Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Psikogeriatri atau psikiatri adalah cabang ilmu kedokteran yang memperhatikan
pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologis atau psikiatrik pada lanjut
usia. Saat ini disiplin ini sudah berkembang menjadi suatu cabang psikiatrik, analaog dengan
psikiatrik anak (Brocklehurts, Allen, 1987). Diagnosis dan terapi gangguan mental pada
lanjut usia memerlukan pengetahuan khusus, karena kemungkinan perbedaan dalam
manisfestasi klinis, pathogenesis dan patofisiologi gangguan mental antara pathogenesis
dewasa muda dan lanjut usia (Weinberg, 1995; Kolb-Brodie, 1982). Faktor penyulit pada
pasien lanjut usia juga perlu dipertimbangkan, antara lain sering adanya penyakit dan
kecacatan medis kronis penyerta, pemakaian banyak obat (polifarmasi) dan peningkatan
kerentanan terhadap gangguan kognitif (Weinberg, 1995; Gunadi, 1984).
Sehubungan dengan meningkatnya populasi usia lanjut, perlu mulai dipertimbangkan
adanya pelayanan psikogeriatrik di rumah sakit yang cukup besar. Bangsal akut, kronis
dan day hospital, merupakan tiga layanan yang mungkin harus sudah mulai difikirkan
(Brocklehurts, Allen, 1987). Tentang bagaimana kerjasama antara bidang psikogeriatrik dan
geriatrik dapat dilihat pada bab mengenai pelayanan kesehatan pada usia lanjut.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan lansia yang mengalami gangguan psikologi dan
psikososial?
1.3 Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui dan mempelajari tentang asuhan keperawatan lansia yang mengalami
gangguan psikologi dan psikososial.
1)
2)
3)
4)
5)
6)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
a.
b.
c.
d.
b.
c.
d.
e.
f.
1.
2.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
a.
b.
c.
d.
e.
3.
1)
2)
3)
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan psikososial lansia menurut
Kuntjoro (2002), antara lain:
Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik
yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang,
energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara
umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan
secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik,
psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan
ketergantungan kepada orang lain. Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi
fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi
psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi
kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara
hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
Penurunan Fungsi dan Potensial Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan
berbagai gangguan fisik seperti:
Gangguan jantung
Gangguan metabolisme, misal diabetes mellitus
Vaginitis
Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi
Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang
Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain:
Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.
Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan
budaya .
Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
Pasangan hidup telah meninggal
Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya
cemas, depresi, pikun dsb.
Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif
dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian,
perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin
lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan
dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia
menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek
psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut
dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut:
Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak
mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan
mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan
yang dapat memberikan otonomi pada dirinya
Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat
dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada
masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang
ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4) Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia
tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak
diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi moratmarit.
5) Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat
sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah
dirinya.
4. Perubahan Yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal
pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam
kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan
penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang
memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah
diuraikan pada point tiga di atas.
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia?
Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun.
Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang
memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah).
Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik
positif maupun negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif
akan mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif
sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk
mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan
memperoleh gaji penuh. Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan
terarah bagi masing-masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk
menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk
merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan
yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta,
cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya. Model pelatihan
hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan
pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain
yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan
bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan berkurang
dan sebagainya.
5. Perubahan Dalam Peran Sosial Di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan
sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya
badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan
sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan
selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar
tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin
menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku
regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna
serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti
anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki
keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota
keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu
memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak
punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup
namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan
sendiri, seringkali menjadi terlantar. Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai
tempat untuk pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long stay
rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain perlu dilakukan
sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam lingkungan sosial Panti
Werdha adalah lebih baik dari pada hidup sendirian dalam masyarakat sebagai seorang lansia
2.5. Macam-macam Masalah Keperawatan Psikologi dan Psikososial
2.5.1. Depresi
2.5.1.1. Pengertian
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan
alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan
nafsu rnakan, psikomotor, konsentrasi, keielahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta
gagasan bunuh diri (Kap'an dan Sadock, 1998). Depresi adalah suatu perasaan sedih dan
pesimis yang berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan
pada diri sendiri atau perasaan marah yang dalam (Nugroho, 2000). Menurut Hudak & Gallo
(1996), gangguan depresi merupakan keluhan umum pada lanjut usia dan merupakan
penyebab tindakan bunuh diri.
Depresi adalah gangguan alam perasaan yang ditandai oleh kesedihan, harga diri
rendah, rasa bersalah, putus asa, perasaan kosong (Keliat, 1996). Sedangkan menurut Hawaii
(1996;, depresi adalah bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (mood), yang ditandai
dengan kemurungan, kelesuan, ketidakgairahan hidup, perasaan tidak berguna, dan putus asa.
Depresi adalah suatu kesedihan atau perasaan duka yang berkepanjangan (Stuart dan
Sundeen, 1998).
1.
2.
3.
4.
berpikir tidak adekuat, tidak mampu, merasa dirinya tidak berarti, merasa rendah diri dan
merasa bersalah terhadap kegagalan yang dialami. Kedua, lansia selalu pesimis dalam
menghadapi masalah dan segala sesuatu yang dijalaninya menjadi buruk dan kepercayaan
terhadap dirinya (self-confident) yang tidak adekuat. Ketiga, memiliki motivasi yang kurang
dalam menjalani hidupnya, selalu meminta bantuan dan melihat semuanya gagal dan sia-sia
sehingga merasa tidak ada gunanya berusaha. Keempat, membesar-besarkan masalah dan
selalu pesimistik menghadapi masalah. Kelima, proses berpikirnya menjadi lambat,
performance intelektualnya berkurang. Keenam, generalisasi dari gejala depresi, harga diri
rendah, pesimisme dan kurangnya motivasi.
2. Afektif
Lansia yang mengalami depresi merasa tertekan , murung, sedih, putus asa, kehilangan
semangat dan muram. Sering merasa terisolasi, ditolak dan tidak dicintai. Lansia yang
mengalami depresi menggambarkan dirinya berada dalam lubang gelap yang tidak dapat
terjangkau dan tidak dapat keluar dari sana.
3. Somatik
Masalah somatik yang sering dialami lansia yang mengalami depresi seperti pola tidur yang
terganggu ( insomnia ), gangguan pola makan dan dorongan seksual yang berkurang. Lansia
lebih rentan terhadap penyakit karena sistem kekebalan tubuhnya melemah, selain karena
aging proces juga karena orang yang mengalami depresi menghasilkan sel darah putih yang
kurang (Schleifer et all, 1984 ; Samiun, 2006).
4. Psikomotor
Gejala psikomotor pada lansia depresi yang dominan adalah retardasi motor. Sering duduk
dengan terkulai dan tatapan kosong tanpa ekspresi, berbicara sedikit dengan kalimat datar dan
sering menghentikan pembicaraan karena tidak memiliki tenaga atau minat yang cukup untuk
menyelesaikan kalimat itu. Dalam pengkajian depresi pada lansia, menurut Sadavoy et all
(2004) gejala-gejala depresi dirangkum dalam SIGECAPS yaitu gangguan pola tidur (sleep)
pada lansia yang dapat berupa keluhan susah tidur, mimpi buruk dan bangun dini dan tidak
bisa tidur lagi, penurunan minat dan aktifitas (interest), rasa bersalah dan menyalahkan diri
(guilty), merasa cepat lelah dan tidak mempunyai tenaga (energy), penurunan konsentrasi dan
proses pikir (concentration), nafsu makan menurun (appetite), gerakan lamban dan sering
duduk terkulai (psychomotor) dan penelantaran diri serta ide bunuh diri (suicidaly)
A.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7. Model perilaku, berkembang dari teori belajar sosial, yang mengasumsi penyebab depresi
terletak pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan.
8. Model biologik, menguraikan perubahan kimia dalam tubuh yang terjadi selama depresi,
termasuk definisi katekolamin, disfungsi endokri, hipersekresi kortisol, dan variasi periodik
dalam irama biologis.
B. Stresor Pencetus
Ada 4 sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam perasaan ( depresi )
menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), yaitu :
1. Kehilangan keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk kehilangan cinta seseorang,
fungsi fisik, kedudukan atau harga diri. Karena elemen aktual dan simbolik melibatkan
konsep kehilangan, maka persepsi seseorang merupakan hal sangat penting.
2. Peristiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai pendahulu episode
depresi dan mempunyai dampak terhadap masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan
kemampuan menyelesaikan masalah.
3. Peran dan ketegangan peran telah dilaporka mempengaruhi perkembangan depresi, terutama
pada wanita.
4. Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik. Seperti
infeski, neoplasma, dan gangguan keseimbangan metabolik, dapat mencentuskan gangguan
alam perasaan. Diantara obat-obatan tersebut terdapat obat anti hipertensi dan
penyalahgunaan zat yang menyebabkan kecanduan. Kebanyakan penyakit kronik yang
melemahkan tubuh juga sering disertai depresi.
Menurut Townsed (1998), penyebab depresi adalah gabungan dari faktor predisposisi
(teori biologis terdiri dari genetik dan biokimia), dan faktor pencetus (teori psikososial terdiri
dari psikoanalisis, kognitif, teori pembelajaran, teori kehilangan objek).
2.5.1.5. Penyebab Depresi Pada Lanjut Usia
Depresi pada lansia merupakan permasalahan kesehatan jiwa (mental health) yang serius
dan kompleks, tidak hanya dikarenakanaging process tetapi juga faktor lain yang saling
terkait. Sehingga dalam mencari penyebab depresi pada lansia harus dengan multiple
approach. Menurut Samiun (2006) ada 5 pendekatan yang dapat menjelaskan terjadinya
depresi pada lansia yaitu :
1. Pendekatan Psikodinamik
Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa aman dan
terlindung, keinginan untuk dihargai, dihormati dan lain-lain. Menurut Hawari (1996),
seseorang yang kehilangan akan kebutuhan afeksional tersebut (loss of love object) dapat
jatuh dari kesedihan yang dalam. Sebagai contoh seorang kehilangan orang yang dicintai
(terhadap suami atau istri yang meninggal), kehilangan pekerjaan/jabatan dan sejenisnya akan
dan menyebabkan orang itu mengalami kesedihan yang mendalam, kekecewaan yang diikuti
oleh rasa sesal, bersalah dan seterusnya, yang pada gilirannya orang akan jatuh dalam
depresi.
Freud mengemukakan bahwa depresi terjadi sebagai reaksi terhadap kehilangan. Perasaan
sedih dan duka cita sesudah kehilangan objek yang dicintai (loss of love object), tetapi
seringkali mengalami perasaan ambivalensi terhadap objek tersebut (mencintai tetapi marah
dan benci karena telah meninggalkan). Orang yang mengalami depresi percaya bahwa
intropeksi merupakan satu-satunya cara ego untuk melepaskan suatu objek, sehingga sering
mengritik, marah dan menyalahkan diri karena kehilangan objek tadi (Kaplan et all, 1997).
Depresi yang terjadi pada lanjut usia adalah dampak negatif kejadian penurunan fungsi tubuh
dan perubahan yang terjadi terutama perubahan psikososial. Perubahan-perubahan tersebut
diatas seringkali menjadi stresor bagi lanjut usia yang membutuhkan adaptasi biologis dan
biologis. Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalahan yang menarik adalah
kurangnya kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi
pada dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stres
lingkungan sering menyebabkan depresi.
Strategi adaptasi yang seringkali digunakan lansia yang mengalami depresi adalah strategi
pasif (defence mcanism) seperti menghindar, menolak, impian, displacement dan lainlain (Coyne ett all, 1981 ; Samiun, 2006). Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali
melibatkan dukungan sosial (social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam
menghadapi stresor. Ada bukti bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan
emosional yang cukup, kurang mengalami depresi bila berhadapan dengan stres (Billings, et
all, 1983 ; Samiun , 2006).
2. Pendekatan Perilaku Belajar
Salah satu hipotesis untuk menjelaskan depresi pada lansia adalah individu yang kurang
menerima hadiah (reward) atau penghargaan dan hukuman (punishment) yang lebih banyak
dibandingkan individu yang idak depresi (Lewinsohn, 1974 ; Libet & Lewinsohn, 1997 ;
Samiun, 2006). Dampak dari kurangnya hadiah dan hukuman yang lebih banyak ini
mengakibatkan lansia merasakan kehidupan yang kurang menyenangkan, kecenderungan
memiliki self-esteem yang kurang dan mengembangkan self-concept yang rendah. Hadiah
dan hukuman bersumber dari lingkungan (orang-orang dan peristiwa sekitar) dan dari diri
sendiri. Situasi akan bertambah buruk jika seseorang menilai hadiah yang diterima terlalu
rendah dan hukuman yang diterima terlalu tinggi terutama untuk tingkah laku mereka sendiri,
sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan antara nilai reward dan punishment itu. Peran
hadiah dan hukuman terhadap diri sendiri yang tidak tepat dapat menimbulkan depresi
(Rehm, 1997 ; Wicoxon, et all, 1997 ; Samiun 2006).
Faktor lain dari lingkungan yang berkenaan dari hadiah dan hukuman adalah seseorang jika
pindah ke tempat lain yang dapat mengakibatkan kehilangan sumber-sumber hadiah dan
perubahan dari tingkah laku yang mendapat hadiah sehingga aktifitas yang sebelumnya
dihadiahi menjadi tidak berguna. Standar untuk hadiah dan hukuman yang meningkat
menyebabkan performansi yang diperlukan untuk mendapat hadiah lebih tinggi. Kehilangan
hadiah yang sebelumnya diterima dapat menyebabkan depresi apabila sumber
alternatif untuk mendapat hadiah tidak ditemukan.
3. Pendekatan Kognitif
Menurut Beck (1967 ; 1976), Samiun (2006), seseorang yang mengalami depresikarena
memiliki kemapanan kognitif yang negatif (negative cognitive sets) untuk
menginterpretasikan diri sendiri, dunia dan masa depan mereka. Misalnya, seseorang yang
berhasil mendapatkan pekerjaan akan mengabaikan keberhasilan tersebut dan
menginterpretasikan sebagai suatu yang kebetulan dan tetap memikirkan kegagalannya.
Akibat dari persepsi yang negatif itu, individu akan memiliki self-concept sebagai seorang
yang gagal, menyalahkan diri, merasa masa depannya suram dan penuh dengan kegagalan.
Masalah utam pada lansia yang depresi adalah kurangnya rasa percaya diri (self-confidence)
akibat persepsi diri yang negatif (Townsend, 1998).
Negative cognitive sets digunakan individu secara otomatis dan tidak menyadari adanya
distorsi pemikiran dan adanya interpretasi alternative yang lebih positif, sehingga
menyebabkan tingkat aktifitas berkurang karena merasa tidak ada alasan berusaha. Individu
menjadi tidak dapat mengontrol aspek-aspek negative dari kehidupannya dan merasa tidak
berdaya (helplessness). Perasaan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan depresi
(Abramson, 1978; Peterson, 1984; Samiun, 2006).
kehilangan ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua da nada juga yang seolah-olah
acuh terhadap pension (pasrah). Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak
bagi masing-masing individu baik positif maupun negative. Dampak positif lebih
menentramkan driri lansia dan dampak negative akan mengganggu kesejahteraan hidup.
Secara umum peristiwa kehidupan meliputi kehilangan harga diri, gangguan
interpersonal, peristiwa social yang tidak diinginkan dan gangguan pola kehidupan yang
besar. Kejadian yang tidak diinginkan juga sering menjadi factor presipitasi depresi. Kejadian
di masa lampau (perpisahan dan segala macam kehilangan) lebih sering memperburuk gejal
kejiwaan, perubahan kesehatan fisik, gangguan penampilan peran social dan depresi (Stuart
dan Larairam, 1998).
Menurut Hawari (1996) orang yang mempunyai jabatan adalah orang yang
mempunyai kekuasaan, wewenang, dan kekuatan (power). Orang yang kehilangan jabatan
berarti orang yang kehilangan kekuasaan dan kekuatan (powerless), artinya sesuatu yang
dimiliki dan dicintai kini telah tiada (loss of love object). Dampak dari loss of love object ini
adalah terganggunya keseimbangan mental/emosional dengan manifestasi berbagai keluhn
fisik, kecemasan dan terlebih-lebih depresi. Keluhan-keluhan tersebut di atas disertai dengan
perubahan sikap dan perilaku, merupakan kumpulan gejala yang disebut sindroma pasca
kuasa (post power syndrome). Perubahan sikap dan perilaku tersebut merupakan dampak atau
keluhan psikososial dari orang yang baru kehilangan jabatan atau kekuasaan.
Kehilangan jabatan atau kekuasaan berarti perubahan posisi, yang dahulu kuat kini
merasa lemah. Perubahan posisi ini mengakibatkan perubahan dalam alam fikir (rasio) dan
alam perasaan pada diri yang bersangkutan. Kalau keluhan-keluhan yang bersifat fisik
(somatik) dan kejiwaan (kekecewaan atau depresi) itu sifatnya kedalam, tertutup dan tidak
terbuka maka keluhan psikososial inilah yang sering menampakan diri dalam bentuk ucapan
maupun sikap dan perilaku.
Keluhan-keluhan psikososial terjadi disebabkan karena perubahan posisi yang
mengakibatkan perubahan persepsi dari diri yang bersangkutan terhadap kondisi psikososial
di luar dirinya. Guna menghindari rasa kecewa dan tidak senang itu, orang menggunakan
mekanisme defensive antara lain berupa makanisme proyeksi dan rasionalisasi itulah maka
terjadi perubahan persepsi seseorang terhadap kondisi psikososial sekelilingnya. Menurut
Maramis (1995), bahwa stress psikologis terutama pada jiwa, seperti kecemasan, kekecewaan
dan rasa bersalah yang menimbulkan mekanisme penyesuaian psikologis. Mungkin pada
sewaktu-waktu, hanya gejala badaniah atau gejala psiokologik saja yang menonjol, tetapi kita
harus mengingat bahwa manusia itu senantiasa bereaksi secara holistic, yaitu bahwa seluruh
manusia itu terlibat dalam hal ini.
Karena manusia bereaksi secara holistic, maka depresi terdapat juga komponen
psikologik dan komponen somatic. Gejala-gejala psikologik ialah menjadi pendiam, rasa
sedih, pesimistis, putus asa, nafsu bekerja dan bergaul kurang, tidak dapat mengambil
keputusan lekas lupa timbul pikiran bunuh diri. Sedangkan gejala badaniah ialah penderita
kelihatan tidak senang, lelah tak bersemangat atau apatis, bicara dan gerak-geriknya pelan
dan kurang hidup, terdapat anoreksia (kadang-kadang makan terlalu banyak sebagai
pelarian), insomnia (sukar untuk tertidur) dan konstipasi.
2.5.1.7. Faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada lanjut usia yang tinggal di Institusi
Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal dalam institusional seperti tinggal di panti
wreda (Endah dkk, 2003) :
a. Faktor Psikologis
Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi lanjut usia untuk menentukan tujuan
hidup dan apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan di panti. Tempat dan situasi yang baru,
orang0orang yang belum dikenal, aturan dan nilai-nilai yang berbeda, dan keterasingan
merupakan stressor bagi lansia yang membutuhkan penyesuaian diri. Adanya keinginan dan
motivasi lansia untuk tinggal dipanti akan membuatnya bersemangat meningkatkan toleransi
dan kemampuan adaptasi terhadap situasi baru.
Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalah yang menarik adalah
kekurangan kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi
pada dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stress lingkungan
sering menyebabkan depresi. Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali melibatkan
dukungan social (social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi
stressor. Ada bukti bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang
cukup, kurang mengalami depresi bila berhadapan dengan stress (Billings, et all, 1983;
Samiun, 2006).
Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya dan selalu menganggap bahwa hidupnya
telah gagal karena harus menghabiskan sisa hidupnya jauh dari orang-orang yang dicintai
mengakibatkan lansia memandang masa depan suram dan selalu menyesali diri, sehingga
mempengaruhi kemampuan lansia dalam beradaptasi terhadap situasi baru tinggal di institusi.
b. Faktor Psikososial
Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya interaksi social dan dukungan social
mengakibatkan penyesuaian diri yang negative pada lansia. Menurunnya kepasitas hubungan
keakraban dengan keluarga dan berkurangnnya interaksi dengan keluarga yang dicintai dapat
menimbulkan perasaan tidak berguana, merasa disingkirkan, tidak dibutuhkan lagi dan
kondisi ini dapat berperan dalam terjadinya depresi. Tinggal di institusi membuat konflik bagi
lansia antara integritas, pemuasan hidup dan keputusasaan karena kehilangan dukungan
social yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk memelihara dan mempertahankan
kepuasan hidup dan self-esteemnya sehingga mudah terjadi depresi pada lansia (Stoudemire,
1994).
Kemampuan adaptasi dan lamanya tinggal dipanti mempengaruhi terjadinya depresi.
Sulit bagi lansia meninggalkan tempat tinggal lamanya. Pada lansia yang harus meninggalkan
rumah tempat tinggal lamanya (relokasi) oleh karena masalah kesehatan atau social ekonomi
merupakan pengalaman yang traumatic karena berpisah dengan kenangan lama dan pertalian
persahabatan yang telah memberikan perasaan aman dan stabilitas sehingga sering
mengakibatkan lansia merasa kesepian dan kesendirian bahkan kemeorosotan kesehatan dan
depresi (Friedman, 1995).
Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan dengan peran social dan pekerjaannya
yang hilang setelah memasuki masa lanjut usia dan tinggal di institusi mengakibatkan
hilangnya gairah hidup, kepuasaan dan penghargaan diri. Lansia yang dulunya aktif bekerja
dan memiliki peran penting dalam pekerjaannya kemudian berhenti bekerja mengalami
penyesuaian diri dengan peran barunya sehingga seringkali menjadi tidak percaya dan rendah
diri (Rini, 2001).
c.
Faktor Budaya
Perubahan social ekonomi dan nilai social masyarakat, mengakibatkan kecenderungan
lansia tersisihkan dan terbengkalai tidak mendapatkan perawatan dan banyak yang memilih
untuk menaruhnya di panti lansia (Darmojo & Martono, 2004). Pergeseran system
keluarga (family system) dari extendend familyke nuclear family akibat industrialisasi dan
urbanisasi mengakibatkan lansia terpinggirkan. Budaya industrialisasi dengan sifat mandiri
dan individualis menggangap lansia sebagai trouble maker dan menjadi beban sehingga
langkah penyelesainnya dengan menitipkan di panti. Akibatnya bagi lansia memperburuk
psikologisnya dan mempengaruhi kesehatannya.
Tinggal di panti wreda harusnya merupakan alternative yang terakhir bagi lansia,
karena tinggal dalam keluarga adalah yang terbaik bagi lansia sesuai dengan tugas
perkembangan keluarga yang memiliki lansia untuk mempertahankan pengaturan hidup yang
memuaskan dan mempertahankan ikatan keluarga antargenerasi (Duvall, 1985 yang dikutip
oleh Friedman, 1998).
2.5.1.8. Skala Pengukuran Depresi Pada Lanjut Usia
Depresi dapat mempengaruhi perilaku dan aktivitas seseorang terhadap
lingkungannya. Gejala depresi pada lansia diukur menurut tingkatan sesuai dengan gejala
yang termanifestasi. Jika dicurigai terjadi depresi, harus dilakukan pengkajian dengan alat
pengkajian yang terstandarisasi dan dapat dipercayai serta valid dan memang dirancang untuk
diujikan kepada lansia. Salah satu yang paling mudah digunakan untuk diinterprestasikan di
berbagai tempat, baik oleh peneliti maupun praktisi klinis adalah Geriatric Depression Scale
(GDS). Alat ini diperkenalkan oleh Yesavage pada tahun 1983 dengan indikasi utama pada
lanjut usia, dan memiliki keunggulan mudah digunakan dan tidak memerlukan keterampilan
khusus dari pengguna. Instrument GDS ini memiliki sensitivitas 84 % dan specificity 95 %.
Tes reliabilitas alat ini correlates significantly of 0,85 (Burns, 1999). Alat ini terdiri dari 30
poin pertanyaan dibuat sebagai alat penapisan depresi pada lansia. GDS menggunakan format
laporan sederhana yang diisi sendiri dengan menjawab ya atau tidak setiap pertanyaan,
yang memrlukan waktu sekitar 5-10 menit untuk menyelesaikannya. GDS merupakan alat
psikomotorik dan tidak mencakup hal-hal somatic yang tidak berhubungan dengan
pengukuran mood lainnya. Skor 0-10 menunjukkan tidak ada depresi, nilai 11-20
menunjukkan depresi ringan dan skor 21-30 termasuk depresi sedang/berat yang
membutuhkan rujukan guna mendapatkan evaluasi psikiatrik terhadap depresi secara lebih
rinci, karena GDS hanya merupakan alat penapisan. Spesifikasi rancangan pernyataan
perasaan (mood) depresi seperti tabel berikut:
Table 5.1 Spesifikasi rancangan kuesioner GDS
Butir Soal
Parameter
Minat aktivitas
Perasaan sedih
Perasaan sepi dan bosan
Perasaan tidak berdaya
Perasaan bersalah
Perhatian/konsentrasi
Semangat atau harapan terhadap masa
depan
Favorable
2, 12, 20, 28
16, 25
3, 4
10, 17, 24
6, 8, 11, 18, 23
14, 26, 30
13, 22
Unfavorable
27
9, 15, 19
1
29
5, 7, 21
Skoring nilai 1 diberikan pada pernyataan Favorable untuk jawaban ya dan nilai 0
untuk jawaban tidak sedangkan pernyataan Unfavorable, jawaban tidak diberi nilai 1 dan
jawaban ya diberi nilai 0.
Assasment Tool geriatric depressions scale (GDS) untuk mengkaji depresi pada lansia
sebagai berikut:
No Pernyataan
Ya
Tidak
.
1.
Apakah bapak/ibu sekarang ini merasa puas dengan
kehidupannya?
2.
Apakah bapak/ibu telah meninggalkan banyak kegiatan atau
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
1)
2)
3)
4)
sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau
kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkahlaku.
Demensia adalah keadaan dimana seseorang mengalami penurunan kemampuan daya
ingat dan daya pikir, dan penurunan kemampuan tersebut menimbulkan gangguan terhadap
fungsi kehidupan sehari-hari. Kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan kognitif,
perubahan mood dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari
penderita.
2.5.4.2. Etiologi
Penyebab demensia yang reversible sangat penting diketahui karena pengobatan yang
baik pada penderita dapat kembali menjalankan kehidupan sehari-hari yang normal. Untuk
mengingat berbagai keadaan tersebut telah dibuat suatujembatan keledai sebagai berikut:
D
Drugs (obat)
Obat sedative
Obat penenang minor atau mayor
Obat anti konvulsan
Obat anti hipertensi
Obat anti aritmia
E
emotional (gangguan emosi, ex: depresi)
M
metabolic dan endokrin
Seperti: DM
Hipoglikemia
Gangguan ginjal
Gangguan hepar
Gangguan tiroid
Gangguan elektrolit
E
Eye & Ear (disfungsi mata dan telinga)
N
Nutritional
Kekurangan vit B6 (pellagra)
Kekurangan vit B1 (sindrom wernicke)
Kekurangan vut B12 (anemia pernisiosa)
Kekurangan asam folat
T
Tumor dan Trauma
I
Infeksi
Ensefalitis oleh virus, contoh: herpes simplek
Bakteri, contoh: pnemokok
TBC
Parasit
Fungus
Abses otak
Neurosifilis
Arterosklerosis (komplikasi peyakit aterosklerosis, missal: infark miokard, gagal jantung, dan
alkohol).
Keadaan yang secara potensial reversible atau yang bias dihentikan seperti:
Intoksikasi (obat, termasuk alkohol)
Infeksi susunan saraf pusat
Gangguan metabolic
Gangguan vaskuler (demensia multi-infark)
1.
2.
3.
4.
B.
C.
Gejala Lanjut
Gangguan kognitif
Gangguan afektif
Gangguan perilaku
Gejala Umum
Mudah lupa
Aktivitas sehari-hari terganggu
Disorientasi
Cepat marah
Kurang konsentrasi
Resti jatuh
Gejala jasmani: kulit menjadi tipis, keriput, dan atrofis, BB mengurang, atrofi pada otot-otot,
jalannya menjadi tidak stabil, suara kasar, dan bicaranya jadi pelan, dan tremor pada tangan
dan kepala.
Gejala psikologis: sering hanya terdapat tanda kemunduran mental umum (demensia
simplek). Tetapi tidak jarang juga terjadi kebingungan dan delirium, atau depresi atau serta
agitasi. Ada yang menjadi paranoid. Pada presbiofrenia terutama dapat gangguan ingatan
serta konvabulasi dan dapat dianggap sebagai salah satu jenis demensia senilis dan beberapa
gejala yang menonjol dan sedikit lebih cepat.
2) Prognosa
Tidak baik, jalannya progresif, demensia makin lama makin berat sehingga akhirnya
penderita hidup secara vegetative saja, walaupun demikian penderita dapat hidup selama 10
tahun atau lebih setelah gejala-gejala menjadi nyata.
3) Diagnosa
Perlu dibedakan dari arteroskelorosa otak, tapi kedua hal ini tidak jarang terjadi bersamasama. Pada melankolia involusi tidak didapat tanda-tanda demensia. Kadang-kadang
sindroma otak organis sebab uremia, anemia, payah jantung atau penyakit paru-paru dapat
serupa dengan psikosa senilis.
4) Pengobatan
Pertahankan perasaan aman dan harga diri, perhatikanlah dan cobalah memuaskan kebutuhan
rasa kasih saying, rasa masuk hitungan, tercapainya sesuatu dan rasa penuh dibenarkan serta
dihargai.
Kamarnya jangan gelap gulita dan taruhlah barang-barang yang sudah ia kenal sejak dulu
untuk mempermudah orientasinya.
B. Dementia Presenilis
Seperti namanya, maka gangguan ini gejala utamanya ialah seperti sebelum masa senile akan
dibicarakan 2 macam demensia presenilis yaitu:
1. Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimeir ini biasanya timbul antara usia 50-60 tahun. Yang disebabkan
oleh karena adanya degenerasi kortek yang difus pada otak dilapisan luar, terutama di daerah
frontal dan temporal. Atrofi otak ini dapat dilihat pada pneumoensefalogam, system ventrikel
membesar serta banyak hawa diruang subarachnoid. Penyakit ini dimulai pelan sekali, tidak
ada ciri yang khas pada gangguan intelegensi atau pada kelainan perilaku. Terdapat
disorientasi, gangguan ingatan, emosi yang lebih, kekeliruan dalam berhitung, dam
pembicaraan sehari-hari dapat terjadi afasi, perseverasi (mengulang-ngulang perkataan;
perbuatan tanpa guna), pembicaraan logoklonia (pengulangan tiap suku kata akhir secara
tidak teratur), dan bila sudah berat maka penderita tidak dapat dimengerti lagi. Ada yang jadi
gelisah dan hiperaktif.
Kadang-kadang sepintas lalu timbul aproksia (kehilangan kecakapan yang diperoleh
sebelumnya untuk melakukan pekerjaan atau gerakan yang memerlukan keterampilan),
hemiplegia tau pra plegi, parese pada muka dan spasme pada ekstremitas juga sering terjadi
sehingga pada stadium akhir timbul kontraktur. Pada fase ini sudah sangant dement dan tidak
diadakan kotak dengannya lagi. Biasanya penyakit ini berlangsung selama 5-10 tahun.
2. Penyakit Pick
Secara patologis penyakit ini ialah atrofi dan gliosis di daerah-daerah asosiatif.
Daerah motoric, sensorik, dan daerah proyeksi secara relative dan banyak berubah. Yang
terganggu ialah daerah kortek yang secara filogenptik lebih mudah dan yang penting buat
fungsi asosiasi yang lebih tinggi. Sebab itu yang terutama terganggu ialah pembicaraan dan
proses berpikir.
Penyakit ini mungkin herediter, diperkirakan terdapat factor menjadi pencetus dari
sel-sel ganglion yang tertentu yaitu: yang genetic paling muda. Lobus frontalis menjadi
demikian atrofis sehingga kadang kelihatan seperti ditekan oleh suatu lingkaran. Biasanya
terjadi pada umut 45-60 tahun, yang termuda yang pernah diberitakan ialah 31 tahun.
Penyakit Pick terdapat 2x lebih banyak pada kaum wanita dari pad kaum pria. Gejala
permulaan: ingatan berkurang, kesukaran dalam pemikiran dan konsentrasi, kurang
spontanitas, emosi menjadi tumpul. Penderita menjadi acuh tak acuh, kadang-kadang tidak
dapat menyesuaikan diri serta menyelesaikan masalah dalam situasi yang baru.
Dalam waktu 1 tahun sudah terjadi demensia yang jelas. Ada yang efor, ada yang jadi
susah dan curiga. Sering terdapat gejala fokal seperti afasia, aproksia, aleksia, tetapi gejala ini
sering diselubungi oleh demensia umum. Ciri afasia yang penting pada penyakit ini ialah
terjadinya secara pelan-pelan (tidak mendadak seperti pada gangguan pembuluh darah otak),
terdapatnya logorrhea yang spontan (yang tidak terdapat pada afasia sebab gangguan
pembuluh darah). Tidak jarang ada echolalia dan reaksi stereotip.
Pada fase lanjut demensia menjadi hebat, terdapat inkontinensia, kemampuan buat
berbicara hilang dan kekeksia yang berat. Biasanya penderita meninggal dalam waktu 4-6
tahun karena suatu penyakit infeksi tambahan.
Smapai sekarang tidak ada pengobatan terhadap kasus demensia presenilis. Dapat
direncanakan bantuan yang simptomatik dalam lingkungan yang memadai. Biar gelisah dapat
dipertimbangkan pemberian obat psikotropik.
2.5.4.5. Pemeriksaan Demensia
Pemeriksaan penting yang harus dilakukan untuk penderita, mulai dari pengkajian latar
belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian status mental dan sebagai penunjang juga
diperlukan tes laboratorium.
1. Berikut ini untuk menguji aspek-aspek Kognitif dan Fungsi Mental
Nilai Maksimum
Score
Pertanyaan
Orientasi
5
Registrasi
3
Meminta
3
Bahasa
9
Nilai Total
Keterangan:
Somnolen
Soporus
Koma
Nilai maksimal 30, nilai 21 atau kurang biasanya indikasi adanya kerusakan kognitif yang
memerlukan penyelidikan lanjut. Kriteria demensia:
Ringan : 21 - 30
Sedang : 11 20
Berat : < 10
2. Pemeriksaan Portabel untuk Status Mental (PPMS = MMSE = mini mental state
examination)
a.
b.
1.
2.
Daftar pertanyaan
Penilaian
3.
4.
5.
6.
7.
Intervensi Psikologis
Psiko terapi individual
Psiko terapi kelompok
Psiko terapi keluarga
Intervensi untuk care giver (pengasuh) diperlukan :
Dukungan mental
Pengembangan kemampuan adaptasi danpeningkatan kemandirian
Kemampuan menerima kenyataan
Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi mudah lupa :
Lakukan latihan terus-menerus, berulang-ulang
Tingkatkan perhatian
Asosiasikan hal yang diingat dengan hal yang sudah ada dalam otak
Aktivitas Keagamaan
Mengembangkan hobi yang ada seperti melukis, memasak, main music, berkebun, fotografi.
2.5.5. SELF-ESTEEM Lanjut Usia
2.5.5.1. Pengertian
Branden (2001) mendefinisikan self-esteem sebagai cara pandang individu terhadap
dirinya, bagaimana seseorang menerima dirinya dan menghargainya sebagai individu yang
utuh. Nilai yang kita taruh atas diri kita sendiri berdasar penilaian kita sejauhmana memenuhi
harapan diri. Harga diri yang tinggi merupakan nilai positif yang kita lekatkan pada diri yang
berakar dari penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalah, kekalahan
dan kegagaln, tetapi tetap merasa sebagai seorang yang penting dan berharga (Dariuszky,
2004).
Self-esteem adalah semua ide, pikiran, kepercayaan, dan pendirian yang diketahui
individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain
(Stuart dan Sundeen, 1998). Termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuan, interaksi
dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan obyek,
tujuan serta keinginan (Tarwoto & Wartonah, 2003). Self-esteem dipelajari melalui kontak
social dan pengalaman berhubungan dengan orang lain. Pandagan individu tentang dirinya
dipengaruhi oleh bagaimana individu mengartikan pandangan orang lain tentang dirinya
(Stuart dan Sunden, 1993; Kelliat, 1994).
Ideal self adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku sesuai
dengan standar pribadi. Standar dapat berhubungan dengan cita-cita, apa yang diinginkan dan
nilai yang ingin dicapai. Ideal self akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi
berdasarkan norma social, keluarga dan budaya (Stuart dan Sunden, 1998).
2.5.5.2. Self-Esteem Pada Lanjut Usia
Pada usia lanjut umumnya dorongan dan kemauan masih kuat, akan tetapi kadangkadang realisasinya tidak dapat dilaksanakan, karena kelemahan (impairment), keterbatasan
fungsional (functional
limitations),
ketidakmampuan(disability),
dan
keterhambatan (handicap) akibat dari aging process. Keinginan yang tidak dapat
dilaksanakan akibat keterbatasan ini seringkali menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan
diri lanjut usia (lack of self-confidence).
Menurut Dariuszky (2004), unsur penting dalam pertumbuhan perasaan berguna dan
selg-esteem seseorang adalah pengakuan (approval). Pengakuan oleh anak-anaknya dan
orang lain sangat oenting bagi lansia, yang berarti ada penerimaan dari orang lain tentang
kondisi dan perubahan pada dirinya sebagai individu. Penerimaan orang lain menimbulkan
rasa aman, penerimaan diri (self-acceptance) dan peneguhan diri (self-affirmation) lansia
sebagai pribadi yang unik dan tetap terjaga eksistensinya. Apabila pengakuan dari orang lain
tidak didapatkan, maka lansia merasa tidak aman dan tidak dapat menerima diri dengan
perubahan-perubahan yang terjadi. Lansia menjadi tidak percaya diri (self-confident), selalu
menanyakan eksistensi dirinya, cenderung untuk menyalahkan diri dan memiliki self-esteem
yang rendah.
Hilangnya harga diri (lack of self-esteem) timbul akibat kehilangan symbolsimbol self-esteem yang mempengaruhi cara memandang dan menjalani kehidupan. Pada
lansia symbol-simbol self-esteem yang hilang seperti status social, kekuasaan, peran dalam
kehidupan, pekerjaan dan nilai-nilai yang dianut (Dariuszky, 2004). Hilangnya symbol selfesteem ini mengakibatkan lansia merasa tidak berguna, tidak berdaya, putus asa, kekecewaan,
rasa sesal, bersalah, dan mudah jatuh dalam depresi.
Menurut Maslow (Maramis, 2004), self-esteemmerupakan salah satu kebutuhan dari
setiap individu yang harus dipenuhi untuk mencapai aktualisasi diri sebagai puncak
kebutuhan individu. Tetapi kebutuhan itu baru akan dicapai apabila kebutuhan yang lebih
dasar sudah terpenuhi, seperti kebutuhan biologis, kebutuhan sandang, pangan dan papan,
kebutuhan rasa aman dan nyaman, kebutuhan kasih sayang. Kebutuhan akan selfesteem berpengaruh terhadap motivasi seseorang untuk beraktifitas dan kreatifitas untuk
mendapatkan penghargaan dari orang lain untuk pencapaian kebutuhan yang paling tinggi,
yaitu kebutuhan aktualisasi diri.
2.5.5.3. Karakteristik Self-Esteem
Self-esteem berpengaruh besar terhadap kualitas dan kebahagian hidup seseorang
(Dariuszky, 2004). Seseorang yang memiliki Self-esteem yang tinggi akan merasa tenang,
mantap, optimistis, mampu mengendalikan situasi dirinya dan lebih mampu mengatasi
masalah-masalah dan kesulitan hidup. Sedangkan Self-esteem yang rendah sering
menimbulkan pesimistis dan mudah menyerah terhadap permasalahan yang dihadapi.
Seseorang yang mempunyai harga diri tinggi akan memandang dirinya sebagai
seseorang yang berarti dan bermanfaat. Ia memandang dirinya sama dengan apa yang ia
inginkan. Harga diri yang rendah berhubungan dengan hubungan interpersonal yang buruk
dan menonjol pada klien skozofrenia dan depresi (Stuart dan Sundeen, 1998).
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Sedangkan ciri-ciri orang yang memiliki Self-esteem yang rendah menurut Dariuszky (2004)
adalah:
1. Sulit menemukan hal-hal yang positif dalam tindakan yang mereka lakukan.
2. Cenderung cemas mengenai hidupnya dan kurang berani mengambil resiko.
3. Kurang menghargai keberhasilan yang mereka raih.
4. Mereka terlalu peduli akan tanggungjawab atas kegagalan yang mereka perbuat dan mencari
alasan untuk membuktikan bahwa mereka salah.
5. Merasa rendah diri ketika berhadapan dengan orang lain.
6. Tidak termotivasi untuk memperbaiki dan menyempurnakan diri.
7. Merasa kurang puas dan tidak bahagia dengan hidupnya, dan tidak mampu meyesuaikan diri.
8. Pikiran cenderung mudah terserang perasaan putus asa, depresi dan niat bunuh diri.
Tanda dan gejala gangguan Self-esteem menurut Carpenito (2001) sebagai berikut:
1. Pengungkapan diri negative
2. Rasa bersalah atau malu
3. Evaluasi diri tidak mampu menangani kejadian
4. Menghindari diskusi tentang topic dirinya
5. Merasionalisasi penolakan/menolak umpan balik positif dan membesarkan umpan balik
negative tentang diri
6. Ketidakmampuan untuk menentukan tujuan
7. Ragu-ragu untuk mencoba sesuatu yang baru
8. Hipersensitif terhadap kritik ringan
9. Tanda dari keresahan seperti marah, mudah tersinggung, keputusasaan, dan menangis
10. Mengingkari masalah nyata
11. Perilaku penyalahgunaan diri (pengerusakaan, usaha bunuh diri, penyalahgunaan zat, dan
menjadi korban)
12. Penampilan tubuh buruk (postur, kontak mata, gerakan)
13. Merasionalisasi kegagalan pribadi
Stuart dan Sudeen (1993); Keliat (1994), mengemukakan 10 cara individu mengekspresikan
secara langsung harga diri rendah yaitu:
1. Mengejek dn mengkritik pandagan negative tentang dirinya. Sering mengatakan dirinya
bodoh, tidak tahu apa-apa dan sikap negative terhadap dirinya.
2. Merendahkan/mengurangi martabat diri
3. Menghindari, mengabaikan atau menolak kemampuan yang nyata dimiliki dan merasa tidak
mampu melakukan apapun.
4. Rasa bersalah dan khawatir
5. Individu menolak diri dan menghukum diri sendiri, iritabel dan pesimis terhadap kehidupan.
Kadang timbul perasaan dirinya penting yang berlebih-lebihan. Dapat juga ditemukan gejala
fobia dan obsesi.
6. Manifestasi fisik
7. Keluhan tidak punya tenaga, cepat lelah, gejala psikosomatis, tekanan darah tinggi, dan
penyalahgunaan zat.
8. Menunda keputusan
9. Sangat ragu-ragu dalam mengambil keputusan, rasa aman terancam dan ketegangan peran.
10. Masalah dalam berhubungan dengan orang lain
11. Menarik diri dan isolasi social karena perasaan tidak berharga. Kadang menjadi kejam dan
mengeksploitasi orang lain.
12. Menarik diri dari realitas
13. Kecemasan karena penolakan diri mencapai tingkat berat atau panic, individu mungkin
mengalami gangguan asosiasi, halusinasi, curiga, cemburu dan paranoid.
14. Merusak diri
15. Harga diri yang rendah mendorong klien untuk mengakhiri kehidupan karena merasa tidak
berguna dan tidak ada harapan untuk hidup.
16. Merusak/melukai orang lain
17. Kebencian dan penolakan pada diri dapat dilampiaskan ke orang lain.
18. Kecemasan dan takut
19. Kekhawatiran menghadapi masa depan yang tidak jelas karena merasa tidak mampu
menjalani kehidupan. Pandangan hidup seiring terpolarisasi.
1)
2)
3)
4)
5)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8. Daya Ingat. Daya ingat dinilai dalam hal daya ingat jangka panjang, pendek dan segera. Tes
yang siberikan pada penderita dengan memberikan angka enam digit dan penderita diminta
untuk mengulangi maju dan mundur. Penderita dengan daya ingat yang tak terganggu
biasanya dapat mengingat enam angka maju dan lima angka mundur. Daya ingat jangka
panjang diuji dengan menanyakan tempat dan tanggal lahir, nama dan hari ulang tahun anakanak penderita. Daya ingat jangka pendek dapat diperiksa dengan beberapa cara, misalnya
menyebut tiga benda pada awal wawancara dan meminta penderita mengingat kembali benda
tersebut diakhir wawancara. Atau dengan mengulangi cerita tadi secara tepat/persis
(Hamilton, 1985).
9. Fungsi Intelektual, Konsentrasi, Informasi dan Kecerdasan. Sejumlah fungsi intelektual
mungkin diajukan untuk menilai pengetahuan umum dan fungsi intelektual. Menghitung
dapat diujikan dengan meminta penderita untuk mengurangi 7 angka dari 100 dan
mengurangi 7 lagi dari hasil akhir dan seterusnya samapi dicapai angka 2. Pemeriksa
mencatat respons sebagai dasar untuk pengujian selanjutnya. Pemeriksa juga dapat meminta
penderita untuk menghitung mundur dari 20 ke 1, dan mencatat waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan pemeriksaan tersebut (Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).
10. Pengetahuan umum adalah yang berhubungan dengan kecerdasan. Penderita ditanya
nama presiden Indonesia, nama kota besar di Indonesia. Pemeriksa harus memperhitungkan
tingkat pendidikan penderitam status social ekonomi dan pengalaman hidup penderita dalam
menilai hasil dari beberapa pengujian tersebut.
11. Membaca dan Menulis. Penting bagi klinisi untuk memeriksa kemampuan membaca dan
menulis dan menetukan apakah penderita mempunyai deficit bicara khusus. Pemeriksa dapat
meminta penderita membaca kisah singkat dengan suara keras atau menulis pada penderita.
Apakah menulis dengan tangan kiri atau kanan juga perlu dicatat. (Hamilton, 1985).
12. Pertimbangan. Pertimbangan (judgement) adalah kapasitas untuk bertindak sesuai dengan
berbagai situasi. Apakah penderita menunjukkan gangguan pertimbangan, apa yang akan
dilakukan oleh penderita, misalnya jika ia menemukan surat tertutup, berperangko dan ada
alamatnya di jalan anu? Apa yang akan dilakukan oleh penderita bila ia mencium bau asap di
sebuah gedung bioskop? Apakah penderita mampu mengadakan pembedaan? Apakah
penderita mampu membedakan antara seorang kerdil dan seorang anak? Mengapa seorang
memerlukan KTP atau surat kawin? Dan seterusnya.
c.
Spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya (Maslow, 1970) Lansia makin matur dalam
kehidupan keagamaanya , hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari (Murray dan Zentner,
1970). Perawat harus bias memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam hubungannya
dengan Tuhan atau agama yang dianutinya dalam keadaan sakit atau mendeteksi kematian.
Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang menghadapi kematian,
DR. Tony Styobuhi mengemukakan bahwa maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa
semacam ini didasari oleh berbagai macam faktor, seperti ketidakpastian akan pengalaman
selanjutnya, adanya rasa sakit dan kegelisahan ngumpul lagi dengan keluarga dan lingkungan
sekitarnya. Dalam menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan memberika reaksi yang
berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara menghadapi hidup ini. Adapun kegelisahan
yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga perawat harus dapat menyakinkan lanjut
usia bahwa kalaupun keluarga tadi di tinggalkan, masih ada orang lain yang mengurus
mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu menghantui pikiran lanjut usia. Umumny pada waktu
kematian akan dating agama atau kepercayaan seseorang merupakan factor yang penting
sekali. Pada waktu inilah kelahiran seorang iman sangat perlu untuk melapangkan dada klien
lanjut usia. Dengan demikian pendekatan perawat pada klien lanjut usia bukan hanya
terhadap fisik saja, melainkan perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia
melalui agama mereka.
2.6.2. Diagnosa Keperawatan
1. Kesepian berhubungan dengan menarik diri
Tujuan :
1. Pasien mampu mengekspresikan perasaannya
2. Pasien mampu kembali bersosialisasi dengan lingkungan
Intervensi
a)
b)
c)
d)
2.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan konsep diri dan depresi
Tujuan :
1) Pasien mampu berpartisipasi dalam memutuskan perawatan dirinya
2) Pasien mampu melakukan kegiatan dalam menyelesaikan masalahnya
3.
Intervensi
Bicara secara langsung dengan klien, hargai individu dan ruang pribadinya jika tepat
Beri kesempatan terstruktur bagi klien untuk membuat pilihan perawatan
Beri kesempatan bagi pasien untuk bertanggung jawab terhadap perawatan dirinya
Beri kesempatan menetapkan tujuan perawatan dirinya. Contoh : minta pasien memilih
apakah mau mandi, sikat gigi atau gunting kuku.
Beri kesempatan untuk menetapkan aktifitas perawatan diri untuk mencapai tujuan.
Contoh : Jika pasien memilih mandi, bantu pasien untuk menetapkan aktifitas untuk mandi
(bawa sabun, handuk, pakaian bersih)
Berikan pujian jika pasien dapat melakukan kegiatannya.
Tanyakan perasaan pasien jika mampu melakukan kegiatannya.
Sepakati jadwal pelaksanaan kegiatan tersebut secara teratur.
Bersama keluarga memilih kemampuan yang bisa dilakukan pasien saat ini
Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian terhadap kemampuan yang masih dimiliki
pasien.
Anjurkan keluarga untuk membantu pasien melakukan kegiatan sesuai kemampuan yang
dimiliki.
Anjurkan keluarga memberikan pujian jika pasien melakukan kegiatan sesuai dengan jadwal
kegiatan yang sudah dibuat.
Resiko membahayakan diri berhubungan dengan perasaan tidak berharga dan putusasa
Tujuan :
Pasien tidak membahayakan dirinya sendiri
Pasien mampu memilih alternatif penyelesaian masalah yang konstruktif
Intervensi
Identifikasi derajat resiko / potensi untuk bunuh diri
Bantu pasien mengenali perasaan yang menjadi penyebab timbulnya ide bunuh diri.
Ajarkan beberapa alternatif cara penyelesaian masalah yang konstruktif.
Bantu pasien untuk memilih cara yang palin tepat untuk menyelesaikan masalah secara
konstruktif.
Beri pujian terhadap pilihan yang telah dibuat pasien dengan tepat.
Anjurkan pasien mengikuti kegiatan kemasyarakatan yang ada di lingkungannya
Lakukan tindakan pencegahan bunuh diri
Mendiskusikan dengan keluarga koping positif yang pernah dimiliki klien dalam
menyelesaikan masalah
5.
Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif sekunder terhadap respon
kehilangan pasangan.
Tujuan :
1) Klien merasa harga dirinya naik.
2) Klien mengunakan koping yang adaptif.
3) Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
Intervensi
Bina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
Maksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
Bantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
Bantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain melalui
keterbukaan.
Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada klien.
Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
Bantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
Bantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon maladaptif dan
mempertahankan respon koping yang adaptif.
Identifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan.
Berikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.