Vous êtes sur la page 1sur 20

Makalah tinjauan pustaka

INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT

Oleh
Rahmat Zakky Maulana
I4A012130

Pembimbing
dr. Oscar Nurhadi, Sp. S

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf


FK Unlam-RSUD Ulin
Banjarmasin
Juli, 2016

BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi sistem saraf pusat merupakan salah satu masalah penting dalam
dunia kedokteran, karena proses diagnosis dan terapi yang cepat serta tepat dapat
menyelamatkan

nyawa

seseorang.1,2

Infeksi

sistem

saraf

pusat

dapat

diklasifikasikan menurut agen penyebab, perjalanan penyakit, dan lokasi


infeksinya. Menurut perjalanan waktunya, infeksi sistem saraf pusat terbagi atas
infeksi akut dan kronik.2,3,4 Infeksi sistem saraf akut terdiri dari infeksi selaput
otak yang disebabkan oleh bakteri, virus, infeksi fokal seperti abses otak,
emfisema subdural, ensefalitis, dan tromboflebitis infeksiosa.2 Masing-masing
mungkin muncul dengan gejala prodromal non spesifik seperti demam dan sakit
kepala, yang mana pada individu yang sebelumnya sehat mungkin tidak menjadi
gejala berarti dan dianggap ringan, hingga muncul gangguan kesadaran (kecuali
meningitis virus), gejala neurologik fokal, atau kejang. 2,4 Tujuan utama dari
manajemen awal penyakit ini adalah secepatnya menentukan diagnosis,
mengidentifikasi patogen penyebab, dan menginisiasi terapi antimikroba yang
sesuai.2,3,5
Infeksi kronik sistem saraf pusat ditandai dengan adanya proses inflamasi
sistem saraf pusat yang juga bersifat kronik. Selain karena jarang ditemui, dan
patogen penyebab yang tidak familiar membuat infeksi kronik sering tidak
terdiagnosis dan terobati dengan baik. Padahal sama dengan infeksi akut, infeksi
jenis ini juga dapat menyebabkan disabilitas neurologik dan bersifat fatal apabila

tidak terdiagnosis dan tertatalaksanai dengan adekuat, yang membedakan adalah


waktu yang dibutuhkan patogen untuk menimbulkan disabilitas lebih lama. 5,6
Seorang klinisi harus mencurigai adanya kemungkinan infeksi sistem saraf
pusat kronik apabila muncul karakteristik inflamasi sistem saraf pusat kronik.
Yakni sindrom neurologik yang bertahan lebih dari 4 minggu dan bersamaan
dengan respon inflamasi yang persisten pada cairan serebrospinal (hitung sel
darah putih >5/L).3,6 Meskipun karakteristik ini tidak hanya berlaku untuk infeksi
sistem saraf pusat kronik, melainkan juga untuk penyebab inflamasi sistem saraf
pusat yang bersifat kronik lainnya, yakni keganasan, penyakit inflamasi non
infeksiosa (autoimun), dan inflamasi yang disebabkan bahan kimia.3
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi struktur apa
yang mungkin terinfeksi, apakah lebih dominan mengenai ruang subaraknoid atau
apakah ada tanda infeksi melibatkan jaringan otak baik di hemisfer serebral,
serebellum, ataupun batang otak, yakni muncul gangguan fokal maupun
general..1,3,4 Ketika virus menginfeksi jaringan otak maka akan disebut sebagai
ensefalitis, sedangkan infeksi bakteri, jamur, maupun parasit yang mengenai
jaringan otak diklasifikasikan sebagai serebritis ataupun abses, tergantung ada
atau tidaknya kapsula disekitar proses infeksi.2,7,8
Nuchal rigidity (kaku kuduk) adalah tanda patognomonik dari iritasi
selaput otak dan muncul ketika leher tidak dapat difleksikan secara pasif. Tanda
Kernigs dan Brudzinskis juga merupakan penanda klasik adanya iritasi selaput
otak. Kernigs sign dikatakan positif apabila ada muncul tahanan ataupun nyeri
pada pasien yang lututnya difleksikan secara pasif kearah abdomen dalam posisi

terlentang (supine). Brudzinskis sign dikatakan positif ketika muncul fleksi


spontan sendi panggul dan lutut saat dilakukan fleksi pasif pada leher. Meskipun
pemeriksaan ini sering dilakukan pada pemeriksaan fisik, sensitivitas dan
spesifisitas kedua pemeriksaan ini tidaklah jelas.1,2 Keduanya mungkin tidak
muncul atau berkurang pada anak yang sangat muda atau sangat tua, individu
yang mengalami imunokompromais, atau pasien dengan status mental depresi
berat.Tingginya prevalensi penyakit tulang belakang bagian servikal mungkin
akan menimbulkan hasil false-positive untuk pemeriksaan kaku kuduk.2,8
Penatalaksanaan inisial dapat dilakukan dengan beberapa pertimbangan:
(1) terapi empiris harus diinisiasi segera ketika meningitis bakteri merupakan
kemungkinan diagnosis terbesar. (2) semua pasien yang memiliki riwayat trauma
kepala, dalam status imunokompromais, telah didiagnosis memiliki lesi maligna
atau neoplasma pada sistem saraf pusat atau ditemukan defisit neurologik fokal
disertai munculnya papil edema dan penurunan kesadaran, maka harus dilakukan
pemeriksaan CT atau MRI otak sebelum dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal,
pada kasus ini terapi antibiotik empiris tidak harus menunggu hasil pemeriksaan
pungsi lumbal maupun pencitraan otak, melainkan harus diberikan sebelum
pemeriksaan dilakukan.2,3
Pertimbangan ke (3) adalah adanya penurunan kesadaran berat (somnolen,
koma) pada pasien dengan kecurigaan meningitis virus (meningitis aspetik),
kejang atau defisit neurologik fokal tidak muncul pada infeksi sistem saraf pusat
jenis ini; pasien dengan gejala ini harus dirawat di rumah sakit untuk evaluasi
lebih lanjut dan ditatalaksanai secara empiris untuk meningoeensefalitis virus dan

bakteri. (4) Pasien dengan status imunokompromais dengan kesadaran kompos


mentis, tanpa riwayat pengobatan mikroba dalam waktu dekat, dan profil cairan
serebrospinal konsisten dengan meningitis virus (pleositosis limfositik dan
konsentrasi glukosa normal) seringkali dapat dirawat jalan apabila yakin pasien
kooperatif dan rutin melakukan kontrol. Kegagalan perbaikan gejala klinis pada
pasien yang dicurigai menderita meningitis virus dalam waktu 48 jam harus
dilakukan reevaluasi segera, termasuk pemeriksaan fisik generalisata dan
neurologis lengkap, pemeriksaan lab, pencitraan otak, dan lumbal pungsi ulang.2,3,4

BAB II

INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT

A.

Definisi
Infeksi sistem saraf pusat (SSP) merupakan proses infeksi yang

melibatkan sistem saraf pusat, yakni otak, medulla spinalis, dan membran
disekitarnya.10 Agen penyebab infeksi dapat berupa virus, bakteri, jamus,
protozoa, dan golongan helmints (cacing).2 Infeksi sistem saraf pusat berbeda dari
infeksi sistem organ lainnya, karena beberapa jenis infeksi sistem saraf pusat
dapat mengalami progres sangat cepat dan menyebabkan kerusakan substansi otak
bermakna bahkan dapat menyebabkan kematian sel otak jika prosesnya tidak
terdeteksi dan ditatalaksanai secara cepat dan adekuat. 4,11 Gambaran klinis yang
mucnul akan bervariasi bergantung pada jenis agen infeksius, lokasi infeksi, dan
sistem imunitas pejamu.2,4
Jenis infeksi sistem saraf pusat paling sering ditemui adalah meningitis
akut yang disebabkan oleh virus, sedangkan jenis yang menimbulkan gejala klinis
paling berat adalah infeksi oleh bakteri.4,12,13,14 Infeksi sistem saraf pusat memiliki
spektrum sindroma klinis yang tumpang tindih dari penyakit ringan dan self
limiting

hingga gejala lebih berat dan mengancam kelangsungan hidup

penderitnya. Oleh karena itu, diagnosis dan tatalaksana yang cepat dan tepat
sangatlah diperlukan.2,4

B.

Klasifikasi dan Epidemiologi

Infeksi sistem saraf pusat dapat diklasifikasikan menurut perjalanan


waktu, agen penyebab, dan lokasi infeksinya. Menurut manual surveilans CDC
2016, Infeksi sistem saraf pusat diklasifikasikan menjadi (1) infeksi intrakranial
(Intracranial infection/ IC), (2) meningitis atau ventrikulitis (meningitis or
ventriculitis/ MEN), (3) abses spinal tanpa meningitis (spinal abscess without
meningitis/ SA). Infeksi intrakranial terdiri dari abses otak, empiema subdural,
abses epidural, dan ensefalitis. Abses spinal terdiri dari abses ruang subdural atau
epidural medulla spinalis tanpa keterlibatan cairan serebrospinal maupun struktur
tulang sekitar. 15
1.)

Infeksi intrakranial
Brain abscess atau abses otak adalah infeksi supuratif dan fokal di dalam

parenkim otak yang disebabkan oleh bakteri penghasil nanah (pyogenik), biasanya
abses dikelilingi oleh kapsul yang kaya vaskularisasi. Jika abses tanpa disertai
kapsul maka disebut cerebritis.16,17 Abses otak merupakan jenis infeksi intrakranial
yang relatif jarang ditemui, dengan insidensi sekitar 0.3-1.3/100,000 orang setiap
tahunnya. Faktor predisposisinya adalah otitis media, mastoiditis, sinusitis
paranasalis, infeksi pyogenik diparu atau bagian tubuh lainnya, trauma kepala
tajam atau prosedur bedah saraf, dan infeksi gigi. Pada individu imunokompeten,
patogen penyebab paling sering adalah Streptococcus sp. [anaerobik, aerobik, dan
viridians (40%)], Enterobacteriaceae [Proteus spp., E.coli sp., Klebsiella spp.
(25%)], bakteri anaerob [seperti Bacteroides sp., Fusobacterium sp. (30%)], dan
Staphylococcus sp. (10%). Pada pejamu yang memiliki status imunitas tidak
kompeten dengan infeksi HIV aktif, menjalani transplantasi organ, keganasan,

atau karena terapi imunosupresan, kebanyakan ases otak disebabkan oleh


Nocardiaspp.,

Toxoplasma

gondii,

Aspergillus

spp.,Candidaspp.,

dan

C.neoformans.2

Gambar 2.1 a) empiema subdural; b) abses epidural.2


Subdural

empyema

(SDE)

atau

empiema

subdural

merupakan

pengumpulan pus diantara dura dan arachnoidmater oleh karena proses infeksi
oleh bakteri penghasil nanah. Empiema subdural merupakan penyakit langka yang
termasuk dalam 15-25% dari infeksi SSP fokal supuratif. Sinusitis frontalis
merupakan faktor predisposisi tersering, dengan atau tanpa kombnasi sinusitis
ethmoidalis dan maksilaris. Sinusitis terkait empiema memiliki predileksi khusus
untuk laki-laki muda, kemungkinan merefleksikan perbedaan anatomi dan
perkembangan sinus terkait jenis kelamin. Diyakini, SDE merupakan komplikasi
yang terjadi pada 1-2% kasus sinusitis frontalis. Oleh karena kecenderungan
tersebut, SDE lebih dominan terjadi pada laki-laki, dengan perbandingan 3:1
terhadap perempuan, 70% kasus terjadi pada tahun kedua dan ketiga
kehidupan.2,11,17

Epidural abscess atau abses epidural adalah infeksi supuratif yang terjadi
diruang potensial antara duramater dan tulang tengkorak. Abses epidural
merupakan jenis infeksi intrakranial yang lebih jarang ditemukan baik
dibandingkan abses otak maupun empiema subdural, dan terhitung hanya <2%
dari prevalensi infeksi SSP fokal supuratif. Abses epidural terbentuk sebagai
komplikasi dari kraniotomi atau fraktur cranium atau sebagai akibat penyebaran
infeksi dari sinus frontalis, telinga bagian tengah, mastoid, dan orbita melalui
aliran retrogradual dari proses tromboflebitis septik disekitar area infeksi melalui
vena emisaria yang mendrainase area tersebut. 2,11
Encephalitis atau ensefalitis merupakan terminologi yang digunakan
ketika jaringan otak diinvasi oleh virus, atau lebih sering disebut ensefalitis virus
untuk menghindari kesalahan interpretasi. Di Amerika serikat, terdapat kurang
lebih 20,000 kasus ensefalitis setiap tahunnya, meskipun angka pasti dari jumlah
kasus sebenarnya cenderung lebih banyak. Ada ratusan jenis virus yang dapat
menyebabkan ensefalitis, meskipun hanya sedikit jenis yang teridentifikasi dalam
kebanyakan kasus. Virus paling penting yang menjadi penyebab ensefalitis secara
sporadik pada orang dewasa imunokompeten adalah virus herpes/ herpesviruses
(HSV,VZV, EBV). Ensefalitis endemik disebabkan oleh arbovirus, yang dapat
diklasifikasikan dalam beberapa taksonomi, mulai dari Alphaviruses (EEE virus,
western equine encephalitis virus), Flaviviruses (WNV, St.Louis encephalitis
virus, Japanese encephalitisvirus, Powassan virus), dan Bunyaviruses (e.g.,
California encephalitis virus serogroup, LaCrosse virus). Jenis virus-virus baru
yang dapat menyebabkan infeksi pada jaringan otak sekarang sering ditemukan,

contohnya pada outbreak di Asia tenggara yang disebabkan oleh virus Nipah,
anggota famili Paramyxovirus, dan meningitis di Eropa yang disebabkan oleh
virus Toscana, arbovirus yang termasuk dalam famili Bunyavirus.2,4
2.)

Meningitis (MEN)
Meningitis adalah peradangan atau inflamasi selaput otak (meninges) yang

ditandai dengan adanya peningkatan jumlah leukosit pada cairan serebrospinalis.


Ada atau tidaknya peningkatan jumlah leukosit secara nyata, membagi meningitis
menjadi purulen dan aseptik. Meningitis aseptik lebihs sering terjadi dan
disebabkan oleh virus. Enterovirus merupakan agen virus tersering. Meningitis
virus merupakan penyakit yang ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya,
sedangkan meningitis purulenta adalah kasus emergensi.4,12 Bergantung pada agen
penyebeb dan faktor pejamu, morbiditas dan mortalitasnya sangat bervariasi
(namun tetap substansial). Meningitis purulenta biasanya disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis. 2,13

Gambar 2.2. Agen penyebab meningitis tersering berdasarkan usia.

Gambar 2.3 Agen penyebab meningitis purulen berdasarkan kondisi pejamu.4


3.)

Abses spinal tanpa meningitis (SA)


Abses spinal terdiri dari empiema subdural spinalis dan abses epidural

spinalis, agen penyebab dan faktor predisposisinya sama dengan empieme dan
abses yang terjadi dikranium, yang membedakannya adalah lokasinya yang berada
diekstrakranial.2,4
C.

Patogenesis
Organisme patogen mendapatkan akses menuju sistem saraf pusat

terutama melalui penyebaran hematogenik.4 Virus biasanya terlebih dahulu


berkolonisasi dimukosa permukaan tubuh, lalu kemudian memasuki darah.
Sebelum menginvasi sistem saraf pusat, agen penyebab biasanya bermultiplikasi
diekstraneural dan kemudian melewati barier otak. Mayoritas virus memasuki
sistem saraf pusat langsung melalui sel endotel kapiler otak, beberapa menginfeksi
sel endotel mikrovaskular, beberapa melalui pleksus koroidalis, dan beberapa

dibawa oleh sel darah putih yang telah terinfeksi. Beberapa virus dapat mencapai
sistem saraf pusat melalui saraf perifer dan saraf olfaktorius. 2,4,14
Infeksi bakteri biasanya dimulai dari proses kolonisasu di mukosa
nasofaring, lalu kemudian memasuki peredaran darah. Bakteri menggunakan
kapsul polisakarida untuk menghindari respon imunitas tubuh pejamu, yakni
proses fagositosis oleh neutrofil dan aktvitas bakterisidal yang dimediasi
komplemen. Mekanisme pasti yang menjelaskan invasi lapisan otak oleh bakteri
tidak jelas diketahui. Namun, induksi sistem imunitas oleh patogen yang
meninmbulkan respon imunitas berupa reaksi inflamasi intens merupakan salah
satu penyumbang signifikan morbiditas dan mortalitas meningitis bakteri. 4,14
Pada meningitis bakteri, permeabilitas pembuluh darah otak meningkat
(untuk mengatasi proses infeksi, menjebatani transfer masif dari sel radang),
sebagai akibatnya resiko terjadinya edema serebral yang disebabkan oleh
mekanisme vasogenik, sitotoksik, atau interstisial meningkat. Jika terjadi edema
serebral, maka proses akan berlanjut secara automatis sebagai peningkatan
tekanan

intrakranial

yang

beresiko

menyebabkan

hernia

serebral

dan

menyebabkan kematian. 4

D.

Diagnosis dan tatalaksana


Tahapan diagnosis infeksi sistem saraf pusat dimulai saat ada salah satu

dari gejala: sakit kepala, demam, dan kaku kuduk. Oleh karena hampir seluruh
jenis infeksi sistem saraf pusat akan berepresentasi sebagai salah satu dari gejala
diatas. Nuchal rigidity (kaku kuduk) adalah tanda patognomonik dari iritasi

selaput otak dan muncul ketika leher tidak dapat difleksikan secara pasif. Tanda
Kernigs dan Brudzinskis juga merupakan penanda klasik adanya iritasi selaput
otak. Apabila ada salah satu dari gejala tersebut, maka harus dilakukan penilaian
terhadap perubahan status mental dan neurologis, jika terdapat perubahan status
maka proses diagnosis laboratoris dan pencitraan dimulai, sesuai algoritma
berikut.2,3

Gambar 2.4. Algoritma diagnosis infeksi sistem saraf pusat (A).2

Gambar 2.5 (Lanjutan) algoritma diagnosis infeksi sistem saraf pusat. 2


Untuk keperluan surveilans, oleh CDC 2016 diolah sistem pelaporan
internasional yang juga melibatkan tahapan diagnosis yang harus dilalui
berdasarkan klasifikasi yang telah dikemukakan sebelumnya. 15
a.

Infeksi intrakranial

Diagnosis infeksi intrakranial harus meliputi minimal satu dari kriteria


diagnosis berikut:
1. Pasien memiliki organisme yang diidentifikasi dari jaringan otak atau
duramater dengan metode kultur atau non kultur yang dilaksanakan
atas tujuan diagnosis atau tatalaksana.
2. Pasien memiliki abses yang teridentifikasi atau bukti infeksi
intrakranial secara patologi anatomi atau pemeriksaan histopatologi.
3. Pasien memiliki paling tidak dua dari gejala berikut: sakit kepala,
pusing, demam (>38), gejala neurologis fokal, perubahan status
kesadaran, atau keningungan. Dan paling tidak satu dari: (1)
ditemukan organisme melalui pemeriksaan mikroskopis jaringan otak
atau abses yang diambil dengan cara biopsi jarum. (2) Studi pencitraan
memberikan hasil yang sugestif terhadap proses infeksi (USG, CT
scan, MRI, arteriogram), yang ditunjang dengan korelasi klinis. (3)
b.

titer antobodi IgM menigkat minimal 1x atau IgG 4x lipat.


Meningitis atau ventrikulitis
Diagnosis meningitis atau ventrikulitis harus meliputi minimal satu dari
kriteria diagnosis berikut:
1. Pasien memiliki organisme

yang

teridentifikasi

dari

cairan

serebrospinal dengan metode kultur atau non-kultur berbasis


mikrobiologik.
2. Pasien memiliki paling tidak dua dari gejala berikut: i. demam (>38)
atau sakit kepala. ii. Tanda meningeal. iii. Tanda nervus kranialis. Dan
paling tidak satu dari kriteria berikut: 1) peningkatan sel darah putih
dan protein, penurunan kadar glukosa cairan serebrospinal. 2)
organisme ditemukan dan teridentifikasi pada cairan serebrospinal

dengan pengecaan gram. 3) titer antobodi IgM meningkat satu kali,


c.

atau IgG meningkat dua kali.


Spinal abses
Diagnosis spinal abses harus meliputi minimal satu dari kriteria diagnosis
berikut:
1. Pasien memiliki organisme yang teridentifikasi dari abses di ruang
epidural atau subdural spinal dengan metode kultur atau non kultur.
2. Pasien terbukti memiliki abses diruang epidural atau subdural spinal
pada pemeriksaan histopatologi.
3. Pasien memiliki paling tidak satu dari gejala berikut: demam, back
pain, radikulitis, paraparesis atau paraplegia, dan paling tidak satu dari
kriteria berikut: 1) ada organisme yang teridentifikasi dari darah
melalui metode kultur atau non kultur. 2) pemeriksaan pencitraan
sugestif mendukung adanya abses spinal (Myelografi, USG, CT scan,
MRI, atau pencitraan lainnya [gallium technetium, dll]).
Tatalaksana inisial tidak harus menunggu proses diagnosis secara

sempurna selesai, pemberian terapi inisial berdasarkan empiris dapat diberikan


segera (tanpa menunggu hasil proses diagnosis) dengan beberapa pertimbangan,
yakni2,3,14: (1) ketika meningitis bakteri merupakan kemungkinan diagnosis
terbesar. (2) semua pasien yang memiliki riwayat trauma kepala, dalam status
imunokompromais, telah didiagnosis memiliki lesi maligna atau neoplasma pada
sistem saraf pusat atau ditemukan defisit neurologik fokal disertai munculnya
papil edema dan penurunan kesadaran, maka harus dilakukan pemeriksaan CT
atau MRI otak sebelum dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal, pada kasus ini
terapi antibiotik empiris tidak harus menunggu hasil pemeriksaan pungsi lumbal

maupun pencitraan otak, melainkan harus diberikan sebelum pemeriksaan


dilakukan.2,3

Gambar 2.6 Antibiotik empiris yang digunakan untuk terapi infeksi sistem saraf
pusat. 2
Pertimbangan ke (3) adalah adanya penurunan kesadaran berat (somnolen,
koma) pada pasien dengan kecurigaan meningitis virus (meningitis aspetik),
dimana kejang atau defisit neurologik fokal tidak muncul pada infeksi sistem saraf
pusat jenis ini; pasien dengan gejala ini harus dirawat di rumah sakit untuk
evaluasi lebih lanjut dan ditatalaksanai secara empiris untuk meningoeensefalitis
virus dan bakteri. (4) Pasien dengan status imunokompromais dengan kesadaran
kompos mentis, tanpa riwayat pengobatan mikroba dalam waktu dekat, dan profil
cairan serebrospinal konsisten dengan meningitis virus (pleositosis limfositik dan
konsentrasi glukosa normal).2,14

BAB III
KESIMPULAN
Infeksi sistem saraf pusat merupakan salah satu masalah penting dalam
dunia kedokteran, karena proses diagnosis dan terapi yang cepat serta tepat dapat
menyelamatkan nyawa seseorang. Infeksi sistem saraf pusat dapat diklasifikasikan

menurut agen penyebab, perjalanan penyakit, dan lokasi infeksinya. Menurut


perjalanan waktunya, infeksi sistem saraf pusat terbagi atas infeksi akut dan
kronik. Menurut manual surveilans CDC 2016, Infeksi sistem saraf pusat
diklasifikasikan menjadi (1) infeksi intrakranial (Intracranial infection/ IC), (2)
meningitis atau ventrikulitis (meningitis or ventriculitis/ MEN), (3) abses spinal
tanpa meningitis (spinal abscess without meningitis/ SA). Infeksi intrakranial
terdiri dari abses otak, empiema subdural, abses epidural, dan ensefalitis. Abses
spinal terdiri dari abses ruang subdural atau epidural medulla spinalis tanpa
keterlibatan cairan serebrospinal maupun struktur tulang sekitar.
Tatalaksana inisial tidak harus menunggu proses diagnosis secara
sempurna selesai, pemberian terapi inisial berdasarkan empiris dapat diberikan
segera (tanpa menunggu hasil proses diagnosis) dengan beberapa pertimbangan,
yakni: (1) ketika meningitis bakteri merupakan kemungkinan diagnosis terbesar.
(2) semua pasien yang memiliki riwayat trauma kepala, dalam status
imunokompromais, telah didiagnosis memiliki lesi maligna atau neoplasma pada
sistem saraf pusat atau ditemukan defisit neurologik fokal disertai munculnya
papil edema dan penurunan kesadaran, maka harus dilakukan pemeriksaan CT
atau MRI otak sebelum dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal, pada kasus ini
terapi antibiotik empiris tidak harus menunggu hasil pemeriksaan pungsi lumbal
maupun pencitraan otak, melainkan harus diberikan sebelum pemeriksaan
dilakukan.

Vous aimerez peut-être aussi