Vous êtes sur la page 1sur 5

ANTAGONIS DAN ANALGESIK OPIOID

AGONIS KUAT

Alfentanil
Fentanyl
Heroin
Meperidine
Methadone
Morphine
Oxycodone
Remifentanil
Sufentanil

AGONIS SEDANG / LEMAH

ANTAGONIS-AGONIS

- Codeine
- Propoxyphene

CAMPUR DAN AGONIS


PARSIAL
- Buprenorphine
- Butorphanol
- Nalbuphine
- Pentazocine

Antagonis
Nalmefene
Naloxone
Naltrexone
Analgesic Lain

I.

Termadol
Reseptor Opioid
Opioid berinteraksi secara stereospesifik dengan reseptor protein pada membran sel-sel tertentu di SSP, pada ujung saraf perifer,
dan pada sel-sel saluran cerna dan region anatomis lainnya. Efek utama opioid diperantai oleh tiga kelompok reseptor utama.
Reseptor-reseptor ini ditandai dengan menggunakan huruf yunani ( mu ), k ( Kappa ) , ( delta ). Tiap kelompok reseptor

menghasilkan spesifisitas . Enkefalin berinteraksi lebih selektiff dengan reseptor yang berpasangan dengan protein G dengan
menghambat adenilil siklase. Reseptor reseptor tersebut juga terkait dengan kanal ion, meningkatakan aliran keluar K
( hiperpolaris ) pascasinap atau mengurangi aliran masuk Ca2+ prasinaps sehingga segera menyebabkan pelepasan implus neuron
dan pelepasan transmitter.
a. Distribusi Reseptor
Reseptor opioid berdensitas tinggi yang diketahui terlibat dalam penyatuan informasi mengenai nyeri terlihat pada lima
area umum dalam SSP. Reseptor-reseptor tersebut juga telah teridentifikasi pada serat saraf sensoris perifer dan ujungujungnya serta pada sel-sel imun.
1. Batang otak : Reseptor opioid mempengaruhi pernapasan, batuk, mual , dan muntah, tekanan darah diameter pupil,
serta kendali sekresi lambung.
2. Talamus Media : Area ini memeratai nyeri dalam yang kurang terlokalisasi dan dipengaruhi oleh emosi.
3. Medula Spinalis : Reseptor Reseptor pada substansi gelatinosa terlibat dalam penerimaan dan penyatuan informasi
sensoris yang datang, menyebabkan pelemahan stimulasi aferen yang nyeri.
4. Hipotalamus : reseptor-reseptor organ ini mempengaruhi sekresi neuroendokrin.
5. System limbic : konsentrasi terhebat reseptor-reseptor opioid pada system limbic terletak pada amigdala. Reseptorreseptor ini mungkin tidak menyebabkan kerja analgesic, tetapi juga dapat mempengaruhi perilaku emosi.
6. Perifer : Opioid juga berikatan dengan serat saraf sensoris perifer dan ujung ujungnya. Seperti pada SSP, opioid juga
menghambat pelepasan zat pengeksitasi yang bergantung -Ca 2+ , substansi proinflamasi ( misalnya, substansi P ) dari
ujung-ujung saraf ini.
7. Sel-Sel Imun : Lokasi ikatan opioid juga telah ditemukan pada sel-sel imun. Peran resepto-reseptor ini pada nosisepsi (
II.

respons atau sensitivitas terhadap rangsang nyeri ) belum ditentukan.


AGONIS KUAT
a. Morphine
1. Mekanisme Kerja : opioid menghasilkan efek utama dengan cara berinteraksi dengan reseptor opioid pada SSP dan
struktur otonomis lainnya, seperti saluran cerna dan kandung kemih. Opioid menyebabkan hiperpolarisasi sel saraf,
hambatan pencetusan impuls, dan hambatan prasinaps pelepasan transmitter. Morphine bekerja pada reseptor k dalam
Lamina I dan II kornudorsalis medulla spinalis dan menurunkan pelepasan substansi P, yang memodulasi persepsi nyeri

pada medula spinalis. Morphine juga menghambat pelepasan banyak transmiter pengeksitasi dari ujung saraf perangsang
nosiseptif ( nyeri ).
2. Kerja :
a. Analgesik : Morphine Menyebabkan analgesic ( nyeri pada tanpa hilang kesadaran ). Opioid meredakan nyeri baik
dengan cara menaikan ambang nyeri pada tingkat medulla spinalis maupun , lebih penting lagi dengan mengubah
presepsi otak mengenai nyeri. Pasien yang diterapi dengan Morphin masih waspada akan datngnya nyeri, tetapi
sensasi ini tidak menyenangkan. Namun, ketika diberikan kepada orang yang tidak nyeri, efek Morphine mungkin
tidak menyenngkan dan dapat menyebabkan mual dan muntah. Manfaat analgesic maksimum, dan potensi adiksi
terhadap agonis yang representatif.
b. Euforia : Morphie menghasilkan sensasi kepuasan dan kesejahteraan yang kuat. Euforia mungkin disebabkan oleh
disinhibisi tegmentum.
c. Respirasi : Morphie menyebabkan depresi napas dengan cara mereduksi sensitivitas neuron pusat pernapasan
terhadap karbon dioksida. Hal ini terjadi pada dosis lazim Morphie dan memburuk sat dosis dinaikan hingga, akhirnya
pernapasan berhenti. Depresi pernapasan merupakan penyebab tersering kematian overdosis opioid akut.
d. Refleks depresi batuk : Baik Morphie dan codein memiliki sifat antitusif. Secara umum, penekan batuk tidak
berhubungan erat dengan sifat analgesic dan depresi pernapasan obat-obat opioid. Reseptor-reseptor yang terlibat
dalam kerja antitusif tampaknya berbeda dengan yang terlibat dalam analgesic.
e. Miosis : Pupil pinpoint, karakteristik peggunaan Morphie, menyebabkan stimulasi pada reseptor dan k. Morphie
mengsitasi nucleus edinger westphal saraf okulomotor, yang menyebabkan peningkatan stimulasi parasimpatis
terhadap mata. Toleransi terhadap efek adalah kecil dan semua penyalah guna morphine memperlihatkan pupil
pintpoin . Hal lain menyebabkan koma dan depresi pernapasan yang menghasilkan dilatasi pupil.
f. Emesis : Morphie merangsang secara langsung zona pemicu kemoreseptor pada area postrema yang menyebabkan
muntah.
g. Saluran Cerna : Morphine meredakan diare dan disentri dengan cara menurunkan motilitas dan meningkatkan tonus
otos polos sirkulasi usus halus. Morphie juga meningkatkan tonus sfingter ani. Secara keseluruhan Morphie
menyebabkan konstipasi, dengan sedikit tolerans. Obat ii juga meningkatkan tekanan saluran empedu akibat kontraksi
kandung empedu sfingter biliar.

h. Kardivaskuler : Morphnie tidak memiliki efek yang sangat besar terhadap tekan darah atau denyut jantung, keculi
dalam dosis besar, hipotensi dan brakikardia dapat terjadi.karena depresi pernapasan dan retensi karbon dioksida,
pembuluh darah serebrum berdilatasi dan meningkatakan tekanan cairan serebrospinal ( liquor cerebrospinal /LCS ).
Oleh sebab itu, Morphie dikontraindikasikan pada orang-orang yang mengalami cidera otak yang berat.
i. Plepasan histamine : Morphie melepaskan histamine dari sel mast yang menyebabkan urtikaria, berkeringat, dan
vasodilatasi karena Morphie dapat menyebabkan bronkokonstriksi pasien asma tidak boleh menerima obat ini.
j. Kerja hormonal : Morphie menghambat pelepasan gona-dotropin-releasing hormone dan corticotrophin-releasing
hormone, menurut konsentrasi luteinizing hormone, follicle stimulating hormone, hormone adrenokortikotropik, dan
endorphin kadar testosterone dan cortisol menurun. Morphie meningkatkan pelepasan hormone pertumbuhan dan
memicu sekresi prolaktin. Obat ini meningkatkan hormone diuretic sehingga menyebabkan retensi urin.
k. Persalinan : Morphie dapat memperlama kala dua persalinan dengan cara menurunkan kekuatan durasi dan frekuensi
kontraksi uterine secara sementara.
3. Kegunaan terapeutik :
a. Analgesik : Meskipun telah dilakukan riset yang intensif sebagian kecil obat lainnya telah dikembangkan yang sama
efektifnya dengan Morphie dalam meredakan nyeri. Opioid mereduksi tidur, dan dalam situasi klinis ketika nyeri
timbul dan tidur diperlukan opiate dapat digunakan untuk memperkuat sifat pereduksi tidur dari benzodiazepine,
seperti temazepam . Catatan : Obat-obat hipnotik sedative biasanya tidak bersifat analgesic, dan obat-obat ini
berkurang efek sedatifnya saat timbul nyeri.
b. Terapi Diare : Morphie menurunkan motilitas dan meningkatkan tinus otot polos sirkular usu halus. ( catatan : obat
ini dapat menyebabkan konstipasi ).
c. Pereda batuk : Morphie menyupresi reflex batuk ; namun codeine atau dekstromethorphan lebih banyakdigunakan
untuk tujuan ini.codeine memiliki kerja anti tusif yang lebih besar dibandingkan Morphie.
d. Terapi edema paru akut : Morphie intravena atau IV sangat meredakan dispnea yang disebabkan oleh edema paru
akibat gagal ventrikel kiri mungkin karena efek fase dilatornya.
4. Farmakokinetik
a. Administrasi : absorbsi Morphie dari saluran cerna berlangsung lambat dan tidak teratur. Codein , sebaliknya,
diabsorbsi secara baik ketika diberikan proral. Metabolism lintas pertama Morphie yang bermakna terjadi dalam

hepar. Oleh sebab itu, injeksi subkutan, intra muscular , atau IV meghasilkan respon yang paling terpercaya. Ketika
digunakan peroral Morphie umumnya diberikan dalam bentuk lepas lambat untuk menyediakan kadar dalam plasma
yang lebih knsisten . ( catatan : dalam kasus nyeri kronis yang disebabkan karena neoplastik, penggunaan tablet lepas
lambat atau pompa yang memungkinkan pasien mengontrol nyeri melalui pemberian sendiri.) opiodi telah
digunakan non medis degan cara menghirup bubuk atau menghisap dari opium mentah yang dibakar, yang
menyediakan awitan cepat kerja obat.
b. Distribusi : Morphine memasuki seluru jaringan tbuh dengan cepat, termasuk janin dari wanitia hamil, dan tidak
boleh digunakan sebagai analgesic selama persalinan. Bayi yang terlahir dari ibu yang kecanduan memperlihatkan
keterkagantunagn fisik pada opioid dan mengalami gejala-gejala putus zat jika oipoid tidak diberikan. Hanya
beberapa persen Morphie saja meintasi sawar darah otak karena Morphie merupak yang lipofilik dari semua opioid
yang lazim . hal ini sangat kontras dibandingkan dengan opioid yang lebih lemak, seperti fentanyl, methadone, heroin
yang mudah menembus otak.

Vous aimerez peut-être aussi