Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/287818243
CITATIONS
READS
348
1 author:
Suyadi Suyadi
Indonesian Institute of Sciences
13 PUBLICATIONS 73 CITATIONS
SEE PROFILE
Jurnal Biologi Indonesia diterbitkan oleh Perhimpunan Biologi Indonesia. Jurnal ini memuat hasil
penelitian ataupun kajian yang berkaitan dengan masalah biologi yang diterbitkan secara berkala dua kali
setahun (Juni dan Desember).
Editor
Ketua
Prof. Dr. Ibnu Maryanto
Anggota
Prof. Dr. I Made Sudiana
Dr. Deby Arifiani
Dr. Izu Andry Fijridiyanto
Dewan Editor Ilmiah
Dr. Abinawanto, F MIPA UI
Dr. Achmad Farajalah, FMIPA IPB
Dr. Ambariyanto, F. Perikanan dan Kelautan UNDIP
Dr. Aswin Usup F. Pertanian Universitas Palangkaraya
Dr. Didik Widiyatmoko, PK Tumbuhan, Kebun Raya Cibodas-LIPI
Dr. Dwi Nugroho Wibowo, F. Biologi UNSOED
Dr. Parikesit, F. MIPA UNPAD
Prof. Dr. Mohd.Tajuddin Abdullah, Universiti Malaysia Sarawak Malaysia
Assoc. Prof. Monica Suleiman, Universiti Malaysia Sabah, Malaysia
Dr. Srihadi Agungpriyono, PAVet(K), F. Kedokteran Hewan IPB
Y. Surjadi MSc, Pusat Penelitian ICABIOGRAD
Drs. Suharjono, Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Dr. Tri Widianto, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI
Dr. Witjaksono Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Sekretariat
Eko Sulistyadi MSi, Dewi Citra Murniati MSi, Hetty Irawati PU, S.Kom
Alamat
d/a Pusat Penelitian Biologi - LIPI
Jl. Ir. H. Juanda No. 18, Bogor 16002 , Telp. (021) 8765056
Fax. (021) 8765068
Email : jbi@bogor.net; ibnu_mar@yahoo.com; eko_bio33@yahoo.co.id; hetttyipu@yahoo.com
Website : http://biologi.or.id
Jurnal Biologi Indonesia telah diakreditasi ulang berdasarkan SK Kepala LIPI 742/
E/2012 tanggal 7 Agustus 2012, Akreditasi:No. 460/AU2/P2MI-LIPI/08/2012.
KATA PENGANTAR
Jurnal Biologi Indonesia yang diterbitkan oleh PERHIMPUNAN BIOLOGI INDONESIA bekerjasama
dengan PUSLIT BIOLOGI-LIPI. Edisi Volume 9 No. 2 tahun 2013 memuat 15 artikel lengkap dan
satu artikel tulisan pendek. Penulis pada edisi ini sangat beragam yaitu dari Balai Besar Penelitian Vete
riner, Departemen Pertanian, Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional.
Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan,
Kementerian Perikanan dan Kelautan, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-LIPI, Puslit BioteknologiLIPI, Departemen Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, Pusat Penelitian Biologi LIPI; Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Balai Konservasi Biota Laut-LIPI
DAFTAR ISI
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay for Detection of Infectious Bronchitis
Antibody in Chickens using Local Isolate of PTS III
Risa Indriani & NLP Indi Dharmayanti
Karakterisasi Genetik Tempuyung (Sonchus arvensis L.) Berdasarkan Penanda Molekuler
Sequence-Related Amplified Polymorphism
Dyah Subositi & Rohmat Mujahid
Karakteristik Populasi Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) yang Tertangkap di
Sumatera Selatan
Agus Arifin Sentosa, Danu Wijaya & Astri Suryandari
Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya di Koridor
Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat
Halaman
159
167
175
183
199
265
Himmah Rustiami
Biotransformasi 2E-6E-Farnesol oleh Jamur Endofit Botryosphaeria sp. CA2C-3 yang
Diisolasi dari Temu Hitam (Curcuma aeruginosa ROXB.)
Andria Agusta
Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi IUPHHK-HTI PT. RAPP
Estate Meranti
Nur Anita Gusnia, Agus Priyono Kartono, & Harnios Arief
Vocalizations of Microhyla achatina Tschudi, 1838 (Anura: Microhylidae) from the foot hills
of Mount Salak, West Java
Hellen Kurniati
209
219
233
245
255
283
289
301
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823) yang Diberi
Tambahan Pakan konsentrat
Wartika Rosa Farida
TULISAN PENDEK
Halaman
311
327
10
ABSTRAK
Pengembangan Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk mendeteksi antibodi virus infectious bronchitis
(IB) pada ayam. Antigen ELISA IB disiapkan dari virus IB serotipe isolat lokal PTS-III. Pengenceran optimal pada
konsentrasi antigen, konjugat rabbit anti-chicken, dan serum dengan background minimum dalam uji ELISA adalah
0.4g, 1:2000 and 1:100 secara berurutan. Optical density (OD) dari serum IB positif pada uji ELISA yang dikembangkan dan ELISA standard mempunyai tingkat korelasi yang tinggi (R2=0.933). ELISA yang dikembangkan
mempunyai tingkat sensitifitas lebih baik terhadap uji hemagglutination inhibition (HI). Uji ELISA IB serotipe isolat
lokal PTS-III dapat digunakan untuk screening sampel dalam laboratorium diagnostik.
Kata Kunci: ELISA, antibodi, ayam, IB isolat lokal PTS-III
INRODUCTION
are enveloped, pleiomorphic, with a mean diameter of approximately 120 nm, club-shaped surface
the S1 glycoprotein in induction of humoral antibody responses, and it induces virus neutralizing
159
lenge with 107EID50 of the same virus. The chickens were bled at day 10, 24, 34, 44, 57, 70, 78
were adapted and standardized for detecting antibodies against whole virus, and S1, S2 and N pro-
P.23938) was used. Horeseradish peroxidase conjugated rabbit anti-chicken IgG (Sigma A.9046)
was used.
160
calculated as the percentage of negative in unvaccinated group and the sensitivity was calculated as
Laryngotrachitis).
der et al (1983).
RESULTS
(Figure 1.).
161
Antigen content
? negative sera
? IB sera
? ILT sera
16
16
10
Control Antigen
Mean OD
STDV
0.162
0.993
0.144
0.155
0.144
0.101
0.001
0.005
0.022
0.101
0.002
0.002
Table 2. The result of 140 positive and 180 negative sera tested for IB antibody using local isolate PTS-III and
commercial ELISAs
24
34
44
57
70
78
89
0.313
0.504
0.521
0.880
0.904
0.933
0.930
0.142
0.146
0.141
0.162
0.135
0.135
0.131
0.135
0.090
0.154
0.239
0.766
0.877
0.868
0.917
0.052
0.054
0.055
0.052
0.052
0.053
0.052
0.054
10
0.052
local isolate
Elisa
Standard
commercial
Elisa
89
*
0.144
Optical
density
= days chicken age after live vaccine, ## = days chicken after booster kill vaccine,
*= days chicken age after challenge , $= days before vaccinated
#
162
isolate ELISA test and standard commercial ELISA was very high (R2=0.933) in vaccinated and
While percentage of specificity between local isolate PTS-III ELISA and hemaglutination inhibi-
Nevertheless, monitoring antibodies after vaccination is a valuable procedure for indicating that
responses have occurred. The local isolate ELISA
test for measuring antibody level against IBV was
Optical density
Number of sera
Figure 2. The cut off for standardized ELISA of local isolate PTS-III
Table 4. Sensitivity and specificity the ELISA local isolate PTS-III dan HI
E LISA reaction
C hicken S era
SPF chicken
infected IBV
SPF chicken
uninfected
Precentation
Positive
135 (a)
0 (b)
Sensitivity 96,42%
Negative
5 ( c)
180 (d)
Specificity 100%
Positive
126 (a)
0 (b)
Sensitivity 90%
Negative
14 ( c)
180 (d)
Specificity 100%
Hemaglutination
Inhibition (HI) test
Sensitivity = (a)
(a)+(c)
; Specificity = (d)
(BALDOCK 1988)
(d)+(b)
163
rapidly.
nonspecific binding and very high sensitivity using purified IB as antigen 50 ng protein /well and
CONCLUSION
IB rapidly.
AKNOWLEDGMENTS
SA indicated low to moderate level after live vaccination and moderate to relatively high level of
this study
REFERENCES
The sensitivity of local isolate PTS-III ELISA was slightly higher than hemaglutination inhi-
lutination
researcher
tralia. 90-95.
Cavanagh, D. 1983a. Coronavirus IBV glycopoly-
inhibition
test.
Some
583.
&
haemagglutination-inhibiting antibody, or
the
hemaggutination-inhibition
test
for
Diseases 27:100-112
JHM. Verheijden.1997. Sensitivity and specificity of serological tests for infectious bron-
King, DJ. & D. Cavanagh. 1991. Infectious bronchitis, in: BW. Calnek, HJ. Barnes, CW.
Path. 26:105-118.
32:451-460.
Soula, A. & Y. Moreau. (1981). Antigen require-
295
Thater, SG., P. Villegas. & OJ. Fletcher. (1987).
-434.
Mockett,APA., & JH. Darbyshire. 1981. Co-
eases 31:120-124.
Zellen, GK., &. J. Thorsen. (1986). Standardiza-
Pathology 10:1-10.
Perrotta, C. C. Furtek, RA. Wilson, BS. Cowen
and
virus-
166
ABSTRACT
Tempuyung (Sonchus arvensis L.) is known as an important medicinal plant used as a diuretics and
antihypertensives. This plant is widely distributed in Indonesia. Genetic diversity of tempuyung is important
information as a database for further research especially in medicinal plant standardization. The objective of this
study was to analyse genetic characterization of tempuyung based on SRAP (Sequence-related amplified
polymorphism) molecular markers. Thirteen samples were collected from 8 different locations and amplified using
5 primer SRAP combinations. Similarity matrix was calculated using Dice coefficient. Unweighted Pair Group
Method Using Arithmetic Mean (UPGMA) cluster analysis was performed to develop a dendrogram. The result
indicates that there was a genetic variation among tempuyung accessions and divided into 4 clusters with similarity
index of 0,7719. Citeureup and Turen3 accessions were the most closely similar with similarity index of 0,8936. In
conclusion, SRAP markers may serve as an efficient and effective tools to analyze the genetic diversity among
tempuyung accessions.
Keywords: genetic characterization, tempuyung (Sonchus arvensis L.), SRAP
ABSTRAK
Tempuyung (Sonchus arvensis L.) banyak dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat untuk menurunkan tekanan darah
tinggi dan peluruh air seni. Tempuyung mudah dan banyak dijumpai di berbagai tempat di Indonesia. Keragaman
genetik tempuyung merupakan informasi penting sebagai data base untuk penelitian lebih lanjut terutama
mendukung standarisasi tumbuhan obat. Penelitian ini bertujuan untuk karakterisasi genetik tempuyung
menggunakan penanda molekular SRAP (Sequence-related amplified polymorphism). Sebanyak 13 aksesi tempuyung
yang dikoleksi dari 8 lokasi digunakan sebagai sampel dan diamplifikasi menggunakan 5 pasang kombinasi primer
SRAP. Indeks similaritas dihitung menggunakan rumus indeks similaritas Dice kemudian disusun analisis klaster
dan konstruksi dendogram dilakukan dengan menggunakan metode Unweighted Pair Grup Method Using Aritmetic
Method (UPGMA). Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi genetik antar aksesi tempuyung dan terbagi
menjadi 4 klaster pada indeks similaritas 0,7719. Aksesi Citeurep dan aksesi Turen 3 mempunyai hubungan
kemiripan yang terdekat pada indeks similaritas 0,8936.Penanda molekular SRAP merupakan teknik efektif dan
efisien untuk karakterisasi genetik antar aksesi tempuyung.
Kata Kunci: Karakterisasi genetik, tempuyung (Sonchus arvensis L.), SRAP
PENDAHULUAN
Tempuyung (Sonchus arvensis L.) merupakan tumbuhan anggota familia Asteraceae dan
2012).
karakterisasi genetik aksesi tempuyung berdasarkan penanda molekular SRAP untuk mendukung
Penanda
molekular
telah
banyak
langsung dan akurat sehingga dapat meminimalisasi kesalahan akibat faktor lingkungan. Berbagai
transformed
banyak
dan
digunakan
untuk
karakterisasi
infrared
spectrophotometer)
dan
polymorphism
280)
SSR
168
dan
ISSR.
SRAP
mengkombinasikan
menggunakan
spektrofotometer
untuk
No
No
Koleksi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
2
3
15
25
27
34
36
37
47
48
49
50
13
52
Nama Aksesi
Turen-2
Turen-3
Purwokerto
Kalisoro
Patuk
Materia Medika
Mataram
Citereup
B2P2TO-OT (1)
B2P2TO-OT (2)
B2P2TO-OT (3)
B2P2TO-OT (4)
B2P2TO-OT (campuran
untuk QC)
Asal
Turen, Malang
Turen, Malang
Purwokerto
Tawangmangu, Karanganyar
Gunung Kidul
Materia Medika, Malang
Mataram
Citereup, Bandung
Tawangmangu, Karanganyar
Tawangmangu, Karanganyar
Tawangmangu, Karanganyar
Tawangmangu, Karanganyar
Tawangmangu, Karanganyar
Keterangan
Liar
Liar
Liar
Liar
Liar
Budidaya
Liar
Liar
Budidaya
Budidaya
Budidaya
Budidaya
Budidaya
tempuyung
konstruksi
Amplifikasi
DNA
aksesi
dendogram
dilakukan
dengan
HASIL
temperature.
169
Nama Primer
Sekuen
5 TGAGTCCAAACCGGATA 3
5 TGAGTCCAAACCGGAGC 3
5 TGAGTCCAAACCGGAAT 3
5 TGAGTCCAAACCGGACC 3
3 GACTGCGTACGAATTAAT 5
3 GACTGCGTACGAATTTGC 5
3 GACTGCGTACGAATTGAC 5
ME1
ME2
ME3
ME4
EM1
EM2
EM3
kombinasi
primer
ME3-EM2,
sedangkan
3,
klaster
III
hanya
beranggotakan
aksesi
0,8936.
menghasilkan
fragmen
spesifik
pada
aksesi
PEMBAHASAN
170
Tabel 3. Total fragmen DNA hasil amplifikasi dengan menggunakan 5 primer SRAP dan prosentase fragmen
polimorfik pada 13 aksesi tempuyung.
No
Total fragmen
teramplifikasi
Kombinasi Primer
ME1 : 5 TGAGTCCAAACCGGATA 3
EM2 : 3 GACTGCGTACGAATTTGC 5
ME1 : 5 TGAGTCCAAACCGGATA 3
EM3 : 3 GACTGCGTACGAATTGAC 5
ME2 : 5 TGAGTCCAAACCGGAGC 3
EM1 : 3 GACTGCGTACGAATTAAT 5
ME3 : 5 TGAGTCCAAACCGGAAT 3
EM2 : 3 GACTGCGTACGAATTTGC 5
ME4 : 5 TGAGTCCAAACCGGACC 3
EM3 : 3 GACTGCGTACGAATTGAC 5
1
2
3
4
5
Total
Fragmen
Monomorfik
Prosentase
Polimorfik (%)
11
72,7
50
17
94,1
11
72,7
57,1
48
11
Rata-rata
77,1
37
36
34 2
15
25
27 47 48 49
50
52
37
36
34
15
25
27 47
48 49
50 52
3.000 bp
3.000 bp
1.000 bp
1.000bp
500 bp
500 bp
200 bp
500 bp
100bp
300 bp
205 bp
100 bp
130 bp
Gambar 1. Fragmen DNA Tempuyung hasil amplifikasi dengan menggunakan primer SRAP (A: kombinasi
primer ME1-EM2 dan B: kombinasi primer ME3-EM2)
fragmen
studi
tinggi
lebih
efisien
untuk
171
mampu
Penanda
molekular
SRAP
Al-Rawashdeh
variasi
(2011)
menyatakan
bahwa
genetik
yang
sempit
antar
aksesi
Citeurep
Turen-2
Mataram
Materiamedika
B2P2TO-OT(QC)
B2P2TO-OT(1)
B2P2TO-OT(2)
B2P2TO-OT(4)
B2P2TO-OT(3)
Purwokerto
Turen-3
Patuk
Kalisoro
0.70
0.75
0.80
0.85
0.90
Koefisien
172
108: 328-334.
Fu, XP., GG. Ning, LP. Gao, & MZ. Bao. 2008.
pada tempuyung.
15509.
Keyfi, F., & AH. Beiki. 2012. Exploitation of
DAFTAR PUSTAKA
2010.
Keragaman
Genetika
Ramin
[Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] dari
Random
Amplified
Polymorphic
DNA
Molecular
Diversity
Assessment
Using
103: 455-461.
173
Muthusamy,
S.,
S.
Kanagarajan,
&
S.
Xiang,
relationships
among
alfalfa
gemplasms
12534.
Zhang, F., YY. Ge, WY. Wang, XL. Shen, & XY.
Vigna
and
germplasm
from
Thailand
1059.
Shafie, SB., SMZ. Hasan, AM. Zain, & RM.
174
(Dactylis
glomerata
of
L.)
Biotech. 11(67):13075-13084.
PENDAHULUAN
berarus lambat.
Sentosa, dkk.
untuk
bertujuan
kepentingan
konsumsi
dan
sebagai
untuk
mengetahui
karakteristik
yang
di
tidak
dilindungi
oleh
peraturan
Findings
A.
berupa
punah
disediakan
176
(NDF)
terhadap
pemanfaatan
atau
peninjauan
habitat
(Oktaviani
&
labi-labi
Samedi
biasa
2008).
betinanya.
W = a (PLK)b
2002)
PLK
diukur
mulai
anterior
hingga
tengah karapas (Oktaviani et al. 2008). Pengukuran tersebut dilakukan terhadap keseluruhan hasil
PLK(t) = PLK{1-exp[-k(t-to)]}
Metode
penentuan
panjang
lengkung
Sentosa, dkk.
Pola Pertumbuhan
HASIL
lingkungan.
Pendugaan parameter pertumbuhan von
ELEFAN I pada paket program FiSAT menunjukkan nilai panjang lengkung karapas asimtot
individu betina lebih banyak tertangkap dibandingkan jantan, namun kedua jenis kelamin labi-
PLK(t) = 78,75{1-exp[-0,18(t-(-0,72)]}
Gambar 4.
K elas U m u r
PLK
S tru ktu r U m u r
= 5,9 cm
Tukik (hatchling)
II
6 19,9 cm
Rem aja
III
20 24,9 cm
D ewasa m uda
IV
= 25 cm
D ewasa
178
PEMBAHASAN
Secara umum, labi-labi yang tertangkap di
Sumatera
Selatan
memiliki
ukuran
yang
ukuran
eksploitasi
(Iskandar 2000).
yang
dominan
tertangkap.
labi-labi
Modus
oleh
penangkap
tidak
kan
Menurut
adanya
dimorfisme
seksual.
PLK (cm)
Jumlah (ekor)
129
Min
LLK (cm)
Berat (kg)
13
12
0,4
Max
75,5
59,5
40
Rerata
38,34
30,31
8,17
Std
10,923
8,053
6,478
BETINA
PLK (cm)
LLK (cm)
Berat (kg)
Jumlah (ekor)
177
Min
10
0,02
Max
67
59
28
Rerata
34,97
29,25
5,87
karena
Std
8,124
6,536
3,942
pertumbuhan populasi labi-labi mengingat labilabi betina memiliki potensi reproduksi yang lebih
labi-labi
betina
berperan
dalam
179
Sentosa, dkk.
Gambar 2. Sebaran ukuran PLK, LLK dan berat A. cartilaginea di Sumatera Selatan
umur selanjutnya.
Struktur umur contoh labi-labi yang
ditentukan
berdasarkan
beratnya.
Kondisi
cartilaginea.
Ancaman
tersebut
semakin
dengan ketentuan batasan ukuran yang diperbolehkan untuk dipanen adalah untuk individu
sehingga
kepunahan.
180
jika
eksploitasi
terhadap
labi-labi
Jenis Kelamin
Jantan
Betina
Gabungan
R2
n (ekor)
Pola Pertumbuhan
2,748
0,955
129
allometrik negatif
3,283
0,920
177
allometrik positif
2,727
0,868
308
allometrik negatif
PLK vs W
W = 0,300 PLK
W = 0,043 PLK
W = 0,363 PLK
dan Konservasi Sumber Daya Ikan (BP2KSI) Jatiluhur, Purwakarta Tahun Anggaran 2012.
dengan
habitat
kura-kura
baning
Sulawesi
DAFTAR PUSTAKA
Sentosa, dkk.
Indonesia. 13 p.
Rome. 168 p.
Iskandar, DT. 2000. Kura-Kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini dengan Catatan
p.
Kasmiruddin. 1998. Morfologi dan Keragaman
Iverson,
cartilaginea
Pertanian Bogor. 61 p.
Genetik
Labi-Labi,
Amyda
Pauly, D. 1983. Some Simple Methods for the Assessment of Tropical Fish Stocks. FAO Fisheries Technical Paper (254): 52 p.
Riyanto, A. & Mumpuni. 2003. Metoda Survei
dan Pemantauan Populasi Satwa: Kura-
History
Peninsular
Malaysia.
Natural
Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya di Koridor
Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat
(Effects of road on understory plant diversity and its habitat in corridor of Halimun Salak
National Park, West Java)
Iyan Robiansyah & Danang W. Purnomo
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-LIPI
Jl.Ir.H. Juanda 13 Bogor 16003, Email: iyanrobiansyah@yahoo.com , dnabdz@yahoo.com
Memasukkan: Februari 2013, Diterima: April 2013
ABSTRACT
The road across the forest can cause the diversity exchange in the forest ecosystem. Distribution of the exotic species
caused by the road are the main factor affecting the extinction of the native plants. The forest corridor in Halimun
Salak National Park is separated by the road which is connecting five villages in surroundings. The aims of the research were to determine the response of diversity and abundance of the understory plants to the road existence, to
obtain the effect of the road to the habitat condition, and to identify the exotic plants and its relation to the road.
Vegetations were observed by transect sampling system, 5 transects of 150 m length were placed in forest corridor
side along the road. In each transect, there were 12 sampling plots (1m x 1m) placed in distance (from the road): 0,
5, 10, 15, 20, 30, 40, 45, 60, 90, 120, and 150 m from the road. The distance of each transect was approximately
100 m and each transect were placed in the corridor area having forest buffer about 100 m distance. There were 117
plant species including 9 exotic species. Plant community analysis using Squared Euclidean Distance (SED) showed
that road side area to 5 m in distance showed the different composition of the understory plant to inside the forest.
Exotic plants and grass dominated in the area close to the road. Canopy cover in the road side to 10 meter to the
forest was relatively opened than inside the forest. Plant diversity analysis on both of all species and local species
using Canonical Correspondence Analysis (CCA) showed that species diversity of understory plants was not
significantly affected by the distance from the road. Nevertheless, distance from the road was a main factor
influencing the exotic species, while distance of 0 m showed the highest exotic plants diversity.
Keywords: Corridor, exotic plant, Halimun Salak National Park, road, squared euclidean distance, understory plant
ABSTRAK
Jalan yang melintas di dalam hutan dapat mempengaruhi perubahan keanekaragaman tumbuhan pada ekosistem
hutan. Penyebaran jenis tumbuhan eksotis sebagai dampak adanya jalan turut menyebabkan terjadinya kepunahan
tumbuhan lokal. Koridor di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) terbelah oleh jalan yang menghubungkan 5 desa di sekitarnya. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memeriksa respon keanekaragaman dan kelimpahan tumbuhan bawah terhadap jalan, mengamati pengaruh jalan terhadap kondisi habitat, dan mengetahui jenisjenis tumbuhan eksotis dan hubungannya dengan keberadaan jalan. Vegetasi diamati menggunakan sistem sampling
transek, dimana 5 transek sepanjang 150 m ditempatkan pada tepi koridor di sepanjang jalan. Setiap transek dibuat
12 plot (1m x 1m) yang ditempatkan di sepanjang jalan pada jarak: 0, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 45, 60, 90, 120, dan
150 m dari jalan. Masing-masing transek dibuat dengan jarak antar transek 100 m dan diletakkan pada tempat dimana terdapat minimal 100 m hutan penyangga. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat 117 jenis tumbuhan dan 9 jenis diantaranya adalah jenis eksotis. Hasil analisis komunitas tumbuhan menggunakan Squared Euclidean Distance (SED) menunjukkan bahwa daerah pinggir jalan sampai dengan jarak 5 m memiliki komunitas
tumbuhan yang berbeda dengan komunitas yang terdapat di dalam hutan. Jenis tumbuhan eksotis dan rumputrumputan lebih dominan di daerah dekat jalan. Tutupan kanopi di pinggir jalan sampai jarak 10 m relatif rendah
dari pada tutupan kanopi di dalam hutan. Hasil analisis keragaman tumbuhan terhadap semua jenis dan terhadap
jenis lokal saja menggunakan Canonical Correspondence Analysis (CCA) menunjukkan bahwa kekayaan jenis tidak
bervariasi secara signifikan tehadap jarak. Walaupun demikian, jarak dari jalan merupakan faktor yang signifikan
mempengaruhi kekayaan jenis tumbuhan eksotis; jarak 0 m memiliki keanekaragaman jenis eksotis paling tinggi
dibandingkan jarak lainnya.
Kata kunci: Koridor, jenis eksotis, TNGHS, jalan, squared euclidean distance, tumbuhan bawah
183
PENDAHULUAN
perilaku
fisik
eksotik
jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk 2.64% per tahun. Tingginya jumlah
hewan,
berubahnya
kondisi
terhadap
Penyebarannya
liki
pengaruh
keanekaragaman
yang
paling
tumbuhan.
besar
Pengaruh
keberadaan
jalan
terutama
jalan
184
terhadap
kondisi
habitat
di
koridor
perkampungan, sawah, kolam, sungai dan pertambangan. Pada hutan primer, jenis-jenis tum-
paku
siuer
(Cyathea
junghuniana),
Quercus
jalan): 0, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 45, 60, 90, 120,
Dimana i adalah individu pada masingmasing jenis, S adalah jumlah total jenis, X adalah
rataan dari kelimpahan jenis, A dan B adalah dua
jarak petak yang berdekatan dan p adalah jumlah
(F=1,60;
P=0,003)
dan
kemiringan
tanah
eksotik, yaitu A. inulifolium, C. hirta, E. sonchifolia dan P. conjugatum, berkorelasi negatif dengan
HASIL
diamati,
Dari
total
60
petak
yang
Gambar 3. Canonical Correspondence Analysis (CCA) dari jenis tumbuhan dan variabel lingkungan. Hanya faktor
lingkungan yang signifikan dengan jenis tumbuhan, berupa jarak petak, tutupan serasah dan kemiringan
tanah.
baliknya pada jarak 120 m, sedangkan untuk jarak lainnya tidak ada perbedaan yang nyata.
PEMBAHASAN
hingga 5%.
Kekayaan jenis tidak bervariasi secara sig-
dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan komposisi tumbuhan di pinggir jalan berbeda
1998).
koridor TNGHS merubah keanekaragaman tumbuhan lokal dan eksotik, tapi tidak untuk
188
tas manusia.
Penelitian ini mengindikasikan bahwa jalan
2004).
tingkat
KESIMPULAN
Kondisi
ini
terjadi
karena
melakukan penelitian di Oregon, USA menemukan bahwa jenis eksotik tersebar di sepanjang
Manag.148:93108.
GHSNPMP-JICA.
2007b.
Ecological
Study
DAFTAR PUSTAKA
Baker, WL. & GK. Dillon. 2000. Plant and vegetation response to edge in the southern
dom.
Brothers, TS. & A. Spingarn. 1992. Forest fragmentation and alien plant invasion of central
100.
Campbell, NA. 2004. Biologi. Alih Bahasa: Was-
190
Forest edges associated with power-line corridors and implications for corridor siting.
ness of native, rare, and exotic plants in response to habitat and disturbance variables
8:521531.
Olander, LP., FN. Scatena & WL. Silver. 1998.
Impacts of disturbance initiated by road construction in a subtropical cloud forest in the
Luquillo Experimental Forest, Puerto Rico.
Forest Ecol. Manag. 109:33-49.
Parendes, LA. & JA. Jones. 2000. Role of light
grasslands adjacent to roads and trail corridors in Glacier National Park, Montana
(U.S.A.). Cons. Biol. 6:251262.
Wace, NM. 1977. Assessment of dispersal of
plant species: the Carbone flora in Canberra.
Proceedings of the Ecological Society of Australia, 10:167186.
ske. 2003. Effects of Forest Roads on Understory Plants in a Managed Hardwood Land-
Manag. 13:365370.
191
Nama ilmiah
Nama Lokal
Suku
Habitus
Distribusi
Status
Pustaka
Jukut bau
Compositae
Herba
Amerika tropis
Eksotik,
invasif
http://www.issg.org;
Kohli et al. 2006
Ki Kawat
Woodsiaceae
Herba
Asia Tenggara
Asli
http://flora.huh.harvard.e
du
Alocasia sp.
Sente, alokasia
Araceae
Herba
Asia tropis
Asli
http://zipcodezoo.com
Ela
Zingiberaceae
Herba
Thailand hingga
Malesia Barat
Asli
http://www.catalogueoflif
e.org
Alpinia sp.
Laja hutan
Zingiberaceae
Herba
Asli
Amischotolype mollissima
(Blume) Hassk.
Ki sepet
Commelinaceae
Herba
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
Ampelocissus thyrsiflora
(Blume) Planch.
Sambangan
Vitaceae
Liana
Asli
Hartini dan
Puspitaningtyas 2005
Andrographis paniculata
(Burm.f.) Wall. ex Nees
Ki pait,
sambiloto
Acanthaceae
Herba
Asia tropis
Asli
http://www.ars-grin.gov
Paku Kebo
Marattiaceae
Herba
Polynesia, Melanesia,
Micronesia, Australia,
dan New Guinea
Kosmopolit
http://www.issg.org
10
Antidesma montanum
Blume
Kayu PR
Phyllanthaceae
Pohon
Asli
http://www.efloras.org
11
Antidesma sp.
Ki Hujan
Phyllanthaceae
Pohon
Asia Tenggara
Asli
http://zipcodezoo.com
12
Antidesma tetrandrum
Blume
Ki Seu'eur
Phyllanthaceae
Pohon
Afrika tropis,
Madagaskar, Asia
Asli
13
Ardisia sp.
Paku golek
Myrsinaceae
Semak
Asli
http://www.efloras.org
14
Argostemma borragineum
Blume ex DC.
Rubiaceae
Herba
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
15
Arisaema filiforme
(Reinw.) Blume
Talas
Araceae
Herba
Malesia Barat
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
16
Arthrophyllum
diversifolium Blume
Kayu gompong
Araliaceae
Pohon
Jawa
Asli
http://www.catalogueoflif
e.org
17
Asplenium nidus L.
Kadaka
Aspleniaceae
Herba
Kosmopolit di hutan
tropis
Asli
18
Athyrium bantamense
Milde
Paku buah
Woodsiaceae
Herba
Malesia Barat
Asli
http://rbgweb2.rbge.org.uk/
19
Athyrium sp.
Paku
Woodsiaceae
Herba
Kosmopolit
Asli
http://zipcodezoo.com
20
Austroeupatorium
inulifolium (Kunth)
R.M.King & H.Rob.
Ki Rinyuh
Compositae
Semak
Amerika tropis
Eksotik,
invasif
http://www.issg.org
21
Beaumontia sp.
Apocynaceae
Herba
Himalaya hingga
Malesia
Asli
http://toptropicals.com
22
Calamus melanoloma
Mart.
Rotan cacing
Arecaceae
Semak
Jawa
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
23
Castanopsis javanica
(Blume) A. DC.
Ki Hiur
Fagaceae
Pohon
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
24
Cheilocostus speciosus
(J.Knig) C.Specht
Pacing
Costaceae
Herba
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
192
Lampiran 1. Lanjutan...
No
Nama ilmiah
Nama Lokal
Suku
Habitus
Distribusi
Status
Pustaka
25
Harendong
bulu
Melastomatacea
e
Semak
26
Colocasia sp.
Talas sante
Araceae
Herba
Malesia
Asli
http://toptropicals.com
27
Corymborkis veratrifolia
(Reinw.) Blume
Anggrek tanah
Orchidaceae
Herba
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
28
Cratoxylum sumatranum
(Jack) Blume
Huru sawo
Hypericaceae
Pohon
Indonesia, Kamboja,
Malaysia
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
29
Cryptocarya densiflora
Blume
Huru apu
Lauraceae
Pohon
Asli
http://www.asianplant.net
30
Pakis tiang
beunyeur
Cyatheaceae
Semak
Sumatera, Malaysia,
Kalimantan dan Jawa
Barat
Asli
31
Cyathea squamulata
(Blume) Copel.
Paku tiang
gede
Cyatheaceae
Semak
Sumatera, Malaysia,
Jawa, Kalimantan, dan
Filipina Selatan
Asli
32
Daemonorops
melanochaetes Blume
Rotan se'el
Arecaceae
Semak
Sumatera, Malaysia,
Jawa
Asli
PROSEA : Plant
Resources of South-East
Asia 6, Rattans
33
Daemonorops sp.
Rotan
Arecaceae
Semak
Asia tropis
Asli
http://www.ars-grin.gov
34
Dicranopteris linearis
(Burm. f.) Underw.
Paku Andam
Gleicheniaceae
Herba
Asli
35
Didymocarpus sp.
Cariwuh
Gesneriaceae
Herba
Asli
http://www.efloras.org
36
Dinochloa scandens
(Blume ex Nees)Kuntze
Cangkore
Poaceae
Semak
Kepulauan Andaman
hingga Kalimantan,
Jawa, Maluku, Filipina
Asli
http://plantsforuse.com
37
Diplazium esculentum
(Retz.) Sw.
Pakis beunyeur
Woodsiaceae
Herba
Kosmopolit di daerah
tropis
Asli
http://www.iucnredlist.or
g
38
Dissochaeta sp.
Kele bahe
Melastomatacea
e
Herba
Asia tropis
Asli
http://www.theplantlist.or
g
39
Rumput Jonge
Compositae
Herba
Eksotik,
invasif
http://www.cabi.org
40
Epipremnum pinnatum
(L.) Engl.
Lolo
Araceae
Herba
Indonesia, Australia
Asli
http://www.issg.org
41
Tepus
Zingiberaceae
Herba
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
42
Ki wates
Pentaphylacacea
e
Semak
Asli
http://www.biotik.org
43
Amis mata
Moraceae
Semak
Asia tropis
Asli
http://www.asianflora.co
m/
44
Ki Rupet
Moraceae
Liana
Asli
http://proseanet.org
Eksotik,
invasif
http://www.issg.org
193
Lampiran 1. Lanjutan...
No
Nama ilmiah
45
Leuksa
Moraceae
Semak
Asli
http://www.biodiversityex
plorer.org
46
Darangdan
Moraceae
Pohon
Asli
http://zipcodezoo.com
47
Ficus sp.
Kayu Karag
Moraceae
Pohon
Asli
http://zipcodezoo.com
48
Kayu calik
angin
Urticaceae
Herba
Asli
http://keys.trin.org.au
49
Glochidion insigne
(Mll.Arg.) J.J.Sm.
Mareme
Phyllanthaceae
Semak
Asia tropis
Asli
http://apps.kew.org/wcsp
50
Goniothalamus
macrophyllus (Blume)
Hook.f. & Thomson
Ki Cantung
Annonaceae
Pohon
Thailand, Malaysia,
Sumatera, Jawa dan
Kalimantan
Asli
http://www.asianplant.net
51
Gynotroches axillaris
Blume
Kayu
Bareubeuy
Rhizophoraceae
Pohon
Myanmar, Thailand
hingga New Guinea,
Pasifik Barat dan
Australia
Asli
http://www.asianplant.net
52
Homalanthus populneus
(Geiseler) Pax
Monyenyen
Euphorbiaceae
Pohon
Asia Tenggara
Asli
http://www.asianplant.net
53
Alang-alang
Poaceae
Rumput
Asia Tenggara,
Australia, Cina, Jepang,
Filipina dan Afrika
Selatan
Asli
http://www.issg.org
54
Acanthaceae
Semak
Cina, Malaysia,
Filipina,India, Sri
Lanka, Pakistan
Asli
http://www.efloras.org
55
Rumput
Fatimah
Primulaceae
Semak
Indo-Cina, Thailand
dan Malesia
Asli
http://www.globinmed.co
m
56
Lasianthus cyanocarpus
Jack.
Ki Kandel
Rubiaceae
Semak
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
57
Ki Limo
Lauraceae
Pohon
Asli
http://www.fao.org
58
Huru batu
Lauraceae
Semak
Indonesia, Malaysia,
Filipina
Asli
www.gwannon.com
59
Litsea sp.
Huru merang
Lauraceae
Semak
Amerika Utara,
Meksiko, Amerika
Tengah, dan Asia
Asli
http://zipcodezoo.com
60
Lophatherum gracile
Brongn.
Tangkur
gunung
Poaceae
Rumput
Asli
http://www.globinmed.co
m
61
Marak
Euphorbiaceae
Pohon
Australia, Asia
Tenggara, Japan, Papua
New Guinea, Taiwan,
Cina
Asli
http://www.worldagrofore
strycentre.org
62
Jeret
Cornaceae
Pohon
Asli
http://apps.kew.org/wcsp
63
Microsorium scolopendrium
(Burm.) Copel.
Pakis1
Polypodiaceae
Herba
Kepulauan Hainan
hingga Malaysia
Asli
http://culture.teldap.tw
64
Microstegium ciliatum
(Trin) A. Camus
Rumput
bayondah
Poaceae
Rumput
Asli
http://www.efloras.org
65
Molineria capitulata
(Lour.) Herb.
Congkok
Hypoxidaceae
Herba
Asli
http://keys.trin.org.au
194
Nama Lokal
Suku
Habitus
Distribusi
Status
Pustaka
Lampiran 1. Lanjutan
No
Nama ilmiah
Nama Lokal
Suku
Habitus
Distribusi
Status
Pustaka
66
Molineria latifolia
(Dryand. ex W.T.Aiton)
Herb. ex Kurz
Marasi
Hypoxidaceae
Herba
Asli
http://apps.kew.org/wcsp
67
Mussaenda frondosa L.
Kingkilaban
Rubiaceae
Semak
Amerika Selatan,
Kepulauan Andaman
dan Nikobar, Malesia
Barat
Asli
http://www.globalspecies.
org
68
Mussaendopsis beccariana
Baill.
Ramo heulang
Rubiaceae
Pohon
Malesia
Asli
http://apps.kew.org/wcsp
69
Nephelium lappaceum L.
Rambutan
Sapindaceae
Pohon
Eksotik
70
Paku
Davalliaceae
Herba
Eksotik
http://tropicalplantbook.c
om
71
Oldenlandia cristata
(Willd. ex Roem. &
Schult.) ined.
Rubiaceae
Herba
Asli
http://apps.kew.org/wcsp
72
Paku andam
payung
Oleandraceae
Herba
Malesia
Asli
http://rbgweb2.rbge.org.uk
73
Omalanthus populneus
(Geiseler) Pax
Karemi
Euphorbiaceae
Pohon
Asli
http://proseanet.org
74
Ophiorrhiza sp.
Asli
http://www.efloras.org
75
Oxalis corniculata L.
Cacalingcingan
Oxalidaceae
Herba
Australia, Guam
Eksotik,
invasif
http://www.issg.org
76
Pandanus sp.
Meong
tandang
Pandanaceae
Pohon
Asli
http://toptropicals.com
77
Palem ngenge
Poaceae
Rumput
Asli
http://www.kew.org
78
Panicum sp.
Awi-awian
Poaceae
Rumput
Kosmopolit
Asli
http://www.tropicalforage
s.info/key/Forages
79
Kirapet
Apocynaceae
Liana
Asli
http://www.globinmed.co
m
80
Paspalum conjugatum
P.J.Bergius
Jampang pait
Poaceae
Rumput
Amerika tropis
Eksotik
http://www.fao.org
81
Pavetta sp.
Rubiaceae
Semak
Asli
http://www.plantzafrica.c
om
82
Asparagaceae
Herba
Asli
http://apps.kew.org/wcsp
83
Palem bingbin
Arecaceae
Semak
Indonesia
Asli
http://www.globinmed.co
m
84
Piper sp.
Seureuh hutan
Piperaceae
Liana
Kosmopolit daerah
tropis
Asli
http://toptropicals.com
85
Rotan bubuay
Arecaceae
Semak
Indo-Cina hingga
Malesia Barat dan
Tengah
Asli
http://www.globinmed.co
m
Rubiaceae
195
Lampiran 1. Lanjutan.
No
Nama ilmiah
Nama Lokal
Suku
Habitus
Distribusi
Status
Pustaka
86
Polygala paniculata L.
Polygalaceae
Herba
Amerika tropis
Eksotik
http://www.issg.org
87
Paku uncal
Pteridaceae
Herba
Asli
http://www.ars-grin.gov
88
Kayu Pasang
Fagaceae
Pohon
Jawa, Sumatera,
Malaysia, Kalimantan
Asli
http://www.globalspecies.
org
89
Rhaphidophora montana
(Blume) Schoot.
Talas
Araceae
Herba
Indo-Cina, Malesia
Asli
http://www.ars-grin.gov
90
Ipis kulit, ki
beusi
Myrtaceae
Pohon
Myanmar, Thailand,
Malaysia, Indonesia,
Filipina
Asli
http://www.asianplant.net
91
Salacca sp.
Bubuay
Arecaceae
Pohon
Indonesia
Asli
http://www.plantapalm.co
m
92
Ki Leho
Actinidiaceae
Pohon
Asli
http://zipcodezoo.com
93
Saurauia sp.
Ki Sauheun
Actinidiaceae
Pohon
Asli
http://zipcodezoo.com
94
Puspa
Lembang
Theaceae
Pohon
Asli
http://www.worldagrofore
stry.org
95
Scirpodendron ghaeri
(Gaertn.) Merr.
Pandan hutan
Cyperaceae
Herba
Asli
http://apps.kew.org/wcsp
96
Rumput ilat
Cyperaceae
Herba
Asli
http://globalspecies.org
97
Selaginella willdenowii
(Desv. ex Poir.) Baker
Rane tanah
Selaginellaceae
Liana
Myanmar, Indonesia,
Malaysia dan Filipina
Asli
http://rmbr.nus.edu.sg
98
Tangkur hutan
Polypodiaceae
Liana
Myanmar, Indonesia,
Malaysia dan Filipina
Asli
http://rmbr.nus.edu.sg
99
Setaria palmifolia
(J.Koenig) Stapf Wild.)
Stapf.
Rumput
Sauheun
Poaceae
Rumput
Asli
http://keyserver.lucidcentr
al.org
100
Canar tali
Smilaceae
Liana
Malaysia, Sumatera,
Jawa, Kalimantan
hingga New Guinea
dan Australia Utara
Asli
http://proseanet.org
101
Canar buah
Smilaceae
Semak
Jawa
Asli
http://apps.kew.org
102
Smilax sp.
Canar
Smilaceae
Semak
Asia tropis
Asli
http://proseanet.org
103
Sp10
Melastomatacea
e
Herba
Asli
http://zipcodezoo.com
104
Goletrak
Rubiaceae
Herba
Asli
http://keys.trin.org.au
105
Spermacoce ocymifolia
Willd. ex Roem. & Schult.
( R. & S.) Brem.
Kakawatan
Rubiaceae
Herba
Asli
http://keys.trin.org.au
106
Reundeu
Acanthaceae
Herba
Asli
107
Kayu Hantap
Sterculiaceae
Pohon
Asia Tenggara
Asli
108
Strobilanthus laevigatus
Clarke
Bubukuan
Acanthaceae
Herba
Asia tropis
Asli
http://www.efloras.org
109
Symplocos cochinchinensis
var. laurina (Retz.) Noot.
Roxb.
Kayu Jirak
Symplocaceae
Herba
Malesia timur
Asli
http://www.pngplants.org
110
Jirak
Symplocaceae
Pohon
Australia Timur,
Amerika Selatan,
Thailand, dan Malesia
Asli
196
Lampiran 1. Lanjutan
No
Nama ilmiah
111
112
113
Urophyllum arboreum
(Reinw. ex Blume) Korth.
114
Nama Lokal
Suku
Habitus
Distribusi
Status
Pustaka
Myrtaceae
Pohon
Myanmar, Indo-Cina,
Malesia
Asli
Asclepiadaceae
Herba
Asli
http://www.theplantlist.or
g
Cecengkehan
Rubiaceae
Pohon
Asli
Uvaria sp.
Areuy kecemag
Annonaceae
Semak
Asli
http://apps.kew.org
115
Hamirung
Compositae
Pohon
Asli
116
Vitex pinnata L.
Kilaban
Lamiaceae
Pohon
Asia Tenggara
Asli
117
Weinmannia blumei
Planch.
Ki Merak
Cunoniaceae
Pohon
Malesia, Kepulauan
Solomun
Asli
Ki Sireum
197
ABSTRACT
The aims of this research is to isolation of bacteria that potential to produce of milk clotting protease enzymes from
fermented food that will be used as a substitute for rennet in cheese making. There are five food fermentations such
as tauco, tempeh, red oncom, sticky tape, and pickled mustard greens that are used as a source for isolation of bacteria that could produce milk clotting protease. The results obtained four isolates proteolytic bacteria from two fermented food samples, three isolates bacteria from tauco (TCN 1, TCN 2, TCN 3) and one isolate from pickled
mustard greens (DSN 1). Based on 16S rDNA, these isolates were identified as Bacillus sp. Bacterial isolate TCN 1
has a milk clotting activity of 29.17 U/mL, whereas bacteria isolates of TCN 2, TCN 3 and DSN 1 have activities of
70 U/mL achieved at the 24 hours incubation, respectively. The proteolytic activities of bacteria isolates TCN 1,
TCN 2, TCN 3 and DSN 1 at the 24 hours fermentation process were 0.0117 U/mL, 0.0021 U/mL, 0.0150 U/mL,
and 0.200 U/mL, respectively. The ratio of milk clotting protease activity and the proteolytic activity for bacteria
isolates TCN 1, TCN 2, TCN 3 and DSN respectively were 5402, 175000, 7292, and 3333. This showed that the
enzyme from bacterial isolates TCN 2 can be used as an alternative to rennin in cheese making.
Keywords: milk clotting protease, cheese, calf rennet, fermentation food
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan isolasi bakteri penghasil enzim milk clotting protease dari pangan fermentasi
yang akan dimanfaatkan sebagai pengganti rennin dalam pembuatan keju. Ada lima pangan fermentasi yaitu tauco,
tempe, oncom merah, tape ketan, dan asinan sawi yang digunakan sebagai sumber bakteri penghasil enzim milk clotting protease. Dari hasil isolasi diperoleh empat isolat bakteri proteolitik dari dua sampel pangan fermentasi, yakni
tiga isolat bakteri dari tauco (TCN 1, TCN 2, TCN 3) dan satu isolat bakteri dari asinan sawi (DSN 1). Berdasarkan
analisa 16S rDNA, keempat isolate tersebut diidentifikasi termasuk dalam kelompok Bacillus sp. Isolat bakteri TCN
1 memiliki aktivitas penggumpalan susu sebesar 29.17 U/mL sedangkan isolat bakteri TCN 2, TCN 3 dan DSN 1
memiliki aktivitas masing-masing 70 U/mL yang seluruhnya dicapai pada jam ke-24 inkubasi. Isolat bakteri TCN 1,
TCN 2, TCN 3 dan DSN 1 memiliki aktivitas protease pada jam ke-24 berturut-turut sebesar 0.0117 U/mL,
0.0021 U/mL, 0.0150 U/mL, dan 0.200 U/mL. Rasio aktivitas penggumpalan susu terhadap protease untuk isolat
bakteri TCN 1, TCN 2, TCN 3 dan DSN 1 secara berturut-turut adalah 5402, 175000, 7292, dan 3333. Dari
keempat isolat yang diperoleh menunjukkan bahwa enzim dari isolat bakteri TCN 2 dapat digunakan sebagai alternatif pengganti renin dalam pembuatan keju.
Kata Kunci : protease penggumpal susu, keju, rennet anak sapi, produk pangan fermentasi
PENDAHULUAN
Rahmani, dkk.
Penelitian isolasi mikroba penghasil protease dan karakternya sudah banyak dilakukan di
nesia.
diperlukan usaha mencari alternatif substitusi renet yang berasal dari mikroorganisme yaitu enzim
sebanyak 0.25 g dan disimpan pada suhu refrigerator. Untuk sawi asin, diambil juga sampel airnya
200
ase.
CCTTGTTAYGACTT-3).
dil-
akukan dengan campuran reaksi yang mengandung DNA bakteri, primer 9F dan 1492R mas-
Amplifikasi
kondisi reaksi PCR ialah 95 C, 2 menit (1 siklus); 95 oC, 30 detik, 65 oC, 1 menit, 72 oC, 2
menit (10 siklus); 95 oC, 30 detik, 55 oC, 1 men-
T x 0,5
Keterangan:
MCA= aktivitas enzim milk-clotting (SU)
T = waktu pertama kali terbentuk gumpalan susu (detik)
D = faktor pengenceran
BLAST algorithm.
Produksi enzim dilakukan dengan metode
dicampur dan diinkubasi di shaker incubator selama 20 menit pada suhu 37C. Setelah diinkubasi
shaker incubator pada 150 rpm, suhu ruang selama 5 hari dan dilakukan sampling setiap 24 jam.
kecepatan 10.000 rpm, 0.1 mL supernatan diambil dan disimpan pada tabung reaksi baru.
(MCA/PA).
201
Rahmani, dkk.
Keterangan :
PA
= Protease activity (U/mL)
X
= Konsentrasi enzim (mg/mL)
FP
= Faktor pengenceran
V
= Volume enzim yang dianalisis (mL)
T
= waktu inkubasi (menit)
menggunakan rumus
al. 1967) :
R = MCA
PA
Keterangan :
R : Rasio aktivitas penggumpulan susu terhadap protease
MCA : Milk Clotting Activity ; Aktivitas penggumpalan
susu (SU/mL)
PA
: Protease Activity ; Aktivitas protease (U/mL)
HASIL
da Gambar 6. Tiga isolat bakteri dari produk fermentasi tauco memiliki aktivitas penggumpalan
24 jam.
Isolat Bakteri
Sumber
TCN 1
Tauco
TCN 2
Tauco
TCN 3
Tauco
DSN 1
Asinan sawi
Ciri Koloni
bentuk bulat, ukuran medium, berwarna putih opaque,
tepian entire
bentuk tidak beraturan, ukuran large, berwarna putih
opaque, tepian undulate
bentuk tidak beraturan, ukuran large, berwarna
translusens, tepian undulate
bentuk bulat, ukuran large, berwarna putih opaque,
tepian undulate
A
B
C
D
E
Gambar 1. Sampel pangan fermentasi yang digunakan sebagai sumber isolat: oncom merah (a), tempe (b), tape
ketan (c), tauco (d), asinan sawi (e)
202
pulan susu
Hasil uji aktivitas proteolitik terhadap 4
isolat bakteri menunjukkan hasil yang berbeda
Zona bening
bakteri lainnya.
PEMBAHASAN
Isolat Bakteri
Diameter isolate
bakteri (cm)
Diameter zona
bening (cm)
Indeks Protease
TCN 1
0.40
1.30
3.25
TCN 2
0.40
1.60
4.00
TCN 3
0.40
1.20
3.00
DSN 1
0.40
1.40
3.50
Gambar 3. Profil pertumbuhan isolat bakteri TCN 1 (a), TCN 2 (b), TCN 3 (c), dan DSN 1 (d) selama 5 hari
masa fermentasi pada 150 rpm dan suhu ruang. Konsentrasi sel diukur pada abs. 660 nm.
203
Rahmani, dkk.
gumpalan susu
Gambar 5. Pembentukan gumpalan susu pertama oleh
aktivitas enzim isolat bakteri
kedekatan dengan jenis bakteri asam laktat. InGambar 4. Aktivitas enzim penggumpal susu isolat
bakteri
sebut
untuk
menghasilkan
enzim
protease
lisa 16S rDNA diidentifikasi termasuk dalam kelompok Bacillus sp. Berdasarkan analisis
dua tahap, yaitu fermentasi oleh kapang dan fermentasi dalam larutan garam oleh bakteri asam
peran dalam fermentasi sayuran antara lain Leuconostoc mesenteroides, Lactobacillus brevis dan Pedio-
teri sudah mencapai fase log sehingga untuk pemanenan enzim dilakukan pada jam ke-24.
204
setelah
Proses
tuk padatan seperti bubuk atau pelet. Bentuk renet yang ditambahkan dapat mempengaruhi ak-
penambahan
kultur
starter.
sebut.
205
Rahmani, dkk.
yang
paling
tinggi
sebesar
0.0117 U/mL, 0.0150 U/mL, 0.0200 U/mL, sedangkan isolat bakteri TCN 2 memiliki akivitas
isolat terpilih yang dapat dijadikan alternatif untuk produksi enzim penggumpal susu pada fer-
aktivitas
dibandingkan
Selain itu, ketiga isolat bakteri lainnya juga memiliki rasio penggumpalan susu terhadap protease
penggumpalan
yang
beberapa
175000.
lebih
enzim
Pada
tinggi
penghasil
bakteri lainnya
DSN 1 juga memiliki potensi untuk menjadi alternatif pengganti renin dalam pembuatan keju.
KESIMPULAN
Tabel 5. Perbandingan rasio aktivitas penggumpalan susu terhadap protease isolat bakteri TCN 2 dengan beberapa
enzim penggumpal susu dari mikroba lain
Sumber enzim
Isolat bakteri TCN 2
206
Aktivitas
penggumpalan
susu
(U/mL)
70
Aktivitas
protease
(U/mL)
Rasio
0.0004
175000
400
0.01
40000
511
0.11
4650
685
0.23
2981
750
0.29
2590
56
0.6
93
mL.
clotting protease in the crude enzymatic exRasio aktivitas penggumpalan susu ter-
285
DAFTAR PUSTAKA
Screening tests and identification of the potent fungus. Agric Boil Chem 31:540545
pp 446459
Cavalcanti MTH, Teixeira MFS, Lima FJL. &
207
Rahmani, dkk.
241
48:451-6
Winarno FG. 2010. Enzim Pangan. Bogor :
Mbrio Press
IPB.
Poza M., M. Prieto-Alcedo, C. Sieiro & T.G.
Microbiol 10(5):527530
Sathya R., B.V Pradeep, J. Angayarkanni & M.
Shieh CJ, Phan Thi LA, & Shih IL. 2009. Milk-
91
208
Krishna Nand.
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi LIPI; 2Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB)
E-mail: edynas.sambas@gmail.com
PENDAHULUAN
rencana
pengelolaan
kawasan
(TNGHS 2007). Penelitian serupa telah dilakukan oleh Wiharto (2009) di zona sub pegunu-
mengidentifikasi
robusta-Quercus
empat
lineata/F.
aliansi
vegetasi
di
Sambas, dkk.
Castanopsis
stimulans/Schismatoglottis calyptrata ).
Endut.
acuminatissima-Schima
wallichii/
Hasil
induk penyusun kawasan Gunung Endut menunjukkan kondisi yang berlainan dengan lempeng
umumnya.
dan
(RePPProT 1990).
gedong
(Desa
Lebaksangka
dan
Desa
Lebakgedong), Kecamatan Sajira (Desa Pasirhaur
(Gambar 1).
pardus). Harahap et al. (2005) menaksir sedikitnya 3 ekor macan jawa menghuni daerah ini.
ternya.
pengamatan (10 x 10 m) sebanyak 40 buah dijadikan satu buah blok pengamatan. Dengan
210
Lokasi kawasan
mengkaji bagaimana hubungan antara spesiesspesies dengan berbagai faktor abiotik dalam
berdistribusi di setiap aliansi vegetasi Gunung
Endut dilakukan dengan uji statistik Chi-Square
(Daniel 1987), sebagai berikut :
2 = SS/X ; 2 = chi kuadrat; SS = jumlah
kuadrat; X = rata-rata jumlah individu dalam aliansi/mean sample.
Gambar 1. Peta Kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (Sumber: GHSNP.MP-JICA
2006)
Faktor abiotik yang dikaji adalah faktorfaktor yang membedakan antar aliansi vegetasi di
Bogoriense, Cibinong.
Data lingkungan abiotik yang dikumpulkan adalah: (1) koordinat geografis dari plot
pengamatan, (2) data tanah, (3) data berbagai
Gunung Endut.
dalam kelas-kelas mengikuti pedoman Laboratorium Tanah IPB, sedangkan untuk faktor abiotik
HASIL
kelerengan rata-rata >40%. Karakteristik topografi pada setiap aliansi vegetasi di Gunung Endut
spesies-spesies dominan
211
Sambas, dkk.
sedangkan untuk
Perbedaan-perbedaan
(1.297 m dpl).
tersebut
kemungkinan
Unsur
lainnya.
Tabel 1. Karakteristik variasi topografi pada seluruh aliansi vegetasi di Gunung Endut.
%
11.8
12.1
29.6
36.0
10.5
Aliansi 3
m2
9.2
3.6
19.3
56.5
31.4
120.0
%
7.7
3.0
16.1
47.1
26.2
Aliansi 4
m2
12.7
10.7
28.1
49.3
19.1
119.9
%
10.6
8.9
23.4
41.1
15.9
Ketinggian blok
penelitian (m dpl)
Ketinggian minimum
Ketinggian maksimum
212
Aliansi 1
Aliansi 2
Aliansi 3
Aliansi 4
250
1297
300
1250
400
1225
400
1200
Tabel 3. Karakteristik lingkungan abiotik tanah pada seluruh aliansi vegetasi di Gunung Endut.
Aliansi
Vegetasi 1
Aliansi
Vegetasi 4
pH
4,19+0,04
4,340,14
4,530,38
4,400,00
C-Organik
3,730,23
3,400,26
2,480,63
3,700,51
N-total
0,320,02
0,310,02
0,200,07
0,340,09
P (ppm)
7,660,83
9,292,17
3,931,73
5,731,74
Ca (me/100g)
1,610,22
3,991,18
4,883,31
2,370,72
Mg (me/100g)
0,520,05
0,840,21
1,410,89
0,630,07
K (me/100g)
0,090,01
0,060,01
0,170,06
0,110,03
Na (me/100g)
0,140,01
0,130,01
0,250,08
0,150,02
KTK (me/100g)
18,460,82
24,121,78
20,621,85
21,000,94
12,841,21
18,964,41
29,7116,65
15,604,11
Al (me/100g)
C/N Ratio
5,410,35
12,260,38
4,340,89
11,060,43
4,012,04
12,800,90
3,140,68
11,762,25
Pasir
24,261,45
32,266,45
21,683,00
24,435,57
Debu
40,291,27
34,873,76
37,717,66
34,437,78
Liat
35,472,16
32,875,41
40,618,91
41,1412,97
Tabel 4. Perbedaan faktor abiotik pada seluruh aliansi vegetasi di Gunung Endut.
Aliansi vegetasi
12
13
14
Statistik
MannWhitney
U
Z
MannWhitney
U
Z
23
24
34
MannWhitney
U
Z
-
Faktor Abiotik
Ca
146,500
1, 933*
KTK
97,500
- 2,985**
Al
22,000
H
20,500
pHrata-rata
13,500
1,891
K
5,500
1,959*
- 2,299*
- 1,718
Keterangan: **signifikan pada P< 0,01;*signifikan pada P< 0,05; : signifikan pada taraf < 0,10
Selanjutnya untuk faktor topografi, masingmasing tercatat enam dan satu species yang
dan Tabel 6
Tabel 5 memperlihatkan preferensi ekologi
Sambas, dkk.
Tabel 5. Preferensi jenis-jenis pohon dominan terhadap berbagai faktor abiotik pada aliansi vegetasi 1
No
1
Jenis
Aidia racemosa
Tanah
Corg
N
Na
Faktor Abiotik
Topografi
Ketinggian rata-rata
2
Ardisia zollingeri
Al
H
Ca
Mg
KB
N
Al
Castanopsis acuminatissima
Castanopsis argentea
N
P
Ca
Mg
KB
Euodia latifolia
Eurya acuminate
Ca
Mg
KB
Al
H
Debu
Liat
Ketinggian rata-rata
Ketinggian rata-rata
Ketinggian rata-rata
8
9
10
Paraserianthes falcataria
Quercus lineata
Schima wallichii
Ca
Mg
Al
H
KTK
KB
Pasir
Liat
Ketinggian rata-rata
Ketinggian rata-rata
KB
Al
Spearman
- 0,252 *
- 0,296 **
- 0,263 *
0,314 **
0,246 *
0,258 *
- 0,296 **
- 0,295 **
- 0,375 **
0,213 *
- 0,218 *
0,335 **
0,245 *
0,263 *
0,275 *
0,319 **
0,233 *
- 0,238 *
0,382 **
0,369 **
0,397 **
- 0,307 **
- 0,225 *
0,457 **
- 0,362 **
0,362 **
0,356 **
0,350 **
- 0,289 **
- 0,213 *
0,229 *
0,270 *
- 0,278 **
0,242 *
- 0,282 *
- 0,258 **
- 0,245 *
0,235 *
214
preferensi
PEMBAHASAN
faktor topografi
Di dalam aliansi vegetasi 2 ditemukan
sebanyak 4 spesies memiliki preferensi terhadap
Tabel 6. Preferensi Jenis-Jenis Pohon Dominan terhadap berbagai Faktor Abiotik pada Aliansi Vegetasi 2
No
Jenis
Altingia excelsa
Bridelia glauca
Calophyllum saigonense
Castanopsis acuminatissima
Castanopsis argentea
Tanah
pH
Ca
Mg
K
Al
H
KB
Pasir
Debu
KB
Faktor Abiotik
Topografi
Ketinggian minimum
pH
H
KB
Debu
Mg
K
Al
H
KB
Pasir
Debu
KTK
Liat
Spearman
0,533 *
- 0,516 *
0,644 **
0,644 **
0,611 **
- 0,705 **
0,853 **
- 0,475 *
0,705 **
0,500 *
- 0,500 *
0,462 *
- 0,447 *
0,596 **
0,447 *
- 0,569 **
- 0,661 **
- 0,573 **
0,609 **
- 0,791 **
0,506 *
- 0,709 **
- 0,453 *
- 0,500 *
215
Sambas, dkk.
faktor
mempengaruhi
sifatnya
edafik
Di
dan
daerah
topografi
penelitian
terlihat
individualistik
terhadap
kondisi
adanya
216
antropogenik.
KESIMPULAN
Tiga belas spesies berhasil dideteksi preferensinya terhadap berbagai faktor abiotik. yang
terdiri atas, enam spesies memiliki preferensi baik
terhadap faktor tanah maupun topografi, empat
spesies hanya memiliki preferensi terhadap faktor
tanah, dan satu spesies yang hanya memiliki preferensi terhadap faktor topografi. Faktor abiotik
tanah seperti Mg, KB, Ca dan Na merupakan
unsur penting dalam kaitannya dengan persebaran
beberapa species utama. Begitu juga ketinggian
rata-rata dan kelerengan merupakan faktor abiotik
topografi yang penting.
UCAPAN TERIMA KASIH
MSc., dan Dirman atas dukungan dan bantuannya, serta kepada Dr. Edi Mirmanto atas koreksi
man
Gunung
Halimun
Salak
DAFTAR PUSTAKA
Singapore.
Oxford, London.
Sambas, dkk.
in
The
Health
Sciences
5th.
Peet, K. 1989. Forest of Rocky Mountains. Dalam: MG.Barbour & WD Billings (eds.).
York.
http://www.fgdc.gov/fgdc.html. Diakses
Departemen
November 2009.
Miyamoto, K., E. Suzuki, T. Kohyama, T. Seino,
E. Mirmanto, & H. Simbolon. 2003. Hab-
J. Trop.
Pro-
Toronto, Singapore.
Kappelle, M. 2004. Tropical Mountain Forest.
Ltd,
Regional Forest
Netherland.
2000.
Type.
Elsevier
218
along
Altitudinal
Gradients
Pertumbuhan dan Produksi Jagung Pulut Lokal Sulawesi Selatan yang Ditanam di Polibag
Pada Berbagai Kombinasi Perlakuan Pupuk Organik
(Growth and Production of South Sulawesi Local Maize Cultivar Grown in Polybag with
Various Organic Fertilizer Treatment)
Titi Juhaeti1*), N Hidayati1) & M Rahmansyah2)
1)
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, 2) Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Cibinong Science Center, Jl. Raya Jakarta-Bogor km 46. *)E-mail: tihaeti@yahoo.com
Memasukkan: Januari 2013 , Diterima: Mei 2013
ABSTRACT
Research has been carried out through the utilization of organic fertilizer to improve the productivity of local maize
cultivar originated from South Sulawesi. The study was conducted at the research station of Research Center for Biology, Cibinong Science Center. Corn seed were planted in polybag containing mixture of soil and compost, 6 and 2
kg, respectively. The research were carried out by Randomized Complete Block Design arranged in factorial experiment with four replications. The first factors are three types of local maize namely A: rice corn (pulut beras, Batara
Koasa), B: waxy corn (pulut biji, Batara Kamu), C: pulut hibrida (hybrid cultivar). The second factors are 14 combination treatment as a mixture of LIPI organic fertilizer (Beyonic-StarTmik, Bio121, EM-121 and MegaRhizo) and
anorganic NPK fertilizer. The variables observed were plant growth and production. The results showed that the
hybrid cultivar had higher total corn yield productivity compared to the local one, although hybrid cultivar has
smaller plant biomass. Waxy corn (B) accession showed the weight, length and diameter of cob, and also the weight
of 100 grains larger than rice corn (A). Fertilization treatments significantly affect the corn-cob productivity which is
includes the weight, length, and diameter units. Fertilization treatments such as EM-121 + ( dose of NPK), BIO121 + ( dose of NPK), and Beyonic + ( dose of NPK) showed a good effect on plant, and it was not significantly
different with 100% NPK (full doses of NPK). The three corn cultivar showed different responses to fertilization
treatments.
Keywords: local corn, biofertilizer, growth, production
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh berbagai kombinasi pupuk organik LIPI dan pupuk anorganik
NPK terhadap pertumbuhan dan produksi jagung pulut lokal Sulawesi Selatan. Penelitian dilakukan di Kebun
Percobaan Pusat Penelitian Biologi, Cibinong Science Center. Benih jagung ditanam di polibag pada media tanam
berupa campuran 6 bagian tanah:2 bagian kompos. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang
disusun secara faktorial, dengan 4 ulangan. Faktor pertama adalah tiga kultivar jagung lokal yaitu A: pulut beras
(Batara Koasa), B: pulut biji (Batara Kamu) dan C: pulut hibrida. Faktor ke dua adalah 14 kombinasi perlakuan
pemupukan yang merupakan berbagai kombinasi perlakuan pupuk organik LIPI (Beyonic-StarTmik, BIO-121, EM121 dan MegaRhizo) dan pupuk anorganik (pupuk anorganik masing-masing mengandung unsur makro N, P dan
K). Peubah yang diamati adalah pertumbuhan dan produksi tanaman. Hasilnya menunjukkan bahwa kultivar hibrida memiliki produktifitas yang lebih tinggi dibandingkan kultivar lokal, walaupun kultivar hibrida ini perawakannya
lebih kecil. Kultivar B (pulut bji) menunjukkan peubah bobot tongkol, panjang dan diameter tongkol serta bobot
100 butir bji yang lebih besar dibandingkan Kulivar A (pulut beras). Perlakuan pemupukan berpengaruh nyata terhadap produksi tongkol jagung meliputi bobot serta ukuran panjang dan diameter tongkol. Perlakuan pemupukan
EM-121 + ( dosis of NPK), BIO-121 + ( dosis of NPK) dan Beyonic + ( dosis of NPK) menunjukkan
pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan tanaman, dan hal ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis penuh
pupuk anorganik NPK. Masing-masing kultivar jagung menunjukkan respon yang berbeda terhadap perlakuan pemupukan yang diberikan.
Kata kunci: jagung lokal, pupuk organik, pertumbuhan, produksi
219
Juhaeti, dkk.
PENDAHULUAN
meningkatnya harga pupuk anorganik akibat pengurangan subsidi oleh pemerintah dan adanya
dalam budidaya tanaman termasuk tanaman jagung. Berbagai penelitian menunjukkan efektivi-
keanekaragaman pangan dan untuk meningkatkan pendapatan petani. Jagung pulut ditanam
ganik NPK pada budidaya sweet sorghum di rumah kaca. (Lumbantobing 2008.). Kultivar ja-
di
dimana jagung
(Rahmansyah et al.
al. Pupuk organik tidak menimbulkan pencemaran terhadap tanah dan air tanah sehingga cocok
digunakan dalam budidaya tanaman walaupun
untuk pemakaian dalam jangka panjang (Shao et
al. 2012).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh pemupukan dengan berbagai kombinasi
campuran pupuk organik dan pupuk anorganik
terhadap pertumbuhan dan produksi jagung pulut
lokal Sulawesi Selatan.
BAHAN DAN CARA KERJA
dan
Tanpa NPK
Tanpa
pupuk
organik
Beyonic
StarTmik@lob,
Pupuk Bio-121
EM-121.
MegaRhizo,
100%
NPK dosis NPK
(dosis penuh)
2
-
dosis NPK
-
11
4
5
6
8
9
10
12
13
14
221
Juhaeti, dkk.
HASIL
a. Tinggi tanaman
Tabel 2. Tinggi tanaman jagung pada umur 2,4 dan 6 MST (minggu setelah tanam)
Perlakuan
4 MST
6 MST
Jumlah daun
2 MST
4 MST
6 MST
Aksesi
Pulut Beras
44,37 a
131 a
202.82 a
5.86 a
11.91 a
11.27 a
Pulut Biji
42.82 a
131.21 a
194.98 b
5.65 b
14.29 a
11.00 a
Pulut Hibrida
38,30 b
107.93 b
174.48 c
4.82 c
10.50 a
8.52 b
42 abcd
120.00 abc
191.42a
5.50 ab
10.75 b
9.50 d
44.25 ab
127.67 ab
197.83 a
5.58 ab
11.42 b
10.92 a
Beyonic StarTmik@lob
44.17 ab
126.08 ab
194.00 a
5.17 b
11.25 b
9.83 cd
Pupuk Bio-121
41.08abcd
124.50 abc
185.92 ab
5.33 ab
11.25 b
10.17 abcd
EM-121
38.08 d
114.25 c
179.67 b
5.25 ab
22.17 a
10.25 abcd
MegaRhizo
39.67 bcd
120.17 abc
187.58 ab
5.25 ab
11.67 b
10.25 abcd
Beyonic StarTmik@lob +
dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
39.08 cd
120.75abc
189.17 ab
5.42 ab
11.42 b
10.00 bcd
43.15 abc
119.00 bc
194.10 a
5.69 ab
11.75 b
10.25 abcd
45.82 a
130.25 a
196.25 a
5.73 a
11.67 b
10.08 bcd
MegaRhizo+dosis NPK
43.50 abc
129.08 ab
193.75 a
5.67 ab
11.67 b
10.08 bcd
Beyonic StarTmik@lob+
dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis
NPK
EM-121+ dosis NPK
40.25 bcd
126.92 ab
191.00 ab
5.58 ab
11.58 b
10.92 a
40.50 bcd
121.25 abc
193.33 a
5.17 b
11.42 b
10.33 abc
41.83 abcd
123.08 abc
186.50 ab
5.50 ab
11.58 b
10.42 abc
42.58 abcd
124.33 abc
190.25 ab
5.42 ab
11.67 b
10.67 ab
Kombinasi pemupukan
Tanpa pupk org dan anorg
(Kontrol 1)
NPK dosis penuh (Kontrol 2)
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom dan perlakuan yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada uji Duncan 5%.
222
dan
Pupuk
Bio-121+
dosis
NPK
Kombinasi perlakuan pemupukan berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar dan
(Tabel 2).
b. Jumlah daun
Jenis jagung juga memberikan respon pertumbuhan tajuk yang berbeda terhadap perlakuan
kuan Pupuk EM-121+ dosis NPK menunjukkan nilai tertinggi tidak berbeda nyata dengan
2. Produksi tongkol
a. Bobot tongkol
Jenis jagung menunjukkan bobot tongkol
yang berbeda nyata (Tabel 6). Bobot tongkol
tertinggi didapat pada pulut hibrida (137,66)
berbeda nyata dengan pulut beras dan pulut biji.
Bobot tongkol terendah adalah pada pulut beras
(88,50). Perlakuan pemupukan berpengaruh
nyata terhadap bobot tongkol. Bobot tongkol
tertinggi didapat pada perlakuan EM-121+
dosis NPK (153,18) diikuti perlakuan Pupuk Bio121+ dosis NPK (134,36) tidak berbeda nyata
dengan perlakuan NPK dosis penuh (134,93).
Juhaeti, dkk.
Tabel 3. Bobot kering akar dan bobot kering daun saat panen
Perlakuan
akar
Jenis jagung
Pulut Beras
326,98 a
279,57a
Pulut Biji
208,57 b
252,39a
Pulut Hibrida
42,50 c
102,54b
239.17ab
197.17abc
206.50abcd
232.50abc
Beyonic StarTmik@lob
230.50ab
190.00bc
Pupuk Bio-121
264.67a
215.83abc
EM-121
107.33ed
206.83abc
MegaRhizo
123.17cde
219.83abc
87.75e
180.83bc
212.00abc
264.33a
190.83abcd
249.83ab
MegaRhizo+dosis NPK
256.00a
223.33abc
262.67a
237.17abc
202.83abcd
192.50abc
143.00bcde
184.17bc
171.17abcde
166.67c
Kombinasi pemupukan
Keterangan:
Huruf yang sama pada kolom dan perlakuan yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada uji Duncan 5%.
Tabel 4. Bobot kering akar pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan pemupukan
Pemupukan
Tanpa pupuk organik dan anorg (Kontrol 1)
100% dosis NPK (Kontrol 2)
Beyonic StarTmik@lob
Pupuk Bio-121
EM-121
MegaRhizo
Beyonic StarTmik@lob + dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
EM-121+ dosis NPK
MegaRhizo+ dosis NPK
Beyonic StarTmik@lob+ dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
EM-121+ dosis NPK
MegaRhizo+ dosis NPK
Pulut beras
456.0 ab
361.5 abc
449.0 ab
571.5 a
212.5 bc
179.5 bc
140.3 c
318.5 abc
297.5 abc
343.0 abc
446.5 ab
389.0 abc
179.0 bc
234.0 bc
Pulut biji
212.00 bcdef
187.50 bcdef
159.50 cdef
141.50 def
79.00 f
149.50 cdef
90.00 ef
290.00 abc
245.00 bcd
397.50 a
318.00 ab
190.00 bcdef
223.00 bcde
237.50 bcd
Keterangan:
Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada uji Duncan 5%.
224
Pulut hibrida
49.50 abc
70.50 ab
83.00 a
81.00 a
30.50 c
40.50 bc
33.00 c
27.50 c
30.00 c
27.50 c
23.50 c
29.50 c
27.00 c
42.00 bc
Tabel 5. Bobot kering tajuk pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan pemupukan
Pemupukan
Tanpa pupuk org dan anorg (Kontrol 1)
100% dosis NPK (Kontrol 2)
Beyonic StarTmik@lob
Pupuk Bio-121
EM-121
MegaRhizo
Beyonic StarTmik@lob + dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
EM-121+ dosis NPK
MegaRhizo+ dosis NPK
Beyonic StarTmik@lob+ dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
EM-121+ dosis NPK
MegaRhizo+ dosis NPK
Pulut beras
311.00 a
278.00 a
246.00 a
262. 00 a
297.00 a
293.00 a
214.00 a
323.50 a
283.50 a
283.00 a
326.50 a
291.00 a
243.50 a
262.00 a
Pulut biji
211.00 bc
295.00 abc
224.00 bc
272.50 abc
205.50 bc
256.00 abc
233.50 bc
353.50 ab
410.00 a
291.00 abc
289.50 abc
177.50 c
176.00 c
138.50 c
Pulut hibrida
69.50 bc
124.50 a
100.00 ab
113.00 a
118.00 a
110.50 ab
95.00 ab
116.00 a
56.00 c
96.00 ab
95.50 ab
109.00 ab
133.00 a
99.50 ab
Keterangan:
Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada uji Duncan 5%.
Hasil pengamatan terhadap bobot tongkol
Terlihat bahwa pada pulut beras perlakuan EM121+ dosis NPK menunjukkan hasil tertinggi
pengamatan
terhadap
panjang
dosis
Tabel 8.
NPK
menunjukkan
angka
tertinggi
Pada
Pada
pulut
hibrida,
perlakuan
Beyonic
pulut
biji,
perlakuan
100%
NPK
Panjang tongkol
NPK).
panjang tongkol pada masing-masing jenis jagung. Jenis jagung menunjukkan perbedaan yang
nyata pada ukuran panjang tongkol. Ukuran
tongkol terpanjang diperoleh pada pulut hibrida
(15,85) yang berbeda nyata dengan aksesi lainnya.
Diameter tongkol
Tabel 6 menunjukkan diameter tongkol
yang dihasilkan masing-masing jenis jagung. Di-
(13,07).
Perlakuan
pemupukan
menunjukkan
Juhaeti, dkk.
Perlakuan
Panjang
tongkol (cm)
Diameter
tongkol (cm)
Jenis jagung
Pulut Beras
88,49c
13,07 c
4,03 b
Pulut Biji
109,39b
14,54 b
4,44a
Hibrida
137,66a
15,85 a
4,26 ab
Kombinasi pemupukan
Tanpa pemupukan NPK (Kontrol 1)
14.19abc
4.10abc
134.93ab
16.01a
4.39abc
Beyonic StarTmik@lob
92.22c
13.65bc
4.12abc
Pupuk Bio-121
87.14 c
13.25c
3.84c
EM-121
93.46 c
14.08abc
4.14abc
MegaRhizo
94.78 c
13.48bc
3.90bc
122.10abc
14.81abc
4.47ab
103.72bc
14.13abc
4.11abc
107.30 bc
14.38abc
4.11abc
MegaRhizo+dosis NPK
110.66 bc
14.95abc
4.11abc
116.94 bc
14.06abc
4.17abc
134.36ab
14.06ab
4.47ab
153.18 a
15.55abc
4.63a
120.77abc
14.62abc
4.31abc
94.34 c
Keterangan:
Huruf yang sama pada kolom yang sama pada perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%.
Tabel 7. Bobot tongkol pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan pemupukan
Pemupukan
Tanpa pupuk org dan anorg (Kontrol 1)
100% dosis NPK (Kontrol 2)
Beyonic StarTmik@lob
Pupuk Bio-121
EM-121
MegaRhizo
Beyonic StarTmik@lob + dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
EM-121+ dosis NPK
MegaRhizo+ dosis NPK
Beyonic StarTmik@lob+ dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
EM-121+ dosis NPK
MegaRhizo+ dosis NPK
Pulut beras
84.28 bc
112.45 ab
63.88 bc
34.65 c
80.75 bc
68.17 bc
103.93 ab
92.73 bc
85.85 bc
109.88 ab
77.15 bc
87.77 bc
151.00 a
86.48 bc
Pulut biji
73.13 b
116.43 ab
80.75 ab
123.95 ab
102.90 ab
87.73 ab
114.60 ab
88.15 ab
143.65 ab
90.35 ab
100.73 ab
145.20 ab
151.18 a
112.78 ab
Pulut hibrida
125.63 cd
175.93 a
132.03 bcd
102.83 d
96.73 d
128.45 cd
147.78 abc
130.28 bcd
92.40 d
131.75 bcd
172.95 a
170.10 ab
157.37 abc
163.05 abc
Keterangan:
Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%.
Pupuk Bio-121+
226
NPK).
pemupukan. Pada pulut beras, perlakuan EM121+ dosis NPK menunjukkan angka tertinggi
Pupuk Bio-121+
Tabel 8. Panjang tongkol pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan pemupukan
Pemupukan
Tanpa pupuk org dan anorg (Kontrol 1)
100% dosis NPK (Kontrol 2)
Beyonic StarTmik@lob
Pupuk Bio-121
EM-121
MegaRhizo
Beyonic StarTmik@lob + dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
EM-121+ dosis NPK
MegaRhizo+ dosis NPK
Beyonic StarTmik@lob+ dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
EM-121+ dosis NPK
MegaRhizo+ dosis NPK
Pulut beras
14.125 a
14.000 a
12.475 a
10.950 a
13.150 a
11.865 a
12.625 a
12.875 a
12.150 a
13.175 a
12.750 a
15.565 a
14.700 a
12.600 a
Pulut biji
13.075 a
16.525 a
13.950 a
13.800 a
15.100 a
14.000 a
14.925 a
14.350 a
15.300 a
15.525 a
12.925 a
14.600 a
14.450 a
15.050 a
Pulut hibrida
15.3750 bcd
17.5000 a
14.5250 cd
15.0000 bcd
14.0000 d
14.5750 cd
16.8750 ab
15.1750 bcd
15.7000 abcd
16.1500 abc
16.5000 abc
16.8250 ab
17.5000 a
16.2000 abc
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%.
Tabel 9. Diameter tongkol pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan pemupukan
Pemupukan
Pulut beras
Pulut biji
Tanpa pupuk org dan anorg (Kontrol 1)
4.0100 abc
4.1150 a
100% dosis NPK (Kontrol 2)
4.4025 ab
4.2925 a
Beyonic StarTmik@lob
3.7700 abc
4.1650 a
Pupuk Bio-121
2.7300 c
4.8650 a
EM-121
4.0850 ab
4.4300 a
MegaRhizo
3.3750 bc
3.9450 a
Beyonic StarTmik@lob + dosis NPK
4.6875 ab
4.3550 a
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
4.0675 ab
3.9650 a
EM-121+ dosis NPK
4.5900 ab
4.8950 a
MegaRhizo+ dosis NPK
4.4100 ab
4.4250 a
Beyonic StarTmik@lob+ dosis NPK
3.7250 abc
4.2150 a
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
3.9850 abc
4.9450 a
EM-121+ dosis NPK
4.8050 a
4.8500 a
MegaRhizo+ dosis NPK
3.8225 abc
4.7175 a
Pulut hibrida
4.1875 abcd
4.4725 ab
4.4150 abc
3.9375 bcd
3.9000 cd
4.3750 abc
4.3750 abc
4.2875 abc
3.7300 d
4.3200 abc
4.5775 a
4.4850 ab
4.2250 abcd
4.3900 abc
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%.
227
Juhaeti, dkk.
NPK).
Tabel 9 menunjukkan diameter tongkol
pemupukan (kecuali
PEMBAHASAN
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ke-
228
6. MegaRhizo
7. Beyonic StarTmik@lob + dosis NPK
8. Pupuk Bio-121+ dosis NPK
9. EM-121+ dosis NPK
10. MegaRhizo+ dosis NPK
11.Beyonic StarTmik@lob+ dosis NPK
12.Pupuk Bio-121+ dosis NPK
yang
kandungan
pemicu
mikroorganisme
diolah
dari
bahan
organik
yang
Pusat
ini
Penelitian
Biologi
LIPI.
Pupuk
N0.2/Pert/
229
Juhaeti, dkk.
berkurangnya
digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah
(2001).
yang
mengandung
penggunaan
Efek
kombinasi
pupuk
kimia
El-Karmany
pemupukan
juga
biomassa tanaman jarak pagar sampai umur 1415 MST, apabila dibandingkan dengan
2009).
external
input
and
sustainable
agriculture)
meskipun
dalam
jumlah
kecil,
2)
dapat
manungkalit, 2006).
penggunaan
15-25
mampu
persen
per
hektar,
dan
bahan
organik
berupa
pupuk
230
DAFTAR PUSTAKA
ornaik yang dikombinasikan dengan pupuk anorAnonim. 2009. "Bassang" Masuk Pasar Malaysia
ganik.
2.
3.
4.
Pulut
memiliki
news.com/berita/18928/peneliti-sulsel-
perawakan
terkecil
tetapi
Terbaik.
http://makassar.antara-
penghasil-jagung-pulut-terbaik
Bais, HP., TL. Weir, L Perry, S. Gilroy & JM.
yang digunakan dapat dipakai untuk mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Akan
266.
El-Karmany M. 2001. Effect of organic manure
lizer Manual. Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA). Japan Atomic Industri-
al Forum, Tokyo
bisniskeuangan.kompas.com/read/
2012/05/04/21480266/Pupuk.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada
Organik.
LIPI.Tingkatkan.Produktifitas.Pertanian
Iriany R, Neni, A. Takdir M., N. A. Subekti, M.
Isnaini, & M. Dahlan. 2006. Perbaikan po-
231
Juhaeti, dkk.
Deptan. p. 41 45.
http://balittanah.litbang.deptan.go.id/doku-
mentasi/juknis/pupuk organik.pdf.
Suripti, S., Triadiati, & A. Tjahyoleksono. 2011.
http://fmipa.ipb.ac.id/index.php/id/bio-
sains/191-uji-efektivitas-pupuk-organik-danpupuk-hayati-untuk-peningkatan-produk-
tivitas-tanaman-jagung-di-beberapadae-
rah.html
http://
repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/ 12345
6789/1814/A08eln_abstract.pdf?sequence=1
Moelyohadi Y, MU Harun, Munandar, R Hayati
deptan.go.id/ind/images/stories/67.pdf.
Agromedia Pustaka.
Rahmansyah, M., N. Hidayati, T. Juhaeti & A.
Indonesia. 1: 107-118.
Setyorini & W Hartatik (eds.). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Sumber
232
ABSTRACT
Forest restoration is a process of ecosystem conditioning (soil, vegetation, and wildlife) in order to achieve similar
patterns and profiles to previous conditions and status before the ecosystem was disturbed, both in terms of species
composition and structure, and habitat functions. Restoration is a crucial part to maximize the conservation values of
biodiversity and ecosystem functions. Eight different native plant species were assessed in this research while the photosynthetic parameters studied included the total chlorophyll content, carbohydrate content, CO2 sequestration capacity, leaf weight, leaf number, leaf area and leaf water content. Spectrophotometer was operated to analyse chlorophyll content, the Somogyi-Nelson method was used to calculate carbohydrate content, and leaf area was measured
using the leaf area meter. The research results using the principal component analysis showed that each type of the
plant species used for the restoration (2 years old after planting) had different characteristics in terms of photosynthetic parameters studied. Dacrycarpus imbricatus and Syzygium lineatum both had the highest carbohydrate contents
and the best abilities to absorb CO2. Sloanea sigun, Alstonia scholaris, Manglietia glauca, and Castanopsis argentea had
higher total chlorophyll contents than others, while Altingia excelsa, M. glauca, A. scholaris, and Schima wallichii had
higher water contents. A. scholaris, M. glauca, and S. sigun had heavier leaf weights. In contrast, M. glauca possessed
the widest leaves amongst the species observed.
Keywords: forest restoration, photosynthetic parameters, native species
ABSTRAK
Restorasi hutan merupakan suatu proses pengkondisian ekosistem (meliputi komponen tanah, vegetasi dan satwa
liar) dalam upaya mencapai kondisi-kondisi seperti sebelum ekosistem tersebut terganggu (rusak), baik dari segi
struktur vegetasi, komposisi jenis dan fungsi-fungsi habitatnya. Restorasi merupakan bagian sangat krusial dalam
konservasi untuk memaksimalkan nilai-nilai keanekaragaman hayati dan fungsi-fungsi ekosistem. Delapan jenis tumbuhan asli (native) digunakan dalam penelitian restorasi ini dengan cara mengkaji parameter-parameter fotosintetiknya, meliputi kandungan klorofil total, kandungan karbohidrat, kapasitas sekuestrasi CO2, bobot daun, jumlah
daun, luas daun, dan kadar air daun. Metode spektrofotometri digunakan untuk menganalisis kandungan klorofil,
metode Somogyi-Nelson dipakai untuk menghitung kandungan karbohidrat, sedangkan leaf area meter digunakan
untuk menentukan luas daun. Hasil penelitian dengan menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis) menunjukkan bahwa masing-masing jenis tumbuhan untuk restorasi ini (berumur dua tahun setelah
tanam) memiliki karakteristik-karakteristik fotosintetik yang berbeda. Dacrycarpus imbricatus dan Syzygium lineatum
memiliki kandungan karbohidrat dan kapasitas mengabsorbsi CO2 paling tinggi. Sloanea sigun, Alstonia scholaris,
Manglietia glauca, dan Castanopsis argentea memiliki kandungan klorofil total lebih tinggi daripada jenis-jenis
lainnya, sedangkan Altingia excelsa, M. glauca, A. scholaris, dan Schima wallichii mempunyai kandungan air yang
lebih tinggi. A. scholaris, M. glauca, dan S. sigun memiliki bobot daun lebih besar, sementara M. glauca secara signifikan memiliki luas daun paling besar di antara jenis-jenis yang diteliti.
Kata Kunci: Restorasi hutan, parameter fotosintesis, jenis lokal
233
Ahmad dkk.
PENDAHULUAN
rena hutan merupakan salah satu ekosistem penyerap CO2 terbesar dan pohon-pohon di dalamn-
Berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan, Perairan dan Tata Guna Hutan Kesepakatan,
Brazil
(http://www.dephut.go.id/
warsa terakhir, kehilangan penutupan hutan akibat deforestasi dan degradasi di wilayah hutan
sebagai
pada periode 2000-2005 menjadi 1,08 juta hektar/tahun. Secara umum, penurunan penutupan
buah.
dan
Zaire
penyerap
cahaya.
Karbondioksida
dapat beradaptasi dengan mudah di tempat terbuka, merupakan jenis yang dapat tumbuh dengan
234
ranting. Pengambilan sampel daun dilakukan pada saat matahari bersinar cerah, dari jam 09.00-
absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 652 nm (untuk klorofil total).
A x 1000)/34,5) x (1/BS) x (20/1000)) mg/g bobot segar, di mana A adalah nilai absorbansi dan
Manglid (Manglietia
Analisis karbohidrat dilakukan di Laboratorium Balai Besar Biologi dan Genetika Pertanian
(Schima
(Altingia
Noronha),
dan
Saninten
diambil dari 3 pohon (3 x 5 daun) untuk masingmasing jenis. Daun dimasukkan dalam oven sela-
235
Ahmad dkk.
menduga
masing deret standar, dikocok dan dibiarkan selama 20 menit, kemudian diukur dengan spektro-
% Karbohidrat =
A x 100 x 20 x 100%
S 0,2 1
1 000 000
Keterangan:
S
= Rerata nilai absorbansi standar
A
= Rerata nilai absorbansi sampel
kemampuan
masing-masing
jenis
karbohidrat,
kandungan
236
imbricatus
memiliki
kandungan
karbohidrat
Kadar Air
Altingia excelsa memiliki kadar air tertinggi
karbohidrat
D.
imbricatus.
dan S. sigun.
parameter-parameter internal fotosintesis menunjukkan bahwa dua komponen utama dapat men-
Tabel 1. Hasil pengukuran kandungan karbohidrat, kandungan klorofil total, kemampuan tanaman menyerap
CO2, kadar air, bobot dan luas daun pada 8 jenis tanaman.
Spesies
S. sigun
D. imbricatus
S. lineatum
A. scholaris
M. glauca
S. wallichii
A. excelsa
C. argentea
Karbohidrat
(%)
15,273,92 abc
22,112,63 d
19,334,38 cd
10,351,86 a
17,201,30 bc
13,651,75 ab
13,551,62 ab
12,742,13 ab
Klorofil
Total (mg/g)
2,941,08 d
1,340,33 a
2,140,45 bc
2,560,54 cd
2,390,49 cd
1,650,31 ab
1,780,30 ab
2,350,38 c
CO 2
(mg/cm2)
6,785,94 a
11,996,84 a
6,292,76 a
5,902,54 a
7,063,89 a
5,233,11 a
7,874,10 a
5,273,85 a
Bobot Daun
(g)
1,621,73 b
0,110,01 a
0,450,22 ab
1,781,06 b
1,750,84 b
0,920,45 ab
1,230,44 ab
1,420,79 ab
Luas Daun
(cm2)
53,0111,35 de
3,671,53 a
20,012,89 b
42,786,50 cd
65,075,88 e
37,835,29 c
34,0210,10 c
54,3211,15 de
Keterangan:
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji
DMRT 0,05.
237
Ahmad dkk.
1,5
1,0
0,5
D. imbricatus
KH
-1,0
-1,5
A. scholaris
0,0
-0,5
M. glauca
CO2
S. wallichii
Kair
KU II (16.2% )
A. excelsa
C. argentea
Klo Tot
S. lineatum
S. sigun
-5
-4
-3
-2
-1
KU I (67.5 %)
(Gambar 1), atau dengan kata lain terdapat korelasi positif antara parameter karbohidrat dengan
CO2 dengan koefisien korelasi sebesar 72,3%.
PEMBAHASAN
(Tabel 3).
Koefisien
ternyata memberikan pengaruh yang berbeda pada setiap jenis tanaman (Tabel 4).
korelasi
antara
Nilai ciri
Keragaman
4,051
0,675
Akumulasi
keragaman
0,675
0,971
0,162
0,837
pula.
Setiap tanaman memiliki karakteristik
yang berbeda. Pemilihan jenis tanaman restorasi
dapat mempertimbangkan parameter-parameter
yang lebih diutamakan. Hasil analisis komponen
utama menunjukkan bahwa, jika parameter CO2
menjadi pertimbangan utama, maka D. imbricatus
dan S. lineatum merupakan jenis yang paling
Tabel 3. Koefisien korelasi karbohidrat, klorofil total, CO2, kadar air, bobot dan luas daun.
Parameter
Karbohidrat
Klorofil Total
CO2
Kadar Air
Bobot Daun
238
Klorofil Total
-0,432
CO2
0,723
-0,548
Kadar Air
-0,629
0,101
-0,334
Bobot Daun
-0,713
0,755
-0,553
0,713
Luas Daun
-0,591
0,733
-0,649
0,609
0,908
Parameter Fotosintesis
Spesies
Kandungan karbohidrat
D. imbricatus, S. lineatum
Kandungan klorofil total
S. sigun, A. scholaris, M. glauca, C. argentea
CO2
D. imbricatus, S. lineatum
Kadar air
A. excelsa, M. glauca, A. scholaris, S. wallichii
A. scholaris, M. glauca, S. sigun
Bobot per daun
M. glauca
Luas per daun
haraan sel, sebelum akhirnya terakumulasi mensesuai dibandingkan dengan 6 jenis tanaman
jadi biomassa hidup dari tumbuhan (Kramer &
lainnya. Tanaman yang mempunyai kemampuan
Kozlowski 1979).
menyerap CO2 lebih besar akan sangat berguna
Tinggi-rendahnya kandungan karbohidrat
dalam usaha mitigasi iklim. Tanaman yang mempada sampel disebabkan oleh distribusi hasil
iliki kandungan karbohidrat tinggi diharapkan
fotosintesis. Nilai karbohidrat yang rendah meakan lebih cepat pertumbuhannya. A. excelsa
nandakan bahwa karbohidrat lebih banyak disimmemiliki kapasitas menyimpan air lebih besar
pan di dalam organ lain daripada di daun. Jumlah
daripada jenis-jenis lainnya, sehingga dapat
daun per tanaman yang sedikit, memberikan kesdigunakan dalam usaha konservasi air.
empatan pada daun yang ada untuk menjadi
Karakteristik A. scholaris terletak pada bobot dan
source, karena daun berkesempatan menerima
M. glauca pada luas daunnya. Karakteristik
cahaya dan menghasilkan fotosintat yang
kandungan klorofil tinggi dimiliki oleh S. sigun.
digunakan oleh organ lain. Tanaman dengan
D. imbricatus memiliki kandungan
jumlah daun banyak menyebabkan banyak daun
karbohidrat tertinggi. Tanaman ini merupakan
ternaungi, sehingga lebih banyak daun yang menkelompok tanaman berdaun jarum (conifer), yang
jadi sink. Akibatnya, di dalam populasi terlihat
memiliki ukuran daun terkecil dibandingkan 7
korelasi negatif antara hasil dengan jumlah daun.
jenis tanaman lainnya (dengan luas rata-rata 3,67
2
Rostini et al. (2003) menunjukkan bahwa hasil
cm ), sehingga proses evapotranspirasinya kecil
asimilasi yang tinggi pada tanaman kedelai akan
dan akumulasi fotosintatnya besar. Dengan kata
didistribusikan lebih banyak ke organ reproduksi
lain, CO2 yang diserap per pohon paling kecil
dibandingkan organ vegetatif.
nilainya, tetapi CO2 yang diserap per satuan luas
Tingginya karbohidrat yang dihasilkan oleh
paling tinggi. Karakterstik tersebut juga berlaku
suatu tumbuhan menentukan kemampuan
untuk S. lineatum yang juga memiliki daun
2
tumbuhan dalam menyerap CO2 yang digunakan
berukuran kecil (luas rata-rata 20,01 cm ).
oleh tumbuhan tersebut untuk melakukan proses
Besaran nilai produk fotosintesis bersih
fotosintesis. Karbohidrat didapat dengan
(NPP) dapat didekati dengan cara mengukur karmengubah CO2 menjadi (CH2O)n. Karbohidrat
bohidrat, biomassa, dan serasah (Landsberg &
diperoleh dengan cara memfiksasi CO2 bebas
Gower 1997). Setelah CO2 diserap oleh daun,
yang terdapat di udara. CO2 yang didapat akan
maka akan diubah menjadi karbohidrat yang
dibawa ke dalam siklus Calvin-Benson atau sering
kemudian akan diikuti oleh beberapa proses, sepjuga disebut reaksi gelap, yaitu siklus yang tidak
erti respirasi gelap, pembentukan dan pemeli239
Ahmad dkk.
atau
makanan.
tamanan.
Daun dengan kandungan klorofil tinggi
disimpan
sebagai
cadangan
lingkungan yang kurang menguntungkan, misalnya terjadi cekaman kekeringan, keasaman tinggi,
nannya sendiri.
mengakibatkan terhentinya pertumbuhan. Kekurangan air secara terus menerus akan menyebab-
beberapa
dalam
jenis
reaksi
pohon
gelap
merespons
fotosintesis
periode
untuk
241
Ahmad dkk.
DAFTAR PUSTAKA
klorofil total. Menurut Gardner et al. (1985) permukaan luar daun yang luas dan datar memung-
ualberta.ca/Reseach.
Balai Besar TNGGP. 2004. Peta Aksesibilitas
ke kloroplas. Semakin besar luas daun dan semakin tinggi intensitas cahaya matahari, maka
maksimum.
242
Budidaya
Tanaman
Tropik.
Tohari
University
Press, Jogyakarta.
Hidayati, N., T. Juhaeti, & M. Mansur. 2009.
505.
(penerjemah).
Gadjah
Mada
19 November 2009.
jenis-jenis
pany. California.
Santilli, M., P. Moutinho, S. Schwartzman, D.
York.
16.
2011.
Gomez. 1976. Laboratory Manual for Physiological Studies of Rice. Third edition. The International Rice Research Institute. Philippines.
243
ABSTRACT
Four cream-coloured giant squirrel (Ratufa affinis) consisted of one male and three females used in this study to determine the effect of feeding alternatives on consumption, digestibility, and feed efficiency use. During the study
each of the animals was placed in individual cages equipped with sleeping box. Feed given were consisting of Guava
(Psidium guajava), sweet corn (Zea mays), coconut (Cocos nucifera), peanut (Arachis hypogea), cucumber (Cucumis
sativus), mung bean sprouts (Vigna radiata), and sunflower seed (Helianthus annuus). Feedstuffs are given based on
this animal preferences on the grain in its natural habitat. Feed given cafetaria and drinking water available ad libitum. Results showed that the average of dry matter consumed by male was 45.95 g / head / day and by female 39.14
g / head / day; rough protein by male 6.99 g / head / day and by female 5.76 g / head / day ; gross energy by male
2392 cal / head / day and by female 2116 cal / head / day. Feed efficiency use of male is 13,99% and female is
12,63%. The average of body weight gain of the male animal is higher than that of the female, namely 6.43 g / head /
day and 4.88 g / head / day respectively. The average value of digested organic matter or Total Digestible Nutrient
(TDN) was higher in the female animal, namely 95.41%, than that of the male, namely 92.68%; as well as digested
energy or Digestible Energy (DE) in the female animal was higher than that in the male, namely 93.60% and
91.17%, respectively.
Keywords: alternative feed, consumption, digestibility, Ratufa affinis
ABSTRAK
Empat ekor jelarang paha putih (Ratufa affinis) terdiri dari satu jantan dan tiga betina digunakan dalam penelitian ini
untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan alternatih terhadap konsumsi, kecernaan, dan efisiensi penggunaan
pakan. Selama penelitian yang berlangsung, masing-masing jelarang ditempatkan di dalam kandang individu yang
dilengkapai dengan kotak tidur. Pakan yang diberikan terdiri dari jambu biji (Psidium guajava), jagung manis (Zea
mays), kelapa (Cocos nucifera), kacang tanah (Arachis hypogea), ketimun (Cucumis sativus), tauge kacang hijau (Vigna
radiata), dan biji bunga matahari (Helianthus annuus). Pemberian bahan pakan tersebut berdasarkan kesukaan
jelarang akan biji-bijian di habitat aslinya. Pakan diberikan secara cafetaria dan air minum tersedia ad libitum. Hasil
penelitian menunjukkan rataan konsumsi bahan kering oleh jantan 45,95 g/ekor/hari dan betina 39,14 g/ekor/hari;
proteinn kasar oleh jantan 6,99 g/ekor/hari dan betina 5,76 g/ekor/hari; energi bruto oleh jantan 2392 kal/ekor/hari
dan betina 2116 kal/ekor/hari. Rataan Pertambahan bobot badan jelarang jantan lebih tinggi daripada betina masing
6,43 g/ekor/hari dan 4,88 g/ekor/hari. EPP jelarang jantan 13,99% dan betina 12,63%. Rataan nilai bahan organik
tercerna atau Total Digestible Nutrient (TDN) lebih tinggi pada jelarang betina 95,41% dibandingkan jelarang jantan
92,68%, demikian pula nilai energi tercerna atau Digestible Energy (DE) lebih tinggi pada jelarang betina 93,60%
dibandingkan jelarang jantan 91,17%.
Kata Kunci: pakan alternatif, konsumsi, kecernaan, Ratufa affinis
PENDAHULUAN
dentia, famili sciuridae yang penyebarannya meliputi Thailand Selatan, Semenanjung Malaysia,
oleh satwa tersebut di habitat aslinya. Berdasarkan jenis-jenis pakan di alam, di penangkaran
-lainnya).
Penelitian
ini
dilaksanakan
di
Pe-
Nordin 2004).
Gambar 1. Jelarang paha putih (Ratufa affinis Raffles, diberikan secara bebas pilh atau cafetaria (Leeson
1821) (Foto : W.R. Farida, 2011)
& Summer 1978). Penimbangan setiap jenis pa-
HASIL
mengetahui konsumsi pakan segarnya. Air minum tersedia ad libitum. Bobot badan jelarang
ditimbang pada awal dan akhir penelitian. Ana-
Komposisi
nutrien
bahan
pakan
penelitian jelarang dan konsumsi bahan segar dan
oleh jelarang.
(BETN)
Jumlah (g/hari/ekor)
80
100
40
20
15
15
40
310
tertera
LK
SK
Tabel
dan
hasil
Bhn pakan
BK
Abu
PK
BETN
(%)
EB
(kal/g)
Jambu biji
11,80
3,90
5,20
1,40
20,10
69,40
4.655
Jagung manis
20,67
3,03
14,16
7,16
1,62
74,03
4411
Kelapa
47,52
2,02
7,30
65,8
24,03
0,85
6.997
Kacang tanah
72,00
2,26
26,93
43,67
11,25
15,89
7.367
Ketimun
18,72
6,37
20,84
0,94
18,66
53,19
3.682
28,22
1,03
7,59
0,35
2,10
88,93
1.235
Biji matahari
90,99
3,10
25,30
9,30
3,30
59,00
3.884
247
pada Tabel 6.
Kebutuhan
Rataan
Peubah Jantan Betina 1 Betina 2 Betina 3 Betina
------------- (g/ekor/hari) -----------------BS
26,18 21,48 22,44 19,74 21,22
BK
6,56
6,02
6,05
4,70
5,59
Konsumsi (g/ekor/hari)
jelarang
yang
Jelarang
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
-
individu
Betina
hewan,
jenis
pakan,
dan
faktor
Ja
gu
ng
an
is
ta
na
h
ug
e
Ta
Ka
ca
ng
mb
u
bij
i
pa
Ja
Ke
la
Bi
ji b
un
ga
m
ata
ha
r
nutrien
16.00
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
-
Jantan
Betina 1
Betina 2
Betina 3
i
ji
h
e
is
ar
un
bi
pa
na
ug
an
u
ah
la
im
t
b
ta
e
m
at
Ta
K
m
g
g
Ke
m
n
n
Ja
ca
ga
gu
un
Ka
Ja
ii j b
B
Jantan
(g/ekor/hari)
5,00
6,10
9,06
8,62
1,74
8,02
7,40
45,95
(%)
10,89
13,27
19,72
18,76
3,79
17,46
16,10
100,000
Betina
(g/ekor/hari)
3,04
1,18
8,28
6,11
1,59
7,99
10,95
39,14
(%)
7,78
3,02
21,15
15,62
4,06
20,41
27,97
100,00
248
Jantan
Awal (kg)
Akhir (kg)
PBB (kg)
PBB (g/ekor/hari)
Betina 1
1,30
1,56
0,18
6,43
Jelarang
Betina 2
0,84
1,00
0,16
5,71
0,77
0,92
0,15
5,36
Betina 3
0,66
0,76
0,10
3,57
Rataan
Betina
0,76
0,89
0,14
4,88
Jelarang
Betina 2
Rataan
Betina
------------------------------- g/ekor/hari) --------------------------------45,95
42,16
42,35
32,90
39,14
44,46
40,96
41,18
31,96
38,04
1,49
1,20
1,17
0,94
1,10
6,99
6,95
5,98
4,36
5,76
10,65
10,62
11,76
7,93
10,10
6,27
4,95
4,94
4,05
4,65
20,56
18,44
18,50
15,63
17,52
2392
2303
2309
1737
2116
Nutrien
BK
BO
Abu
PK
LK
SK
BETN
EB (kal/ekor/hari)
Betina 1
Betina 3
Nutrien
Jantan
BO
Abu
PK
LK
SK
BETN
EB (kal/100 gram BK)
merupakan
ekspresi
Betina 3
merupakan
untuk
mempunyai
tentu
palabilitas
rangsangan
Betina 2
yang
ukuran
dan
Betina 1
yang
tinggi
tepat
belum
249
terefleksi
keringnya
(Gambar 3).
Church (1979) menyatakan,
konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa
betina.
konsumsi
dengan
(PBB)
betina.
(1985)
pada
bahan
konsumsi
kering
bahan
meningkat
mendefinisikan
badan
pertumbuhan
adalah
mengkonsumsi
dibandingkan
dengan
nutrien
lainnya.
Kandungan BETN yang tinggi dalam pakan
BETN
Kebutuhan
lemak
lebih
kasar
tinggi
bila
merupakan
kan.
250
Parakkasi (1983)
digunakan.
Daya cerna atau kecernaan adalah proporsi zat makanan yang tidak diekskresikan dalam
betina terlihat lebih besar daripada jelarang jantan. Hal ini dapat dijelaskan, jelarang betina me-
hewan
betina.
jantan
maupun
hewan
Tabel 8. Efisiensi penggunaan pakan (EPP) dan rasio efisiensi protein (REP) pada Jelarang
Jelarang
Peubah
Jantan
PBB (g/ekor/hari)
Konsumsi BK (g/ekor/hari)
EPP (%)
Konsumsi protein (g/ekor/hari)
REP (%)
6,43
45,95
13,99
6,99
92,01
Betina 1
Betina 2
6,07
42,16
14,40
6,95
87,36
5,36
42,35
12,65
5,98
89,65
Betina 3
3,57
32,90
10,85
4,36
82,00
Rataan
Betina
5,00
39,14
12,63
5,76
86,34
Tabel 9. Koefisien cerna bahan kering dan nutrien pakan pada jelarang
Jelarang
Nutrien
BK
Abu
Protein Kasar
Lemak Kasar
Serat Kasar
BETN
Rataan
Betina
----------------------------------- (%) --------------------------------86,24
90,91
93,67
85,37
89,98
61,49
67,81
71,27
48,22
62,43
85,73
89,92
91,37
81,17
87,49
97,99
98,83
99,26
97,91
98,67
46,52
61,46
80,41
70,20
70,69
94,23
96,14
95,83
92,28
94,75
Jantan
Betina 1
Betina 2
Betina 3
251
TDN
yang
beda, sehingga
perhitungan TDN jelarang
jantan maupun betina relatif tidak jauh berbeda
sehingga
TDN
(2003),
dalam urin.
adalah
dapat
semua
bahan
diasumsikan
organik
bahwa
Tabel 10. Energi bruto (GE), total digestible nutrient (TDN), dan digestible energy (DE)
Jelarang
Peubah
Konsumsi GE (kal/ekor/hari)
GE feses (kal/ekor/hari)
GE tercerna
DE (%)
DE (Mkal/kg BK)
TDN (%)
Jantan
2393,03
211,26
2181,77
91,17
4,09
92,68
Betina 1
2303,06
134,66
2168,40
94,15
4,25
96,38
Betina 2
2308,71
93,17
2215,54
95,96
4,36
98,82
Betina 3
1737,28
161,96
1575,32
90,68
4,01
91,03
Rataan
Betina
2116,35
129,93
1986,42
93,60
4,21
95,41
252
KESIMPULAN
Diapari.
2008.
Konsumsi
dan
di penangkaran.
monkey (Presbytis
rubicunda,
Mueller,
Inc.
Arora, SP. 1989. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Bogart, R., FR. Ampy, AF. Anglemier & WK.
Johnston, Jr. 1963. Some Physiological
York.
Bogor.
University Press.
Institut
Pertanian
Bogor,
254
Keragaman genetik beberapa aksesi Jagung dari Nusa Tenggara Timur bagian berdasarkan profil Inter Short Sequence Repeat (ISSR)
(Genetic diversity of several accessions of maize from East Nusa Tenggara based on Inter
Short Sequence Repeat (ISSR) profiles)
Kusumadewi Sri Yulita & BP Naiola
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi- LIPI , Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong 16911, Jawa Barat, Indonesia.
Tel. +62-21-8765056, Fax: +62-21-8765063, email: yulita.kusumadewi@gmail.com
Memasukkan: Maret 2013, Diterima: Juni 2013
ABSTRACT
Maize (Zea mays L.) has become second most important cereal crops after rice in Indonesia. Maize is a staple food
and the main crop in subsistence dry land farming system in Nusa Tenggara Timur (NTT). Previous survey suggested that NTT may have contained considereable amount of local landraces of maize that have not been well
recorded. Traditional farmers prefer to use traditional landraces than popular hybrid maize due to their superior
features such as less susceptible to weevil attack and well adapted to local environment. Hence, farmers were continuously grow local landraces to meet the demand for their food security. Information on diversity of local landraces is very important for improving landrace germ plasm. The objective of this study is to assess genetic and
phenotypic diversity of 15 accessions of maize from nine putative landraces collected from six locations in NTT
based on Inter Short Sequence Repeat (ISSR) fingerprints and few morphological charcters. Five ISSRs primers
(UBC 809, 822, 834, 876 and 892) were initially screened and two (UBC 809 and 834) were selected for the analysis. These primers generated 16 scorable bands with two monomorphic bands, i.e. UBC 809 at 700 bp and UBC
834 at 900 bp. Clustering analysis was performed based on ISSR profiles using the UPGMA method. The range of
genetic similarity value among accessions was 0.30-0.80 suggesting sufficient variation of gene pool existed among
accessions. Combined data set of ISSR and morphological data suggested a higher diversity with a cofficient of
distance range from 0.52 to 1.25. Same as a single data set deduced from ISSR profile, none of the accessions
were clustered according to their landraces nor their progeny.
Keywords: Maize, NTT, ISSR, genetic diversity
ABSTRAK
Di Indonesia, Jagung (Zea mays L.) merupakan sumber biji-bijan kedua terpenting setelah beras. Jagung bahkan
telah menjadi makanan pokok wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terkenal dengan sistem pertanian lahan
keringnya. Survai terdahulu menunjukkan bahwa di NTT terdapat beberapa jagung ras lokal yang belum terekam
sepenuhnya. Petani-petani tradisional lebih suka menggunakan jagung ras lokal dibandingkan jagung hibrid yang
lebih populer karena jagung ras lokal sudah terbukti tahan terhadap serangan sejenis kumbang dan juga sudah
teradaptasi dengan baik pada lingkungan yang kering. Oleh karena itu petani-petani lokal secara terus menerus
menggunaka jagung ras lokal untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Informasi mengneai keragaman plasma nutfah jagung ras lokal sangat penting untuk pengembangan plasma nutfah jagung. Tujuan dari peneliian ini
adalah untuk memperkirakan keragaman genetik dan fenotipik dari 15 aksesi jagung yang berasal dari sembilan ras
yang dikoleksi dari enam lokasi di NTT berdasarkan sidik Inter Short Sequence Repeat (ISSR) dan beberapa
karakter morfologi. Lima primer ISSR (UBC 809, 822, 834, 876 dan 892) diskrin dan dua diantaranya (UBC
809 dan 834) terseleksi untuk analisis. Primers ini menghasilkan 16 pita yang dapat diskor dengan dua pita monomorfik, yaitu UBC 809 pada ukuran 700 bp dan UBC 834 pada ukuran 900 bp. Analisis pengelompokkan
dibuat berdasarkan profil ISSR menggunakan metoda UPGMA. Jarak genetik berkisar antara 0.30-0.80 yang
menunjukkan adanya keragaman genetik yang cukup luas antar akesesi jagung. Analisis yang menggabungkan
profil ISSR dan karakter morfologi menghasilakan keragaman genetik yang lebih tinggi yang ditunjukkan lewat
koefisien jarang genetik yang lebih luas, yaitu antara 0.52-1.25. Sebagaimana halnya dengan data dari profil ISSR,
data gabungan juga menunjukkan bahwa seluruh aksesi tidak mengelompok berdasarkan rasnya atau progeninya.
Kata Kunci: Jagung, NTT, ISSR, keragaman genetik.
255
PENDAHULUAN
Jagung merupakan sumber pangan bijibijan kedua terpenting setelah beras, pemerintah
Indonesia bahkan telah mencanangkan swasembada jagung pada tahun 2007 (Swastika et al. 2004;
Azrai 2006). Jagung telah menjadi sumber karbohidrat utama di beberapa provinsi di Indonesia,
yaitu Jawa Timur, NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tenggara dan Papua. Saat ini ada lima provinsi
di Indonesia penghasil jagung terbesar, yaitu Propinsi Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur
(Rachman, 2003). Produksi jagung di Indonesia
mengalami kenaikan rata-rata 4.07% per tahun
sejak tahun 1970 hingga 2001 (Swastika et al.
2004) dan mencapai 1.4 juta ton pada tahun
2006 (AFSIS 2009). Kenaikan produksi ini terutama disebabkan oleh berkembangnya teknologi
dalam merakit varietas unggul, termasuk jagung
hibrida. Penanaman jagung hibrida dinyatakan
lebih menguntungkan daripada menanam jagung
bersari bebas atau varietas lokal
(Suhariyanto,
yang
cukup
ekstrim
(misalnya
tuk menghasilkan varietas unggul.. Pada prinsipnya varietas unggul atau hibrida unggul dirakit
dengan melalui tahapan evaluasi plasma nutfah
dan pemilihan tetua, pembentukan galur-galur
baru yang murni, pengujian multi lingkungan,
pelepasan varietas baru dan perbanyakan benih
(Febriani et al. 2008). Koleksi plasma nutfah jagung telah dilakukan sejak akhir abad 19 di Lembaga Pertanian Bogor dan saat ini dilanjutkan
oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik (BB Biogen) Bogor dan Balai Penelitian Tanaman Serelia
Maros. Jumlah koleksi plasma nutfah jagung nasional di kedua Lembaga tersebut masing-masing
886 dan 660 aksesi. Hal ini sangat jauh
dibandingkan dengan Lembaga International
Penelitian Jagung Mexico (CIMMYT) yang
memiliki koleksi sebanyak 11,000 aksesi dan
Amerika Serikat yang memiliki lebih dari 15,000
aksesi (Sutoro dan Zuraida).
Untuk wilayah
Sedangkan informasi
256
Kecamatan Amarasi, dan Desa Fatukona, Kecamatan Fatuleu), Desa Ekafalo Kabupaten Timor
(Gambar 1).
efisien.
jagung sebanyak 19 aksesi yang berasal dari sembilan ras dari enam lokasi di Pulau Timor (Naiola
fenotipiknya berdasarkan marka Inter Simple Sequence Repeats dan Simple Sequence Repeats
(mikrosatelit) (Zietkiewicz et al. 1994). Keuntungan utama dari marka ini adalah dapat
al. 2006).
siklus yang terdiri dari: fase denaturasi (940C selaBAHAN DAN CARA KERJA
257
Tabel 1. Daftar koleksi material DNA Jagung asal Pulau Timor berserta karakter bulir jagung..
Nomor
aksesi
Nama lokal
Lokasi
Panjang
Tongkol
(cm)
?
J1#1
Pena taume
J2#1
Pena masa
10.2
J4#1
Pena no seo
10.6
J5#1
Batarlai mean
J6#1
Pena pulu
J7#2
Pena boto
10.4
J8#1
Pena liat
J8#2
Pena liat
J9#1
J9#2
J9#3
Puti
J9#5
Pena muti
J10#1
Pena molo1
J10#2
Pena molo 2
15.6
J10#3
Pena molo
17.75
Warna
Rerata ukuran
bulir
Kuning, Putih
10x10
Kuning (majority),
Putih, ungu
Putih (majority),
Kuning
Putih, Kuning,
Ungu
Putih
8.8x8.4
8.2x8.3
8.3
Putih, Kuning,
Ungu
Putih, Kuning
8.0
Putih
6.8x7.3
10.2
Putih, Kuning,
Ungu
8.6x8.4
11.2
Putih
13.5
Kuning,
Kecoklatan, Putih
Kuning, Kuning
bercak putih
Kuning, kuning
bercak putih,
12.3
?
7.9x8.0
9.0x8.2
7.0x8.9
7.9x8
10.8x10.3
9.2x9.1
9.7x9.6
11.3x9.5
kesamaan Jaccard. Matriks kesamaan ini kemudian digunakan untuk membuat dendrogram UP-
methical average).
258
kor.
perlu dilakukan terutama untuk warna bulir jagung karena pada beberapa aksesi masih
dengan data matrix ISSR dan dihitung kesamaannya dengan program SIMINT (Similarity for
Analisis pengelompokkan
aksesi.
Analisis
HASIL
lompok (J92, Pena muti yang berasal dari Ekafalo). Kluster A (koefisien kesamaan ~44%) terdiri
Hasil analisis
Gambar 1. Foto gel elektroforesis genotipe jagung. a) UBC 809, b) UBC 822, c) UBC 834, M: GeneRuler 100bp
Plus (Fermentas). Nomor aksesi jagung sesuai dengan Tabel 1. Angka dengan warna merah, biru dan hijau
menunjukkan masing-masing warna adalah varietas jagung yang sama (Tabel Lampiran 1). Anak panah menunjukkan pita monomorfik.
259
JII
J82
J61
J102
J93
J21
J103
J91
J101
J41
J81
J51
J72
J95
J92
0.30
0.43
0.55
Jaccard Coefficient of Similarity
0.68
0.80
Gambar 2. Diagram pengelompokkan UPGMA berdasarkan profil ISSR pada jagung NTT. Nomor aksesi
sesuai dengan tabel 1. Garis putus-putus vertikal: garis referensi.
JII
J102
J101
J103
J61
J82
J41
J72
J51
J21
J91
J92
J93
J95
J81
0.52
0.71
0.89
Coefficient of DIST
1.07
1.25
Gambar 3. Diagram pengelompokkan UPGMA berdasarkan data ISSR dan morfologi pada jagung NTT. Nomor
aksesi sesuai dengan tabel 1. Garis putus-putus vertikal: garis referensi. Lingkaran menunjukkan
pengelompokkan yang sama dengan diagram ordinasi 3-dimensi (Gambar 4). Anak panah menunjukkan
aksesi yang terpisah dari kluster utama.
Kupang.
ogi 1.25.
amplifikasi menunjukkan profil DNA yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh perbe-
PEMBAHASAN
J93
J95
J82
J61
J51
J72
J101
JII
J102
J41
J103
J92
J81
J91
J21
Gambar 4. Diagram 3-dimensi PCA pada jagung NTT. Nomor aksesi sesuai dengan tabel 1 Lingkaran menunjukkan pengelompokkan yang sesuai dengan diagram pengelompokkan pada Gambar 4. Anak panah
menunjukkan aksesi yang terpisah dari kluster utama.
261
yang rendah.
sangat penting untuk dilakukan untuk mengetahui properti genetik suatu tanaman sebelum
aksesi
jagung
NTT
yang
DAFTAR PUSTAKA
AFSIS. 2009.
262
AFSIS, Bangkok.
104: 1064-1070.
s10528-006-9044-z
Teknologi.
Saefudin, & SB. Sulianti. 2012. Penyediaan Kebutuhan Pakan Ternak Berbasis
115.
ingkatan
Kemampuan
Peneliti
dan
(http://regional.org.au/au/asa/2010/
farming-systems/
interna-
15.
tional/7190_hosangey.htm#TopOfPage)
Isshiki, S., N. Iwata, & MMR. Khan. 2008.
ISSR variation in eggplant (Solanum
Rohlf, FJ. 1998. NTSYS-PC. Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis. Version
2.02i. New York: Exeter Software.
Y. Zhong. 2006.
263
lonica E. Frochlich.
Biodivers Conserv
DOI: 10.1007/s10531-010-9965-z
Ruswandi, D. N. Wicaksana, MB Pabendon, M.
Azrai, M. Rachmadi, A. Ismail, N. Carsono, F. Damayanti, & F. Kasim. 2005.
tein
sistance lines
491-498.
Yadav, PV., KU. Suprasanna , Gopalrao, & BV.
8(1): 63-68.
Zietkiewicz, E., A. Rafalski, & D. Labuda. 1994.
2000.
Sutoro & N. Zuraida. Penglolaan Plasma Nutfah
Jagung. Http://pustaka.litbang.deptan.go.
id/bppi/lengkap/bppi10252.pdf
Swastika, DKS., F. Kasim, K. Suhariyanto, W.
Genomics
20:176-183.
264
PENDAHULUAN
Himmah Rustiami
Sytsma 1999).
HASIL
hasil
penelitian
ini
diperoleh
Untuk
lokasi
penelitian
a:
dari
tanggal
koleksi.
Guna
melengkapi
dan
aliran
sungai
kecil.
Meski
begitu,
266
semuanya
berbuah.
Caryota
borneensis,
pogonacanthus, Daemonorops
Daemonorops sp. 1.
Pertelaan jenis palem
(1886)
PEMBAHASAN
sedang
dalam
keadaan
cm
no, Iguanura
Pinanga
panjangnya.
macrostachya, Licuala
tomentella,
Daun
Calamus
microstachys dan
sekitar
sepuluh
267
Himmah Rustiami
a.
b.
a.
b.
7
3
a.
Palem berperawakan pendek, tinggi hingga 50 cm, bagian anak daun mematatombak
b.
a.
Palem berperawakan tinggi, tinggi hingga 2 m, bagian anak anak daun meluncip ....
Daun menyirip ........................................................................................................
b.
a.
b.
a.
Palem tumbuh pendek, mencapai 75 cm saja, ujung anak daun membulat bergerigi
b.
Palem tumbuh tinggi, diatas 75 cm, ujung anak daun meruncing tetapi tidak terkoyak
7
8
Licuala borneensis
Licuala spinosa
6
Caryota no
7
8
Iguanura macrostachya
a.
Pinanga tomentella
Anak daun berbentuk belah ketupat, ujung anak daun terkoyak, palem layu setelah
berbunga .................................................................................................................
9
Anak daun berbentuk pita melanset, ujung anak daun meruncing, palem tidak layu
setelah berbunga .....................................................................................................
11
Okrea memeluk erat pada upih daun, menyerabut ......................................
Korthalsia rigida
b.
a.
b.
10 a.
b.
11 a.
b.
12 a.
b.
13 a.
b.
14 a.
b.
10
Diameter batang dengan upih daun sekitar 8 15 mm, tanpa upih daun sekitar 6 9
mm, okrea menggembung kecil, lebar 1.5 cm panjang 3 cm, berduri pendek dan jarang
Korthalsia rostrata
Diameter batang dengan upih daun sekitar 30 mm, tanpa upih daun sekitar 20 mm,
okrea menggembung sangat besar, lebar 5 cm panjang 10 cm, berduri hitam, panjang
dan padat ..........................................................
Korthalsia echinometra
Alat panjat atau kuncir terdapat pada ujung daun atau upih daun, seludang perbungaan
utama tidak membelah sampai ke dasar serta tidak mudah luruh, berbentuk seperti
tabung........................ ...................................... ..........................
12
Alat panjat atau kuncir terdapat pada ujung daun, seludang perbungaan utama
membelah sampai dasar serta mudah luruh, berbentuk pipih atau seperti perahu
15
Ujung daun berkuncir .............................................................................................
Calamus caesius
Ujung daun tidak berkuncir atau kuncir pada upih daun berkembang sempurna atau
tidak sempurna .....................................................................................................
13
Anak daun pada ujung daun menyatu paling sedikit sepertiga anak daun, kuncir pada
upih daun berkembang sempurna .........................................................................
Calamus javensis
Anak daun pada ujung daun tidak menyatu, kuncir pada upih daun berkembang
sempurna atau tidak sempurna .............................................................................
14
Diameter batang tanpa upih daun 2 6 mm, dengan upih daun 10 mm, jarak antar ruas
30 cm atau kurang. Upih daun hijau kelabu, berduri hitam mirip rambut, panjang 20
Calamus pogonacanthus
mm, kuncir pada upih daun tidak berkembang sempurna, panjang mencapai 30 cm
Diameter batang tanpa upih daun 25 35 mm, dengan upih daun 50 mm, jarak antar
ruas sangat panjang kadang melebihi 1 m. Upih daun hijau, berduri hitam kekuningan
pada pangkal, panjang hingga 5 cm dan lebar 1.5 cm, kuncir pada upih daun sangat
besar, hijau tua, panjang mencapai 7 m atau lebih ...................................................
Calamus scipionum
268
b.
13 a.
b.
14 a.
b.
Ujung daun tidak berkuncir atau kuncir pada upih daun berkembang sempurna atau
tidak sempurna .....................................................................................................
13
Anak daun pada ujung daun menyatu paling sedikit sepertiga anak daun, kuncir pada
upih daun berkembang sempurna .........................................................................
Calamus javensis
Anak daun pada ujung daun tidak menyatu, kuncir pada upih daun berkembang
sempurna atau tidak sempurna .............................................................................
14
Diameter batang tanpa upih daun 2 6 mm, dengan upih daun 10 mm, jarak antar ruas
30 cm atau kurang. Upih daun hijau kelabu, berduri hitam mirip rambut, panjang 20
Calamus pogonacanthus
mm, kuncir pada upih daun tidak berkembang sempurna, panjang mencapai 30 cm
Diameter batang tanpa upih daun 25 35 mm, dengan upih daun 50 mm, jarak antar
ruas sangat panjang kadang melebihi 1 m. Upih daun hijau, berduri hitam kekuningan
pada pangkal, panjang hingga 5 cm dan lebar 1.5 cm, kuncir pada upih daun sangat
besar, hijau tua, panjang mencapai 7 m atau lebih ...................................................
Calamus scipionum
bagian
tidak
hutan-hutan
daun
samping.
Perbungaan
di
Kalimantan
menyebabkan
269
Himmah Rustiami
(Kiew, 1976).
Status
konservasi.
Dikategorikan
sebagai
3.
Habitus
coklat
membundar telur.
percabangan
Brunei.
dah.
Thailand,
Licuala
spinosa
palem
kehijauan
wurmb.,
pohon
ketika
berikutnya;
Vietnam,
Verh.
Batav.
berperawakan
kering,
panjang
Semenanjung
berduri
tangkai
Malaya,
270
(1871)
nasi ketan.
1: 74 (1877)
yang
tidak
terlalu
memprihatinkan
(Least
(1886)
Nasional
dpl di Kalimantan.
dia berbuah.
Status
dpl di Kalimantan.
Nama lokal. Pinang hutan, Pelandau (Dayak
Bukit
Baka-Bukit
Raya,
Sintang,
Ransa).
Manfaat. Berpotensi sebagai tanaman hias karena
Himmah Rustiami
barang kerajinan tangan, tali menali serta menjahit atap. Sedangkan untuk skala industri lebih
tidak terlalu rapat atau jarang, diantara duri terdapat bulu-bulu berwarna abu-abu dengan sisik
mukaan atas daun hijau tua sedangkan permukaan bawah putih kebiruan. Perbungaan
illeg.
Nasional
Bukit
Baka-Bukit
Raya,
Sintang,
272
mengkilap.
(1902).
Palawan.
mendatar hingga duri menyegitiga ramping kurang dari 5 mm panjangnya, lutut terlihat jelas,
2000 m dpl.
Status Konservasi. Sampai saat ini belum ada
boretum.
termasuk tangkai daun 1 - 2 cm; anak daun sekitar 4 12 pada tiap sisi rakis, tersusun tidak
Himmah Rustiami
hingga 1.5 m terdiri dari hingga 8 bagian perbungaan yang tertata renggang dan agak teratur, selu-
di Kalimantan.
di dataran rendah, pada pinggiran sungai dan dalam kawasan yang sudah terganggu di dataran
200 m.
kipas.
sisik pada garis vertikal, sisik berwarna coklat seperti kayu manis dengan tepi sisik lebih gelap,
arboretum.
(1847).
Calamus fissus (Blume) Miq., Anal. Bot. Ind. 1:6
Status konservasi.
signifikan.
Belum
ada
data
yang
(1895).
est. Kalimantan:608.
275
Himmah Rustiami
signifikan.
data
yang
dapat rambut-rambut halus, bersisik jarang, terdapat garis-garis horizontal, duri-duri pada upih
luncip; panjang anak daun 27 33 cm, lebar kurang dari 2 cm, duri-duri halus pada permukaan
resin merah pada bijinya biasa dimanfaatkan untuk pewarna dan obat-obatan.
Kalimantan.
endosperma termamah.
Belum
ada
data
yang
signifikan.
pur.
Status
signifikan.
277
Himmah Rustiami
padat,
buah
bergelombang,
endosperma termamah.
Spesimen yang diamati. Bukit Simat, Taman
Nasional
Sintang,
bungaan
berwarna
membulat,
merah
kecoklatan;
permukaan
Bukit
Baka-Bukit
Status konservasi.
siginifikan.
Belum
Raya,
ada
data
yng
mencapai
80
cm
panjangnya,
(1843).
31 (1850).
Korthalsia
ferox
var.
malayana
Becc.
in
jenis ini.
land Selatan.
berukuran kecil.
Catatan. Rotan ini bisa dijumpai di dataran Kalimantan pada dataran rendah, berbukit, hutan
nifikan.
(1884).
pada tiap sisi rakis, berbentuk belah ketupat, panjang 20 cm dan lebar 10 cm dengan tangkai anak
Himmah Rustiami
akan terancam.
KESIMPULAN
an perbungaan, bagian perbungaan ramping, panjang 20 cm, lebar 1.5 cm, berbulu coklat keme-
cm, ditutupi oleh sisik coklat kemerahan, berjumlah 18 21 pada garis vertikal. Biji pan-
kondisi
berbuah.
Distribusi. Jenis ini dapat dijumpai di Kalimantan, bagian selatan Semenanjung Malaya dan Su-
matera.
tangan karena dapat dibelah hingga beberapa bagian, menurut informasi pendamping lapang
hutan
masih
bagus
karena
masih
Hanya sa-
Catatan. Dari perjalanan eksplorasi dapat disimpulkan bahwa Korthalsia echinometra banyak
mendominasi kawasan perbukitan hutan dipterokarp dari dataran rendah hingga dataran tinggi.
belum terancam
partment, Sandakan.
Dransfield J. 1986. A guide to collecting palms.
DAFTAR PUSTAKA
Biodiversity 5(1):11-56.
Kiew R. 1976. The genus Iguanura Blume. The
Gardens Bulletin Singapore 26: 191 230.
Mogea JP & de Wilde WJJO. 1982. Short report
A manual of the rattans of the Malay Peninsula. Forest Department, Kuala Lumpur.
281
PENDAHULUAN
adalah salah satu tumbuhan obat penting di Indonesia sebagai bahan baku pembuatan jamu. Salah
pirofosfat) seskiterpena siklik dalam jalur biosintesis seskuitepena di dalam jaringan tumbuhan,
Temu-temuan
(tumbuhan
Curcuma)
Andria Agusta
ditambahkan
2E,6E-3,7,11-trimetil-2,6,10-didekatrien-1-kar-
ke
dalam
diekstraksi
medium
dengan
tumbuh.
kloroform.
ROXB.
terilkan
kemudian
malt agar (CMMA) yang mengandung kloramfenikol (0.05 mg/mL), lalu diinkubasi pada suhu
temu
hitam,
Curcuma
permukaannya
aeruginosa
tersebut
Jamur endofit Botryosphaeria sp. CA2C-3 diidentifikasi berdasarkan observasi morfologi dan anali-
dalam
pelarut
d6-CHCl3.
Geseran
kimia
HASIL
kemampuan
jamur tersebut.
gas
farnesol
diidentifikasi
dengan
teknik
hasil
pemisahan
untuk
melakukan
transformasi
ekstrak
Spektrum 1H-RMI produk utama memperlihatkan adanya 12 sinyal proton (Tabel 1).
Sedangkan spektrum
Gambar 1.C
13
C-RMI memperlihatkan
PEMBAHASAN
Proses
biotransformasi
2E,6E-farnesol
sintesis.
Andria Agusta
produk
10,11-dihidroksibiotransformasi 2E ,6E -farnesol*
biotransformasi
memperlihatkan
pola
yang
5.15 (m)
5.18 (m)
5.17 (m)
1.42 (m)
10
5.09 (m)
12
1.68 (s)
1.69 (s)
1.68 (s)
13
1.60 (s)
1.60 (s)
1.60 (s)
Senyawa intermediet
10,11-epoksi
2E,6E-farnesol
10,11-dihidroksi-2E,6E-farnesol
oleh
2).
Hal
ini
dibuktikan
dengan
sesaat
setelah
10,11-epoksi-2E,6E286
C-1
58.9
59.2
59.0
2E,6E-3,7,11-trimetil- 2,6,10-dodekatrien-1,13
C-2
124.3
124.2
124.1
C-3
139.5
138.5
138.4
C-4
31.9
39.2
39.2
C-5
26.3
25.5
25.5
C-6
124.3
125.1
124.9
C-7
135.9
134.9
134.8
C-8
32.2
36.4
36.4
C-9
26.6
28.9
29.0
C-10
124.0
77.4
77.4
untuk
C-11
131.4
73.1
73.1
C-12
25.6
26.3
26.2
C-13
17.6
23.1
23.0
C-14
16.2
17.7
15.8
C-15
15.9
15.7
15.7
* Miyazawa et al ., 1996
5
9
10
11
13
OH
mengaktifkan
enzim-enzim
pada
14
15
HO
OH
OH
KESIMPULAN
HO
12
2E,6E-farnesol
10,11-epoksi-
10,11-dihidroksi-
2E,6E-farnesol
2E,6E-farnesol
10,11-dihidroksi-2E,6E-farnesol.
10,11-Dihidroksi-2E,6E-farnesol
pertama kali dilaporkan sebagai produk
biotransformasi
-epoksi-2E,6E-farnesol.
2E,6E-farnesol
oleh
jamur
bahwa
jamur
patogen
UCAPAN TERIMAKASIH
pada
maceutical
2E,6E-farnesol.
Di
pihak
Helmintosporium
sativum
5,11-dihidroksilain
dilaporkan
Science,
Fukuyama
University,
jamur
dapat
Andria Agusta
DAFTAR PUSTAKA
Madyastha, KM. & TL. Gururaja. 1993a. Transformation of acyclic isoprenoids by Aspergil-
1250-1318.
Dewick, PM. 1997. Medicinal Natural Products,
181-222.
5055-5065.
Zhang, HW., YC. Song and RX.Tan 2006. Biology and Chemistry of the endophytes. Nat.
Prod. Rep. 23, 753.
288
Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti
(Habitat of Malayan Sun Bear at Conservation Area of IUPHHK-HTI PT. RAPP Meranti
Estate).
Nur Anita Gusnia1), Agus Priyono Kartono2), & Harnios Arief2)
Mahasiswa Mayor KVT IPB Bogor, Email: anita_gusnia@yahoo.com
Staf Pengajar Mayor KVT IPB Bogor, Email: apkartono@yahoo.co.id, harniosarief@yahoo.co.id
1
ABSTRACT
The malayan sun bear (Helarctos malayanus Raffles 1821) in Indonesia is only be found on the island of Sumatera
and Borneo. Malayan sun is under threat either caused by natural or human disturbance. The objectives of this study
were to identify the presence and habitat use assess dominant habitat components that affect sun bear's population.
The studied comprises of vegetation analysis, line transect, field observation and drawing the habitat profile. The existence of sun bear data was collected by indirect encounter. Habitat used by sun bear was both on Tall Pole Forest/
TPF) and pet swamp transition forest (TRF) vegetation type. Sun bear only used trees on their daily activity with
average height and diameter was 20 m and 51 cm respectively. Based on factor analysis, the dominant habitat factors
that determined the existence of sun bear were vegetation density, canopy cover, the amount of tree and feeding tree
individual and the amount of tree and feeding tree species.
Keywords: Dominant factors, habitat use, Helarctos malayanus, Meranti Estate.
ABSTRAK
Keberadaan beruang madu (Helarctos malayanus Raffles 1821) di Indonesia dapat ditemukan di Pulau Sumatera dan
Kalimantan. Beruang madu mengalami berbagai ancaman populasi dan habitat baik yang terjadi secara alami maupun akibat manusia. Upaya konservasi yang dilakukan perlu didukung oleh informasi ilmiah mengenai keberadaan
populasi dan kondisi habitat yang sesuai bagi spesies tersebut sehingga dapat disusun suatu strategi pengelolaan yang
efektif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan beruang madu di Estate Meranti,
penggunaan ruang beruang madu dan faktor dominan habitat penduga keberadaan beruang madu di Estate Meranti.
Metode penelitian yaitu analisis vegetasi, transek jalur, observasi lapang dan pemetaan diagram profil habitat.
Keberadaan beruang madu diketahui melalui perjumpaan tidak langsung. Beruang madu menggunakan ruang baik
pada tipe vegetasi hutan tiang tinggi (TPF) maupun transisi dengan gambut (TRF). Vegetasi yang dijadikan tempat
beraktivitas yaitu pohon dengan ketinggian rata-rata 20 m dan diameter rata-rata 51 cm. Komponen habitat yang
paling berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu yaitu kerapatan vegetasi, penutupan tajuk rata-rata, jumlah
jenis pohon dan pohon pakan serta jumlah individu pohon dan pohon pakan.
Kata kunci: beruang madu, Estate Meranti, faktor dominan, penggunaan ruang.
PENDAHULUAN
Gusnia, dkk.
Estate Meranti (Estate Meranti) merupakan kawasan seluas 9123,052 hektar yang merupakan bagi-
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai sebaran populasi, kondisi
madu.
aspek
Augeri
abiotik (kedalaman gambut, jarak lokasi perjumpaan beruang dari jalan, sungai dan kawasan
penggunaan habitat.
penggunaan
ruang.
Menurut
permasalahan-permasalahan
Berdasarkan
290
tak dan pemetaan diagram profil habitat. Ketentuan ukuran petak contoh analisis vegetasi untuk tingkat semai (tinggi <1,5m) 2m x 2m, ting-
HASIL
S. Sangar, S. Serkap, S. Turip dan Tanjung Rimba. Berdasarkan tipe variasi lokal vegetasi
Tanjung Bunga.
maan komunitas (Index of Similarity) serta keanekaragaman jenis vegetasi dengan pendekatan In-
Data
komponen
abiotik
dianalisis
secara
Gusnia, dkk.
Karakteristik Habitat
Observasi lapang yang dilakukan di Estate
Meranti menemukan beberapa sumber pakan
beruang madu secara umum, yaitu tumbuhan,
kelulut (Trigona spp), capung dan rayap. Berdasarkan inventarisasi vegetasi dan studi pustaka
yang telah dilakukan, jenis tumbuhan yang menjadi sumber pakan bagi beruang madu di Estate
Meranti sejumlah 34 jenis yang termasuk dalam
18 genus dan 17 famili. Genus dan famili yang
paling banyak dijumpai yaitu genus Syzygium dan
famili Myrtaceae. Jenis yang termasuk dalam genus dan famili tersebut yaitu kelat kelam
(Syzygium sp.1), S. inophyllum, jambu-jambu (S.
claviflorum), nasi-nasi (S. zeylanicum), samak
(Syzygium sp.2) dan A. acuminatissima.
Sumber air bagi beruang madu di Estate
Meranti berupa air permukaan (sungai, kanal,
genangan) maupun air yang terkandung di dalam
pakannya. Estate Meranti menjadi daerah yang
dialiri oleh beberapa sungai yaitu Sungai Kampar,
S. Kutup, S. Serkap, S. Turip dan S. Sangar. Areal
Nama Lokal
Total
292
Famili
20
buhan pohon.
Kerapatan total pada setiap tingkat pertumbuhan vegetasi di TPF dan TRF disajikan pada
terbanyak
berupa
koyakan
dan
cakaran
tidak tersembunyi dari cahaya matahari. Berdasarkan klasifikasi dari Augeri (2005), jejak beruang
madu terbanyak ditemukan pada penutupan tajuk
tipe 2 yaitu sebanyak 17 jejak. Habitat dengan
penutupan tajuk tipe 2 termasuk kawasan yang
cukup rindang dengan jumlah pohon rata-rata 1,3
-2,4 pohon/100m2 atau 26-50% lahan tertutup
oleh tajuk.
Kedalaman gambut pada lokasi penelitian
Gambar 3. Jumlah individu vegetasi di Estate Meranti
Indeks
TRF
6,186
5,821
8 8,386
3,024
2,765
3,3
0,804
0,784
0,9 0,922
Tingkat Pertumbuhan
3,49
Semai
Pancang
Tipe Vegetasi
TPF
TRF
14341
14167
2620
3528
Tiang
293
226
Pohon
129
122
293
Gusnia, dkk.
pohon (X5), jumlah jenis pohon (X6), jumlah individu pohon pakan (X7) dan jumlah jenis pohon
Seluruh
jejak
beruang
madu
PEMBAHASAN
Keberadaan populasi beruang madu di Areal Konservasi Estate Meranti dibuktikan dengan
sebanyak 5 jejak.
madu yang ditemukan berupa cakaran dan koyakan pada pohon serta tapak kaki pada per-
Ketinggian
memiliki
294
dan
diameter
pohon
Gambar 4. Peta sebaran beruang madu berdasarkan: kedalaman gambut (A), jarak dari jalan (B), jarak dari sungai
(C ) jarak dari kawasan produksi (D) dan penggunaan ruang oleh beruang madu di Areal Konservasi Estate
Meranti (E)
Gusnia, dkk.
luruhan
area
kekayaan
biotik
dari
suatu
beraturan (irregular circle). Kedua posisi tajuk tersebut menunjukkan bahwa pohon dengan jejak
yang dapat menunjukkan potensi fotosintesis pada pohon, sedangkan posisi tajuk pohon di-
Tabel 4. Karakteristik ruang yang sering digunakan oleh beruang madu di Estate Meranti
No
Biotik
- kerapatan vegetasi 104-140 pohon/hektar
- bentuk tajuk tipe 4 (lingkaran tidak beraturan/irregular circle).
- posisi tajuk pohon tipe 4 (full overheadlight)
- penutupan tajuk tipe 2 (jumlah pohon 1,3-2,4 individu/100m2
atau 26-50% lahan tertutup oleh tajuk)
- jumlah individu pohon 41-57 individu
- jumlah jenis pohon 18-23 jenis
- jumlah individu pohon pakan 36-51 individu
- jumlah jenis pohon pakan 12-15 jenis
Abiotik
- kedalaman gambut <8 m
- jarak dari jalan akses < 1,5 km
- jarak dari sungai <1,5 km
- jarak dari kawasan produksi < 1,5 km
296
dang.
beruang
Kawasan dengan kedalaman 8m atau lebih merupakan kawasan yang semakin mendekati kubah
but.
madu.
dan
madu
atribut
dengan
lanskap
frekuensi
dari
habitat
tertinggi
tersebut
dan
untuk
bagi beruang madu sehingga beruang madu menjadikan kawasan tersebut sebagai habitatnya. Hab-
kawasan
perlu
diperhitungkan
297
Gusnia, dkk.
Komponen habitat yang berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu yaitu kerapatan
vegetasi, penutupan tajuk rata-rata, jumlah individu pohon dan pohon pakan, serta jumlah jenis
pohon dan pohon pakan. Seluruh komponen
habitat
yang
paling
berpengaruh
terhadap
298
tujuan utama dari keberadaan HTI tersebut sehingga tidak akan memberi output yang sama
dengan hutan konservasi.
KESIMPULAN
Keberadaan beruang madu pada suatu habitat sangat dipengaruhi oleh komponen biotik dan
abiotik suatu habitat. Populasi beruang madu di
Areal Konservasi IUPHHK-HTI Estate Meranti
menyebar di kedua tipe variasi lokal vegetasi TPF
dan TRF pada sempadan Sungai Kutup, S. Sangar, S. Serkap dan S. Turip. Beruang madu
menggunakan ruang baik pada tipe vegetasi TPF
maupun TRF. Komponen habitat yang paling
berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu
yaitu kerapatan vegetasi, penutupan tajuk ratarata, jumlah individu pohon, jumlah jenis pohon,
jumlah individu pohon pakan dan jumlah jenis
pohon pakan dan jarak dari kawasan produksi.
Ruang yang paling sesuai sebagai habitat beruang
madu dengan komponen biotik dan abiotik terlengkap terdapat pada tipe vegetasi TPF.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada PT. Riau Andalan Pulp & Paper dan Tropenbos International Indonesia Programme yang
telah memfasilitasi penelitian ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada staf dan pimpinan Departemen Forest Protection PT. RAPP
Estate Meranti atas akomodasi dan transportasi
yang telah diberikan sehingga dapat memudahkan
penulis dalam pengambilan data.
DAFTAR PUSTAKA
UK.
15: 237-241.
Servheen, C. 1998. Sun Bear Conservation Action
Home range, movement and activity patterns, and bedding sites of Malayan sun bears
299
Gusnia, dkk.
Lampiran 2. Indeks Nilai Penting pada setiap tingkat pertumbuhan vegetasi di Estate Meranti
No
Nama Ilmiah
DR (%)
INP (%)
SEMAI
1 Syzygium inophyllum
Kelat putih
13,12
2 Acmena acuminatissima
Kelat merah
13,03
3 Stemonurus secundiflorus
Pasir-pasir
10,25
PANCANG
1 Syzygium inophyllum
11,74
Kelat putih
2 Ilex cymosa
Mesio
10,32
3 Stemonurus secundiflorus
Pasir-pasir
7,89
TIANG
1 Syzygium inophyllum
Kelat putih
10,49
2 Stemonurus secundiflorus
Pasir-pasir
10,49
3 Madhuca motleyana
Bengku
10,49
POHON
1 Madhuca motleyana
Bengku
12,69
2 Syzygium inophyllum
Kelat putih
10,55
3 Shorea teysmanniana
Meranti bunga
7,36
TRANSITION FOREST (TRF)
SEMAI
1 Acmena acuminatissima
Kelat merah
19,91
2 Ilex cymosa
Mesio
15,38
3 Syzygium inophyllum
Kelat putih
13,57
PANCANG
1 Syzygium inophyllum
Kelat putih
11,92
2 Dacryodes rostrata
Kedondong
18,6
3 Acmena acuminatissima
Kelat merah
9,59
TIANG
1 Mangifera griffithii
Salakeo
10,23
2 Shorea teysmanniana
Meranti bunga
6,82
3 Syzygium inophyllum
Kelat putih
9,09
POHON
1 Blumeodendron tokbrai
Tempurung bi
7,89
2 Acmena acuminatissima
Kelat merah
7,37
3 Shorea teysmanniana
Meranti bunga
6,32
300
10,13
9,7
10,34
23,25
22,73
20,59
9,97
8,41
9,19
21,71
18,73
17,08
9,76
9,76
9,09
10,79
9,96
9,94
31,03
30,21
29,52
9,45
10,14
6,58
10,92
8,32
10,14
33,05
29,01
24,07
12,87
11,88
9,9
32,78
25,29
25,46
13,01
4,88
9,76
24,93
23,48
19,35
10,84
7,23
6,02
11,79
9,87
7,51
32,86
23,92
22,63
5,13
5,77
6,41
5,83
5,66
5,52
18,86
18,8
18,24
Vocalizations of Microhyla achatina Tschudi, 1838 (Anura: Microhylidae) from the foot
hills of Mount Salak, West Java
[Vokalisasi kodok Microhyla achatina Tschudi, 1838 (Anura: Microhylidae) asal kaki
Gunung Salak, Jawa Barat]
Hellen Kurniati
Museum Zoologicum Bogoriense, Research Center for Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI),
Widyasatwaloka Building, Jalan Raya Cibinong Km 46, Cibinong 16911, West Java, Indonesia.
E-mail: hkurniati@yahoo.com
Recived June 2013, Accepted August 2013
ABSTRACT
Vocalizations Microhyla achatina have never been described before. The advertisement calls of six individual males of
M. achatina which originated from the foot hills of Mount Salak, West Java were recorded in September 2011 at air
temperatures of 21.0C-23.4C. Call components were obtained from 95 calls, consisting of 855 pulses, which were
then analyzed to obtain the characteristics of sound waves by using software of Adobe Audition 3.0 and SAP2011.
Sound waves of M. achatina mainly consists of impulses whose sound spectrum ranges from 1327.5-2789.1 Hz,
while the band width of the spectrum is 1461.6 Hz. Results of the analysis showed that the frequency of the three
pulse-forming elements (dominant frequency, maximum frequency and minimum frequency) was markedly modulated; frequency modulation was clearly visible in the minimum frequency, which was modulared by 1500 to 2700
Hz modulation. The modulation of the dominant frequency and the maximum frequency was not too broad, i.e.
between 3000-3500 Hz. Results of linear regression analysis of the dominant frequency versus minimum frequency
and dominant frequency versus maximum frequency showed a strong correlation between the dominant frequency
versus minimum frequency, but a weak correlation between the dominant frequency versus the maximum frequency.
Keywords: vocalization, Microhyla achatina, West Java.
ABSTRAK
Vokalisasi jenis kodok M. achatina belum pernah dideskripsikan sebelumnya. Suara dari enam individu jantan M.
achatina asal kaki Gunung Salak, Jawa Barat direkam pada bulan September 2011 pada suhu udara 21,0C-23,4C.
Komponen suara yang didapat terdiri dari 95 suara panggilan dan 855 pulse, yang kemudian dianalisa untuk
mendapatkan ciri gelombang suaranya dengan menggunakan perangkat lunak Adobe Audition 3.0 dan SAP2011.
Gelombang suara jantan M. achatina bertipe impulse dengan spektrum suara panggilan berkisar dari 1327,5-2789,1
Hz, sedangkan lebar spektrum adalah 1461,6 Hz. Hasil analisis gelombang suara memperlihatkan frekuensi dari tiga
unsur pembentuk pulse (frekuensi dominan, frekuensi maksimum dan frekuensi minimum) terdapat modulasi;
modulasi ini terlihat jelas pada frekuensi minimum, yang mana modulasi ini pada kisaran 1500-2700 Hz. Modulasi
pada frekuensi dominan dan frekuensi maksimum tidak terlalu besar, yaitu antara 3000-3500 Hz. Hasil analisis
regresi linier dari parameter frekuensi dominan dengan frekuensi minimum dan frekuensi dominan dengan frekuensi
maksimum memperlihatkan korelasi yang kuat antara frekuensi dominan dengan frekuensi minimum; sedangkan
korelasi lemah antara frekuensi dominan dengan frekuensi maksimum.
Kata kunci: vokalisasi, Microhyla achatina, Jawa Barat
INTRODUCTION
The Javan Chorus Frog, Microhyla achatina Tschudi, 1838 (Figure 1) is not a forest frog;
Hellen Kurniati
used to calculate parameters of sound waves, included the maximum and minimum frequency,
Mumpuni 2004).
analysis was used to test every parameter that produced wave characters. Linear regression analysis
achatina call in a dense chorus; usually they release their advertisement calls in a rice field, along
tion.
efficient of Variance (CV) were calculated to determine the "static" and "dynamic" of vocaliza-
1991).
Kuramoto & Joshy (2006), M. orientalis by Matsui et al. (2013), M. malang and M. petrigena by
tion of the calls, such as call duration, call interval, pulse duration, pulse interval, pulse period
RESULTS
es from 1327.5 to 2789.1 Hz, while the bandwidth of the sound spectrum is 1461.6 Hz. The
Figure 2. Duration of the sound wave measurements (an example is the call on frogs Anomaloglossus bebeei) by Pettitt et al. (2012).
Figure 3. Waves of one pulse which has seven periods of advertisement call of M. achatina from West Java.
303
Hellen Kurniati
showed a strong correlation between the dominant frequency versus minimum frequency
frequency
versus
maximum
frequency
was also supported by the results of CV ratio value of the dominant frequency of 18% and the
minimum frequency of 28%, but it was not supported by the maximum frequency of 11% (Table
1). According to Gerhardt (1991), vocalizations
are "dynamic" when CV ratio 12%. and static
when CV ratio <12%. Static parameters are call
variables with low values of are more likely to be
used for species recognition, because they remain
Figure 4. Oscillogram of an advertisement call that has nine pulses of M. achatina from West Java.
Figure 5. Audiospectrogram or sound spectrum of advertisement call of M. achatina from West Java.
304
hout 2006).
DISCUSSIONS
was later revised to a new species, namely M. malang (Matsui 2011), M. petrigena by Dehling
Frequency
5000
4000
3000
2000
1000
0
1
Dominant Frequency
4
Pulse Sequence
Minimum Frequency
Maximum Frequency
Figure 6. Result of analysis software SAP2011: dominant frequency, minimum frequency and the maximum frequency of one advertisement call of M. achatina that consisted of seven pulses.
4500
4000
Frequency
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
1
27
53
79 105 131 157 183 209 235 261 287 313 339 365 391 417 443 469 495 521 547 573 599 625 651 677 703 729 755 781 807 833
Pulse Sequence
Dominant Frequency
Minimum Frequency
Maximum Frequency
Figure 7. Dynamics of the dominant frequency, minimum frequency and maximum frequency of 855 pulses of 95
advertisement calls on six individual males of M. achatina.
4500
y = 0.4637x + 2234.3
4000
R = 0.3914
3500
3000
2500
2000
1500
y = 0.8178x - 387.4
1000
R = 0.557
500
0
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
Dominant Frequency-Hertz
Minimum Frequency
Maximum Frequency
Figure 8. Results of linear regression of the dominant frequency versus the minimum frequency and the maximum
frequency of 95 advertisement calls on six individual male of M. achatina consisting 855 pulses.
305
Hellen Kurniati
their calls.
Based on comparison of genetic distances
ly, frog species that has large body size will have
calling frequencies lower than the frequency of
2).
which is a series of pulses, but the maximum energy and the dominant spectral frequencies on M.
306
Table 2. Comparison of genetic distance (in %) of M. achatina with its relatives that are found in Asia by using
16S rRNA fragments (892 bp), based on Matsui et al. (2013).
Species
Microhyla
borneensis
Microhyla
heymonsi
Microhyla
malang
Microhyla
ornata
Microhyla
orientalis
Microhyla
petrigena
Micryleta
innornata
Microhyla
achatina
8.2
10.7
9.7
12.1
7.3
15.8
17.2
Figure 9. Oscillogram of advertisement call: (A) Microhyla orientalis; (B) Microhyla borneensis; (C) Microhyla malang; (D) Microhyla achatina.
ACKNOWLEDGEMENTS
(Amphibia:
Anura:
Microhylidae).
Many thanks are given to Alex Sumadijaya for his help to find some literatures that related
REFERENCES
lu.
Iskandar, DT. 1998. The amphibians of Java and
Berry. PY. 1975. The amphibian fauna of Peninsular Malaysia. Tropical Press. Kuala Lumpur.
308
(Bajipe, India)
Microhyla
nepenticola
(synonim= M.
borneensis)
(Sarawak,
Borneo)
Microhyla
ornata
(Thailand)
Microhyla
heymonsi
(West Java)
Microhyla
achatina
Species
25.5C
22.1-24.9
28.0C
21.0C-23.4C
1-1.5
1.1 0.4
(0.52.1)
10.612.8 mm
20.0-21.5 mm
(Berry 1975)
20-22 mm
SVL of males
290 21
696736
480
375 42.4
(259508)
call duration
(ms)
12.1 0.64
11
8.5 0.8
(611)
Number of
pulse/call
26 1
Pulse length
(ms)
38.1 1.09
23
21.6 2.6
(16.930.3)
1000-4000
30005500
1700-3000
1327.5-2789.1
2976 143.1
(27183375)
Source
Heyer (1971)
-A total number of 95
calls that consis-ted of
855 pulses were
analyzed.
Remark
2. No marked frequency
-A total number of 13
calls were analyzed.
modulation; the call did not
show a clear harmonic
structure, but had a wide range
(ca. 1-4 kHz) of dominant
frequencies, which become
narrower (ca. 2-3 kHz) toward
later pulses.
Kuramoto &
1. A series of pulse group
-Males called from
(notes) each consisting of short banks adjacent to water Joshy (2006)
and fast repeating pulse
or from a floating
posture in water.
2. No marked frequency
modulation within and
between the single pulses
2. No marked frequency
modulation within and
between the single pulses
Energy
Vocalization type
maximum (Hz)
Table. 3. Comparison of vocalization on M. achatina from West Java with its relatives in the Family Microhylidae that are found in Asia.
Hellen Kurniati
(synonim=
Micryleta
innornata )
(Southern tip of
Taiwan)
Microhyla
borneensis
(synonim= M.
malang)
(Sarawak,
Borneo)
Microhyla
innornata
(Sarawak,
Borneo)
23.0 1.14 mm
(Inger &
Stuebing 2005)
17-18 mm
25.0C
23.524.7C
1.2 0.1
(1.11.4)
1390 270
(1110-1920)
169 37
(104242)
133 28
(69174)
540 130
(370970)
04-Okt
06-Agust
12.1 3.0
(617)
30.3 1.4
(27.732.2)
89 5
(80100)
4400-5700
1400-2900
3800-4600 to
45005100
10005300
2430
2404 94
(22502530)
4430 322
(38505050)
2. No marked frequency
modulation within and
between the single pulses
2. Modulation of frequencies is
lacking. The dominant and the
second harmonic were slightly
lower at the very beginning.
The third harmo-nic was weak
in the proximal two thirds and
strengthened in the terminal
third, but was too weak to be
detected in so
Dehling, (2010)
-A total number of 76
calls were analyzed.
Wang et al.
(1989)
Sukumaran et
al. (2010)
-A total number of 33
calls were analyzed.
2. No marked frequency
modulation within and
between the single pulses
1721 mm
0.66 0.08
(0.520.83)
0.07 0.01
(0.010.08)
Microhyla
malang
24.1C
26.0C
2. No marked frequency
modulation within and
between the single pulses
14-16 mm
1617 mm
(Sarawak,
Borneo)
Microhyla
petrigena
(Bali)
Microhyla
orientalis
Table. 3
309
Hellen Kurniati
Threatened
Species,
Version
2012.2,
Marquez, R & XR. Eekhout. 2006. Advertisement calls of six species of anurans from Bali,
71-83.
Kuramoto, M. & SH. Joshy. 2006. Morphological and acoustic comparisons of Microhyla
ornata, M. fissipes, and M. okinavensis
(Anura: Microhylidae). Cur. Herpet. 25: 15
27.
Kurniati, H., W. Crampton, A. Goodwin, A.
Locket & A. Sinkins. 2000. Herpetofauna
113128.
repertoire
Liem, DSS. 1973. The frogs and toads of Tjibodas National Park Mt. Gede, Java, Indonesia. The Philippine J. Sci. 100 (2): 131-161.
of
the
golden
rocket
frog
194.
Wang, C-S., S-H. Wu & H-T. Yu. 1989. Notes
on Microhyla inornata Boulenger (Anura:
Microhylidae) in Taiwan. J. Herpet. 23 (4):
342-349.
310
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)
yang Diberi Tambahan Pakan konsentrat
(The Physical and Chemical Characteristics of Sunda Porcupine Meat (Hystrix
javanica F. Cuvier, 1823) Given Additional Concentrate Feed)
Wartika Rosa Farida
Pusat Penelitian Biologi LIPI, Jl. Raya Jakarta-Bogor KM 46, Cibinong 16911. E-mail: wrfarida@indo.net.id
ABSTRACT
This study is aimed to determine the effect of additional concentrate feed on the physical and chemical characteristics
of sunda porcupine meat. The material used is eight sunda porcupines (two males and six females) divided into two
groups of ration treatment, namely T0 (control ration) and T1 (T0 + koi fish pellets). Four porcupines (one male
and three females) were given control ration (T0) and four porcupines were given rations T1. The experimental design was a completely randomized design. The meat physical characteristics measured were pH, tenderness, cooking
loss, water holding capacity (WHC), meat color, and fat color. While meat chemical characteristics analyzed were
water content, ash, protein, fat, gross energy, calcium (Ca), phosphorus (P), iron (Fe), the content of fatty acids
(EPA, DHA, Omega-3, Omega-6, Omega-9, and cholesterol), as well as the composition of amino acids. Data were
analyzed by analysis of variance. The results showed no significant differences (P> 0.05) between male and female
porcupine with both ration treatments (T0 and T1) on pH, tenderness, cooking loss, WHC, meat color, and fat
color. The addition of koi fish pellets in the ration T1 decreased pH value (65.76) and cooking losses (37.88%), and
increased WHC porcupine meat (23.59%). Porcupine meat is quite tender with tenderness values of 3.63 kg / cm2
(T0) and 3.26 kg / cm2 (T1). The averages of water content, ash, protein, fat, energy, Ca, P, Fe of porcupine meat
were not significantly different (P>0.05) in both treatments T0 and T1. The averages of fatty acids contents of porcupine meat with T1 was not significantly different (P>0.01) from that of T0, but there was an increase in the concentration of EPA, DHA, omega-3, omega-6, omega-9, and cholesterol in treatment of T1. Cholesterol content of
porcupine meat was lower than that of beef, pork, lamb, sambar deer, and java deer. No significant effect (P> 0.05)
on content of amino acids in meat porcupine with T1 compared to that of T0.
Keywords: Physical-chemical characteristics, meat, concentrate feed, sunda porcupine
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tambahan pakan konsentrat terhadap sifat fisik dan
kimia daging landak jawa. Materi penelitian yang digunakan adalah delapan ekor landak jawa (dua jantan dan enam
betina) dibagi dua kelompok perlakuan ransum, yaitu ransum kontrol (T0) dan ransum kontrol + pelet ikan koi
(T1). empat ekor landak (satu jantan dan tiga betina) diberi ransum kontrol (T0) dan empat ekor landak diberi
ransum T1. Rancangan percobaan adalah rancangan acak lengkap. Sifat fisik daging yang diukur adalah pH,
keempukan, susut masak, daya mengikat air (DMA), warna daging, warna lemak, sedangkan sifat kimia daging yang
dianalisis adalah kadar air, abu, protein, lemak, energi bruto, kalsium (Ca), fosfor (P), zat besi (Fe), kandungan asamasam lemak (EPA, DHA, Omega-3, Omega-6, Omega-9, dan kolesterol), serta komposisi asam-asam amino. Data
dianalisis dengan analisis varians. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) antara
landak jantan dan betina pada kedua perlakuan ransum (T0 dan T1) terhadap pH, keempukan, susut masak, DMA,
warna daging, dan warna lemak. Penambahan pelet koi dalam ransum T1 menurunkan nilai pH (65,76) dan susut
masak (37,88%), serta meningkatkan DMA daging landak (23,59%). Daging landak tergolong empuk dengan nilai
keempukan 3,63 kg/cm2 (T0) dan 3,26 kg/cm2 (T1). Rataan kandungan air, abu, protein, lemak, energi, Ca, P, Fe
daging landak tidak berbeda nyata (P>0,05) pada kedua perlakuan T0 dan T1. Rataan kandungan asam-asam lemak
daging landak T1 tidak berbeda nyata (P>0,01) terhadap T0, tetapi terjadi peningkatan konsentrasi EPA, DHA,
omega-3, omega-6, omega-9, dan kolesterol pada perlakuan T1. Kandungan kolesterol daging landak lebih rendah
dibandingkan daging sapi, babi, domba, rusa sambar dan rusa jawa. Tidak ada pengaruh yang nyata (P>0,05) atas
kandungan asam-asam amino daging landak T1 dibandingkan T0.
Kata Kunci: Sifat fisik-kimia, daging , konsentrat, landak jawa
PENDAHULUAN
Landak Jawa (Hystrix javanica) atau Sunda Porcupine adalah satwaliar endemik Indonesia,
telah
dilakukan
di
Pe-
Adanya pemanfaatan landak yang ditangkap secara langsung dari alam yang dilakukan
haraan
publik Indonesia No. 7 tahun 1999. Status konservasi internasional yang tercatat dalam IUCN
m x 2,25 m x 2,00 m). Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pukul 08:30
(Baillie 1996).
dak.
termasuk
Rancangan
12
hari
percobaan
masa
adaptasi
menggunakan
Komposisi ransum
(proksimat)
dilakukan
berdasarkan
metoda
pengukuran
menggunakan
adiabatic
bomb
bertujuan
untuk
mengurangi
isi
saluran
Untuk
Pertanian Bogor. Warna daging dilihat dari bagian paha belakang (leg), caranya adalah membandingkan dengan Meat Colour Card Score dari
AUS-MEAT pada skala 1-7. Semakin tinggi
angka skala berarti warna daging semakin merah
gelap.
Komposisi kimia daging landak meliputi
kadar air (Gravimetry), abu, protein (Kjeldhal),
dan lemak (Gravimetry/ether extraction), dianalisis
berdasarkan AOAC (1995), dan energi total
menggunakan
bomb
calorimeter
metoda
BK
Abu
PK
LK
SK
BETN
EB
Ca
(kal/g)
Jaat hutan
34,14
11,35
36,37
1,81
28,88
21,59
4.445
1,59
0,36
Bengkuang
33,07
3,71
6,01
1,10
6,48
82,70
4.280
0,74
0,33
Talas belitung
24,73
7,68
17,14
0,46
9,77
64,95
4.296
0,43
0,42
Tomat
22,04
9,60
16,98
1,59
16,08
55,74
4.133
0,26
0,38
Pisang siam
35,02
3,80
3,08
0,86
3,44
88,81
3.393
0,08
0,12
Jagung manis
20,67
3,28
15,33
7,75
1,75
71,88
4.776
0,09
0,54
94,70
7,83
25,07
2,08
9,14
55,88
4.489
1,83
0,94
BK = Bahan kering, PK = Protein kasar, LK = Lemak kasar; SK = Serat kasar, BETN = Bahan ektrak tanpa nitrogen,
EB = Energi bruto.
313
kalsium, zat besi (AAS), fosfor (Spektrofotometer), asam amino dan kolesterol (HPLC)
pada Tabel 7.
Tabel 8 tertera kandungan Eicosapentaenoic acids (EPA), Decosahexanoic acid (DHA),
HASIL
Tabel 3 terlihat perlakuan ransum tidak
Komposisi asam-asam
Tabel 3. Konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan konversi pakan landak jawa
T0
Peubah
Konsumsi BK
(g/ekor/hari)
PBBH (g/ekor/hari)
Konversi pakan
(Konsumsi BK /PBBH)
Betina
T1
Jantan
Rataan
Betina
Jantan
Rataan
269,09 b
295,45 a
282,27
306,19a
261,93b
284,06
17,48b
40,24a
28,86
24,39ab
19,51b
21,95
11,37
12,55
13,42
12,99
15,39
7,34
BK = Bahan kering; PBBH = Pertambahan bobot badan per hari, EPP = Efisiensi Penggunaan pakan
abSuperskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
Betina
(n=3)
5,79 0,09
T0
Jantan
(n=1)
5,73
Rataan
Betina
(n=3)
5,76 0,08
pH
5,76 0,04
Keempukan
3,61 1,00
3,65
3,63 0,03
3,25 0,00
(kg/cm2)
Susut masak (%)
43,70 2,54
43,03
43,37 0,47
39,55 7,28
DMA :
- mgH2O
70,02 2,75
52,55
61,28 12,35
71,95 16,84
- % mgH2O
23,34 0,91
17,52
20,43 4,12
23,98 5,61
Warna :
Daging
2,00 0,00
2,00
2,00 0,00
2,00 0,00
Lemak
2,00 0,00
2,00
2,00 0,00
2,00 0,00
DMA = Daya mengikat air; T0 = pakan kontrol; T1= T0 + pellet ikan koi
T1
Jantan
(n=1)
5,80
5,78 0,03
3,27
3,26 0,01
36,20
37,88 2,37
69,56
23,19
70,75 1,69
23,59 0,56
2,00
2,00
2,00 0,71
2,00 0,00
Rataan
314
pH
Keempukan
(kg/cm2)
Susut
masak
(%)
Warna
DMA
(% mg H2O)
Daging
Lemak
Landak jawa1)
5,76
3,63
43,37
20,43
2,00
2,00
Kancil2)
6,36
2,00
44,12
32,83
Bandikut3)
5,71
1,05
34,04
36,56
Kelinci lokal4)
6,82
1,81
40,63
120,93
Sapi5)
5,70
6,73
42,53
31,66
Kerbau5)
6,05
6,53
29,84
37,26
Domba5)
5,99
5,44
31,86
37,52
Kambing sudan6)
1,67
7,83
34,41
4.67
Rusa sambar7)
6,46
4,92
53,31
33,52
Kuda8)
Trenggiling9)
6,17
35,12
Ayam broiler10)
0,06
27,77
18,01
1)Penelitian ini; 2) Rosyidi et al. (2010); 3) Warsono & Priyanto (2011); 4) Setiawan (2009);
5)Komariah et al. (2009);6) Elamin et al. (2012); 7)Semiadi et al.(2003); 8)Rosmawati (2003); 9)Farida (2012); 10)Hartono et al. (2013)
Betina
(n=3)
70,04 2,37
3,28 0,30
16,84 1,85
38,74 7,16
7.502,50 266,67
0,11 0,02
0,75 0,06
8,46 1,87
T0
Jantan
(n=1)
68,43
3,34
17,33
38,98
7.265,02
0,11
0,80
8,26
Rataan
69,24 1,14
3,31 0,04
17,09 0,35
38,86 0,17
7.383,76 167,92
0,11 0,00
0,77 0,03
8,36 0,14
T1
Betina
Jantan
(n=3)
(n=1)
64,70 1,57
66,82
3,64 0,66
3,63
18,94 3,38
19,40
30,90 8,55
29,81
6.852,96 522,78 6.665,29
0,07 0,04
0,06
0,84 0,16
0,89
8,37 6,80
4,82
Rataan
65,76 1,50
3,63 0,01
19,17 0,32
30,36 0,77
6.759,13 132,71
0,06 0,00
0,86 0,04
6,60 2,51
Hewan
Landak jawa1)
Landak raya2)
Kancil3)
Bandikut4)
Kelinci lokal5)
Sapi6)
Domba6)
Kijang6)
Babi hutan6)
Babi7)
Kuda8)
Keledai9)
Tikus raksasa
afrika13)
Komposisi kimia
Kadar
Abu
Protein
Lemak
Energi
air
(kal/g)
--------------------- (%) ---------------------69,24
3,31
17,09
3,90
7383
75,30
1,30
19,60
3,60
76,33
1,20
21,42
0,51
72,42
2,53
18,72
3,26
73,27
1,06
18,36
1,34
17389)
75,87
1,10
21,65
1,37
3167 9)
77,02
1,03
19,95
2,00
3119 9)
74,09
1,14
22,50
2,28
73,57
1,12
23,03
2,27
42,0
11,90
37,83
1230
71,4
1,8
21,1
6,00
1380
77,12
1,09
20,07
1,28
65,40
2,00
20,10
11,40
Ca
(%)
P
(%)
Fe
(ppm)
0,110
0,00610)
0,01111)
0,00811)
0,00811)
-
0,770
0,22810)
0,17211)
0,19011)
0,19011)
-
8,36
1,812)
2,012)
2,1
3,7
0,050
0,750
7,3
Hasil penelitian ini; Norsuhana et al. (2007); Rosyidi (2010); Warsono (2009); Setiawan (2009); Jukna & Valaitien
(2012); 7)Sarwono (2001); 8)Lee et al. (2007); 9)Aganga (2003); 10) Farrel & Raharjo (1984); 11) Parigi Bini et al. (1992); 12)
Williams (2007); 13)Oyarekua & Ketiku (2010)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
315
Betina
12,49
23,79
0,32
3,78
8,49
77,51
T0
Jantan
11,79
24,01
0,36
3,38
14,26
78,02
T1
Rataan
12,14 0,49
23,90 0,16
0,34 0,03
3,58 0,28
11,38 4,08
77,77 0,36
Betina
12,49
24,52
0,59
7,79
16,18
78,7
Jantan
13,89
25,48
0,40
4,62
9,47
78,47
Rataan
13,19 0,99
25,00 0,68
0,50 0,13
6,21 2,24
12,83 4,74
78,59 0,16
EPA
DHA
Omega 3
Omega 6
Omega 9
(C20:5n-3)
(C22:6n-3)
----------------------------------------- (%) -------------------------------------0,12
0,24
0,003
0,04
0,11
1,8
0,5
0,6
0,00
0,30
0,15
0,31
2,67
2,08
0,13
0,05
0,25
0,07
0,14
0,15
0,13
1,01
0,08
0,06
0,43
0,92
-
Kolesterol
(mg/100 g)
77,77
47,0
13,17
50,0
86,011)
85,011)
55,3
92,0011)
70,20
101,30
104,25
40,5
1)Hasil penelitian ini; 2)Norsuhana et al. (2008); 3)Hernndez & Zotte (2010); 4)Arifin (2004);5)Rosyidi (2010);
6)Zotte & Szendro (2011); 7)San udo et al. (2000); 8)Oyarekua & Ketiku (2010); 9) Dahlan & Norfarizan-Hanoon (2007); 10)
Tonial et al. (2009); 11)Gillespie (1998)
Betina
0,81
1,63
0,41
0,23
0,97
0,54
0,29
0,19
0,13
0,4
0,65
0,79
0,08
0,31
0,70
0,42
0,58
T0
T1
Jantan
Rataan
Betina
Jantan
Rataan
------------------------------------ (%) ------------------------------------0,72
0,77 0,06
0,78
0,67
0,73 0,08
1,36
1,50 0,19
1,65
1,55
1,60 0,07
0,36
0,39 0,04
0,40
0,37
0,39 0,02
0,18
0,21 0,04
0,21
0,19
0,20 0,01
0,83
0,90 0,10
0,93
0,84
0,89 0,06
0,53
0,54 0,01
0,61
0,54
0,58 0,05
0,21
0,25 0,06
0,28
0,26
0,27 0,01
0,13
0,16 0,04
0,17
0,13
0,15 0,03
0,11
0,12 0,01
0,08
0,06
0,07 0,01
0,29
0,35 0,08
0,38
0,12
0,25 0,18
0,58
0,62 0,05
0,62
0,48
0,55 0,10
0,7
0,75 0,06
0,78
0,69
0,74 0,06
0,08
0,08 0,00
0,07
0,06
0,07 0,01
0,22
0,27 0,06
0,3
0,27
0,29 0,02
0,61
0,66 0,06
0,68
0,68
0,68 0,00
0,45
0,44 0,02
0,32
0,30
0,31 0,01
0,55
0,57 0,02
0,55
0,57
0,56 0,01
316
Tabel 11. Komposisi asam amino daging landak dan hewan lain
Landak1)
Asam amino
Asam aspartat
Asam glutamat
Serin
Glisin
Histidin
Arginin
Threonin
Alanin
Prolin
Tirosin
Valin
Methionin
Sistin
Isoleusin
Leusin
Fenilalanin
Lisin
0,77
1,50
0,39
0,21
0,90
0,54
0,25
0,16
0,12
0,35
0,62
0,75
0,08
0,27
0,66
0,44
0,57
Bandikut2)
Kelinci3)
Kancil 4)
-------------------------------------------1,06
9,67
2,88
17,98
0,27
0,11
0,35
4,37
0,53
6,23
0,14
3,33
0,11
0,20
0,30
0,58
6,26
0,18
2,02
0,16
0,10
5,30
0,58
9,15
0,35
4,35
0,25
9,97
Trenggiling5)
Sapi6)
(%) ------------------------------------------0,93
2,00
8,80
1,49
2,87
14,40
0,58
0,79
3,80
0,30
1,05
7,10
0,43
0,61
1,40
0,47
1,63
6,60
0,41
1,04
4,00
0,90
1,07
6,40
0,46
0,75
5,40
0,35
0,79
3,20
0,41
1,08
5,70
0,21
0,37
2,30
1,32
0,04
2,90
0,36
1,03
5,10
0,18
1,88
8,40
1,19
0,95
4,00
0,56
1,54
8,40
Babi
hutan7)
6,16
12,40
8,25
6,95
7,00
10,61
6,89
11,86
Hasil penelitian ini; 2)Warsono (2009); 3)Bivolarski et al. (2011); 4)Rosyidi (2010); 5)Farida
(2012); 6)Lawrie (2003); 7)Brudnicki (2012)
1)
PEMBAHASAN
betina.
dipotong
umur hewan.
dipengaruhi
oleh
faktor
intrinsik
kuan.
daging
Seperti
landak
empuk
tergolong
(WBS<3,2
empuk.
kg/cm2),
empuk
dan sapi (Tabel 5), serta lebih rendah dibandingkan susut masak daging rusa sambar. Pada
Keempukan daging landak jelas disebabkan tingginya kandungan lemak daging dibandingkan
(Tabel 7).
adalah perlakuan istirahat yang dapat menentukan tingkat cekaman (stress) pada hewan. Pada
menekan stres.
hewan
Selanjutnya
dibanding
menjadi
lebih
tenang.
T0
(Tabel
4).
Hamm
(1981)
319
Rahayu 1994).
(kolesterol
biji
kacangan.
bunga
baik)
dan
matahari,
menurunkan
zaitun,
dan
LDL
kacang-
pada
Simatupang
yang
Penggunaan
diberikan
dalam
pakan.
perlakuan
T1
(1997),
(Tabel
8).
Menurut
pembetukan
kolesterol
320
KESIMPULAN
jawa
kolesterol
sebab
atau
merupakan
salah
satu
arteri
kanan yang mengandung protein tinggi tidak berarti kualitas proteinnya menjadi tinggi, dalam hal
ini adalah asam-asam amino esensialnya. Kandungan asam-asam amino yang teridentifikasi
DAFTAR PUSTAKA
pada daging landak jawa relatif rendah dibandingkan dengan daging ternak domestikasi (kelinci
dan sapi) dan satwa liar trenggiling dan babi hutan (Tabel 11), tetapi relatif lebih tinggi
Fransisco.
cil.
sangat
diperlukan
oleh
tubuh.
Daging
2003.
tinggi
lebih
ternak
domestikasi.
Dijelaskan oleh Irina (2011),
kandungan asam amino dalam daging setiap
Inc.
Arifin. 2004. Kajian terhadap produktivitas dan
masing-masing karakteristiknya.
dalam
daging
rendah
landak
jawa
dibandingkan
lebih
daging
growth rate and finishing system on: III. tissue proximate, fatty acid, vitamin, cholester-
351-365.
<www.iucnredlist.org>
141-154.
Fransisco USA
2007.
Fatty acid profiles and cholesterol composition of venison from farmed deer. J. Anim.
Vet. Adv. 6 (5): 650-657.
1987.
33 (3): 183-189.
wasserbindungsvermoegen des
muskeleiweisses in theorie und praxis. Verlag Paul
Parey, Berlin.
Hartono, E., Ning Iriyanti, & RS. Sugeng
Santosa.
2013.
Penggunaan
pakan
American J. Clinic.
9th
2004.
& E.
(2): 95-102
Rosyidi, D.
2007.
Padre RG, JA. Aricetti, FB. Moreira, IY. Mizubuti IY, IN. do Prado, JV. Visentainer,
2000.
8.
Parigi Bini, R., G. Xiccato, M. Cinetto, & A.
lam : DM. Kinsman, AW. Kotula, BC. Breidenstein (Ed), Muscle foods: Meat, Poultry
tanian Bogor.
New York.
Roos, CF, & DM. Smith. 2006. Use of volatiles
324
Bogor.
(Suppl.)
Williamson, G. & WJA. Payne. 1993. Pengantar
Peternakan di Daerah Tropik. Gadjahmada
University Press, Yogyakarta.
Winarno FG. 1993. Pangan Gizi, Teknologi, dan
Yogyakarta.
Sudarmadji, S, B. Haryono & Suhardi, 1996.
Utama.
Winarno, FG. & TS. Rahayu. 1994. Bahan
Tambahan
untuk
Makanan
Kontaminan.
Pustaka
Sinar
Jakarta.
CC.
Oliveira, EG.
chemical composition and sensory evaluation of horse meat. S. Afr. J. anim. Sci. 39
dan
Harapan,
Wood JD., RI. Richardson, GR. Nute, AV. Fisher, MM. Campo, E. Kasapidou, PR.
Sheard, & M. Enser. 2004. Effects of fatty
karkas
dan
daging
bandikut
Sekolah
325
PENDAHULUAN
Landak Jawa (Hystrix javanica) atau Sunda Porcupine adalah satwaliar endemik Indonesia,
telah
dilakukan
di
Pe-
Adanya pemanfaatan landak yang ditangkap secara langsung dari alam yang dilakukan
haraan
publik Indonesia No. 7 tahun 1999. Status konservasi internasional yang tercatat dalam IUCN
m x 2,25 m x 2,00 m). Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pukul 08:30
(Baillie 1996).
dak.
termasuk
Rancangan
12
hari
percobaan
masa
adaptasi
menggunakan
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)
Komposisi ransum
(proksimat)
dilakukan
berdasarkan
metoda
pengukuran
menggunakan
adiabatic
bomb
bertujuan
untuk
mengurangi
isi
saluran
Untuk
Pertanian Bogor. Warna daging dilihat dari bagian paha belakang (leg), caranya adalah membandingkan dengan Meat Colour Card Score dari
AUS-MEAT pada skala 1-7. Semakin tinggi
angka skala berarti warna daging semakin merah
gelap.
Komposisi kimia daging landak meliputi
kadar air (Gravimetry), abu, protein (Kjeldhal),
dan lemak (Gravimetry/ether extraction), dianalisis
berdasarkan AOAC (1995), dan energi total
menggunakan
bomb
calorimeter
metoda
BK
Abu
PK
LK
SK
BETN
EB
Ca
(kal/g)
Jaat hutan
34,14
11,35
36,37
1,81
28,88
21,59
4.445
1,59
0,36
Bengkuang
33,07
3,71
6,01
1,10
6,48
82,70
4.280
0,74
0,33
Talas belitung
24,73
7,68
17,14
0,46
9,77
64,95
4.296
0,43
0,42
Tomat
22,04
9,60
16,98
1,59
16,08
55,74
4.133
0,26
0,38
Pisang siam
35,02
3,80
3,08
0,86
3,44
88,81
3.393
0,08
0,12
Jagung manis
20,67
3,28
15,33
7,75
1,75
71,88
4.776
0,09
0,54
94,70
7,83
25,07
2,08
9,14
55,88
4.489
1,83
0,94
BK = Bahan kering, PK = Protein kasar, LK = Lemak kasar; SK = Serat kasar, BETN = Bahan ektrak tanpa nitrogen,
EB = Energi bruto.
313
kalsium, zat besi (AAS), fosfor (Spektrofotometer), asam amino dan kolesterol (HPLC)
pada Tabel 7.
Tabel 8 tertera kandungan Eicosapentaenoic acids (EPA), Decosahexanoic acid (DHA),
HASIL
Tabel 3 terlihat perlakuan ransum tidak
Komposisi asam-asam
Tabel 3. Konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan konversi pakan landak jawa
T0
Peubah
Konsumsi BK
(g/ekor/hari)
PBBH (g/ekor/hari)
Konversi pakan
(Konsumsi BK /PBBH)
Betina
T1
Jantan
Rataan
Betina
Jantan
Rataan
269,09 b
295,45 a
282,27
306,19a
261,93b
284,06
17,48b
40,24a
28,86
24,39ab
19,51b
21,95
11,37
12,55
13,42
12,99
15,39
7,34
BK = Bahan kering; PBBH = Pertambahan bobot badan per hari, EPP = Efisiensi Penggunaan pakan
abSuperskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
Betina
(n=3)
5,79 0,09
T0
Jantan
(n=1)
5,73
Rataan
Betina
(n=3)
5,76 0,08
pH
5,76 0,04
Keempukan
3,61 1,00
3,65
3,63 0,03
3,25 0,00
(kg/cm2)
Susut masak (%)
43,70 2,54
43,03
43,37 0,47
39,55 7,28
DMA :
- mgH2O
70,02 2,75
52,55
61,28 12,35
71,95 16,84
- % mgH2O
23,34 0,91
17,52
20,43 4,12
23,98 5,61
Warna :
Daging
2,00 0,00
2,00
2,00 0,00
2,00 0,00
Lemak
2,00 0,00
2,00
2,00 0,00
2,00 0,00
DMA = Daya mengikat air; T0 = pakan kontrol; T1= T0 + pellet ikan koi
T1
Jantan
(n=1)
5,80
5,78 0,03
3,27
3,26 0,01
36,20
37,88 2,37
69,56
23,19
70,75 1,69
23,59 0,56
2,00
2,00
2,00 0,71
2,00 0,00
Rataan
314
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)
pH
Keempukan
(kg/cm2)
Susut
masak
(%)
Warna
DMA
(% mg H2O)
Daging
Lemak
Landak jawa1)
5,76
3,63
43,37
20,43
2,00
2,00
Kancil2)
6,36
2,00
44,12
32,83
Bandikut3)
5,71
1,05
34,04
36,56
Kelinci lokal4)
6,82
1,81
40,63
120,93
Sapi5)
5,70
6,73
42,53
31,66
Kerbau5)
6,05
6,53
29,84
37,26
Domba5)
5,99
5,44
31,86
37,52
Kambing sudan6)
1,67
7,83
34,41
4.67
Rusa sambar7)
6,46
4,92
53,31
33,52
Kuda8)
Trenggiling9)
6,17
35,12
Ayam broiler10)
0,06
27,77
18,01
1)Penelitian ini; 2) Rosyidi et al. (2010); 3) Warsono & Priyanto (2011); 4) Setiawan (2009);
5)Komariah et al. (2009);6) Elamin et al. (2012); 7)Semiadi et al.(2003); 8)Rosmawati (2003); 9)Farida (2012); 10)Hartono et al. (2013)
Betina
(n=3)
70,04 2,37
3,28 0,30
16,84 1,85
38,74 7,16
7.502,50 266,67
0,11 0,02
0,75 0,06
8,46 1,87
T0
Jantan
(n=1)
68,43
3,34
17,33
38,98
7.265,02
0,11
0,80
8,26
Rataan
69,24 1,14
3,31 0,04
17,09 0,35
38,86 0,17
7.383,76 167,92
0,11 0,00
0,77 0,03
8,36 0,14
T1
Betina
Jantan
(n=3)
(n=1)
64,70 1,57
66,82
3,64 0,66
3,63
18,94 3,38
19,40
30,90 8,55
29,81
6.852,96 522,78 6.665,29
0,07 0,04
0,06
0,84 0,16
0,89
8,37 6,80
4,82
Rataan
65,76 1,50
3,63 0,01
19,17 0,32
30,36 0,77
6.759,13 132,71
0,06 0,00
0,86 0,04
6,60 2,51
Hewan
Landak jawa1)
Landak raya2)
Kancil3)
Bandikut4)
Kelinci lokal5)
Sapi6)
Domba6)
Kijang6)
Babi hutan6)
Babi7)
Kuda8)
Keledai9)
Tikus raksasa
afrika13)
Komposisi kimia
Kadar
Abu
Protein
Lemak
Energi
air
(kal/g)
--------------------- (%) ---------------------69,24
3,31
17,09
3,90
7383
75,30
1,30
19,60
3,60
76,33
1,20
21,42
0,51
72,42
2,53
18,72
3,26
73,27
1,06
18,36
1,34
17389)
75,87
1,10
21,65
1,37
3167 9)
77,02
1,03
19,95
2,00
3119 9)
74,09
1,14
22,50
2,28
73,57
1,12
23,03
2,27
42,0
11,90
37,83
1230
71,4
1,8
21,1
6,00
1380
77,12
1,09
20,07
1,28
65,40
2,00
20,10
11,40
Ca
(%)
P
(%)
Fe
(ppm)
0,110
0,00610)
0,01111)
0,00811)
0,00811)
-
0,770
0,22810)
0,17211)
0,19011)
0,19011)
-
8,36
1,812)
2,012)
2,1
3,7
0,050
0,750
7,3
Hasil penelitian ini; Norsuhana et al. (2007); Rosyidi (2010); Warsono (2009); Setiawan (2009); Jukna & Valaitien
(2012); 7)Sarwono (2001); 8)Lee et al. (2007); 9)Aganga (2003); 10) Farrel & Raharjo (1984); 11) Parigi Bini et al. (1992); 12)
Williams (2007); 13)Oyarekua & Ketiku (2010)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
315
Betina
12,49
23,79
0,32
3,78
8,49
77,51
T0
Jantan
11,79
24,01
0,36
3,38
14,26
78,02
T1
Rataan
12,14 0,49
23,90 0,16
0,34 0,03
3,58 0,28
11,38 4,08
77,77 0,36
Betina
12,49
24,52
0,59
7,79
16,18
78,7
Jantan
13,89
25,48
0,40
4,62
9,47
78,47
Rataan
13,19 0,99
25,00 0,68
0,50 0,13
6,21 2,24
12,83 4,74
78,59 0,16
EPA
DHA
Omega 3
Omega 6
Omega 9
(C20:5n-3)
(C22:6n-3)
----------------------------------------- (%) -------------------------------------0,12
0,24
0,003
0,04
0,11
1,8
0,5
0,6
0,00
0,30
0,15
0,31
2,67
2,08
0,13
0,05
0,25
0,07
0,14
0,15
0,13
1,01
0,08
0,06
0,43
0,92
-
Kolesterol
(mg/100 g)
77,77
47,0
13,17
50,0
86,011)
85,011)
55,3
92,0011)
70,20
101,30
104,25
40,5
1)Hasil penelitian ini; 2)Norsuhana et al. (2008); 3)Hernndez & Zotte (2010); 4)Arifin (2004);5)Rosyidi (2010);
6)Zotte & Szendro (2011); 7)San udo et al. (2000); 8)Oyarekua & Ketiku (2010); 9) Dahlan & Norfarizan-Hanoon (2007); 10)
Tonial et al. (2009); 11)Gillespie (1998)
Betina
0,81
1,63
0,41
0,23
0,97
0,54
0,29
0,19
0,13
0,4
0,65
0,79
0,08
0,31
0,70
0,42
0,58
T0
T1
Jantan
Rataan
Betina
Jantan
Rataan
------------------------------------ (%) ------------------------------------0,72
0,77 0,06
0,78
0,67
0,73 0,08
1,36
1,50 0,19
1,65
1,55
1,60 0,07
0,36
0,39 0,04
0,40
0,37
0,39 0,02
0,18
0,21 0,04
0,21
0,19
0,20 0,01
0,83
0,90 0,10
0,93
0,84
0,89 0,06
0,53
0,54 0,01
0,61
0,54
0,58 0,05
0,21
0,25 0,06
0,28
0,26
0,27 0,01
0,13
0,16 0,04
0,17
0,13
0,15 0,03
0,11
0,12 0,01
0,08
0,06
0,07 0,01
0,29
0,35 0,08
0,38
0,12
0,25 0,18
0,58
0,62 0,05
0,62
0,48
0,55 0,10
0,7
0,75 0,06
0,78
0,69
0,74 0,06
0,08
0,08 0,00
0,07
0,06
0,07 0,01
0,22
0,27 0,06
0,3
0,27
0,29 0,02
0,61
0,66 0,06
0,68
0,68
0,68 0,00
0,45
0,44 0,02
0,32
0,30
0,31 0,01
0,55
0,57 0,02
0,55
0,57
0,56 0,01
316
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)
Tabel 11. Komposisi asam amino daging landak dan hewan lain
Landak1)
Asam amino
Asam aspartat
Asam glutamat
Serin
Glisin
Histidin
Arginin
Threonin
Alanin
Prolin
Tirosin
Valin
Methionin
Sistin
Isoleusin
Leusin
Fenilalanin
Lisin
0,77
1,50
0,39
0,21
0,90
0,54
0,25
0,16
0,12
0,35
0,62
0,75
0,08
0,27
0,66
0,44
0,57
Bandikut2)
Kelinci3)
Kancil 4)
-------------------------------------------1,06
9,67
2,88
17,98
0,27
0,11
0,35
4,37
0,53
6,23
0,14
3,33
0,11
0,20
0,30
0,58
6,26
0,18
2,02
0,16
0,10
5,30
0,58
9,15
0,35
4,35
0,25
9,97
Trenggiling5)
Sapi6)
(%) ------------------------------------------0,93
2,00
8,80
1,49
2,87
14,40
0,58
0,79
3,80
0,30
1,05
7,10
0,43
0,61
1,40
0,47
1,63
6,60
0,41
1,04
4,00
0,90
1,07
6,40
0,46
0,75
5,40
0,35
0,79
3,20
0,41
1,08
5,70
0,21
0,37
2,30
1,32
0,04
2,90
0,36
1,03
5,10
0,18
1,88
8,40
1,19
0,95
4,00
0,56
1,54
8,40
Babi
hutan7)
6,16
12,40
8,25
6,95
7,00
10,61
6,89
11,86
Hasil penelitian ini; 2)Warsono (2009); 3)Bivolarski et al. (2011); 4)Rosyidi (2010); 5)Farida
(2012); 6)Lawrie (2003); 7)Brudnicki (2012)
1)
PEMBAHASAN
betina.
dipotong
umur hewan.
dipengaruhi
oleh
faktor
intrinsik
kuan.
daging
Seperti
landak
empuk
tergolong
(WBS<3,2
empuk.
kg/cm2),
empuk
dan sapi (Tabel 5), serta lebih rendah dibandingkan susut masak daging rusa sambar. Pada
Keempukan daging landak jelas disebabkan tingginya kandungan lemak daging dibandingkan
(Tabel 7).
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)
adalah perlakuan istirahat yang dapat menentukan tingkat cekaman (stress) pada hewan. Pada
menekan stres.
hewan
Selanjutnya
dibanding
menjadi
lebih
tenang.
T0
(Tabel
4).
Hamm
(1981)
319
Rahayu 1994).
(kolesterol
biji
kacangan.
bunga
baik)
dan
matahari,
menurunkan
zaitun,
dan
LDL
kacang-
pada
Simatupang
yang
Penggunaan
diberikan
dalam
pakan.
perlakuan
T1
(1997),
(Tabel
8).
Menurut
pembetukan
kolesterol
320
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)
KESIMPULAN
jawa
kolesterol
sebab
atau
merupakan
salah
satu
arteri
kanan yang mengandung protein tinggi tidak berarti kualitas proteinnya menjadi tinggi, dalam hal
ini adalah asam-asam amino esensialnya. Kandungan asam-asam amino yang teridentifikasi
DAFTAR PUSTAKA
pada daging landak jawa relatif rendah dibandingkan dengan daging ternak domestikasi (kelinci
dan sapi) dan satwa liar trenggiling dan babi hutan (Tabel 11), tetapi relatif lebih tinggi
Fransisco.
cil.
sangat
diperlukan
oleh
tubuh.
Daging
2003.
tinggi
lebih
ternak
domestikasi.
Dijelaskan oleh Irina (2011),
kandungan asam amino dalam daging setiap
Inc.
Arifin. 2004. Kajian terhadap produktivitas dan
masing-masing karakteristiknya.
dalam
daging
rendah
landak
jawa
dibandingkan
lebih
daging
growth rate and finishing system on: III. tissue proximate, fatty acid, vitamin, cholester-
351-365.
<www.iucnredlist.org>
141-154.
Fransisco USA
2007.
Fatty acid profiles and cholesterol composition of venison from farmed deer. J. Anim.
Vet. Adv. 6 (5): 650-657.
1987.
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)
33 (3): 183-189.
wasserbindungsvermoegen des
muskeleiweisses in theorie und praxis. Verlag Paul
Parey, Berlin.
Hartono, E., Ning Iriyanti, & RS. Sugeng
Santosa.
2013.
Penggunaan
pakan
American J. Clinic.
9th
2004.
& E.
(2): 95-102
Rosyidi, D.
2007.
Padre RG, JA. Aricetti, FB. Moreira, IY. Mizubuti IY, IN. do Prado, JV. Visentainer,
2000.
8.
Parigi Bini, R., G. Xiccato, M. Cinetto, & A.
lam : DM. Kinsman, AW. Kotula, BC. Breidenstein (Ed), Muscle foods: Meat, Poultry
tanian Bogor.
New York.
Roos, CF, & DM. Smith. 2006. Use of volatiles
324
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)
Bogor.
(Suppl.)
Williamson, G. & WJA. Payne. 1993. Pengantar
Peternakan di Daerah Tropik. Gadjahmada
University Press, Yogyakarta.
Winarno FG. 1993. Pangan Gizi, Teknologi, dan
Yogyakarta.
Sudarmadji, S, B. Haryono & Suhardi, 1996.
Utama.
Winarno, FG. & TS. Rahayu. 1994. Bahan
Tambahan
untuk
Makanan
Kontaminan.
Pustaka
Sinar
Jakarta.
CC.
Oliveira, EG.
chemical composition and sensory evaluation of horse meat. S. Afr. J. anim. Sci. 39
dan
Harapan,
Wood JD., RI. Richardson, GR. Nute, AV. Fisher, MM. Campo, E. Kasapidou, PR.
Sheard, & M. Enser. 2004. Effects of fatty
karkas
dan
daging
bandikut
Sekolah
325
TULISAN PENDEK
Resolusi Kerancuan Perkiraan Luas dan Laju Deforestasi Hutan Mangrove di Indonesia
(Resolution to the Ambiguities in Estimation Area and Rate of Mangrove Deforestation in
Indonesia)
Suyadi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, E-mail: yadi_pdt@yahoo.com
Memasukkan: Juli 2012, Diterima: September 2012
berikut:
di
penurunan
runtukan (konversi) hutan mangrove dan pemanfaatan mangrove yang tidak berkelanjutan.
doman-pedoman
Indonesia
telah
mengalami
pertama
yaitu
dasar
menelaah
untuk
istilah
memperbaiki
akurat. Perkiraan luas hutan mangrove di Indonesia mulai yang rendah yaitu 2.4 juta ha
Deforestasi
tertinggi 4,5 juta ha (Spalding dkk, 1996). Sementara itu Giesen (1993) memperkirakan luas
Beberapa
ahli
biologi
konservasi
mengetahui bahwa istilah mangrove seringkali
mengaburkan permasalahannya.
Tomlinson (1986) dan Wightman (1989)
tumbuhan
vaskuler
termasuk
jenis-jenis
327
Suyadi.
mangrove)
maupun
mangrove
ikutan
(false
permanen
ataupun
sementara
merupakan
interpretasi
yang
tidak
interpretasi
menimbulkan
(hutan
data
terestrial),
berbeda-beda
sehingga
namun
ada
dan
pula
yang
Deforestasi
Perbedaan perkiraan luas hutan mangrove
328
mangrove.
Pendugaan
semacam
ini
dapat
permasalahan
pengaruh pasang-surut.
Deforestasi
2006).
yang
dihadapi
dalam
(2004)
luas
didasari dengan metode penciptaan yang berbedabeda, hal ini dapat menyebabkan adanya
mencatat
bahwa
penentuan
329
Suyadi.
didefinisikan
Wightman
(1989),
Definisi
mangrove
deforestasi
yang
di
hutan
menghindari
tutupan
ataupun
perubahan
peningkatan
kelebatan/tutupan
areal
hutan (F.A.O 1996). Meskipun demikian, kita
pasang-surut,
menggunakan
hutan
secara
teknologi
permanen
penginderaan
jauh
dapat
dilihat
cukup
interpretasi
tutupan
kematian
yang
salah
hutan
alami
Untuk
dari
hendaknya
juga
selalu
menghindari
yang
salah
dari
perkembangan
perlu
mengikuti
jelas.
metodologi
dapat
sehingga
berubah
dengan
cepat,
seharusnya
didasarkan
pada
330
Pulumahuny,
F.S.
1997.
Studi
Komunitas
Noor,
Y.,
M.
Khazali.,
I.N.N.
Mangrove
interpretation of existing information. Background paper to UNCED for the state Min-
di
Indonesia.
Wetlands
-32.
F.A.O. 1996. Forest Resource Assessment 1990:
pp 39.
Spalding, M. D., F. Blasco dan C.D. Field editor.
Japan.
pp. 3,10.
F.A.O. 1982. Management and Utilization of
3. Rome.
Giesen, W. 1993. Indonesias Mangroves: An Update on Remaining Area and main Management Issues. Dalam Seminar Coastal Zone
Management of Small Island Ecosystem, Ambon: 10-20 Hal.
Grainger, A. 1993. Controlling Tropical Deforestation. Earthscan. London.
ERATA
Jurnal Biologi Indonesia 9(1) 2013
Daftar isi
Tertulis:
Deforestation and is Implications to the Population of a Key Species in Bukit Barisan Selatan National
Park, Sumatra
Suyadi, IN. Surati Jaya, Antonius B. Wijanarto & Haryo T. Wibisono
Seharusnya
Deforestation and it is Implications for Sumatran tigers in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra
Suyadi, I Nengah Surati Jaya, Antonius B. Wijanarto &Haryo Tabah Wibisono
11
PANDUAN PENULIS
Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah disusun dengan urutan:
JUDUL (bahasa Indonesia dan Inggris), NAMA PENULIS (yang disertai dengan alamat Lembaga/
Instansi), ABSTRAK (bahasa Inggris, maksimal 250 kata), KATA KUNCI (maksimal 6 kata), PENDAHULUAN, BAHAN DAN CARA KERJA, HASIL, PEMBAHASAN, UCAPAN TERIMA KASIH (jika
diperlukan) dan DAFTAR PUSTAKA. Penulisan TabelDAN GAMBAR ditulis di lembar terpisah dari
teks.
Naskah diketik dengan spasi ganda pada kertas HVS A4 maksimum 15 halaman termasuk gambar, foto, dan tabel disertai CD. Batas dari tepi kiri 3 cm, kanan, atas, dan bawah masing-masing 2,5 cm
dengan program pengolah kata Microsoft Word dan tipe huruf Times New Roman berukuran 12 point.
Setiap halaman diberi nomor halaman secara berurutan. Gambar dalam bentuk grafik/diagram harus asli
(bukan fotokopi) dan foto (dicetak di kertas licin atau di scan). Gambar dan Tabel di tulis dan ditempatkan di halaman terpisah di akhir naskah. Penulisan simbol a, b, c, dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, tanpa mengubah jenis huruf. Kata dalam bahasa asing dicetak miring. Naskah dikirimkan ke
alamat Redaksi sebanyak 3 eksemplar (2 eksemplar tanpa nama dan lembaga penulis).
Penggunaan nama suatu tumbuhan atau hewan dalam bahasa Indonesia/Daerah harus diikuti
nama ilmiahnya (cetak miring) beserta Authornya pada pengungkapan pertama kali.
Pustaka didalam teks ditulis berurutan secara abjad.
Contoh penulisan Daftar Pustaka sebagai berikut :
Jurnal :
Hara, T., JR. Zhang, & S. Ueda. 1983. Identification of plasmids linked with polyglutamate production in B. subtilis. J. Gen. Apll. Microbiol. 29: 345-354.
Buku :
Chaplin, MF. & C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press. Cambridge.
Bab dalam Buku :
Gerhart, P. & SW. Drew. 1994. Liquid culture. Dalam : Gerhart, P., R.G.E. Murray, W.A. Wood, &
N.R. Krieg (eds.). Methods for General and Molecular Bacteriology. ASM., Washington. 248-277.
Abstrak :
Suryajaya, D. 1982. Perkembangan tanaman polong-polongan utama di Indonesia. Abstrak Pertemuan
Ilmiah Mikrobiologi. Jakarta . 15 18 Oktober 1982. 42.
Prosiding :
Mubarik, NR., A. Suwanto, & MT. Suhartono. 2000. Isolasi dan karakterisasi protease ekstrasellular
dari bakteri isolat termofilik ekstrim. Prosiding Seminar nasional Industri Enzim dan Bioteknologi II. Jakarta, 15-16 Februari 2000. 151-158.
Skripsi, Tesis, Disertasi :
Kemala, S. 1987. Pola Pertanian, Industri Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit di Indonesia.
[Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Informasi dari Internet :
Schulze, H. 1999. Detection and Identification of Lories and Pottos in The Wild; Information for surveys/Estimated of population density. http//www.species.net/primates/loris/lorCp.1.html.
12