Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Filariasis
2.1.1. Pengertian
Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan
penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan
oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat seumur hidup
berupa pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing filaria hidup di
saluran dan kelenjar getah bening. Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala
klinis akut dan atau kronik (Depkes RI, 2005).
2.1.2. Etiologi
Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di saluran dan
kelenjar getah bening. Anak cacing yang disebut mikrofilaria, hidup dalam darah.
Mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari.
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu:
1. Wuchereria bancrofti
2. Brugia malayi
3. Brugia timori (Gandahusada, 1998).
2.1.3. Vektor
Di Indonesia telah terindentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu
Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis.
Sepuluh spesies nyamuk Anopheles diidentifikasikan sebagai vektor Wuchereria
mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan
(suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemis (transmigran) lebih rentan
terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dari pada penduduk asli. Pada umumya
laki-laki banyak terkena infeksi karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat
infeksi (exposure). Gejala penyakit lebih nyata pada laki-laki karena pekerjaan fisik
yang lebih berat (Gandahusada, 1998).
B. Hewan
Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis
(hewan reservoir). Hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik
yang ditemukan pada lutung (Presbytis criatatus), kera (Macaca fascicularis), dan
kucing (Felis catus) (Depkes RI, 2005).
2.1.5. Lingkungan
A. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim, keadaan geografis, stuktur geologi
dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor sehingga
berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan
fisik dapat menciptakan tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk. Suhu dan
kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup, dan keberadaan
nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hewan reservoir
(kera, lutung, dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran Brugia malayi sub
periodik nokturna dan non periodik.
B. Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi dapat menjadi rantai penularan filariasis. Misalnya,
adanya tanaman air sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia sp. Daerah
endemis Brugia malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau
badan air yang ditumbuhi tanaman air.
C. Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya
Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya adalah lingkungan yang timbul
sebagai akibat adanya interaksi antara manusia, termasuk perilaku, adat istiadat,
budaya, kebiasaan, dan perilaku penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam
hari, keluar pada malam hari, dan kebiasaan tidur berkaitan dengan intensitas kontak
vektor.
umumnya laki-laki sering kontak dengan vektor pada saat bekerja (Depkes RI, 2005).
2.1.6. Cara Penularan
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung
mikrofilaria, mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk dan
melepaskan selubungnya kemudian menembus dinding lambung nyamuk bergerak
menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria akan mengalami
perubahan bentuk menjadi larva stadium I (L1), bentuknya seperti sosis berukuran
125-250m x 10-17m dengan ekor runcing seperti cambuk setelah 3 hari. Larva
tumbuh menjadi larva stadium II (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200300m x 15-30m dengan ekor tumpul atau memendek setelah 6 hari. Pada stadium
II larva menunjukkan adanya gerakan. Kemudian larva tumbuh menjadi larva stadium
III (L3) yang berukuran 1400m x 20m. Larva stadium L3 tampak panjang dan
ramping disertai dengan gerakan yang aktif setelah 8-10 hari pada spesies Brugia dan
10-14 hari pada spesies Wuchereria. Larva stadium III (L3) disebut sebagai larva
infektif.
Apabila seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif maka orang tersebut
berisiko tertular filariasis. Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva
L3 akan keluar dari probosisnya dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk
kemudian menuju sistem limfe. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan
menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria
bancrofti memerlukan waktu lebih 9 bulan (Depkes RI, 2005).
2.1.8. Gejala
Gejala-gejala yang terdapat pada penderita Filariasis meliputi gejala awal
(akut) dan gejala lanjut (kronik). Gejala awal (akut) ditandai dengan demam berulang
1-2 kali atau lebih setiap bulan selama 3-4 hari apabila bekerja berat, timbul benjolan
yang terasa panas dan nyeri pada lipat paha atau ketiak tanpa adanya luka di badan,
dan teraba adanya tali urat seperti tali yang bewarna merah dan sakit mulai dari
pangkal paha atau ketiak dan berjalan kearah ujung kaki atau tangan. Gejala lanjut
(kronis) ditandai dengan pembesaran pada kaki, tangan, kantong buah zakar,
payudara dan alat kelamin wanita sehingga menimbulkan cacat yang menetap
(Depkes RI, 2005).
2.1.9. Tindakan Pencegahan dan Pemberantasan Filariasis
Menurut Depkes RI (2005), tindakan pencegahan dan pemberantasan filariasis
yang dapat dilakukan adalah:
1. Melaporkan ke Puskesmas bila menemukan warga desa dengan pembesaran kaki,
tangan, kantong buah zakar, atau payudara.
2. Ikut serta dalam pemeriksaan darah jari yang dilakukan pada malam hari oleh
petugas kesehatan.
3. Minum obat anti filariasis yang diberikan oleh petugas kesehatan.
4. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan agar bebas dari nyamuk penular.
5. Menjaga diri dari gigitan nyamuk misalnya dengan menggunakan kelambu pada
saat tidur.
makan dan dalam keadaan istirahat/tidak bekerja. Upaya ini dimaksudkan untuk
membunuh mikrofilaria dalam darah dan cacing dewasa.
Sasaran pengobatan massal adalah seluruh penduduk yang tinggal di daerah
endemis, kecuali:
1. Anak-anak berusia < 2tahun
2. Ibu hamil dan menyusui
3. Orang yang sedang sakit
4. Orang tua yang lemah
5. Penderita serangan epilepsi
Setiap orang yang ditemukan mikrofilaria dalam darahnya mendapat
pengobatan yang memadai agar tidak menderita klinis filariasis dan tidak menjadi
sumber penularan terhadap masyarakat sekitarnya (Depkes RI, 2005).
2.3.2. Survei Darah Jari
Survei darah jari adalah identifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada suatu
populasi yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan intensitas
infeksinya. Survei darah jari dilakukan di desa yang mempunyai kasus kronis
terbanyak. Populasi survei adalah penduduk berusia >13 tahun. Jumlah sampel yang
diambil di setiap desa lokasi survei adalah 500 orang. Apabila jumlah sampel tidak
mencukupi maka sampel diambil dari desa yang bersebelahan. Cara pengambilan
sampel adalah mengumpulkan penduduk sasaran survei yang tinggal di sekitar kasus
kronis yang ada di desa lokasi survei. Pengambilan darah dilakukan pada pukul 20.00
malam (Depkes RI, 2005).
2. Faktor struktural
Mengorganisasikan stimuli dengan melihat konteksnya. Walaupun stimuli yang
kita terima itu tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan interpretasi yang
konsisten dengan rangkaian stimuli yang kita persepsikan. Objek atau peristiwa
yang berdekatan dalam ruang dan waktu, cenderung ditanggapi sebagai bagian
dari struktur yang sama. Pendidikan dan budaya adalah beberapa faktor yang
menyebabkan perbedaan dalam melihat kesamaan (Rakhmat, 2005).
3. Perhatian
Menurut Andersen dalam Rakhmat (2005), perhatian adalah proses mental ketika
stimulus atau rangkaian stimulus menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat
stimulus lainnya melemah. Faktor-faktor yang memengaruhi perhatian adalah
kepercayaan, sikap, nilai, kebiasaan, dan kepentingan.
2.4.2. Pengaruh Persepsi tentang Program Pemberantasan Filariasis terhadap
Tindakan Pencegahan Filariasis
Manusia adalah makhluk yang berusaha memahami lingkungannya dan
makhluk yang selalu berpikir. Manusia tidak memberikan respons kepada suatu
stimulus secara otomatis. Sebelum memberikan respons, manusia akan menangkap
pola stimuli secara keseluruhan dalam satuan-satuan yang bermakna. Walaupun
orang-orang mengalami peristiwa yang sama, orang-orang akan menanggapinya
secara berbeda sesuai dengan keadaan dirinya. Secara psikologis dapat dikatakan
bahwa setiap orang mempersepsikan stimulus sesuai dengan karakteristik
personalnya (Rakhmat, 2005).
sosiol, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya yang dijadikan sasaran dalam
mewujudkan bentuk perilakunya (Notoatmodjo, 2003).
2.5.1. Perilaku Kesehatan
Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2005), perilaku kesehatan adalah suatu
respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan
sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta
lingkungannya. Dengan perkataan lain perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau
kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat
diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan.
2.5.2. Determinan Perilaku
Meskipun perilaku dibedakan antara perilaku terbuka (overt) dan perilaku
tertutup (covert), tetapi perilaku adalah totalitas yang terjadi pada orang yang
bersangkutan yang merupakan hasil bersama antara faktor internal dan eksternal.
Benyamin Bloom(1908), membedakan adanya 3 domain perilaku, yakni kognitif,
afektif, dan psikomotorik (Notoatmodjo, 2005).
Dalam perkembangan selanjutnya, untuk kepentingan pendidikan praktis
dikembangkan menjadi 3 domain perilaku yang dapat diamati antara lain:
1. Pengetahuan (knowledge)
2. Sikap (attitude)
3. Tindakan (practice)
Untuk mengukur perilaku dan perubahan dalam kesehatan juga mengacu pada
3 domain perilaku yang dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dati tahu (know) yang terjadi setelah seseorang
melakukan pengideraan terhadap suatu objek. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang
(Notoatmodjo, 2003).
2. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
stimulus atau objek. Menurut Newcomb, sikap merupakan kesiapan atau
kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu
(Notoatmodjo, 2003).
3. Tindakan (practice)
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor
pendukung atau situasi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas
(Notoatmodjo, 2003).
2.5.3. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga terhadap Tindakan Pencegahan
Filariasis
Manusia diciptakan dengan ciri khas yang melekat pada dirinya dan di sebuah
lingkungan, dimana ciri yang melekat dan lingkungan tersebut berkontribusi pada
perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari, termasuk perilaku kesehatan. Kepala
Keluarga sebagai individu mempunyai ciri-ciri yang melekat padanya. Ciri ciri yang
melekat pada diri individu disebut faktor internal. Faktor internal tersebut antara lain
adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, tingkat ekonomi, dan status perkawinan
(Notoatmodjo, 2003).
2.6. Kerangka Konsep Penelitian
Adapun kerangka konsep dari penelitian ini adalah:
Variabel Independen
Variabel Dependen
Karakteristik KK:
1. Umur
2. Pendidikan
3. Pendapatan
pendapatan.