode
pertama tromboemboli vena yang tidak terprovokasi. Pada penelitian ini,
pasien dengan tromboemboli vena yang telah menjalani terapi antikoagulan
diberi aspirin dosis rendah (tablet 100mg per hari) selama minimal 2 tahun.
Yang termasuk kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah laki-laki/
wanita minimal usia 18 tahun dan mempunyai riwayat pertama kali terkena
DVT (deep vein thrombosis) yang tidak terprovokasi termasuk yang
mengenai vena poplitea atau vena tngkai yang lebih proksimal atau emboli
paru akut. Tromboemboli vena dikatakan tidak terprovokasi apabila
terjadinya bukan karena hal-hal berikut : imobilisasi bed rest lebih dari 1
minggu, operasi besar, trauma, kehamilan, purpura dan penggunaan
kontrasepsi hormonal. Selain itu, pasien harus telah mendapat terapi inisiasi
penuh dengan heparin yang diikuti dengan warfarin (atau antikoagulan lain)
antara 6 minggu sampe 24 bulan. Sedangkan yang termasuk kriteria ekslusi
adalah apabila kejadian tromboemboli vena lebih dari 2 tahun sebelum
penelitian dilaksanakan, pasien dengan kontraindikasi aspirin, atau pasien
yang sedang menjalani terapi antiplatelet lain/ NSAID.
Pada penelitian ini didapatkan terjadinya kekambuhan tromboemboli
vena 73 pasien dari 411 plasebo dan 57 pasien dari 411 pasien yang diterapi
aspirin. Hasil dari ASPIRE studi ini tidak menunjukkan adanya reduksi yang
signifikan pada angka kejadian kambuhnya tromboemboli vena dengan
terapi aspirin dibandingkan plasebo. Akan tetapi hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa aspirin dapat mengurangi outcome sekunder dari
tromboemboli vena yaitu infark miokard, stroke dan cardiovaskular death.
Selain itu apabila analisis hasil penelitian ini digabungkan dengan studi
Ayu Yoniko Christi | 092010101001

serupa (penggunaan Warfarin dan Aspirin bersama) ternyata membuktikan


bahwa hasilnya signifikan dalam menurunkan resiko kekambuhan
tromboemboli vena.

Heparin Berat Molekul Rendah dan Mortalitas


pada Pasien Medis Akut
Tromboemboli vena merupakan komplikasi penting pada pasien yang
di rawat di rumah sakit. Jika tidak diberikan tromboprofilaksis, diperkirakan
10-20% pasien medis dan 40-60% pasien surgikal ortopedi akan mengalami
DVT (deep vein thrombosis). Tromboprofilaksis telah terbukti dapat
mengurangi insidensi tromboemboli vena baik pada pasien medis maupun
pasien surgikal. Pada pasien surgikal, tromboprofilaksis dapat mengurangi
insidensi emboli paru yang fatal dan mengurangi angka kematian. Pada
pasien medis, studi menunjukkan bahwa tromboprofilaksis berhubungan
dengan pengurangan angka kejadian tromboemboli vena, termasuk
asimptomatik DVT. Meta analisis terhadap 5 studi pada pasien medis
mengindikasikan bahwa profilaksis dapat mengurangi angka emboli paru
namun tidak berpengaruh pada angka kematian. Fakta bahwa
tromboprofilaksis lebih banyak digunakan pada pasien surgikal daripada
pasien medis, walaupun guidelines terkini menganjurkan untuk digunakan
pada keduanya, menyebabkan kurangnya bukti bahwa pemberian profilaksis
pada pasien medis dapat mengurangi mortalitas.
Penelitian pada jurnal ini mengevaluasi efek dari pemberian
tromboprofilaksis terhadap angka kematian pada pasien medis dengan
penyakit akut. Penelitian ini dilakukan di China, India, Korea, Malaysia,
Meksiko, Filipina dan Tunisia. Pada penelitian ini subjek diberi injeksi
subkutan enoxaparin (40mg per hari) dibandingkan dengan plasebo,
keduanya sama-sama diberikan stoking elastik dengan tekanan bergraduasi.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah laki-laki/ perempuan berusia 40
tahun atau lebih yang dirawat di RS dalam 48 jam sebelum randomisasi dan
setidaknya dalam kondisi berikut : gagal jantung akut, kanker aktif, infeksi
sistemik berat dengan PPOK/ riwayat tromboemboli vena/ obesitas/ usia
diatas 60 tahun.
Pada penelitian ini melibatkan 8307 pasien sebagai subjek penelitian,
4171 pasien diberikan injeksi enoxparin dan pemakaian stoking elastik dan
4136 plasebo dengan pemakaian stoking elastis saja. Angka kematan dari
berbagai sebab pada hari 30 adalah 4,9% pada kelompok yang diberi
enoxparin dibandingkan dengan 4,8% pada plasebo. Sedangkan angka
perdarahan adalah 0,4% pada kelompok enoxparin dan 0,3% pada plasebo.
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian tromboprofilaksis
enoxaparin dan stoking elastis tidak berhubungan dengan penurunan angka
kematian pada pasien medis yang dirawat di rumah sakit. Namun pemberian
Ayu Yoniko Christi | 092010101001

tromboprofilaksis terbukti bermanfaat dalam mencegah tromboembolisme


vena.

Rute Pemberian Obat


1. Jalur intra vena
Merupakan cara yang ditercepat karena obat langsung di
injeksikan ke dalam pembuluh darah, sehingga obat tidak
melewati fase absorpsi, bisa langsung bekerja sesaat setelah
disuntikkan.
Obat masuk sirkulasi darah sistemik

2. Jalur intra peritoneal


Merupakan cara tercepat kedua karena obat langsung di
injeksikan ke dalam rongga peritoneum (tidak sampai ke
usus) yang kemudian akan berdifusi ke sirkulasi sistemik
Obat peritoneum sirkluasi sistemik

3. Jalur intra muscular


Merupakan cara yang tercepat ketiga, dalam injeksi intra
muscular obat masuk terlebih dahulu ke interstisium jaringan
otot kemudian berdifusi ke pembuluh darah kapiler baru
kemudian masuk ke sirkulasi sistemik
Obat interstisium jaringan kapiler sirkulasi sistemik

4. Jalur oral
Merupakan cara yang paling lambat dari ketiga jalur di atas.
Hal ini dikarenakan obat terlebih dulu melalui fase absorpsi di
usus dan perjalanan menuju usus juga masih memerlukan
waktu.
Obat oral saluran cerna usus kapiler sirkulasi
sistemik

Ayu Yoniko Christi | 092010101001

Sumber :
Joenoes, Z. N., 2002, Ars Prescribendi Jilid 3, Airlangga University Press,
Surabaya
Katzung, Bertram. G., 2001, Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika,
Jakarta.
Tim Penyusun, 2007, Farmakologi dan Terapi Edisi V, Jakarta : Departemen
Farmakologi FKUI

Efek Pemberian Asam Traneksamat terhadap


Mortalitas Pasien dengan Perdarahan karena
Trauma
Pada penelitian CRASH-2 menunjukkan bahwa pemberian asam
trankesamat 3 jam setelah injuri pada pasien dewasa dengan perdarahan
dapat mengurangi mortalitas tanpa meningkatkan risiko terjadinya
trombosis. Oleh akrena itu asam traneksamat sekarang dimasukkan dalam
protokol penangan trauma di seluruh dunia. Karena efektifitas ini, terapi ini
banyak digunakan pada pasien trauma dengan risiko tinggi kematian. Akan
tetapi jumlah pasien dengan risiko rendah lebih banyak daripada pasien
dengan risiko tinggi sehingga jumlah yang tinggi ini lebih menyebabkan
banyak kematian. Pada jurnal ini dilakukan analisis terhadap data dari
CRASH-2 untuk mengetahui bagaimana efek Asam Traneksamat bervariasi
tergantung dari resiko kematian pada pasien dengan trauma perdarahan.
Pada penelitian ini, yang dimasukkan pasien dengan risiko tinggi
kematian adalah pasien usia lanjut, tekanan darahnya rendah, skor GCS
rendah, frekuensi denyut jantung dan pernapasan tinggi, dan yang
menderita trauma tumpul. Pada penelitian ini, manfaat asam traneksamat
dalam mengurangi mortalitas dan kematian karena perdarahan pada pasien
trauma tidak menunjukkan hasil yang signifikan pada pasien dengan risiko
kematian yang berbeda. Dengan kata lain asam traneksamat dapat
digunakan secara luas pada pasien dengan trauma perdarahan dan
penggunaanya seharusnya tidak dibatasi hanya pada pasien dengan
perdarahan yang berat. Selain itu pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa
asam traneksamat dapat mengurangi risiko terjadinya gangguan arteri
dalam hal ini sangatlah bermanfaat bagi pasien usia lanjut yang mengalami

Ayu Yoniko Christi | 092010101001

trauma karena mereka memiliki resiko tinggi kematian karena perdarahan


dan terjadinya trombosis.

Efektivitas Hemodinamik dan Keamanan dari 6%


Hydroxyethylstarch 6% 130/0.4 dibandingkan
dengan NaCl 0.9% dalam Terapi pengganti cairan
pada Pasien dengan Sepsis Berat
Pemberian terapi awal yang kurang memadai pada pasien
menyebabkan pasien tidak stabil dan sering dihubungkan dengan keajdian
sepsis yang menyebabkan kematian. Oleh karena itu dibutuhkan
manajemen pasien yang tepat sehingga dapat mengurangi kematian pasien
sepsis dan syok septik secara signifikan. Salah satunya penerapannya
adalah penggunaan koloid yang diketahui menguntungkan, tetapi diragukan
dari segi keamanan. Dibutuhkan suatu percobaan terkontrol acak dalam
penggunaan tetrastarch atau Hydroxyethylstarch (HES) pada pasien sepsis.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai apakah dengan pemberian HES 6%
130/0.4 dibandingkan dengan pemberian NaCl 0,9% pada pasien sepsis
dapat mencapai stabilisasi dalam waktu singkat dan volume cairan yang
lebih sedikit. Selain itu, dilihat pula efek samping dari penggunaan tersebut.
Penelitian pada jurnal ini menggunakan desain studi klinis yang
prospektif, double-blind, terkontrol aktif, dan acak pada pasien sepsis di ICUICU di negara Prancis dan Jerman. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien
berusia 18 tahun yang membutuhkan resusitasi cairan dan secara klinis
Ayu Yoniko Christi | 092010101001

didiagnosis sebagai pasien sepsis. Pasien dibagi menjadi dua kelompok,


kelompok perlakuan yang memperoleh 6% HES 130/0.4 dan kelompok
kontrol yang memperoleh 0.9% NaCl. Dosis maksimal untuk hari pertama 50
ml/kg/hari dan 25 ml/kg/hari untuk hari kedua sampai keempat. Hasil yang
didapatkan dari penelitian ini yaitu dari 196 pasien, 174 pasien berhasil
mencapai stabilisasi, yaitu 88 pasien pada kelompok yang diberikan HES dan
86 pasien pada kelompok yang diberikan NaCl. Volume HES yang diberikan
untuk mencapai stabilisasi lebih kecil jika dibandingkan volume NaCl yang
diberikan untuk mencapai stabilisasi. Demikian juga dengan waktu yang
dicapai stabilisasi dalam pemberian HES lebih singkat dibandingkan dengan
pemberian NaCl. Gagal ginjal akut terjadi pada 24 pasien yang diberikan HES
dan 19 pasien yang diberikan NaCl. Selain itu, tidak ada perbedaan pada
kriteria AKIN (Acute Kidney Injury Network) dan RIFLE (Risk, Injury, Failure,
Loss, End-Stage) pada masing-masing grup. Tidak ada perbedaan pada
tingkat kematian, koagulasi, maupun pruritus 90 hari pasca perawatan. Pada
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa volume cairan HES yang dibutuhkan
dalam mencapai stabilisasi lebih sedikit dibandingkan dengan volume NaCl
pada pasien sepsis dengan tidak ada perbedaan efek samping pada masingmasing kelompok.

Ayu Yoniko Christi | 092010101001

Vous aimerez peut-être aussi