Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
implementasi Kurikulum 2013 (K-13). Keluhan terbanyak justru datang dari para guru yang merasa
beban administratif yang harus mereka ditanggung semakin bertambah karena pelaksanaan K-13.
"Guru terutama banyak sekali yang complain. Mereka banyak merasa beban administratif yang tinggi.
Beban untuk mengerjakan urusan administratif tidak sebanding dengan beban atau waktu mendidik,"
kata Anies saat ditemui di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Selasa (11/11).
Anies mengatakan keluhan-keluhan tersebut diterimanya melalui pesan singkat (sms). Dia
membacakan salah satu sms dari guru yang menyebut K-13 membuat anak tidak merasa senang.
"Soal kurikulum (K-13) akan direview karena implikasi pada anak dan guru. Kurikulum itu kan
menstrukturkan (menghubungkan) antara pendidikan dan tenaga pendidikan," ujarnya.
Sebelumnya, Anies memang berniat mengumpulkan para pengamat dan praktisi pendidikan dalam
rangka evaluasi menyeluruh atas keberlanjutan K-13. Pertemuan itu untuk mendapatkan masukan
dari pihak luar Kemdikbud, sehingga ada objektivitas dalam proses evaluasi K-13.
Kemdikbud sendiri memiliki struktur khusus yaitu Unit Implementasi Kurikulum (UIK) yang
bertanggung jawab menjalankan dan mengevaluasi K-13.
"Mungkin minggu depan sudah bisa (pertemuan). Saya mau tunjuk nama-nama orang yang mengerti
kondisi di lapangan. Kita ingin tunjuk dengan baik, yang punya kredibilitas," kata Anies saat
dikonfirmasi soal pelaksanaan evaluasi K-13 dengan para pengamat dan praktisi pendidikan.
Menurutnya, keberlanjutan K-13 harus diputuskan secara berhati-hati dan memakai langkah yang
benar untuk kepentingan anak. Dia mengatakan tidak ingin mengulangi pola kebijakan K-13 yang
diterapkan saat ini, dimana segala sesuatu harus segera atau terburu-buru dilakukan. Akibatnya, guru
dan orangtua menjadi korban.
Anies menjelaskan kurikulum tidak pernah bisa lepas dari tujuan pembentukan karakter. Oleh karena
itu, K-13 juga haruslah berujung kepada karakter anak yang baik.
"Tujuan pendidikan bukan membuat amanat menteri berjalan tapi anak-anak tercerdaskan seperti
amanat undang-undang dasar," kata Anies.
Dia menambahkan pembinaan guru juga akan menjadi fokus Kemdikbud selama masa
kepemimpinannya. Menurutnya, pendidikan guru seharusnya bukan sekadar melatih guru untuk
menjalankan kurikulum, tetapi bagaimana guru melaksanakan peran sebagai pendidik yang baik.
Anies juga akan memperbaiki pengelolaan guru saat ini. Menurutnya, persoalan guru banyak
bersumber dari daerah, misalnya banyak daerah mengangkat guru honorer namun tidak memberi
pendidikan kewirausahaan supaya setiap lulusan lembaga pendidikan bukan hanya memiliki ilmu pengetahuan,
tetapi juga memiliki mental yang kuat, ulet, tangguh, kreatif, dan inovatif sebagai bekal untuk mampu bersaing
pada persaingan global. Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan global. Tahun 2015 yang tinggal dua
bulan lagi akan diberlakukan masyarakat Ekonomi ASEAN dimana pasar ASEAN akan berjalan secara terbuka.
Lalu lintas manusia, barang, dan jasa akan berjalan semakin masif. Tentunya SDM Indonesia harus siap
menghadapi persaingan tersebut. Dan sekali lagi, pendidikan menjadi faktor yang sangat strategis dalam
menyiapkan manusia Indonesia yang berkualitas. Pendidikan Berbasis Budaya dan Karakter Bangsa Hal yang
perlu diperhatikan dalam kurikulum pendidikan nasional saat ini adalah perlunya nilai budaya dan karakter
bangsa ditanamkan kepada peserta didik. Nilai-nilai seperti gotong royong, toleransi, silih asah, silih asih, dan
silih asuh perlu diinternalisasikan kepada peserta didik, utamanya melalui keteladanan guru karena guru adalah
role model (panutan) bagi peserta didik. Selain itu, penguatan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah hidup
bangsa Indonesia perlu bangkitkan kembali. Berbagai kasus kekerasan dan intoleransi yang terjadi di
masyarakat sebagai akibat semakin lemahnya nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan diantara anak-anak
bangsa. Oleh karena itu, sekali lagi dunia pendidikan tempat bertumpunya harapan untuk merekonstruksi mental
bangsa manusia Indonesia agar kembali kepada jati dirinya. Saya yakin, dalam program-program Bapak di
Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah akan fokus terhadap masalah peningkatan
kualitas SDM yang bukan hanya cerdas intelektual, tapi juga cerdas sosial, dan cerdas spiritual. Demikian, Saya
mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kelancangan Saya menyampaikan unek-unek ini Kepada Bapak.
Semoga Allah SWT memberikan kekuatan dan petunjuk kepada Bapak dalam melaksanakan tugas. Terima
kasih.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/idrisapandi/surat-terbuka-untuk-aniesbaswedan_54f403507455137a2b6c84fd
mengakui jalur pendidikan non-formal dan pendidikan informal sebagai saluran yang sah dan
legal dalam penyelenggaraan pendidikan.
Jalur pendidikan non-sekolah berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap
pendidikan formal (sekolah). Hasil pendidikan non-formal dan informal dapat diakui setara
dengan hasil pendidikan formal setelah melalui proses penyetaraan (Ujian Kesetaraan Paket A,
B, C).
Dalam model jalur pendidikan non-sekolah, ada model pendidikan pesantren tradisional (yang
bukan madrasah), kursus, pendidikan kesetaraan, kecakapan hidup, homeschooling
(sekolahrumah), dan lain-lain. Model pendidikan ini berbeda dengan sekolah. Walau tak
sebanyak anak sekolah, anak-anak ini jumlahnya tak sedikit. Mereka belajar dan terdidik, tapi
mereka tak menjalani pendidikannya di sekolah.
Dalam forum FGD (Focus Group Discussion) pokja Pendidikan Jokowi-JK yang lalu, para praktisi
pendidikan informal & non-formal telah memberikan masukan yang intinya mendukung visi
pendidikan Jokowi-JK yang menolak penyeragaman sekolah. Oleh karena itu, pemerintah perlu
mengambil kebijakan yang memelihara dan memfasilitasi inisiatif warga negara dalam sektor
pendidikan informal & non-formal.
Sekolah adalah sarana pendidikan, tetapi pendidikan tak hanya bersekolah. Sebagaimana
prinsip belajar sepanjang hayat (UNESCO) belajar bisa mengambil tempat dan bentuk yang
beraneka ragam, bukan hanya bersekolah.
Membatasi pendidikan hanya pada persekolahan bukan hanya menyempitkan makna
pendidikan, tetapi juga bersifat kontraproduktif dan menutup aneka inovasi pendidikan yang bisa
muncul dari masyarakat.
Sekolah hanya salah satu tempat. Dengan kondisi persekolahan Indonesia yang menempati
posisi buncit dalam aneka uji internasional (PISA, TIMMS,), fokus pemerintah seharusnya bukan
memaksa anak-anak untuk bersekolah, tetapi membuka pintu-pintu yang luas untuk inisiatif dan
inovasi pendidikan.
Oleh karenanya, memberi sanksi bagi keluarga yang mendidik anaknya di jalur informal
(misalnya: pesantren atau sekolahrumah) karena tidak menyekolahkan anaknya adalah sebuah
gagasan yang tidak masuk akal. Keluarga yang bersusah payah berkontribusi pada dunia
pendidikan seharusnya didukung dan difasilitasi, bukan dihukum.
Masukan:
Inisiatif untuk memfasilitasi anak-anak Indonesia agar bisa mendapatkan pendidikan dasar
minimal hingga tingkat SMA (12 tahun) adalah sebuah niat yang mulia. Tetapi, aku berharap
pemerintah TIDAK MEWAJIBKAN SEKOLAH. Pemerintah harus membuka seluas-luasnya
alternatif pelaksanaan kewajiban belajar dengan menggunakan moda-moda pendidikan lain,
baik yang ada di jalur pendidikan non-formal maupun informal.
Demikian pandangan pribadiku sebagai praktisi pendidikan informal (homeschooling). Mudahmudah aspirasi ini bisa sampai ke pak Anies Baswedan dan tim yang merumuskan UU Wajib
Belajar.