Vous êtes sur la page 1sur 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang, apalagi lansia (lanjut usia), tentu pernah merasakan nyeri selama
perjalanan hidupnya. Perasaan nyeri ini kualitas dan kuantitasnya berbeda dari satu orang
ke orang lain, tergantung dari tempat nyeri, waktu, penyebab dan lain-lain. Pada lansia
rasa nyeri ini sudah menurun, sehingga keluhan akan berkurang, karena kepekaan
sarafnya sudah mulai berkurang bahkan bisa sampai hilang sama sekali. Karena
berkurangnya rasa nyeri inilah maka diagnosis nyeri pada lansia seringkali sulit atau
bahkan kabur untuk dapat menentukan tempat/daerah asal nyeri (Warfields, 1991; Park
and Fulton, 1991).
Riwayat pengobatan nyeri sudah dapat ditemukan di zaman Babilonia, papyrus
Mesir dan dokumen-dokumen zaman Persia dan Troy. Untuk mengobati rasa nyeri, di
zaman primitif dilakukan dengan cara sangat sederhana tetapi cukup efektif, misalnya
dengan penekanan atau direndam di air dingin dari sungai. Pada zaman dahulu nyeri
dianggap sebagai hukuman dari Tuhan. Oleh karena itu istilah pain berasal dari kata
Latin poena yang berarti hukuman.
Pada tahun 2006 sebelum Kristus, didaerah Cina dikenal istilah Yin dan Yang yaitu
dua kekuatan yang saling bertentangan, yang dipersatukan oleh kekuatan yang
membentuk energi vital (chi) untuk sirkulasi. Keadaan yang tidak seimbang dari kedua
kekuatan tersebut akan menyebabkan rasa nyeri. Akupuntur akan memperbaiki
ketidakseimbangan itu dan menyembuhkan rasa nyeri. Pada zaman Mesir kuno dipercaya
bahwa nyeri disebabkan oleh spirit (roh) dari kematian, yang masuk kebadan melalui
hidung atau telinga dalam suasana gelap. Karena itu untuk mengeluarkan nyeri/spirit
tersebut dilakukan dengan jalan mengusahakan muntah-muntah, kencing, bersin, atau
keringat.
Pada 5000 tahun sebelum Kristus dipercaya bahwa nyeri merupakan akibat rasa
frustasi dari keinginan yang tak tersampaikan. Agama Hindu mengatakan bahwa jantung
adalah tempat dari segala rasa nyeri. Agak berbeda, filosof Yunani kuno memikirkan
bahwa yang jadi pusat dari perasaan nyeri adalah otak bukan jantung. Hippocrates
berpendapat bahwa fungsi badan kita dikontrol oleh empat cairan yaitu darah, phlegm,

empedu kuning dan empedu hitam. Nyeri merupakan manifestasi ketidakseimbangan


keempat cairan tersebut. Plato berfikir bahwa jantung dan hati merupakan pusat nyeri.
Aristotle mempercayai bahwa nyeri berpusat dijantung. Konsep Aristotle ini diteruskan
oleh William Harvey pada tahun 1623, Celcus mengemukakan teori yang saat ini menjadi
sangat terkenal, yaitu hubungan antara dolor (pain), tumor, rubor, dan calor. Pada 2000
sebelum Kristus, Galen berpendapat adanya suatu sistem syaraf yang terdiri dari cranial,
spinal, dan syaraf simpatis, dengan otak sebagai pusatnya.
Pertengahan antara pendapat yang menyatakan jantung atau otak sebagai pusat
nyeri, berlanjut sampai abad ke-19, yang akhirnya menyatakan bahwa pusat nyeri adalah
di otak. Begitu pula tentang bermacam-macam obat mulai dari poium, ramu-ramuan dan
lain sebagainya sampai ditemukannya morfin (dari opium).
Cara psikologis juga dicoba untuk menghilangkan nyeri mulai dari cara magis
sampai daya hipnotis. Sampai saat ini obat-obat penghilang rasa nyeri terus diteliti
dengan hasil berbagai macam obat yang efek sampingnya makin berkurang.
Nyeri adalah masalah bagi pasien dalam semua kelompok usia. Studi secara
konsisten menunjukkan nyeri yang tidak ditangani dengan baik. Studi klasik oleh Marks
dan Sachar melaporkan bahwa 73% pasien medis yang dirawat di rumah sakit mengalami
nyeri sedang sampai berat walaupun telah mendapatkan analgesik narkotik parenteral.
Danovan, Dillon, dan McGuire menemukan bahwa 353 pasien rawat inap medis
mengalami nyeri, dan 58% mengatakan bahwa rasa nyerinya luar biasa. Studi ini
menemukan bahwa nyeri ditanyakan atau dicatat pada kurang dari setengah pasien-pasien
tersebut.
Kurang dari 1% dari 4000 makalah tentang nyeri yang diterbitkan setiap tahunnya
memfokuskan pada lansia. Studi yang ada secara konsisten menunjukkan bahwa
penanganan nyeri adalah suatu masalah. Penggunaan analgesik menurun seiring
bertambahnya usia, dan lansia menambah sejumlah kecil nyeri pada saat masuk ke klinik.
Suatu studi pada penghuni rumah perawatan lansia melaporkan bahwa 83% mengalami
nyeri, banyak yang berada pada tingkat berat.
Terdapat beberapa alasan mengapa nyeri dan kurangnya masalah penanganan nyeri
dapat menjadi masalah bagi lansia. Pertama, prevalensi kondisi yang menyakitkan dan
penyakit sering terjadi pada usia tua. Lebih dari 50% kanker di Amerika Serikat terjadi
pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun, dan 60 sampai 80% pasien dengan kanker
mengalami nyeri sedang sampai berat. Nyeri artritis terjadi pada lebih dari setengah

jumlah seluruh lansia dengan osteoartritis yang menyebabkan lebih banyak nyeri kronis
daripada kondisi yang lain. Jenis nyeri lain yang sering terjadi pada lansia adalah sakit
kepala, nyeri punggung bagian bawah, dan nyeri tajam dan menusuk, nyeri neuropatik
terbakar (misalnya fantom ekstremitas, neuropati diabetes, neuralgia pascaherpetik,
neuralgia trigeminal, dan kausalgia).
B. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami konsep dan melaksanakan Asuhan Keperawatan pada
pasien lanjut usia dengan penyakit pain (nyeri)
b. Tujuan Khusus
a.
Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada pasien lanjut usia dengan
penyakit pain.
b.
Mahasiswa mampu menganalisa data sesuai dengan pengkajian pada pasien
lanjut usia dengan penyakit pain.
c.
Mahasiswa mampu membuat diagnosa keperawatan pada pasien lanjut usia
dengan penyakit pain.
d.
Mahasiswa mampu membuat rencana asuhan keperawatan pada pasien lanjut
usia dengan penyakit pain.
e.
Mahasiswa mampu melakukan implementasi asuhan keperawatan pada
pasien lanjut usia dengan penyakit pain.
f.
Mahasiswa mampu mengevaluasi intervensi keperawatan yang telah
dilakukan pada pasien lanjut usia dengan penyakit pain.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan, rasa nyeri yang dirasakan oleh tiap individu dapat berbeda-beda
tergantung dari ambang dan skala nyeri yang dirasakan. Hal ini menunjukkan adanya

perbedaan simultan dan subjektif rasa nyeri pada tiap individu. Nyeri biasanya
ditunjukkan dengan lamanya nyeri (misalnya, akut atau kronis/persisten) dan
penyebabnya (misalnya, nociceptive atau neuropatik). Hal tersebut berimplikasi
terhadap strategi manajemen nyeri.
Nyeri akut digambarkan sebagai efek dari cedera, operasi, atau kerusakan
jaringan. Nyeri akut biasanya berhubungan dengan aktivitas otonom, seperti takikardia
dan diaforesis. Nyeri akut berlangsung dalam waktu singkat dan dapat membaik dengan
tindakan kuratif.
Nyeri kronis/persisten berlangsung dalam waktu lama (biasanya lebih dari 3 6
bulan). Nyeri kronis kemungkinan berhubungan dengan berlangsungnya proses
penyakit dan aktivitas otonom. Nyeri kronis sering berhubungan dengan defisit
fungsional, penurunan kualitas hidup, perubahan mood dan perilaku.
Nyeri nociceptive mengacu pada rasa sakit yang ditimbulkan oleh stimulasi
reseptor nyeri perifer atau visceral. Nyeri jenis ini digambarkan sebagai efek dari
berlangsungnya proses penyakit (misalnya, osteoarthritis), cedera jaringan lunak
(misalnya, jatuh), dan terapi medis (misalnya, pembedahan, rupturisasi vena, dan
prosedur lainnya). Nyeri kronis biasanya terlokalisasi dan bersifat responsif terhadap
terapi.
Nyeri neuropatik mengacu pada rasa sakit yang disebabkan oleh kerusakan sistem
saraf perifer atau pusat. Nyeri jenis ini berhubungan dengan diabetes neuropati, pascaherpes dan nyeri saraf trigeminal, stroke dan kemoterapi untuk kanker. Penyebaran
nyeri neuropatik biasanya lebih luas dan kurang responsif terhadap pengobatan
analgesik.
B. Etiologi
1. Lebih dari 80% lansia mengalami kondisi medis atau penyakit kronis yang
biasanya dikaitkan dengan nyeri, seperti osteoarthritis dan penyakit pada pembuluh
darah perifer.
2. Lansia sering mengalami penyakit baik kronis dan/atau akut, dan mungkin
merasakan beberapa jenis nyeri dari berbagai sumber atau komplikasi penyakit.
3. Nyeri memiliki efek besar bagi kesehatan, fungsi dan kualitas hidup lansia jika
tidak diatasi. Nyeri bisa berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:
a.
Depresi
b.
Gangguan pola tidur

c.
d.
e.
f.
4.

Penurunan sosialisasi dan penarikan atau isolasi diri


Defisit fungsional dan peningkatan ketergantungan
Eksaserbasi kerusakan kognitif
Peningkatan biaya dan penggunaan layanan kesehatan
Perawat memiliki peran penting dalam manajemen nyeri. Edukasi tehnik

relaksasi dan meringankan nyeri merupakan dasar praktek keperawatan. Perawat


perlu mengetahui tentang nyeri pada lansia untuk memberikan perawatan yang
optimal, memberikan edukasi pada pasien dan keluarga dan serta bekerja secara
efektif dalam interdisiplin tim perawatan kesehatan.
5.
The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (Komisi
Gabungan Akreditasi Organisasi Kesehatan) sekarang memerlukan penilaian secara
konvensional dan sistematis terhadap nyeri pada semua pasien rawat inap. Karena
pasien lansia memiliki populasi besar di banyak lokasi perawatan akut, perawat harus
memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengatasi rasa nyeri secara spesifik
yang dirasakan oleh tiap-tiap lansia.
C. Patofisiologi
Nyeri adalah suatu sensasi yang disebabkan karena rusaknya jaringan, bisa dikulit
sampai jaringan yang paling dalam. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa, nyeri
sering dijumpai pada penderita lansia biasanya sering diterapi secara paliatif, bahkan
dengan manajemen yang sering tidak adekuat (Monti DA,1998). Nyeri yang kronis
biasanya berpengaruh pada fungsi fisiologis berupa bertambahnya penderitaan dan
menurunnya kualitas hidup.
D.
E.
F.
G.
H.

Pathway
Manifestasi Klinis
Komplikasi
Pemeriksaan diagnostic
Penatalaksanaan
1. Pencegahan Primer
Lansia adalah subjek terhadap nyeri akut dari infeksi, pembedahan, dan trauma.
Masalah-masalah keseimbangan, vertigo, ketidakstabilan sendi, kelemahan otot, dan
penurunan ketajaman penglihatan merupakan predisposisi bagi lansia untuk
mengalami kecelakaan. Hal yang penting untuk mencegah dan mengatasi rasa nyeri
adalah mempertahankan kesehatan yang optimal. Nutrisi, hidrasi, tidur, dan aktivitas
perlu ditingkatkan.

2. Pencegahan Sekunder
PENGKAJIAN
Sebagian besar profesional kesehatan hanya memiliki sedikit pengetahuan
tentang prevalensi nyeri pada lansia karena kurangnya pengkajian dan dokumentasi.
Untuk

dapat

ditangani,

nyeri

terlebih

dahulu

harus

diidentifikasi

dan

didokumentasikan. Banyak orang percaya bahwa nyeri tidak dapat dihindarkan


seiring dengan penuaan. Lansia dapat menyangkal rasa nyeri yang dirasakan karena
takut menderita kanker, pengobatan medis, biaya, menjadi beban keluarga, atau
kemungkinan diinstitusionalisasi.
Tersedia beberapa alat yang sangat membantu untuk mengkaji nyeri. Salah satu
alat yang paling nyaman digunakan adalah skala intensitas nyeri 0 sampai 10.
Skala memberikan suatu pemahaman yang lebih objektif tentang nyeri
seseorang. Skala tersebut biasanya dengan mudah dapat digunakan dalam berbagai
situasi. Grafik wajah-wajah nyeri dan gambar grafik tubuh juga merupakan alat
yang sangat berguna. Lansia harus diminta untuk menggambarkan kualitas nyeri
dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Perawat dapat meminta pasien untuk
menentukan apa yang membuat nyeri terasa lebih baik atau yang membuatnya lebih
buruk. Anjurkan pasien untuk menunjuk ke daerah nyeri atau menandai lokasinya
pada grafik tubuh.
Jika lansia mengalami nyeri akut, hanya pertanyaan esensial yang harus
ditanyakan. Seringnya memposisikan pasien atau imobilisasi dapat memperberat
nyeri. Pertanyaan yang tepat adalah sebagai berikut:
Kapan nyeri dimulai?
Bagaimana kualitasnya, termasuk intensitas?
Apa yang telah dilakukan untuk mengatasinya?
Kapan hal itu terjadi?
Apakah anda mengalami nyeri kronis?
Di mana itu?
Bagaimana kualitasnya?
Untuk melakukan pengkajian nyeri yang lengkap, perawat harus menanyakan
kepada klien tentang riwayat medisnya. Sering kali, ketika pasien berada dalam
keadaan nyeri, ia mungkin pergi ke beberapa dokter dan menerima berbagai jenis

resep. Perawat harus menemukan pengobatan yang digunakan oleh pasien, baik yang
diresepkan maupun yang dibeli bebas. Jika terdapat penyakit penyerta, ada resiko
terjadi toksisitas dan reaksi sensitivitas karena asupan obat-obat yang tidak sesuai.
Apakah pasien menggunakan obat-obat tradisional untuk nyeri? Bagaimana nyeri
mempengaruhi kualitas kehidupan klien? Aktivitas? Fungsi sosial? Apakah pasien
mengalami depresi karena rasa nyerinya?
Perawat harus membangun rasa percaya dengan cara pada awalnya
membiarkan pasien mengetahui bahwa perawat percaya. Perawat harus tampak tidak
tergesa-gesa dalam pengkajian, memberikan waktu pada pasien untuk berespon.
Perawat harus menghadap kepada orang tersebut, berbicara perlahan-lahan dan jelas.
Pasien mungkin memiliki masalah kognitif ringan atau berat, dan mungkin
menunjukkan masalah penglihatan atau pendengaran. Perawat harus siap untuk
membaca atau menunjukkan pertanyaan atau menggambarkan skala nomor kepada
pasien.
Evaluasi pengurangan rasa nyeri yang telah dicapai sangat penting untuk
mencegah nyeri memuncak melebihi tingkat yang dapat ditoleransi. Perawat tidak
dapat bergantung pada pasien dalam melaporkan pengurangan nyeri yang tidak
adekuat karena ia percaya bahwa pengurangan nyeri yang telah dicapai adalah yang
terbaik atau permintaan bantuan yang lain mungkin ditolak. Pasien harus dianjurkan
untuk mengatakan rasa nyerinya dan membiarkan pemberi perawatan, anggota
keluarga, atau dokter mengetahui jika nyeri tidak terkendali. Namun, perawat tidak
boleh menjanjikan kepada pasien bahwa nyeri dapat dihilangkan sepenuhnya.
Tujuannya adalah untuk menurunkan nyeri sampai pada tingkat yang dapat
ditoleransi dan tingkat fungsional.
Kesulitan dalam pengkajian nyeri dapat terjadi pada lansia yang tidak dapat
mengungkapkan sesuatu secara verbal, koma, atau konfusi. Perilaku-perilaku tertentu
dapat mengekspresikan nyeri seperti mengerang, kegelisahan, atau penarikan diri.
Juga, perawat harus waspada bahwa setiap kondisi atau penanganan yang oleh pasien
yang dapat berbicara dikatakan sebagai penyebab nyeri mungkin juga menjadi
penyebab nyeri pada lansia yang tidak dapat berbicara dalam situasi yang hampir
sama. Reaksi terhadap penanganan nyeri mungkin sama tidak bergantung pada
apakah dia bisa atau tidak bisa mengungkapkan nyeri secara verbal. Contoh kondisi

ini adalah mengatur posisi pasien dengan fraktur atau kontraktur, mengganti balutan,
dan pemberian makanan melalui slang. Pasien tersebut harus diobati walaupun
mereka tidak dapat mengungkapkan nyerinya.
I. Pengkajian
J. Diagnose keperawatan

Vous aimerez peut-être aussi