Vous êtes sur la page 1sur 197

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/287818243

Resolusi Kerancuan Perkiraan Luas dan Laju


Deforestasi Hutan Mangrove di Indonesia
(Resolution to the Ambiguities in Estimation
Area and Rate of Mangrove Deforestation in
Indonesia...
Article December 2013

CITATIONS

READS

348

1 author:
Suyadi Suyadi
Indonesian Institute of Sciences
13 PUBLICATIONS 73 CITATIONS
SEE PROFILE

Available from: Suyadi Suyadi


Retrieved on: 25 September 2016

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 2013

Jurnal Biologi Indonesia diterbitkan oleh Perhimpunan Biologi Indonesia. Jurnal ini memuat hasil
penelitian ataupun kajian yang berkaitan dengan masalah biologi yang diterbitkan secara berkala dua kali
setahun (Juni dan Desember).

Editor
Ketua
Prof. Dr. Ibnu Maryanto
Anggota
Prof. Dr. I Made Sudiana
Dr. Deby Arifiani
Dr. Izu Andry Fijridiyanto
Dewan Editor Ilmiah
Dr. Abinawanto, F MIPA UI
Dr. Achmad Farajalah, FMIPA IPB
Dr. Ambariyanto, F. Perikanan dan Kelautan UNDIP
Dr. Aswin Usup F. Pertanian Universitas Palangkaraya
Dr. Didik Widiyatmoko, PK Tumbuhan, Kebun Raya Cibodas-LIPI
Dr. Dwi Nugroho Wibowo, F. Biologi UNSOED
Dr. Parikesit, F. MIPA UNPAD
Prof. Dr. Mohd.Tajuddin Abdullah, Universiti Malaysia Sarawak Malaysia
Assoc. Prof. Monica Suleiman, Universiti Malaysia Sabah, Malaysia
Dr. Srihadi Agungpriyono, PAVet(K), F. Kedokteran Hewan IPB
Y. Surjadi MSc, Pusat Penelitian ICABIOGRAD
Drs. Suharjono, Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Dr. Tri Widianto, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI
Dr. Witjaksono Pusat Penelitian Biologi-LIPI

Sekretariat
Eko Sulistyadi MSi, Dewi Citra Murniati MSi, Hetty Irawati PU, S.Kom
Alamat
d/a Pusat Penelitian Biologi - LIPI
Jl. Ir. H. Juanda No. 18, Bogor 16002 , Telp. (021) 8765056
Fax. (021) 8765068
Email : jbi@bogor.net; ibnu_mar@yahoo.com; eko_bio33@yahoo.co.id; hetttyipu@yahoo.com
Website : http://biologi.or.id

Jurnal Biologi Indonesia telah diakreditasi ulang berdasarkan SK Kepala LIPI 742/
E/2012 tanggal 7 Agustus 2012, Akreditasi:No. 460/AU2/P2MI-LIPI/08/2012.

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 2013

Perhimpunan Biologi Indonesia.


Bekerja sama dengan
PUSLIT BIOLOGI-LIPI

Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 2013

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 2013

KATA PENGANTAR
Jurnal Biologi Indonesia yang diterbitkan oleh PERHIMPUNAN BIOLOGI INDONESIA bekerjasama
dengan PUSLIT BIOLOGI-LIPI. Edisi Volume 9 No. 2 tahun 2013 memuat 15 artikel lengkap dan
satu artikel tulisan pendek. Penulis pada edisi ini sangat beragam yaitu dari Balai Besar Penelitian Vete
riner, Departemen Pertanian, Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional.
Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan,
Kementerian Perikanan dan Kelautan, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-LIPI, Puslit BioteknologiLIPI, Departemen Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, Pusat Penelitian Biologi LIPI; Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Balai Konservasi Biota Laut-LIPI

Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 2013

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 2013

DAFTAR ISI
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay for Detection of Infectious Bronchitis
Antibody in Chickens using Local Isolate of PTS III
Risa Indriani & NLP Indi Dharmayanti
Karakterisasi Genetik Tempuyung (Sonchus arvensis L.) Berdasarkan Penanda Molekuler
Sequence-Related Amplified Polymorphism
Dyah Subositi & Rohmat Mujahid
Karakteristik Populasi Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) yang Tertangkap di
Sumatera Selatan
Agus Arifin Sentosa, Danu Wijaya & Astri Suryandari
Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya di Koridor
Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat

Halaman
159

167

175

183

Iyan Robiansyah & Danang W. Purnomo


Isolat Bakteri Indigenous Penghasil Milk-Clotting Protease untuk Fermentasi Keju
Nanik Rahmani, Yana Nurita Sari, Nurheni Sri Palupi & Yopi
Preferensi Ekologis Jenis-Jenis Tumbuhan Dominan di Gunung Endut, Banten
E.N. Sambas, C. Kusmana, L.B. Prasetyo & T. Partomihardjo
Pertumbuhan dan Produksi Jagung Pulut Lokal Sulawesi Selatan yang Ditanam di Polibag
Pada Berbagai Kombinasi Perlakuan Pupuk Organik
Titi Juhaeti, N Hidayati & M Rahmansyah
Kajian Pemilihan Jenis Tumbuhan Untuk Restorasi Hutan Berdasarkan Beberapa Parameter
Fotosintesis
Tinia Leyli Shofia Ahmad, Dede Setiadi, & Didik Widyatmoko
Kajian Pemberian Pakan Alternatif terhadap Konsumsi, Kecernaan, dan Efisiensi Penggunaan
Pakan pada Jelarang Paha Putih (Ratufa Affinis Raffles, 1821)
Wartika Rosa Farida & Siti Nuramaliati Prijono
Keragaman genetik beberapa aksesi Jagung dari Nusa Tenggara Timur bagian berdasarkan
profil Inter Short Sequence Repeat (ISSR)
Kusumadewi Sri Yulita & BP Naiola

199

Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat

265

Himmah Rustiami
Biotransformasi 2E-6E-Farnesol oleh Jamur Endofit Botryosphaeria sp. CA2C-3 yang
Diisolasi dari Temu Hitam (Curcuma aeruginosa ROXB.)
Andria Agusta
Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi IUPHHK-HTI PT. RAPP
Estate Meranti
Nur Anita Gusnia, Agus Priyono Kartono, & Harnios Arief
Vocalizations of Microhyla achatina Tschudi, 1838 (Anura: Microhylidae) from the foot hills
of Mount Salak, West Java
Hellen Kurniati

209
219

233

245

255

283

289

301

Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 2013

Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823) yang Diberi
Tambahan Pakan konsentrat
Wartika Rosa Farida
TULISAN PENDEK

Resolusi Kerancuan Perkiraan Luas dan Laju Deforestasi Hutan Mangrove di


Indonesia
Suyadi

Halaman
311

327

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 2013

UCAPAN TERIMA KASIH


Jurnal Biologi Indonesia mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada para pakar yang telah
turut sebagai penelaah dalam Volume 9, No 2, Juni2013:
Dr. Arjan Boonman , University of Tel Aviv, Israel
Dr. Sri Sulandari Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Ir. Drs.Eko Harsono MSi, Puslit Limnologi-LIPI
Dr. Yuyu Suryasari Poerba, Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Dr. Tatik Kusniati Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Ir.Mumpuni, Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Awal Riyanto, Pusat penelitian Biologi-LIPI
Drs Nunuk Widyastuti MSi, Pusat penelitian Biologi-LIPI
Dr.Laode Alhamd, Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Dr. Edi Mirmanto, Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Dr. Sarjiya Antonius, Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Dr. Dwi Astuti, Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Dr. Yopi. Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI
Dr. Dedi Darnaedi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Dr. Atik Retnowati, Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Ir. Titi Juhaeti MSi. Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Ir. SyamsulArifin Zein MSi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Drh. Dewi Ratih PhD, APV. Fakultas Kedokteran Hewan IPBBIOLOGI

Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 2013

10

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 159-166 (2013)

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay for Detection of Infectious Bronchitis Antibody in


Chickens using Local Isolate of PTS III
(Enzyme-linked immunosorbent assay untuk mendeteksi antibodi infectious bronchitis
pada ayam dengan isolat local)
Risa Indriani & NLP Indi Dharmayanti
Institute Centre Research of Veterinary, Jl. RE Martadinata no 30, Bogor 6114. E-mail: risain52@yahoo.com
Memasukan: September 2012, Diterima: April 2013
ABSTRACT
An indirect enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) was developed for screening of antibody to avian infectious bronchitis (IBV). Antigen was prepared from whole virus of infectious bronchitis local isolate PTS-III serotype.
Optimum dilution with minimum background for antigen concentration, rabbit anti-chicken conjugate and sera in
developed ELISA were determined 0.4g/well, 1:2000 and 1:100, respectively. Correlation optical densities (OD)
were compared with a standard commercial ELISA (R2=0.933). The developed ELISA has a better sensitivity to hemagglutination inhibition (HI) test. The developed local isolate ELISA can be used to detect antibody against infectious bronchitis virus and it is suitable for sample screening at the diagnostic laboratories.
Keywords: ELISA, antibody, chicken, IB PTS-III local isolate

ABSTRAK
Pengembangan Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk mendeteksi antibodi virus infectious bronchitis
(IB) pada ayam. Antigen ELISA IB disiapkan dari virus IB serotipe isolat lokal PTS-III. Pengenceran optimal pada
konsentrasi antigen, konjugat rabbit anti-chicken, dan serum dengan background minimum dalam uji ELISA adalah
0.4g, 1:2000 and 1:100 secara berurutan. Optical density (OD) dari serum IB positif pada uji ELISA yang dikembangkan dan ELISA standard mempunyai tingkat korelasi yang tinggi (R2=0.933). ELISA yang dikembangkan
mempunyai tingkat sensitifitas lebih baik terhadap uji hemagglutination inhibition (HI). Uji ELISA IB serotipe isolat
lokal PTS-III dapat digunakan untuk screening sampel dalam laboratorium diagnostik.
Kata Kunci: ELISA, antibodi, ayam, IB isolat lokal PTS-III

INRODUCTION

peplomer S, the S2 glycoprotein forms the stalk


and is anchored in the membrane, whereas the S1

Infectious Bronchitis virus (IBV) infects


the respiratory tract, kidneys or oviduct of chick-

forms the outer bulbous part of the peplomer.


The membrane (M) glycoprotein is embedded in

en of all ages causing retarded growth, mortality,

the viral lipid bilayer and is only partially (10%)

reduced egg production and inferior egg shell

exposed on surface of virion. The nucleocapsid

quality (King & Cavanagh 1991). The virus be-

(N) protein is located inside the virion, associated

long to family of Coronaviridae. Corona viruses

with viral RNA (Cavanagh 1983a,b,c). The role of

are enveloped, pleiomorphic, with a mean diameter of approximately 120 nm, club-shaped surface

the S1 glycoprotein in induction of humoral antibody responses, and it induces virus neutralizing

projections -the heavily glycosylate spike (S) gly-

(VN) and haemagglutination inhibiting (HI) an-

coprotein. IBVs contain four structural proteins.

tibodies (Cavanagh et al. 1984, Koch et al. 1990;

The S1 and S2 glycoproteins, from the spike or

Kant et al. 1992). The S1 glycoprotein has been

peplomer (S) located at surface of virion. In the

considered to be the most likely inducer of pro-

159

Indriani & Dharmayanti

tection (Cavanagh et al. 1986, Ignjatovic & Galli

for 72 hours. A thousand ml allantoic fluid was

1995) and cross-ractive epitopes are the most like-

harvested and clarified at 8000g for 30 minutes

ly to be involved in protection. The S2 glycoprotein carries epitop which induce cross-reactive

then EID50 was calculated. It was inactivated

antibodies (Kusters et al. 1989; Lenstra et al.

0.05% -PL and centrifuged at 90.000g for 90


minute in a sorvall AT- 629 (32ml) at 40C. The

1989; Koch et al. 1990). Immunity to IBV has

pooled result was pelleted in TEN buffer (150

most often been assessed using traditional serolog-

mM NaCl, 10mM Tris-hydrochloride, and 1mM

ical assay; however, the enzyme-linked immuno-

EDTA, pH 7.4) and analyzed for protein content

sorbent assay (ELISA) is used on a more frequent


basis to measure IBV antibodies (Case et al.1982).

by using Spectrophotometer/Nano Drop Tecnolo


-gies ND-1000 base on Bradfords method. The

The technique initially developed by Engvall &

solution was finally divided into several aliquots

Perlmann (1971) and has been widely used. The

and frozen at 700C.

use of ELISA offers a number of advantages com-

Serum IBV was prepared from 20 of spe-

pared with traditional serological assays, including


increase sensitivity and simplicity of automation

cific pathogenic free chickens that reared under


controlled conditions in the isolator (BSL-3) and

(Garcia & Bankowski 1981). The cross reactivity

vaccinated day 10 with live H120 (vaccine com-

of the IB ELISA with several strains of the virus

mercial), day 44 with inactivated oil-emulsion

and detection antibodies against other serotypes

vaccine PTS-III (BBALITVET) and day 57 chal-

(Zellen &Thorsen 1986 ; De Wit 2000) support


the idea that ELISA is a promising tool for sero-

lenge with 107EID50 of the same virus. The chickens were bled at day 10, 24, 34, 44, 57, 70, 78

logical studies, especially for use in evaluating the

and 89 of age. A group of specific pathogenic free

efficacy of vaccination regimens and monitoring

chicken were reared as negative control and bled

the immune status of birds in a flock (Cavanagh

at the same time.

& Naqi 2003; Wing et al. 2002). Indirect ELISAs

Ortho-phenylene diamine (OPD) (Sigma

were adapted and standardized for detecting antibodies against whole virus, and S1, S2 and N pro-

P.23938) was used. Horeseradish peroxidase conjugated rabbit anti-chicken IgG (Sigma A.9046)

tein of IBV (Ignjatovic & Galli 1995; Wing et al.

was used.

2002) and compared with other serological test

Antigen was diluted at concentrations 4

(De Wit et al. 1997; Perrotta et al. 1988; Thater et

mg/ml, 2 mg/ml and 1 mg/ml in carbonate buff-

al. 1987). This paper describes study of indirect


ELISA for detection of antibody against IBV by

er. Known positive IBV and negative sera was


diluted at 1:100, 1:200 and 1:500 in dilution

using local isolate virus (PTS-III), which its

buffer. Conjugate was diluted at 1: 1000, 1:2000,

according to the virus circulating in the field.

1:3000 and 1:4000. Six replicated reaction were


done. The color of reaction was obtained from
Ortho-phenylene diamine. The Optical density

MATERIAL AND METHODS


The local isolate IBV of PTS III as de-

were measured at 450 nm using an automatic


ELISA reader (Multiskan EX, Thermo Lybsys-

scribed by Darminto (1992) was propagated in

tems) and the signal-to noise (S/N) ratio at the

specific pathogenic free emberyonated chicken

same dilution were evaluated.

eggs at day 10 (Biofarma, Indonesia) by infecting

The ELISA procedure was standardized on

the virus to allantoic fluid then incubated at 37 C

the method developed by Case et al (1982) with

160

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay for Detection of Infectious Bronchitis Antibody

some modification. IBV local isolate PTS-III of

deviation (STDEV) as cut-off value of the ELISA.

antigen was assay at concentrations 0.4 g/50 l/

The specificity of the developed ELISA was

well in carbonate buffer (0.1M NaCO3, 0.02%


NaN3, pH 9.6). Flat bottomed micro plates

calculated as the percentage of negative in unvaccinated group and the sensitivity was calculated as

(Nunc) were coated antigen at same time. After

percentage of positives in vaccinated group. The

incubate at 4 C for one night, the wells were

result of serum obtain by the Elisa (local isolate

washed using washing buffer (0.15M NaCl, 2.5

PTS-III) were compared with those obtained by a

mM KCL, 1.5 mM NaH2PO4 H2O , 9.0 mM

commercial kit (IDEXX).

Na2HPO4 and 0.05% Tween 20, pH 7.4) with


soaking for 5 minutes at room temperature in

Infectious Bronchitis antigen which tested


by using ELISA was evaluated to determine anti-

each time and trapped out onto absorbent paper.

gen binding reaction and non specific antibodies

Fifty l blocking buffer (0.15M NaCl, 2.5 mM

against other respiratory viral diseases (Infectious

KCL, 1.5 mM NaH2PO4 H2O, 9.0 mM

Laryngotrachitis).

Na2HPO4, 1mM EDTA, 0.5% Casein, and 0.05


% Tween 20, pH7.4) was added to each well. The

HI test which conducted by M41 antigen


(kindly provided by BPMSOH), was used for the

plate was washed after incubation at 370C for 120

preparation of haemagglutinating antigen as de-

minutes. Serum samples were prepared by

scribed by King and Hopkins (1983) and Alexan-

diluting 1:100 in phosphate buffer saline (0.15M

der et al (1983).

NaCl, 2.5 mM KCL, 1.5 mM NaH2PO4 H2O ,


9.0 mM Na2HPO4, 1mM EDTA, 0.1% Casein,

RESULTS

and 0.05 % Tween 20, pH7.4 ) then 50 l was


added to each well. The plate was washed after
0

Antigen, serum and conjugate dilution

incubation at 37 C for 60 minute. Horseradish

The protein content of prepared antigen of

peroxidase conjugated rabbit anti-chicken IgG

IBV local isolate PTS-III was 8.8 mg/ml base on

was prepared by diluting 1:2000 l of conjugate


buffer (0.5M NaCl, 2.5 mM KCL, 1.5 mM

Bradfords method (Spectrophotometer/Nano


Drop Tecnologies ND-1000). We obtained mini-

NaH2PO4 H2O, 9.0mM Na2HPO4, 1mM EDTA,

mal nonspecific binding at 8 mg protein /well.

0.1% Casein, and 0.05 % Tween 20, pH7.4 )

According to titration result by 0,4 g/well anti-

then 50 l was added to each well. The plate was

gen (dilution 1:1000/well), 1:100 chicken serum

washed after incubation at 37 C for 60 minute. A


hundred l of substrate (0.04% OPD, 0.04%

dilution and 1:2000 conjugate HRPO in S/N


ratio which showed expensiveness of conjugate,

H2O2, 0.2M NaHPO4, 0.1 M Citric acid, pH5)

was chosen. Optical density of ELISA value for

was added and incubated at room temperature for

positive sera was 6 times greater to negative sera

45 minute then stopped by 1M H2SO4. Optical

(Figure 1.).

density of each serum was determined by using


ELISA reader.
Cut-off value of the ELISA was determined

Cross-reaction with other respiratory viral infection

by using optical density (OD) serum from unvac-

Non specific antibody reaction other res-

cinated group (as negative control). The average

piratory disease (ILT) in local isolate ELISA IB

value of OD serum was added three of standard

test the average value OD was 0.144, with STDV

161

Indriani & Dharmayanti

0.022, while the antigen control was 0.101 to

The HI titer (log2) of the positive sera were

0.002 STDV (Tabel 1.)

0.19, 3.45, 4.05, 3.95, 6.35, 8.3, 8.45, and 8.6

Optical density of the local isolate ELISA

respectively. In non-vaccinated group, HI titer at


first and the end of test period were 2.05 and 2.1

Optical density obtained by local isolate

respectively. The peak titer in vaccinated group

PTS-III and commercial ELISAs were measured

was recorded at day 44 or after 34 days post vac-

from 180 specific pathogenic free chickens sera

cinated with H120 live vaccine and the titer in-

and 140 specific pathogenic free chickens sera

creased at day 57 (after 2 weeks booster vaccinat-

Optical density ELISA

infected IBV (Table 2)

Antigen content

Figure 1. Optimum dilution of antigen, sera and conjugate


Tabel 1. Idetification reaction of non specific other respiratory virus (ILT)

? negative sera

? IB sera

? ILT sera

16
16
10

IBV Antigen ELISA


Mean OD
STDV

Control Antigen
Mean OD
STDV

0.162
0.993
0.144

0.155
0.144
0.101

0.001
0.005
0.022

0.101
0.002
0.002

Table 2. The result of 140 positive and 180 negative sera tested for IB antibody using local isolate PTS-III and
commercial ELISAs

24

34

44

57

70

78

89

0.313

0.504

0.521

0.880

0.904

0.933

0.930

0.142

0.146

0.141

0.162

0.135

0.135

0.131

0.135

0.090

0.154

0.239

0.766

0.877

0.868

0.917

0.052

0.054

0.055

0.052

0.052

0.053

0.052

0.054

10

0.052

local isolate
Elisa
Standard
commercial
Elisa

89
*

0.144

Optical
density

Specific pathogenic free chicken sera


infected IBV
57
70 78
10 24 34 44
#
#
#
##
*
*
$

Spesific pathogenic free chicken


sera

= days chicken age after live vaccine, ## = days chicken after booster kill vaccine,
*= days chicken age after challenge , $= days before vaccinated
#

162

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay for Detection of Infectious Bronchitis Antibody

ed). Also the titer was increased rapidly after chal-

was slightly higher than hemaglutination inhibi-

lenge in ELISAs. Correlation between the local

tion test, i.e. 96.42% and 90% respectively.

isolate ELISA test and standard commercial ELISA was very high (R2=0.933) in vaccinated and

While percentage of specificity between local isolate PTS-III ELISA and hemaglutination inhibi-

challenged chicken sera, while at the unvaccinated

tion test were 100%.

chicken sera has no correlation (R2=0.010)


DISCUSSION
Cut off optical density of the ELISA
The cut off for the standardized ELISA test
was determined as mean of negative sera plus

Protective immunity to avian infectious


bronchitis is not reflected by humoral antibodies,

thrice of the standard deviation 0.201 [0.141+

as shown by Davelaar & Kouwenhoven (1980).

(3x0.020)] (Figure 2.)

Nevertheless, monitoring antibodies after vaccination is a valuable procedure for indicating that
responses have occurred. The local isolate ELISA
test for measuring antibody level against IBV was

Sensitivity and specificity were evaluated

developed in this study. The test was standardized

using sample positive (S/P) ratio (Table 2). Per-

in term of reagent to obtain the significant S/N

centage of sensitivity local isolate PTS-III ELISA

ratio. ELISA test has been developed to monitor

Optical density

Specificity and Sensitivity of the local isolate


ELISA

Number of sera

Figure 2. The cut off for standardized ELISA of local isolate PTS-III
Table 4. Sensitivity and specificity the ELISA local isolate PTS-III dan HI
E LISA reaction

C hicken S era

SPF chicken
infected IBV

SPF chicken
uninfected

Precentation

Local isolate IB Elisa

Positive

135 (a)

0 (b)

Sensitivity 96,42%

Negative

5 ( c)

180 (d)

Specificity 100%

Positive

126 (a)

0 (b)

Sensitivity 90%

Negative

14 ( c)

180 (d)

Specificity 100%

Hemaglutination
Inhibition (HI) test

Sensitivity = (a)
(a)+(c)

; Specificity = (d)
(BALDOCK 1988)
(d)+(b)

163

Indriani & Dharmayanti

antibody respond to vaccination against IB

that the developed local isolate PTS-III ELISA

(Monreal et al. 1985, Mockett and Darbyshire

could be reliable, repeatable and more sensitive

1981, Soula &Moreau 1981). Case et al. (1982)


optimized the parameter of ELISA for detecting

for monitoring of vaccination schedules and for


detection of early rising of antibodies against IB

antibody against IBV. They obtained minimal

rapidly.

nonspecific binding and very high sensitivity using purified IB as antigen 50 ng protein /well and

CONCLUSION

final NaCl concentration 1.0M in buffer. In this


study it was obtained minimal nonspecific binding at 0.4 g protein/well. According to titration

This study concluded that local isolate IB


PTS III ELISA could be reliable, repeatable and

result base on 0.4 g protein/well at 1:2000 con-

sensitive for monitoring of vaccination schedules

jugate showed similar significant difference in S/N

and detection of early rising of antibodies against

ratio, and cheaper conjugate was chosen. To elim-

IB rapidly.

inate non specific binding in the local isolate


-III ELISA, we used blocking buffer (0,15M

AKNOWLEDGMENTS

NaCl, 2,5 mM KCL, 1,5 mM KH2PO4, 9,0 mM


NaHPO4, 0.5% Casein, and 0.05 % Tween 20,

This research was supported by funds from

pH7.4) after coated antigen. The local isolate ELI-

a researcher budget of BBALITVET DIPA in

SA indicated low to moderate level after live vaccination and moderate to relatively high level of

2012. We thank Heri Hoerudin and Apipudin,


and all collaborators helped for implementation of

antibody IB after injection of inactivated vaccine

this study

as well as commercial one. This data was agreed


with HI results. In non-vaccinated group OD was

REFERENCES

lower then that the cut off (0.201) in the local


isolate ELISA. Also, the titer of HI test which
negative in this group parallel with the ELISAs

Alexander, DJ., WH. Allan, PM. Biggs, CD.


Bracewell. JH. Darbyshire, PS. Dawson,

results. The OD of the ELISAs and HI titer in-

AH. Harris. FTW. Jordan, I. Macpherson,

creased slowly following live H120 vaccination

JB. McFerran, CJ. Randall, O. Swarbrick,

and more following oil vaccine injection.

& GP. Wilding. 1983. A satandard tech-

The sensitivity of local isolate PTS-III ELISA was slightly higher than hemaglutination inhi-

nique for haemagglutination inhibition test


for antibodies to avian infectious bronchitis

bition test, i.e. 96.42% and 91,42% respectively.

virus. Vet. Rec. 113:64

The results showed specificity was equal 100%

Baldock, FC. 1988 . Epidemiological evaluation

between local isolate PTS-III ELISA and hemag-

of immunological test. Elisa technology in

lutination

researcher

diagnosis and research. JCU, Townsville, Aus-

demonstrated the high sensitivity of the ELISA


and correlation of results obtained from the HI

tralia. 90-95.
Cavanagh, D. 1983a. Coronavirus IBV glycopoly-

test in chicken sera infected intratarcheally with

peptides: size of their polypeptide moieties

IB strain M41 (Mockett & Darbyshire 1981;

and nature of their oligosaccharides. J. Gen.

Soula & Moreau 1981).

Vir. 64: 1187-1191.

inhibition

test.

Some

The result of antibodies titration showed

Cavanagh, D. (1983b) Coronavirus IBV: further


164

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay for Detection of Infectious Bronchitis Antibody

evidence that the surface projections are asso-

Engvall, E., & P. Parlmann. (1971). Enzyme

ciated with two glycopolypeptides. J. Gen.

linked immunosorbent assay (ELISA) quan-

Vir. 64: 1787-1791.


Cavanagh, D . (1983c) Coronavirus IBV: struc-

titative assay of immunoglobulin G. Immun.


8:871-874.

tural characterization of the spike protein. J.

Garcia, Z., &. RA. Bankowski. 1981. Compara-

Gen. Vir. 64: 2577-2583.

tion of a tissue-culture virus-netraliz ation

Cavanagh, D., JH. Darbyshire, P. DAVIS, &

test and the enzyme-linked immunosorbent

RW. Peter. 1984. Induction of humoral neu-

assay for measurement of antibodies to infec-

tralizing and haemagglutination-inhibiting


antibody by the spike protein of avian infec-

tious bronchitia. Avian Diseases 25:121-130.


Ignjatovic, J., & L. Galli. 1995. Immune respon

tious bronchitis virus. Avian Path. 13: 573-

to structural protein of avian infectious bron-

583.

chitis virus. Avian Path. 24:313-332

Cavanagh, D., PJ. Davis, JH. Darbyshire,

&

Kusters, JG., EJ. Jager, JA. Lenstra, G. Koch,

RW. Peters. 1986. coronavirus IBV: virus


retaining spike glycopolypeptide S2 but not

WPA. Posthumus, RH. Meloen, & BAM.


Van der Zeist. 1989. Analysis of an immu-

S1 is unable to induce virus-neutralizing or

nodominant region of infectious bronchitis

haemagglutination-inhibiting antibody, or

virus. J. Immun. 143: 2692-2698.

induce chicken tracheal protection. J. Gen.

Kant, A., G. Koch, DJ. van Roozelaar, JG.

Vir. 67: 1435-1442


Case, JT., AA. Ardans, DC. Bolton, & BJ. Reyn-

Kusters, FAJ. Poelwijk, & BMA. van der


Zeijst, G. Koch, L. Hartog, A. Kant, & DJ.

olds. 1982. Optimization of parameter for

van Roozelaar. 1990. Antigenic domains on

detecting antibodies against infectious bron-

the peplomer protein of avian infectious

chitis virus using an enzimed-linkes Im-

bronchitis virus: correlation with biological

munosorbent Assay: Temporal respon to

functions. J. Gen. Vir.71: 1929-1935.

vaccination and challenge with live virus.


Avian Diseases 27:196-210

Kant, A., G. Koch, DJ. van Roozelaar, JG.


Kusters, FAJ. Poelwijk, & BMA. van Der

Davelaar, PG. & Kouwenhoven, B. 1980. Vac-

Zeijst 1992 Location of antigenic sites de-

cination of DOC broiler against infectious

fined by neutralizing monoclonal antibodies

bronchitis by eye drop application or coarse

on the S1 avian infectious bronchitis virus

droplet spray and the effect of revaccination


by spray. Avian Pathology 9:499-510

glycopolypeptide. J. Gen. Vir., 73, 591-596.


King, DJ., & SR. Hopkins 1983. Evaluation of

Darminto. 1992. Characterization of subtype In-

the

hemaggutination-inhibition

test

for

fectious Bronchitis virus local isolate. J. Pen-

measuring the response of chickens to avian

yakit Hewan 24: 78-81

infectious bronchitis virus vaccination, Avian

De Wit, JJ., DR. Mekkes, B. Kouwenhoven, &

Diseases 27:100-112

JHM. Verheijden.1997. Sensitivity and specificity of serological tests for infectious bron-

King, DJ. & D. Cavanagh. 1991. Infectious bronchitis, in: BW. Calnek, HJ. Barnes, CW.

chitis virus antibodies in broilers. Avian

Beard,WM. Reid & HW. Yoder (Eds) Dis-

Path. 26:105-118.

eases of Poultry, 9th edn, pp. 471-484

De Wit, JJ.(2000). Detection of infectious bronchitis virus. Avian Pathology 29:71-93.

Koch,G., L. Hartog, A. Kant & DJ. van


Roozelaar. 1990. Antigenic domains on the
165

Indriani & Dharmayanti

peplomer protein of avain influenza bronchi-

neutralization assays for measuring protective

tis virus: correlation with biological fungtion.

antibody levels in chickens. Avian Diseases

J. Gen. Vir. 71: 1929-1935.


Lenstra, JA., JG. Kusters, G. Koch. & BAM. van

32:451-460.
Soula, A. & Y. Moreau. (1981). Antigen require-

Der Zeijst. 1989 Antigenicity of the

ments and specificity of a microplate enzyme

peplomer protein of infectious bronchitis

-linked immunosorbent assay (ELISA) for

virus. Mol. Immun. 26: 7-15.

detecting infectious bronchitis viral antibod-

Monreal, G., HJ. Baure & Wiegman. 1985.

ies in chicken serum. Archives Vir. 67:283-

Comparasion of the enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Hemagglutina-

295
Thater, SG., P. Villegas. & OJ. Fletcher. (1987).

tion inhibition test and agar gel precipitation

Comparison of two commercial enzyme-

test for detection of antibodies to avian in-

Linked Immunosorbent Assay and conven-

fectious bronchitis virus. Avian Path. 14:421

tional methods for avian serology. Avian Dis-

-434.
Mockett,APA., & JH. Darbyshire. 1981. Co-

eases 31:120-124.
Zellen, GK., &. J. Thorsen. (1986). Standardiza-

mapration studies with an enzyme-linked

tion and application of the Enzyme-Linked

immunosorbent assay (ELISA) for antibodies

Immunosorbent Assay for infectious bron-

to avian infectious bronchitis virus. Avian

chitis. Avian Diseases 30:695-698.

Pathology 10:1-10.
Perrotta, C. C. Furtek, RA. Wilson, BS. Cowen

Wing, CH., CC. HONG, & JCH. SEAK.


(2002). An ELISA for antibodies against

& RJ. Eckroade. 1988. A standardization

infectious bronchitis virus using an S1 spike

enzyme-linked immunosorbent assay for in-

polypeptide. Vet. Micro. 85:333-342.

fectious bronchitis virus: Comparison with


hemagglutination-inhibition

and

virus-

166

Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 167-174 (2013)

Karakterisasi Genetik Tempuyung (Sonchus arvensis L.) Berdasarkan Penanda Molekuler


Sequence-Related Amplified Polymorphism
(Genetic Characterization of Tempuyung (Sonchus arvensis L.) Based on Sequence-Related
Amplified Polymorphism Molecular Markers)
Dyah Subositi* & Rohmat Mujahid
Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Badan Litbang Kesehatan,
Kementerian Kesehatan RI. Jl. Raya Lawu, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, Tel.: (0271) 697010,
Fax.: (0271) 697451, E-mail: dyah.subositi@gmail.com
Memasukkan: Februari 2013, Diterima: April 2013

ABSTRACT
Tempuyung (Sonchus arvensis L.) is known as an important medicinal plant used as a diuretics and
antihypertensives. This plant is widely distributed in Indonesia. Genetic diversity of tempuyung is important
information as a database for further research especially in medicinal plant standardization. The objective of this
study was to analyse genetic characterization of tempuyung based on SRAP (Sequence-related amplified
polymorphism) molecular markers. Thirteen samples were collected from 8 different locations and amplified using
5 primer SRAP combinations. Similarity matrix was calculated using Dice coefficient. Unweighted Pair Group
Method Using Arithmetic Mean (UPGMA) cluster analysis was performed to develop a dendrogram. The result
indicates that there was a genetic variation among tempuyung accessions and divided into 4 clusters with similarity
index of 0,7719. Citeureup and Turen3 accessions were the most closely similar with similarity index of 0,8936. In
conclusion, SRAP markers may serve as an efficient and effective tools to analyze the genetic diversity among
tempuyung accessions.
Keywords: genetic characterization, tempuyung (Sonchus arvensis L.), SRAP
ABSTRAK
Tempuyung (Sonchus arvensis L.) banyak dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat untuk menurunkan tekanan darah
tinggi dan peluruh air seni. Tempuyung mudah dan banyak dijumpai di berbagai tempat di Indonesia. Keragaman
genetik tempuyung merupakan informasi penting sebagai data base untuk penelitian lebih lanjut terutama
mendukung standarisasi tumbuhan obat. Penelitian ini bertujuan untuk karakterisasi genetik tempuyung
menggunakan penanda molekular SRAP (Sequence-related amplified polymorphism). Sebanyak 13 aksesi tempuyung
yang dikoleksi dari 8 lokasi digunakan sebagai sampel dan diamplifikasi menggunakan 5 pasang kombinasi primer
SRAP. Indeks similaritas dihitung menggunakan rumus indeks similaritas Dice kemudian disusun analisis klaster
dan konstruksi dendogram dilakukan dengan menggunakan metode Unweighted Pair Grup Method Using Aritmetic
Method (UPGMA). Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi genetik antar aksesi tempuyung dan terbagi
menjadi 4 klaster pada indeks similaritas 0,7719. Aksesi Citeurep dan aksesi Turen 3 mempunyai hubungan
kemiripan yang terdekat pada indeks similaritas 0,8936.Penanda molekular SRAP merupakan teknik efektif dan
efisien untuk karakterisasi genetik antar aksesi tempuyung.
Kata Kunci: Karakterisasi genetik, tempuyung (Sonchus arvensis L.), SRAP

PENDAHULUAN

Sulawesi dan Papua. Tumbuhan tersebut dapat


tumbuh di tempat dengan ketinggian 50-2400 m

Tempuyung (Sonchus arvensis L.) merupakan tumbuhan anggota familia Asteraceae dan

dpl dan banyak dijumpai di sekitar persawahan,


tepi jalan, dan tebing (Backer & van den Brink

banyak ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali,

1965). Tempuyung banyak digunakan untuk


167

Subositi & Mujahid.

mengobati asma, batuk, beberapa keluhan sakit

kemudahan teknik RAPD dan hasil yang

pada dada, menenangkan saraf, anti radang,

mempunyai keakuratan tinggi seperti AFLP serta

peluruh air seni dan menurunkan tekanan darah


tinggi. Tempuyung juga dilaporkan berfungsi

mampu mendeteksi polimorfisme di coding


sequence yang umumnya terdapat di genom

sebagai insektisida. Flavonol, glikosida flavonol,

kultivar dan mempunyai tingkat mutasi yang

monoasil galaktosilgliserol, seskuiterpen lakton,

relatif rendah (Keyfi & Beiki 2012; Zeng et al.

dan asam kuinat berhasil diisolasi dari tanaman

2012).

ini (Xiang & Yu 2010).

digunakan untuk berbagai tujuan anatara lain

Keanekaragaman genetik pada suatu spesies


sangat penting digunakan untuk menggambarkan

yaitu untuk identifikasi kultivar (Jianfeng et al.


2012), analisis keragaman genetik dan hubungan

daya adaptasi, seleksi genotip dan untuk merakit

kemiripan plasma nutfah (Alghamdi et al. 2012),

varietas baru, sidik jari genetik, serta manajemen

identifikasi dan karakterisasi genetik F1 hibrid

plasma nutfah. Karakter morfologi merupakan

(Zhang et al. 2012). Tujuan penelitian ini adalah

karakter yang banyak digunakan untuk sebagai


langkah awal untuk identifikasi dan analisis

karakterisasi genetik aksesi tempuyung berdasarkan penanda molekular SRAP untuk mendukung

keanekaragaman genetik, karena karakter ini

standarisasi tumbuhan obat.

Penanda

molekular

telah

banyak

mudah diamati. Karakter morfologi mempunyai


keterbatasan yaitu membutuhkan waktu penga-

BAHAN DAN CARA KERJA

matan yang lama dan membutuhkan ketelitian


dan kemampuan dalam mencandra saat di

Koleksi sampel tempuyung dilakukan pada

lapangan serta mudah terpengaruh oleh kondisi

bulan Februari-Agustus 2012, wilayah pengum-

lingkungan (Fu et al. 2008; Meng et al. 2011).

pulan sampel meliputi provinsi Jawa Timur, Jawa

Perkembangan teknik penanda molekular

Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat,

memungkinkan untuk menganalisis genom secara

Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Barat.

langsung dan akurat sehingga dapat meminimalisasi kesalahan akibat faktor lingkungan. Berbagai

Sebanyak 52 aksesi tempuyung berhasil dikoleksi


kemudian diamati pola spektrum FTIR (Fourier

macam teknik penanda molekular juga telah

transformed

banyak

dan

analisis hasil menggunakan PCA (Principal

identifikasi varietas pada tumbuhan (Abdelmigid

Component Analysis). Sebanyak 13 aksesi yang

2012). Penanda molekular tersebut antara lain


Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP),

berbeda secara profil FTIR serta lokasi tumbuh


dipilih sebagai sampel untuk analisis karakterisasi

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD),

genetik (Tabel 1).

digunakan

untuk

karakterisasi

infrared

spectrophotometer)

dan

Amplified Fragment Length Polmorphism (AFLP),

Sebanyak 0,1 gram daun muda tempuyung

Mikrosatelit atau Simple Sequence Repeats (SSRs)

disimpan pada freezer -80C kemudian diisolasi

dan Inter Simple Sequence Repeats (ISSRs)

menggunakan protokol dan kit isolasi DNA

(Muthusamy et al. 2008).


Sequence-related amplified

polymorphism

(Sigma GenElute Plant Genomic DNA Miniprep


Kit). Hasil isolasi DNA genom tempuyung

(SRAP) merupakan penanda molekular yang

diencerkan 1000X dan diukur absorbansi pada

ditemukan lebih akhir dibandingkan penanda

panjang gelombang 260 nm dan 280 nm (l 260/

molekular lainnya seperti RFLP, AFLP, RAPD,

280)

SSR

menentukan kemurnian dan konsentrasi DNA.

168

dan

ISSR.

SRAP

mengkombinasikan

menggunakan

spektrofotometer

untuk

Karakterisasi Genetik Tempuyung (Sonchus arvensis L.)

Tabel 1. Daftar aksesi tempuyung yang digunakan untuk karakterisasi genetik

No

No
Koleksi

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

2
3
15
25
27
34
36
37
47
48
49
50

13

52

Nama Aksesi
Turen-2
Turen-3
Purwokerto
Kalisoro
Patuk
Materia Medika
Mataram
Citereup
B2P2TO-OT (1)
B2P2TO-OT (2)
B2P2TO-OT (3)
B2P2TO-OT (4)
B2P2TO-OT (campuran
untuk QC)

Asal
Turen, Malang
Turen, Malang
Purwokerto
Tawangmangu, Karanganyar
Gunung Kidul
Materia Medika, Malang
Mataram
Citereup, Bandung
Tawangmangu, Karanganyar
Tawangmangu, Karanganyar
Tawangmangu, Karanganyar
Tawangmangu, Karanganyar
Tawangmangu, Karanganyar

Keterangan
Liar
Liar
Liar
Liar
Liar
Budidaya
Liar
Liar
Budidaya
Budidaya
Budidaya
Budidaya
Budidaya

tempuyung

Produk amplifikasi dicek menggunakan

menggunakan 5 kombinasi primer SRAP yaitu

elektroforesis gel agarosa 2% yang telah diberi

ME1-EM2, ME1-EM3, ME2-EM1, ME3-EM2


dan ME4-EM3 (Tabel 2). Protokol SRAP

SYBR safe green pada 80 volt selama 100 menit.


Visualisasi hasil elektroforesis menggunakan sinar

berdasarkan Li & Quiros (2001) dengan modifi-

UV pada alat Gel Documentation System (BioRad).

kasi pada komposisi/campuran untuk reaksi PCR

Data diperoleh dari hasil visualisasi frag-

dan waktu elongasi terakhir. Sebanyak 3 l

men DNA tiap aksesi tempuyung pada kombinasi

template (25 ng DNA genom), 0,6 l primer

primer SRAP yang berbeda. Bila terdapat fragmen

reverse dan 0,6 l primer forward, 13 l PCR


Mix, kemudian ditambah distillated water sampai

diberikan skor 1 dan bila tidak terdapat fragmen


diberi skor 0. Indeks similaritas dihitung menggu-

volume 25 l. Campuran tersebut dimasukkan

nakan rumus indeks similaritas Dice kemudian

dalam Thermocycler (BioRad) dengan program

disusun analisis kelompok (cluster analysis) dan

sebagai berikut: pre-denaturasi 94C selama 5

konstruksi

menit, kemudian siklus pertama sebanyak 5


siklus terdiri atas fase denaturasi 94C selama 1

menggunakan metode Unweighted Pair Grup


Method Using Aritmetic Method (UPGMA). Data

menit, fase penempelan pada suhu 35C selama 1

tersebut diolah menggunakan program komputer

menit dan fase elongasi/pemanjangan pada suhu

(software) NTSYS ver 2.02.

Amplifikasi

DNA

aksesi

dendogram

dilakukan

dengan

72C selama 1 menit, selanjutnya diikuti oleh


siklus kedua sebanyak 35 siklus terdiri atas fase
denaturasi pada suhu 94C selama 1 menit, fase

HASIL

penempelan pada suhu 50C selama 1 menit dan

Sebanyak 48 fragmen DNA dihasilkan dari

fase elongasi pada suhu 72C selama 1 menit.

amplifikasi menggunakan 5 kombinasi primer

Reaksi PCR diakhiri fase elongasi pada suhu 72C

SRAP dengan jumlah 2 fragmen DNA tiap

selama 8 menit dan 4C sebagai holding

primer (Tabel 3). Kombinasi primer ME2-EM1

temperature.
169

Subositi & Mujahid.

Tabel 2. Primer SRAP untuk analisis variasi genetik tempuyung


No
1
2
3
4
5
6
7

Nama Primer

Sekuen
5 TGAGTCCAAACCGGATA 3
5 TGAGTCCAAACCGGAGC 3
5 TGAGTCCAAACCGGAAT 3
5 TGAGTCCAAACCGGACC 3
3 GACTGCGTACGAATTAAT 5
3 GACTGCGTACGAATTTGC 5
3 GACTGCGTACGAATTGAC 5

ME1
ME2
ME3
ME4
EM1
EM2
EM3

menghasilkan jumlah fragmen paling banyak

kombinasi

primer

ME3-EM2,

sedangkan

yaitu 17 fragmen, sedangkan primer ME1-EM3

kombinasi primer ME1 dan EM2 menghasilkan

menghasilkan fragmen paling sedikit yaitu 2


fragmen. Ukuran fragmen DNA yang dihasilkan

fragmen spesifik dengan ukuran sekitar 205 dan


300 bp pada aksesi Kalisoro dan fragmen spesifik

dari kombinasi primer ME1-EM2 berkisar antara

berukuran 130 dan 500 bp pada aksesi B2P2TO-

130-1050 bp, primer ME1-EM3 menghasilkan

OT (Campuran) (Gambar 1).

fragmen 160-250 bp, primer ME2-EM1 mengha-

Dendogram (Gambar 2) menunjukkan 13

silkan fragmen 40-1.620 bp, primer ME3-EM2

aksesi tempuyung terbagi menjadi 4 klaster.

menghasilkan fragmen 20-1.000 bp, sedangkan


kombinasi primer ME4-EM3 menghasilkan

Indeks kemiripan genetik 13 aksesi tempuyung


berkisar 74,93%-89,36%. Klaster I terdiri dari

fragmen 50-450 bp.

aksesi Citeurep, aksei Turen 2 dan aksesi

Polimorfisme tertinggi dihasilkan amplifi-

Mataram, Klaster II terdiri dari aksesi Materia

kasi menggunakan pasangan primer ME2-EM1

Medika Malang, aksesi B2P2TO-OT campuran,

yaitu 94,1%, polimorfisme terendah 50% bila


diamplifikasi menggunakan pasangan primer

aksesi B2P2TO-OT 1, aksesi B2P2TO-OT 2,


aksesi B2P2TO-OT 4, dan aksesi B2P2TO-OT

ME1-EM3, sedangkan polimorfisme rata-rata

3,

yaitu 77,1% (Tabel 3).

Purwokerto, sedangkan klaster IV terdiri dari

klaster

III

hanya

beranggotakan

aksesi

Lima kombinasi primer SRAP menghasil-

aksesi Turen-3, aksesi Patuk dan aksesi Kalisoro.

kan fragmen DNA dengan polimorfisme rata-rata


yang cukup tinggi (77,1%) dan 4 kombinasi

Aksesi Citeurep dan aksesi Turen 3 mempunyai


hubungan kemiripan yang terdekat dengan nilai

primer menghasilkan beberapa fragmen spesifik

indeks kesamaan/kemiripan sebesar 89,36% atau

tetapi kombinasi primer ME1-EM3 tidak dapat

0,8936.

menghasilkan

fragmen

spesifik

pada

aksesi

tertentu. Kombinasi primer ME4-EM3 mengha-

PEMBAHASAN

silkan fragmen spesifik untuk aksesi B2P2TO-OT


(4) pada ukuran sekitar 80 bp, sedangkan primer

Lima kombinasi primer SRAP mengha-

ME2-EM1 menghasilkan primer spesifik untuk

silkan fragmen dan tingkat polimorfisme yang

aksesi Materia Medika Malang pada ukuran

cukup tinggi (77,1%), hal tersebut menunjukkan

sekitar 1620 bp dan fragmen spesifik ukuran

bahwa kombinasi primer SRAP terutama primer

sekitar 1140 bp pada aksesi Mataram. Aksesi


Turen-2 mempunyai fragmen spesifik ukuran

ME1-EM2, ME2-EM1 dan ME3-EM2 efektif


digunakan untuk karakterisasi genetik tempuyung

sekitar 200 bp jika diamplifikasi menggunakan

karena menghasilkan fragmen DNA banyak dan

170

Karakterisasi Genetik Tempuyung (Sonchus arvensis L.)

Tabel 3. Total fragmen DNA hasil amplifikasi dengan menggunakan 5 primer SRAP dan prosentase fragmen
polimorfik pada 13 aksesi tempuyung.
No

Total fragmen
teramplifikasi

Kombinasi Primer
ME1 : 5 TGAGTCCAAACCGGATA 3
EM2 : 3 GACTGCGTACGAATTTGC 5
ME1 : 5 TGAGTCCAAACCGGATA 3
EM3 : 3 GACTGCGTACGAATTGAC 5
ME2 : 5 TGAGTCCAAACCGGAGC 3
EM1 : 3 GACTGCGTACGAATTAAT 5
ME3 : 5 TGAGTCCAAACCGGAAT 3
EM2 : 3 GACTGCGTACGAATTTGC 5
ME4 : 5 TGAGTCCAAACCGGACC 3
EM3 : 3 GACTGCGTACGAATTGAC 5

1
2
3
4
5

Total

Fragmen
Monomorfik

Prosentase
Polimorfik (%)

11

72,7

50

17

94,1

11

72,7

57,1

48

11

Rata-rata

77,1

37

36

34 2

15

25

27 47 48 49

50

52

37

36

34

15

25

27 47

48 49

50 52

3.000 bp
3.000 bp

1.000 bp

1.000bp

500 bp

500 bp

200 bp

500 bp

100bp

300 bp
205 bp

100 bp

130 bp

Gambar 1. Fragmen DNA Tempuyung hasil amplifikasi dengan menggunakan primer SRAP (A: kombinasi
primer ME1-EM2 dan B: kombinasi primer ME3-EM2)

polimorfisme tinggi. Variasi prosentase polimorfis

dapat dijadikan sebagai marka identifikasi, akan

-me menggambarkan perbedaan genetik antar dan

tetapi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

di dalam populasi dan atau genotip yang diteliti


serta kombinasi primer SRAP yang digunakan

terkait dengan jenis penanda molekular dan


jumlah sampel yang digunakan. Primer SRAP

selain itu primer yang menghasilkan polimorfisme

terdiri dari primer forward yang mengamplifikasi

fragmen

studi

daerah ekson dan primer reverse mengamplifikasi

keragaman genetik dan untuk membedakan antar

daerah intron dan daerah yang mempunyai

genotip (Abdelmigid 2012; Alghamdi 2012).

promoter. Polimorfisme yang teramati berasal dari

Adanya fragmen spesifik yang terdapat


pada beberapa aksesi jika diamplifikasi menggu-

variasi panjang ekson, intron, promoter dan spacer


baik antar individu maupun antar spesies (Li &

nakan kombinasi primer SRAP tertentu dapat

Quiros 2001). Menurut Noormohammadi et al.

digunakan sebagai penanda untuk karakterisasi

(2011) adanya fragmen/lokus spesifik pada

ataupun identifikasi aksesi tersebut. Kusumadewi

beberapa kultivar atau aksesi menunjukkan

dkk. (2010) menyatakan bahwa pita-pita DNA


yang unik dan dijumpai pada populasi tertentu

terjadinya insersi/ delesi di DNA pada genotip


dimana hal tersebut berguna untuk perencanaan

tinggi

lebih

efisien

untuk

171

Subositi & Mujahid.

hibridisasi. Primer SRAP mempunyai desain unik

kemiripan atau kesamaan aksesi kemungkinan

sehingga teknik tersebut lebih reprodusibel, stabil,

karena mempunyai tetua yang sama. Hasil yang

lebih sederhana dibandingkan dengan teknik


molekular lainnya.

sama terjadi pada karakterisasi genetik kultivar


alfalfa menggunakan penanda molekular SRAP,

mampu

terdapat klaster yang beranggotakan kultivar

menunjukkan adanya keragaman genetik diantara

alfalfa berdasarkan kemiripan kondisi lingkungan

13 aksesi tempuyung pada indeks kemiripan

asal (Yuan et al. 2011). Seluruh anggota klaster II

berkisar 74,93%-89,36%. Hal tersebut mengin-

merupakan aksesi yang telah dibudidayakan yaitu

dikasikan keragaman genetik yang sempit antar


aksesi tempuyung. Klaster II (Gambar 2) menun-

di B2P2TO-OT Tawangmangu dan di Materia


Medika Malang, hal tersebut menunjukkan

jukkan anggota klaster terdiri dari sebagian besar

bahwa penanda molekular SRAP mampu menge-

aksesi berasal dari B2P2TO-OT Tawangmangu.

lompokkan aksesi berdasarkan karakter budidaya.

Hal tersebut menunjukkan bahwa penanda

Seehalak et al. (2006) menyatakan variasi genetik

molekular SRAP mampu mengelompokkan


beberapa aksesi-aksesi menjadi satu klaster berda-

yang sempit antar aksesi yang telah dibudidayakan


kemungkinan disebabkan karena dibudidayakan

sarkan lokasi asal sampel atau tempat tumbuh

dalam jangka waktu yang lama sehingga aksesi

yang sama. Menurut Shafie et al. (2011) tingkat

telah beradaptasi dengan kondisi agroklimat.

Penanda

molekular

SRAP

kemiripan yang tinggi berkorelasi dengan kondisi

Penanda molekular SRAP merupakan pe-

tempat tumbuh yang sama atau mirip. Lima


aksesi B2P2TO-OT menjadi satu klaster

nanda paling kuat untuk analisis keanekaragaman


genetik pada kultivar rumput Bucholoe dactyloides

kemungkinan disebabkan berasal dari tetua yang

dibandingkan dengan penanda molekular SSR,

sama, dibudidayakan dalam jangka waktu lama

ISSR dan RAPD (Budak et al. 2004). Penanda

dan tumbuh pada kondisi lingkungan yang sama.

molekular SRAP mampu menujukkan adanya

Al-Rawashdeh

variasi

(2011)

menyatakan

bahwa

genetik

yang

sempit

antar

aksesi

Citeurep
Turen-2
Mataram
Materiamedika
B2P2TO-OT(QC)
B2P2TO-OT(1)
B2P2TO-OT(2)
B2P2TO-OT(4)
B2P2TO-OT(3)
Purwokerto
Turen-3
Patuk
Kalisoro

0.70

0.75

0.80

0.85

0.90

Koefisien

Gambar 2. Dendogram 13 aksesi tempuyung berdasarkan penanda molekular SRAP

172

Karakterisasi Genetik Tempuyung (Sonchus arvensis L.)

tempuyung. Variasi genetik tersebut kemung-

Budak, H., RC. Shearman, I. Parmaksiz, RE.

kinan disebabkan adanya perbedaan budidaya dan

Gaussoin, TP. Riordan, & I. Dweikat. 2004.

tetua aksesi tempuyung. Informasi tersebut


merupakan salah satu data untuk mendukung

Molecular characterization of buf-falograss


germplasm using sequence-related amplified

standarisasi tempuyung sebagai bahan baku serta

polymorphism markers. Theor. Appl. Genet.

penelitian lebih lanjut pengembangan aksesi

108: 328-334.

tempuyung. Penanda molekular SRAP dapat

Fu, XP., GG. Ning, LP. Gao, & MZ. Bao. 2008.

digunakan untuk identifikasi secara molekular

Genetic diversity of Dianthus accessions as

pada tempuyung.

assessed using two molecular marker systems


(SRAPs and ISSRs) and morpho-logical

UCAPAN TERIMA KASIH

traits. Sci. Horticult. 117: 263 270.


Jianfeng, H., Q. Yonghua, M. Hingxia, Z.

Penelitian ini ini adalah salah satu bagian

Chunyang, Y. Zixing, & H. Guibing. 2012.

penelitian yang dibiayai dari DIPA Tahun 2012


Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tum-

Molecular marker analysis of Shatangju and


Wuzishatangju mandarin (Citrus reticulata

buhan Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-

Blanco). Afri. J. Biotech. 11(89):15501-

OT), Badan Litbang Kesehatan.

15509.
Keyfi, F., & AH. Beiki. 2012. Exploitation of

DAFTAR PUSTAKA

random amplified polymorphic DNA


(RAPD) and sequence-related amplified

Abdelmigid, HM. 2012. Efficiency of random

polymorphism (SRAP) markers for genetic

amplified polymorphic DNA (RAPD) and

diversity of saffron collection. J. Med. Plants

inter-simple sequence repeats (ISSR) markers

Res. 6(14): 2761-2768.

for genotype fingerprinting and genetic

Kusumadewi, Y., YS. Purba, & T. Partomihardjo.

diversity studies in canola (Brassica napus).


Afri. J. Biotech. 11(24): 6409-6419.

2010.
Keragaman
Genetika
Ramin
[Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] dari

Al-Rawashdeh, IM. 2011. Genetic Variability in a

Provinsi Riau Berdasarkan Profil Random

Medicinal Plant Artemisia judaica using

Amplified Polymorphic DNA. J. Biol.

Random

Indonesia 6(2): 173-183.

Amplified

Polymorphic

DNA

(RAPD) Markers. Inter. J. Agri. Ecol. 13:279


-282.

Li, G., & CF. Quiros. 2001. Sequencerelated


amplified polymorphism (SRAP), a new

Alghamdi, SS., SA. Al-Faifi, HM. Migdadi, MA.

marker system based on a simple PCR

Khan, EH. El-Harty, & MH. Ammar. 2012.

reaction: Its application to mapping and

Molecular

gene tagging in Brassica. Theor. Appl. Genet.

Diversity

Assessment

Using

Sequence Related Amplified Poly-morphism

103: 455-461.

(SRAP) Markers in Vicia faba L. Int. J. Mol.


Sci. 13: 16457-16471.

Meng, L., HX. Yang, PC. Mao, HW. Gao, &


FD. Sun. 2011. Genetic diversity analysis of

Backer, CA. & RCB. van den Brink. 1968. Flora

Arrhenatherum elatius germplasm with inter-

of Java (spermatophytes only) Vol. 2. Walters

simple sequence repeat (ISSR) markers. Afri.

Nordoff, NY Groningen, The Netherlands.

J. Biotech. 10(44): 8729-8736.

173

Subositi & Mujahid.

Muthusamy,

S.,

S.

Kanagarajan,

&

S.

Xiang,

ZXIA., & LJ.Yu. 2010. Steroids and

Ponnusamy. 2008. Efficiency of RAPD and

Phenols from Sonchus arvensis. Chin. J. Nat.

ISSR Markers System in Genetic Variation


of Rice Bean (Vigna umbellata) Landraces.

Med . 8(4): 267-269.


Yuan, Q., J. Gao, Z. Gui, Y. Wang, S. Wang, X.

Elec. J. Biotech. 11(3): 1-10.

Zhao, B. Xia, & XL. Li. 2011. Genetic

Noormohammadi, Z., F. Shojaei-Jesvaghani, M.

relationships

among

alfalfa

gemplasms

Sheidai, F. Farahani, & O. Alishah. 2011.

resistant to common leaf spot and selected

Inter simple sequence repeats (ISSR) and

Chinese cultivars assessed by sequence-

random amplified polymorphic DNA


(RAPD) analyses of genetic diversity in Mehr

related amplified polymorphism (SARP)


markers. Afri. J. Biotech. 10(59): 12527-

cotton cultivar and its crossing progenies.

12534.

Afri. J. Biotech. 10(56): 11839-11847.

Zhang, F., YY. Ge, WY. Wang, XL. Shen, & XY.

Seehalak, W., N. Tomooka, A. Waranyuwat, P.

Yu. 2012. Assessing genetic divergence in

Thipyapong, P. Laosuwan, A. Kaga, & DA.


Vaughan. 2006. Genetic diversity of the

interspecific hybrids of Aechmea gomosepala


and A. recurvata var. recurvata using

Vigna

and

inflorescence characteristics and sequence-

neighbouring regions revealed by AFLP

related amplified polymorphism markers.

analysis. Gen. Res. Crop Evo. 53(5): 1043-

Genet. Mol. Res. 11 (4): 4169-4178.

germplasm

from

Thailand

1059.
Shafie, SB., SMZ. Hasan, AM. Zain, & RM.

174

Zeng, B., GZ. Wang, FY. Zuo, ZH. Chen, &


XQ. Zhang. 2012. Genetic diversity analysis
cocksfoot

(Dactylis

glomerata

Shah. 2011. RAPD and ISSR markers for

of

L.)

comparative analysis of genetic diversity in

accessions with sequence-related amplified

wormwood capillary (Artemisia capillaris)

polymorphism (SRAP) and inter-simple

from Negeri Sembilan, Malaysia. J. Med.

sequence repeat (ISSR) markers. Afri. J.

Plants Rese. 5(18): 4426-4437.

Biotech. 11(67):13075-13084.

Jurnal Biologi Indonesia 9(2) 175-182 (2013)

Karakteristik Populasi Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) yang Tertangkap di


Sumatera Selatan
(Population Characteristics of the Asiatic Softshell Turtle Amyda cartilaginea (Boddaert,
1770) Harvested in South Sumatera)
Agus Arifin Sentosa, Danu Wijaya & Astri Suryandari
Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Jl. Cilalawi No. 01 Jatiluhur, Purwakarta 41152;
E-mail: agusarifinsentosa7@gmail.com
Memasukan: Januari 2013, Diterima: April 2013
ABSTRACT
The Asiatic softshell turtle Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) is one of the reptile commodities included in CITES
Appendix II with vulnerable status according to IUCN. The species has been harvesting, especially for export purpose
in South Sumatera. The reseach was aimed to know the population characteristics of the Asiatic softshell turtle
harvested in South Sumatera. The study was carried out based on enumerators approach from July to Desember
2012 in South Sumatera. The data enumeration also has been collected from the 1st collectors. Data analysis included
the size distribution of carapace curve length (CCL), carapace curve width (CCW), body weight, sex ratio, age
structure, CCL-weight relationship and von Bertalanffy growth parameters. The results showed that there were
recorded 306 individuals of A. cartilaginea (92% adult) with sex ratio male and female is 42:58. Its has carapace
curve length range from 10 to 75.5 cm, carapace curve width 9 to 59.5 cm and body weight 0.02 to 40 kg. A.
cartilaginea growth pattern was negatively allometric (b = 2.727). The von Bertalanffy growth formula of A.
cartilaginea in South Sumatera was PLK(t) = 78,75{1-exp[-0,18(t-(-0,72)]} cm.
Keywords: Amyda cartilaginea, population characteristics, South Sumatera
ABSTRAK
Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) merupakan salah komoditi reptilia yang dikategorikan ada dalam
CITES Appendiks II dengan status IUCN vulnerable. Jenis ini telah digunakan sebagai komoditi ekspor dari Sumatera Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik populasi labi-labi yang dipanen dari Sumatera Selatan. Kajian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yang didasarkan pada hasil
penangkapan dari pengumpul selama bulan Juli-Desember 2012 di Sumatera Selatan. Data yang dikumpulkan adalah nisbah kelamin, struktur umur, bobot badan panjang lengkung karapas (PLK) dan lebar lengkung karapas
(LLK), rasio panjang lengkung karpas dengan bobot badan, dan pola pertumbuhan von Bertalanffy. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tercatat ada 306 individu yang digunakan dalam analisis ini yang terdiri dari A. cartilaginea
(92% dewasa) dengan nisbah kelamin 42:58. Panjang lengkung karapas 10-75,5 cm, lebar karapas 9-59,5 cm dan
bobot badan 0,02-40 kg dengan pola pertumbuhan negative (b=2,727). Formula pertumbuhan von Bertalanffy di
Sumatera Selatan adalah PLK(t) = 78,75{1-exp[-0,18(t-(-0,72)]} cm
Kata Kunci: Amyda cartilaginea, karakteristik populasi, Sumatera Selatan

PENDAHULUAN

Indonesia dijumpai di Kalimantan, Sumatera,


Jawa, Bali, dan Lombok (Auliya 2007; Iverson

Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert,


1770) merupakan jenis kura-kura air tawar dari

1992). Menurut Iskandar (2000), labi-labi ini


umumnya dijumpai di daerah yang tenang dan

famili Trionychidae, ordo Testudines yang

berarus lambat.

menyebar luas di Asia Tenggara (Iskandar 2000;

Labi-labi, merupakan salah satu satwa air

van Dijk 2000). Penyebaran A. cartilaginea di

yang masuk ke dalam komoditas perikanan. Labi175

Sentosa, dkk.

labi jenis tersebut di Indonesia telah dimanfaatkan

labi-labi di provinsi tersebut. Penelitian ini

untuk

bertujuan

kepentingan

konsumsi

dan

sebagai

untuk

mengetahui

karakteristik

peliharaan (Kusrini et al. 2009). Pemanfaatan labi


-labi di Indonesia sudah berlangsung lama

populasi labi-labi (A. cartilaginea) yang tertangkap


di Sumatera Selatan. Karakteristik populasi

mengingat hewan tersebut termasuk satwa liar

tersebut meliputi sebaran ukuran labi-labi hasil

yang

di

tangkapan, nisbah kelamin, struktur umur, pola

Indonesia. Walaupun demikian, secara interna-

pertumbuhan dan persamaan pertumbuhan von

sional, spesies tersebut telah masuk ke dalam

Bertalanffy. Hasil penelitian diharapkan dapat

Appendix II CITES dan dikategorikan vulnerable


(rentan) pada Red Data Book IUCN.

bermanfaat dalam rangka penyediaan data dan


informasi ilmiah untuk mendukung pengelolaan

Salah satu daerah penyebaran labi-labi yang

dan penetapan status perlindungan labi-labi di

tidak

dilindungi

oleh

peraturan

telah diketahui adalah di Sumatera Selatan

Indonesia, khususnya di Sumatera Selatan.

(Kasmiruddin 1998; Oktaviani & Samedi 2008).


Secara umum, wilayah Sumatera Selatan
merupakan daerah potensi labi-labi mengingat

BAHAN DAN CARA KERJA

93,05% wilayahnya merupakan bagian dari

Penelitian dilakukan di Kota Palembang,

daerah aliran sungai, termasuk di dalamnya

Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten

daerah rawa. Menurut Oktaviani et al. (2008),

Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan pada

topografi wilayah Sumatera Selatan dengan 25%


daerah rawa yang mempunyai karakteristik

bulan Juli, Oktober dan Desember 2012 (Gambar


1). Pemantauan populasi labi-labi dilakukan

berarus lambat dengan dasar lumpur atau gambut

dengan pendekatan kunjungan kepada para

merupakan habitat bagi A. cartilaginea.

pengumpul di tingkat pertama (Riyanto &

Pemanenan labi-labi di Sumatera Selatan

Mumpuni 2003) yang ditentukan secara snowball

yang cukup tinggi mendorong perlunya informasi

sampling berdasarkan informasi dari pengumpul

mengenai aspek biologi populasi labi-labi di


daerah tersebut. Penilaian Non Detrimental

besar di Palembang. Pengertian pengumpul


tingkat pertama adalah pengumpul labi-labi yang

Findings

A.

menerima hasil tangkapan labi-labi dari alam

cartilaginea di Sumatera Selatan mengindikasikan

secara langsung dari penangkap. Survei lapangan

bahwa populasi spesies tersebut di alam dalam

berupa

kondisi terancam kerusakan


(Oktaviani & Samedi 2008).

punah

tertangkap juga dilakukan untuk memperoleh


gambaran kondisi habitat labi-labi secara umum.

Informasi ilmiah terkait keberadaan A.

Obyek penelitian adalah labi-labi dari

cartilaginea di Sumatera Selatan masih relatif

spesies Amyda cartilaginea dengan identifikasi

terbatas, beberapa diantaranya telah dipublikasi-

mengacu kepada Ernst & Barbour (1989) dan

kan oleh Kasmiruddin (1998), Oktaviani &

Iskandar (2000). Data ukuran A. cartilaginea

Samedi (2008), Oktaviani et al. (2008) dan


Mumpuni & Riyanto (2010). Penelitian lanjutan

diperoleh dari pengumpul pertama yang


kemudian berperan sebagai enumerator pencatat

mengenai beberapa aspek biologi populasi labi-

data tangkapan labi-labi. Enumerator tersebut

labi di Sumatera Selatan masih diperlukan dalam

telah dilatih untuk mencatat data ukuran labi-labi

rangka monitoring populasi dan melengkapi serta

yang tertangkap pada log book yang telah

menyediakan informasi terkini terkait keberadaan

disediakan

176

(NDF)

terhadap

pemanfaatan

atau

peninjauan

habitat

(Oktaviani

&

labi-labi

Samedi

biasa

2008).

Karakteristik Populasi Labi-Labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770)

menerima hasil tangkapan labi-labi untuk semua


ukuran tanpa seleksi sebelumnya.
Jenis kelamin labi-labi ditentukan dengan
membandingkan panjang dan bentuk ekor.
Betina umumnya memiliki ekor yang pendek dan
gempal, sementara jantan memiliki ekor yang
lebih panjang dan ramping (Ernst & Barbour
1989).

Gambar 1. Lokasi penelitian di Sumatera Selatan

Data morfologi yang diperoleh kemudian


dianalisis dengan statistik deskriptif meliputi

Penapisan dan pensejajaran tingkat penumpul

rerata () dan simpangan baku () dan distribusi


frekuensi. Perbedaan dimorfisme antar jenis

sebagai sumber data telah dilakukan dalam upaya

kelamin dilakukan uji t dimana sebelumnya

untuk menghindari pengukuran/perhitungan


ganda (Mumpuni & Riyanto 2010). Oleh karena

sebaran data tersebut berdistribusi normal


(Oktaviani et al. 2008). Analisis nisbah kelamin

itu, enumerator yang ditunjuk hanya pada tingkat

dilakukan untuk mengetahui proporsi jantan

pengumpul pertama yang saling independen.

betinanya.

Setiap individu labi-labi diukur oleh enu-

Analisis hubungan PLK-berat dilakukan

merator segera pada saat kedatangan labi-labi dari

untuk mengetahui pola pertumbuhan labi-labi


(Oktaviani et al. 2008) menggunakan rumus:

penangkap/penjual ke pengumpul. Enumerator


tersebut mencatat data hasil tangkapan labi-labi

W = a (PLK)b

selama bulan Juli hingga Desember 2012. Data

dimana W adalah berat labi-labi (gram), PLK

yang terkumpul oleh enumerator akan divalidasi

adalah panjang lengkung karapas (cm) serta a dan

terlebih dahulu sebelum digunakan dalam analisis

b adalah konstanta. Nilai b yang diperoleh diuji

untuk menghindari kesalahan pencatatan.


Parameter yang dicatat dalam format log

ketepatannya terhadap nilai b = 3 menggunakan


uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% (Effendie

book enumerator adalah data morfologi, jenis ke-

2002)

lamin dan asal lokasi tangkap labi-labi. Penguku-

Penentuan struktur umur didasarkan pada

ran morfologi dilakukan dengan metoda curveline

hasil pengukuran PLK labi-labi. Klasifikasi struk-

menurut Nuitja (1992), meliputi pengukuran


panjang lengkung karapas (PLK) dan lebar

tur umur disajikan pada Tabel 1. Data panjang


lengkung karapas yang diperoleh dari pengukuran

lengkung karapas (LLK) menggunakan pita

langsung. Data enumerator dikelompokkan da-

ukuran dengan ketelitian 1 mm serta berat tubuh

lam suatu tabel distribusi frekuensi panjang untuk

labi-labi menggunakan timbangan komersial.

mengetahui parameter pertumbuhan labi-labi

PLK

diukur

mulai

anterior

hingga

yang dianalisis menggunakan model pertumbu-

posterior pada bagian tengah karapas sedangkan


LLK diukur dari sisi kiri ke kanan pada bagian

han von Bertalanffy (Macale et al. 2009; Effendie


2002) dengan rumus:

tengah karapas (Oktaviani et al. 2008). Pengukuran tersebut dilakukan terhadap keseluruhan hasil

PLK(t) = PLK{1-exp[-k(t-to)]}
Metode

penentuan

panjang

lengkung

tangkapan labi-labi. Semua ukuran PLK dan LLK

karapas asimtot (PLK) dan koefisien pertum-

dicatat mengingat pengumpul tingkat pertama

buhan (k) diduga menggunakan metode She177

Sentosa, dkk.

pherd yang terdapat pada paket perangkat lunak

Pola Pertumbuhan

FiSAT II untuk memaksimalkan nilai non

Hubungan panjang lengkung karapas dan

parametriknya (Gayanilo et al. 2005). Umur


teoritis (to) diduga menggunakan persamaan

berat labi-labi disajikan pada Tabel 3.


Berdasarkan uji t terhadap nilai b = 3 diketahui

empiris Pauly (1983) dengan rumus:

bahwa nilai b jantan dan betina tidak sama

log (to)= -0,3922-0,2752 log PLK - 1,038 log k

dengan 3 (P<0,05) sehingga dikatakan bahwa


pola pertumbuhan labi-labi tersebut bersifat

HASIL

allometrik. Perhitungan untuk labi-labi jantan

Morfologi dan Sebaran Ukuran

dan gabungan keduanya menunjukkan pola


allometrik negatif (b<3) dimana pertambahan

Data hasil pengukuran morfologi dan

panjang lengkung karapas lebih cepat dari

sebaran ukuran labi-labi disajikan pada Tabel 2

pertambahan beratnya, sedangkan labi-labi betina

dan Gambar 2. Secara umum, nilai rerata PLK,

menunjukkan pola allometrik positif (b>3)

LLK dan berat labi-labi jantan relatif lebih besar


dibandingkan betina. Sebaran ukuran PLK labi-

dimana pertambahan PLK lebih lambat dari


pertambahan beratnya (Effendie 2002).

labi jantan cenderung lebih besar dibandingkan

Pola pertumbuhan tersebut relatif sama

betina, namun sebaran LLK cenderung sama.

dengan penelitian Oktaviani et al. (2008) yang

Secara umum, labi-labi paling banyak tertangkap

menyebutkan bahwa pola pertumbuhan labi-labi

pada kisaran panjang 30 40 cm, baik PLK


maupun LLK. Sebaran berat tubuh labi-labi

di Sumatera Selatan bersifat allometrik negatif


(b<3). Kondisi tersebut diduga terkait dengan

jantan dan betina cenderung memiliki pola yang

kelimpahan makanan, genetik, dan kondisi

hampir sama dimana modus ukuran berat berada

lingkungan.
Pendugaan parameter pertumbuhan von

pada kisaran 05 kg.

Bertalanffy untuk A. cartilaginea dengan metode


Nisbah Kelamin dan Struktur Umur
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap

ELEFAN I pada paket program FiSAT menunjukkan nilai panjang lengkung karapas asimtot

306 ekor sampel labi-labi didapatkan nisbah

(PLK) sebesar 78,75 cm, koefisien pertum-

kelamin jantan dan betina adalah 1:1,37 atau

buhan (k) sebesar 0,18 tahun-1 dan t0 sebesar -

42,16% jantan dan 57,84% betina. Walaupun

0,72 tahun dengan indek performansi pertumbu-

individu betina lebih banyak tertangkap dibandingkan jantan, namun kedua jenis kelamin labi-

han (growth performance index/) berkisar antara


2,7 4,7 dengan persamaan sebagai berikut:

labi tersebut memiliki peluang tertangkap yang

PLK(t) = 78,75{1-exp[-0,18(t-(-0,72)]}

sama. Struktur umur sampel labi-labi yang

Profil pertumbuhan von Bertalanffy A.

berhasil diamati didominasi oleh labi-labi dewasa.

cartilaginea di Sumatera Selatan disajikan pada

Tabel 1. Struktur umur A. cartilaginea berdasarkan


hasil pengukuran PLK (Kusrini et al. 2007)

Gambar 4.

K elas U m u r

PLK

S tru ktu r U m u r

= 5,9 cm

Tukik (hatchling)

II

6 19,9 cm

Rem aja

III

20 24,9 cm

D ewasa m uda

IV

= 25 cm

D ewasa

178

PEMBAHASAN
Secara umum, labi-labi yang tertangkap di
Sumatera

Selatan

memiliki

ukuran

yang

bervariasi, namun secara umum terdapat ukuran

Karakteristik Populasi Labi-Labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770)

ukuran

memiliki pertumbuhan berat yang lebih cepat.

tersebut diduga merupakan labi-labi yang siap

Hal tersebut diduga terkait dengan metabolisme

untuk ditangkap. Peluang labi-labi jantan dan


betina untuk tertangkap adalah sama karena

dan pola reproduksi dimana labi-labi betina


mengandung telur setelah dibuahi oleh pejantan

eksploitasi

(Iskandar 2000).

yang

dominan

tertangkap.

labi-labi

Modus

oleh

penangkap

tidak

mempertimbangkan jenis kelamin. Penangkapan

Pendugaan parameter kurvatur PLK, k

labi-labi di Sumatera Selatan tidak ada seleksi

dan to bagi labi-labi dilakukan dengan asumsi

hasil tangkapan berdasarkan ukurannya, sehingga

bahwa pertumbuhan organisme akan mencapai

peluang semua ukuran labi-labi untuk tertangkap


adalah sama sehingga sebaran ukuran tangkapan

suatu batas ukuran tertentu dan sampel yang


diperoleh dari pengumpul dianggap sebagai

tersebut dianggap dapat mencerminkan kondisi

sampel acak. Hal yang mendasari penggunaan

populasi di alam (Mumpuni & Riyanto 2010).

model pertumbuhan von Bertalanffy bagi spesies

Secara statistik, uji t pada karakter

A. cartilaginea adalah penelitian Macale et al.

morfologi labi-labi PLK dan berat menunjukkan


ada perbedaan antara morfologi jantan dan betina

(2009) yang menduga pertumbuhan kura-kura


Mesir (Testudo kleinmanni).

(P<0,05), namun untuk karakter LLK relatif tidak

Nilai PLK labi-labi di Sumatera Selatan

berbeda nyata (P>0,05). Hal tersebut menunjuk-

sebesar 78,75 cm dan nilai tersebut lebih rendah

kan

Menurut

dari yang dilaporkan oleh Lim & Das (1999)

Oktaviani et al. (2008), penentuan individu


jantan dan betina juga dapat dilihat lebih jelas

yang mencapai 83 cm. Iskandar (2000)


menyebutkan bahwa diameter punggung labi-labi

dari perbedaan bentuk dan ukuran ekornya pada

dapat mencapai 100 cm, meskipun umumnya

individu dewasa yang mempunyai PLK 25 cm.

hanya hingga 60 cm saja. Perbedaan nilai tersebut

adanya

dimorfisme

seksual.

Berdasarkan hubungan PLK dengan berat

diduga terkait dengan perbedaan habitat. Laju

diketahui bahwa labi-labi betina cenderung

eksploitasi yang semakin meningkat juga diduga

Tabel 2. Morfologi A. cartilaginea yang terukur di


Sumatera Selatan
JANTAN

PLK (cm)

Jumlah (ekor)

129

Min

akan menurunkan nilai panjang asimtot karena


hewan tidak memiliki kesempatan untuk tumbuh
(Effendie 2002).

LLK (cm)

Berat (kg)

13

12

0,4

Max

75,5

59,5

40

dengan penelitian Lilly (2010) di Ketapang,


Kalimantan Barat dimana labi-labi betina lebih

Rerata

38,34

30,31

8,17

banyak tertangkap dibandingkan jantan. Namun,

Std

10,923

8,053

6,478

yang perlu diperhatikan adalah ancaman terhadap

BETINA

PLK (cm)

LLK (cm)

Berat (kg)

Jumlah (ekor)

177

Min

10

0,02

tinggi (Iskandar 2000). Nisbah kelamin labi-labi


betina yang lebih besar dibandingkan jantan di

Max

67

59

28

alam menunjukkan kondisi populasi yang baik

Rerata

34,97

29,25

5,87

karena

Std

8,124

6,536

3,942

menghasilkan telur yang akan meregenerasi kelas

A. cartilaginea betina banyak tertangkap di


Sumatera Selatan. Hasil penelitian tersebut sama

pertumbuhan populasi labi-labi mengingat labilabi betina memiliki potensi reproduksi yang lebih

labi-labi

betina

berperan

dalam

179

Sentosa, dkk.

Gambar 2. Sebaran ukuran PLK, LLK dan berat A. cartilaginea di Sumatera Selatan

untuk menjaga stoknya di alam. Hasil pengama-

umur selanjutnya.
Struktur umur contoh labi-labi yang

tan menunjukkan bahwa 59% labi-labi jantan

berhasil diamati didominasi oleh labi-labi


berumur dewasa. Hal tersebut diduga terkait

dan 47% labi-labi betina banyak tertangkap pada


ukuran berat 5 15 kg. Hal tersebut menunjuk-

dengan ukuran berat labi-labi dewasa yang lebih

kan ketidakpatuhan terhadap aturan yang berlaku

besar dibandingkan dengan yang muda sehingga

dan isu IUU (Illegal, Unreported, Unregulated)

lebih menguntungkan mengingat harga labi-labi

pada pemanfaatan labi-labi di Sumatera Selatan

ditentukan

masih tetap berlangsung.

berdasarkan

beratnya.

Kondisi

tersebut serupa dengan penelitian Lilly (2010)


dimana hasil tangkapan A. cartilaginea di

Oktaviani & Samedi (2008) mengindikasikan adanya ancaman terhadap populasi A.

Kabupaten Sambas dan Ketapang, Kalimantan

cartilaginea.

Barat didominasi oleh kelas umur dewasa.

meningkat apabila labi-labi yang tertangkap

Ancaman

tersebut

semakin

A. cartilaginea telah masuk dalam CITES

sedang bertelur atau mempunyai daya reproduksi

dengan ketentuan batasan ukuran yang diperbolehkan untuk dipanen adalah untuk individu

yang tinggi. Labi-labi betina dewasa memiliki


peranan penting dalam proses reproduksi

dengan berat hidup < 5 kg dan > 15 kg mengingat

sehingga

ukuran tersebut adalah ukuran produktif bagi labi

berlangsung tanpa kendali, maka kelestarian

-labi (Mardiastuti 2008). antara diduga masih

populasinya akan terganggu atau bahkan menuju

produktif dan pelarangan penangkapan dilakukan

kepunahan.

180

jika

eksploitasi

terhadap

labi-labi

Karakteristik Populasi Labi-Labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770)

Tabel 3. Hubungan PLK dan berat A. cartilaginea di Sumatera Selatan


No.

Jenis Kelamin

Jantan

Betina

Gabungan

R2

n (ekor)

Pola Pertumbuhan

2,748

0,955

129

allometrik negatif

3,283

0,920

177

allometrik positif

2,727

0,868

308

allometrik negatif

PLK vs W
W = 0,300 PLK
W = 0,043 PLK
W = 0,363 PLK

sebagian besar termasuk dalam kategori betina


dewasa produktif dengan pola pertumbuhan yang
bersifat alometrik negatif. Nilai PLK labi-labi
cenderung lebih kecil dibandingkan informasi
sebelumnya. Hal ini menunjukkan populasi labilabi di Sumatera Selatan berpotensi teramcam
Gambar 3. Nisbah kelamin (a) dan struktur umur (b) A.
cartilaginea di Sumatera Selatan

keberadaannya akibat eksploitasi berlebihan atau


perubahan habitat, sehingga upaya pengawasan
perdagangan lebih ketat dan penentuan daerah
perlindungan bagi labi-labi agar populasinya tetap
terjaga.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada Ir.
Mumpuni dan Dian Oktaviani, S.Si., M.Si atas
saran dan masukan selama penelitian ini. Terima

Gambar 4. Profil pertumbuhan von Bertalanffy A.


cartilaginea di Sumatera Selatan

kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan di

Selain ancaman eksploitasi, habitat labi-labi

Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum


(BPPPU) Palembang, Balai Konservasi Sumber

di alam yang mulai rusak juga turut berperan da-

Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sumatera Selatan,

lam menekan populasi A. cartilaginea di alam.


Peninjauan habitat menunjukkan banyak habitat

para enumerator dan seluruh pihak yang telah

labi-labi yang beralih fungsi menjadi lahan perke-

didanai oleh DIPA Balai Penelitian Pemulihan

bunan sawit. Kondisi tersebut hampir sama

dan Konservasi Sumber Daya Ikan (BP2KSI) Jatiluhur, Purwakarta Tahun Anggaran 2012.

dengan

habitat

kura-kura

baning

Sulawesi

membantu tim selama di lapangan. Penelitian ini

(Indotestudo forstenii) yang juga banyak beralih


fungsi menjadi habitat perkebunan cokelat yang
menyebabkan populasi baning tersebut menjadi

DAFTAR PUSTAKA

menurun (Riyanto et al. 2010).

Auliya, M. 2007. An Identification Guide to the


Tortoise and Freshwater Turtles of Brunei

KESIMPULAN DAN SARAN

Darussalam, Indonesia, Malaysia, Papua New


Guinea, Philippines, Singapore and Timor

Labi-labi (Amyda cartilaginea) di Sumatera


Selatan tertangkap pada setiap kelas ukuran dan

Leste. TRAFFIC Southeast Asia. Petaling


Jaya. Malaysia. 98 p.
181

Sentosa, dkk.

Effendie, MI. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan


Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 p.

Mardiastuti, A. 2008. Harvest Sustainability of


Asiatic Softshell Turtle Amyda cartilaginea in

Ernst, CH. & RW. Barbour. 1989. Turtle of the


World. Smithsonian Intitution Press.

Indonesia. Director General of Forest Protection and Nature Conservation Republic of

Washington DC and London: 96110.

Indonesia as CITES Management Authority

Gayanilo, FCJr., P, Sparre & D. Pauly. 2005.

Indonesia. 13 p.

FAO-ICLARM Stock Assessment Tools II

Mumpuni & A. Riyanto. 2010. Harvest,

(FiSAT II). Revised version. User's Guide.

Population and Natural History of Shoft-

FAO Computerized Information Series


(Fisheries). No. 8, Revised version. FAO

Shelll Turtle (Amyda cartilaginea) in South


Sumatera, Jambi and Riau Provinces,

Rome. 168 p.

Indonesia. A Report to APEKLI. Research

Iskandar, DT. 2000. Kura-Kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini dengan Catatan

Center for Biology, Indonesian Institute of


Sciences (LIPI). 26 p.

Mengenai Jenis-Jenis di Asia Tenggara. PAL


Media Citra. Bandung. 191 p.

Nuitja, INS. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian


Penyu Laut. IPB Press. Bogor. 128 p.

JB. 1992. A Revised Checklist with

Oktaviani, D., N. Andayani, MD. Kusrini & D.

Distribution Maps of the Turtles of the World.

Nugroho. 2008. Identifikasi dan Distribusi

Privately printed. Richmond. Indiana. 363

Jenis Labi-Labi (Famili: Trionychidae) di

p.
Kasmiruddin. 1998. Morfologi dan Keragaman

Sumatera Selatan. J. Penel. Perikanan Indo.


14 (2): 145 157.

Iverson,

cartilaginea

Oktaviani, D. & Samedi. 2008. Status Peman-

(Testudines: Trionychidae) dari Bengkulu

faatan Labi-Labi (Famili: Trionychidae) di

dan Palembang. [Tesis]. Bogor: Institut

Sumatera Selatan. J. Penel. Perikanan Indo.

Pertanian Bogor. 61 p.

14 (2): 159 171.

Genetik

Labi-Labi,

Amyda

Kusrini, MD., A. Mardiastuti, B. Darmawan,


Mediyansyah & A. Muin. 2009. Laporan
Sementara Survei Pemanenan dan Perdagangan Labi-Labi di Kalimantan Timur.

Pauly, D. 1983. Some Simple Methods for the Assessment of Tropical Fish Stocks. FAO Fisheries Technical Paper (254): 52 p.
Riyanto, A. & Mumpuni. 2003. Metoda Survei
dan Pemantauan Populasi Satwa: Kura-

NATURE Harmony. Bogor. 43 p.


Lilly, L. 2012. Karakteristik Populasi Panenan
(Amyda cartilaginea) di Kabupaten Sambas
dan Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat.

Kura. Bidang Zoologi. Pusat Penelitian


Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong. 24 p.
Riyanto, A., S. Soemarno & A. Farajallah. 2010.

[Tesis]. Bogor: IPB. 50 p.


Lim, BL. & I. Das. 1999. Turtles of Borneo and

Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Hab-

History

itat Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii)

Publications (Borneo), Sdn. Bhd. Kota


Kinabalu. 151 p.

di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah,


Indonesia. J.Biol. Indonesia 6 (2):185 194.

Macale, D., M. Scalici & A. Venchi. Growth,

van Dijk, PP. 2000. The Status of Turtles in Asia.

Peninsular

Malaysia.

Natural

Mortality and Longevity of the Egyptian


Tortoise Testudo kleinmanni Lortet, 1883.
Israel J. Ecol. & Evol. 55: 133 147.
182

Chelonian Research Monograph 2: 1523 p.

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 183-197 (2013)

Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya di Koridor
Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat
(Effects of road on understory plant diversity and its habitat in corridor of Halimun Salak
National Park, West Java)
Iyan Robiansyah & Danang W. Purnomo
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-LIPI
Jl.Ir.H. Juanda 13 Bogor 16003, Email: iyanrobiansyah@yahoo.com , dnabdz@yahoo.com
Memasukkan: Februari 2013, Diterima: April 2013
ABSTRACT
The road across the forest can cause the diversity exchange in the forest ecosystem. Distribution of the exotic species
caused by the road are the main factor affecting the extinction of the native plants. The forest corridor in Halimun
Salak National Park is separated by the road which is connecting five villages in surroundings. The aims of the research were to determine the response of diversity and abundance of the understory plants to the road existence, to
obtain the effect of the road to the habitat condition, and to identify the exotic plants and its relation to the road.
Vegetations were observed by transect sampling system, 5 transects of 150 m length were placed in forest corridor
side along the road. In each transect, there were 12 sampling plots (1m x 1m) placed in distance (from the road): 0,
5, 10, 15, 20, 30, 40, 45, 60, 90, 120, and 150 m from the road. The distance of each transect was approximately
100 m and each transect were placed in the corridor area having forest buffer about 100 m distance. There were 117
plant species including 9 exotic species. Plant community analysis using Squared Euclidean Distance (SED) showed
that road side area to 5 m in distance showed the different composition of the understory plant to inside the forest.
Exotic plants and grass dominated in the area close to the road. Canopy cover in the road side to 10 meter to the
forest was relatively opened than inside the forest. Plant diversity analysis on both of all species and local species
using Canonical Correspondence Analysis (CCA) showed that species diversity of understory plants was not
significantly affected by the distance from the road. Nevertheless, distance from the road was a main factor
influencing the exotic species, while distance of 0 m showed the highest exotic plants diversity.
Keywords: Corridor, exotic plant, Halimun Salak National Park, road, squared euclidean distance, understory plant
ABSTRAK
Jalan yang melintas di dalam hutan dapat mempengaruhi perubahan keanekaragaman tumbuhan pada ekosistem
hutan. Penyebaran jenis tumbuhan eksotis sebagai dampak adanya jalan turut menyebabkan terjadinya kepunahan
tumbuhan lokal. Koridor di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) terbelah oleh jalan yang menghubungkan 5 desa di sekitarnya. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memeriksa respon keanekaragaman dan kelimpahan tumbuhan bawah terhadap jalan, mengamati pengaruh jalan terhadap kondisi habitat, dan mengetahui jenisjenis tumbuhan eksotis dan hubungannya dengan keberadaan jalan. Vegetasi diamati menggunakan sistem sampling
transek, dimana 5 transek sepanjang 150 m ditempatkan pada tepi koridor di sepanjang jalan. Setiap transek dibuat
12 plot (1m x 1m) yang ditempatkan di sepanjang jalan pada jarak: 0, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 45, 60, 90, 120, dan
150 m dari jalan. Masing-masing transek dibuat dengan jarak antar transek 100 m dan diletakkan pada tempat dimana terdapat minimal 100 m hutan penyangga. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat 117 jenis tumbuhan dan 9 jenis diantaranya adalah jenis eksotis. Hasil analisis komunitas tumbuhan menggunakan Squared Euclidean Distance (SED) menunjukkan bahwa daerah pinggir jalan sampai dengan jarak 5 m memiliki komunitas
tumbuhan yang berbeda dengan komunitas yang terdapat di dalam hutan. Jenis tumbuhan eksotis dan rumputrumputan lebih dominan di daerah dekat jalan. Tutupan kanopi di pinggir jalan sampai jarak 10 m relatif rendah
dari pada tutupan kanopi di dalam hutan. Hasil analisis keragaman tumbuhan terhadap semua jenis dan terhadap
jenis lokal saja menggunakan Canonical Correspondence Analysis (CCA) menunjukkan bahwa kekayaan jenis tidak
bervariasi secara signifikan tehadap jarak. Walaupun demikian, jarak dari jalan merupakan faktor yang signifikan
mempengaruhi kekayaan jenis tumbuhan eksotis; jarak 0 m memiliki keanekaragaman jenis eksotis paling tinggi
dibandingkan jarak lainnya.
Kata kunci: Koridor, jenis eksotis, TNGHS, jalan, squared euclidean distance, tumbuhan bawah

183

Robiansyah & Purnomo

ka antara lain macan tutul jawa (Panthera pardus

PENDAHULUAN

melas), owa jawa (Hylobates moloch), surili


Jalan adalah sarana yang sangat dibutuhkan
oleh manusia, yang digunakan setiap hari dan

(Presbytis aygula), lutung budeng (Trachypithecus


auratus), dan juga ajag (Cuon alpinus) (Prawira-

terdapat di setiap lingkungan yang dihuni manu-

dilaga dkk. 2002; Hartono dkk. 2007).

sia. Jalan seringkali juga mempengaruhi keseim-

TNGHS terdiri dari dua ekosistem utama,

bangan ekosistem alami dengan beberapa cara,

yaitu ekosistem Gunung Halimun dan Gunung

yaitu kerusakan ekosistem yang terjadi ketika

Salak. Keduanya dihubungkan oleh sebuah kori-

pembangunan jalan, tewasnya hewan karena


bertabrakan dengan kendaraan, berubahnya

dor yang berfungsi sebagai tempat terjadi aliran


genetik. Secara administratif, koridor ini terletak

perilaku

fisik

di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor dan

lingkungan, berubahnya komposisi kimia habitat,

Sukabumi. Total jumlah penduduk di dalam ka-

bertambahnya perubahan habitat oleh manusia,

wasan koridor pada tahun 2004 adalah 19.714

dan menyebarnya jenis tumbuhan


(Trombulak & Frissell 2000).

eksotik

jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk 2.64% per tahun. Tingginya jumlah

Penyebaran jenis tumbuhan eksotik memi-

penduduk di dalam koridor taman nasional

hewan,

berubahnya

kondisi

terhadap

menuntut adanya jalan sebagai jalur transportasi

Penyebarannya

bagi warganya. Hingga tahun 2004, total panjang

dianggap sebagai faktor terbesar kedua penyebab


kepunahan tumbuhan di dunia, setelah kerusakan

jalan yang terdapat di dalam koridor adalah sekitar 98 km.

liki

pengaruh

keanekaragaman

yang

paling

tumbuhan.

besar

Pengaruh

dan alih fungsi kawasan (Huston 1994; Wilcove

keberadaan

jalan

terutama

et al. 1998; Pimentel dkk. 2000; Levine et al.

penyebaran jenis tumbuhan eksotik terhadap

2003). Jalan dapat menjadi sarana penyebaran

keanekaragaman tumbuhan di dalam koridor

tumbuhan eksotik dengan cara menyediakan

secara spesifik belum diteliti hingga saat ini. Pada

koridor (Tyser & Worley 1992) dan habitat yang


sesuai untuk invasi, yaitu berupa tingginya tingkat

tahun 1998 dilakukan kajian vegetasi di kawasan


koridor TNGHS oleh Endangered Species Team

gangguan, tanah yang kaya hara (Trombulak &

GHSNPMP-JICA dan ditemukan 280 jenis

Frissell 2000) dan tangkapan sinar matahari

vegetasi berasal dari 197 suku (GHSNPMP-JICA

(Parendes & Jones 2000; Watkins et al. 2003).

2007b). Tim ini menemukan dua jenis eksotik

Taman Nasional Gunung Halimun Salak


(TNGHS) memiliki ekosistem hutan hujan tropis

dan berpotensi invasif, yaitu Maesopsis manii dan


Calliandra calothyrsus.

pegunungan terluas di Pulau Jawa (GHSNPMP-

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

JICA 2007a). Selain sebagai kawasan tangkapan

pengaruh jalan terhadap keanekaragaman tumbu-

air, TNGHS juga merupakan habitat bagi bebera-

han bawah di koridor TNGHS dengan indicator

pa flora dan fauna unik dan langka. TNGHS

penelitian yang dilihat adalah:1) respon keaneka-

memiliki setidaknya 500 jenis tumbuhan, yang


tergolong ke dalam 266 marga dan 93 suku

ragaman dan kelimpahan tumbuhan bawah


koridor TNGHS terhadap jalan, 2) pengaruh

(Wiriadinata 1997). Tercatat sekitar 244 jenis

jalan

burung, 27 jenis di antaranya adalah jenis en-

TNGHS, dan 3) mengetahui jenis-jenis tumbu-

demik, dan 61 jenis mamalia termasuk jenis lang-

han eksotik di koridor TNGHS.

184

terhadap

kondisi

habitat

di

koridor

Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya

BAHAN DAN CARA KERJA

perkampungan, sawah, kolam, sungai dan pertambangan. Pada hutan primer, jenis-jenis tum-

Penelitian ini dilakukan di koridor


TNGHS yang memiliki luas 4.206,18 ha dan

buhan yang banyak dijumpai antara lain Puspa


(Schima wallichii), kimerak (Weinmannia blumei),

termasuk dalam 5 wilayah administrasi desa, yaitu

paku

Desa Purasari dan Purwabakti yang berada di Ka-

gemelliflora, Castanopsis argentea, Cryptocarya

bupaten Bogor serta Desa Cihamerang, Cipeu-

mentek dan Litsea robusta.

siuer

(Cyathea

junghuniana),

Quercus

teuy dan Kabandungan yang terletak di Kabupat-

Sebanyak 5 transek sepanjang 150 m

en Sukabumi. Kelima desa ini dihubungkan oleh


jaringan jalan sepanjang sekitar 98 km atau sekitar

ditempatkan di hutan sepanjang jalan yang


melintasi di kawasan koridor TNGHS. Masing-

0.70% total luas kawasan koridor. Kondisi jalan

masing transek dibuat dengan jarak minimum

pada umumnya berupa tanah yang dilapisi batu

antar transek 100 m dan diletakkan pada tempat

sungai dengan beberapa bagian dilapisi dengan

dimana terdapat minimal 100 m hutan penyang-

aspal. Pada penelitian ini, jalan yang dievaluasi


pengaruhnya terhadap tumbuhan bawah adalah

ga pada kedua sisi jalan untuk menghindari edge


effects dari pembabatan hutan, celah kanopi yang

jalan utama yang melintasi Desa Cipeuteuy

besar atau jalan lainnya. Pada tiap transek, petak 1

(Gambar 1). Kondisi tutupan hutan pada koridor

m x 1 m dibuat pada setiap jarak berikut (dari

saat ini hanya tersisa di wilayah Desa Cipeuteuy,

jalan): 0, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 45, 60, 90, 120,

sedangkan sebagian besar telah beru-bah menjadi


lahan pertanian dan perkebunan.

dan 150 m. Persentase tutupan kanopi dari jenis


tumbuhan bawah, tinggi kurang dari 1 m, dicatat

Tipe penutupan lahan di dalam koridor

di setiap petak. Juga diamati beberapa faktor ling-

didominasi oleh semak belukar (32,29%), hutan

kungan seperti ketebalan serasah, kemiringan la-

sekunder (18,05%) dan hutan primer (6,38%).

han, tunggul, serasah, dan tutupan tanah (bare

Sisanya merupakan campuran dari perkebunan,

ground). Squared Euclidean Distance (SED) yang


dihitung dari rataan kelimpahan jenis di lima desa
digunakan untuk membandingkan perbedaan
komposisi jenis antara dua jarak yang berdekatan
(Jongman dkk. 1995) dan untuk mengamati perubahan komunitas tumbuhan antara jenis tumbuhan di jalan dan jenis tumbuhan di dalam hutan. SED dihitung dengan menggunakan formula
sebagai berikut:

Dimana i adalah individu pada masingmasing jenis, S adalah jumlah total jenis, X adalah
rataan dari kelimpahan jenis, A dan B adalah dua
jarak petak yang berdekatan dan p adalah jumlah

Gambar 1. Lokasi Penelitian di Koridor TNGHS

total petak sampling.


Untuk melihat apakah ada komunitas khas
dari tumbuhan bawah yang terdapat di lokasi
185

Robiansyah & Purnomo

penelitian dan faktor-faktor lingkungan yang

tumbuhan antara 0 dan 5 m, perbedaan ini tidak

mempengaruhinya, pada data jenis tumbuhan

ditemukan pada kelas jarak lainnya.

bawah dan faktor lingkungan dianalisis dengan


Canonical Correspondence Analysis (CCA) CANO-

Terdapat tiga faktor lingkungan dalam


CCA yang secara nyata mempengaruhi variasi di

CO. Untuk melihat pengaruh jalan terhadap kon-

dalam data penyebaran jenis tumbuhan, yaitu

disi habitat, dihitung rataan dari setiap faktor

tutupan serasah (F=1,64; P=0,005), jarak plot

lingkungan yang diukur kemudian memplotkann-

(F=1,60;

ya terhadap jarak. Kekayaan jenis dan Shannon-

(F=1,53; P=0,003). Gambar 3 menunjukkan bah-

Wiener Diversity Index (H) dianalisis dengan atau


tanpa tumbuhan eksotik. Untuk melihat

wa sedikit sekali perbedaan antara kelompokkelompok tumbuhan (eksotik, rumput-rumputan,

pengaruh jarak dari jalan terhadap kekayaan jenis

herba, semak, liana dan pohon; lihat Lampiran 1

dan H dihitung dengan Analysis of Variance

untuk pengelompokkan tumbuhan). Setiap ke-

(ANOVA). Selain itu, Uji Student-Newman-Keuls

lompok tumbuhan menyebar dan saling tumpang

(SNK) juga digunakan untuk melihat hubungan


antara kekayaan jenis tumbuhan dan H terhadap

tindih yang menandakan tidak adanya kelompok


tumbuhan yang spesifik di lokasi penelitian. Wa-

jarak dari jalan.

laupun demikian, beberapa jenis tumbuhan

P=0,003)

dan

kemiringan

tanah

eksotik, yaitu A. inulifolium, C. hirta, E. sonchifolia dan P. conjugatum, berkorelasi negatif dengan

HASIL
diamati,

jarak petak. Sementara tutupan serasah dan


kemiringan tanah pada A. conyzoides, N. lappace-

ditemukan 117 jenis tumbuhan yang berasal dari

um, O. corniculata dan P. paniculata. Selain itu,

55 suku (Lampiran 1). Sebanyak 9 jenis diketahui

sebagian jenis rumput-rumputan lebih menyukai

merupakan tumbuhan eksotik, yaitu Ageratum

berada di pinggir jalan yang memiliki tutupan

conyzoides (L.) L. (Compositae), Austroeupatori-

serasah dan kemiringan tanah yang rendah.

um inulifolium (Kunth) R.M.King & H.Rob.


(Compositae), Clidemia hirta (L.) D. Don

Tidak ada pola yang jelas untuk semua


faktor lingkungan dengan jarak jalan, kecuali pa-

Dari

total

60

petak

yang

(Melastomataceae), Emilia sonchifolia (L.) DC. ex


DC (Compositae), Nephelium lappaceum L.
(Sapindaceae), Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
(Davalliaceae), Oxalis corniculata L. (Oxalidaceae), Paspalum conjugatum P.J.Bergius
(Poaceae) dan Polygala paniculata L. (Polygalaceae). Semua jenis eksotik ini ditemukan dalam
rentang 5 m dari jalan, kecuali pada jenis C. hirta
dan N. falcata yang ditemukan hingga jarak 150
m dari jalan.
Nilai SED menunjukkan tingginya perbedaan komposisi tumbuhan antara jarak 0 dan 5 m
(Gambar 2). Nilai perbedaan pada jarak ini paling
tinggi dibandingkan dengan kelas jarak lainnya
yang menunjukkan adanya pergeseran komunitas
186

Gambar 2.Perubahan nilai Squared Euclidean Distance


(SED) terhadap jarak dari jalan menuju hutan.
Nilai SED dan variasi (2 x standard deviation)
tertinggi ditemukan dekat dengan jalan

Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya

Gambar 3. Canonical Correspondence Analysis (CCA) dari jenis tumbuhan dan variabel lingkungan. Hanya faktor
lingkungan yang signifikan dengan jenis tumbuhan, berupa jarak petak, tutupan serasah dan kemiringan
tanah.

da tutupan tanah (Spearman R2=0,32; P=0,014)


2

analisis, penurunan jumlah jenis yang paling besar

dan kemiringan (Spearman R =0,34; P=0,008)

terjadi di dekat jalan (0 m). Untuk nilai H, jarak

yang secara nyata berkorelasi positif (Gambar 4).


Tutupan tanah tertinggi terdapat pada jarak 150

tidak berpengaruh secara nyata ketika semua jenis


diikutsertakan dalam analisis (Gambar 5). Ketika

m dari jalan, sedangkan yang terendah terdapat

jenis eksotik dipisahkan, jarak lebih mendekati

pada jarak 15 m, yang disebabkan oleh tingginya

nilai signifikan dalam mempengaruhi H (F=1,89;

tutupan serasah yang mencapai hingga sekitar

P=0,064). Hasil uji SNK menunjukan bahwa H

70%. Lokasi di pinggir jalan merupakan tempat

pada 0 m merupakan yang paling rendah dan se-

yang paling datar dibandingkan dengan lokasi


lainnya. Semakin masuk ke dalam hutan, lokasi

baliknya pada jarak 120 m, sedangkan untuk jarak lainnya tidak ada perbedaan yang nyata.

menjadi semakin berbukit dan berlereng terjal.

Jarak dari jalan merupakan faktor yang

Variasi rataan tutupan serasah, tutupan kanopi

signifikan mempengaruhi kekayaan jenis tum-

dan ketebalan serasah tidak terlalu berbeda di se-

buhan eksotik (F=4,28; P=0,000) dan rumput-

tiap jarak, secara berturut-turut berkisar antara 50


-70%, 40-80% dan 2-4 cm. Walaupun demikian,

rumputan (F=4,99; P=0,000). Hasil uji SNK


menunjukkan bahwa kekayaan jenis eksotik dan

tutupan kanopi dipinggir jalan sampai jarak 10 m

rumput pada 0 m tertinggi dibandingkan dengan

relatif rendah daripada tutupan kanopi di dalam

jarak lainnya, sedangkan untuk jarak lainnya tidak

hutan, kecuali pada jarak 45 m. Tutupan tunggul

ada perbedaan yang signifikan (Gambar 5).

hanya terdapat pada jarak 10 m, 30 m dan 150 m


dengan rataan yang cukup kecil, berkisar antara 1

PEMBAHASAN

hingga 5%.
Kekayaan jenis tidak bervariasi secara sig-

Daerah di pinggir jalan sampai dengan ja-

nifikan tehadap jarak pada 117 jenis dan pada

rak 5 m mendukung komunitas tumbuhan yang

jenis tumbuhan lokal (Gambar 5). Walaupun

berbeda dengan komunitas yang terdapat di lokasi

demikian, ketika jenis eksotik dipisahkan dari

dalam hutan. Jenis tumbuhan eksotik dan rumput


187

Robiansyah & Purnomo

Gambar 4. Persentase perubahan tutupan serasah,


tunggul, tanah, kanopi, ketebalan serasah, dan
kemiringan tanah terhadap jarak dari jalan di
koridor TNGHS. Garis vertikal merupakan
standar deviasi.

Gambar 5. Perubahan pada kekayaan jenis total,


kekayaan jenis lokal, kekayaan jenis rumput,
Shannon-Wiener Diversity Index (H) dan H
tumbuhan lokal terhadap jarak dari jalan di
koridor TNGHS. Garis vertikal merupakan
standar deviasi.

-rumputan lebih dominan di daerah dekat jalan.

al. 1999). Tingkat gangguan dalam kaitannya

Penelitian lain juga menunjukkan hasil yang sama

dengan keberadaan tumbuhan eksotik pada

dimana edge effects menyebabkan pergeseran pada


komunitas tumbuhan (Ranney dkk. 1981; Luken

penelitian ini tidak dapat teridentifikasi. Indikator


gangguan pada suatu daerah seperti tutupan

dkk. 1991; Baker & Dillon 2000; Watkins dkk.

serasah, tanah, dan ketebalan serasah pada

2003). Daerah pinggir jalan memiliki tutupan

penelitian ini tidak berbeda secara nyata dari

kanopi yang lebih rendah yang memungkinkan

pinggir jalan sampai ke dalam hutan. Untuk bisa

cahaya matahari mencapai dasar hutan. Hal ini

melihat tingkat gangguan di sepanjang jalan di-

dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan komposisi tumbuhan di pinggir jalan berbeda

perlukan pengukuran faktor lingkungan lainnya,


seperti suhu, kelembaban, bulk density dan kan-

dengan di dalam hutan. Parendes & Jones (2000)

dungan materi organik tanah (Olander et al.

menemukan lebih banyak jenis tumbuhan eksotik

1998).

di daerah pinggir jalan dengan intensitas cahaya


tinggi.

Dalam penelitian ini, jalan yang membagi

Kehadiran jenis eksotik berhubungan erat

koridor TNGHS merubah keanekaragaman tumbuhan lokal dan eksotik, tapi tidak untuk

dengan daerah yang memiliki gangguan yang

kekayaan jenis. Daerah pinggir jalan berasosiasi

tinggi (Hobbs & Huenneke 1992; Tyser & Wor-

dengan berkurangnya keanekaragaman tumbuhan

ley 1992; McIntyre & Lavorel 1994; Brosofske et

lokal dan bertambahnya keanekaragaman jenis

188

Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya

tumbuhan eksotik dan rumput-rumputan. Hasil

Walaupun kendaraan dapat menjadi media

penelitian ini berbeda dengan penelitian edge

yang penting bagi penyebaran tumbuhan di

effects lainnya yang umumnya menemukan


penambahan kekayaan jenis tumbuhan di dekat

sepanjang jalan (Wace 1977; Schmidt 1998),


koridor yang berupa kanopi terbuka dapat juga

pinggir jalan (Gysel 1951; Brothers & Spingarn

berperan dalam penyebaran dengan masuknya

1992; Euskirchen et al. 2001). Hasil yang di-

pergerakan dan penetrasi angin. Koridor ini dapat

peroleh menunjukkan bahwa keanekagaman jenis

menjadi jalur bagi jenis eksotik untuk menginvasi

eksotik bertambah di dekat jalan dan kekayaan

daerah dalam hutan. Pada penelitian ini, terdapat

jenis lokal berkurang, meskipun kekayaan jenis


total tidak berubah di dekat jalan. Hal ini sesuai

dua jenis tumbuhan eksotik yang tersebar hingga


jarak 150 m dari jalan, walaupun dalam jumlah

dengan hipotesis gangguan intermediet (inter-

dan frekuensi yang lebih rendah. Ketika jauh dari

mediate-disturbance hypothesis), yaitu suatu kondisi

jalan, penyebaran tumbuhan eksotik ini dapat

dimana kekayaan jenis tertinggi berada pada tem-

disebarkan oleh hewan liar, angin, air, atau aktivi-

pat yang memiliki frekuensi dan kepelikan


gangguan pada tingkat menengah (Campbell

tas manusia.
Penelitian ini mengindikasikan bahwa jalan

2004).

tingkat

memberikan pengaruh terhadap keanekaragaman

gangguan di jalan relatif ekstrim dan terus-

tumbuhan bawah melalui dua tahap. Pertama,

menerus dibandingkan dengan gangguan yang

melalui pembentukan zona yang sangat di-

ditimbulkan oleh penebangan pohon atau aktifitas lainnya.

pengaruhi oleh jenis eksotik, yaitu mulai dari


pinggir jalan sampai jarak 5 m dari jalan. Kedua,

Jalan dapat berperan sebagai saluran

melalui perubahan faktor lingkungan berupa ber-

penyebaran tumbuhan (Wace 1977; Tyser &

tambahnya intensitas cahaya matahari. Kondisi

Worley 1992), dan tumbuhan eksotik dapat

ini tidak terbatas sampai jarak 5 m saja, tetapi

menambah jangkauan distribusinya dengan cara

mencapai hingga ke dalam hutan.

menyebar di sepanjang jalan (Schowalter 1988;


Wilcox & Murphy 1989; Tyser & Worley 1992).

Untuk mengendalikan penyebaran jenis


eksotik dan menghindari biaya tinggi untuk

Pada penelitian ini, tumbuhan eksotik ditemukan

merestorasi hutan secara keseluruhan, berdasarkan

paling banyak di pinggir jalan dimana intensitas

penelitian ini, pengelola kawasan koridor TNGS

cahaya relatif lebih tinggi dan gangguan pada

hendaknya mempertimbangkan beberapa hal da-

tanah lebih intensif. Hal ini menandakan bahwa


tumbuhan eksotik dapat menyebar masuk ke da-

lam pengelolaan kawasan, yaitu: 1) meminimalisir


kepadatan jalan di kawasan koridor 2) menghin-

lam hutan karena diawali dengan adanya

dari pembangunan jalan baru di daerah dengan

gangguan berupa pembukaan hutan. Apabila

kawasan hutan yang masih utuh 3) mengontrol

gangguan terjadi di dalam hutan, pinggir jalan

jumlah kendaraan yang melewati jalan, dan 4)

mungkin akan menjadi sumber tumbuhan eksotik

membatasi aktifitas manusia di hutan.

dan memfasilitasi kolonisasi dalam hutan. Sebagai


contoh, Parendes & Jones (2000) yang

KESIMPULAN

Kondisi

ini

terjadi

karena

melakukan penelitian di Oregon, USA menemukan bahwa jenis eksotik tersebar di sepanjang

Kawasan koridor TNGHS memiliki 117

jalan dan lokasi di sekitarnya yang telah terjadi

jenis tumbuhan bawah dan 9 jenis diantaranya

penebangan (area dengan gangguan tinggi).

adalah jenis eksotik. Daerah pinggir jalan sampai


189

Robiansyah & Purnomo

dengan jarak 5 m memiliki komunitas tumbuhan

men Manalu. Editor: Amalia Safitri. Erlang-

yang berbeda dengan komunitas yang terdapat di

ga, Jakarta. Pp.501.

dalam hutan. Jenis tumbuhan eksotik dan rumput


-rumputan lebih dominan di daerah dekat jalan,

Euskirchen, ES., J. Chen & R. Bi. 2001. Effects


of edges on plant communities in a managed

sementara tutupan kanopi di pinggir jalan sampai

landscape in northern Wisconsin. Forest Ecol.

jarak 10 m relatif rendah daripada tutupan kanopi

Manag.148:93108.

di daerah interior hutan. Kekayaan jenis tidak

GHSNPMP-JICA. 2007a. Gunung Halimun Sa-

bervariasi secara signifikan terhadap jarak, namun

lak National Park, the misty mountains of

jarak dari jalan merupakan faktor yang signifikan


mempengaruhi kekayaan jenis tumbuhan eksotik;

Halimun Salak. Gunung Halimun Salak National Park, Kabandungan.

jarak 0 m memiliki keanekaragaman jenis eksotik


paling tinggi dibandingkan jarak lainnya.

GHSNPMP-JICA.

2007b.

Ecological

Study

Halimun-Salak Corridor Mount HalimunSalak National Park. Gunung Halimun Salak

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kepada segenap tim survey:
Sopian (KRB) dan Pak Amir (TNGHS) atas

National Park, Kabandungan.


Gysel, WL. 1951. Borders and openings of beechmaple woodlands in southern Michigan. J.
Forest. 49:1319.

partisipasi dan kerjasamanya dalam mendukung

Hartono, TH., H. Kobayashi, H. Widjaya & M.

penelitian ini. Apresiasi tinggi kepada pengelola


TNGHS, khususnya Pak Nur dan Mas Koko atas

Suparmo. 2007. Taman Nasional Gunung


Halimun - Salak. Edisi revisi. JICA

dukungan dan segala kemudahan yang diberikan.

BTNGHSPuslit Biologi LIPIPHKA.


Hobbs, RJ., & LF. Huenneke. 1992. Disturb-

DAFTAR PUSTAKA

ance, diversity, and invasion: implications for


conservation. Cons. Biol. 6:324337.

Baker, WL. & GK. Dillon. 2000. Plant and vegetation response to edge in the southern

Huston, MA.1994. Biological Diversity: The Coexistence of Species on Changing Landscape.

Rocky Mountains. In R.L. Knight et al.,

Cambridge University Press, Cambridge.

editors. Forest fragmentation in the southern

Jongman, RHG., CJF. Ter Braak & OFR. Van

Rocky Mountains.University Press of Colora-

Tongeren. 1995. Data analysis in commu-

do, Boulder. 221-225


Brosofske, KD., J. Chen, TR. Crow & SC. Saun-

nity and landscape ecology. Cambridge


University Press, Cambridge, United King-

ders. 1999. Vegetation responses to land-

dom.

scape structure at multiple scales across a

Levine, JM., M. Vila, CM. DAntonio, JS.

northern Wisconsin, USA, pine barrens

Dukes, K. Grigulis & S. Lavorel. 2003.

landscape. Plant Ecol. 143:203218.

Mechanisms underlying the impacts of exot-

Brothers, TS. & A. Spingarn. 1992. Forest fragmentation and alien plant invasion of central

ic plant invasions. Proc. Roy. Soc. Lond. 270:


775-781.

Indiana old-growth forests. Cons. Biol. 6:91

Luken, JO., AC. Andrew & DG. Baker. 1991.

100.
Campbell, NA. 2004. Biologi. Alih Bahasa: Was-

190

Forest edges associated with power-line corridors and implications for corridor siting.

Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya

Landscape Urban Plan. 20:315324.

a synopsis. North-west Envir. J. 4:313318.

McIntyre, S. & S. Lavorel. 1994. Predicting rich-

Trombulak, SC. & CA. Frissell. 2000. Review of

ness of native, rare, and exotic plants in response to habitat and disturbance variables

ecological effects of roads on terrestrial and


aquatic communities. Cons. Biol. 14:1830.

across a variegated landscape. Cons. Biol.

Tyser, RW. & CA. Worley. 1992. Alien flora in

8:521531.
Olander, LP., FN. Scatena & WL. Silver. 1998.
Impacts of disturbance initiated by road construction in a subtropical cloud forest in the
Luquillo Experimental Forest, Puerto Rico.
Forest Ecol. Manag. 109:33-49.
Parendes, LA. & JA. Jones. 2000. Role of light

grasslands adjacent to roads and trail corridors in Glacier National Park, Montana
(U.S.A.). Cons. Biol. 6:251262.
Wace, NM. 1977. Assessment of dispersal of
plant species: the Carbone flora in Canberra.
Proceedings of the Ecological Society of Australia, 10:167186.

availability and dispersal in exotic plant inva-

Watkins, RZ., J. Chen, J. Pickens & KD. Brosof-

sion along roads and streams in the


H.J.Andrews Experimental Forest, Oregon.

ske. 2003. Effects of Forest Roads on Understory Plants in a Managed Hardwood Land-

Cons. Biol. 14:6475.

scape. Cons. Biol. 17:411419.

Pimentel, D., L. Lach, R. Zuniga & D. Morrison.

Wilcove, DS., D. Rothstein, J. Dubow, A. Phil-

2000. Environmental and economic costs of

lips & E. Losos. 1998. Quantifying threats

non-indigenous species in the United States.


Bioscience, 50: 53-65.

to imperiled species in the United States.


Bioscience, 48: 607-615.

Prawiradilaga, DM., S. Wijamukti & A. Mar-

Wilcox, BA. & DD. Murphy. 1989. Migration

kamah. 2002. Buku Panduan Identifikasi

control of purple loosestrife (Lythrium sali-

Burung Pegunungan di Jawa: Taman Nasion-

caria L.) along highway corridors. Envir.

al Gunung Halimun. Biodiversity Conserva-

Manag. 13:365370.

tion Project. LIPIJICAPHKA. 106p.


Ranney, JW., MC. Bruner & JB. Leenson. 1981.

Wiriadinata, H. 1997. Floristic study of Gunung


Halimun National Park.in M. Yoneda, H.

The importance of edges in the structure and

Simbolon, & J. Sugardjito. (eds.) Research

dynamics of forest islands. Pages 6795 in

and Conservation of Biodiversity in Indonesia.

P.L. Burgess & D.M. Sharp, editors. Forest

Vol. II: The inventory of natural resources in

island dynamics in a man-dominated landscape. Springer-Verlag, New York.

Gunung Halimun National Park. JICA


LIPI PHPA. Pp. 713.

Schmidt, W. 1998. Plant dispersal by motor cars.


Vegetatio, 80:147152.
Schowalter, TD. 1988. Forest pest management:

191

Robiansyah & Purnomo

Lampiran 1. Jenis-jenis Tumbuhan yang Ditemukan di Koridor TNGHS


No

Nama ilmiah

Nama Lokal

Suku

Habitus

Distribusi

Status

Pustaka

Ageratum conyzoides (L.) L.

Jukut bau

Compositae

Herba

Amerika tropis

Eksotik,
invasif

http://www.issg.org;
Kohli et al. 2006

Allantodia aspera (Blume)


Ching (Blume) Milde

Ki Kawat

Woodsiaceae

Herba

Asia Tenggara

Asli

http://flora.huh.harvard.e
du

Alocasia sp.

Sente, alokasia

Araceae

Herba

Asia tropis

Asli

http://zipcodezoo.com

Alpinia scabra (Blume)


Nves

Ela

Zingiberaceae

Herba

Thailand hingga
Malesia Barat

Asli

http://www.catalogueoflif
e.org

Alpinia sp.

Laja hutan

Zingiberaceae

Herba

Asia tropis dan sub


tropis, Australia, dan
Kepulauan Pasifik

Asli

Flora of Cina Vol. 24


Page 333

Amischotolype mollissima
(Blume) Hassk.

Ki sepet

Commelinaceae

Herba

Sumatera hingga Jawa

Asli

http://apps.kew.org/wcsp/

Ampelocissus thyrsiflora
(Blume) Planch.

Sambangan

Vitaceae

Liana

Sumatera hingga Jawa

Asli

Hartini dan
Puspitaningtyas 2005

Andrographis paniculata
(Burm.f.) Wall. ex Nees

Ki pait,
sambiloto

Acanthaceae

Herba

Asia tropis

Asli

http://www.ars-grin.gov

Angiopteris evecta (G.


Forst.) Hoffm.

Paku Kebo

Marattiaceae

Herba

Polynesia, Melanesia,
Micronesia, Australia,
dan New Guinea

Kosmopolit

http://www.issg.org

10

Antidesma montanum
Blume

Kayu PR

Phyllanthaceae

Pohon

Asia tropis dan sub


tropis

Asli

http://www.efloras.org

11

Antidesma sp.

Ki Hujan

Phyllanthaceae

Pohon

Asia Tenggara

Asli

http://zipcodezoo.com

12

Antidesma tetrandrum
Blume

Ki Seu'eur

Phyllanthaceae

Pohon

Afrika tropis,
Madagaskar, Asia

Asli

Priyadi et al. 2010

13

Ardisia sp.

Paku golek

Myrsinaceae

Semak

Asia tropis hingga Asia


Tenggara, Amerika,
Australia, dan
Kepulauan Pasifik

Asli

http://www.efloras.org

14

Argostemma borragineum
Blume ex DC.

Rubiaceae

Herba

Vietnam hingga Malesia


Barat

Asli

http://apps.kew.org/wcsp/

15

Arisaema filiforme
(Reinw.) Blume

Talas

Araceae

Herba

Malesia Barat

Asli

http://apps.kew.org/wcsp/

16

Arthrophyllum
diversifolium Blume

Kayu gompong

Araliaceae

Pohon

Jawa

Asli

http://www.catalogueoflif
e.org

17

Asplenium nidus L.

Kadaka

Aspleniaceae

Herba

Kosmopolit di hutan
tropis

Asli

Zhang et al. 2010


http://www.pfstropasia.org/storage/uploa
ds/2012/10/Zhangetal201
0.pdf

18

Athyrium bantamense
Milde

Paku buah

Woodsiaceae

Herba

Malesia Barat

Asli

http://rbgweb2.rbge.org.uk/

19

Athyrium sp.

Paku

Woodsiaceae

Herba

Kosmopolit

Asli

http://zipcodezoo.com

20

Austroeupatorium
inulifolium (Kunth)
R.M.King & H.Rob.

Ki Rinyuh

Compositae

Semak

Amerika tropis

Eksotik,
invasif

http://www.issg.org

21

Beaumontia sp.

Apocynaceae

Herba

Himalaya hingga
Malesia

Asli

http://toptropicals.com

22

Calamus melanoloma
Mart.

Rotan cacing

Arecaceae

Semak

Jawa

Asli

http://apps.kew.org/wcsp/

23

Castanopsis javanica
(Blume) A. DC.

Ki Hiur

Fagaceae

Pohon

Thailand Selatan hingga


Malesia Barat

Asli

http://apps.kew.org/wcsp/

24

Cheilocostus speciosus
(J.Knig) C.Specht

Pacing

Costaceae

Herba

Asia tropis dan sub


tropis hingga
Queensland

Asli

http://apps.kew.org/wcsp/

192

Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya

Lampiran 1. Lanjutan...
No

Nama ilmiah

Nama Lokal

Suku

Habitus

Distribusi

Status

Pustaka

25

Clidemia hirta (L.) D.


Don

Harendong
bulu

Melastomatacea
e

Semak

Amerika Tengah dan


Selatan

26

Colocasia sp.

Talas sante

Araceae

Herba

Malesia

Asli

http://toptropicals.com

27

Corymborkis veratrifolia
(Reinw.) Blume

Anggrek tanah

Orchidaceae

Herba

Asia tropis dan sub


tropis hingga Pasifik

Asli

http://apps.kew.org/wcsp/

28

Cratoxylum sumatranum
(Jack) Blume

Huru sawo

Hypericaceae

Pohon

Indonesia, Kamboja,
Malaysia

Asli

http://apps.kew.org/wcsp/

29

Cryptocarya densiflora
Blume

Huru apu

Lauraceae

Pohon

Asia Tenggara, New


Guinea, Australia Utara

Asli

http://www.asianplant.net

30

Cyathea glabra (Blume)


Copel.

Pakis tiang
beunyeur

Cyatheaceae

Semak

Sumatera, Malaysia,
Kalimantan dan Jawa
Barat

Asli

Holttum, R.E. (1963)


Cyatheaceae. Flora
Malesiana Series II
Pteridophyta. 1(2): 65176.

31

Cyathea squamulata
(Blume) Copel.

Paku tiang
gede

Cyatheaceae

Semak

Sumatera, Malaysia,
Jawa, Kalimantan, dan
Filipina Selatan

Asli

Holttum, R.E. (1963)


Cyatheaceae. Flora
Malesiana Series II
Pteridophyta. 1(2): 65176.

32

Daemonorops
melanochaetes Blume

Rotan se'el

Arecaceae

Semak

Sumatera, Malaysia,
Jawa

Asli

PROSEA : Plant
Resources of South-East
Asia 6, Rattans

33

Daemonorops sp.

Rotan

Arecaceae

Semak

Asia tropis

Asli

http://www.ars-grin.gov

34

Dicranopteris linearis
(Burm. f.) Underw.

Paku Andam

Gleicheniaceae

Herba

Asia Tropis dan Pasifik

Asli

Russell, A. E., et al.


(1998). The ecology of
the climbing fern
Dicranopteris linearis on
windward Mauna Loa,
Hawaii. Journal of
Ecology 86 765

35

Didymocarpus sp.

Cariwuh

Gesneriaceae

Herba

Cina hingga Malesia

Asli

http://www.efloras.org

36

Dinochloa scandens
(Blume ex Nees)Kuntze

Cangkore

Poaceae

Semak

Kepulauan Andaman
hingga Kalimantan,
Jawa, Maluku, Filipina

Asli

http://plantsforuse.com

37

Diplazium esculentum
(Retz.) Sw.

Pakis beunyeur

Woodsiaceae

Herba

Kosmopolit di daerah
tropis

Asli

http://www.iucnredlist.or
g

38

Dissochaeta sp.

Kele bahe

Melastomatacea
e

Herba

Asia tropis

Asli

http://www.theplantlist.or
g

39

Emilia sonchifolia (L.) DC.


ex DC

Rumput Jonge

Compositae

Herba

Amerika Tengah dan


Selatan

Eksotik,
invasif

http://www.cabi.org

40

Epipremnum pinnatum
(L.) Engl.

Lolo

Araceae

Herba

Indonesia, Australia

Asli

http://www.issg.org

41

Etlingera solaris (Blume)


R. M. Sm.

Tepus

Zingiberaceae

Herba

Sumatera hingga Jawa


Tengah

Asli

http://apps.kew.org/wcsp/

42

Eurya acuminata DC.

Ki wates

Pentaphylacacea
e

Semak

Cina Selatan dan Barat,


India , Indonesia,
Malaysia, Sri Lanka,
Thailand, Laos

Asli

http://www.biotik.org

43

Ficus montana Burm.f.

Amis mata

Moraceae

Semak

Asia tropis

Asli

http://www.asianflora.co
m/

44

Ficus sagittata Vahl

Ki Rupet

Moraceae

Liana

India Utara dan Timur,


Kepulauan Andaman
hingga Myanmar, IndoCina, Cina Selatan,
Thailand

Asli

http://proseanet.org

Eksotik,
invasif

http://www.issg.org

193

Robiansyah & Purnomo

Lampiran 1. Lanjutan...
No

Nama ilmiah

45

Ficus septica Burm.f.

Leuksa

Moraceae

Semak

Taiwan hingga Australia

Asli

http://www.biodiversityex
plorer.org

46

Ficus sinuata Thunb. Lam.

Darangdan

Moraceae

Pohon

Asia tropis dan sub


tropis

Asli

http://zipcodezoo.com

47

Ficus sp.

Kayu Karag

Moraceae

Pohon

Asia tropis dan sub


tropis

Asli

http://zipcodezoo.com

48

Fleurya interrupta (L.)


Gaudich

Kayu calik
angin

Urticaceae

Herba

Australia, Asia, Malesia


dan Kepulauan Pasifik
Selatan dan Barat

Asli

http://keys.trin.org.au

49

Glochidion insigne
(Mll.Arg.) J.J.Sm.

Mareme

Phyllanthaceae

Semak

Asia tropis

Asli

http://apps.kew.org/wcsp

50

Goniothalamus
macrophyllus (Blume)
Hook.f. & Thomson

Ki Cantung

Annonaceae

Pohon

Thailand, Malaysia,
Sumatera, Jawa dan
Kalimantan

Asli

http://www.asianplant.net

51

Gynotroches axillaris
Blume

Kayu
Bareubeuy

Rhizophoraceae

Pohon

Myanmar, Thailand
hingga New Guinea,
Pasifik Barat dan
Australia

Asli

http://www.asianplant.net

52

Homalanthus populneus
(Geiseler) Pax

Monyenyen

Euphorbiaceae

Pohon

Asia Tenggara

Asli

http://www.asianplant.net

53

Imperata cylindrica (L.)


Raeusch.

Alang-alang

Poaceae

Rumput

Asia Tenggara,
Australia, Cina, Jepang,
Filipina dan Afrika
Selatan

Asli

http://www.issg.org

54

Justicia gendarrusa Burm.f.

Acanthaceae

Semak

Cina, Malaysia,
Filipina,India, Sri
Lanka, Pakistan

Asli

http://www.efloras.org

55

Labisia pumila (Blume)


Mez (Blume) F. Vill.

Rumput
Fatimah

Primulaceae

Semak

Indo-Cina, Thailand
dan Malesia

Asli

http://www.globinmed.co
m

56

Lasianthus cyanocarpus
Jack.

Ki Kandel

Rubiaceae

Semak

Asia tropis dan sub


tropis

Asli

http://apps.kew.org/wcsp/

57

Litsea cubeba (Lour.) Pers.

Ki Limo

Lauraceae

Pohon

Cina, Indonesia dan


bagian barat Asia
Tenggara

Asli

http://www.fao.org

58

Litsea fulva (Blume)


VILLAR

Huru batu

Lauraceae

Semak

Indonesia, Malaysia,
Filipina

Asli

www.gwannon.com

59

Litsea sp.

Huru merang

Lauraceae

Semak

Amerika Utara,
Meksiko, Amerika
Tengah, dan Asia

Asli

http://zipcodezoo.com

60

Lophatherum gracile
Brongn.

Tangkur
gunung

Poaceae

Rumput

Asia tropis dan sub


tropis hingga Australia
Utara

Asli

http://www.globinmed.co
m

61

Macaranga tanarius (L.)


Mull. Arg.

Marak

Euphorbiaceae

Pohon

Australia, Asia
Tenggara, Japan, Papua
New Guinea, Taiwan,
Cina

Asli

http://www.worldagrofore
strycentre.org

62

Mastixia trichotoma Blume

Jeret

Cornaceae

Pohon

Malesia Barat hingga


Kepulauan Sunda Kecil

Asli

http://apps.kew.org/wcsp

63

Microsorium scolopendrium
(Burm.) Copel.

Pakis1

Polypodiaceae

Herba

Kepulauan Hainan
hingga Malaysia

Asli

http://culture.teldap.tw

64

Microstegium ciliatum
(Trin) A. Camus

Rumput
bayondah

Poaceae

Rumput

Asia tropis dan sub


tropis

Asli

http://www.efloras.org

65

Molineria capitulata
(Lour.) Herb.

Congkok

Hypoxidaceae

Herba

Australia, Asia dan


Malesia

Asli

http://keys.trin.org.au

194

Nama Lokal

Suku

Habitus

Distribusi

Status

Pustaka

Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya

Lampiran 1. Lanjutan
No

Nama ilmiah

Nama Lokal

Suku

Habitus

Distribusi

Status

Pustaka

66

Molineria latifolia
(Dryand. ex W.T.Aiton)
Herb. ex Kurz

Marasi

Hypoxidaceae

Herba

Cina hingga Malesia

Asli

http://apps.kew.org/wcsp

67

Mussaenda frondosa L.

Kingkilaban

Rubiaceae

Semak

Amerika Selatan,
Kepulauan Andaman
dan Nikobar, Malesia
Barat

Asli

http://www.globalspecies.
org

68

Mussaendopsis beccariana
Baill.

Ramo heulang

Rubiaceae

Pohon

Malesia

Asli

http://apps.kew.org/wcsp

69

Nephelium lappaceum L.

Rambutan

Sapindaceae

Pohon

Cina Selatan, IndoCina, Malaysia,


Indonesia, dan Filipina

Eksotik

Priyadi et al. 2010

70

Nephrolepis falcata (Cav.)


C. Chr

Paku

Davalliaceae

Herba

New Guinea, Autralia

Eksotik

http://tropicalplantbook.c
om

71

Oldenlandia cristata
(Willd. ex Roem. &
Schult.) ined.

Rubiaceae

Herba

Himalaya Timur hingga


Queensland

Asli

http://apps.kew.org/wcsp

72

Oleandra pistillaris (Sus.)


C.Chr.

Paku andam
payung

Oleandraceae

Herba

Malesia

Asli

http://rbgweb2.rbge.org.uk

73

Omalanthus populneus
(Geiseler) Pax

Karemi

Euphorbiaceae

Pohon

Malesia kecuali New


Guinea, hingga
Kepulauan Bismarck

Asli

http://proseanet.org

74

Ophiorrhiza sp.

Asia tropis dan sub


tropis, Australia, New
Guinea, Kepulauan
Pasifik

Asli

http://www.efloras.org

75

Oxalis corniculata L.

Cacalingcingan

Oxalidaceae

Herba

Australia, Guam

Eksotik,
invasif

http://www.issg.org

76

Pandanus sp.

Meong
tandang

Pandanaceae

Pohon

Asia tropis hingga


Pasifik

Asli

http://toptropicals.com

77

Panicum notatum Retz.

Palem ngenge

Poaceae

Rumput

Asia tropis dan sub


tropis

Asli

http://www.kew.org

78

Panicum sp.

Awi-awian

Poaceae

Rumput

Kosmopolit

Asli

http://www.tropicalforage
s.info/key/Forages

79

Parameria laevigata (Juss.)


Moldenke

Kirapet

Apocynaceae

Liana

India dan Cina Selatan,


Myanmar, Indo-Cina,
Thailand, Malaysia,
Singapura, Indonesia,
Filipina

Asli

http://www.globinmed.co
m

80

Paspalum conjugatum
P.J.Bergius

Jampang pait

Poaceae

Rumput

Amerika tropis

Eksotik

http://www.fao.org

81

Pavetta sp.

Rubiaceae

Semak

Afrika tropis dan sub


tropis, Asia dan
Australia tropis

Asli

http://www.plantzafrica.c
om

82

Peliosanthes teta subsp.


humilis (Andrews) Jessop
ex Gandhi

Asparagaceae

Herba

Himalaya Timur hingga


Malesia Barat

Asli

http://apps.kew.org/wcsp

83

Pinanga coronata (Blume


ex Mart.) Blume

Palem bingbin

Arecaceae

Semak

Indonesia

Asli

http://www.globinmed.co
m

84

Piper sp.

Seureuh hutan

Piperaceae

Liana

Kosmopolit daerah
tropis

Asli

http://toptropicals.com

85

Plectocomia elongata Mart.


ex Blume

Rotan bubuay

Arecaceae

Semak

Indo-Cina hingga
Malesia Barat dan
Tengah

Asli

http://www.globinmed.co
m

Rubiaceae

195

Robiansyah & Purnomo

Lampiran 1. Lanjutan.
No

Nama ilmiah

Nama Lokal

Suku

Habitus

Distribusi

Status

Pustaka

86

Polygala paniculata L.

Polygalaceae

Herba

Amerika tropis

Eksotik

http://www.issg.org

87

Pteris ensiformis Burm.f.

Paku uncal

Pteridaceae

Herba

Asia tropis dan


temperate, Australia

Asli

http://www.ars-grin.gov

88

Quercus gemelliflora Blume

Kayu Pasang

Fagaceae

Pohon

Jawa, Sumatera,
Malaysia, Kalimantan

Asli

http://www.globalspecies.
org

89

Rhaphidophora montana
(Blume) Schoot.

Talas

Araceae

Herba

Indo-Cina, Malesia

Asli

http://www.ars-grin.gov

90

Rhodamnia cinerea Jack

Ipis kulit, ki
beusi

Myrtaceae

Pohon

Myanmar, Thailand,
Malaysia, Indonesia,
Filipina

Asli

http://www.asianplant.net

91

Salacca sp.

Bubuay

Arecaceae

Pohon

Indonesia

Asli

http://www.plantapalm.co
m

92

Saurauia pendula Blume

Ki Leho

Actinidiaceae

Pohon

Asia tropis, Amerika


tropis

Asli

http://zipcodezoo.com

93

Saurauia sp.

Ki Sauheun

Actinidiaceae

Pohon

Asia tropis, Amerika


tropis

Asli

http://zipcodezoo.com

94

Schima walichii (DC.)


Korth.

Puspa
Lembang

Theaceae

Pohon

Cina, Asia Tenggara,


Nepal, Papua New
Guinea

Asli

http://www.worldagrofore
stry.org

95

Scirpodendron ghaeri
(Gaertn.) Merr.

Pandan hutan

Cyperaceae

Herba

India Timur, Sri Lanka


hingga Pasifik Barat

Asli

http://apps.kew.org/wcsp

96

Scleria levis Retz. Steud.

Rumput ilat

Cyperaceae

Herba

Asia tropis dan sub


tropis hingga Pasifik
Barat

Asli

http://globalspecies.org

97

Selaginella willdenowii
(Desv. ex Poir.) Baker

Rane tanah

Selaginellaceae

Liana

Myanmar, Indonesia,
Malaysia dan Filipina

Asli

http://rmbr.nus.edu.sg

98

Selliguea feei Bory

Tangkur hutan

Polypodiaceae

Liana

Myanmar, Indonesia,
Malaysia dan Filipina

Asli

http://rmbr.nus.edu.sg

99

Setaria palmifolia
(J.Koenig) Stapf Wild.)
Stapf.

Rumput
Sauheun

Poaceae

Rumput

Cina, Jepang selatan,


Taiwan, Amerika dan
Asia Tenggara

Asli

http://keyserver.lucidcentr
al.org

100

Smilax leucophylla Blume

Canar tali

Smilaceae

Liana

Malaysia, Sumatera,
Jawa, Kalimantan
hingga New Guinea
dan Australia Utara

Asli

http://proseanet.org

101

Smilax macrocarpa Blume

Canar buah

Smilaceae

Semak

Jawa

Asli

http://apps.kew.org

102

Smilax sp.

Canar

Smilaceae

Semak

Asia tropis

Asli

http://proseanet.org

103

Sonerila tenuifolia Blume

Sp10

Melastomatacea
e

Herba

Asia tropis dan sub


tropis

Asli

http://zipcodezoo.com

104

Spermacoce latifolia Aubl.


(Aubl.) K. Schum.

Goletrak

Rubiaceae

Herba

Malesia tropis dan


Amerika

Asli

http://keys.trin.org.au

105

Spermacoce ocymifolia
Willd. ex Roem. & Schult.
( R. & S.) Brem.

Kakawatan

Rubiaceae

Herba

Malesia tropis dan


Amerika

Asli

http://keys.trin.org.au

106

Staurogyne elongata Kuntze

Reundeu

Acanthaceae

Herba

Sumatra and Java

Asli

Priyadi et al. 2010

107

Sterculia rubiginosa Vent.

Kayu Hantap

Sterculiaceae

Pohon

Asia Tenggara

Asli

Priyadi et al. 2010

108

Strobilanthus laevigatus
Clarke

Bubukuan

Acanthaceae

Herba

Asia tropis

Asli

http://www.efloras.org

109

Symplocos cochinchinensis
var. laurina (Retz.) Noot.
Roxb.

Kayu Jirak

Symplocaceae

Herba

Malesia timur

Asli

http://www.pngplants.org

110

Symplocos fasciculata Zoll.

Jirak

Symplocaceae

Pohon

Australia Timur,
Amerika Selatan,
Thailand, dan Malesia

Asli

Priyadi et al. 2010

196

Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya

Lampiran 1. Lanjutan
No

Nama ilmiah

111

Syzygium lineatum (DC.)


Merr. & Perry

112

Tylophora laevis Decne.

113

Urophyllum arboreum
(Reinw. ex Blume) Korth.

114

Nama Lokal

Suku

Habitus

Distribusi

Status

Pustaka

Myrtaceae

Pohon

Myanmar, Indo-Cina,
Malesia

Asli

Priyadi et al. 2010

Asclepiadaceae

Herba

Asia tropis dan sub


tropis

Asli

http://www.theplantlist.or
g

Cecengkehan

Rubiaceae

Pohon

Asia Selatan dan Timur


hingga New Guinea

Asli

Priyadi et al. 2010

Uvaria sp.

Areuy kecemag

Annonaceae

Semak

Afrika tropis, Asia tropis

Asli

http://apps.kew.org

115

Vernonia arborea Buch.Ham. ex Buch.-Ham.

Hamirung

Compositae

Pohon

India, Sri Lanka, IndoCina, Cina Selatan,


Thailand, dan Malesia

Asli

Priyadi et al. 2010

116

Vitex pinnata L.

Kilaban

Lamiaceae

Pohon

Asia Tenggara

Asli

Priyadi et al. 2010

117

Weinmannia blumei
Planch.

Ki Merak

Cunoniaceae

Pohon

Malesia, Kepulauan
Solomun

Asli

Priyadi et al. 2010

Ki Sireum

197

Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 199-208 (2013)

Isolats Bakteri Indigenous Penghasil Milk-Clotting Protease untuk


Fermentasi Keju
(Isolates of Indigenous Bacteria Producing Milk-Clotting Protease for Cheese
Fermentation)
Nanik Rahmani1, Yana Nurita Sari2, Nurheni Sri Palupi2 dan Yopi1
Laboratorium Biokatalis dan Fermentasi, Bidang Bioproses Puslit Bioteknologi-LIPI, Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 169011, E-mail: rahmani_btk@yahoo.com
2Departemen Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor

ABSTRACT
The aims of this research is to isolation of bacteria that potential to produce of milk clotting protease enzymes from
fermented food that will be used as a substitute for rennet in cheese making. There are five food fermentations such
as tauco, tempeh, red oncom, sticky tape, and pickled mustard greens that are used as a source for isolation of bacteria that could produce milk clotting protease. The results obtained four isolates proteolytic bacteria from two fermented food samples, three isolates bacteria from tauco (TCN 1, TCN 2, TCN 3) and one isolate from pickled
mustard greens (DSN 1). Based on 16S rDNA, these isolates were identified as Bacillus sp. Bacterial isolate TCN 1
has a milk clotting activity of 29.17 U/mL, whereas bacteria isolates of TCN 2, TCN 3 and DSN 1 have activities of
70 U/mL achieved at the 24 hours incubation, respectively. The proteolytic activities of bacteria isolates TCN 1,
TCN 2, TCN 3 and DSN 1 at the 24 hours fermentation process were 0.0117 U/mL, 0.0021 U/mL, 0.0150 U/mL,
and 0.200 U/mL, respectively. The ratio of milk clotting protease activity and the proteolytic activity for bacteria
isolates TCN 1, TCN 2, TCN 3 and DSN respectively were 5402, 175000, 7292, and 3333. This showed that the
enzyme from bacterial isolates TCN 2 can be used as an alternative to rennin in cheese making.
Keywords: milk clotting protease, cheese, calf rennet, fermentation food
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan isolasi bakteri penghasil enzim milk clotting protease dari pangan fermentasi
yang akan dimanfaatkan sebagai pengganti rennin dalam pembuatan keju. Ada lima pangan fermentasi yaitu tauco,
tempe, oncom merah, tape ketan, dan asinan sawi yang digunakan sebagai sumber bakteri penghasil enzim milk clotting protease. Dari hasil isolasi diperoleh empat isolat bakteri proteolitik dari dua sampel pangan fermentasi, yakni
tiga isolat bakteri dari tauco (TCN 1, TCN 2, TCN 3) dan satu isolat bakteri dari asinan sawi (DSN 1). Berdasarkan
analisa 16S rDNA, keempat isolate tersebut diidentifikasi termasuk dalam kelompok Bacillus sp. Isolat bakteri TCN
1 memiliki aktivitas penggumpalan susu sebesar 29.17 U/mL sedangkan isolat bakteri TCN 2, TCN 3 dan DSN 1
memiliki aktivitas masing-masing 70 U/mL yang seluruhnya dicapai pada jam ke-24 inkubasi. Isolat bakteri TCN 1,
TCN 2, TCN 3 dan DSN 1 memiliki aktivitas protease pada jam ke-24 berturut-turut sebesar 0.0117 U/mL,
0.0021 U/mL, 0.0150 U/mL, dan 0.200 U/mL. Rasio aktivitas penggumpalan susu terhadap protease untuk isolat
bakteri TCN 1, TCN 2, TCN 3 dan DSN 1 secara berturut-turut adalah 5402, 175000, 7292, dan 3333. Dari
keempat isolat yang diperoleh menunjukkan bahwa enzim dari isolat bakteri TCN 2 dapat digunakan sebagai alternatif pengganti renin dalam pembuatan keju.
Kata Kunci : protease penggumpal susu, keju, rennet anak sapi, produk pangan fermentasi

PENDAHULUAN

ma yang banyak digunakan dalam produksi keju


sebagai reagen milk-clotting (Isam et al. 2009).

Penggumpalan susu merupakan tahap


kunci dalam industri pembuatan keju dan enzim

Renet tidak hanya berfungsi sebagai penggumpal


susu tetapi juga memainkan peran penting selama

milk-clotting protease memainkan peran utama

proses pematangan keju yang merupakan proses

dalam proses tersebut. Calf rennet yang mengan-

utama dan komplek dalam pembentukan cita rasa

dung chymosin (EC 3.4.23.4) termasuk aspartate

dan tekstur dari keju (Vioque et al. 2000, Sausa &

protease yang merupakan komponen enzim uta-

Malcata 2002, Kumar et al. 2005). Beberapa studi


199

Rahmani, dkk.

telah dilakukan berkaitan dengan enzim milk clot-

red kojic rice, salah satu makanan tradisional Chi-

ting yang berasal dari mikroorganisme untuk ap-

na (Zhang et al. 2011).

likasi dalam pembuatan keju (Poza et al. 2003;


Dini et al. 2010).

Penelitian isolasi mikroba penghasil protease dan karakternya sudah banyak dilakukan di

Dalam industri pembuatan keju secara

Indonesia, sedang untuk isolasi protease jenis milk

tradisional banyak menggunakan renet dari anak

clotting sebagai pengganti rennet masih sedikit

sapi. Penggumpalan susu oleh renet dari anak sapi

(Nunuk et al. 2001). Untuk tujuan produksi keju

terjadi akibat pemecahan ikatan Phe105-Met106

diperlukan penggunaan renin yang memiliki ak-

pada ikatan -casein menghasilkan glikopeptida


hidrofilik rantai pendek (106-169 residu) yang

tivitas milk clotting tinggi (MCA) dan PA yang


rendah untuk meminimalkan larutnya curd (Wu

dilepas ke dalam whey. Para- -casein menjadi


bermuatan positif pada pH netral dan menyebab-

et al. 2008). Oleh karena itu, dalam penelitian ini

kan penurunan ikatan diantara micelle casein yang

renet, dengan melakukan proses isolasi enzim

menyebabkan agregasi (Green 1973).


Penggunaan renet yang berasal dari anak

milk clotting protease yang berasal dari produk


pangan fermentasi yang banyak terdapat di Indo-

sapi berkaitan dengan masalah etika, sehingga

nesia.

dipaparkan satu usaha untuk mencari pengganti

diperlukan usaha mencari alternatif substitusi renet yang berasal dari mikroorganisme yaitu enzim

BAHAN DAN CARA KERJA

milk clotting protease (Tubesha & Al-Delaimy,


2003; Cavalcanti et al. 2004).

Sampel yang digunakan sebagai sumber

Produksi enzim milk clotting protease telah

isolat adalah produk pangan fermentasi antara

dilaporkan dari beberapa mikroorganisme seperti

lain sawi asin, oncom, tauco, tempe, dan tape

Penicillium oxalium (Hashem 2000), Nocardiopsis

ketan. Sampel dihancurkan hingga homogen, lalu

sp (Cavalcanti et al. 2004), Mucor circinelloides

diukur pH-nya. Masing-masing sampel ditimbang

(Sathya et al. 2009) dan Bacillus amyloliquefaciens


D4 (He at al. 2011). Beberapa mikroba yang po-

sebanyak 0.25 g dan disimpan pada suhu refrigerator. Untuk sawi asin, diambil juga sampel airnya

tensial menghasilkan enzim milk clotting protease

untuk isolasi bakteri sebanyak 0.25 mL. Proses

dan potensial sebagai subtitusi calf rennet, yaitu

persiapan sampel dilakukan secara aseptis.

Penicillium oxalicum (Hashem, 2000) dan Nocar-

Media pertumbuhan bakteri menggunakan

diopsis sp (Cavalcanti et al. 2004). Untuk saat ini


produksi keju di dunia menggunakan sepertiga

medium Nutrient Broth dan isolasi bakteri


penghasil enzim penggumpal susu menggunakan

renet dari mikroba yang berasal dari mikroorgan-

skim milk agar. Sample dari 5 produk fermentasi

isme jenis kapang (Preetha & Boopathy, 1994).

sebanyak 0.25 g dan 0.25 mL sample cair produk

Banyak peneliti telah memfokuskan untuk

fermentasi sawi, masing-masing dimasukkan ke

melakukan isolasi mikroorganisme dari ling-

dalam tabung reaksi yang telah berisi 2.5 mL me-

kungan tertentu untuk mendapatkan enzim


dengan aktivitas milk clotting protease yang tinggi

dium Nutrient Broth untuk pertumbuhan bakteri.


Inkubasi selama 24 jam pada suhu ruang

dan aktivitas protease yang rendah atau per-

menggunakan shaker incubator dengan kecepatan

bandingan aktivitas milk clotting protease terhadap

150 rpm. Dari media pertumbuhan bakteri selan-

protease yang tinggi (He et al. 2011). Salah satu

jutnya dibuat pengenceran bertingkat (10-1-10-5)

diantaranya isolasi enzim milk clotting protease dari

masing-masing sebanyak 1 mL dan di inoku-

200

Isolat Bakteri Indigenous Penghasil Milk-Clotting Protease

lasikan kedalam media padat. Bakteri penghasil

Aktivitas penggumpalan susu ditentukan ber-

enzim milk clotting protease diskrining dengan

dasarkan uji visual dari pembentukan gumpalan

menggunakan media skim milk agar. Isolat yang


memberikan zona bening selanjutnya diukur in-

susu pertama kali akibat penambahan enzim yang


dinotasikan dalam Soxhlet Unit (SU). Satu SU

dek proteolitiknya dan selanjutnya diuji poten-

didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dapat

sinya sebagai penghasil enzim milk clotting prote-

menggumpalkan 1 mL campuran yang mengan-

ase.

dung 0.1 g susu skim dan 0.001 g CaCl2 dalam


Identifikasi bakteri dilakukan secara mole-

40 menit pada suhu 35C (Arima et al. 1970).

kuler dengan menganalisis sebagian gen 16S


rDNAnya. Gen 16S rDNA diamplifikasi dengan

Sebanyak 0.5 mL enzim ditambahkan ke dalam 5


mL susu skim (10 g susu skim/100 mL 0.01 M

menggunakan primer 9F (5-AGRGTTTGAT

CaCl2) yang telah diinkubasi pada suhu 40C sela-

CMTGGCTCAG-3) and 1492R (5-ACGGYTA

ma 5 menit. Campuran tersebut diaduk hingga

CCTTGTTAYGACTT-3).

dil-

terbentuk gumpalan. Pengukuran aktivitas enzim

akukan dengan campuran reaksi yang mengandung DNA bakteri, primer 9F dan 1492R mas-

milk-clotting menggunakan persamaan berikut ini:


(MCA) = 2400 x 5 x D

Amplifikasi

ing-masing 10 pmol 2 l, larutan Go Taq


(promega) 26 l serta ddH2O 20 l. Adapun
o

kondisi reaksi PCR ialah 95 C, 2 menit (1 siklus); 95 oC, 30 detik, 65 oC, 1 menit, 72 oC, 2
menit (10 siklus); 95 oC, 30 detik, 55 oC, 1 men-

T x 0,5
Keterangan:
MCA= aktivitas enzim milk-clotting (SU)
T = waktu pertama kali terbentuk gumpalan susu (detik)
D = faktor pengenceran

it, 72 oC, 2 menit (30 siklus) serta 72 oC, 2 menit

Aktivitas protease ditentukan melalui


metode standar Lowry yang dimodifikasi (Meloan

(1 siklus). PCR produk disequensing di First Base

& Pomeranz 1973). Sebanyak 0.2 ml substrat

Malaysia. Hasil sekuen selanjutnya dibandingkan

kasein dengan konsentrasi 0.1% direaksikan

dengan database di Gen Bank menggunakan

dengan 0.1 mL larutan enzim kasar, kemudian

BLAST algorithm.
Produksi enzim dilakukan dengan metode

dicampur dan diinkubasi di shaker incubator selama 20 menit pada suhu 37C. Setelah diinkubasi

fermentasi cair. Isolat bakteri dikulturkan pada

selama 20 menit, larutan reaksi tersebut ditambah

media Nutrient Broth yang telah ditambahkan

0.24 mL 0.4 M TCA, dicampur dan diinkubasi

substrat kasein lalu diinkubasi menggunakan

pada shaker incubator selama 20 menit pada suhu

shaker incubator pada 150 rpm, suhu ruang selama 5 hari dan dilakukan sampling setiap 24 jam.

37C. Setelah disentrifugasi selama 10 menit pada

Hasil sampling kemudian diukur pertumbuhan

kecepatan 10.000 rpm, 0.1 mL supernatan diambil dan disimpan pada tabung reaksi baru.

selnya menggunakan spektrofotometer pada


660 nm. Hasil sampling tersebut disentrifugasi

dan 0.1 mL fenol folin, dihomogenkan dengan

pada 10.000 rpm selama 10 menit, kemudian

vorteks dan diinkubasi pada suhu 37C selama 20

diambil supernatannya sebagai ekstrak enzim


kasar untuk dianalisa aktivitas milk clotting prote-

menit. Larutan reaksi diukur absorbansinya pada

Kemudian ditambahkan 0,5 mL 0.4 M Na2CO3

ase (Milk clotting activity : MCA), aktivitas proteo-

660 nm dan diukur aktivitas proteasenya


dengan menggunakan rumus dibawah ini. Satu

litiknya (Proteolytic activity : PA) serta rasio aktivi-

unit (U) aktivitas protease didefinisikan sebagai

tas milk clotting protease terhadap protease

jumlah enzim yang dapat mengkatalisis reaksi

(MCA/PA).
201

Rahmani, dkk.

pelepasan 1 mol tirosin per menit


Aktivitas protease (PA) = X x FP x 1/V x T

Analisis sebagian gen 16S rDNA Bakteri

Keterangan :
PA
= Protease activity (U/mL)
X
= Konsentrasi enzim (mg/mL)
FP
= Faktor pengenceran
V
= Volume enzim yang dianalisis (mL)
T
= waktu inkubasi (menit)

rDNA menghasilkan produk sekitar 1500 bp


(Gambar 3). Analisis homologi untuk masing-

Amplifikasi daerah sebagian gen 16S

masing isolat bisa dilihat pada Tabel 3.


Pengukuran Aktivitas Enzim dan Seleksi Isolat
Bakteri

Perhitungan rasio aktivitas penggumpalan


susu terhadap protease

Kurva Pertumbuhan Isolat Bakteri

menggunakan rumus

Hasil pengukuran pertumbuhan sel pada

perhitungan pada persamaan berikut ini (Arima et

660 nm ditunjukkan pada Gambar 4. Empat


isolat bakteri memiliki profil pertumbuhan yang

al. 1967) :
R = MCA
PA

sama dengan pertumbuhan sel tertinggi pada jam


ke-24.

Keterangan :
R : Rasio aktivitas penggumpulan susu terhadap protease
MCA : Milk Clotting Activity ; Aktivitas penggumpalan
susu (SU/mL)
PA
: Protease Activity ; Aktivitas protease (U/mL)

Aktivitas Enzim Penggumpal Susu


Data aktivitas milk clotting protease dari
keempat isolat bakteri bisa dilihat pada Gambar
5. Pembentukan gumpalan susu oleh adanya aktivitas enzim milk clotting protease bisa dilihat pa-

HASIL

da Gambar 6. Tiga isolat bakteri dari produk fermentasi tauco memiliki aktivitas penggumpalan

Isolasi Bakteri dari Pangan Fermentasi

susu lebih tinggi dibanding isolat bakteri DSN

Isolasi dilakukan terhadap lima sampel pangan

dari produk fermentasi sawi, meskipun proses

fermentasi yaitu tauco, tempe, oncom merah, tape

penggumpalan susu optimum diperoleh setelah

ketan, dan asinan sawi (Gambar 1).

24 jam.

Tabel 1. Ciri morfologi 4 bakteri hasil isolasi dari 5 produk fermentasi


No.

Isolat Bakteri

Sumber

TCN 1

Tauco

TCN 2

Tauco

TCN 3

Tauco

DSN 1

Asinan sawi

Ciri Koloni
bentuk bulat, ukuran medium, berwarna putih opaque,
tepian entire
bentuk tidak beraturan, ukuran large, berwarna putih
opaque, tepian undulate
bentuk tidak beraturan, ukuran large, berwarna
translusens, tepian undulate
bentuk bulat, ukuran large, berwarna putih opaque,
tepian undulate

A
B
C
D
E
Gambar 1. Sampel pangan fermentasi yang digunakan sebagai sumber isolat: oncom merah (a), tempe (b), tape
ketan (c), tauco (d), asinan sawi (e)
202

Isolat Bakteri Indigenous Penghasil Milk-Clotting Protease

Aktivitas protease dan rasio aktivitas penggumKoloni isolat

pulan susu
Hasil uji aktivitas proteolitik terhadap 4
isolat bakteri menunjukkan hasil yang berbeda

Zona bening

dengan profil aktivitas penggumpalan susu. Satu


isolat bakteri produk fermentasi tauco yaitu
TCN2 menunjukkan aktivitas proteolitik paling
kecil dibanding 3 isolat bakteri lainnya. Aktivitas

Gambar 2. Contoh zona bening dari isolat bakteri


TCN 2 pada medium skim milk agar

tertinggi diperoleh oleh isolat bakteri TCN1


dengan aktivitas sekitar 0.02 U/mL (Gambar 7).

penggumpalan susu tertinggi dibanding 3 isolat

Isolat yang telah diuji aktivitas penggumpalan

bakteri lainnya.

susu dan proteasenya kemudian dihitung rasio


aktivitas penggumpalannya terhadap protease.
Hasil perhitungan rasio enzim penggumpal susu
terhadap protease dari keempat isolat bakteri
dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan
bahwa isolat bakteri TCN2 memiliki rasio

PEMBAHASAN

Medium isolasi untuk memperoleh koloni


tunggal menggunakan medium selektif susu skim
agar yang umum digunakan untuk memperoleh

Tabel 2. Indeks Protease 4 bakteri hasil isolasi dari 5 produk fermentasi


No.

Isolat Bakteri

Diameter isolate
bakteri (cm)

Diameter zona
bening (cm)

Indeks Protease

TCN 1

0.40

1.30

3.25

TCN 2

0.40

1.60

4.00

TCN 3

0.40

1.20

3.00

DSN 1

0.40

1.40

3.50

Gambar 3. Profil pertumbuhan isolat bakteri TCN 1 (a), TCN 2 (b), TCN 3 (c), dan DSN 1 (d) selama 5 hari
masa fermentasi pada 150 rpm dan suhu ruang. Konsentrasi sel diukur pada abs. 660 nm.
203

Rahmani, dkk.

gumpalan susu
Gambar 5. Pembentukan gumpalan susu pertama oleh
aktivitas enzim isolat bakteri

kedekatan dengan jenis bakteri asam laktat. InGambar 4. Aktivitas enzim penggumpal susu isolat
bakteri

dentifikasi molecular untuk melihat jenis bakteri


sedang dalam proses saat ini.
Indeks protease adalah perbandingan diam-

bakteri penghasil protease (Nunuk et al. 2001)

eter zona bening koloni dengan diameter koloni

termasuk enzim milk clotting protease. Koloni bak-

isolat. Semakin besar zona bening yang dihasilkan

teri akan membentuk zona bening sebagai hasil


perubahan kasein menjadi senyawa nitrogen yang

berarti semakin besar pula kemampuan isolat ter-

larut (Hidayat et al. 2006). Dari kelima sampel


produk fermentasi diperoleh 38 isolat bakteri dan

(Yusmarini et al. 2009). Pada penelitian ini, isolat


yang memiliki indeks protease paling tinggi ada-

setelah analisa lebih lanjut dipilih 4 isolat bakteri

lah isolat bakteri TCN 2 sebesar 4.

sebut

untuk

menghasilkan

enzim

protease

positif dengan ciri koloni berbeda. Tiga isolat

Empat isolat bakteri (TCN1, TCN2,

bakteri tersebut merupakan hasil isolasi dari


produk tauco dan 1 isolat bakteri dari produk

TCN3 dan DSN1) yang diuji menggunakan ana-

asinan sawi, yang kemungkinan merupakan bak-

lisa 16S rDNA diidentifikasi termasuk dalam kelompok Bacillus sp. Berdasarkan analisis

teri yang berperan dalam proses fermentasi bahan

menggunakan BLAST, keempat isolate tersebut

pangan itu sendiri. Proses fermentasi tauco ada

memiliki sekuen homologi 99% : isolate TCN1

dua tahap, yaitu fermentasi oleh kapang dan fermentasi dalam larutan garam oleh bakteri asam

dengan Bacillus Bacillus cereus, ATCC 14579;

laktat dan khamir. Bakteri dominan yang tumbuh

isolate TCN2 dengan Bacillus amyloliquefaciens,


NBRC 15535, isolate TCN3 dengan Bacillus sub-

selama fermentasi garam pada pembuatan tauco

tilis, NRRL B-23049 dan isolate DSN1 dengan

adalah Lactobacillus delbrueckii (Nurwitri et al.

Bacillus amyloliquefaciens, NBRC 15535.


Kurva pertumbuhan pada Gambar 3 di-

2007). Pada pangan fermentasi berbasis sayuran


seperti asinan sawi, proses fermentasi umumnya

tunjukkan bahwa pada jam ke-0 belum terlihat

dilakukan dalam larutan garam dan fermentasi


berlangsung secara spontan dengan memanfaat-

adanya kekekeruhan pada medium yang berisi


inokulum. Pada tahap ini terjadi fase adaptasi.

kan mikroba-mikroba yang telah ada pada sayur-

Pada pengamatan ini, terlihat bahwa semua isolat

an itu sendiri. Beberapa jenis bakteri yang ber-

bakteri memiliki kekeruhan inokulum yang paling

peran dalam fermentasi sayuran antara lain Leuconostoc mesenteroides, Lactobacillus brevis dan Pedio-

tinggi pada jam ke-24. Pada tahap ini isolate bak-

coccus cerevisiae (Nurwitri et al. 2007). Empat

teri sudah mencapai fase log sehingga untuk pemanenan enzim dilakukan pada jam ke-24.

isolat bakteri hasil isolasi dari produk tauco dan

Penurunan jumlah sel ini mulai terjadi setelah

sawi dalam penelitian ini diprediksi memiliki

inkubasi jam ke-24 hingga jam ke-120. Profil per-

204

Isolat Bakteri Indigenous Penghasil Milk-Clotting Protease

mikroba penghasil enzim penggumpal susu antara

tumbuhan 4 isolat bakteri tidak berbeda.


Penggumpalan susu merupakan prinsip

1-8 hari; 1 hari untuk Bacillus subtilis (Shieh et al.

dasar pada pembuatan keju. Dalam pembuatan


keju, renet biasanya ditambahkan ke dalam susu

2009), 4 hari untuk Mucor miehei (Escobar &


Barnett, 1990), 3 hari untuk Mucor pusillus

setelah

Proses

(Arima et al. 1970), 3 hari untuk Amylomyces

penggumpalan susu oleh renin terjadi melalui dua

rouxii (Yu & Chou, 2005), 3-4 hari untuk Mucor

tahap. Tahap pertama merupakan perubahan kap-

baciliformis (Areces et al. 1992), dan 8 hari untuk

pa-kasein menjadi para-kasein oleh enzim dan

Penicillium oxalicum (Hashem 1999). Mulai pada

tahap kedua para-kasein digumpalkan oleh proses


pemanasan dengan adanya ion kalsium. Renin

jam ke-48 aktivitas penggumpalan susu mulai


menurun hingga jam ke-120. Hal ini disebabkan

bekerja pada substrat kappa-kasein yang berfungsi

oleh penurunan jumlah substrat sehingga pem-

sebagai koloid yang merupakan lapisan luar

bentukan kompleks enzim-substrat juga ikut

kasein, sehingga dengan menghidrolisis kappa-

menurun. Pada gambar 4 ditunjukkan bahwa

kasein, kasein lebih mudah tergumpalkan secara


sempurna dengan syarat ion kalsium tersedia da-

isolat bakteri TCN 1 memiliki aktivitas


penggumpalan susu sebesar 29.17 U/mL, se-

lam larutan tersebut (Winarno 2010). Dalam

dangkan isolat bakteri TCN 2, TCN 3 dan DSN

penggunaannya, renin dapat digunakan dalam

1 memiliki aktivitas masing-masing 70 U/mL.

dua bentuk yakni renet cair dan renet dalam ben-

Isolat bakteri TCN 2, TCN 3 dan DSN 1 mem-

tuk padatan seperti bubuk atau pelet. Bentuk renet yang ditambahkan dapat mempengaruhi ak-

iliki aktivitas yang paling tinggi, artinya semakin


tinggi aktivitas penggumpalannya semakin singkat

tivitas enzim penggumpal susu. Renet dalam ben-

waktu yang dibutuhkan enzim tersebut untuk

tuk cair memiliki aktivitas penggumpalan susu

menggumpalkan susu hingga whey terpisah.

penambahan

kultur

starter.

sebesar 9600 U/mL (Thakur et al. 1990) se-

Isolat bakteri yang mampu menggumpal-

dangkan dalam bentuk padatan memiliki aktivitas

kan susu selanjutnya diuji aktivitas proteasenya.

6200 U/mg (Nerud et al. 1989). Enzim


penggumpal susu dari mikroba memiliki aktivitas

Pengukuran aktivitas protease ini bertujuan untuk


mengetahui kemampuan isolat bakteri dalam me-

penggumpalan susu yang berbeda tergantung ben-

mecah protein menjadi peptida dan asam amino.

tuk penggunaannya. Enzim penggumpal susu dari

Kemampuan protease dalam memecah protein

Mucor pusillus var. Lindt dalam bentuk cair mem-

akan mempengaruhi flavor atau citarasa akibat

iliki aktivitas penggumpalan susu sebesar 800 U/


mL sedangkan dalam bentuk padatan memiliki

terbentuknya peptida dan asam amino tersebut.


Pada pengukuran aktivitas ini diharapkan isolat

aktivitas 100 U/mg (Winarno 2010). Hal ini

bakteri terpilih memiliki aktivitas protease yang

menunjukkan bahwa proses pembuatan dan pem-

rendah, hal ini dikarenakan aktivitas protease

urnian enzim mempengaruhi aktivitas enzim ter-

(aspartat protease) yang tinggi dapat men-

sebut.

imbulkan citarasa yang pahit pada produk keju

Gambar 4 ditunjukkan bahwa keempat


isolat bakteri memiliki aktivitas penggumpalan

yang akan dihasilkan (Channe & Shewale, 1998).


Aktivitas protease masing-masing isolat

susu yang paling tinggi pada waktu inkubasi jam

bakteri dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil pen-

ke-24. Beberapa penelitian melaporkan bahwa

gukuran aktivitas protease pada keempat isolat

waktu fermentasi optimum untuk beberapa

bakteri menunjukkan bahwa isolat bakteri TCN

205

Rahmani, dkk.

1, TCN 3, dan DSN 1 memiliki aktivitas protease

yang

paling

tinggi

sebesar

paling tinggi pada jam ke-48 yakni berturut-turut

penelitian ini, isolat bakteri TCN 2 merupakan

0.0117 U/mL, 0.0150 U/mL, 0.0200 U/mL, sedangkan isolat bakteri TCN 2 memiliki akivitas

isolat terpilih yang dapat dijadikan alternatif untuk produksi enzim penggumpal susu pada fer-

protease paling tinggi pada jam ke-96 yakni sebe-

mentasi keju. Isolat bakteri TCN 2 memiliki rasio

sar 0.0021 U/mL. Aktivitas protease ini tergolong

aktivitas

sangat rendah. Hal ini sesuai dengan harapan bah-

dibandingkan

wa isolat yang diinginkan memiliki aktivitas pro-

penggumpal susu dari bakteri lain (Tabel 5).

tease yang rendah sehingga tidak menimbulkan


cita rasa yang pahit pada keju yang dihasilkan.

Selain itu, ketiga isolat bakteri lainnya juga memiliki rasio penggumpalan susu terhadap protease

penggumpalan

yang

beberapa

175000.

lebih

enzim

Pada

tinggi

penghasil

Rasio aktivitas penggumpalan susu ter-

yang juga lebih tinggi dibandingkan beberapa

hadap protease merupakan faktor yang menen-

sumber lain. Hal ini menunjukkan bahwa isolat

tukan apakah bakteri tersebut dapat digunakan

bakteri lainnya

sebagai penghasil alternatif enzim penggumpal


susu. Isolat bakteri yang terpilih merupakan isolat

DSN 1 juga memiliki potensi untuk menjadi alternatif pengganti renin dalam pembuatan keju.

seperti TCN 1, TCN 3, dan

bakteri yang memiliki aktivitas penggumpalan


tinggi dengan aktivitas protease rendah sehingga

KESIMPULAN

menghasilkan rasio yang tinggi. Isolat yang telah


diuji aktivitas penggumpalan susu dan proteasenya kemudian dihitung rasio aktivitas

Pada penelitian ini diperoleh empat isolat


bakteri proteolitik potensial sebagai penghasil en-

penggumpalannya terhadap protease. Aktivitas

zim milk clotting protease dari dua sampel pangan

enzim yang dipilih adalah aktivitas enzim pada

fermentasi, yakni tiga isolat bakteri dari tauco

jam ke-24 karena pada waktu tersebut semua iso-

(TCN 1, TCN 2, TCN 3) dan satu isolat bakteri

lat bakteri menunjukkan aktivitas penggumpalan

dari asinan sawi (DSN 1). Keempat bakteri terse-

susu yang paling tinggi dengan aktivitas protease


yang rendah.

but diidentifikasi secara molekuler menggunakan


analisa 16S rDNA diidentifikasi sebagai Bacillus

Hasil perhitungan rasio enzim penggumpal

sp. Isolat bakteri TCN 1 memiliki aktivitas

susu terhadap protease pada Tabel 4 menunjuk-

penggumpalan susu sebesar 29.17 U/mL se-

kan bahwa isolat bakteri TCN 2 memiliki nilai

dangkan isolat bakteri TCN 2, TCN 3 dan DSN

Tabel 5. Perbandingan rasio aktivitas penggumpalan susu terhadap protease isolat bakteri TCN 2 dengan beberapa
enzim penggumpal susu dari mikroba lain

Sumber enzim
Isolat bakteri TCN 2

206

Aktivitas
penggumpalan
susu
(U/mL)
70

Aktivitas
protease
(U/mL)

Rasio

0.0004

175000

Aspergillus niger MC4


(Channe & Shewale, 1998)
Mucor renin

400

0.01

40000

511

0.11

4650

B. Subtilis natto (Shieh et al. 2009)

685

0.23

2981

Pfizer mikrobial renin

750

0.29

2590

Thermomucor indicae-seudaticae N31


(Dini et al. 2010)

56

0.6

93

Isolat Bakteri Indigenous Penghasil Milk-Clotting Protease

1 memiliki aktivitas masing-masing sebesar 70.00

Channe PS. & Shewale JG. 1998. Influence of

U/mL yang seluruhnya dicapai pada jam ke-24

culture conditions on the formation of milk-

masa inkubasi. Isolat bakteri TCN 1, TCN 2,


TCN 3 dan DSN 1 memiliki aktivitas protease

clotting protease by Aspergillus niger MC4.


World J Microb Biot 14(1):1115

pada jam ke-24 berturut-turut sebesar 0.0117 U/

Dini CB, Gomes E, Boscolo M. & Silva R. 2010.

mL, 0.0021 U/mL, 0.0150 U/mL, dan 0.200 U/

Production and characterization of a milk-

mL.

clotting protease in the crude enzymatic exRasio aktivitas penggumpalan susu ter-

tract from the newly isolated Thermomucor

hadap protease untuk isolat bakteri TCN 1, TCN


2, TCN 3 dan DSN 1 secara berturut-turut ada-

indicae-seudaticae N31. Food Chemistry 120:


87-93

lah 5402, 175000, 7292, dan 3333. Hasil terse-

Green ML. 1973. Studies on the mechanism of

but menunjukkan bahwa enzim dari isolat bakteri

clotting of milk. Neth Milk Dairy J 27:278

TCN 2 dapat digunakan sebagai alternatif peng-

285

ganti renin dalam pembuatan keju.


UCAPAN TERIMA KASIH

Hashem, A. M. 1999. Optimization of milkclotting enzyme productivity by Penicillium


oxalicum. Bioresour. Technol. 70: 203-207.
Hashem, A.M. 2000. Purification and properties

Penelitian ini didanai oleh dana DIPA MEAT-

of a milk-clotting enzymes produced by Pen-

PRO Puslit Bioteknologi LIPI tahun 2012.

icillium oxalicum. Bioresour. Technol. 75:219222.

DAFTAR PUSTAKA

He, X., Weibing Z., Fazheng R., Bozhong G &


Huiyuan G. 2011. Screening fermentation

Areces LB, Bonino MB, Parry MA, Fraile ER,

parameters of the milk-clotting enzyme pro-

Fernandez-Lahore HM. & Cascone O.

duced by Bacillus amyloliquefaciens D4 from

1992. Purification and characterization of a


milk-clotting protease from Mucor bacilli-

the Tibetan Plateau in China. Ann Microbiol.


Publish online 15 May 2011.

formis. Appl Biochem Biotechnol 37:283294


Arima K, Iwasaki S & Tamura G. 1967. Milk

Hidayat N, Padaga MC. & Suhartini S. 2006.


Mikrobiologi Industri. Yogyakarta

clotting enzyme from microorganisms. 1.

Isam AMA, Isao M, Elfadil EB, & Nobuhiro M.

Screening tests and identification of the potent fungus. Agric Boil Chem 31:540545

2009. Characterization of partially purified


milk-clotting enzyme from Solanum dubium

Arima K, Yu J. & Iwasaki S. 1970. Milk-clotting

Fresen seeds. Food Chem 116:395-400

enzyme from Mucor pusillus var. Lindt. In:

Kumar, S., Sharma, N.S., Saharan, M.R., &

Perlmann G, Lorand L (eds) Methods in

Singh, R. 2005. Extracellular acid protease

enzymology, vol 19. Academic, New York,

from Rhizopus oryzae: purification and char-

pp 446459
Cavalcanti MTH, Teixeira MFS, Lima FJL. &

acterization. Process Biochemistry, 40, 17011705.

Porto ALF. 2004. Partial purification of new

Meloan CE & Pomeranz Y. 1973. Food Analysis

milk-clotting enzyme produced by Nocardi-

Laboratory Experiments. New York : The

opsis sp. Bioresource Technol. 93:2935

AVI Publishing Company

207

Rahmani, dkk.

Neelakantan S, Mohanty AK. & Kaushik JK.

1990. Production of fungal rennet by Mucor

1999. Production and use of microbial en-

miehei using solid state fermentation. Appl

zymes for dairy processing. Curr Sci 77:43


148

Microbiol Biotechnol 32:409-413.


Tubesha ZA, & Al-Delaimy KS. 2003. Rennin-

Nerud F, Misurcova Z. & Musilek V. 1989. Pro-

like milk coagulant enzyme produced by a

duction of milk-clotting enzymes by Basidio-

local isolate of Mucor. Int J Dairy Sci 56:237

mycetes. Folia microbial 34: 310-315

241

Nunuk W, Baity H, & Suminar S.A. 2001.

Vioque M, Gomez R, Sanchez E, Mata X, Tejada

Karakter protease ekstraseluler bakteri isolat


P.1 yang diisolasi dari tuak lontar. Jurnal

I., & Fernandez Saguero J. 2000. Chemical


and microbiological characteristics of ewe's

Biologi Indonesia Vol. III, No.1 : 80-89.

milk cheese manufactured with extracts from

Nurwitri CC, Rahayu WP, Kusumaningrum HD.

flowers of Cynara caradunculus and Cynara

& Nurjanah S. 2007. Prinsip Fermentasi

humilis as coagulants. J Agric Food Chem

Pangan. E-Learning Mikrobiologi Pangan.


Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

48:451-6
Winarno FG. 2010. Enzim Pangan. Bogor :
Mbrio Press

IPB.
Poza M., M. Prieto-Alcedo, C. Sieiro & T.G.

Wu J., Hongbing C., & Weiping C. 2008. Fer-

Villa. 2004. Cloning and expression of clt

mentation parameter and partial bio-

genes encoding milk clotting proteases from


Myxococcus xanthus 422. Applied and environ-

chemical characterization of milk clotting


enzyme from Chinese distillers yeast.

mental microbiology, p. 6337-6341.

Annals of Microbiology, 58 (4) 717-722.

Preetha S. & Boopathy R. 1994. Influence of cul-

Yu PJ. & Chou CC. 2005. Factors affecting the

ture conditions on the production of milk-

growth and production of milk-clotting

clotting enzyme from Rhizomucor. World J

enzymes by Amylomyces rouxii in rice

Microbiol 10(5):527530
Sathya R., B.V Pradeep, J. Angayarkanni & M.

liquid medium. Food Technol Biotechnol


43(3):283288

Palaniswamy. 2009. Production of mlik clot-

Yusmarini, Indarti R, Utami T, & Marsono Y.

ting protease by a local isolate of Mucor cir-

2009. Isolasi dan identifikasi bakteri asam

cinelloides under SSF using agro-industrial

laktat proteolitik dari susu kedelai yang

waste. Biotechnology and Bioprocess Engineering, 14:788-794.

terfermentasi spontan. Jurnal Natur Indonesia 12(1):28-33

Shieh CJ, Phan Thi LA, & Shih IL. 2009. Milk-

Zhang Z., Chenzhong W., Zhengying Y., Junfeng

clotting enzymes produced by culture of Ba-

Z., Fengxia L., Gongming Y., Wenjun L

cillus subtilis natto. Biochem Eng J 43 (1):85

& Zhaoxin L. 2011. Isolation and identi-

91

fication of a fungal strain QY229 produc-

Sousa, M. J. & F. X. Malcata. 2002. Advances in


the role of a plant coagulant (Cynara cardunculus) in vitro and during ripening of cheeses
from several milk species. Lait 82: 151-170.
Thakur MS, NG Karanth &

208

Krishna Nand.

ing milk-clotting enzyme. Eur Food Res


Technol, 232: 861-866.

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 209-218 (2013)

Preferensi Ekologis Jenis-Jenis Tumbuhan Dominan di Gunung Endut, Banten


(Ecological Preferences of Dominan Plant Species at Mount Endut, Banten)
E.N. Sambas 1 , C. Kusmana 2, L.B. Prasetyo 2 & T. Partomihardjo

Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi LIPI; 2Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB)
E-mail: edynas.sambas@gmail.com

Memasukan: Juli 2012, Diterima: Mei 2013


ABSTRACT
Thirteen plant species of main vegetation alliances were detected upon their preferences on various abiotic factors,
among them, six species had preferences on either soil or topographical factors, while four species only had preferences on soil factors, and one species only on topographical ones. On topographical factors, there were six species
had preferences most on average elevation and one species on minimum elevation of the research plots.
Keywords : dominant plant species, ecological preferences, Mount Endut
ABSTRAK
Tiga belas spesies tumbuhan dari aliansi-aliansi vegetasi utama berhasil dideteksi preferensinya terhadap berbagai
faktor abiotik, enam spesies diantaranya memiliki preferensi baik terhadap faktor tanah maupun topografi, empat
spesies hanya memiliki preferensi terhadap faktor tanah, dan satu spesies yang hanya memiliki preferensi terhadap
faktor topografi. Untuk faktor topografi, enam species memiliki preferensi paling banyak terhadap ketinggian ratarata dan satu species terhadap ketinggian minimum dari petak penelitian.
Kata Kunci : jenis tumbuhan dominan, preferensi ekologi, Gunung Endut

PENDAHULUAN

ject (Harahap et al. 2005) yakni dalam rangka


penyusunan

rencana

pengelolaan

kawasan

Gunung Endut ditetapkan sebagai bagian


dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak

(TNGHS 2007). Penelitian serupa telah dilakukan oleh Wiharto (2009) di zona sub pegunu-

(TNGHS) berdasarkan SK Menhut No. 175/

ngan Gunung Salak, TNGHS yang mengidentifi-

Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003. Penetapan

kasi 3 aliansi vegetasi.

kawasan Gunung Endut menjadi bagian dari

mengidentifikasi

TNGHS telah merubah status kawasan yaitu dari

Gunung Endut, yang meliputi : (1) Aliansi hutan

hutan lindung menjadi areal taman nasional dan


mengakibatkan perubahan fungsi kawasan. Selain

Castanopsis acuminatissima, Schima wallichii/


Freycinetia javanica, (2) Aliansi hutan Castanopsis

berfungsi sebagai kawasan pelestarian dan perlin-

argentea-Dendrocnide stimulans/, Schismatoglottis

dungan sumberdaya alam, taman nasional juga

calyptrata, (3) Aliansi hutan Coffea canephora var.

dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Karena

robusta-Quercus

itu, dalam pengelolaannya perlu pengetahuan dan


pemahaman yang mendalam tentang kondisi

Aliansi hutan Paraserianthes falcataria, Coffea


canephora var. robusta/Oplismenus compositus.

ekologi vegetasi Gunung Endut yang sampai saat

Usaha untuk menyingkap asosiasi antara

ini masih belum banyak terungkap.

Sambas et al. (2011)

empat

lineata/F.

aliansi

vegetasi

di

javanica, dan (4)

penyebaran spesies dengan berbagai variasi faktor

Beberapa penelitian pendahuluan di kawa-

edafik dan topografi adalah salah satu kunci yang

san TNGHS telah dilakukan oleh Gunung


Halimun Salak National Park Management Pro-

paling penting dalam memahami karakteristik


hutan hujan tropis basah (Miyamoto et al. 2003).
209

Sambas, dkk.

Oleh karena itu, penelitian preferensi jenis

but adalah Aliansi vegetasi 1 (Aliansi hutan

tumbuhan yang terkait dengan kecenderungan

Castanopsis

jenis-jenis tumbuhan tersebut terhadap faktor


edafik dan topografi akan menjadi landasan

Freycinetia javanica ) dan Aliansi vegetasi 2


(Aliansi hutan Castanopsis argentea-Dendrocnide

aplikatif untuk menunjang keberhasilan reboisasi

stimulans/Schismatoglottis calyptrata ).

pada kawasan hutan terganggu seperti Gunung

penelitian diharapkan menjadi bagian dari dasar

Endut.

pengelolaan kawasan Gunung Endut, TNGHS

Selain topografi yang berbeda, jenis batuan

acuminatissima-Schima

wallichii/

Hasil

khususnya dan kawasan konservasi serupa pada

induk penyusun kawasan Gunung Endut menunjukkan kondisi yang berlainan dengan lempeng

umumnya.

penyusun kawasan G. Salak pada umumnya.

BAHAN DAN CARA KERJA

Lempeng Gunung Endut merupakan batuan tua


dan daya gabung yang mapan, vulkanis lebih tua

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hu-

yang terbentuk pada periode tersier (2-65 juta


tahun lalu), sedangkan Lempeng Gunung Salak

tan Gunung Endut pada kisaran ketinggian 700


1300 m dpl, terbentang pada 06 36- 0639 LS

umumnya kerucut vulkanis yang terbentuk pada

dan

periode kuarter, lebih muda dari 2 juta tahun lalu

Gunung Endut secara administratif pemerintahan

(RePPProT 1990).

termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Lebak

Aliansi vegetasi merupakan kelompok


komunitas tumbuhan yang memiliki spesies

gedong
(Desa
Lebaksangka
dan
Desa
Lebakgedong), Kecamatan Sajira (Desa Pasirhaur

dominan utama yang sama dan secara fisiognomi

dan Desa Girilaya), Kecamatan Sobang (Desa

serupa. Aliansi vegetasi merupakan tipe vegetasi

Sindanglaya dan Desa Citujah), dan Kecamatan

yang mengandung satu atau lebih asosiasi vegetasi

Muncang (Desa Cikarang), Kabupaten Lebak

dan ditetapkan melalui kisaran komposisi spesies,

(Gambar 1).

kondisi habitat, fisiognomi dan spesies diagnostik


yang khas ( FGDC 2008).

Pencuplikan data vegetasi dilakukan


dengan petak bersistem yang dimulai dengan titik

Diantara satwa liar langka atau terancam

secara acak (systematic sampling with random start).

punah yang ditemukan jejaknya di kawasan

Sebanyak 12 jalur (2.000 x 10 m) telah dibuat

Gunung Endut adalah macan jawa (Panthera

dengan arah ke Utara (3), Timur (3), Selatan (3)

pardus). Harahap et al. (2005) menaksir sedikitnya 3 ekor macan jawa menghuni daerah ini.

dan Barat (3). Pada setiap jalur dibuat 200 petak


berukuran 10 m x 10 m. Seluruh pohon

Kawasan Gunung Endut juga merupakan habitat

(diameter setinggi dada/DBH) > 10 cm) yang ada

bagi owa jawa (Hylobates moloch) (Rinaldi,

dalam petak 10 x 10 m dicatat jenis dan diame-

kom.pribadi) dan elang jawa (Spizaetus bartelsi)

ternya.

(Prawiradilaga, kom. pribadi).

penelitian maka untuk setiap kumpulan plot

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji


preferensi ekologis dari jenis-jenis tumbuhan

pengamatan (10 x 10 m) sebanyak 40 buah dijadikan satu buah blok pengamatan. Dengan

dominan pada aliansi-aliansi vegetasi utama yang

demikian terdapat 60 buah blok pengamatan yang

ada di Gunung Endut, Taman Nasional Gunung

tersebar dalam aliansi vegetasi-1 (43 blok), aliansi

Halimun Salak. Dua aliansi vegetasi utama terse-

vegetasi-2 (11 blok), aliansi vegetasi-3 (3 blok),

210

106 20- 106 23 BT.

Lokasi kawasan

Untuk memudahkan di dalam risalah

Preferensi Ekologis Jenis-Jenis Tumbuhan Dominan di Gunung Endut, Banten

mengkaji bagaimana hubungan antara spesiesspesies dengan berbagai faktor abiotik dalam
berdistribusi di setiap aliansi vegetasi Gunung
Endut dilakukan dengan uji statistik Chi-Square
(Daniel 1987), sebagai berikut :
2 = SS/X ; 2 = chi kuadrat; SS = jumlah
kuadrat; X = rata-rata jumlah individu dalam aliansi/mean sample.
Gambar 1. Peta Kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (Sumber: GHSNP.MP-JICA
2006)

Jenis-jenis tumbuhan yang dipilih untuk


kajian ini adalah 3 jenis dengan nilai INP
tertinggi di setiap blok pada aliansi vegetasi utama
di Gunung Endut. Sebanyak 13 dan 9 spesies

dan aliansi vegetasi-4 (3 blok); dengan luas se-

utama pada Aliansi vegetasi 1 (43 blok; luas 17,2

luruh lokasi pencuplikan data adalah 24 Ha.

Ha) dan Aliansi vegetasi 2 (11 blok; luas 4,4 Ha)


dipilih untuk analisis preferensi.

Spesimen bukti ekologi juga dikumpulkan untuk


keperluan identifikasi lebih lanjut di Herbarium

Faktor abiotik yang dikaji adalah faktorfaktor yang membedakan antar aliansi vegetasi di

Bogoriense, Cibinong.
Data lingkungan abiotik yang dikumpulkan adalah: (1) koordinat geografis dari plot
pengamatan, (2) data tanah, (3) data berbagai

Gunung Endut.

Faktor-faktor ini selanjutnya

dibagi ke dalam kelas-kelas tertentu, sehingga


hasil uji chi-square nantinya akan menghasilkan

gangguan yang terjadi pada plot pengamatan, (4)


kemiringan kelerengan plot pengamatan dan arah

hubungan antara penyebaran spesies dengan

lereng, (5) ketinggian plot dari permukaan laut.

pada berbagai blok penelitian di suatu aliansi

berbagai faktor abiotik dalam berbagai kategori

Data pH dan lengas tanah ditentukan

vegetasi. Untuk parameter tanah, pembagian ke

langsung di lapangan dengan menggunakan

dalam kelas-kelas mengikuti pedoman Laboratorium Tanah IPB, sedangkan untuk faktor abiotik

peralatan soil tester, sedangkan data jenis tanah


diketahui melalui operasi tumpang susun antara

yang tidak memiliki kelas tersendiri, pembagian

peta jenis tanah kawasan Gunung Endut dengan

dilakukan dengan cara membagi rata nilai faktor

peta administrasi kawasan Gunung Endut.

abiotik tersebut ke dalam kelas-kelas tersendiri.

Analisis tanah yang meliputi tekstur tanah,


kandungan C organik total, N total, P, K dan Al
dilakukan di laboratorium ilmu tanah IPB.

HASIL

Data yang terkumpul diolah dengan

Blok-blok penelitian di Gunung Endut

perangkat lunak Excel, dan perhitungan statistik

umumnya memiliki kelerengan >25%, bahkan

dilakukan dengan memanfaatkan perangkat lunak

sebagian besar berkategori sangat curam dengan

SPSS. Untuk mengkaji preferensi ekologis dari

kelerengan rata-rata >40%. Karakteristik topografi pada setiap aliansi vegetasi di Gunung Endut

spesies-spesies dominan

yang ada pada setiap

aliansi vegetasi, digunakan analisis kuadrat, dan


untuk melihat antara spesies dengan faktor

dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Variasi kriteria

abiotik digunakan koefisien kontingensi. Untuk

banyak terdapat pada blok-blok penelitian di

kelerengan dari datar sampai agak curam paling

211

Sambas, dkk.

sedangkan untuk

berdasarkan jumlah faktor abiotik yang menjadi

kriteria curam dan sangat curam paling banyak

pembeda di antara satu aliansi dengan aliansi

ditemukan pada blok-blok penelitian yang ada di


aliansi 3 (73,25%). Variasi ketinggian blok

lainnya, maka dapat ditentukan aliansi mana yang


paling berbeda dengan aliansi lainnya.

penelitian di atas permukaan laut terlihat paling

Perbedaan-perbedaan

besar ditemukan di aliansi vegetasi 1, yaitu dari

berkaitan dengan kondisi vegetasi ataupun kom-

yang terendah (250 m dpl) sampai tertinggi

posisi floristik masing-masing Aliansi Vegetasi di

(1.297 m dpl).

daerah penelitian. Lima faktor abiotik tanah ter-

Pada Tabel 3 dapat dilihat karakteristik


faktor abiotik tanah di setiap aliansi vegetasi di

catat secara signifikan mempengaruhi perbedaan


antara aliansi vegetasi 1 dan aliansi vegetasi

Gunung Endut. Variasi unsur kimia tanah antar

lainnya. Al, H dan pH rata-rata berpengaruh

aliansi nampak berbeda satu dengan lainnya, dan

nyata terhadap perbedaan antara aliansi vegetasi 1

nampak bahwa untuk beberapa unsur kimia ada

dan 4, sedangkan Ca dan KTK antara aliansi veg-

kecenderungan yang jelas antara satu aliansi


dengan aliansi vegetasi lain. Aliansi vegetasi 3

etasi 1 dan 2. Dilain pihak unsur K tanah secara


signifikan meskipun tidak terlalu kuat

dengan kandungan K, Ca, Mg dan Na tertinggi

mempengaruhi perbedaan aliansi vegetasi 2 dan 3.

aliansi vegetasi 1 (59,94%),

tersebut

kemungkinan

Unsur

Dari 18 spesies yang memiliki dominansi

kimia lainnya seperti Al tertinggi pada Aliansi

yang paling tinggi (spesies-spesies dengan nilai

vegetasi 1, sedangkan P pada Aliansi vegetasi 2.


Untuk kandungan pasir dan kejenuhan basa

INP urutan 1 sampai 3 di setiap blok penelitian),


hanya
13 spesies yang berhasil terdeteksi

tertinggi terdapat masing-masing pada Aliansi

preferensinya terhadap berbagai faktor abiotik.

Vegetasi 2 dan Aliansi Vegetasi 3.

Diantara spesies ini, ditemukan enam spesies

dibandingkan aliansi vegetasi

lainnya.

Pada Tabel 4 disajikan faktor-faktor abiotik

dalam distribusinya, memiliki preferensi baik

yang secara signifikan berbeda di antara aliansi

terhadap faktor tanah maupun topografi, empat

vegetasi yang ada di Gunung Endut. Selanjutnya,

spesies yang hanya memiliki preferensi terhadap

Tabel 1. Karakteristik variasi topografi pada seluruh aliansi vegetasi di Gunung Endut.

Luas rata-rata (x 100 m2)


Kemiringan lereng areal
Aliansi 1
Aliansi 2
penelitian
m2
m2
%
Datar ( 0-8%)
294.7
52.0
17.1
Landai (9-15 %)
228.7
53.1
13.3
Agak curam (16-25 %)
507.6
130.3
29.5
Curam(26-40 %)
576.2
158.3
33.5
Sangat curam (> 40 %)
112.9
46.4
6.6
Total (dibulatkan)
1720.1
440.1

%
11.8
12.1
29.6
36.0
10.5

Aliansi 3
m2
9.2
3.6
19.3
56.5
31.4
120.0

%
7.7
3.0
16.1
47.1
26.2

Aliansi 4
m2
12.7
10.7
28.1
49.3
19.1
119.9

%
10.6
8.9
23.4
41.1
15.9

Tabel 2. Ketinggian blok penelitian di Gunung Endut.

Ketinggian blok
penelitian (m dpl)
Ketinggian minimum
Ketinggian maksimum
212

Aliansi 1

Aliansi 2

Aliansi 3

Aliansi 4

250
1297

300
1250

400
1225

400
1200

Preferensi Ekologis Jenis-Jenis Tumbuhan Dominan di Gunung Endut, Banten

Tabel 3. Karakteristik lingkungan abiotik tanah pada seluruh aliansi vegetasi di Gunung Endut.
Aliansi
Vegetasi 1

Rata-rata standar eror


Aliansi
Aliansi
Vegetasi 2
Vegetasi 3

Aliansi
Vegetasi 4

pH

4,19+0,04

4,340,14

4,530,38

4,400,00

C-Organik

3,730,23

3,400,26

2,480,63

3,700,51

N-total

0,320,02

0,310,02

0,200,07

0,340,09

P (ppm)

7,660,83

9,292,17

3,931,73

5,731,74

Ca (me/100g)

1,610,22

3,991,18

4,883,31

2,370,72

Mg (me/100g)

0,520,05

0,840,21

1,410,89

0,630,07

K (me/100g)

0,090,01

0,060,01

0,170,06

0,110,03

Na (me/100g)

0,140,01

0,130,01

0,250,08

0,150,02

KTK (me/100g)

18,460,82

24,121,78

20,621,85

21,000,94

Kejenuhan basa (%)

12,841,21

18,964,41

29,7116,65

15,604,11

Al (me/100g)
C/N Ratio

5,410,35
12,260,38

4,340,89
11,060,43

4,012,04
12,800,90

3,140,68
11,762,25

Pasir

24,261,45

32,266,45

21,683,00

24,435,57

Debu

40,291,27

34,873,76

37,717,66

34,437,78

Liat

35,472,16

32,875,41

40,618,91

41,1412,97

Sifat kimia dan tekstur


tanah

Tabel 4. Perbedaan faktor abiotik pada seluruh aliansi vegetasi di Gunung Endut.
Aliansi vegetasi
12

13
14

Statistik
MannWhitney
U
Z
MannWhitney
U
Z

23

24
34

MannWhitney
U
Z
-

Faktor Abiotik
Ca
146,500
1, 933*

KTK
97,500
- 2,985**

Al
22,000

H
20,500

pHrata-rata
13,500

1,891
K
5,500

1,959*

- 2,299*

- 1,718

Keterangan: **signifikan pada P< 0,01;*signifikan pada P< 0,05; : signifikan pada taraf < 0,10

faktor tanah, dan satu spesies yang hanya

dan topografi) pada aliansi vegetasi 1 dan aliansi

memiliki preferensi terhadap faktor topografi.

vegetasi 2 Gunung Endut disajikan pada Tabel 5

Selanjutnya untuk faktor topografi, masingmasing tercatat enam dan satu species yang

dan Tabel 6
Tabel 5 memperlihatkan preferensi ekologi

memiliki preferensi paling banyak terhadap

spesies-spesies pada strata vegetasi pohon terhadap

ketinggian rata-rata dan ketinggian minimum

berbagai faktor abiotik dalam berdistribusi di blok

plot penelitian. Preferensi jenis-jenis pohon

-blok penelitian di aliansi vegetasi 1. Di aliansi

dominan terhadap berbagai faktor abiotik (tanah

vegetasi 1 ditemukan sebanyak 3 spesies memiliki


213

Sambas, dkk.

Tabel 5. Preferensi jenis-jenis pohon dominan terhadap berbagai faktor abiotik pada aliansi vegetasi 1

No
1

Jenis
Aidia racemosa

Tanah
Corg
N
Na

Faktor Abiotik
Topografi

Ketinggian rata-rata
2

Ardisia zollingeri

Al
H
Ca
Mg
KB
N
Al

Castanopsis acuminatissima

Castanopsis argentea

Coffea canephora var. robusta

N
P
Ca
Mg
KB

Euodia latifolia

Eurya acuminate

Ca
Mg
KB
Al
H
Debu
Liat

Ketinggian rata-rata

Ketinggian rata-rata

Ketinggian rata-rata
8

9
10

Paraserianthes falcataria

Quercus lineata
Schima wallichii

Ca
Mg
Al
H
KTK
KB
Pasir
Liat
Ketinggian rata-rata
Ketinggian rata-rata
KB
Al

Spearman
- 0,252 *
- 0,296 **
- 0,263 *
0,314 **
0,246 *
0,258 *
- 0,296 **
- 0,295 **
- 0,375 **
0,213 *
- 0,218 *
0,335 **
0,245 *
0,263 *
0,275 *
0,319 **
0,233 *
- 0,238 *
0,382 **
0,369 **
0,397 **
- 0,307 **
- 0,225 *
0,457 **
- 0,362 **
0,362 **
0,356 **
0,350 **
- 0,289 **
- 0,213 *
0,229 *
0,270 *
- 0,278 **
0,242 *
- 0,282 *
- 0,258 **
- 0,245 *
0,235 *

Keterangan: **signifikan pada P< 0,01;*signifikan pada P< 0,05.

preferensi terhadap unsur N total, 1 spesies

(Kejenuhan Basa), 4 spesies untuk kandungan Ca

terhadap C organik tanah dan KTK, 4 spesies

dan 1 spesies untuk Na, 3 spesies untuk H, 2

untuk kandungan unsur-unsur Mg, 5 spesies


untuk kandungan Al, 5 spesies untuk KB

spesies untuk kandungan liat, 1 spesies pasir, dan


1 spesies untuk debu. Untuk faktor topografi, 6

214

Preferensi Ekologis Jenis-Jenis Tumbuhan Dominan di Gunung Endut, Banten

spesies tercatat memiliki preferensi paling banyak

unsur KB, 3 spesies untuk unsur H, 2 spesies

terhadap ketinggian rata-rata plot penelitian di

terhadap unsur pH, 3 spesies untuk kandungan

atas permukaan laut.


Tabel 6 memperlihatkan

preferensi

debu, 2 spesies untuk pasir, 2 spesies untuk


kandungan Mg dan Al, 1 spesies
untuk

ekologis spesies-spesies yang tersebar di blok-blok

kandungan Ca dan KTK, serta 2 spesies untuk

penelitian pada aliansi vegetasi 2. Lima spesies

kandungan K. Selanjutnya untuk faktor topografi,

berhasil dideteksi preferensinya terhadap berbagai

spesies-spesies yang berdistribusi di blok-blok

faktor abiotik dan hanya 1 spesies ( Bridelia

penelitian di aliansi ini memiliki preferensi hanya

glauca ) yang memiliki preferensi baik terhadap


faktor tanah maupun topografi. Lima spesies

terhadap ketinggian minimum plot penelitian.

memiliki preferensi terhadap faktor tanah, dan

PEMBAHASAN

hanya 1 spesies yang memiliki preferensi terhadap


Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe

faktor topografi
Di dalam aliansi vegetasi 2 ditemukan
sebanyak 4 spesies memiliki preferensi terhadap

vegetasi tingkat aliansi di Gunung Endut


dipengaruhi oleh kombinasi dari faktor abiotik

Tabel 6. Preferensi Jenis-Jenis Pohon Dominan terhadap berbagai Faktor Abiotik pada Aliansi Vegetasi 2

No

Jenis

Altingia excelsa

Bridelia glauca

Calophyllum saigonense

Castanopsis acuminatissima

Castanopsis argentea

Tanah
pH
Ca
Mg
K
Al
H
KB
Pasir
Debu
KB

Faktor Abiotik
Topografi

Ketinggian minimum
pH
H
KB
Debu
Mg
K
Al
H
KB
Pasir
Debu
KTK
Liat

Spearman
0,533 *
- 0,516 *
0,644 **
0,644 **
0,611 **
- 0,705 **
0,853 **
- 0,475 *
0,705 **
0,500 *
- 0,500 *
0,462 *
- 0,447 *
0,596 **
0,447 *
- 0,569 **
- 0,661 **
- 0,573 **
0,609 **
- 0,791 **
0,506 *
- 0,709 **
- 0,453 *
- 0,500 *

Keterangan: **signifikan pada P< 0,01;*signifikan pada P< 0,05.

215

Sambas, dkk.

tanah dan topografi. Dengan kata lain, bahwa

spesies ini dapat luas untuk faktor abiotik tertentu

faktor

mempengaruhi

dan sebaliknya dapat sempit untuk faktor abiotik

distribusi spesies pada berbagai kisaran dari


kategori faktor abiotik. Ini mempunyai kecender-

lainnya. Hal ini mengakibatkan adanya tumpang


tindih dalam pemanfaatan sumberdaya. Kondisi

ungan yang serupa dengan apa yang dilaporkan

ini sekaligus menunjukkan tanggapan spesies yang

Miyamoto et al. (2003), yang mengatakan bahwa

sifatnya

perbedaan antara tipe-tipe hutan dalam skala lokal

lingkungan, dan sekaligus memperlihatkan bahwa

terkait dengan kondisi topografi dan edafik dari

spesies melakukan adaptasi yang khas terhadap

hutan yang bersangkutan.


Lebih lanjut
Miyamoto et al. (2003) menunjukkan bahwa

kondisi lingkungan dimana ia tumbuh.


Barbour et al. (1987) mengatakan bahwa,

spesies-spesies yang paling melimpah di hutan

implikasi dari hal ini adalah peluang untuk

hujan tropis Kalimantan, memiliki preferensi

terjadinya kompetisi mutlak dimana hanya satu

terhadap faktor edafik khususnya kedalaman

pemenang menjadi sangat kecil, karena walaupun

humus, dan faktor topografi berupa ketinggian


relatif tapak dari permukaan laut. Begitu pula

setiap spesies memiliki kebutuhan faktor abiotik


tertentu yang sama dalam suatu ekosistem yang

menurut Peet (1989), faktor lingkungan utama

sama, namun kebutuhan tersebut akan berbeda-

yang mengendalikan pola penyebaran vegetasi di

beda pada tingkat atau kategori-kategori tertentu

daerah pegunungan adalah ketinggian tapak dari

dari faktor abiotik tersebut. Sifat adaptasi yang

permukaan laut yaitu merupakan suatu gradasi


lingkungan yang bersifat kompleks yang

khas ini sekaligus merupakan faktor yang


mendukung banyaknya spesies yang dapat hidup

mengkombinasikan beberapa faktor lingkungan

bersama pada suatu lingkungan yang sama. Pern-

yang penting untuk pertumbuhan, terutama suhu

yataan tersebut didukung oleh hasil penelitian ini,

udara dan curah hujan.

yang menunjukkan bahwa kekayaan jenis tercatat

edafik

Di

dan

daerah

topografi

penelitian

terlihat

individualistik

terhadap

kondisi

adanya

cukup tinggi meskipun mereka tumbuh dan

tanggapan spesies terhadap kondisi habitat


berbeda-beda satu dengan lainnya. Setiap spesies

berkembang dalam kondisi habitat yang hampir


serupa.

memiliki preferensi yang khas dari spesies tersebut

Namun demikian terdeteksi adanya perbe-

terhadap kisaran kombinasi faktor abiotik tanah

daan asosiasi jenis terhadap karakteristik kondisi

maupun topografi, dimana pada aliansi yang

habitat, seperti kelerengan dan ketinggian. Ini

berbeda akan ditemukan preferensi yang berbeda


terhadap kisaran kombinasi faktor abiotik.

serupa dengan kondisi vegetasi di Gunung Palung


(Webb & Peart 2000), yaitu bahwa faktor abiotik

Dengan kata lain, bahwa setiap spesies memiliki

yang paling membedakan kelompok vegetasi

preferensi yang khas terhadap faktor abiotik

pertama dengan kelompok lainnya adalah keting-

dalam suatu kisaran tertentu. Kondisi semacam

gian tempat, kelerengan dan kelembaban.

ini menurut Crawley (1986) memperlihatkan

Steenis (1972) mengatakan bahwa, pada

adanya partisi sumberdaya oleh spesies-spesies


yang hadir bersama pada suatu area.

skala yang lebih luas keberadaan hutan


pegunungan di Pulau Jawa terbentuk karena

Good (1958) dalam Barbour et al. (1987)

respon biologi vegetasi akibat kejadian-kejadian

menjelaskan lebih jauh bahwa setiap spesies dapat

yang terjadi pada ekosistem yang berlangsung di

tumbuh dan berkembang pada kisaran tertentu

masa lalu, seperti longsor, jatuhan debu vulkanik,

dari suatu faktor lingkungan. Kisaran toleransi

dan terutama oleh kebakaran yang terjadi secara

216

Preferensi Ekologis Jenis-Jenis Tumbuhan Dominan di Gunung Endut, Banten

antropogenik.

Pernyataan ini menunjukkan

memahami karakteristik hutan hujan tropis

bahwa faktor gangguan adalah salah satu faktor

(Miyamoto et al. 2003).

yang berpengaruh pada keberadaan hutan


pegunungan. Di daerah penelitian keberadaan

KESIMPULAN

lahan kosong mencakup daerah yang cukup luas,


yang diperkirakan sebagai akibat gangguan yang
terus berlangsung dari masa lalu sampai saat ini.
Menurut Kappelle (2004), salah satu ciri
tanah pada daerah sub pegunungan dan
pegunungan adalah sifat tanah yang masam.
Kemasaman tanah akan semakin bertambah
dengan semakin bertambahnya ketinggian. Ini
sesuai dengan kondisi di daerah penelitian,
dimana pH terukur relatif rendah dengan variasi
antara 5,4 -5,8 (di daerah rendah) dan 4,4 4,8
(di puncak).
Kondisi unsur P di daerah penelitian
berdasarkan kategori sifat tanah sangat rendah

Tiga belas spesies berhasil dideteksi preferensinya terhadap berbagai faktor abiotik. yang
terdiri atas, enam spesies memiliki preferensi baik
terhadap faktor tanah maupun topografi, empat
spesies hanya memiliki preferensi terhadap faktor
tanah, dan satu spesies yang hanya memiliki preferensi terhadap faktor topografi. Faktor abiotik
tanah seperti Mg, KB, Ca dan Na merupakan
unsur penting dalam kaitannya dengan persebaran
beberapa species utama. Begitu juga ketinggian
rata-rata dan kelerengan merupakan faktor abiotik
topografi yang penting.
UCAPAN TERIMA KASIH

yakni < 15 ppm. Keberadaan unsur P di daerah


penelitian dikuatirkan akan menjadi kendala da-

Kami mengucapkan terima kasih kepada

lam perkembangan dan pertumbuhan hutan pada

Dr. Bambang Supriyanto, Prof. Dr. Eko B.

masa-masa yang akan datang. Seperti halnya yang

Walujo, Dr. Laode Alhamd, Mohammad Irham,

dikatakan Jordan (1985) bahwa ketersediaan un-

MSc., dan Dirman atas dukungan dan bantuannya, serta kepada Dr. Edi Mirmanto atas koreksi

sur P yang sangat rendah merupakan kendala bagi


sebagian besar ekosistem hutan hujan tropika.
Namun demikian menurut Kitayama et al. (2000)

dan saran untuk perbaikan makalah, Ungkapan

bahwa pada suatu ekosistem yang sangat defisit

man

dengan unsur P tanah, maka unsur P tanah

(TNGHS), staf dan jagawana Seksi Lebak


TNGHS, serta para pembantu lapang.

tersebut akan sangat berperan dalam menentukan


produktivitas primer bersih dan pelapukan bahan
organik baik secara langsung maupun melalui
interaksi dengan unsur N.

serupa kami sampaikan kepada Kepala Balai TaNasional

Gunung

Halimun

Salak

DAFTAR PUSTAKA

Komunitas tumbuhan yang diperlihatkan

Barbour, MG., JH. Burk, & WP. Pitts. 1987.


Terrestrial Plant Ecology. The Benjamin/

melalui struktur dan komposisinya memiliki

Cumming Publishing Company Inc. Menlo

interrelasi yang sangat erat dengan habitatnya,

Park, Reading, California, Massachusetts,

dimana istilah habitat secara ekologi merujuk


pada seluruh faktor fisik dan kimia yang

Singapore.

menyusun komunitas tumbuhan. Penyingkapan

Crawley, MJ. 1986. The Structure of Plant Com-

asosiasi antara distribusi spesies dengan berbagai

munities in Plant Ecology.


Crawley,
MJ (Ed). Blackwell Scientific Publication,

variasi faktor tanah (edafik) dan topografi adalah

Oxford, London.

salah satu kunci yang paling penting dalam


217

Sambas, dkk.

Daniel, WW. 1987. Biostatistics: A Foundation for


Analysis

in

The

Health

Sciences

5th.

of Mount Kinabalu, Borneo. Oecologia 123 :


342 349.

Ed. John Wiley & Sons, New York.


Harahap, SA., N. Faizin, R. Rachmadi, T. Efendi,

Peet, K. 1989. Forest of Rocky Mountains. Dalam: MG.Barbour & WD Billings (eds.).

& Jhoni. 2005. Laporan Eksplorasi Macan

North American Terrestrial Vegetation. Cam-

(Panthera pardus Melas) di Wilayah Barat

bridge University Press. Cambridge, New

TNGHS (Gunung Barang, Gunung Endut

York.

dan Gunung Tenggek). GHSNP.MP-JICA.


Bogor.
[FGDC] Federal Geographic Data Committee.
2008.

Vegetation Classification Standard.

http://www.fgdc.gov/fgdc.html. Diakses

RePPProT. 1990. MAP 1 Geology IndonesiaWest. Scale 1:2,500,000.


Transmigrasi RI.

Departemen

Sambas, EN., C. Kusmana, LB. Prasetyo & T.


Partomihardjo. 2011. Klasifikasi Vegetasi
Gunung Endut, Taman Nasional Gunung

November 2009.
Miyamoto, K., E. Suzuki, T. Kohyama, T. Seino,
E. Mirmanto, & H. Simbolon. 2003. Hab-

Halimun-Salak, Banten. Berita Biologi 10 :


597-604.

itat Differentiation Among Tree Species with

Steenis, CGGJ van. 1972. The Mountain Flora

Small-scale Variation of Humus Depth and

of Java. EJ Brill, The Netherlands, Leiden.

Topography in a Tropical Heath Forest of

[TNGHS] Taman Nasional Gunung Halimun

J. Trop.

Salak. 2007. Rencana Pengelolaan Taman


Nasional Gunung Halimun Salak Periode

Central Kalimantan, Indonesia.


Ecol.19 : 43-54.

Jordan, CF. 1985. Nutrient Cycling in Tropical


Ecosystems. John Wiley & Sons, New York,

2007-2026. GHSNP Management.

Pro-

ject. Sukabumi, Jawa Barat.


Webb, CO., & DR. Peart. 2000. Habitat Asso-

Toronto, Singapore.
Kappelle, M. 2004. Tropical Mountain Forest.

ciation of Trees and Seedlings in Bornean

Ltd,

Rain Forest. Ecology : 88, 464-478.


Wiharto, M. 2009. Klasifikasi Vegetasi Zona

Kitayama, K., NM. Lee, L. Shin, & I. Aiba.

Sub Pegunungan Gunung Salak, Bogor, Ja-

Regional Forest
Netherland.
2000.

Type.

Elsevier

Soil Phosphorous Fractional and

Phosphorous Use Efficiencies of Tropical


Rainforests

218

along

Altitudinal

Gradients

wa Barat. Disertasi. IPB, Bogor.

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 219-232 (2013)

Pertumbuhan dan Produksi Jagung Pulut Lokal Sulawesi Selatan yang Ditanam di Polibag
Pada Berbagai Kombinasi Perlakuan Pupuk Organik
(Growth and Production of South Sulawesi Local Maize Cultivar Grown in Polybag with
Various Organic Fertilizer Treatment)
Titi Juhaeti1*), N Hidayati1) & M Rahmansyah2)
1)

Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, 2) Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Cibinong Science Center, Jl. Raya Jakarta-Bogor km 46. *)E-mail: tihaeti@yahoo.com
Memasukkan: Januari 2013 , Diterima: Mei 2013

ABSTRACT
Research has been carried out through the utilization of organic fertilizer to improve the productivity of local maize
cultivar originated from South Sulawesi. The study was conducted at the research station of Research Center for Biology, Cibinong Science Center. Corn seed were planted in polybag containing mixture of soil and compost, 6 and 2
kg, respectively. The research were carried out by Randomized Complete Block Design arranged in factorial experiment with four replications. The first factors are three types of local maize namely A: rice corn (pulut beras, Batara
Koasa), B: waxy corn (pulut biji, Batara Kamu), C: pulut hibrida (hybrid cultivar). The second factors are 14 combination treatment as a mixture of LIPI organic fertilizer (Beyonic-StarTmik, Bio121, EM-121 and MegaRhizo) and
anorganic NPK fertilizer. The variables observed were plant growth and production. The results showed that the
hybrid cultivar had higher total corn yield productivity compared to the local one, although hybrid cultivar has
smaller plant biomass. Waxy corn (B) accession showed the weight, length and diameter of cob, and also the weight
of 100 grains larger than rice corn (A). Fertilization treatments significantly affect the corn-cob productivity which is
includes the weight, length, and diameter units. Fertilization treatments such as EM-121 + ( dose of NPK), BIO121 + ( dose of NPK), and Beyonic + ( dose of NPK) showed a good effect on plant, and it was not significantly
different with 100% NPK (full doses of NPK). The three corn cultivar showed different responses to fertilization
treatments.
Keywords: local corn, biofertilizer, growth, production

ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh berbagai kombinasi pupuk organik LIPI dan pupuk anorganik
NPK terhadap pertumbuhan dan produksi jagung pulut lokal Sulawesi Selatan. Penelitian dilakukan di Kebun
Percobaan Pusat Penelitian Biologi, Cibinong Science Center. Benih jagung ditanam di polibag pada media tanam
berupa campuran 6 bagian tanah:2 bagian kompos. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang
disusun secara faktorial, dengan 4 ulangan. Faktor pertama adalah tiga kultivar jagung lokal yaitu A: pulut beras
(Batara Koasa), B: pulut biji (Batara Kamu) dan C: pulut hibrida. Faktor ke dua adalah 14 kombinasi perlakuan
pemupukan yang merupakan berbagai kombinasi perlakuan pupuk organik LIPI (Beyonic-StarTmik, BIO-121, EM121 dan MegaRhizo) dan pupuk anorganik (pupuk anorganik masing-masing mengandung unsur makro N, P dan
K). Peubah yang diamati adalah pertumbuhan dan produksi tanaman. Hasilnya menunjukkan bahwa kultivar hibrida memiliki produktifitas yang lebih tinggi dibandingkan kultivar lokal, walaupun kultivar hibrida ini perawakannya
lebih kecil. Kultivar B (pulut bji) menunjukkan peubah bobot tongkol, panjang dan diameter tongkol serta bobot
100 butir bji yang lebih besar dibandingkan Kulivar A (pulut beras). Perlakuan pemupukan berpengaruh nyata terhadap produksi tongkol jagung meliputi bobot serta ukuran panjang dan diameter tongkol. Perlakuan pemupukan
EM-121 + ( dosis of NPK), BIO-121 + ( dosis of NPK) dan Beyonic + ( dosis of NPK) menunjukkan
pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan tanaman, dan hal ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis penuh
pupuk anorganik NPK. Masing-masing kultivar jagung menunjukkan respon yang berbeda terhadap perlakuan pemupukan yang diberikan.
Kata kunci: jagung lokal, pupuk organik, pertumbuhan, produksi

219

Juhaeti, dkk.

PENDAHULUAN

Selatan) instan bahkan diekspor ke Malaysia dan


Arab Saudi (Anonim 2009). Di lain fihak,

Berdasarkan hasil pemetaan pada Masterplan Percepatan Pertumbuhan Pembangunan

produktivitas jagung pulut umumnya masih


rendah kurang dari 2 ton/ha (Iriany et al. 2006).

Ekonomi Indonesia (MP3EI), pengembangan

Memperhatikan penyerapan pasar lokal yang

pangan untuk ketahanan pangan nasional dianta-

relatif tinggi dan masih rendahnya produktivitas

ranya berlokasi di wilayah P. Sulawesi dengan

jagung pulut, maka perlu dilakukan upaya untuk

penekanan pada beberapa komoditi seperti padi,

meningkatkan produktivitas jagung pulut lokal

jagung, ubikayu dan kedelai. Sulawesi Selatan


dikenal sebagai penghasil tanaman serealia,

tersebut diantaranya melalui perlakuan pemupukan.

adalah salah satu komoditas

Dewasa ini peningkatan produksi tanaman

andalannya. Salah satu jenis jagung lokal terbaik

umumnya lebih mengandalkan pada penggunaan

dari Sulawesi Selatan adalah jagung pulut.

pupuk anorganik. Akan tetapi dengan terus

Sulawesi Selatan merupakan daerah penghasil


jagung pulut (jagung ketan, waxy corn) terbaik di

meningkatnya harga pupuk anorganik akibat pengurangan subsidi oleh pemerintah dan adanya

Indonesia (Anonim 2010), karena kandungan

efek negatif dari pemakaian terus menerus pupuk

amilopektinnya yang tinggi (>90%) sehingga bila

anorganik tersebut, telah menyebabkan pent-

dibandingkan jagung pulut dari daerah lainnya,

ingnya pengembangan pemakaian pupuk organik

citarasanya lebih enak, lebih gurih, lebih pulen


dan lembut.

dalam budidaya tanaman termasuk tanaman jagung. Berbagai penelitian menunjukkan efektivi-

Hasil perjalanan eksplorasi jagung pulut di

tas pemakaian pupuk organik pada budidaya ja-

Sulawesi Selatan (Wawo et al. 2012) menun-

gung maupun tanaman lainnya. Hasil penelitian

jukkan bahwa jagung pulut sangat potensial

menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik

untuk dikembangkan dalam rangka menunjang

dapat mengurangi 50% penggunaan pupuk anor-

keanekaragaman pangan dan untuk meningkatkan pendapatan petani. Jagung pulut ditanam

ganik NPK pada budidaya sweet sorghum di rumah kaca. (Lumbantobing 2008.). Kultivar ja-

di

beberapa kabupaten diantaranya Maros,

gung pulut lokal Sulawesi Selatan yang ditanam

Takalar, Jeneponto, Pangkajene, dan Barru.

di kebun memberikan respon yang baik terhadap

Jagung pulut memiliki potensi ekonomi untuk

pemberian pupuk organik

meningkatkan pendapatan masyarakat lokal,


pedagang jagung pulut rebus di Sulsel cukup

2013). Tanaman jagung yang menggunakan


kompos sampah kota dan kombinasi kompos

tinggi, rata-rata mencapai 2000 3000 tongkol/

sampah kota dengan pupuk anorganik sebagai

hari/unit penjualan dengan harga Rp 1000/

sumber hara mampu menghasilkan pertumbuhan

tongkol. Hasil penelitian usaha tani jagung pulut

dan hasil yang tidak berbeda dengan tanaman

(Syuryawati & Faesal 2009) menunjukkan bahwa

yang diberi pupuk anorganik 100% rekomendasi

keuntungan yang dicapai petani pada panen


tongkol muda sebesar Rp 12.807.500,- per ha

(Lestari et al. 2010). Perlakuan NPK dosis 50%


yang dikombinasikan dengan kompos yang di-

dengan R/C ratio 4,33. Diproduksi dan dipasar-

perkaya pupuk organik menunjukkan produksi

kan pula beras jagung pulut instan dan bubur

jagung yang tidak berbeda dengan kombinasi per-

bassang (makanan tradisional khas Sulawesi

lakuan NPK dosis 100% dan kompos yang di-

dimana jagung

(Rahmansyah et al.

perkaya pupuk organik (Suripti et al. 2011).


220

Pertumbuhan dan Produksi Jagung Pulut Lokal

Mulyohadi et al. (2012) menunjukkan bahwa

KCl dan disingkat NPK). Ulangan untuk setiap

perlakuan pupuk hayati mikoriza memberikan

perlakuan dilakukan 4 kali. Berdasarkan tabel 1

pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan


produksi tanaman jagung di lahan kering margin-

maka kombinasi perlakuan pemupukan sbb:


1. Tanpa pupuk organik maupun anorganik
(Kontrol 1)
2. 100% dosis NPK (Kontrol 2)
3. Beyonic StarTmik@lob
4. Pupuk Bio-121
5. EM-121
6. MegaRhizo
7. Beyonic StarTmik@lob + dosis NPK
8. Pupuk Bio-121+ dosis NPK
9. EM-121+ dosis NPK
10. MegaRhizo+ dosis NPK
11.Beyonic StarTmik@lob+ dosis NPK
12.Pupuk Bio-121+ dosis NPK
13. EM-121+ dosis NPK
14. MegaRhizo+ dosis NPK

al. Pupuk organik tidak menimbulkan pencemaran terhadap tanah dan air tanah sehingga cocok
digunakan dalam budidaya tanaman walaupun
untuk pemakaian dalam jangka panjang (Shao et
al. 2012).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh pemupukan dengan berbagai kombinasi
campuran pupuk organik dan pupuk anorganik
terhadap pertumbuhan dan produksi jagung pulut
lokal Sulawesi Selatan.
BAHAN DAN CARA KERJA

Setiap benih jagung ditanam pada polibag


Penelitian dilakukan di kebun penelitian
Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, pada
bulan Mei sampai Juli 2012. Penelitian dilakukan

dengan media tanam berupa campuran 6 kg


tanah dan 2 kg kompos. Pupuk NPK diberikan
pertama kali pada umur kecambah 8 hari setelah

menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang

tanam (HST) dan yang kedua pada 30 HST.

disusun secara faktorial. Faktor pertama adalah

Dosis pupuk anorganik yang diberikan adalah 2,5

tiga jenis jagung (A: Jagung pulut beras (Batara

g Urea; 1.5g SP36; 1.25 g KCl untuk setiap


polibag yang mendapat perlakuan dosis penuh.

koasa), B: Jagung pulut biji (Batara kamu), dan C:


jagung pulut hibrida), sedangkan faktor kedua
adalah 14 kombinasi (Tabel 1) penggunaan cam-

Dosis tersebut setara dengan pemupukan Urea

puran pupuk organik (Beyonic StarTmik@lob,

organik diberikan sebanyak 50 ml per polibag

Pupuk Bio-121, EM-121 dan MegaRhizo)

sesuai dosis anjuran. Peubah yang diamati adalah


tinggi dan jumlah daun tanaman pada umur 2, 4

dan

pupuk anorganik (yang terdiri dari urea, TSP dan

150; SP36 100 kg; KCl 75 kg per ha. Pupuk

Tabel 1. Kode kombinasi perlakuan pemupukan (nomor 1-14)

Tanpa NPK
Tanpa
pupuk
organik
Beyonic
StarTmik@lob,
Pupuk Bio-121
EM-121.
MegaRhizo,

100%
NPK dosis NPK
(dosis penuh)
2
-

dosis NPK
-

11

4
5
6

8
9
10

12
13
14

penuh : 2,5 g Urea; 1.5g SP36; 1.25 g KCl/polibag


NPK

221

Juhaeti, dkk.

dan 6 minggu setelah tanam (MST), bobot kering

setelah tanam. Aksesi jagung hibrida menunjuk-

akar dan bobot kering tajuk saat panen, serta

kan ukuran tinggi tanaman terpendek, sementara

produksi tongkol (bobot, panjang dan diameter


tongkol serta bobot 100 butir biji).

pulut beras menunjukkan ukuran tanaman yang


tertinggi (Tabel 2).
Kombinasi perlakuan pemupukan juga
berpengaruh terhadap tinggi tanaman pada umur

HASIL

2, 4 dan 6 MST. Pada umur 2 dan 4 MST perla1. Pertumbuhan tanaman

kuan EM-121+ dosis NPK menunjukkan

a. Tinggi tanaman

ukuran tanaman yang tertinggi (masing-masing


45.818 dan 130.250) tidak berbeda nyata dengan

Hasil pengamatan terhadap tinggi tanaman


menunjukkan bahwa tinggi tanaman ke-3 aksesi
jagung berbeda nyata pada minggu ke 2, 4 dan 6

kontrol NPK dosis penuh. Pada umur 6 MST


perlakuan Pupuk Bio-121+ dosis NPK, EM-

Tabel 2. Tinggi tanaman jagung pada umur 2,4 dan 6 MST (minggu setelah tanam)
Perlakuan

Tinggi tanaman (cm)


2 MST

4 MST

6 MST

Jumlah daun
2 MST

4 MST

6 MST

Aksesi
Pulut Beras

44,37 a

131 a

202.82 a

5.86 a

11.91 a

11.27 a

Pulut Biji

42.82 a

131.21 a

194.98 b

5.65 b

14.29 a

11.00 a

Pulut Hibrida

38,30 b

107.93 b

174.48 c

4.82 c

10.50 a

8.52 b

42 abcd

120.00 abc

191.42a

5.50 ab

10.75 b

9.50 d

44.25 ab

127.67 ab

197.83 a

5.58 ab

11.42 b

10.92 a

Beyonic StarTmik@lob

44.17 ab

126.08 ab

194.00 a

5.17 b

11.25 b

9.83 cd

Pupuk Bio-121

41.08abcd

124.50 abc

185.92 ab

5.33 ab

11.25 b

10.17 abcd

EM-121

38.08 d

114.25 c

179.67 b

5.25 ab

22.17 a

10.25 abcd

MegaRhizo

39.67 bcd

120.17 abc

187.58 ab

5.25 ab

11.67 b

10.25 abcd

Beyonic StarTmik@lob +
dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK

39.08 cd

120.75abc

189.17 ab

5.42 ab

11.42 b

10.00 bcd

43.15 abc

119.00 bc

194.10 a

5.69 ab

11.75 b

10.25 abcd

EM-121+ dosis NPK

45.82 a

130.25 a

196.25 a

5.73 a

11.67 b

10.08 bcd

MegaRhizo+dosis NPK

43.50 abc

129.08 ab

193.75 a

5.67 ab

11.67 b

10.08 bcd

Beyonic StarTmik@lob+
dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis
NPK
EM-121+ dosis NPK

40.25 bcd

126.92 ab

191.00 ab

5.58 ab

11.58 b

10.92 a

40.50 bcd

121.25 abc

193.33 a

5.17 b

11.42 b

10.33 abc

41.83 abcd

123.08 abc

186.50 ab

5.50 ab

11.58 b

10.42 abc

MegaRhizo+ dosis NPK

42.58 abcd

124.33 abc

190.25 ab

5.42 ab

11.67 b

10.67 ab

Kombinasi pemupukan
Tanpa pupk org dan anorg
(Kontrol 1)
NPK dosis penuh (Kontrol 2)

Keterangan: Huruf yang sama pada kolom dan perlakuan yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada uji Duncan 5%.

222

Pertumbuhan dan Produksi Jagung Pulut Lokal

121+ dosis NPK, MegaRhizo+dosis NPK

jukkan perawakan yang lebih besar dibandingkan

dan

jenis jagung hibrida (Tabel 3).

Pupuk

Bio-121+

dosis

NPK

menunjukkan tinggi tanaman tertinggi tidak


berbeda nyata dengan kontrol NPK dosis penuh

Kombinasi perlakuan pemupukan berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar dan

(Tabel 2).

bobot kering tajuk. Perlakuan Pupuk Bio-121+


dosis NPK,

b. Jumlah daun

EM-121+ dosis NPK dan

Beyonic StarTmik@lob+ dosis NPK menun-

Hasil pengamatan terhadap jumlah daun

jukkan bobot kering tajuk lebih tinggi dan tiak

pada umur 2, 4 dan 6 MST menunjukkan bahwa


jumlah daun jagung pulut hibrida menunjukkan

berbeda nyata dengan perlakuan NPK dosis


penuh (Tabel 3).

angka paling sedikit dibandingkan pulut beras

Masing-masing jenis jagung menunjukkan

dan pulut biji (Tabel 2). Kombinasi perlakuan

respon pertumbuhan akar yang berbeda terhadap

pemupukan juga memperlihatkan pengaruh yang

pemupukan yang diberikan (Tabel 4).

nyata terhadap jumlah daun (Tabel 2). Pada


umur 2 MST, perlakuan Pupuk Bio-121+ dosis

Jenis jagung juga memberikan respon pertumbuhan tajuk yang berbeda terhadap perlakuan

NPK, EM-121+ dosis NPK, MegaRhizo+

pemupukan yang diberikan (Tabel 5). Pada pulut

dosis NPK dan Beyonic StarTmik@lob+

beras, pemupukan tidak berpengaruh nyata ter-

dosis NPK menunjukkan jumlah daun yang lebih

hadap bobot kering tajuk. Pada pulut biji, perla-

tinggi dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan


kontrol NPK dosis penuh. Pada umur 4 MST,

kuan Pupuk EM-121+ dosis NPK menunjukkan nilai tertinggi tidak berbeda nyata dengan

hampir semua perlakuan kombinasi pemupukan

perlakuan NPK dosis penuh diikuti perlakuan Bio

menunjukkan jumlah daun yang lebih banyak

-121+ dosis NPK. Pada pulut hibrida

dan tidak berbeda nyata dibandingkan perlakuan

perlakuan EM-121+ dosis NPK menunjukkan

kontrol NPK penuh kecuali pada perlakuan

nilai tertinggi tidak berbeda nyata dengan

Pupuk Bio-121+ dosis NPK. Pada umur 6


MST perlakuan Beyonic StarTmik@lob+

perlakuan NPK dosis penuh (Tabel 5).

dosis NPK menunjukkan jumlah daun terbanyak

2. Produksi tongkol

dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan


kontrol NPK dosis penuh (Tabel 2).
c. Bobot kering akar dan bobot kering tajuk
saat panen
Hasil pengamatan terhadap jenis jagung
menunjukkan bahwa pulut beras menunjukkan
bobot kering akar tertinggi (326,98) dan berbeda
nyata dengan pulut biji dan hibrida. Pulut hibrida
menunjukkan bobot kering akar terendah
(42,50). Pada peubah bobot kering tajuk, pulut
beras (279,57) menunjukkan angka tertinggi
berbeda nyata dengan pulut hibrida (102,54). Hal

a. Bobot tongkol
Jenis jagung menunjukkan bobot tongkol
yang berbeda nyata (Tabel 6). Bobot tongkol
tertinggi didapat pada pulut hibrida (137,66)
berbeda nyata dengan pulut beras dan pulut biji.
Bobot tongkol terendah adalah pada pulut beras
(88,50). Perlakuan pemupukan berpengaruh
nyata terhadap bobot tongkol. Bobot tongkol
tertinggi didapat pada perlakuan EM-121+
dosis NPK (153,18) diikuti perlakuan Pupuk Bio121+ dosis NPK (134,36) tidak berbeda nyata
dengan perlakuan NPK dosis penuh (134,93).

ini menunjukkan bahwa jagung lokal menun223

Juhaeti, dkk.

Tabel 3. Bobot kering akar dan bobot kering daun saat panen
Perlakuan

akar

Bobot kering (g):


daun

Jenis jagung
Pulut Beras

326,98 a

279,57a

Pulut Biji

208,57 b

252,39a

Pulut Hibrida

42,50 c

102,54b

Tanpa pupuk org dan anorg (Kontrol 1)

239.17ab

197.17abc

NPK dosis penuh (Kontrol 2)

206.50abcd

232.50abc

Beyonic StarTmik@lob

230.50ab

190.00bc

Pupuk Bio-121

264.67a

215.83abc

EM-121

107.33ed

206.83abc

MegaRhizo

123.17cde

219.83abc

87.75e

180.83bc

Pupuk Bio-121+ dosis NPK

212.00abc

264.33a

EM-121+ dosis NPK

190.83abcd

249.83ab

MegaRhizo+dosis NPK

256.00a

223.33abc

Beyonic StarTmik@lob+ dosis NPK

262.67a

237.17abc

Pupuk Bio-121+ dosis NPK

202.83abcd

192.50abc

EM-121+ dosis NPK

143.00bcde

184.17bc

MegaRhizo+ dosis NPK

171.17abcde

166.67c

Kombinasi pemupukan

Beyonic StarTmik@lob + dosis NPK

Keterangan:
Huruf yang sama pada kolom dan perlakuan yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada uji Duncan 5%.

Tabel 4. Bobot kering akar pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan pemupukan
Pemupukan
Tanpa pupuk organik dan anorg (Kontrol 1)
100% dosis NPK (Kontrol 2)
Beyonic StarTmik@lob
Pupuk Bio-121
EM-121
MegaRhizo
Beyonic StarTmik@lob + dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
EM-121+ dosis NPK
MegaRhizo+ dosis NPK
Beyonic StarTmik@lob+ dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
EM-121+ dosis NPK
MegaRhizo+ dosis NPK

Pulut beras
456.0 ab
361.5 abc
449.0 ab
571.5 a
212.5 bc
179.5 bc
140.3 c
318.5 abc
297.5 abc
343.0 abc
446.5 ab
389.0 abc
179.0 bc
234.0 bc

Pulut biji
212.00 bcdef
187.50 bcdef
159.50 cdef
141.50 def
79.00 f
149.50 cdef
90.00 ef
290.00 abc
245.00 bcd
397.50 a
318.00 ab
190.00 bcdef
223.00 bcde
237.50 bcd

Keterangan:
Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada uji Duncan 5%.

224

Pulut hibrida
49.50 abc
70.50 ab
83.00 a
81.00 a
30.50 c
40.50 bc
33.00 c
27.50 c
30.00 c
27.50 c
23.50 c
29.50 c
27.00 c
42.00 bc

Pertumbuhan dan Produksi Jagung Pulut Lokal

Tabel 5. Bobot kering tajuk pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan pemupukan
Pemupukan
Tanpa pupuk org dan anorg (Kontrol 1)
100% dosis NPK (Kontrol 2)
Beyonic StarTmik@lob
Pupuk Bio-121
EM-121
MegaRhizo
Beyonic StarTmik@lob + dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
EM-121+ dosis NPK
MegaRhizo+ dosis NPK
Beyonic StarTmik@lob+ dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
EM-121+ dosis NPK
MegaRhizo+ dosis NPK

Pulut beras
311.00 a
278.00 a
246.00 a
262. 00 a
297.00 a
293.00 a
214.00 a
323.50 a
283.50 a
283.00 a
326.50 a
291.00 a
243.50 a
262.00 a

Pulut biji
211.00 bc
295.00 abc
224.00 bc
272.50 abc
205.50 bc
256.00 abc
233.50 bc
353.50 ab
410.00 a
291.00 abc
289.50 abc
177.50 c
176.00 c
138.50 c

Pulut hibrida
69.50 bc
124.50 a
100.00 ab
113.00 a
118.00 a
110.50 ab
95.00 ab
116.00 a
56.00 c
96.00 ab
95.50 ab
109.00 ab
133.00 a
99.50 ab

Keterangan:
Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada uji Duncan 5%.
Hasil pengamatan terhadap bobot tongkol

121+ dosis NPK dan, (15,66) dan EM-121+

masing-masing jenis jagung tertera pada Tabel 7.

dosis NPK menunjukkan nilai yang tinggi

Terlihat bahwa pada pulut beras perlakuan EM121+ dosis NPK menunjukkan hasil tertinggi

tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol


NPK dosis penuh.
Hasil

tidak berbeda nyata dengan kontrol NPK dosis

pengamatan

terhadap

panjang

penuh. Pada pulut biji perlakuan EM-121+

tongkol masing-masing jenis jagung tertera pada

dosis

Tabel 8.

NPK

menunjukkan

angka

tertinggi

Hasilnya menunjukkan bahwa pada

(151.18) diikuti pupuk Bio-121+ dosis NPK,

pulut beras, perlakuan Pupuk Bio-121+ dosis

EM-121+ dosis NPK dan pupuk Bio-121 tidak


berbeda nyata dengan kontrol NPK dosis penuh.

NPK dan EM-121+ dosis NPK menunjukkan


nilai yang lebih tinggi dari perlakuan 100% NPK.

Pada

Pada

pulut

hibrida,

perlakuan

Beyonic

pulut

biji,

perlakuan

100%

NPK

StarTmik@lob+ dosis NPK menunjukkan nilai

menunjukkan nilai tertinggi tidak berbeda nyata

tertinggi diikuti pupuk Bio-121+ dosis NPK.

dengan perlakuan lainnya. Pada pulut hibrida

Panjang tongkol

perlakuan EM-121+ dosis NPK menunjukkan


nialai lebih tinggi dibandingkan kontrol 2 (100%

Tabel 6 menunjukkan hasil pengamatan

NPK).

panjang tongkol pada masing-masing jenis jagung. Jenis jagung menunjukkan perbedaan yang
nyata pada ukuran panjang tongkol. Ukuran
tongkol terpanjang diperoleh pada pulut hibrida
(15,85) yang berbeda nyata dengan aksesi lainnya.

Diameter tongkol
Tabel 6 menunjukkan diameter tongkol
yang dihasilkan masing-masing jenis jagung. Di-

Pulut beras menghasilkan ukuran tongkol terkecil

ameter tongkol pulut biji menunjukkan angka


terbesar tidak berbeda nyata dengan pulut hibrida

(13,07).

dan berbeda nyata dengan pulut beras. Pulut be-

Perlakuan

pemupukan

menunjukkan

pengaruh yang nyata pada panjang tongkol (Tabel


6). Panjang tongkol pada perlakuan Pupuk Bio-

ras menunjukkan diameter tongkol terkecil.


Pemupukan berpengaruh nyata terhadap
diameter tongkol (Tabel 6). Perlakuan EM-121+
225

Juhaeti, dkk.

Tabel 6. Produksi jagung (bobot, panjang dan diameter tongkol)


Bobot tongkol
(g)

Perlakuan

Panjang
tongkol (cm)

Diameter
tongkol (cm)

Jenis jagung
Pulut Beras

88,49c

13,07 c

4,03 b

Pulut Biji

109,39b

14,54 b

4,44a

Hibrida

137,66a

15,85 a

4,26 ab

Kombinasi pemupukan
Tanpa pemupukan NPK (Kontrol 1)

14.19abc

4.10abc

134.93ab

16.01a

4.39abc

Beyonic StarTmik@lob

92.22c

13.65bc

4.12abc

Pupuk Bio-121

87.14 c

13.25c

3.84c

EM-121

93.46 c

14.08abc

4.14abc

MegaRhizo

94.78 c

13.48bc

3.90bc

Beyonic StarTmik@lob + dosis NPK

122.10abc

14.81abc

4.47ab

Pupuk Bio-121+ dosis NPK

103.72bc

14.13abc

4.11abc

EM-121+ dosis NPK

107.30 bc

14.38abc

4.11abc

MegaRhizo+dosis NPK

110.66 bc

14.95abc

4.11abc

Beyonic StarTmik@lob+ dosis NPK

116.94 bc

14.06abc

4.17abc

Pupuk Bio-121+ dosis NPK

134.36ab

14.06ab

4.47ab

EM-121+ dosis NPK

153.18 a

15.55abc

4.63a

MegaRhizo+ dosis NPK

120.77abc

14.62abc

4.31abc

NPK dosis penuh (Kontrol 2)

94.34 c

Keterangan:
Huruf yang sama pada kolom yang sama pada perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%.

Tabel 7. Bobot tongkol pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan pemupukan
Pemupukan
Tanpa pupuk org dan anorg (Kontrol 1)
100% dosis NPK (Kontrol 2)
Beyonic StarTmik@lob
Pupuk Bio-121
EM-121
MegaRhizo
Beyonic StarTmik@lob + dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
EM-121+ dosis NPK
MegaRhizo+ dosis NPK
Beyonic StarTmik@lob+ dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
EM-121+ dosis NPK
MegaRhizo+ dosis NPK

Pulut beras
84.28 bc
112.45 ab
63.88 bc
34.65 c
80.75 bc
68.17 bc
103.93 ab
92.73 bc
85.85 bc
109.88 ab
77.15 bc
87.77 bc
151.00 a
86.48 bc

Pulut biji
73.13 b
116.43 ab
80.75 ab
123.95 ab
102.90 ab
87.73 ab
114.60 ab
88.15 ab
143.65 ab
90.35 ab
100.73 ab
145.20 ab
151.18 a
112.78 ab

Pulut hibrida
125.63 cd
175.93 a
132.03 bcd
102.83 d
96.73 d
128.45 cd
147.78 abc
130.28 bcd
92.40 d
131.75 bcd
172.95 a
170.10 ab
157.37 abc
163.05 abc

Keterangan:
Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%.

dosis NPK menunjukkan nilai tertinggi diikuti

perlakuan tersebut lebih tinggi dan tidak berbeda

Pupuk Bio-121+

nyata dengan hasil perlakuan kontrol 2 (100%

dosis NPK dan Beyonic

StarTmik@lob + dosis NPK. Nilai pada

226

NPK).

Pertumbuhan dan Produksi Jagung Pulut Lokal

Tabel 9 menunjukkan diameter tongkol

tongkol lebih besar dari kontrol 2. Pada pulut

pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan

hibrida, Pupuk Bio-121+ dosis NPK menun-

pemupukan. Pada pulut beras, perlakuan EM121+ dosis NPK menunjukkan angka tertinggi

jukkan nilai tertinggi lebih tinggi dan tidak


berbeda nyata dengan perlakuan dari kontrol 2.

diikuti perlakuan Beyonic StarTmik@lob +

Pemupukan berpengaruh nyata terhadap

dosis NPK, EM-121+ dosis NPK dan

diameter tongkol (Tabel 6). Perlakuan EM-121+

MegaRhizo+ dosis NPK lebih tinggi dan tidak

dosis NPK menunjukkan nilai tertinggi diikuti

berbeda nyata dengan perlakuan kontrol 2. Pada

Pupuk Bio-121+

pulut biji, hampir semua perlakuan kombinasi


pemupukan (kecuali MegaRhizo dan Beyonic

StarTmik@lob + dosis NPK. Nilai pada


perlakuan tersebut lebih tinggi dan tidak berbeda

StarTmik@lob) menunjukkan nilai diameter

nyata dengan hasil perlakuan kontrol 2 (100%

dosis NPK dan Beyonic

Tabel 8. Panjang tongkol pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan pemupukan
Pemupukan
Tanpa pupuk org dan anorg (Kontrol 1)
100% dosis NPK (Kontrol 2)
Beyonic StarTmik@lob
Pupuk Bio-121
EM-121
MegaRhizo
Beyonic StarTmik@lob + dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
EM-121+ dosis NPK
MegaRhizo+ dosis NPK
Beyonic StarTmik@lob+ dosis NPK
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
EM-121+ dosis NPK
MegaRhizo+ dosis NPK

Pulut beras
14.125 a
14.000 a
12.475 a
10.950 a
13.150 a
11.865 a
12.625 a
12.875 a
12.150 a
13.175 a
12.750 a
15.565 a
14.700 a
12.600 a

Pulut biji
13.075 a
16.525 a
13.950 a
13.800 a
15.100 a
14.000 a
14.925 a
14.350 a
15.300 a
15.525 a
12.925 a
14.600 a
14.450 a
15.050 a

Pulut hibrida
15.3750 bcd
17.5000 a
14.5250 cd
15.0000 bcd
14.0000 d
14.5750 cd
16.8750 ab
15.1750 bcd
15.7000 abcd
16.1500 abc
16.5000 abc
16.8250 ab
17.5000 a
16.2000 abc

Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%.
Tabel 9. Diameter tongkol pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan pemupukan
Pemupukan
Pulut beras
Pulut biji
Tanpa pupuk org dan anorg (Kontrol 1)
4.0100 abc
4.1150 a
100% dosis NPK (Kontrol 2)
4.4025 ab
4.2925 a
Beyonic StarTmik@lob
3.7700 abc
4.1650 a
Pupuk Bio-121
2.7300 c
4.8650 a
EM-121
4.0850 ab
4.4300 a
MegaRhizo
3.3750 bc
3.9450 a
Beyonic StarTmik@lob + dosis NPK
4.6875 ab
4.3550 a
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
4.0675 ab
3.9650 a
EM-121+ dosis NPK
4.5900 ab
4.8950 a
MegaRhizo+ dosis NPK
4.4100 ab
4.4250 a
Beyonic StarTmik@lob+ dosis NPK
3.7250 abc
4.2150 a
Pupuk Bio-121+ dosis NPK
3.9850 abc
4.9450 a
EM-121+ dosis NPK
4.8050 a
4.8500 a
MegaRhizo+ dosis NPK
3.8225 abc
4.7175 a

Pulut hibrida
4.1875 abcd
4.4725 ab
4.4150 abc
3.9375 bcd
3.9000 cd
4.3750 abc
4.3750 abc
4.2875 abc
3.7300 d
4.3200 abc
4.5775 a
4.4850 ab
4.2250 abcd
4.3900 abc

Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%.

227

Juhaeti, dkk.

121+ dosis NPK), 11(Beyonic StarTmik@lob+

NPK).
Tabel 9 menunjukkan diameter tongkol

dosis NPK), 13(EM-121+ dosis NPK) dan

pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan


pemupukan. Pada pulut beras, perlakuan EM-

14(MegaRhizo+ dosis NPK) dan NPK dosis


penuh
menunjukkan bobot 100 butir biji

121+ dosis NPK menunjukkan angka tertinggi

tertinggi. Pada pulut biji, dicapai pada nomor

diikuti perlakuan Beyonic StarTmik@lob +

perlakuan 3(Beyonic StarTmik@lob), 8(Pupuk

dosis NPK, EM-121+ dosis NPK dan

Bio-121+ dosis NPK), 9(EM-121+ dosis

MegaRhizo+ dosis NPK lebih tinggi dan tidak

NPK) dan 11(Beyonic StarTmik@lob+ dosis

berbeda nyata dengan perlakuan kontrol 2. Pada


pulut biji, hampir semua perlakuan kombinasi

NPK); sedangkan pada pulut hibrida dicapai


hanya
pada
perlakuan
11
(Beyonic

pemupukan (kecuali

StarTmik@lob+ dosis NPK) dan 12(Pupuk

MegaRhizo dan Beyonic

StarTmik@lob) menunjukkan nilai diameter

Bio-121+ dosis NPK).

tongkol lebih besar dari kontrol 2. Pada pulut


hibrida, Pupuk Bio-121+
dosis NPK
menunjukkan nilai tertinggi lebih tinggi dan tidak

PEMBAHASAN
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ke-

berbeda nyata dengan perlakuan dari kontrol 2.

3 jenis jagung memiliki perawakan yang berbeda.


Jagung pulut hibrida menunjukkan perawakan

Bobot 100 butir biji


Pada jenis pulut beras, perlakuan 9 (EM-

terkecil diikuti pulut beras dan pulut biji. Hal ini

Gambar 1. Pengaruh pemupukan terhadap bobot 100 butir biji


Keterangan: A=Jagung Pulut Beras, B= Jagung Pulut Biji; C= Jagung Hibrida
Kode perlakuan pemupukan:
1. Tanpa pupuk organik hayati dan anorganik
(Kontrol 1)
2. 100% dosis NPK (Kontrol 2)
3. Beyonic StarTmik@lob
4. Pupuk Bio-121
5. EM-121

228

6. MegaRhizo
7. Beyonic StarTmik@lob + dosis NPK
8. Pupuk Bio-121+ dosis NPK
9. EM-121+ dosis NPK
10. MegaRhizo+ dosis NPK
11.Beyonic StarTmik@lob+ dosis NPK
12.Pupuk Bio-121+ dosis NPK

Pertumbuhan dan Produksi Jagung Pulut Lokal

sesuai dengan faktor genetik tanaman. Pertum-

telah teruji aktifitas dan fungsinya sebagai pelarut

buhan tanaman diketahui dipengaruhi oleh faktor

fosfat, penambat N, penghasil zat pengatur

eksternal yakni lingkungan dan faktor internal


atau genetik (Gardner et al. 1991).

tumbuh (IAA, Cytokirun, Gibberellin) dan


berfungsi sebagai biokontrol. Populasi mikroba

Berkaitan dengan perlakuan kombinasi

berkisar antara 106 -107. Status pupuk telah

pemupukan, terlihat adanya pengaruh yang baik

dikomersilkan. MegaRhizo merupakan pupuk

dari kombinasi perlakuan pupuk organik dan

yang

pupuk anorganik. Pemakaian pupuk organik da-

dikembangkan oleh UPT Balai Penelitian dan

lam penelitian ini berpotensi untuk mengurangi


penggunaan pupuk anorganik sebanyak 25 sam-

Pengembangan Biomaterial LIPI. Pupuk


MegaRhizo merupakan pupuk cair yang dapat

pai 50%. Perlakuan pemupukan EM-121+

digunakan untuk berbagai jenis tanaman. Pupuk

NPK, BIO-121 + NPK, dan Beyonic +

ini mengandung unsur hara makro, mikro, zat

NPK menunjukkan pengaruh yang baik terhadap

perangsang tumbuh (ZPT), dan senyawa organik.

pertumbuhan tanaman berupa tingginya nilai


ukuran tongkol yang dicerminkan oleh nilai

Starter formula yang mengandung kombinasi


mikroba penghasil multi biokatalis (pelarut P,

bobot tongkol, panjang tongkol, dan diameter

Penambat N, penghasil IAA, asam-asam organik

tongkol tidak berbeda dengan perlakuan dosis

dan biopestisida) menjadikan pupuk ini dapat

NPK penuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan

berfungsi menggantikan bahan kimia agro,

Wu et al. 2005 bahwa pupuk organik merupakan


jenis pupuk yang direkomendasikan untuk

memperbaiki sifat kimia dan biologi tanah,


menekan penyakit dan menyuburkan perakaran

meningkatkan produksi tanaman karena adanya

serta menjaga kuantitas dan kualitas hasil panen.

kandungan

pemicu

Pupuk MegaRhizo mengandung unsur hara

pertumbuhan yang menyediakan hara sehingga

makro serta mikro, dan di dalamnya mengandung

dapat menggantikan peran pupuk anorganik.

mikroba stimulator seperti bakteri Rhizobium sp.,

Melalui proses enzimatik dari mikroba, bahan


organik dapat dimineralisasi menjadi bahan

Pseudomonas sp., Azotobacter sp., Lactobacillus sp.,


dan Aspergillus sp. Status pupuk telah

anorganik N, P, K dan hara lainnya sehingga

dikomersilkan. Pupuk Bio-121 dan EM-121

dapat diserap tanaman. Proses transformasi hara

adalah pupuk organik yang dikembangkan oleh

makro dan mikro ini dapat terjadi dari tanah ke

Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi

dalam tanaman bila terjadi simbiosis antara


bakteri pelarut fosfat dan bakteri pengikat

LIPI. Pupuk ini mengandung mikroba aktif yang


terdiri dari bakteri Rizobium sp. dan Azotobacter

nitrogen (Bais et al. 2006).

sp., serta kapang Aspergillus sp. Pupuk ini

mikroorganisme

diolah

dari

bahan

organik

yang

Pupuk organik yang dihasilkan LIPI yang

diperkaya dengan telur keong mas, mengandung

dipakai dalam penelitian ini (Beyonic StarT-

probiotik, dan berfungsi selain sebagai penyubur

mik@lob, MegaRhizo, Pupuk Bio-121 dan EM-

tanah juga sebagai penghasil hormon tumbuh.

121) mengandung berbagai mikroba dimaksud.


Beyonic StarTmik@lob adalah pupuk organik

Status pupuk belum komersil.


Dalam
Permentan

yang dikembangkan oleh Bidang Mikrobiologi,

Hk.060/2/2006 disebutkan bahwa pupuk organik

Pusat

ini

adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya

mengandung berbagai mikroba perakaran yang

terdiri atas bahan organik yang berasal dari tana-

Penelitian

Biologi

LIPI.

Pupuk

N0.2/Pert/

229

Juhaeti, dkk.

man dan atau hewan yang telah melalui proses

biaya yang harus dikeluarkan petani karena

rekayasa dapat berbentuk padat atau cair yang

berkurangnya

digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah

(Herlambang, 2012). Aplikasi pupuk organik


telah juga memberikan hasil jagung tertinggi

(Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006). Pupuk

sebagaimana yang dilakukan oleh

organik adalah substans

(2001).

yang

mengandung

penggunaan

Efek

kombinasi

pupuk

kimia

El-Karmany

pemupukan

juga

mikroorganime hidup yang mengkolonisasi rhi-

bermanfaat bagi perbaikan lingkungan tanah

zosfir atau bagian dalam tanaman dan memacu

karena dengan mengurangi penggunaan pupuk

pertumbuhan dengan jalan meningkatkan


pasokan ketersediaan hara primer dan/atau stimu-

kimia dan input organik yang diberikan akan


meningkatkan efisiensi deposit air di tanah

lus pertumbuhan tanaman target, bila dipakai

(Zarabi et al. 2011). Penambahan inokulan

pada benih, permukaan tanah dan atau tanah

bakteri (Azotobacter, Bacillus, Nitrosomonas spp)

( FNCA Biofertilizer Project Group, 2006). Sis-

berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan

tem pengelolaan hara terpadu yang memadukan


pemberian pupuk organik dan pupuk anorganik

biomassa tanaman jarak pagar sampai umur 1415 MST, apabila dibandingkan dengan

dalam rangka meningkatkan produktifitas lahan

kontrolnya yang tidak mendapatkan pasokan

dan kelestarian lingkungan perlu digalakkan.

inokulan bakteri (Widawati dan Rahmansyah,

Dengan cara ini keberlanjutan produksi tanaman

2009).

dan kelestarian lingkungan dapat dipertahankan,


sehingga muncul system pertanian LEISA (low

Penggunaan pupuk organik memberikan


beberapa manfaat diantaranya: 1) dapat

external

menyediakan unsur hara makro dan mikro

input

and

sustainable

agriculture)

menggunakan kombinasi pupuk organik dan

meskipun

dalam

jumlah

kecil,

2)

dapat

anorganik yang berlandaskan konsep good agricul-

memperbaiki granulasi tanah berpasir dan tanah

tural practices perlu dilakukan agar degradasi la-

padat sehingga dapat meningkatkan kualitas

han dapat dikurangi dalam rangka memelihara


kelestarian lingkungan ((Suriadikarta dan Si-

aerasi, memperbaiki drainase tanah dan


meningkatkan
kemampuan
tanah
dalam

manungkalit, 2006).

menyimpan air, 3) mengandung asam humat

Pengaruh yang baik dari penggunaan

yang meningkatkan kapasitas tukar kation, 4)

pupuk organik dalam meningkatkan produksi

dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme

jagung juga terbukti dari hasil uji coba di


beberapa lokasi. Di lahan seluas delapan hektar di

tanah, serta 5) tidak menyebabkan polusi tanah


dan polusi air. Hal yang perlu diperhatikan dalam

desa Selogiri dan Desa Mento di Kabupaten

penggunaan

Wonogiri, Jawa Tengah, hasil panen meningkat

kandang maupun kompos adalah nilai C/N ratio.

15-25

mampu

Makin rendah nilai C/N ratio berarti kualitas

menurunkan penggunaan pupuk kimia mencapai

pupuk organik tersebut makin baik, kualitas

30-50 persen per hektar. Pada panen jagung di


lahan seluas 2,5 hektar di Kabupaten Wonogori,

kompos dianggap baik jika memiliki nilai C/N 12


-15. Nilai C/N ratio tinggi menunjukkan bahwa

hasil panen meningkat dua kali lipat dari panen

komponen bahan organik tersebut belum terurai

sebelumnya. Selain mampu meningkatkan hasil

sempurna (Novizan 2002).

persen

per

hektar,

dan

pertanian, pupuk organik juga dapat meringankan

bahan

organik

berupa

pupuk

Jenis jagung menunjukkan respon yang


berbeda terhadap perlakuan pemupukan. Terlihat

230

Pertumbuhan dan Produksi Jagung Pulut Lokal

bahwa pulut beras dan pulut biji cukup responsif

Sugiharto M.Si, Bapak Dr. Antonius Sarjiya dan

terhadap kombinasi perlakuan pemupukan yang

UPT Balai Litbang Biomaterial-LIPI sebagai pro-

diberikan. Dengan dosis pemupukan yang tepat


diharapkan produksi jagung pulut beras dan pulut

dusen pupuk organik.

biji dapat ditingkatkan melalui pemakaian pupuk

DAFTAR PUSTAKA

ornaik yang dikombinasikan dengan pupuk anorAnonim. 2009. "Bassang" Masuk Pasar Malaysia

ganik.

dan Arab Saudi. http://www.antara-sulawesiselatan.com/berita/2821/bassang-masukpasar-malaysia-dan-arab-saudi

KESIMPULAN DAN SARAN


1.

2.

3.

4.

Ketiga jenis jagung memiliki perawakan yang

Anonim. 2010. Peneliti : Sulsel Penghasil Jagung

berbeda sesuai genetisnya. Jagung hibrida

Pulut

memiliki

news.com/berita/18928/peneliti-sulsel-

perawakan

terkecil

tetapi

Terbaik.

http://makassar.antara-

produksinya paling tinggi dibanding pulut


beras dan pulut biji.

penghasil-jagung-pulut-terbaik
Bais, HP., TL. Weir, L Perry, S. Gilroy & JM.

Kombinasi pemupukan yang diberikan ber-

Vivanco. 2006. The role of root exudates in

pengaruh baik terhadap pertumbuhan dan

rhizosphere interactions with plants and oth-

produksi tanaman sehingga pupuk organik

er organisms. Annu. Rev. Plant Biol. 57: 33-

yang digunakan dapat dipakai untuk mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Akan

266.
El-Karmany M. 2001. Effect of organic manure

tetapi masih perlu dicari dosis dan komposis

and slow-release N fertilizer on the produc-

yang tepat dalam aplikasinya.

tivity of wheat in sandy soil. Acta Agronom.

Jenis jagung memiliki respon yang berbeda

Hungarica, 49: 379-385.

terhadap pemupukan yang diberikan. Perlu

FNCA Biofertilizer Project Group. 2006. Bioferti-

dilakukan penelitian lebih lanjut tentang


penggunaan pupuk organik yang lebih co-

lizer Manual. Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA). Japan Atomic Industri-

cok pada masing-masing jenis jagung.

al Forum, Tokyo

Jagung pulut lokal memiliki perawakan

Gardner, FP., RB. Pierce & RL. Mitchell. 1991.

(biomassa) yang lebih besar dibandingkan

Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan H.

pulut hibrida. Oleh karena itu disarankan


agar penanaman jagung lokal ini disertakan

Susilo. Universitas Indonesia Press, Jakarta.


Herlambang CH. 2012. Pupuk Organik LIPI

bersamaan dengan program penyediaan

Tingkatkan Produktifitas Pertanian. http://

hijauan untuk pakan ternak.

bisniskeuangan.kompas.com/read/
2012/05/04/21480266/Pupuk.

UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada

Organik.

LIPI.Tingkatkan.Produktifitas.Pertanian
Iriany R, Neni, A. Takdir M., N. A. Subekti, M.
Isnaini, & M. Dahlan. 2006. Perbaikan po-

RISTEK yang memberikan dana untuk kegiatan


ini dalam bentuk program PKPP. Ucapan terima-

tensi hasil populasi jagung pulut. Prosiding

kasih juga disampaikan kepada Bapak Drs Arwan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tana-

Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung.

231

Juhaeti, dkk.

man Pangan. Badan Litbang Pertanian.

Pengembangan Pertanian. Bogor. 1-10.

Deptan. p. 41 45.

http://balittanah.litbang.deptan.go.id/doku-

Lestari, AP., S. Sarman & E. Indraswari. 2010.


Subtitusi Pupuk Anorganik dengan Kompos

mentasi/juknis/pupuk organik.pdf.
Suripti, S., Triadiati, & A. Tjahyoleksono. 2011.

Sampah Kota Tanaman Jagung Manis ( Zea

Uji Efektifitas Pupuk Organik dan Pupuk

Mays Saccharata Sturt). J. Penelitian Univer-

Hayati untuk peningkatan produktifitas

sitas Jambi Seri Sains 2: 1-6.

Tanaman Jagung di Beberapa Daerah.

Lumbantobing ELN. 2008. Uji Efektivitas Bio-

http://fmipa.ipb.ac.id/index.php/id/bio-

organic fertilizer (Pupuk Organik Hayati)


dalam mensubstitusi Kebutuhan Pupuk

sains/191-uji-efektivitas-pupuk-organik-danpupuk-hayati-untuk-peningkatan-produk-

Anorganik pada Tanaman sweet sorghum

tivitas-tanaman-jagung-di-beberapadae-

(Sorghum bicolor (L.) Moench).

rah.html

http://

repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/ 12345

Syuryawati & Faesal. 2009. Usaha tani jagung

6789/1814/A08eln_abstract.pdf?sequence=1
Moelyohadi Y, MU Harun, Munandar, R Hayati

pulut mendukung kemandirian pangan dan


peningkatan pendapatan petani. Prosiding

dan N Gofar. 2012. Pemanfaatan Berbagai

Seminar Nasional Serealia. balitsereal.litbang.

Jenis Pupuk Hayati pada Budidaya Tanaman

deptan.go.id/ind/images/stories/67.pdf.

Jagung (Zea mays. L) Efisien Hara di Lahan

Wawo AH,. N. Hidayati & M. Rahmansyah.

Kering Marginal. J. Lahan Suboptimal 1: 3139.

2012. Aksesi jagung pulut untuk kegiatan


penelitian fisiologi dalam menunjang

Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif.

ketahanan pangan nasional. Laporan Perjal-

Agromedia Pustaka.
Rahmansyah, M., N. Hidayati, T. Juhaeti & A.

anan keWilayah Sulawesi Selatan 16-20


April 2012. Pusat Penelitian Biologi-LIPI.

Sugiharto. 2013. Effect of Bio-organic Ferti-

Widawati, S. & M. Rahmansyah. 2009. Pengaruh

lizer on productivity improvement of well


adapted local maize (Zea mays certain L.)

inokulasi bakteri terhadap pertumbuhan


awal jarak pagar (Jatropa curcas L.). J. Biol.

Variety. ARPN J. Agri. Biol. Sci. 3: 233-240.

Indonesia. 1: 107-118.

Shao, X., X. Hu, J. Shan, L. Liao, J. Tan & C.

Wu, SC., ZH. Caob, ZG. Lib, KC. Cheunga &

Kwizera. 2012. Environmental Risk Assess-

MH. Wong. 2005. Effects of bio-fertilizer

ment of soil and groundwater contamination


with bio-organic fertilizer application. J

containing N-fixer, P and K solubilizers and


AM fungi on maize growth: a greenhouse

Food, Agri. Environ. 2: 1209-1212.

trial. Geoderma. 125: 155-166.

Suriadikarta, DA. & RDM. Simanungkalit. 2006.

Zarabi M., I. Alahdadi, AG. Abbas & AG. Ali.

1. Pendahuluan. Dalam : Simanungkalit,

2011. A study on the effects of different bio-

RDM., DA. Suriadikarta, R Saraswati, D

fertilizer combinations on yield, its compo-

Setyorini & W Hartatik (eds.). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Sumber

nents and growth indices of corn (Zea mays


L.) under drought stress condition. Afri. J.

Daya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan

Agri. Res. 3: 681-685.

232

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 233-243 (2013)

Kajian Pemilihan Jenis Tumbuhan Untuk Restorasi Hutan Berdasarkan Beberapa


Parameter Fotosintesis
(Selecting Plant Species for Forest Restoration Based on Their Photosynthetic Parameters)
Tinia Leyli Shofia Ahmad1, Dede Setiadi1, & Didik Widyatmoko2
Laboratorium Ekologi Dasar, Kampus IPB Baranangsiang, Bogor
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas LIPI, Cipanas, Cianjur 43253
Email: didik_widyatmoko@yahoo.com
1

Memasukkan: Maret 2013, Diterima: Mei 2013

ABSTRACT
Forest restoration is a process of ecosystem conditioning (soil, vegetation, and wildlife) in order to achieve similar
patterns and profiles to previous conditions and status before the ecosystem was disturbed, both in terms of species
composition and structure, and habitat functions. Restoration is a crucial part to maximize the conservation values of
biodiversity and ecosystem functions. Eight different native plant species were assessed in this research while the photosynthetic parameters studied included the total chlorophyll content, carbohydrate content, CO2 sequestration capacity, leaf weight, leaf number, leaf area and leaf water content. Spectrophotometer was operated to analyse chlorophyll content, the Somogyi-Nelson method was used to calculate carbohydrate content, and leaf area was measured
using the leaf area meter. The research results using the principal component analysis showed that each type of the
plant species used for the restoration (2 years old after planting) had different characteristics in terms of photosynthetic parameters studied. Dacrycarpus imbricatus and Syzygium lineatum both had the highest carbohydrate contents
and the best abilities to absorb CO2. Sloanea sigun, Alstonia scholaris, Manglietia glauca, and Castanopsis argentea had
higher total chlorophyll contents than others, while Altingia excelsa, M. glauca, A. scholaris, and Schima wallichii had
higher water contents. A. scholaris, M. glauca, and S. sigun had heavier leaf weights. In contrast, M. glauca possessed
the widest leaves amongst the species observed.
Keywords: forest restoration, photosynthetic parameters, native species

ABSTRAK
Restorasi hutan merupakan suatu proses pengkondisian ekosistem (meliputi komponen tanah, vegetasi dan satwa
liar) dalam upaya mencapai kondisi-kondisi seperti sebelum ekosistem tersebut terganggu (rusak), baik dari segi
struktur vegetasi, komposisi jenis dan fungsi-fungsi habitatnya. Restorasi merupakan bagian sangat krusial dalam
konservasi untuk memaksimalkan nilai-nilai keanekaragaman hayati dan fungsi-fungsi ekosistem. Delapan jenis tumbuhan asli (native) digunakan dalam penelitian restorasi ini dengan cara mengkaji parameter-parameter fotosintetiknya, meliputi kandungan klorofil total, kandungan karbohidrat, kapasitas sekuestrasi CO2, bobot daun, jumlah
daun, luas daun, dan kadar air daun. Metode spektrofotometri digunakan untuk menganalisis kandungan klorofil,
metode Somogyi-Nelson dipakai untuk menghitung kandungan karbohidrat, sedangkan leaf area meter digunakan
untuk menentukan luas daun. Hasil penelitian dengan menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis) menunjukkan bahwa masing-masing jenis tumbuhan untuk restorasi ini (berumur dua tahun setelah
tanam) memiliki karakteristik-karakteristik fotosintetik yang berbeda. Dacrycarpus imbricatus dan Syzygium lineatum
memiliki kandungan karbohidrat dan kapasitas mengabsorbsi CO2 paling tinggi. Sloanea sigun, Alstonia scholaris,
Manglietia glauca, dan Castanopsis argentea memiliki kandungan klorofil total lebih tinggi daripada jenis-jenis
lainnya, sedangkan Altingia excelsa, M. glauca, A. scholaris, dan Schima wallichii mempunyai kandungan air yang
lebih tinggi. A. scholaris, M. glauca, dan S. sigun memiliki bobot daun lebih besar, sementara M. glauca secara signifikan memiliki luas daun paling besar di antara jenis-jenis yang diteliti.
Kata Kunci: Restorasi hutan, parameter fotosintesis, jenis lokal

233

Ahmad dkk.

PENDAHULUAN

rena hutan merupakan salah satu ekosistem penyerap CO2 terbesar dan pohon-pohon di dalamn-

Berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan, Perairan dan Tata Guna Hutan Kesepakatan,

ya menggunakan CO2 dalam proses fotosintesis


(MacDicken 1997; Santilli et al. 2005). Proses

luas hutan Indonesia meliputi 137.090.468,16 ha

fotosintesis terjadi jika ada cahaya dan pigmen

dan menempati urutan ketiga di dunia setelah

perantara, yaitu klorofil daun. Tumbuhan dengan

Brazil

(http://www.dephut.go.id/

kandungan klorofil tinggi akan efisien dalam

INFORMASI/BUKU2/Strategis). Selama dasa

penggunaan radiasi matahari untuk melaksanakan

warsa terakhir, kehilangan penutupan hutan akibat deforestasi dan degradasi di wilayah hutan

proses fotosntesis (Ceulemans & Saugier 1991).


Ada sekitar setengah juta kloroplas/mm2

tropis telah mengakibatkan kenaikan emisi gas

permukaan daun. Di dalam kloroplas tersimpan

rumah kaca secara global (GRK) 10-20% (Santilli

klorofil, yaitu pigmen warna hijau yang berfungsi

et al. 2005). Berdasarkan data dan hasil analisis

sebagai

Departemen Kehutanan RI, periode 1985-1997


laju deforestasi dan degradasi di Indonesia menca-

memasuki daun dan oksigen keluar melalui


stomata. Pada saat klorofil menyerap cahaya,

pai 1,8 juta hektar per tahun dan pada periode

klorofil akan mengalami eksitasi. Energi hasil

1997-2000 terjadi peningkatan yaitu mencapai

eksitasi ini akan dimanfaatkan untuk membentuk

rata-rata 2,8 juta hektar tetapi menurun kembali

ATP dan NADPH dan digunakan untuk

pada periode 2000-2005 menjadi 1,08 juta hektar/tahun. Secara umum, penurunan penutupan

mereduksi CO2 menjadi glukosa (Lambers et al.


1998; Campbell et al. 2010). Glukosa dalam

vegetasi hutan yang sangat besar terjadi di Suma-

jaringan tanaman akan dimanfaatkan untuk

tra dan Kalimantan, pada periode 1997-2000,

pembentukan akar, batang, daun, bunga dan

penurunan juga terjadi di Papua.

buah.

dan

Zaire

penyerap

cahaya.

Karbondioksida

Restorasi hutan pada dasarnya meru-

Keanekaragaman jenis pohon di hutan

pakan proses pengkondisian ekosistem untuk


mencapai pola dan profil yang serupa dengan

Indonesia sangat tinggi. Namun, penelitian


mengenai parameter fotosintesis pada tumbuhan

kondisi pada saat ekosistem belum terganggu,

hutan masih sangat jarang dilakukan. Dahlan

baik dari segi komposisi, struktur, maupun fungsi

(2007) telah melakukan penelitian mengenai

(Alberta University 2003). Restorasi dilakukan

kemampuan beberapa pohon dalam menyerap

sebagai upaya untuk memaksimalkan konservasi


karagaman hayati dan fungsi ekosistem. Jenis

CO2 melalui pendekatan analisis karbohidrat,


sedangkan Hidayati et al. (2011) meneliti

pohon yang sesuai dengan tujuan tercapainya me-

kemampuan beberapa pohon dalam menyerap

kanisme pembangunan bersih yang melibatkan

CO2 dikaitkan dengan kandungan klorofil daun.

negara maju dan negara berkembang harus memi-

Saat ini masih sangat perlu dilakukan penelitian

liki beberapa kriteria yang sesuai, seperti semai

untuk melengkapi informasi yang ada agar dapat

dapat beradaptasi dengan mudah di tempat terbuka, merupakan jenis yang dapat tumbuh dengan

memberikan kontribusi yang lebih besar dan


nyata dalam usaha restorasi hutan. Penelitian ini

cepat, dan dapat berkompetisi dengan rumput

bertujuan untuk mengetahui parameter fotosin-

atau jenis gulma lainnya (Hidayati et al. 2009).

tesis yang berpengaruh pada berbagai jenis tana-

Vegetasi hutan mempunyai peranan yang

man restorasi dan melakukan pemilihan jenis

sangat penting dalam penurunan emisi GRK, ka-

yang paling sesuai untuk program restorasi hutan.

234

Kajian Pemilihan Jenis Tumbuhan Untuk Restorasi

BAHAN DAN CARA KERJA


Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari
sampai dengan Juli 2011. Pengambilan sampel
dilakukan di kawasan restorasi resort Bodogol
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(Gambar 1).
Lahan restorasi seluas 4 ha merupakan lahan eks-Perum Perhutani yang ditanami dengan
jenis-jenis pohon asli (native species). Penanaman
pohon-pohon ini dilakukan oleh UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas-LIPI.
Bahan penelitian merupakan tanaman

Gambar 1. Lokasi restorasi dan penelitian (dengan


tanda lingkaran) di Resort Bodogol Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango. Sumber:
Balai Besar TNGGP (2004).

restorasi berumur 2 tahun (setelah penanaman)


pada saat diteliti. Tanaman yang dipilih sebagai

atorium Biokimia BB-Biogen. Metode ini lebih

sampel adalah tanaman yang sehat, daun telah

praktis, volume aseton yang digunakan lebih sedi-

membuka sempurna, terkena sinar matahari


penuh, dan merupakan daun ketiga dari pangkal

kit, dan tingkat ketelitiannya lebih tinggi. Daun


segar sebanyak 0,1 g dipotong-potong kecil, di-

ranting. Pengambilan sampel daun dilakukan pada saat matahari bersinar cerah, dari jam 09.00-

masukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian

11.00 WIB. Sampel daun yang akan dianalisis di

inkubasi dalam ruang gelap selama 2 x 24 jam.

laboratorium dibungkus dengan alumunium foil

Klorofil yang sudah larut dalam aseton diukur

dan kertas amplop, dimasukkan ke dalam plastik,


dan disimpan dalam cool box yang berisi dry ice,

absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 652 nm (untuk klorofil total).

kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis.

Kandungan klorofil total diperoleh dengan me-

Delapan jenis tanaman sampel yang

Yoshida et al. (1976), yaitu: Klorofil Total=((652

digunakan dalam penelitian ini adalah Beleketebe


(Sloanea sigun (Blume) K. Schum.), Jamuju

A x 1000)/34,5) x (1/BS) x (20/1000)) mg/g bobot segar, di mana A adalah nilai absorbansi dan

(Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.), Ki


Sireum (Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M.

BS adalah bobot daun segar. Analisis klorofil

Perry), Lame (Alstonia scholaris (L) R.Br.),

vidu pohon untuk masing-masing jenis.

Manglid (Manglietia

Analisis karbohidrat dilakukan di Laboratorium Balai Besar Biologi dan Genetika Pertanian

(Schima
(Altingia

glauca Blume), Puspa

wallichii (DC.) Korth.), Rasamala


excelsa

Noronha),

dan

Saninten

direndam dalam 20 ml aseton 80%. Sampel di-

masukkan nilai absorbansi ke dalam persamaan

dengan spektrofotometer dilakukan pada 10 indi-

(BB Biogen) Bogor.

Metode analisis yang

(Castanopsis argentea A.DC.).


Analisis kandungan klorofil total dilakukan

digunakan adalah metode Somogyi Nelson

dengan menggunakan spektrofotometer di Labor-

dari usia termuda sampai tertua (yang mewakili)

atorium Fisiologi Biologi FMIPA IPB tetapi

diambil dari 3 pohon (3 x 5 daun) untuk masingmasing jenis. Daun dimasukkan dalam oven sela-

mengikuti metode yang lazim dilakukan di Labor-

(Dahlan 2007). Sampel daun sebanyak 5 lembar

235

Ahmad dkk.

ma 48 jam pada suhu 70o C. Sampel kemudian


digiling sampai halus, diayak dan diaduk sampai
merata menjadi sampel komposit. Tepung daun
komposit sebanyak 0,2 gram dimasukkan dalam

dari persamaan fotosintesis sebagai berikut:


6CO2 + 12 H2O
264 mol 108 mo

wadah gelas, kemudian ditambah dengan 20 ml


HCl 0,7 N dan dihidrolisis selama 2,5 jam dalam

C6H12O6 + 6O2 + 6H2O


180 mol
192 mol 108 mol

Di mana bobot atom C, H, dan O secara


bertutut-turut adalah 12,01; 1,008 dan 16,00.

penangas air. Hasil hidrolisis disaring dengan ker-

Bobot daun segar ditimbang dengan

tas saring ke dalam labu ukur 100 ml lalu dine-

neraca digital. Bobot kering diperoleh setelah

tralkan dengan NaOH 1 N (setelah diberi fenol


merah). Larutan akan berubah menjadi merah

sampel daun dikeringkan dengan oven selama 48


jam (sampai bobotnya stabil). Kadar air diperoleh

muda setelah dititrasi. Selanjutnya ditambahkan 5

dari hasil pengurangan bobot basah dengan bobot

ml ZnSO4 5% dan 5 ml Ba(OH)2 0,3 N dengan

kering dibagi bobot basah. Jumlah daun dihitung

tujuan untuk mengendapkan protein dari sampel,

langsung dengan penghitungan tangan (hand

sehingga gugus CHO yang terbentuk benar-benar


gugus karbohidrat. Setelah itu ditambahkan aku-

counter). Selanjutnya, diambil 3 pohon untuk


masing-masing jenis, kemudian dihitung rataann-

ades sampai tanda tera 100 ml. Setelah disaring

ya. Luas daun diukur dengan cara memindai daun

dengan kertas saring, larutan supernatan yang

dengan menggunakan Leaf Area Meter Portable LI

sudah jernih diambil dengan pipet sebanyak 1 ml,

-3000C. Daun yang dipindai adalah daun tertua

kemudian dimasukkan ke dalam tabung kimia.


Larutan standar dibuat 0, 5, 10, 15, 20, 25 mg,

sampai termuda (yang mewakili), dengan jumlah


sampel 3 pohon untuk masing-masing jenis. Luas

kemudian ditambahkan pereaksi Cu sebanyak 2

total daun per pohon didapat dengan mengalikan

ml dan dipanaskan dalam penangas air selama 10

jumlah daun per pohon dengan luas daun per

menit, lalu didinginkan. Setelah itu ditambahkan

pohon. Luas daun per pohon digunakan untuk

pereaksi Nelson dan 20 ml air pada masing-

menduga

masing deret standar, dikocok dan dibiarkan selama 20 menit, kemudian diukur dengan spektro-

pohon untuk menyerap CO2.


Analisis data dilakukan dengan analisis

fotometer pada panjang gelombang 500 nm. Kan-

sidik ragam (anova), dan jika antar parameter ter-

dungan karbohidrat didapat berdasarkan rumus

dapat perbedaan nyata kemudian dilanjutkan

Yoshida et al. (1976):

dengan Uji Duncan's Multiple Range Test

% Karbohidrat =

A x 100 x 20 x 100%
S 0,2 1
1 000 000

Keterangan:
S
= Rerata nilai absorbansi standar
A
= Rerata nilai absorbansi sampel

Untuk menghitung nilai daya serap gas


CO2, tetapan yang digunakan adalah sebesar
1,467 dikalikan dengan hasil analisis karbohidrat.

kemampuan

masing-masing

jenis

(DMRT). Analisis Komponen Utama (AKU) atau


Principal Component Analysis (PCA) dilakukan
untuk menentukan parameter yang paling berpengaruh untuk setiap tanaman.
HASIL
Kandungan Karbohidrat
Kandungan

karbohidrat,

kandungan

Tetapan tersebut diperoleh dari pembagian nilai

klorofil total, kemampuan tanaman menyerap

264/180 (Dahlan 2007). Angka tersebut didapat

CO2, kadar air, bobot dan luas daun pada setiap

236

Kajian Pemilihan Jenis Tumbuhan Untuk Restorasi

jenis tanaman disajikan pada Tabel 1. Daun D.

CO2 per satuan luas (mg/cm2) nampak tidak

imbricatus

berbeda nyata pada semua jenis tanaman.

memiliki

kandungan

karbohidrat

tertinggi, yaitu 22,11%. Persentase karbohidrat


terbanyak kedua dimiliki S. lineatum (19,33%),

Kadar Air
Altingia excelsa memiliki kadar air tertinggi

tetapi tidak berbeda nyata dengan kandungan


Kandungan

(69,51%), tetapi tidak berbeda nyata dengan M.

karbohidrat terendah dimiliki oleh A. scholaris

glauca. Kadar air terendah dimiliki S. lineatum

(10,35%) dan tidak berbeda nyata dengan C.

(53,88%), walaupun tidak berbeda nyata dengan

argentea, A. excelsa, S. wallichii, dan S. sigun.


Dilihat dari kandungan karbohidrat per pohon,

D. imbricatus dan S. sigun.

M. glauca memiliki nilai terbesar (0,48 kg), tetapi

Bobot dan Luas Daun

karbohidrat

D.

imbricatus.

tidak berbeda nyata dengan A. excelsa, S. lineatum,

Daun dengan bobot per helai paling be-

dan S. sigun.

sar adalah A. scholaris (1,78 g), tetapi tidak ber-

Kandungan Klorofil Total

beda nyata dengan daun jenis tanaman lainnya,


kecuali dengan D. imbricatus. Dacrycarpus imbri-

Rata-rata kandungan klorofil total tertinggi

catus memiliki bobot teringan, yaitu 0,11 g. M.

dimiliki oleh S. sigun. Nilai ini tidak berbeda

glauca memiliki daun terluas, yaitu 65,07 cm2,

nyata dengan nilai rata-rata pada A. scholaris dan

walaupun tidak berbeda nyata dengan C. argentea

M. glauca, sedangkan kandungan klorofil total A.


sholaris dan M. glauca tidak berbeda nyata dengan

dan S. sigun. Ukuran daun D. imbricatus adalah


yang paling kecil (3,67 cm2) dibandingkan

C. argentea. Kandungan klorofil total terendah

dengan jenis-jenis lainnya.

dimiliki oleh D. imbricatus.


Analisis Komponen Utama
Kemampuan Tanaman Menyerap CO2

Hasil analisis komponen utama terhadap

Tanaman M. glauca mampu menyerap


CO2 sebesar 0,71 kg pada usia tanam 2 tahun

parameter-parameter internal fotosintesis menunjukkan bahwa dua komponen utama dapat men-

(tertinggi di antara jenis lainnya), namun tidak

erangkan keragaman total data parameter internal

berbeda nyata dengan A. excelsa, S. lineatum, dan

fotosintesis sebesar 83,7%. Keragaman yang

S. sigun. Kemampuan tanaman dalam menyerap

mampu dijelaskan oleh faktor-faktor pada kom-

Tabel 1. Hasil pengukuran kandungan karbohidrat, kandungan klorofil total, kemampuan tanaman menyerap
CO2, kadar air, bobot dan luas daun pada 8 jenis tanaman.
Spesies
S. sigun
D. imbricatus
S. lineatum
A. scholaris
M. glauca
S. wallichii
A. excelsa
C. argentea

Karbohidrat
(%)
15,273,92 abc
22,112,63 d
19,334,38 cd
10,351,86 a
17,201,30 bc
13,651,75 ab
13,551,62 ab
12,742,13 ab

Klorofil
Total (mg/g)
2,941,08 d
1,340,33 a
2,140,45 bc
2,560,54 cd
2,390,49 cd
1,650,31 ab
1,780,30 ab
2,350,38 c

CO 2
(mg/cm2)
6,785,94 a
11,996,84 a
6,292,76 a
5,902,54 a
7,063,89 a
5,233,11 a
7,874,10 a
5,273,85 a

Kadar Air (%)


58,173,04 abc
54,433,17 ab
53,883,88 a
65,292,33 cd
69,060,56 d
64,408,92 cd
69,511,76 d
61,500,91 bc

Bobot Daun
(g)
1,621,73 b
0,110,01 a
0,450,22 ab
1,781,06 b
1,750,84 b
0,920,45 ab
1,230,44 ab
1,420,79 ab

Luas Daun
(cm2)
53,0111,35 de
3,671,53 a
20,012,89 b
42,786,50 cd
65,075,88 e
37,835,29 c
34,0210,10 c
54,3211,15 de

Keterangan:
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji
DMRT 0,05.
237

Ahmad dkk.

ponen utama I (KU I) yaitu sebesar 67,5%, se-

1,5

dangkan keragaman yang mampu dijelaskan oleh

1,0

Hasil analisis komponen utama digunakan

0,5

D. imbricatus

Rata2 luas per daun

KH

parameter internal fotosintesis (menggunakan

-1,0

biplot) dan menunjukkan bahwa dari beberapa

-1,5

sudut terkecil dan merupakan sudut lancip

A. scholaris

0,0
-0,5

tukan pembentukan karbohidrat karena memiliki

M. glauca

CO2

Berat per daun

untuk menjelaskan interaksi antara parameter-

parameter internal fotosintesis yang dianalisis,


CO2 merupakan parameter yang paling menen-

S. wallichii
Kair

KU II (16.2% )

faktor-faktor pada komponen utama II (KU II)


sebesar 16,2% (Tabel 2).

A. excelsa

C. argentea
Klo Tot

S. lineatum
S. sigun
-5

-4

-3

-2
-1
KU I (67.5 %)

Gambar 2. Biplot interaksi 8 jenis tanaman dengan


beberapa parameter fotosintesis.

(Gambar 1), atau dengan kata lain terdapat korelasi positif antara parameter karbohidrat dengan
CO2 dengan koefisien korelasi sebesar 72,3%.

PEMBAHASAN

Parameter-parameter lainnya, yaitu kandungan


klorofil total, kadar air, bobot dan luas daun,

Hasil analisis komponen utama (untuk


menjelaskan interaksi antar parameter fotosin-

memiliki korelasi negatif dengan karbohidrat

tesis) menunjukkan bahwa terdapat korelasi posi-

(Tabel 3).
Koefisien

tif antara kandungan karbohidrat dan CO2. Sekarbohidrat,

baliknya, parameter-parameter lainnya (termasuk

klorofil total, CO2, kadar air, bobot dan luas daun

kandungan klorofil total, bobot dan luas daun,

disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis komponen


utama dengan menggunakan biplot dapat men-

serta kadar air) memiliki korelasi negatif dengan


kandungan karbohidrat. Korelasi positif mengan-

jelaskan bahwa setiap parameter yang dianalisis

dung pengertian bahwa apabila CO2 meningkat

ternyata memberikan pengaruh yang berbeda pada setiap jenis tanaman (Tabel 4).

maka kandungan karbohidrat akan meningkat

korelasi

antara

Tabel 2. Matriks nilai ciri korelasi beberapa parameter fotosintesis.


Komponen
Utama
1
2

Nilai ciri

Keragaman

4,051

0,675

Akumulasi
keragaman
0,675

0,971

0,162

0,837

pula.
Setiap tanaman memiliki karakteristik
yang berbeda. Pemilihan jenis tanaman restorasi
dapat mempertimbangkan parameter-parameter
yang lebih diutamakan. Hasil analisis komponen
utama menunjukkan bahwa, jika parameter CO2
menjadi pertimbangan utama, maka D. imbricatus
dan S. lineatum merupakan jenis yang paling

Tabel 3. Koefisien korelasi karbohidrat, klorofil total, CO2, kadar air, bobot dan luas daun.
Parameter
Karbohidrat
Klorofil Total
CO2
Kadar Air
Bobot Daun

238

Klorofil Total
-0,432

CO2
0,723
-0,548

Kadar Air
-0,629
0,101
-0,334

Bobot Daun
-0,713
0,755
-0,553
0,713

Luas Daun
-0,591
0,733
-0,649
0,609
0,908

Kajian Pemilihan Jenis Tumbuhan Untuk Restorasi

Tabel 4. Respons jenis tanaman terhadap parameter-parameter fotosintesis yang dikaji.

Parameter Fotosintesis

Spesies

Kandungan karbohidrat
D. imbricatus, S. lineatum
Kandungan klorofil total
S. sigun, A. scholaris, M. glauca, C. argentea
CO2
D. imbricatus, S. lineatum
Kadar air
A. excelsa, M. glauca, A. scholaris, S. wallichii
A. scholaris, M. glauca, S. sigun
Bobot per daun
M. glauca
Luas per daun

haraan sel, sebelum akhirnya terakumulasi mensesuai dibandingkan dengan 6 jenis tanaman
jadi biomassa hidup dari tumbuhan (Kramer &
lainnya. Tanaman yang mempunyai kemampuan
Kozlowski 1979).
menyerap CO2 lebih besar akan sangat berguna
Tinggi-rendahnya kandungan karbohidrat
dalam usaha mitigasi iklim. Tanaman yang mempada sampel disebabkan oleh distribusi hasil
iliki kandungan karbohidrat tinggi diharapkan
fotosintesis. Nilai karbohidrat yang rendah meakan lebih cepat pertumbuhannya. A. excelsa
nandakan bahwa karbohidrat lebih banyak disimmemiliki kapasitas menyimpan air lebih besar
pan di dalam organ lain daripada di daun. Jumlah
daripada jenis-jenis lainnya, sehingga dapat
daun per tanaman yang sedikit, memberikan kesdigunakan dalam usaha konservasi air.
empatan pada daun yang ada untuk menjadi
Karakteristik A. scholaris terletak pada bobot dan
source, karena daun berkesempatan menerima
M. glauca pada luas daunnya. Karakteristik
cahaya dan menghasilkan fotosintat yang
kandungan klorofil tinggi dimiliki oleh S. sigun.
digunakan oleh organ lain. Tanaman dengan
D. imbricatus memiliki kandungan
jumlah daun banyak menyebabkan banyak daun
karbohidrat tertinggi. Tanaman ini merupakan
ternaungi, sehingga lebih banyak daun yang menkelompok tanaman berdaun jarum (conifer), yang
jadi sink. Akibatnya, di dalam populasi terlihat
memiliki ukuran daun terkecil dibandingkan 7
korelasi negatif antara hasil dengan jumlah daun.
jenis tanaman lainnya (dengan luas rata-rata 3,67
2
Rostini et al. (2003) menunjukkan bahwa hasil
cm ), sehingga proses evapotranspirasinya kecil
asimilasi yang tinggi pada tanaman kedelai akan
dan akumulasi fotosintatnya besar. Dengan kata
didistribusikan lebih banyak ke organ reproduksi
lain, CO2 yang diserap per pohon paling kecil
dibandingkan organ vegetatif.
nilainya, tetapi CO2 yang diserap per satuan luas
Tingginya karbohidrat yang dihasilkan oleh
paling tinggi. Karakterstik tersebut juga berlaku
suatu tumbuhan menentukan kemampuan
untuk S. lineatum yang juga memiliki daun
2
tumbuhan dalam menyerap CO2 yang digunakan
berukuran kecil (luas rata-rata 20,01 cm ).
oleh tumbuhan tersebut untuk melakukan proses
Besaran nilai produk fotosintesis bersih
fotosintesis. Karbohidrat didapat dengan
(NPP) dapat didekati dengan cara mengukur karmengubah CO2 menjadi (CH2O)n. Karbohidrat
bohidrat, biomassa, dan serasah (Landsberg &
diperoleh dengan cara memfiksasi CO2 bebas
Gower 1997). Setelah CO2 diserap oleh daun,
yang terdapat di udara. CO2 yang didapat akan
maka akan diubah menjadi karbohidrat yang
dibawa ke dalam siklus Calvin-Benson atau sering
kemudian akan diikuti oleh beberapa proses, sepjuga disebut reaksi gelap, yaitu siklus yang tidak
erti respirasi gelap, pembentukan dan pemeli239

Ahmad dkk.

memerlukan cahaya matahari dalam prosesnya

dengan sintesis klorofil, juga protein dan enzim.

(seperti pada reaksi terang). Karbondioksida akan

Enzim Rubisco berperan sebagai katalis dalam

diikat oleh enzim rubisco dan selanjutnya akan


terbentuk
sukrosa.
Sukrosa-sukrosa
yang

fiksasi CO2 (Salisbury & Ross 1995). Kondisi


lingkungan tumbuh dapat berakibat pada

terbentuk ini akan diikat menjadi satu sehingga

penurunan fotosintesis atau serapan CO2 terma-

akan diperoleh pati yang nantinya digunakan

suk intensitas cahaya yang kurang, suhu dan

dalam proses respirasi untuk menghasilkan energi

ketersediaan hara yang rendah (Cleumans & Sau-

atau

makanan.

gier 1991), sehingga mempengaruhi produktivitas

Semakin banyak tumbuhan menghasilkan pati,


karbondioksida yang difiksasi juga semakin

tamanan.
Daun dengan kandungan klorofil tinggi

banyak. Dengan banyaknya CO2 yang diserap

tidak selalu menghasilkan serapan CO2 tinggi

maka emisi CO2 akan makin berkurang, sehingga

karena masih banyak faktor lain yang juga menen-

peningkatan suhu akibat efek gas rumah kaca

tukan laju serapan CO2. Untuk itu, banyak faktor

dapat diatasi dan pemanasan global dapat dikurangi.

yang harus diperhatikan dalam pengukuran laju


serapan CO2 tanaman agar dicapai interpretasi

Berdasarkan metode spektrofotometer,

nilai laju fotosintesis yang benar, di antaranya

peringkat kandungan klorofil total berturut-turut

adalah metode yang digunakan, kondisi ling-

adalah S. sigun, A. scholaris, M. glauca, C. ar-

kungan tumbuh dan mikroklimat pada saat pen-

gentea, S. lineatum, A. excelsa, S. wallichii, dan D.


imbricatus. Jika dilihat dari hasil analisis statisti-

gukuran, ukuran atau umur tanaman yang


diukur, umur daun (daun muda/daun tua), serta

knya, nilai kandungan klorofil kedelapan jenis

akurasi alat yang digunakan. Tanaman yang tum-

tersebut tidak berbeda nyata antara satu jenis

buh atau diukur pada kondisi alam in situ bi-

dengan jenis lainnya. Kandungan klorofil S. sigun

asanya memiliki laju serapan

tidak berbeda nyata dengan A. scholaris dan M.

tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tum-

glauca. Kandungan klorofil A. scholaris dan M.


glauca juga tidak berbeda nyata dengan C. ar-

buh pada kondisi lingkungan terkontrol seperti


rumah kaca. Untuk itu, dalam penelitian harus

gentea, sedangkan kandungan klorofil A. argentea

disertakan spesifikasi kondisi pertumbuhan tana-

tidak berbeda nyata dengan S. lineatum. S. linea-

man dan lingkungan pada saat pengukuran serta

tum memiliki nilai kandungan klorofil yang tidak

metode dan instumen yang digunakan (Hidayati

berbeda nyata dengan A. excelsaa dan S. wallichi.


A. excelsaa dan S. wallichi memiliki total klorofil

et al. 2011). Pada kondisi lingkungan yang baik


bagi tanaman, penyaluran energi dalam bentuk

yang tidak berbeda nyata dengan D. imbricatus.

reaksi fotokimia relatif besar, sehingga proses

disimpan

sebagai

cadangan

CO2 yang lebih

Adanya perbedaan kandungan klorofil pada

fotosintesis akan berjalan dengan laju yang tinggi,

jenis tanaman yang berbeda, yang tumbuh pada

sejalan dengan tingginya laju transpor elektron

lingkungan sama, menunjukkan adanya perbe-

dalam reaksi terang fotosintesis. Dalam keadaan

daan respons fisiologi yang berbeda. Hasil


penelitian Suharja & Sutarno (2009) pada dua

lingkungan yang kurang menguntungkan, misalnya terjadi cekaman kekeringan, keasaman tinggi,

varietas cabai yang diberi perlakuan pupuk ber-

dan suhu rendah/tinggi, penyaluran energi ke

beda adalah tidak sama. Rendahnya kandungan

arah fotokimia akan mengalami hambatan (Taiz

nutrien serperti N dan Mg akan mempengaruhi

& Zeiger 1991).

pembentukan klorofil. Nitrogen berkaitan erat


240

Kandungan klorofil dan karbohidrat yang

Kajian Pemilihan Jenis Tumbuhan Untuk Restorasi

tidak berkorelasi positif, tidak berarti menunjuk-

Ross 1995; Lakitan 2004).

kan tidak adanya hubungan antara jumlah klorofil

Karena komponen utama tanaman hijau

dengan kandungan karbohidrat. Hal ini bisa


disebabkan karena tumbuhan-tumbuhan tertentu

adalah air maka bobot basah, bobot kering dan


kandungan air akan mempunyai asosiasi yang

tidak menyimpan banyak pati di dalam daunnya,

kuat. Banyak faktor yang mempengaruhi asosiasi

tetapi menyimpannya dalam organ lain, seperti

tersebut, seperti jenis, umur, kondisi pertum-

buah, batang, atau akar. Klorofil dan karbohidrat

buhan tanaman, dan kadar air tanah. Dengan

memiliki hubungan erat dalam proses fotosintesis.

demikian kandungan air dalam kanopi (daun)

Klorofil berperan dalam proses fotolisis air dan


dari proses ini energi tersedia bagi tumbuhan un-

merupakan faktor penting dalam deteksi potensi


kebakaran hutan (Chuvieco et al. 2002) atau pen-

tuk melakukan proses fotosintesis. Tanpa klorofil,

ingkatan kandungan air tanah (Yilmaz et al.

tumbuhan tidak akan dapat membuat maka-

2008). Kekurangan air mengganggu aktivitas fisi-

nannya sendiri.

ologis dan morfologis tanaman, sehingga dapat

Pohon dengan laju pertumbuhan cepat


memiliki asimilasi CO2 lebih tinggi pada tanaman

mengakibatkan terhentinya pertumbuhan. Kekurangan air secara terus menerus akan menyebab-

beriklim tropis (Hidayati et al. 2009). Hasil mon-

kan perubahan irreversible dan pada gilirannya

itoring Tim Kebun Raya Cibodas menunjukkan

tanaman mati (Fitter & Hay 1981), namun

bahwa di antara kedelapan jenis tanaman

beberapa

restorasi, D. imbricatus dan S. lineatum memiliki


keragaan terbaik. D. imbricatus memiliki laju per-

kekurangan air justru untuk menginisiasi


pembungaan (Goldsworthy & Fisher 1992).

tumbuhan tertinggi dan S. lineatum memiliki

Hasil pengukuran kadar air pada penelitian

tingkat ketahanan hidup yang paling tinggi

ini menunjukkan bahwa A. excelsa dan M. glauca

(Rahman et al. 2011). Hal ini sesuai dengan hasil

memiliki kadar air yang paling tinggi dan ini

penelitian ini, bahwa D. imbricatus memiliki ke-

dapat diasumsikan bahwa kedua jenis tanaman ini

mampuan menyerap CO2 tertinggi diikuti oleh S.


lineatum, walaupun tidak berbeda nyata dengan

memiliki kemampuan lebih tinggi dalam kapasitas


menyerap air dan menyimpan air di daun

jenis lainnya. Kedua jenis tanaman ini juga mem-

dibandingkan dengan kelima jenis lainnya. Air

iliki kandungan karbohidrat daun tertinggi. Tum-

masuk ke dalam tumbuhan melalui akar pada

buhan yang sedang tumbuh memiliki laju fotosin-

pembuluh angkut xilem menuju daun. Elektron

tesis dan laju translokasi fotosintat yang tinggi


(Lakitan 2004).

dihasilkan dari pemecahan molekul air dengan


produksi oksigen berkesinambungan dan

Proses fotosintesis juga membutuhkan air.

ditranspor melalui rantai transpor elektron yang

Jika tumbuhan kekurangan air, maka translokasi

tertanam dalam membran tilakoid. NADPH dan

air dari akar ke daun berkurang. Untuk mengu-

ATP yang dihasilkan dari proses ini digunakan

rangi kehilangan air, terutama pada kondisi

dalam

kelembapan udara sangat rendah, maka bukaan


stomata akan mengecil bahkan menutup. Dengan

menghasilkan karbohidrat (Lambers et al. 1988).


Kadar air S. lineatum dan D. imbricatus adalah

demikian masuknya gas CO2 ke dalam daun lewat

yang paling rendah. Dapat dijelaskan bahwa da-

stomata akan berkurang. Kemampuan fotosintesis

lam kondisi lingkungan yang sama, kapasitas

akan meningkat dengan bertambahnya umur dan

transpor air juga sama, sehingga air yang tersim-

luasan daun (Taiz & Zeiger 1991; Salisbury &

pan di daun lebih sedikit (Lambers et al. 1998).

jenis

reaksi

pohon

gelap

merespons

fotosintesis

periode

untuk

241

Ahmad dkk.

Hasil analisis komponen utama dengan

lebih lama, sehingga dapat diperoleh data yang

menggunakan biplot menunjukkan bahwa param-

lebih komprehensif dan model-model penguku-

eter luas daun merupakan parameter yang paling


berpengaruh terhadap kandungan klorofil total

ran yang aplikatif.

dibandingkan bobot daun. Parameter lainnya,

DAFTAR PUSTAKA

yaitu kadar air, juga memiliki korelasi positif


dengan kandungan klorofil. Kandungan CO2

Alberta University. 2003. Land Reclamation, Re-

daun memiliki korelasi negatif dengan kandungan

mediation, and Restoration. http://www.rr.

klorofil total. Menurut Gardner et al. (1985) permukaan luar daun yang luas dan datar memung-

ualberta.ca/Reseach.
Balai Besar TNGGP. 2004. Peta Aksesibilitas

kinkan daun menangkap cahaya secara maksimal

Kawasan Taman Nasional Gunung Gede

per satuan volume dan meminimalkan jarak yang

Pangrango, Cipanas, Cianjur.

harus ditempuh oleh CO2 dari permukaan daun

Campbell, NA., LG. Mitchell & JB. Reece. 2010.

ke kloroplas. Semakin besar luas daun dan semakin tinggi intensitas cahaya matahari, maka

Biologi. Edisi ke-8 Jilid 1. H.W. Hardani


(ed.). D.T. Wulandari (penerjemah).

cahaya yang mampu diserap oleh daun makin

Penerbit Erlangga, Jakarta.

tinggi dan laju fotosintesis akan terjadi secara

Ceulemans, RJ. & B. Saugier. 1991. Photosyn-

maksimum.

thesis. Dalam: Raghavendra, A.S. (ed). Physi-

KESIMPULAN DAN SARAN

ology of Tree. Wiley & Sons, Inc., New York.


Hlm 21-50.
Chuvieco, E., D. Riao, I. Aguado, & D. Cocero.

Jenis tanaman restorasi yang dikaji

2002. Estimation of fuel moisture content

(berusia 2 tahun setelah tanam) memiliki karak-

from multitemporal analysis of Landsat The-

teristik yang berbeda ditinjau dari parameter-

matic Mapper reflectance data: applications

parameter fotosintesis yang diteliti. D. imbricatus


dan S. lineatum memiliki kandungan karbohidrat

in fire danger assessment. Inter J. Remote


Sensing 23: 21452162.

dan kemampuan menyerap CO2 paling tinggi dan

Dahlan, EN. 2007. Analisis Kebutuhan Luasan

direkomendasikan menjadi tanaman yang sesuai

Hutan Kota Sebagai Sink Gas CO2 Antropo-

untuk usaha restorasi dan mitigasi iklim. S. sigun,

genik dari Bahan Bakar Minyak dan Gas di

A. scholaris, M. glauca, dan C. argentea memiliki


kandungan klorofil total yang tinggi, sedangkan

Kota Bogor dengan Pendekatan Sistem


Dinamik [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pas-

A. excelsa, M. glauca, A. scholaris, dan S. wallichii

casarjana Institut Pertanian Bogor.

memiliki kadar air yang tinggi. A. scholaris, M.

Fitter, AH. & RKM. Hay. 1981. Fisiologi Ling-

glauca, dan S. sigun memiliki bobot daun yang

kungan Tanaman. Andani, S. & ED.

lebih besar daripada jenis lainnya. M. glauca

Purbayanti (penerjemah). Gadjah Mada

merupakan pohon dengan ukuran daun terluas.


Terlepas dari berbagai faktor yang bisa

University Press, Jogyakarta.


Gardner, FP., RB. Pearce, & RL. Mitchell. 1985.

mempengaruhi hasil penelitian, masih diperlukan

Physiology of Crop Plants. Iowa State Univer-

penelitian lanjutan dengan menggunakan jumlah

sity Press. Iowa.

sampel yang besar dengan rentang penelitian yang

242

Goldsworthy, PR. & NM. Fisher. 1992. Fisiologi

Kajian Pemilihan Jenis Tumbuhan Untuk Restorasi

Budidaya

Tanaman

Tropik.

Tohari

Kondisi Terkini dan Tantangan ke Depan.

University

UPT BKT Kebun Raya Cibodas-LIPI

Press, Jogyakarta.
Hidayati, N., T. Juhaeti, & M. Mansur. 2009.

bekerjasama dengan Perhimpunan Biologi


Indonesia, Balai Besar Taman Nasional

Biological diversity contribution to reducing

Gunung Gede Pangrango, dan SEAMEO

CO2 in the atmosphere. Makalah dis-

BIOTROP. Cibodas, 7 April 2011. p. 500-

mpaikan dalam International Seminar on

505.

(penerjemah).

Gadjah

Mada

Achieving Resilient-Agriculture to Climate

Rostini, N., A. Baihaki, R. Setiamihardja, & G.

Change through Development of ClimateBased Risk Management Scheme. Bogor, 17

Suryatmana. 2003. Korelasi kandungan


klorofil beberapa daun dengan hasil pada

19 November 2009.

tanaman kedelai. Zuriat 14: 47-50.

Hidayati, N., T. Juhaeti, & M. Mansur. 2011.

Salisbury, FB. & CW. Ross. 1995. Plant Physiolo-

jenis-jenis

gy. 4th edition. Wadsworth Publishing Com-

pohon di Taman Buah Mekar Sari Bogor,


kaitannya dengan potensi mitigasi gas rumah

pany. California.
Santilli, M., P. Moutinho, S. Schwartzman, D.

Serapan karbondioksida (CO2)

kaca. J Biol. Indonesia 7: 133-145.


Kramer, PJ. & TT. Kozlowski. 1979. Physiologi of
Woody Plants. Academic Press. New York.

Nepstad, L. Curran, & C. Nobre. 2005.


Tropical deforestation and the Kyoto Protocol. Climatic Change 71: 267276.

Lakitan, B. 2004. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Suharja & Sutarno. 2009. Biomass, chlorophyll


and nitrogen content of leaves of two chilli

Lambers, H., CF. Stuart, & LP. Thijs. 1998.

pepper varieties (Capsicum annum) in differ-

Plant Physiological Ecology. Springer. New

ent fertilization treatments. Bioscience 1: 9-

York.

16.

Landsberg, JJ. & ST. Gower. 1997. Aplications of

Taiz, L. & E. Zeiger. 1991. Plant Physiology. The

Physiological Ecology to Forest Management.


Academic Press. London.

Benjamin Cunnings Publishing Company,


Inc. California.

MacDicken, KG. 1997. A Guide Monitoring Car-

Yilmaz, MT., ER. Hunt, & TJ. Jackson. 2008.

bon Storage in Forestry and Agroforestry Pro-

Remote sensing of vegetation water content

ject. Forest Carbon Monitoring Program

from equivalent water thickness using satel-

Winrock International. Arlington, VA, USA.


Rahman, W., F. Kurniawati, AP. Iskandar, IW.

lite imagery. Remote Sensing Envi 112: 25142522.

Hidayat, D. Widyatmoko, & SR. Ariati.

Yoshida, S. 1981. Fundamentals of rice crop sci-

2011.

Survivorship and growth of eight

native tree species during their early stage at

ence. The International Rice Research Institute. Philippines.

a restored land within Gede Pangrango Na-

Yoshida, S, DA. Forno, JH. Cock, & KA.

tional Park, Indonesia. Prosiding Seminar


Nasional Konservasi Tumbuhan Tropika:

Gomez. 1976. Laboratory Manual for Physiological Studies of Rice. Third edition. The International Rice Research Institute. Philippines.

243

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 245-254 (2013)

Kajian Pemberian Pakan Alternatif terhadap Konsumsi, Kecernaan, dan Efisiensi


Penggunaan Pakan pada Jelarang Paha Putih (Ratufa Affinis Raffles, 1821)
(Study of Alternative Food on Consumption, Digestibility, and Feed Efficiency Use of
Cream-Coloured Giant Squirrel (Ratufa Affinis Raffles, 1821).
Wartika Rosa Farida & Siti Nuramaliati Prijono
Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong Science Center, Jln. Raya Jakarta-Bogor KM 46, Cibinong 16911
E-mail: wrfarida@indo.net.id
Memasukkan: April 2013, Diterima: Juni 2013

ABSTRACT
Four cream-coloured giant squirrel (Ratufa affinis) consisted of one male and three females used in this study to determine the effect of feeding alternatives on consumption, digestibility, and feed efficiency use. During the study
each of the animals was placed in individual cages equipped with sleeping box. Feed given were consisting of Guava
(Psidium guajava), sweet corn (Zea mays), coconut (Cocos nucifera), peanut (Arachis hypogea), cucumber (Cucumis
sativus), mung bean sprouts (Vigna radiata), and sunflower seed (Helianthus annuus). Feedstuffs are given based on
this animal preferences on the grain in its natural habitat. Feed given cafetaria and drinking water available ad libitum. Results showed that the average of dry matter consumed by male was 45.95 g / head / day and by female 39.14
g / head / day; rough protein by male 6.99 g / head / day and by female 5.76 g / head / day ; gross energy by male
2392 cal / head / day and by female 2116 cal / head / day. Feed efficiency use of male is 13,99% and female is
12,63%. The average of body weight gain of the male animal is higher than that of the female, namely 6.43 g / head /
day and 4.88 g / head / day respectively. The average value of digested organic matter or Total Digestible Nutrient
(TDN) was higher in the female animal, namely 95.41%, than that of the male, namely 92.68%; as well as digested
energy or Digestible Energy (DE) in the female animal was higher than that in the male, namely 93.60% and
91.17%, respectively.
Keywords: alternative feed, consumption, digestibility, Ratufa affinis
ABSTRAK
Empat ekor jelarang paha putih (Ratufa affinis) terdiri dari satu jantan dan tiga betina digunakan dalam penelitian ini
untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan alternatih terhadap konsumsi, kecernaan, dan efisiensi penggunaan
pakan. Selama penelitian yang berlangsung, masing-masing jelarang ditempatkan di dalam kandang individu yang
dilengkapai dengan kotak tidur. Pakan yang diberikan terdiri dari jambu biji (Psidium guajava), jagung manis (Zea
mays), kelapa (Cocos nucifera), kacang tanah (Arachis hypogea), ketimun (Cucumis sativus), tauge kacang hijau (Vigna
radiata), dan biji bunga matahari (Helianthus annuus). Pemberian bahan pakan tersebut berdasarkan kesukaan
jelarang akan biji-bijian di habitat aslinya. Pakan diberikan secara cafetaria dan air minum tersedia ad libitum. Hasil
penelitian menunjukkan rataan konsumsi bahan kering oleh jantan 45,95 g/ekor/hari dan betina 39,14 g/ekor/hari;
proteinn kasar oleh jantan 6,99 g/ekor/hari dan betina 5,76 g/ekor/hari; energi bruto oleh jantan 2392 kal/ekor/hari
dan betina 2116 kal/ekor/hari. Rataan Pertambahan bobot badan jelarang jantan lebih tinggi daripada betina masing
6,43 g/ekor/hari dan 4,88 g/ekor/hari. EPP jelarang jantan 13,99% dan betina 12,63%. Rataan nilai bahan organik
tercerna atau Total Digestible Nutrient (TDN) lebih tinggi pada jelarang betina 95,41% dibandingkan jelarang jantan
92,68%, demikian pula nilai energi tercerna atau Digestible Energy (DE) lebih tinggi pada jelarang betina 93,60%
dibandingkan jelarang jantan 91,17%.
Kata Kunci: pakan alternatif, konsumsi, kecernaan, Ratufa affinis

PENDAHULUAN

dentia, famili sciuridae yang penyebarannya meliputi Thailand Selatan, Semenanjung Malaysia,

Jelarang paha putih (Ratufa affinis Raffles,


1821) adalah sejenis bajing besar dari ordo ro-

Singapura, Sumatra dan Kalimantan. Satwa ini


hidupnya dibawah kanopi pohon-pohon tinggi di
245

Farida & Prijono

hutan primer maupun hutan sekunder. Satwa ini

Pakan alternatif yang diberikan kepada

hidupnya selalu di atas pohon (arboreal) dan tidak

satwaliar merupakan pakan yang tidak dijumpai

pernah terlihat turun ke tanah (Saiful & Nordin


2004). Saat ini jelarang paha putih berstatus

oleh satwa tersebut di habitat aslinya. Berdasarkan jenis-jenis pakan di alam, di penangkaran

dilindungi dan tercantum dalam CITES appendix

perlu dicarikan pengganti pakan tersebut berupa

II (Duckworth et al. 2008). Jelarang paha putih

jenis buah, sayuran, ataupun biji-bijian yang ada

bersifat aktif di siang hari (diurnal), hidupnya

di pasaran dan ketersediaan berkesinambungan.

kadang berpasangan ataupun sendiri, biasanya

Pakan merupakan kebutuhan utama bagi satwa

akan keluar sarang pada waktu setelah fajar dan


kembali lagi kesarangnya sebelum hari gelap. Pa-

untuk memenuhi kebutuhan kehidupan pokon


dan produksi (pertumbuhan, reproduksi, dan lain

kan utama R.affinis di habitatnya adalah biji-

-lainnya).

bijian dan sebagai pelengkap memakan juga de-

mengetahui konsumsi, kemampuan cerna dan

daunan, buah-buah hutan, kacang-kacangan, ku-

efisiensi penggunaan pakan pada jelarang paha

lit kayu, serangga, dan telur.


Beberapa hasil penelitian di Malaysia

putih yang diberi pakan alternatif di penangkaran.

melaporkan populasi jelarang ini terus menurun

BAHAN DAN CARA KERJA

Tujuan dari penelitian ini untuk

akibat kerusakan habitat dan perburuan liar, juga


diduga adanya persaingan dalam mendapatkan

Penelitian

ini

dilaksanakan

di

Pe-

pakan di hutan dengan hewan vertebrata arboreal


lainnya seperti burung dan terutama primata,

nangkaran Mamalia Bidang Zoologi, Pusat


Penelitian Biologi LIPI selama 52 hari, terdiri

khususnya jenis buah-buahan dan dedaunan, yang

dari 10 hari preliminary (masa adaptasi pakan)

merupakan pakan yang disukai jelarang (Saiful &

dan 42 hari (6 minggu) masa pengumpulan data.

Nordin 2004).

Empat ekor jelarang paha putih terdiri dari 1 ekor


jantan dan 3 ekor betina berumur kurang lebih 13
-18 bulan, masing-masing ditempatkan dalam
kandang individu berukuran 3,86 m x 2,10 m x
2,60 m (panjang x lebar x tinggi). Di setiap kandang telah dilengkapi dengan tempat pakan, tempat minum, kotak tidur, dan batang-batang kayu
yang saling melintang untuk tempat beraktivitas.
Pakan yang diberikan terdiri dari jambu biji
(Psidium guajava), jagung manis (Zea mays), kelapa (Cocos nucifera), kacang tanah (Arachis hypogea), ketimun (Cucumis sativus), tauge kacang
hijau (Vigna radiata), dan biji bunga matahari
(Helianthus annuus). Pemberian bahan pakan
tersebut berdasarkan kesukaan jelarang akan bijibijian dan buah-buahan di habitat aslinya. Pakan

Gambar 1. Jelarang paha putih (Ratufa affinis Raffles, diberikan secara bebas pilh atau cafetaria (Leeson
1821) (Foto : W.R. Farida, 2011)
& Summer 1978). Penimbangan setiap jenis pa-

kan dilakukan sebelum pakan disajikan dan sisa


246

Kajian Pemberian Pakan Alternatif terhadap Konsumsi, Kecernaan

pakan ditimbang pada keesokan harinya guna

HASIL

mengetahui konsumsi pakan segarnya. Air minum tersedia ad libitum. Bobot badan jelarang
ditimbang pada awal dan akhir penelitian. Ana-

Komposisi
nutrien
bahan
pakan
penelitian jelarang dan konsumsi bahan segar dan

lisis bahan kering dan nutrien (zat-zat makanan)

bahan kering dapat dilihat pada Tabel 2 dan

bahan menggunakan metoda proksimat (AOAC

Tabel 3. Gambar 2 dan Gambar 3 memperlihat-

1995). Untuk perhitungan kecernaan zat-zat ma-

kan tingkat kesukaan pakan segar oleh jelarang

kanan (nutrien), maka dilakukan koleksi feses

dan konsumsi bahan kering tiap jenis pakan pada

total jelarang setiap hari (Tillman et al. 1991).


Pengolahan data dilakukan dengan

jelarang jantan dan betina. Tabel 4 memaparkan


tentang konsumsi bahan kering tiap jenis pakan

mendeskripsikan data dalam bentuk tabel dan

oleh jelarang.

diagram hasil penelitian ke dalam suatu kalimat

Nilai Bahan ekstrak tanpa nitrogen

pernyataan yang dapat menjelaskan sekaligus me-

(BETN)

nyimpulkan hasil penelitian yang diperoleh.


Metoda deskripsi digunakan karena jumlah mate-

lebih tinggi dibandingkan bahan lainnya, karena


bahan pakan tersebut merupakan tanaman yang

ri penelitian yang terbatas.

mengandung karbohidrat tinggi dan sesuai

tauge, jagung manis, dan jambu biji

digunakan sebagai bahan pakan (Maynard dan


Loosli, 1979). Kacang tanah dan biji bunga matahari mempunyai protein kasar yang tinggi
dibanding jenis pakan lain sehingga dapat diberi-

Tabel 1. Jumlah tiap jenis pakan yang diberikan pada


jelarang
Jenis pakan
Jambu biji
Jagung manis
Kelapa
Kacang tanah
Ketimun
Tauge kacang hijau
Biji bunga matahari
Total

kan kepada jelarang untuk memenuhi kebutuhan

Jumlah (g/hari/ekor)
80
100
40
20
15
15
40
310

protein dalam tubuhnya.

Kelapa dan kacang

tanah mempunyai kandungan lemak yang tinggi


diikuti dengan kandungan energinya yang tinggi
pula. Kandungan energi yang tinggi berpengaruh
terhadap konsumsi kelapa dan kacang tanah
(Wahju, 1992).
jelarang

tertera

LK

SK

Pertambahan bobot badan


pada

Tabel

dan

hasil

Tabel 2. Komposisi nutrien bahan pakan jelarang (% BK)

Bhn pakan

BK

Abu

PK

BETN

(%)

EB
(kal/g)

Jambu biji

11,80

3,90

5,20

1,40

20,10

69,40

4.655

Jagung manis

20,67

3,03

14,16

7,16

1,62

74,03

4411

Kelapa

47,52

2,02

7,30

65,8

24,03

0,85

6.997

Kacang tanah

72,00

2,26

26,93

43,67

11,25

15,89

7.367

Ketimun

18,72

6,37

20,84

0,94

18,66

53,19

3.682

Tauge kacang hijau

28,22

1,03

7,59

0,35

2,10

88,93

1.235

Biji matahari

90,99

3,10

25,30

9,30

3,30

59,00

3.884

Keterangan : BK = Bahan kering; SK = Serat kasar; EB = Energi bruto


PK = Protein kasar; BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen

247

Farida & Prijono

pada Tabel 6.

Tabel 3. Rataan konsumsi bahan segar (BS) dan bahan


kering (BK)

Kebutuhan

Rataan
Peubah Jantan Betina 1 Betina 2 Betina 3 Betina
------------- (g/ekor/hari) -----------------BS
26,18 21,48 22,44 19,74 21,22
BK
6,56
6,02
6,05
4,70
5,59

Konsumsi (g/ekor/hari)

jelarang

yang

dihitung berdasarkan konsumsi nutrien per hari


dibagi konsumsi bahan kering kemudian dikali

Jelarang

100% tertera pada Tabel 7.


PEMBAHASAN
Pakan bagi hewan diperlukan untuk
kelangsungan proses biologis dalam tubuhnya.

80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
-

Konsumsi pakan dipengaruhi oleh bobot badan,


Jantan

individu

Betina

hewan,

jenis

pakan,

dan

faktor

sifat seleksi terhadap bahan pakan yang tersedia.


Aktivitas konsumsi meliputi proses mencari

Ja

gu
ng

an
is

ta
na
h

ug
e
Ta

Ka
ca
ng

mb
u

bij
i

pa
Ja

Ke
la

Bi
ji b

un
ga
m

ata

ha
r

lingkungan. Hewan pada umumnya mempunyai


Ke
t im
un

nutrien

makan, mengenal dan mendekati pakan, proses

Bahan pakan segar

bekerjanya indra hewan terhadap pakan, proses

Gambar 2. Tingkat kesukaan pakan segar oleh jelarang

memilih pakan dan proses menghentikan pakan


Konsumsi BK (g/ekor/hari)

16.00
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
-

Jantan

(Arora, 1989). Dari Tabel 3 terlihat jelarang


jantan lebih banyak mengkonsumsi bahan pakan

Betina 1

dibanding jelarang betina. Hal ini sesuai dengan

Betina 2

bobot badan jantan yang lebih berat dari betina,

Betina 3

sehingga konsumsi pakannyapun lebih banyak


dari betina. Dilaporkan oleh Bogart et al. (1963),

i
ji
h
e
is
ar
un
bi
pa
na
ug
an
u
ah
la
im
t
b
ta
e
m
at
Ta
K
m
g
g
Ke
m
n
n
Ja
ca
ga
gu
un
Ka
Ja
ii j b
B

banyaknya bahan pakan yang dapat dikonsumsi


oleh seekor hewan berhubungan erat dengan

perhitungan konsumsi BK dan nutrien tertera


Bahan Pakan

bobot badannya. Semakin tinggi bobot badan,


kemampuan seekor hewan untuk mengkonsumsi
bahan pakan semakin tinggi. Palatabilitas atau

Gambar 2. Rataan konsumsi bahan kering tiap jenis


pakan pada jelarang jantan dan betina

tingkat kesukaan hewan terhadap suatu pakan

Tabel 4. Rataan konsumsi bahan kering tiap jenis pakan


Konsumsi
Bahan pakan
Biji bunga matahari
Ketimun
Kelapa
Jambu biji
Tauge
Kacang tanah
Jagung manis
Total

Jantan
(g/ekor/hari)
5,00
6,10
9,06
8,62
1,74
8,02
7,40
45,95

(%)
10,89
13,27
19,72
18,76
3,79
17,46
16,10
100,000

Betina
(g/ekor/hari)
3,04
1,18
8,28
6,11
1,59
7,99
10,95
39,14

(%)
7,78
3,02
21,15
15,62
4,06
20,41
27,97
100,00

248

Kajian Pemberian Pakan Alternatif terhadap Konsumsi, Kecernaan

Tabel 5. Pertambahan bobot badan (PBB) jelarang


Bobot badan

Jantan

Awal (kg)
Akhir (kg)
PBB (kg)
PBB (g/ekor/hari)

Betina 1

1,30
1,56
0,18
6,43

Jelarang
Betina 2

0,84
1,00
0,16
5,71

0,77
0,92
0,15
5,36

Betina 3
0,66
0,76
0,10
3,57

Rataan
Betina
0,76
0,89
0,14
4,88

Tabel 6. Rataan konsumsi BK dan nutrien (g/ekor/hari)


Jantan

Jelarang
Betina 2

Rataan
Betina
------------------------------- g/ekor/hari) --------------------------------45,95
42,16
42,35
32,90
39,14
44,46
40,96
41,18
31,96
38,04
1,49
1,20
1,17
0,94
1,10
6,99
6,95
5,98
4,36
5,76
10,65
10,62
11,76
7,93
10,10
6,27
4,95
4,94
4,05
4,65
20,56
18,44
18,50
15,63
17,52
2392
2303
2309
1737
2116

Nutrien
BK
BO
Abu
PK
LK
SK
BETN
EB (kal/ekor/hari)

Betina 1

Betina 3

Tabel 7. Rataan kebutuhan nutrien pada jelarang


Jelarang
Rataan
Betina
---------------------------------- (% BK) -------------------------------96,76
97,15
97,14
97,19
97,16
3,24
2,85
2,86
2,82
2,.84
15,21
16,48
13,25
14,72
14,82
23,18
25,19
24,10
25,81
25,03
13,64
11,74
12,31
11,88
11,98
44,74
43,74
47,50
44,76
45,34
5.205,66
5.462,52
5.279,63
5.406,24
5.382,80

Nutrien

Jantan

BO
Abu
PK
LK
SK
BETN
EB (kal/100 gram BK)

merupakan

ekspresi

Betina 3

Tingkat kesukaan jenis pakan segar

disebabkan oleh panca indera yang dipengaruhi

jelarang jantan (Gambar 2) adalah jambu biji,

oleh faktor fisik dan kimia yang dapat berubah


karena kondisi fisiologis atau psikologi individu

jagung manis, dan ketimun, sedangkan jelarang


betina lebih menyukai jagung manis, jambu biji,

(Church 1979). Palatabilitas sebenarnya bukan

dan kelapa. Jelarang jantan lebih memilih bahan

merupakan

untuk

pakan yang banyak mengandung air (Tabel 2),

menunjukkan nilai gizi, karena jenis pakan yang

karena jantan lebih banyak aktivitas gerak

mempunyai

tentu

dibanding betina, sehingga membutuhkan asupan

memenuhi syarat kebutuhan gizi bagi hewan


tersebut (Mcllroy 1976).

air yang lebih banyak. Jenis-jenis pakan yang


disukai oleh jelarang jantan dan betina secara

palabilitas

rangsangan

Betina 2

yang

ukuran

dan

Betina 1

yang
tinggi

tepat
belum

249

Farida & Prijono

persentase juga terlihat pada Tabel 4, yang juga

(cafetaria) akan memberikan peluang bagi hewan

terefleksi

keringnya

untuk menyesuaikan komposisi zat makanannya,

(Gambar 3).
Church (1979) menyatakan,
konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa

terutama protein dan energi sesuai kebutuhannya.


Sesuai dengan bobot badannya yg lebih

faktor, yaitu bobot badan, individu hewan, tipe

besar, jelarang jantan lebih banyak mengkonsumsi

dan tinggkat produksi, jenis pakan dan faktor

BK dan nutrien pakan dibandingkan jelarang

lingkungan, sedangkan menurut Roy (1970),

betina.

konsumsi

dengan

(1979), kecepatan pertumbuhan tergantung dari

(PBB)

spesies, jenis kelamin, umur, dan keseimbangan


nutrien dalam ransum. Berdasarkan pengamatan

keempat ekor jelarang tertera pada Tabel 5.

di penangkaran, jelarang jantan lebih aktif berge-

Perbedaan nilai rataan PBB dipengaruhi oleh

rak dibandingkan jelarang betina, sehingga

beberapa faktor antara lain bangsa, jenis kelamin,

jelaranbesar banyak dibandingkan dengan jelarang

kandungan protein, dan suhu lingkungan


(Wahju, 1992). Dilaporkan juga oleh Titus &

betina.

Fritz (1971) bahwa kecepatan pertumbuhan dari

tertinggi adalah BETN sebesar 44,74% dan

seekor hewan dipengaruhi oleh beberapa faktor,

45,34% untuk jelarang jantan dan betina.

tetapi yang sangat mempengaruhi adalah spesies,

Dilaporkan oleh Tillman et al. (1991), BETN

jenis kelamin, umur hewan, keseimbangan pakan


dan jumlah pakan yang dikonsumsi. Dari Tabel

adalah karbohidrat yang tidak mengandung serat


kasar dan banyak mengandung pati. Dari Tabel 2

4 jelas terlihat PBB jelarang jantan lebih tinggi

terlihat bahan-bahan pakan yang diberikan

dibandingkan rataan jelarang betina. Anggorodi

mengandung BETN yang tinggi dibandingkan

(1985)

dengan nutrien yang lain, sehingga jelarang

pada

bahan

konsumsi

kering

bahan

meningkat

meningkatnya bobot badan.


Pertambahan bobot

mendefinisikan

badan

pertumbuhan

adalah

Dilaporkan oleh Maynard & Loosly

Rataan persentase kebutuhan nutrien

pertambahan dalam bentuk dan berat jaringan-

mengkonsumsi

jaringan seperti otot tulang, jantung dan semua


jaringan tubuh lainnya.
Selama penelitian

dibandingkan
dengan
nutrien
lainnya.
Kandungan BETN yang tinggi dalam pakan

berlangsung tampak keempat jelarang sehat,

menandakan pakan tersebut mudah dicerna dan

lincah, serta bulu yang mengkilat sebagai

mengandung energi tinggi.

gambaran hewan sehat hingga akhir penelitian.

BETN

Kebutuhan

lemak

lebih

kasar

tinggi

bila

merupakan

Kebutuhan nutrisi pakan jelarang perlu


diperhatikan untuk aktivitas dan pertumbuhan.

kebutuhan tertinggi kedua yaitu sebesar 23,18%


dan 25,03% pada jelarang jantan dan betina, hal

Kebutuhan nutrisi jelarang belum diketahui kare-

ini akan diikuti dengan tingginya kecernaan

na tidak adanya standar kebutuhan yang dapat

lemak pada jelarang.

dijadikan ukuran nutrisi pakannya. Konsumsi zat

Menurut Crampton & Harris (1969),

makanan jelarang setiap hari diperoleh dengan

efisiensi penggunaan pakan (EPP) merupakan

cara menghitung jumlah setiap bahan pakan yang


dikonsumsi setiap harinya dikalikan dengan kan-

perbandingan antara pertambahan bobot badan


dengan konsumsi bahan kering ransum,

dungan zat makanan masing-masing bahan pa-

sedangkan Wilkinson (2011) melaporkan ekspresi

kan.

Menurut Leeson dan Summer (1978),

yang paling umum dari efisiensi penggunaan

pemberian pakan dengan sistem bebas pilih

pakan, khususnya pada hewan non ruminansia,

250

Kajian Pemberian Pakan Alternatif terhadap Konsumsi, Kecernaan

adalah rasio konversi pakan.

Parakkasi (1983)

pakan dan akan semakin efisien pakan yang

menyatakan rasio efisiensi protein (REP) adalah

digunakan.

angka yang didapatkan dari banyaknya


pertambahan bobot badan dibanding dengan

Daya cerna atau kecernaan adalah proporsi zat makanan yang tidak diekskresikan dalam

banyaknya protein yang di konsumsi. Dari Tabel

feses dan merupakan zat makanan yang dapat

8 terlihat persentase EPP jelarang jantan lebih

diabsorpsi oleh tubuh hewan. Dilaporkan oleh

tinggi dibandingkan rataan EPP jelarang betina,

Parakkasi (1999), kecernaan lebih sering diekspre-

yang menunjukkan jelarang jantan lebih efisien

sikan dengan bahan kering dan sebagai koefisien

dalam penggunaan pakan guna peningkatan


bobot badannya dibandingkan jelarang betina.

cerna atau persentase. Dari Tabel 9 terlihat nilai


kecernaan BK dan nutrien pada jelarang cukup

Jelarang jantan juga memperlihatkan nilai REP

tinggi, hal ini menandakan sebagian BK dan nu-

yang lebih tinggi dibandingkan jelarang betian.

trien dapat dimanfaatkan oleh keempat ekor jela-

Diduga perbedaan nilai EPP dan REP tersebut

rang tersebut. Kecernaan BK dan nutrien jelarang

karena perbedaan umur diantara keempat


jelarang, sebagaimana yang dinyatakan oleh

betina terlihat lebih besar daripada jelarang jantan. Hal ini dapat dijelaskan, jelarang betina me-

Bogart (1963), efisiensi penggunaan pakan

miliki rataan konsumsi bahan kering yang lebih

menurun dengan meningkatnya umur, baik pada

rendah dibanding jelarang jantan (Tabel 6). Kon-

hewan

betina.

sumsi bahan kering yang rendah menyebabkan

Dikemukakan oleh Pond et al. (1995), semakin


baik kualitas pakan yang dikonsumsi hewan,

pergerakan makanan yang lambat dalam saluran


pencernaan sehingga enzim di saluran pencernaan

diikuti dengan tingginya pertambahan bobot

bekerja lebih optimal, makanan lebih mudah di-

badan, maka akan semakin rendah nilai konversi

cerna dan koefisien cerna menjadi lebih tinggi.

jantan

maupun

hewan

Tabel 8. Efisiensi penggunaan pakan (EPP) dan rasio efisiensi protein (REP) pada Jelarang
Jelarang
Peubah

Jantan

PBB (g/ekor/hari)
Konsumsi BK (g/ekor/hari)
EPP (%)
Konsumsi protein (g/ekor/hari)
REP (%)

6,43
45,95
13,99
6,99
92,01

Betina 1

Betina 2

6,07
42,16
14,40
6,95
87,36

5,36
42,35
12,65
5,98
89,65

Betina 3
3,57
32,90
10,85
4,36
82,00

Rataan
Betina
5,00
39,14
12,63
5,76
86,34

Keterangan : PBB = Pertambahan bobot badan

Tabel 9. Koefisien cerna bahan kering dan nutrien pakan pada jelarang
Jelarang
Nutrien
BK
Abu
Protein Kasar
Lemak Kasar
Serat Kasar
BETN

Rataan
Betina
----------------------------------- (%) --------------------------------86,24
90,91
93,67
85,37
89,98
61,49
67,81
71,27
48,22
62,43
85,73
89,92
91,37
81,17
87,49
97,99
98,83
99,26
97,91
98,67
46,52
61,46
80,41
70,20
70,69
94,23
96,14
95,83
92,28
94,75

Jantan

Betina 1

Betina 2

Betina 3

251

Farida & Prijono

Menurut Farida et al. (2008), Farida (2010) sema-

yaitu diatas 90%, yang berarti bahwa secara

kin tinggi tingkat konsumsi bahan kering maka

keseluruhan pakan yang dikonsumsi dapat

nilai kecernaan pakannya menjadi rendah.


Bahan organik yang dapat dicerna atau

dicerna. Nilai TDN dalam bahan pakan yang


dikonsumsi dipengaruhi oleh presentase bahan

Total Digestible Nutrient (TDN) diperoleh dengan

kering, koefisien cerna bahan kering, kandungan

perhitungan mengalikan karbohidrat (serat kasar

mineral dalam bahan kering tercerna dan

dan BETN) dan protein dapat dicerna dengan

kandungan lemak dalam bahan kering tercerna

faktor kelipatan satu dan lemak kasar dapat

(Cullison et al., 2003).

dicerna dengan faktor 2,25. Nutrien (zat-zat


makanan) yang digunakan dalam perhitungan

Rataan nilai TDN baik pada jelarang


jantan maupun betina cukup tinggi yaitu masing

TDN

yang

-masing sebesar 92,68% dan 95,41%. Demikian

merupakan zat makanan sumber energi (protein,

pula nilai konsumsi energi dan koefisien cerna

lemak, serat kasar, dan BETN). Digestible Energy

pada jelarang jantan dan betina tidak jauh ber-

(DE) adalah persentase dari jumlah konsumsi


energi dikurangi energi feces dibagi konsumsi

beda, sehingga
perhitungan TDN jelarang
jantan maupun betina relatif tidak jauh berbeda

energi (Sutardi, 1981). Karbohidrat, protein dan

juga. Dari hasil perhitungan terlihat jelarang

lemak merupakan sumber energi bagi satwa

membutuhkan asupan energi sebesar 91,17 %

sehingga

TDN

atau 4,09 Mkal/kg BK untuk jelarang jantan dan

merupakan pengukuran kandungan energi


tercerna dari pakan sama halnya dengan DE.

93,60 % atau 4,21 Mkal/kg BK untuk jelarang


betina. Tidak terlalu berbedanya nilai DE antara

Dinyatakan oleh Cullison et al. (2003) bahwa

jantan dan betina diduga jelarang mengkonsumsi

persentase DE digunakan untuk menggambarkan

energi yang tinggi tetapi energi yang disekresikan

seberapa besar energi yang tidak disekresikan

dalam feses rendah.

dalam feses yang kemudian dimanfaatkan sebagai

(2003),

energi metabolis jika dikurangi energi yang


disekresikan dalam urin. Rataan TDN dan DE

besarnya energi yang tidak disekresikan dalam


feses yang kemudian dimanfaatkan sebagai energi

jelarang betina lebih tinggi dibandingkan dengan

metabolis jika dikurangi energi yang disekresikan

jelarang jantan (Tabel 10). Secara umum keempat

dalam urin.

adalah

dapat

semua

bahan

diasumsikan

organik

bahwa

Menurut Cullison et al.

persentase DE merupakan gambaran

ekor jelarang, baik jantan maupun betina,


memperlihatkan nilai TDN dan DE yang tinggi

Tabel 10. Energi bruto (GE), total digestible nutrient (TDN), dan digestible energy (DE)
Jelarang
Peubah
Konsumsi GE (kal/ekor/hari)
GE feses (kal/ekor/hari)
GE tercerna
DE (%)
DE (Mkal/kg BK)
TDN (%)

Jantan
2393,03
211,26
2181,77
91,17
4,09
92,68

Betina 1
2303,06
134,66
2168,40
94,15
4,25
96,38

Betina 2
2308,71
93,17
2215,54
95,96
4,36
98,82

Betina 3
1737,28
161,96
1575,32
90,68
4,01
91,03

Rataan
Betina
2116,35
129,93
1986,42
93,60
4,21
95,41

252

Kajian Pemberian Pakan Alternatif terhadap Konsumsi, Kecernaan

Studies on Growth and feed Eficiency of

KESIMPULAN

Beef Cattle. J. Anim. Sci. 22 : 993-999.


Bahan pakan alternatif yang diberikan
pada jelarang dalam penelitian ini mampu dicerna dengan baik oleh jelarang, terbukti tingginya
nilai Total Digestible Nutrient (TDN) dan Digestible Nutrient (DE).

Rataan kebutuhan nutrien

pada jelarang adalah abu 3,040,28%; protein


kasar 15,020,28%; lemak kasar 24,111,31%;
serat
kasar
12,811,17%
dan
BETN
45,040,42% dari konsumsi bahan keringnya.

Church, DC. 1979. Digestive Physiology and


Nutrition of Ruminants. 2nd ed. O & B
Books. Corvalis, Oregon. USA.
Crampton, EW. & LE. Harris. 1969. Applied
Animal Nutrition. W.H. Freeman and Co.
san Fransisco
Cullison, AE., TW. Perry & RS. Lowrey. 2003.
Feeds and Feeding. 6th Ed. Prentice Hall,
New Jersey.

Nilai-nilai tersebut dapat digunakan sebagai pan-

Duckworth, JW., Meijaard, E., Giman, B. &

duan penyusunan ransum dan proses manipulasi

Han, KH. 2008. Ratufa affinis. In: IUCN

pakan bagi jelarang di penangkaran.

2008. IUCN Red List of Threatened Species. Di akses 25 April 2009.

UCAPAN TERIMA KASIH

Farida, WR. , KK. Wardani, AS. Tjakradidjaja, &


D.

Diapari.

2008.

Konsumsi

dan

Peneliti mengucapkan terima kasih kepa-

Penggunaan Pakan pada Tarsius (Tarsius

da Tri Hadi Handayani, S. Si. dan R. Lia R.


Amalia, AMD atas bantuannya dalam analisis

bancanus) Betina di Penangkaran. Biodiversitas 9 (2): 148-151

nutrisi bahan pakan serta Umar Sofyani yang te-

Farida, WR. 2010. Analysisof NutrientRequire-

lah membantu peneliti dalam pengumpulan data

mentand feedefficiency ratio of maroon leaf

di penangkaran.

monkey (Presbytis

rubicunda,

Mueller,

1838). J. Biol. Indonesia 6(2): 255-264.


DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R.

1985. Ilmu Nutrisi Ternak

Unggas. Penerbit Universitas Indonesia.


Jakarta.

Leeson, S. & JD. Summer. 1978. Voluntary self


selection by laying hens mediated through
dietary self selection. Poultry Sci. 19: 417.
Maynard, LA., JK. Loosli, HF. Hintz & RG.
Warner, 1979. Animal Nutrition, 7th edi-

AOAC. 1995. Official Method of Analysis of The


Association of Official Analitycal of Chemist.

tion, pp: 134. McGraw Hill, New York


Mcllroy, RJ. 1976. Pengantar Budidaya Padang

Arlington, Virginia, USA: Published by

Rumput Tropika. Terjemahan. Pradnya

The Association of Analitycal Chemist,

Paramita. Jakarta. 168 hal.

Inc.
Arora, SP. 1989. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Bogart, R., FR. Ampy, AF. Anglemier & WK.
Johnston, Jr. 1963. Some Physiological

Parakkasi, A. 1983. Ilmu Gizi dan Makanan


Ternak Monogastrik, Angkasa. Bandung.
Parakkkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan
Ternak Ruminan. Universitas Indonesia
Press, Jakarta.
Pond, WG., DC. Church & KR. Pond. 1995.
Basic Animal Nutrition and Feeding. 4th
edition. John Wiley and Sons Press, New
253

Farida & Prijono

York.

Bogor.

Roy, JHB. 1970. The Calf Nutrition and Health.

Tillman, AD, H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S.

Vol. 2. Third Edition. Iliffe Books Ltd.


London.

Prawirokusumo & S. Lebdosoekojo. 1991.


Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada

Saiful, AA. & Nordin, M. 2004. Diversity and

University Press.

density of diurnal squirrels in a primary hill

Titus, HW. & JC. Fritz. 1971. The Scientific

dipterocarp forest, Malaysia. Journal of

Feeding of Chicken. 5th ed. The Interstate

Tropical Ecology 29: 45-49.

Publisher, Inc. Denvile. Illionis.

Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian


Makanannya. Diktat Kuliah. Fakultas
Peternakan.

Institut

Pertanian

Bogor,

Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah


Mada University Press, Yogyakarta.
Wilkinson, JM. 2011. Re-defining efficiency of
feed use by livestock. Animal 5 (7): 1014
1022

254

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 255-264 (2013)

Keragaman genetik beberapa aksesi Jagung dari Nusa Tenggara Timur bagian berdasarkan profil Inter Short Sequence Repeat (ISSR)
(Genetic diversity of several accessions of maize from East Nusa Tenggara based on Inter
Short Sequence Repeat (ISSR) profiles)
Kusumadewi Sri Yulita & BP Naiola
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi- LIPI , Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong 16911, Jawa Barat, Indonesia.
Tel. +62-21-8765056, Fax: +62-21-8765063, email: yulita.kusumadewi@gmail.com
Memasukkan: Maret 2013, Diterima: Juni 2013

ABSTRACT
Maize (Zea mays L.) has become second most important cereal crops after rice in Indonesia. Maize is a staple food
and the main crop in subsistence dry land farming system in Nusa Tenggara Timur (NTT). Previous survey suggested that NTT may have contained considereable amount of local landraces of maize that have not been well
recorded. Traditional farmers prefer to use traditional landraces than popular hybrid maize due to their superior
features such as less susceptible to weevil attack and well adapted to local environment. Hence, farmers were continuously grow local landraces to meet the demand for their food security. Information on diversity of local landraces is very important for improving landrace germ plasm. The objective of this study is to assess genetic and
phenotypic diversity of 15 accessions of maize from nine putative landraces collected from six locations in NTT
based on Inter Short Sequence Repeat (ISSR) fingerprints and few morphological charcters. Five ISSRs primers
(UBC 809, 822, 834, 876 and 892) were initially screened and two (UBC 809 and 834) were selected for the analysis. These primers generated 16 scorable bands with two monomorphic bands, i.e. UBC 809 at 700 bp and UBC
834 at 900 bp. Clustering analysis was performed based on ISSR profiles using the UPGMA method. The range of
genetic similarity value among accessions was 0.30-0.80 suggesting sufficient variation of gene pool existed among
accessions. Combined data set of ISSR and morphological data suggested a higher diversity with a cofficient of
distance range from 0.52 to 1.25. Same as a single data set deduced from ISSR profile, none of the accessions
were clustered according to their landraces nor their progeny.
Keywords: Maize, NTT, ISSR, genetic diversity

ABSTRAK
Di Indonesia, Jagung (Zea mays L.) merupakan sumber biji-bijan kedua terpenting setelah beras. Jagung bahkan
telah menjadi makanan pokok wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terkenal dengan sistem pertanian lahan
keringnya. Survai terdahulu menunjukkan bahwa di NTT terdapat beberapa jagung ras lokal yang belum terekam
sepenuhnya. Petani-petani tradisional lebih suka menggunakan jagung ras lokal dibandingkan jagung hibrid yang
lebih populer karena jagung ras lokal sudah terbukti tahan terhadap serangan sejenis kumbang dan juga sudah
teradaptasi dengan baik pada lingkungan yang kering. Oleh karena itu petani-petani lokal secara terus menerus
menggunaka jagung ras lokal untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Informasi mengneai keragaman plasma nutfah jagung ras lokal sangat penting untuk pengembangan plasma nutfah jagung. Tujuan dari peneliian ini
adalah untuk memperkirakan keragaman genetik dan fenotipik dari 15 aksesi jagung yang berasal dari sembilan ras
yang dikoleksi dari enam lokasi di NTT berdasarkan sidik Inter Short Sequence Repeat (ISSR) dan beberapa
karakter morfologi. Lima primer ISSR (UBC 809, 822, 834, 876 dan 892) diskrin dan dua diantaranya (UBC
809 dan 834) terseleksi untuk analisis. Primers ini menghasilkan 16 pita yang dapat diskor dengan dua pita monomorfik, yaitu UBC 809 pada ukuran 700 bp dan UBC 834 pada ukuran 900 bp. Analisis pengelompokkan
dibuat berdasarkan profil ISSR menggunakan metoda UPGMA. Jarak genetik berkisar antara 0.30-0.80 yang
menunjukkan adanya keragaman genetik yang cukup luas antar akesesi jagung. Analisis yang menggabungkan
profil ISSR dan karakter morfologi menghasilakan keragaman genetik yang lebih tinggi yang ditunjukkan lewat
koefisien jarang genetik yang lebih luas, yaitu antara 0.52-1.25. Sebagaimana halnya dengan data dari profil ISSR,
data gabungan juga menunjukkan bahwa seluruh aksesi tidak mengelompok berdasarkan rasnya atau progeninya.
Kata Kunci: Jagung, NTT, ISSR, keragaman genetik.

255

Yulta & Naiola

kan pondasi dasar dalam program pemuliaan un-

PENDAHULUAN

Jagung merupakan sumber pangan bijibijan kedua terpenting setelah beras, pemerintah
Indonesia bahkan telah mencanangkan swasembada jagung pada tahun 2007 (Swastika et al. 2004;
Azrai 2006). Jagung telah menjadi sumber karbohidrat utama di beberapa provinsi di Indonesia,
yaitu Jawa Timur, NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tenggara dan Papua. Saat ini ada lima provinsi
di Indonesia penghasil jagung terbesar, yaitu Propinsi Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur
(Rachman, 2003). Produksi jagung di Indonesia
mengalami kenaikan rata-rata 4.07% per tahun
sejak tahun 1970 hingga 2001 (Swastika et al.
2004) dan mencapai 1.4 juta ton pada tahun
2006 (AFSIS 2009). Kenaikan produksi ini terutama disebabkan oleh berkembangnya teknologi
dalam merakit varietas unggul, termasuk jagung
hibrida. Penanaman jagung hibrida dinyatakan
lebih menguntungkan daripada menanam jagung
bersari bebas atau varietas lokal

(Suhariyanto,

2000). Di Indonesia hingga saat ini telah dilepas


33 varietas unggul dan menyebar cukup luas di
Indonesia. Dengan banyaknya penggunaan varietas unggul oleh petani maka ras lokal (landraces)
bisa terdesak atau bahkan musnah. Padahal gengen yang terdapat pada ras lokal yang saat ini
kelihatan tidak berguna, akan berguna di masa
mendatang yang diperlukan untuk membentuk
varietas unggul baru. Selain itu kemungkinan
pada gen-gen yang terdapat di ras lokal mengandung gen-gen unggul untuk ketahanan terhadap
penyakit tertentu misalnya jagung ras lokal NTT
yang menurut petani rentan terhadap serangan
serangga kumbang tertentu (Hosang et al. 2010),
umur genjah, dan tahan terhadap cekaman lingkungan

yang

cukup

ekstrim

(misalnya

kekeringan, salinitas dan genangan).


Keragaman genetik plasma nutfah merupa-

tuk menghasilkan varietas unggul.. Pada prinsipnya varietas unggul atau hibrida unggul dirakit
dengan melalui tahapan evaluasi plasma nutfah
dan pemilihan tetua, pembentukan galur-galur
baru yang murni, pengujian multi lingkungan,
pelepasan varietas baru dan perbanyakan benih
(Febriani et al. 2008). Koleksi plasma nutfah jagung telah dilakukan sejak akhir abad 19 di Lembaga Pertanian Bogor dan saat ini dilanjutkan
oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik (BB Biogen) Bogor dan Balai Penelitian Tanaman Serelia
Maros. Jumlah koleksi plasma nutfah jagung nasional di kedua Lembaga tersebut masing-masing
886 dan 660 aksesi. Hal ini sangat jauh
dibandingkan dengan Lembaga International
Penelitian Jagung Mexico (CIMMYT) yang
memiliki koleksi sebanyak 11,000 aksesi dan
Amerika Serikat yang memiliki lebih dari 15,000
aksesi (Sutoro dan Zuraida).

Untuk wilayah

NTT sendiri, koleksi plasma nutfah jagung baru


dilakukan sejak setahun yang lalu oleh BB Biogen
(Bora, 2013 pers. comm.) dan sejak dua tahun
lalu oleh Puslit Biologi-LIPI (Naiola et al. 2011,
2012).
Keberhasilan upaya pemuliaan tanaman
jagung ditentukan oleh ketersediaan informasi
dari beberapa parameter misalnya keragaman genetik, fenotipik dan kekerabatan genetik (Febriani
et al. 2008). Oleh karena itu sebelum ras lokal ini
secara genetik tergusur oleh varietas unggul yang
populer ditanam oleh petani, sangat penting untuk dilakukan koleksi plasma nutfah dan
melakukan karakterisasi genetik dan fenotipiknya.
Keragaman genetik dan fenotipik yang luas akan
memudahkan para pemulia untuk melakukan
seleksi secara efektif.

Sedangkan informasi

kekerabatan diantara aksesi plasma nutfah akan


mudahkan penentuan galur-galur yang akan di-

256

Keragaman genetik beberapa aksesi Jagung dari Nusa Tenggara Timur

jadikan sebagai tetua pembentuk populasi baru

(Tabel 1), yaitu tiga lokasi di Kupang (Desa Oe-

(Ruswandi et al. 2005). Selain itu, karakterisasi

masi Kecamatan. Nakamese, Desa Neonbesi

molekuler berupa sidik DNA diperlukan dalam


perlindungan galur elit pemulia dari pencurian

Kecamatan Amarasi, dan Desa Fatukona, Kecamatan Fatuleu), Desa Ekafalo Kabupaten Timor

(klaim) oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Tengah Utara dan dua lokasi di Atambua (kota

Dengan demikian efisiensi pemuliaan dapat dit-

Atambua dan Desa Leosama Kabupaten Belu)

ingkatkan melalui seleksi secara terarah dan

(Gambar 1).

efisien.

dikoleksi berupa biji jagung yang dikeringkan

Studi ini berfokus pada populasi jagung


yang ada di NTT, karena berdasarkan survai pen-

dibawah terik matahari.


Total DNA genom diisolasi dari biji jagung

dahuluan NTT memiliki keragaman plasma

yang berasal dari tongkol jagung yang memiliki

nutfah jagung yang cukup tinggi di Indonesia.

warna seragam. Karena koleksi ini merupakan ras

Saat ini telah dilakukan koleksi plasma nutfah

lokal yang bersari bebas maka ada beberapa ko-

jagung sebanyak 19 aksesi yang berasal dari sembilan ras dari enam lokasi di Pulau Timor (Naiola

leksi yang didapat masih memiliki tongkol yang


memiliki biji beragam warna akibat penyerbukan

et al. 2011; Naiola et al. 2012). Penelitian ini

silang. Sebanyak 0,5 gram biji jagung dihancur-

bertujuan untuk mendapatkan sidik DNA jagung

kan dan diisolasi total genom DNA dengan

NTT dan mempelajari keragaman genetik dan

menggunakan protokol CTAB (Doyle & Doyle

fenotipiknya berdasarkan marka Inter Simple Sequence Repeats dan Simple Sequence Repeats

1990) yang dimodifikasi dengan perlakuan


RNAse 200 g/mL. Lima L total DNA genom

(ISSR) dan beberapa karakter morfologi. Inter-

dielektrophoresis dalam 0.7% gel agarosa dalam

simple sequence repeats (ISSR) merupakan marka

larutan penyangga TAE, kemudian diwarnai den-

molekuler berbasis PCR, yang mengamplifikasi

gan ethidium bromida dan difoto dengan meng-

daerah diantara dua ulangan nukleotida pendek

gunakan gel documentation system (Atto Bioinstru-

(mikrosatelit) (Zietkiewicz et al. 1994). Keuntungan utama dari marka ini adalah dapat

ment). DNA yang telah diisolasi disimpan dalam


-20C.

menganalisia multiple lokus dalam reaksi tunggal.

Primer yang digunakan pada penelitian ini

ISSR telah banyak digunakan untuk mendeteksi

adalah primer universal ISSR dari set UBC 809,

keragaman genetik dan kekerabatan genetik

822, 834, 876 dan 892. Volume total reaksi PCR

(Rucinska & Puchalski 2010; Isshiki et al. 2008;


Liu et al. 2006), identifikasi genotipe (Fracaro &

adalah 15 ml yang terdiri atas 1x PCR Master Mix


(Fermentas), 2 M primer (Promega), dan ~10 ng

Echeverrigaray 2006; Mattioni et al. 2002) serta

DNA template. Kondisi mesin PCR untuk ampli-

identifikasi mutan (Campbell et al. 2011; Yadav et

fikasi ISSR adalah sebagai berikut: denaturasi awal

al. 2006).

pada suhu 940C selama 5 menit, diikuti oleh 30

Material untuk DNA analisis

siklus yang terdiri dari: fase denaturasi (940C selaBAHAN DAN CARA KERJA

ma 1 menit); fase penempelan (500C selama 45


detik) dan fase pemanjangan (720C selama 2

Koleksi jagung dari NTT telah dilakukan

menit). Setelah 30 siklus selesai, proses amplifikasi

sejak tahun 2011 dan 2012 (Naiola et al. 2011;

PCR diakhiri dengan fase pemanjangan pada su-

Naiola et al. 2012) di enam lokasi Pulau Timor

hu 720 C selama 5 menit. Reaksi PCR diulang

257

Yulta & Naiola

Tabel 1. Daftar koleksi material DNA Jagung asal Pulau Timor berserta karakter bulir jagung..

Nomor
aksesi

Nama lokal

Lokasi

Panjang
Tongkol
(cm)
?

J1#1

Pena taume

Ds. Oemasi, Kec. Nakamese, Kupang

J2#1

Pena masa

Ds. Ekafalo, Kab. Timor Tengah Utara

10.2

J4#1

Pena no seo

10.6

J5#1

Batarlai mean

J6#1

Pena pulu

Dusun Takentade, Ds. Leosama,


Atambua
Dusun Takentade, Ds. Leosama,
Atambua
Desa Oemasi, Kec. Nakamese, Kupang

J7#2

Pena boto

Ds. Oemasi, Kec. Nakamese, Kupang

10.4

J8#1

Pena liat

Ds. Oemasi, Kec. Nakamese, Kupang

J8#2

Pena liat

Ds. Oemasi, Kec. Nakamese, Kupang

J9#1
J9#2

Batarlai mutin Dusun Takentade, Ds. Leosama,


Atambua
Pena muti
Ds. Ekafalo, Kab. Timor Tengah Utara

J9#3

Puti

Ds.Ekafalo, Kab. Timor Tengah Utara

J9#5

Pena muti

J10#1

Pena molo1

Dusun Takentade, Ds. Leosama,


Atambua
Ds. Oemasi, Kec. Nakamese, Kupang

J10#2

Pena molo 2

Ds. Oemasi, Kec. Nakamese, Kupang

15.6

J10#3

Pena molo

Ds.Ekafalo, Kab. Timor Tengah Utara

17.75

Warna

Rerata ukuran

bulir

bulir (pxl) (cm)

Kuning, Putih

10x10

Kuning (majority),
Putih, ungu
Putih (majority),
Kuning
Putih, Kuning,
Ungu
Putih

8.8x8.4

8.2x8.3

8.3

Putih, Kuning,
Ungu
Putih, Kuning

8.0

Putih

6.8x7.3

10.2

Putih, Kuning,
Ungu

8.6x8.4

11.2

Putih

13.5

Kuning,
Kecoklatan, Putih
Kuning, Kuning
bercak putih
Kuning, kuning
bercak putih,

12.3
?

7.9x8.0
9.0x8.2
7.0x8.9

7.9x8

10.8x10.3
9.2x9.1
9.7x9.6
11.3x9.5

sebanyak dua kali untuk memastikan keberulan-

qualitative data) untuk menghitung koefisien

gan dan konsistensi hasil PCR.


Setiap pita ISSR dianggap sebagai satu

kesamaan Jaccard. Matriks kesamaan ini kemudian digunakan untuk membuat dendrogram UP-

lokus putatif. Hanya lokus yang menunjukkan

GMA (unweighted pair group method with arit-

pita yang jelas yang digunakan untuk diskor 1 bila

methical average).

ada pita dan 0 bila tidak ada pita. Analisis data

Sementara itu nilai rata-rata dari karakter

dilakukan dengan menggunakan program NTSYS

bulir jagung (panjang tongkol, warna bulir, pan-

-pc (Numerical Taxonomy System, version 2.02i,


Rohlf 1998). Data skoring dikelompokkan hing-

jang, dan lebar bulir) diskor sebagai karakter


kuantitif dan secara multistate (misalnya 0 1 2 dan

ga membentuk matriks binari di program Mi-

seterusnya) dan distandarisasi dengan program

crosoft Excel. Matriks tersebut kemudian diolah

STAND (Standarization) dalam program NTSYS

menggunakan program SIMQUAL (Similarity for

-pc, hal ini dilakukan untuk menghindari bias

258

Keragaman genetik beberapa aksesi Jagung dari Nusa Tenggara Timur

dikarenakan kisaran nilai karakter yang terlalu

kor.

Sedangkan dari pola pita ISSR yang

besar atau terlalu kecil. Selain itu, standarisasi

dihasilkan oleh UBC 809 dan UBC 834, hampir

perlu dilakukan terutama untuk warna bulir jagung karena pada beberapa aksesi masih

seluruhnya adalah pita polimorfik, kecuali pita


ukuran 700 bp pada UBC 809 dan 900 bp pada

ditemukan tongkol jagung dengan beberapa

UBC 834 (Gambar 1). Dengan demikian kedua

warna sebagai akibat dari penyerbukan silang.

pita ini merupakan pita umum yang kemung-

Data matriks morfologi dan yang diperoleh me-

kinan besar dapat digunakan sebagai sidik pada

lalui program STAND selanjutnya digabungkan

aksesi jagung NTT pada studi ini.

dengan data matrix ISSR dan dihitung kesamaannya dengan program SIMINT (Similarity for

Analisis pengelompokkan

Interval Data) menggunakan koefisien DIST

Analisis kluster dan ordinasi dilakukan un-

(Distance) dalam program NTSYS-pc. Matriks

tuk mengetahui kemiripan profil ISSR antar ras/

dari program SIMINT kemudian dikelompokkan

aksesi.

menjadi dendrogram melalui program SAHN


menggunakan metode pengelompokan UPGMA.

kluster menandakan adanya tingkat kesamaan


yang tinggi di antara lokus DNAnya yang di-

Pengelompokkan aksesi ke dalam satu

tujukkan melalui koefisien kesamaan.

Analisis

kluster menunjukkan pemisahan aksesi jagung ke

HASIL

dalam kluster yang mengelompok tidak berdasarProfil umum pita ISSR


Dari kelima primer yang digunakan, yang

kan rasnya (Gambar 2). Nilai koefisien kesamaan


genetik ke-15 aksesi jagung berkisar antara 30%

menghasilkan produk amplifikasi hanya pada tiga

hingga 80%. Rentang 50% ini menunjukkan

primer, yaitu UBC 809, 822 dan 834. Dan dari

keragaman genetik yang sedang.

ketiga primer ini hanya primer UBC 809 yang

kluster menunjukkan adanya dua kluster utama

menghasilkan produk untuk seluruh sampel. Ada

(A dan B) dengan satu aksesi yang tidak menge-

beberapa aksesi yang tidak teramplifikasi, ayitu


aksesi 5, 6, 11, 12 dan 13 pada UBC 822 dan 19

lompok (J92, Pena muti yang berasal dari Ekafalo). Kluster A (koefisien kesamaan ~44%) terdiri

pada UBC 834. dengan menggunakan kedua pri-

lima aksesi yang sebagian besar berasal dari

mer ini, terdapat 16 pita yang jelas dan dapat dis-

Kupang, sedangkan kluster B (koefisien kesamaan

Hasil analisis

Gambar 1. Foto gel elektroforesis genotipe jagung. a) UBC 809, b) UBC 822, c) UBC 834, M: GeneRuler 100bp
Plus (Fermentas). Nomor aksesi jagung sesuai dengan Tabel 1. Angka dengan warna merah, biru dan hijau
menunjukkan masing-masing warna adalah varietas jagung yang sama (Tabel Lampiran 1). Anak panah menunjukkan pita monomorfik.
259

Yulta & Naiola

JII
J82
J61
J102
J93
J21
J103
J91
J101
J41
J81
J51
J72
J95
J92

0.30

0.43

0.55
Jaccard Coefficient of Similarity

0.68

0.80

Gambar 2. Diagram pengelompokkan UPGMA berdasarkan profil ISSR pada jagung NTT. Nomor aksesi
sesuai dengan tabel 1. Garis putus-putus vertikal: garis referensi.

JII
J102
J101
J103
J61
J82
J41
J72
J51
J21
J91
J92
J93
J95
J81
0.52

0.71

0.89
Coefficient of DIST

1.07

1.25

Gambar 3. Diagram pengelompokkan UPGMA berdasarkan data ISSR dan morfologi pada jagung NTT. Nomor
aksesi sesuai dengan tabel 1. Garis putus-putus vertikal: garis referensi. Lingkaran menunjukkan
pengelompokkan yang sama dengan diagram ordinasi 3-dimensi (Gambar 4). Anak panah menunjukkan
aksesi yang terpisah dari kluster utama.

~49%) terdiri atas delapan aksesi yang sebagian

gabungkan profil ISSR dan data bulir jagung

besar berasal dari Ekafalo dan Atambua. Semen-

menghasilkan dendrogram yang berbeda (Gambar

tara itu terdapat dua aksesi yang paling mirip


(koefisien kesamaan 80%), yaitu Pena no seo

3). Rentang jarak morfologi 0.73 menunjukkan


keragaman yang cukup tinggi, lebih tinggi dari

dari Atambua dan Pena boto dari Ds. Oemasi,

profil ISSR. Aksesi J81 (Pena liat dari Desa Oe-

Kupang.

masi, Kec. Nekamese, Kupang) terpisah dari

Analisis pengelompokkan yang telah meng-

aksesi lainnya dengan Koefisien Jarak (KJ) morfol260

Keragaman genetik beberapa aksesi Jagung dari Nusa Tenggara Timur

ogi 1.25.

Aksesi ini memiliki bulir berwarna

inilah yang merupakan sidik DNA setiap varietas/

putih dengan tongkol yang berukuran relatif pen-

aksesi. Pengamatan terhadap pola pita DNA hasil

dek. Pada dendrogram ini, aksesi cenderung


mengelompok berdasarkan kultivar/groupnya

amplifikasi menunjukkan profil DNA yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh perbe-

Pena molo (J10.1, J10.2 dan J10.3) menge-

daan urutan nukleotida pada keempat primer

lompok pada KJ 0.70. Pena molo memiliki bulir

yang digunakan, sehingga menyebabkan perleka-

yang didominari warna kuning tua, kuning ke-

tan primer di sepanjang DNA genom sampel juga

coklatan dan kemerahan serta bulir berukuran

berbeda. Pita yang dihasilkan setelah amplifikasi

cukup besar. Kultivar ini memiliki kemiripan


dengan Pena Taume (J1.1) yang juga memiliki

DNA dengan PCR sangat bergantung pada


bagaimana primer mengenal daerah komple-

ukuran bulir cukup besar. Kultivar 'Pena muti/

mennya pada cetakan (template) DNA yang

Batarlai mutin' (J9.1, 2, 3 dan 5) walaupun mem-

digunakan. Semakin banyak situs penempelan

iliki KJ yang cukup besar (0.8-1.10) juga terletak

dari primer yang digunakan, maka semakin ban-

saling berdekatan (Gambar 3 dan 4). Sedangkan


aksesi yang memiliki kesamaan genetik paling

yak jumlah pita DNA yang dihasilkan (Tingey et


al., 1994). Selanjutnya Cowder (1997) menjelas-

tinggi adalah J1.1 (Pena taume daro Ds. Oemasi)

kan bahwa keragaman genetik terjadi karena

dan J10.3 (Pena molo dari ds. Ekafalo), keduanya

adanya segregasi dan interaksi gen. Oleh karena

memiliki ukuran bulir yang cukup besar (>10 cm)

ISSR dan RAPD merupakan marka yang

dengan dominasi warna kuning.

menggunakan primer acak sehingga pita-pita yang


dihasilkan dari proses amplifikasi merupakan frag-

PEMBAHASAN

men DNA di genom yang sifatnya acak juga, baik


berasal dari daerah coding (gen) atau non-coding.

Seluruh profil ISSR berupa sekumpulan

Dengan demikian, keragaman profil pita DNA

pita-pita DNA dianggap sebagai lokus putatif dan

yang diperoleh juga mencerminkan keragaman

merupakan sidik DNA aksesi. Keseluruhan profil


pita yang dihasilkan dari amplifikasi primer ISSR

kedua macam daerah tersebut.

J93
J95
J82
J61

J51
J72

J101

JII
J102

J41
J103
J92

J81
J91
J21

Gambar 4. Diagram 3-dimensi PCA pada jagung NTT. Nomor aksesi sesuai dengan tabel 1 Lingkaran menunjukkan pengelompokkan yang sesuai dengan diagram pengelompokkan pada Gambar 4. Anak panah
menunjukkan aksesi yang terpisah dari kluster utama.
261

Yulta & Naiola

Perbedaan hasil analisis antara data dari

Dalam bidang pemuliaan tanaman adalah penting

profil ISSR dan data set gabungan adalah pada

untuk mengetahui properti genetik individu tana-

rentang jarak genetik yang lebih luas yang


ditemukan pada data gabungan.
Dengan

man yang akan dikembangkan. Tanaman yang


memiliki jarak genetik yang dekat menggam-

demikian variasi karakter bulir jagung juga mem-

barkan tingginya kesamaan genetik yang apabila

beri kontribusi terhadap keseluruhan variasi.

dikawinsilangkan akan menghasilkan individu

Menurut Febriani et al. (2008) keragaman genetik

tanaman dengan memiliki keragaman genetik

dan fenotipik yang luas dapat menunjukkan adan-

yang rendah.

ya kondisi lingkungan tumbuh yang optimal yang


ditunjukkan dari hasil penelitian mereka pada 39

akan berimplikasi terhadap kesintasan individu


yang juga cukup rendah karena kurang be-

galur murni jagung dengan menggunakan 19

ragamnya gen yang diturunkan dari indukan.

karakter morfologi dan agronomi. Namun pada

Dengan demikian identifikasi molekuler dan ana-

penelitian ini hanya digunakan sejumlah kecil

lisis pengelompokkan terhadap individu target

karakter morfologi sehingga rentang jarak genetik


yang lebih luas ini kemungkinan besar hanya

sangat penting untuk dilakukan untuk mengetahui properti genetik suatu tanaman sebelum

disebabkan oleh lebih banyaknya jumlah karakter

melakukan proses budidaya lebih lanjut.

Keragaman genetik yang rendah

yang digunakan dalam analisis. Sedangkan untuk


analisis pengelompokkan, gabungan data set
cenderung menghasilkan pengelompokkan secara
acak yang tidak bergantung pada ras maupun

KESIMPULAN DAN SARAN


Identitas

aksesi

jagung

NTT

yang

provenans. Hal ini secara tidak langsung menun-

digunakan pada studi ini bisa dilacak dari

jukkan bahwa aksesi jagung yang diamati

keberadaan pita ukuran 700 bp pada UBC 809

kemungkinan telah mengalami kawin silang

dan 900 bp pada UBC 834. tetapi tidak ada pita

dengan intensitas yang cukup tinggi hasil budi-

spesifik yang dapat menunjukkan identitas kulti-

daya lokal yang cukup lama berlangsung sehingga


isi genom merupakan campuran dari berbagai

var. Identitas yang lebih akurat bisa ditanggulangi


dengan penggunaan marka molekuler dan sampel

indukkan dan progeni. Berdasarkan data ISSR,

jagung yang lebih banyak. Rentang keragaman

aksesi J92, yaitu Pena muti yang berasal dari

genetik berdasarkan profil ISSR saja dan gabun-

Ekafalo Kab. TTU merupakan aksesi yang paling

gan antara ISSR dan karakter buli jagung sebesar

berbeda secara genetik dari aksesi lainnya. Aksesi


ini kemungkinan telah mengalami differensiasi

50-73% pada studi ini menunjukkan keragaman


genetik yang sedang. Sedangkan hasil analisis

genetik terpisah dari pena muti lainnya, baik yang

pengelompokkan dan ordinasi menunjukkan bah-

sama-sama yang berasal dari TTU (J9.3) maupun

wa aksesi jagung yang digunakan pada studi ini

dari Atambua (J91 dan J9.5). Hasil yang berbeda

mengelompok secara acak dan tidak berdasarkan

diperoleh dari penggabungan kedua data, dimana

ras ataupun progeni.

Pena liat yang berasal dari Desa Oemasi Kupang


yang paling berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Hasil analisis pengelompokkan dan ordinasi menggambarkan kesamaan genotipe antar


aksesi jagung yang terukur dari jarak genetik.

AFSIS. 2009.

ASEAN Food Security Infor-

mation and Training (AFSIT) Project,

262

Keragaman genetik beberapa aksesi Jagung dari Nusa Tenggara Timur

AFSIS, Bangkok.

(Lamiaceae), an endemic species of Qi-

Azrai, M. 2006. Sinergi teknologi marka moleku-

anghai-Tibet Plateau. Genetica 28:385-394.

ler dalam pemuliaan tanaman jagung.


Jurnal litbang Pertanian 25(3): 81-89

Mattioni, C., M. Casasoli, M. Gonzales, & R.


Ipinza. 2002. Comparison of ISSR and

Campbell, BC., S. LeMare, G. Piperidis, & ID.

RAPD markers to characterise three Chile-

Godwin. 2011. IRAP, a retrotransposon-

an Notofagus species. Theor. Appl. Genet.

based marker system for the detection of

104: 1064-1070.

somaclonal variation in barley. Molecular

Naiola BP, T Murningsih, W Widiyono,

Breeding 27(2): 193-206.


Doyle, JJ. & JL. Doyle. 1990. Isolation of plant

Saefudin, SB. Sulianti, & F Syarif. 2011.


Pengembangan Model Usahatani Berbasis

DNA from fresh tissue. Focus 12: 13-15.

Energi Matahari dan Embung pada Tana-

Fracaro, F. & S. Echeverrigaray. 2006. Genetic

man Jagung dan Hortikultura di Kabupat-

variability in Hesperozygis ringens Benth.

en Kupang, NTT. Laporan Akhir Program

(Lamiaceae), an endangered aromatic and


medicinal plant of Southern Brazil. Bio-

Insentif Peneliti Dan Perekayasa LIPI Tahun


2011. Lembaga Ilmu Pengetahuan

chem genet 44(11/12). DOI: 10.1007/

Indonesia dan Kementerian Riset dan

s10528-006-9044-z

Teknologi.

Febriani, Y., S. Ruswandi, M. Rachmady, & D.

Naiola BP, T Murningsih, Kusumadewi S. Yulita,

Ruswandi. 2008. Keragaman galur-galur


murni elite baru jagung Unpad di

Saefudin, & SB. Sulianti. 2012. Penyediaan Kebutuhan Pakan Ternak Berbasis

Jatinangor-Indonesia. Zuriat 19(1): 104-

Limbah Tanaman Jagung Varietas Lokal

115.

NTT untuk Mendukung Program Sejuta

Hosang, EY., MW. Shuterland, NP. Dalgliesh,

Sapi Nasional. Laporan Akhir Insentif Pen-

JPM. Whish. 2010. Agronomic perfor-

ingkatan

mance of landrace and certified seeds of


maize in West Timor, Indonesia. In: H.

Perekayasa. Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa. Lembaga

Dove and RA. Culvenor. Proceeding of the

Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Kemen-

5th Agronomy confrence 2010. 15-18

terian Riset dan Teknologi.

Novermber 2010. Lincoln, New Zealand.

Kemampuan

Peneliti

dan

Rachman, B. 2003. Dinamika harga dan

(http://regional.org.au/au/asa/2010/
farming-systems/

perdagangan komoditas jagung. Socioeconomic Agri. Agribus. (SOCA) J. 3(1): 1-

interna-

15.

tional/7190_hosangey.htm#TopOfPage)
Isshiki, S., N. Iwata, & MMR. Khan. 2008.
ISSR variation in eggplant (Solanum

Rohlf, FJ. 1998. NTSYS-PC. Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis. Version
2.02i. New York: Exeter Software.

melongena L.) and related Solanum species.


Sci. Hort. 117: 186-190

Rucinska, A., & J. Pulchaski. 2010. Comparative


molecular studies on the genetic diversity

Liu, J., L. Wang, Y. Geng, Q. Wang, L. Luo, &

of an ex situ garden collections and its

Y. Zhong. 2006.

Genetic diversity and

source population of the critically endan-

population structure of Lamiophlomis rotate

gered polish endemic plant Cochlearia po-

263

Yulta & Naiola

lonica E. Frochlich.

Biodivers Conserv

DOI: 10.1007/s10531-010-9965-z
Ruswandi, D. N. Wicaksana, MB Pabendon, M.
Azrai, M. Rachmadi, A. Ismail, N. Carsono, F. Damayanti, & F. Kasim. 2005.

Sudana, R. Hendayana, RV. Gerpacio, &


PL. Pingali. 2004. Maize in Indonesia: Prodoction Systems, Constraints, and Research
Priorities. Mexico, DF.: CCMYT. 40 pp.
Tingey,

SV., JA. Rafalski, & MK. Hanafey.

Molecular characterization of quality pro-

1994. Genetic analysis with RAPD mark-

tein

ers. In: Coruzzi C, Puidormenech P (eds).

maize and downy mildew re-

sistance lines

Plant Molecular Biology. Berlin: Pringer. p.

based on simple sequence repeats (SSRs).


Zuriat 16(1): 21-37.
Suhariyanto, K. 2000.

491-498.
Yadav, PV., KU. Suprasanna , Gopalrao, & BV.

Maize production and

Anant. 2006. Molecular profiling using

cost structure in Indonesia. Presented at

RAPD technique of salt and drought toler-

the third annual workshop of the Asian

ant regenerants of sugarcane. Sugar Tech.

Maize Socio Economics Working Group in


Ho Chin Minh City, Vietnam, 26-29 June

8(1): 63-68.
Zietkiewicz, E., A. Rafalski, & D. Labuda. 1994.

2000.
Sutoro & N. Zuraida. Penglolaan Plasma Nutfah
Jagung. Http://pustaka.litbang.deptan.go.
id/bppi/lengkap/bppi10252.pdf
Swastika, DKS., F. Kasim, K. Suhariyanto, W.

Genomic fingerprinting by simple sequence repeat (SSR)-anchored polymerase


chain reaction amplification.

Genomics

20:176-183.

264

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 265-281 (2013)

Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat


(Palm in Bukit Baka-Bukit Raya National Park, West Kalimantan)
Himmah Rustiami
Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi LIPI
Cibinong Science Center, Jl. Raya Jakarta Bogor Km 46, Cibinong. E-mail: himmah@hotmail.com
Memasukkan: April 2013, Diterima:Juli 2013
ABSTRACT
Field work of palm diversity in Bukit Baka-Bukit Raya National Park had been conducted and revealed 17 species of
palms, namely Caryota, Iguanura, Licuala, Pinanga, as well as 4 Calamus spp., 5 Daemonorops spp., and 3 Korthalsia
spp. Seven species out of those seventeen species were recorded as endemic in Kalimantan, namely Caryota no,
Iguanura macrostachya, Licuala borneensis, Pinanga tomentella, Calamus pogonacanthus, Daemonorops microstachys dan
Daemonorops sp. 1. Identification key, species description, synonym and other information related to the species
reported in this paper.
Keywords: Palm diversity, Bukit Baka-Bukit Raya National Park, endemic, Kalimantan
ABSTRAK
Eksplorasi tentang keanekaragaman jenis palem yang telah dilakukan di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya
(TNBB-BR) mencatat sebanyak 17 jenis palem masing-masing dari marga Caryota, Iguanura, Licuala, Pinanga, serta
4 Calamus spp., 5 Daemonorops spp., dan 3 Korthalsia spp. Dari ketujuhbelas jenis palem tersebut tujuh jenis
diantaranya adalah endemik Kalimantan yaitu Caryota no, Iguanura macrostachya, Licuala borneensis, Pinanga
tomentella, Calamus pogonacanthus, Daemonorops microstachys dan Daemonorops sp. 1. Kunci identifikasi beserta
pertelaan, sinonim dan informasi tiap jenis disajikan dalam makalah ini.
Kata Kunci: Keanekaragaman jenis, palem, TNBB-BR, endemik, Kalimantan

PENDAHULUAN

inventarisasi tumbuhan sehingga dapat digunakan


sebagai rekomendasi usulan Cagar Alam Bukit

Penelitian ini dilakukan di Desa Nanga


Siyai yang terletak di Kecamatan Menukung, Ka-

Baka-Bukit Raya menjadi Taman Nasional. Hasil


penelitian tersebut menghasilkan 34 jenis dari 11

bupaten Sintang, Kalimantan Barat. Desa Nanga

marga,10 jenis palem diantaranya masih belum

Siyai terletak pada ketinggian 286 m dpl dengan

dapat diidentifikasi sampai tingkat jenis (Mogea

posisi pada S 003533,9 dan E 1121407,7.

& de Wilde 1982; Mogea 1987). Tantra dkk.

Kawasan perbukitan yang terletak tidak jauh dari

(1983) juga melakukan perjalanan ke Cagar Alam

desa Nanga Siyai termasuk dalam kawasan Taman


Nasional Bukit Baka-Bukit Raya. Kawasan terse-

Bukit Raya dalam rangka mengembangkan


kegiatan terpadu pada area hutan serta wilayah

but diduga menyimpan keanekaragaman flora

sekitarnya yang berkaitan dengan program Man

yang unik dan layak untuk dijelajah. Lokasi yang

& the Biosphere (MAB). Jarvie et al. (1998) lebih

sempat dijelajah antara lain kawasan perbukitan

lanjut melaporkan bahwa di lokasi tersebut

yang terletak di Km 28, 35, 37, 39 dan 41.


Penelitian ke Kalimantan Barat terutama

terdapat 17 jenis palem dari 7 marga. Namun


hingga saat ini keanekaragaman palem di wilayah

wilayah hutan Sungai Samba serta kawasan

tersebut hanya berupa daftar jenis sedangkan

pegunungan di Bukit Baka sudah pernah

informasi keanekaragaman palem yang dilengkapi

dilakukan oleh Mogea dkk., untuk mengetahui

dengan kunci identifikasi, pertelaan tiap jenis dan

ekologi hutan primer dataran rendah serta

keterangan lainnya belum pernah dilaporkan


265

Himmah Rustiami

dalam jurnal ilmiah ataupun publikasi lainnya.

1913; 1918; Dransfield 1979, 1984; Hahn &

Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah

Sytsma 1999).

untuk menyediakan informasi keanekaragaman


palem di kawasan tersebut yang dilengkapi

HASIL

dengan kunci identifikasi, pertelaan tiap jenis


Dari

maupun informasi lainnya.

hasil

penelitian

ini

diperoleh

delapan belas jenis palem dari delapan marga.


Dari delapan belas jenis palem tersebut terdiri dari

BAHAN DAN CARA KERJA


Lokasi penelitian yang dikunjungi dalam

marga Calamus, Caryota, Daemonorops, Iguanura,


Korthalsia, Licuala dan Pinanga. Untuk Calamus
terdiri dari 4 jenis, Daemonorops terdiri dari 5

kegiatan ini meliputi:


a. Wilayah yang termasuk ke dalam areal

jenis dan Korthalsia sebanyak tiga jenis. Dari

Bukit Simat berbatasan dengan sungai Ella

marga Calamus dan Daemonorops yang dikoleksi

b. Wilayah yang termasuk ke dalam areal


pegunungan Bukit Baka berbatasan dengan

dari kawasan ini ada satu Daemonorops sp. 1 dari


seksi Piptospatha yang berpotensi sebagai jenis

wilayah HPH Sari Bumi Kusuma

baru. Penelitian lebih jauh sangat dibutuhkan


wilayah

untuk kejelasan status taksonominya dengan

eksplorasi mengikuti jalur perotan, wilayah b:

membandingkan semua koleksi seksi Piptospatha

selain mengikuti jalur perotan juga membuat jalur


sendiri karena lokasi sudah masuk jauh kedalam

yang terdapat di kawasan Malesia Barat. Menurut


penduduk lokal daun Daemonorops sp. 1 banyak

hutan untuk mendapatkan koleksi yang memang

dimanfaatkan untuk bahan dasar pestisida,

masih berbunga dan berbuah.

caranya yaitu daun direbus dan air hasil

Untuk

lokasi

penelitian

a:

Di tiap-tiap lokasi tersebut di atas

rebusannya setelah dingin disiramkan ke tanaman

dilakukan koleksi palem mengikuti metode

padi yang terserang hama. Caryota no juga

Dransfield (1986) serta Bridson & Forman


(1992). Koleksi tumbuhan dengan bunga dan

terdapat di kawasan ini namun populasinya sudah


sangat jarang. Hal ini dimungkinkan karena

buah (fertile) diproses untuk spesimen herbarium,

banyaknya perambahan yang dilakukan pada jenis

baik koleksi kering, basah, maupun karpologi.

ini untuk dimanfaatkan umbutnya sebagai sayur

Seluruh data lapangan yang tidak akan terawetkan

oleh masyarakat lokal.

dalam spesimen herbarium dicatat mencakup


nama daerah, manfaat, habitat, ekologi,

Iguanura macrostachya ditemukan hampir


di setiap ketinggian dan terdapat menyebar. Dari

perawakan (habit), warna-bau-rasa dari bagian-

lereng bukit hingga lembah, dekat maupun jauh

bagian tumbuhan tertentu (seperti daun, bunga,

dari

buah, dan lain-lain), ketinggian tempat, dan

kelihatannya jenis ini lebih banyak dijumpai di

tanggal

daerah yang masih tertutup tajuk kanopinya.

koleksi.

Guna

melengkapi

dan

aliran

sungai

kecil.

Meski

begitu,

mendukung data, pengambilan dokumentasi (foto


berwarna) dilakukan. Identifikasi palem dilakukan

Di kawasan bukit Simat pada daerah


perbukitan yang banyak didominasi oleh

menggunakan koleksi herbarium yang disimpan

tumbuhan dari suku Dipterocarpaceae banyak

di Herbarium Bogoriense serta beberapa buku

dijumpai Iguanura macrostachya yang sedang

identifikasi lapangan (Beccari 1902; 1908; 1911;

berbuah, berperawakan soliter dengan mahkota

266

Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat

daun berwarna hijau gelap. Masyarakat lokal biasa

semuanya termasuk dalam palem merambat atau

memanfaatkannya untuk tanaman hias di wilayah

rotan telah dipanen secara liar. Kesemua jenis

tempat tinggalnya. Palem jenis ini terlihat


mendominasi lantai hutan Bukit Simat, dan

tersebut paling banyak dijumpai di daerah


kawasan hutan lindung, hanya sedikit yang

semuanya

berbuah.

dijumpai di luar kawasan. Rotan-rotan ini setelah

Kumpulan buahnya tidak bercabang, dan duduk

diolah menjadi bahan setengah jadi dapat

pada tangkai buahnya. Satu perbuahan umumnya

dianyam menjadi tongkat, bahan keranjang,

terdiri dari 5 sampai dengan 6 buah. Selain

tempat penyaring ikan, bahan tali temali, maupun

Iguanura macrostachya banyak terdapat Licuala


spp. yang juga mendominasi kawasan ini hanya

peralatan rumah tangga lainnya. Hanya sayangnya


semua bahan baku diambil dari alam sehingga

sayangnya sedang dalam keadaan sterile. Bukit

perlu dipikirkan tindakan konservasi baik secara

Simat diambil dari nama daerah untuk 2 jenis

in situ maupun ex situ guna penyelamatan jenis-

Licuala spp. yang memang banyak mendominasi

jenis endemik di kawasan tersebut. Salah satu

kawasan bukit ini mulai dari tanah dataran


sampai dengan puncak bukitnya. Hanya

penyelamatan plasma nutfah rotan yang terancam


di wilayah Taman Nasional Bukit Baka-Bukit

sayangnya pada saat penjelajahan dilakukan tidak

Raya adalah dengan dibangunnya Kebun Raya

dijumpai yang dalam kondisi berbunga ataupun

Katingan yang terdapat di Kabupaten Katingan.

berbuah. Menurut penduduk lokal terdapat dua

Inisiasi pembangunan Kebun Raya Katingan

jenis simat, yaitu simat yang perdu hingga sedang


dan simat yang tumbuh besar hingga mencapai 2

diharapkan dapat dijadikan sebagai area


konservasi untuk jenis-jenis rotan yang berasal

m tingginya. Sedangkan di lokasi yang berbatasan

dari kawasan Taman Nasional Bukit Baka-Bukit

dengan HPH Sari Bumi Kusuma ditemukan

Raya dan sekitarnya yang terletak di perbatasan

Calamus scipionum dalam kondisi berbuah. Rotan

dua provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Barat dan

ini atau lebih dikenal dengan nama Uwi Tingkas

Provinsi Kalimantan Tengah.

(rotan tingkas) tampak mendominasi kawasan ini.


Perbuahannya sangat panjang hingga mencapai 7

Dari ketujuh belas jenis palem tersebut


tujuh jenis merupakan endemik Kalimantan yaitu

m termasuk tangkai buahnya. Tumbuhnya

Caryota

tunggal dengan duri pada batang sangat panjang,

borneensis,

hingga mencapai 20 cm. Buahnya banyak

pogonacanthus, Daemonorops

dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai


bahan untuk manisan. Caranya adalah dengan

Daemonorops sp. 1.
Pertelaan jenis palem

merebus buah rotan dengan air gula sampai gula

1. Iguanura macrostachya Becc., Malesia 3: 101

meresap dalam buah rotan dan larut dalam

(1886)

rebusan air buah tersebut. Beberapa foto koleksi

Habitus palem pohon dengan tinggi sekitar 2 m

palem di lokasi ini dapat dilihat pada Gambar 1.

dan diameter batang 1 1.5 cm, batang

PEMBAHASAN

mengertas ketika kering, jarak antar ruas 1 2


cm. Upih daun tebal dan menyerabut, sekitar 15

sedang

dalam

keadaan

cm

no, Iguanura
Pinanga

panjangnya.

macrostachya, Licuala
tomentella,

Daun

Calamus

microstachys dan

sekitar

sepuluh

Hasil eksplorasi menunjukkan bahwa

membentuk mahkota daun, tangkai daun panjang

jenis-jenis Calamus maupun Daemonorops yang

sekitar 20 25 cm, panjang helaian daun 40 60

267

Himmah Rustiami

Kunci identifikasi jenis palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya


1

a.

Habit palem tumbuh tegak berupa pohon ..............................................................

b.

Habit palem tumbuh merambat berupa rotan ........................................................

a.
b.

Daun menjari .........................................................................................................


Daun menyirip atau menyirip ganda .......................................................................

7
3

a.

Palem berperawakan pendek, tinggi hingga 50 cm, bagian anak daun mematatombak

b.
a.

Palem berperawakan tinggi, tinggi hingga 2 m, bagian anak anak daun meluncip ....
Daun menyirip ........................................................................................................

b.

Daun menyirip ganda ...............................................................................................

a.

Palem berdaun menyirip tunggal, mempunyai crownshaft .......................................

b.

Palem berdaun menyirip tunggal dan tidak mempunyai crownshaft ........................

a.

Palem tumbuh pendek, mencapai 75 cm saja, ujung anak daun membulat bergerigi

b.

Palem tumbuh tinggi, diatas 75 cm, ujung anak daun meruncing tetapi tidak terkoyak

7
8

Licuala borneensis
Licuala spinosa
6
Caryota no
7
8
Iguanura macrostachya

a.

Pinanga tomentella
Anak daun berbentuk belah ketupat, ujung anak daun terkoyak, palem layu setelah
berbunga .................................................................................................................
9
Anak daun berbentuk pita melanset, ujung anak daun meruncing, palem tidak layu
setelah berbunga .....................................................................................................
11
Okrea memeluk erat pada upih daun, menyerabut ......................................
Korthalsia rigida

b.

Okrea menggembung, tidak menyerabut .....................................

a.
b.

10 a.
b.

11 a.

b.
12 a.
b.
13 a.
b.
14 a.

b.

10

Diameter batang dengan upih daun sekitar 8 15 mm, tanpa upih daun sekitar 6 9
mm, okrea menggembung kecil, lebar 1.5 cm panjang 3 cm, berduri pendek dan jarang

Korthalsia rostrata
Diameter batang dengan upih daun sekitar 30 mm, tanpa upih daun sekitar 20 mm,
okrea menggembung sangat besar, lebar 5 cm panjang 10 cm, berduri hitam, panjang
dan padat ..........................................................
Korthalsia echinometra
Alat panjat atau kuncir terdapat pada ujung daun atau upih daun, seludang perbungaan
utama tidak membelah sampai ke dasar serta tidak mudah luruh, berbentuk seperti
tabung........................ ...................................... ..........................
12
Alat panjat atau kuncir terdapat pada ujung daun, seludang perbungaan utama
membelah sampai dasar serta mudah luruh, berbentuk pipih atau seperti perahu
15
Ujung daun berkuncir .............................................................................................
Calamus caesius
Ujung daun tidak berkuncir atau kuncir pada upih daun berkembang sempurna atau
tidak sempurna .....................................................................................................
13
Anak daun pada ujung daun menyatu paling sedikit sepertiga anak daun, kuncir pada
upih daun berkembang sempurna .........................................................................
Calamus javensis
Anak daun pada ujung daun tidak menyatu, kuncir pada upih daun berkembang
sempurna atau tidak sempurna .............................................................................
14
Diameter batang tanpa upih daun 2 6 mm, dengan upih daun 10 mm, jarak antar ruas
30 cm atau kurang. Upih daun hijau kelabu, berduri hitam mirip rambut, panjang 20
Calamus pogonacanthus
mm, kuncir pada upih daun tidak berkembang sempurna, panjang mencapai 30 cm
Diameter batang tanpa upih daun 25 35 mm, dengan upih daun 50 mm, jarak antar
ruas sangat panjang kadang melebihi 1 m. Upih daun hijau, berduri hitam kekuningan
pada pangkal, panjang hingga 5 cm dan lebar 1.5 cm, kuncir pada upih daun sangat
besar, hijau tua, panjang mencapai 7 m atau lebih ...................................................
Calamus scipionum

268

Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat

b.
13 a.
b.
14 a.

b.

Ujung daun tidak berkuncir atau kuncir pada upih daun berkembang sempurna atau
tidak sempurna .....................................................................................................
13
Anak daun pada ujung daun menyatu paling sedikit sepertiga anak daun, kuncir pada
upih daun berkembang sempurna .........................................................................
Calamus javensis
Anak daun pada ujung daun tidak menyatu, kuncir pada upih daun berkembang
sempurna atau tidak sempurna .............................................................................
14
Diameter batang tanpa upih daun 2 6 mm, dengan upih daun 10 mm, jarak antar ruas
30 cm atau kurang. Upih daun hijau kelabu, berduri hitam mirip rambut, panjang 20
Calamus pogonacanthus
mm, kuncir pada upih daun tidak berkembang sempurna, panjang mencapai 30 cm
Diameter batang tanpa upih daun 25 35 mm, dengan upih daun 50 mm, jarak antar
ruas sangat panjang kadang melebihi 1 m. Upih daun hijau, berduri hitam kekuningan
pada pangkal, panjang hingga 5 cm dan lebar 1.5 cm, kuncir pada upih daun sangat
besar, hijau tua, panjang mencapai 7 m atau lebih ...................................................
Calamus scipionum

Gambar 1. a. Perbuahan Daemonorops sp. 1, b. Iguanura macrostachya, c. Licuala spinosa, d. Daemonorops


fissa, e. Korthalsia echinometra, f. Korthalsia rostrata, g. Calamus scipionum.
cm, lebar 19 23, dengan sektiar 10 pasang

Nama lokal. Pelandau kecil (Dayak ransa)

bagian

tidak

Habitat. Populasi lokal mempunyai penyebaran

bercabang, terkadang bercabang dua sempit,


muncul diantara daun, daun gantilan bunga

yang luas di hutan dipterokarp.


Catatan. Jenis ini mempunyai perawakan yang

terluar 7 10 cm, bagian dalam 25 35 cm;

indah sehingga berpotensi sebagai tanaman hias.

bunga jantan besar, sekitar 5 mm. Buah

Status konservasi. Belum ada informasi tentang

berbentuk lonjong, bergaris pada tiap sisi buah.

status konservasi jenis ini. Semakin rusaknya

Endosperma bergaris, homogen.

hutan-hutan

Spesimen yang diamati. Tepian Sungai Hulu,


Bukit Simat, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit

kelimpahan jenis ini di beberapa wilayah di hutan


Kalimantan juga terancam sehingga perlu

Raya, Sintang, Kalimantan Barat, 29 April 2006,

diupayakan usaha konservasi baik secara eksitu

Himmah Rustiami HR 714, berbuah.

maupun insitu. Sejauh ini Kebun Raya Bogor

Distribusi. Endemik di Kalimantan.

sudah menanam jenis ini di kebun koleksi KRB

daun

samping.

Perbungaan

di

Kalimantan

menyebabkan

269

Himmah Rustiami

(Kiew, 1976).

Status

konservasi.

Dikategorikan

sebagai

terancam menurut Saw (2012).


2. Licuala borneensis Becc., Malesia 3: 85 (1886);
Saw, Kew Bulletin 67: 593 594 (2012)

3.

Habitus palem pohon berperawakan tunggal atau

Genootsch. Kunsten 2:474 (1780); Saw, Kew

mengelompok, kecil, tidak berbatang atau berba-

Bulletin 67: 645 646 (2012)

tang pendek; diameter batang 2 2.3 cm. Daun

Habitus

berupa mahkota daun berjumlah 8 12; tangkai

mengelompok, tinggi hingga 3 m atau lebih.

daun 40 100 cm, lebar 3 5 mm, berwarna


coklat kehijauan ketika kering; ujung upih daun

Daun berupa mahkota daun berjumlah 17, upih


daun terkoyak membentuk serabut kasar; panjang

menyerabut; duri-duri pada tangkai daun memba-

tangkai daun 2 3 m, lebar 6 10 mm, berwarna

lik, jarang, hanya terdapat di dasar tangkai daun.

coklat

Helaian daun agak membundartelur, lebar 30

menyegitiga tipis, tegak mengarah horisontal

70 cm, mendaging; terbagi menjadi 3 5 bagian,


berbentuk mematatombak, tepi helaian daun ba-

hingga melengkung, duri pada dasar tangkai daun


terpanjang hingga 12 mm. Helaian daun

gian ujung agak melengkung; bagian daun tidak

membundar, lebar 100 150 cm, terbagi menjadi

berukuran sama, bertulang daun 2 5, panjang

17 23 bagian, semuanya berukuran sama,

23 40 cm x lebar 1.5 5 cm, terutama untuk

mengertas hingga seperti kulit, daun kering

bagian daun tengah, untuk bagian daun dasar


lebih kecil. Perbungaan terdapat diantara mahko-

berwarna hijau pucat coklat pada kedua


permukaan; bagdaun bagian daun bagian bawah

ta daun, tegak dan agak melengkung sedikit, lebih

panjang 44 72 dan lebar 3.5 8.5 cm; bagian

pendek dari tangkai daun, 13 63 cm pan-

daun bagian tengah sedikit lebih besar daripada

jangnya ketika berbunga, terdiri dari satu bagian

bagian daun lainnya, terkadang bertangkai daun,

perbungaan yang menumpu satu rakila atau

panjang 45 76 dan lebar 5 14 cm. Perbungaan

bercabang 2 3, keseluruhan bagian coklat pucat


ketika kering serta ditutupi oleh ramenta ke-

tegak, panjang perbungaan lebih panjang dari


daun, melebihi mahkota daun, panjang 2 3 m,

coklatan yang mudah luruh. Buah merah jambu,

bercabang hingga 2 tingkat, terdiri dari 7 10

membundar telur.

rakila pada cabang p[ertama dan 3 5 ( 7) pada

Spesimen yang diamati. Bukit Simat, Taman

percabangan

Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Sintang,


Kalimantan Barat, 28 April 2006, Himmah

perbungaan 1 1.3 m, lebar 10 12 mm; daun


pelindung bunga menabung, panjang sekitar 22

Rustiami HR 702b, berbuah.

cm atau lebih. Buah membulat, permukaan buah

Distribusi. Endemik di Kalimantan, Sarawak dan

halus, berwarna hijau gelap, ketika masak berubah

Brunei.

menjadi oranye hingga merah, diameter buah 8

Nama lokal. Palem kipas

mm; biji membulat, diameter 6 mm.

Habitat. Hutan Dipterokarp campuran, pada


tanah sedang serta tanah agak liat di datarn ren-

Spesimen yang diamati. Bukit Simat, Taman


Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Sintang,

dah.

Kalimantan Barat, 28 April 2006, Himmah

Catatan. Jenis palem ini banyak mendominasi

Rustiami HR 702c, berbuah.

lantai hutan Bukit Simat, hingga ketinggian seki-

Distribusi. Andaman dan Kepulauan Nikobar,

tar 400 m dpl.

Thailand,

Licuala

spinosa

palem

kehijauan

wurmb.,

pohon

ketika

berikutnya;

Vietnam,

Verh.

Batav.

berperawakan

kering,

panjang

Semenanjung

berduri

tangkai

Malaya,
270

Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat

Kalimantan, Philippines, Sumatera dan Jawa.

Catatan. Pinang hutan ini ditemukan tumbuh

Nama lokal. Palem kipas.

dekat sungai atau di pinggiran sungai maupun

Habitat. Jenis ini dapat dijumpai pada hutan


dataran rendah, di dekat rawa-rawa atau hutan

lantai hutan yang lembab di hutan dipterokarp.


Status konservasi. Belum ada data yang

bakau maupun padang terbuka pada ketinggian

signifikan untuk status konservasi jenis ini. Akan

tempat yang tidak terlalu tinggi. Jenis ini

tetapi mengingat perawakannya yang indah dan

merupakan satu-satunya jenis Licuala yang dapat

ebrpotensi sebagai tanaman hias maka perlu

bertahan hidup dan berkolonisasi pada habitat

diupayakan usaha konservasi untuk jenis ini.

yang terkena cahaya matahari penuh.


Manfaaat. Helaian daun muda dapat digunakan

5. Caryota no Becc., Nuovo Giorn. Bot. Ital. 3: 12

untuk membungkus makanan misalnya untuk

(1871)

nasi ketan.

Caryota rumphiana var. borneensis Becc., Malesia

Catatan. Jenis palem kipas ini mempunyai duri-

1: 74 (1877)

duri besar terutama disepanjang tangkai daun


serta bunga yang berbulu tebal.

Habitus palem tunggal, berwarna abu-abu


kecoklatan, tinggi mencapai 20 m. Daun

Status konservasi. Dikategorikan sebagai jenis

menyirip ganda, hingga 5 m, berwarna hijau

yang

muda. Perbungaan muncul dari mahkota daun,

tidak

terlalu

memprihatinkan

(Least

concern/LC) (Saw, 2012).

besar seperti sapu raksasa, berwarna kuning

4. Pinanga tomentella Becc., Malesia 3: 126

keemasan. Buah masak berwarna ungu tua hingga


hitam, biji bulat, coklat tua mengkilat, diameter

(1886)

biji sekitar 1.75 cm.

Habitus palem tumbuh mengelompok, tidak ter-

Spesimen yang diamati. Bukit Simat, Taman

lalu tinggi hanya mencapai 1 m, batang berdia-

Nasional

menter kecil seperti pensil dengan kumpulan

Kalimantan Barat, 28 April 2006, Himmah

daun atau mahkota daun yang panjang. Daun


panjang menyempit, berbentuk seperti spatula

Rustiami HR 710b, berbuah.


Distribusi. Hutan hujan tropis dengan ketinggian

berwarna hijau gelap pada permukaan atas daun

permukaan dari sekitar 200 m dpl hingga 1500

serta keperak-perakan permukaan bawahnya. Per-

dpl di Kalimantan.

bungaan kecil berwarna merah terang.

Nama lokal. Palem ekor ikan.

Spesimen yang diamati. Sungai Hulu, Bukit


Simat, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya,

Manfaat. Umbut palem oleh penduduk lokal


dapat ndapat dimakan sebagai pengganti sayuran.

Sintang, Kalimantan Barat, 29 April 2006,

Catatan. Palem ekor ikan ini akan mati sesudah

Himmah Rustiami HR 716, berbunga.

dia berbuah.

Distribusi. Hutan hujan tropis dengan keting-

Status

gian permukaan sekitar 200 m dpl hingga 800 m

digolongkan sebagai terancam karena sifatnya

dpl di Kalimantan.
Nama lokal. Pinang hutan, Pelandau (Dayak

yang tumbuh tunggal serta mati sesudah berbuah


sehingga sulit untuk dibudidayakan.

Bukit

Baka-Bukit

Raya,

Sintang,

konservasi. Dalam IUCN jenis ini

Ransa).
Manfaat. Berpotensi sebagai tanaman hias karena

6. Calamus caesius Blume, Rumphia 3:57 (1849).

perawakan yang cantik dan tumbuhnya pendek

Palmijuncus caesius (Blume) Kuntze, Revis. Gen.

sehingga sesuai untuk tanaman hias dalam pot.

Pl. 2: 733 (1891). Rotang caesius (Blume) Baill.,


271

Himmah Rustiami

Hist. Pl. 13: 300 (1895).

Rustiami HR 701, berbuah.

Calamus glaucescens Blume, Rumphia 3: 65

Distribusi. Calamus caesius tersebar luas di daerah

(1847), nom. illeg. Palmijuncus glaucescens


Kuntze, Revis. Gen. Pl. 2: 733 (1891).

basah di Asia Tenggara dan dapat dijumpai di


wilayah Semenanjung Malaya, Sumatera, Kali-

Habitus rotan berumpun, berukuran sedang,

mantan, Palawan, serta Thailand Selatan.

merambat hingga kanopi hutan dengan panjang

Nama lokal. Wi sega, wi taman (Dayak Ransa).

batang dapat mencapai 100 m atau lebih. Diame-

Manfaat. Oleh penduduk lokal rotan ini banyak

ter batang tanpa upih daun 7 18 mm, dengan

dimanfaatkan untuk membuat keranjang, tikar,

upih daun hingga 25 mm, jarak antar ruas 50 cm;


permukaan batang sangat mengkilat, lapisan lilin

barang kerajinan tangan, tali menali serta menjahit atap. Sedangkan untuk skala industri lebih

berwarna keputihan pada bagian luar permukaan

besar rotan ini merupakan bahan berkualitas ting-

batang akan bersisik jika dibengkokkan. Upih

gi untuk kerajinan mebel serta tikar rotan.

daun hijau suram, berduri menyegitiga, pucat,

Catatan. Jenis ini dapat dijumpai di dataran ren-

tidak terlalu rapat atau jarang, diantara duri terdapat bulu-bulu berwarna abu-abu dengan sisik

dah, pinggiran sungai dan tepi rawa atau rawa


gambut. Di Kalimantan Tengah jenis ini

kecoklatan. Daun hingga 2 m panjangnya terma-

dijumpai juga di lokasi yang lebih kering pada

suk tangkai daun 50 cm untuk daun muda se-

ketinggian 800 m dpl.

dangkan pada daun dewasa sangat pendek serta

Status Konservasi. Sumber daya genetik rotan ini

alat panjat di ujung daun (kuncir) mencapai 75


cm panjangnya, berduri seperti taji ayam atau

sudah terjaga kelestariannya karena penanaman


secara besar-besaran sudah dilakukan diluar kawa-

melengkung tersebar pada permukaan bawah;

san lindung sehingga keterancaman jenis ini

anak daun sekitar 15 pada tiap sisi rakis, tersusun

relatif kecil atau tidak terancam sama sekali.

tidak beraturan, dalam pasangan berselang seling,


melanset, ukuran anak daun 30 x 5 cm, per-

7. Calamus javensis Blume, Rumphia 3:62 (1847).

mukaan atas daun hijau tua sedangkan permukaan bawah putih kebiruan. Perbungaan

Palmijuncus javensis (Blume) Kuntze, Revis. Gen.


Pl. 2: 733 (1891).

muncul pada pelepah daun dari daun diatas keti-

Calamus equestris Blume in J.J.Roemer &

ak daun yang berseberangan, panjang hingga 2 m

J.A.Schultes, Syst. Veg. 7: 1330 (1830), nom.

terdiri dari 7 atau lebih bagian perbungaan

illeg.

dengan panjang mencapai 75 cm; seludang bunga


berbentuk silinder memeluk erat bunga. Buah

Calamus tetrastichus Blume, Rumphia 3: 62


(1847). Palmijuncus tetrastichus (Blume) Kuntze,

masak, membulat telur, panjang 15 mm, lebar 10

Revis. Gen. Pl. 2: 733 (1891).

mm, jumlah sisik pada buah sekitar 15 21 pada

Calamus borneensis Miq., Anal. Bot. Ind. 1: 4

garis vertikal, berwarna putih kehijauan yang

(1850). Palmijuncus borneensis (Miq.) Kuntze,

menguning jika kering. Biji membulat telur, pan-

Revis. Gen. Pl. 2: 733 (1891).

jang 12 mm, lebar 7 mm; endosperma sangat termamah.

Calamus amplectens Becc., Malesia 2: 78 (1884).


Palmijuncus amplectens (Becc.) Kuntze, Revis.

Spesimen yang diamati. Bukit Simat, Taman

Gen. Pl. 2: 733 (1891).

Nasional

Calamus javensis subvar. intermedius Becc. in

Bukit

Baka-Bukit

Raya,

Sintang,

Kalimantan Barat, 28 April 2006, Himmah

J.D.Hooker, Fl. Brit. India 6: 443 (1892).

272

Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat

Calamus javensis subvar. penangianus Becc. in

2 6 rakila sampai 10 cm panjangnya. Buah

J.D.Hooker, Fl. Brit. India 6: 443 (1892).

masak, membulat telur sampai bulat, panjang 12

Calamus javensis subvar. polyphyllus Becc. in


J.D.Hooker, Fl. Brit. India 6: 443 (1892).

mm, lebar 8 mm, jumlah sisik pada buah sekitar


15 21 pada garis vertikal, berwarna putih kehi-

Calamus javensis subvar. purpurascens Becc. in

jauan pucat. Biji membulat telur sampai bulat,

J.D.Hooker, Fl. Brit. India 6: 443 (1892).

panjang 12 mm, lebar 8 mm; endosperma homo-

Calamus javensis subvar. tenuissimus Becc. in

gen. Anakan daun rotan berdaun 4 lebar dan

J.D.Hooker, Fl. Brit. India 6: 443 (1892).

mengkilap.

Calamus borneensis Becc., Rec. Bot. Surv. India 2:


205 (1902), nom. illeg.

Spesimen yang diamati. Sungai Hulu, Bukit


Simat, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya,

Calamus filiformis Becc., For. Kalimantan: 609

Sintang, Kalimantan Barat, 29 April 2006,

(1902).

Himmah Rustiami HR 719b, berbuah.

Calamus javensis var. acicularis Becc., Ann. Roy.

Distribusi. Calamus javensis tersebar luas di Asia

Bot. Gard. (Calcutta) 11(1): 185 (1908).


Calamus kemamanensis Furtado, Gard. Bull. Sin-

Tenggara mulai dari Thailand Selatan Malaysia,


Singapura, Sumatera, Jawa, Kalimantan, sampai

gapore 15: 170 (1956).

Palawan.

Habitus rotan berumpun, berukuran kecil atau

Nama lokal. Wi lilin (Kalimantan Selatan).

ramping, terkadang membentuk semak hingga

Manfaat. Penduduk lokal banyak memanfaatkan

tinggi mencapai 2 m atau merambat hingga 10 m


atau lebih. Diameter batang tanpa upih daun 2

jenis ini untuk tali menali serta bahan membuat


keranjang. Pengeringan rotan ini hanya dengan

6 mm, dengan upih daun hingga 10 mm, jarak

kering angin karena pemanfaatannya hanya bersi-

antar ruas 30 cm atau kurang. Upih daun hijau

fat lokal saja.

terang ketika masih segar, kadang tidak berduri,

Catatan. Rotan ini mempunyai sebaran sangat

kadang berduri tidak seragam, mulai duri kecil

luas mulai dari dataran rendah hingga ketinggian

mendatar hingga duri menyegitiga ramping kurang dari 5 mm panjangnya, lutut terlihat jelas,

2000 m dpl.
Status Konservasi. Sampai saat ini belum ada

okrea terlihat jelas kemerahan ketika masih muda

informasi tentang koleksi plasma nutfah Calamus

dan tercabik ketika sudah tua, flagelum (cemeti)

javensis yang ditanam di kebun raya maupun ar-

sampai 75 cm. Daun hingga 40 cm panjangnya

boretum.

termasuk tangkai daun 1 - 2 cm; anak daun sekitar 4 12 pada tiap sisi rakis, tersusun tidak

8. Calamus pogonacanthus Beccari ex H. Winkler,

beraturan, berkelompok, jarang yang beraturan,

Engl. Bot. Jahrb. 48:91 (1912).

melanset atau menyendok, anak daun paling

Habitus rotan berumpun, berukuran sedang,

bawah berpasangan, membalik hampir memeluk

merambat hingga 30 m. Diameter batang tanpa

batang, ukuran anak daun terpanjang 20 x 5 cm,

upih daun 2 6 mm, dengan upih daun hingga

urat daun tranversal terlihat jelas, daun muda


berwarna merah muda. Perbungaan tegak pada

10 mm, jarak antar ruas 30 cm atau kurang. Upih


daun hijau kelabu, berduri hitam mirip rambut,

dasarnya kemudian melengkung dan akhirnya

panjang 20 mm, lutut terlihat jelas, flagelum

menggantung, ramping, panjang hingga 1 m

(cemeti) tidak berkembang sempurna, panjang

terdiri dari 2 5 bagian perbungaan dengan pan-

mencapai 30 cm. Daun berkuncir, hingga 2 m

jang mencapai 20 cm, tiap perbungaan terdiri dari

panjangnya termasuk tangkai daun pendek hingga


273

Himmah Rustiami

10 cm, kuncir hingga 80 cm, duri kuncir menye-

scipionum (Lour.) Baill., Hist. Pl. 13: 299 (1895).

bar tidak berkelompok; anak daun sekitar 20 25

Habitus rotan berumpun sangat besar, berukuran

pada tiap sisi rakis, tersusun tidak beraturan,


berkelompok tiga-tiga atau empat-empat hanya

besar, merambat hingga 50 m. Diameter batang


tanpa upih daun 25 35 mm dengan ruas yang

yang mendekati kuncir, melanset, ukuran anak

sangat menonjol, dengan upih daun hingga 50

daun terpanjang 40 x 2 cm, sepanjang urat daun

mm, jarak antar ruas sangat panjang kadang

utama dilengkapi duri-duri halus, pada kedua

melebihi 1 m. Upih daun hijau, berduri hitam

permukaan anak daun. Perbungaan panjang

kekuningan pada pangkal, besar, menyegitiga

hingga 1.5 m terdiri dari hingga 8 bagian perbungaan yang tertata renggang dan agak teratur, selu-

pipih, panjang hingga 5 cm dan lebar 1.5 cm,


berindumentum kelabu yang sangat banyak ketika

dang bunga utama berbentuk seperti tabung,

rotan masih muda, lutut sangat terlihat jelas;

berwarna coklat-kelabu kusam, tertutupi duri-

okrea pendek, mudah terkoyak; flagelum (cemeti)

duri. Buah masak bulat atau hampir bulat, pan-

sangat besar, hijau tua, panjang mencapai 7 m

jang 10 mm, lebar 8 mm, ujung buah berparuh,


jumlah sisik pada buah sekitar 24 pada garis

atau lebih, berduri melengkung berujung hitam.


Daun tidak berkuncir, hingga 2 m panjangnya

vertikal. Biji sekitar 8 mm diameternya, sarkotes-

termasuk tangkai daun hingga 30 cm; anak daun

ta manis, kesat; endosperma sangat termamah.

sekitar 25 pada tiap sisi rakis, tersusun beraturan,

Spesimen yang diamati. Sungai Hulu, Bukit

melanset, ukuran anak daun terpanjang 60 x 6

Simat, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya,


Sintang, Kalimantan Barat, 29 April 2006,

cm, ujung anak daun dilengkapi duri-duri halus.


Perbungaan jantan dan betina sepintas tampak

Himmah Rustiami HR 719c, berbuah.

sama, panjang hingga 6 m atau lebih, dengan

Distribusi. Calamus pogonacanthus tersebar luas

rakila melengkung ramping pada bunga betina,

di Kalimantan.

dan rakila yang bercabang halus pada bunga

Nama lokal. Wi Tut (Dayak Iban).

jantan; bunga betina terdiri dari hingga 7 bagian

Manfaat. Penduduk lokal banyak memanfaatkan


jenis ini untuk menambat dan mengikat karena

perbungaan yang pendek sampai memanjang,


hingga 1.5 m panjangnya, seludang bunga utama

kualitas rotannya bagus, selain itu juga dapat di-

berbentuk seperti tabung, berwarna coklat-kelabu

manfaatkan untuk membuat tikar kasar.

kusam, tertutupi duri-duri. Buah masak bulat

Catatan. Calamus pogonacanthus biasa dijumpai

telur, panjang 14 mm, lebar 9 mm, berparuh san-

di dataran rendah, pada pinggiran sungai dan dalam kawasan yang sudah terganggu di dataran

gat pendek, jumlah sisik pada buah sekitar 14


15 pada garis vertikal. Biji bulat telur, sekitar 10

rendah dan hutan perbukitan hingga ketinggian

mm x 5 mm, berceruk yang bertebaran menem-

200 m.

bus endosperma; endosperma termamah. Daun

Status konservasi. Sampai saat ini belum ada

semai dengan 4 anak daun yang tampak seperti

informasi tentang koleksi plasma nutfah Calamus

kipas.

pogonacanthus yang ditanam di kebun raya maupun arboretum.

Spesimen yang diamati. Hulu Sungai Ela,


Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Sintang,
Kalimantan Barat, 01 Mei 2006, Himmah

9. Calamus scipionum Loureiro, Fl. Cochin., ed.

Rustiami HR 723, berbuah.

1:210 (1790). Palmijuncus scipionum (Lour.)

Distribusi. Calamus scipionum tersebar luas di

Kuntze, Revis. Gen. Pl. 2: 733 (1891). Rotang

Birma, Vietnam, Thailand, Semenanjung Malaya,


274

Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat

Sumatera, Kalimantan dan Palawan.

daun di permukaan bawah. Perbungaan tegak,

Nama daerah. Rotan semambu (nama dagang di

berduri pada daun penumpu utama seperti pada

seluruh kawasan), Wi tingkas (Dayak Ransa).


Manfaat. Batang rotan jenis ini banyak di-

upih daun, panjang daun penumpu utama hingga


50 cm, biasanya tidak luruh, tertutupi oleh bulu-

manfaatkan untuk membuat perabot dengan

bulu halus sangat padat, berwarna merah kecokla-

kualitas rotan sedang. Adapun batang yang

tan. Buah masak membulat, diameter buah hing-

mempunyai jarak antar ruas panjang biasa di-

ga 2 cm, merah kehitaman, mengandung resin

manfaatkan untuk tongkat atau tangkai payung.

merah, dengan barisan sisik tegak lurus, sekitar 15

Catatan. Calamus scipionum biasa dijumpai di


dataran rendah, pada pinggiran sungai dan dalam

sisik pada garis vertikal, sisik berwarna coklat seperti kayu manis dengan tepi sisik lebih gelap,

kawasan yang sudah terganggu di dataran rendah

ujung buah melengkung pendek sekitar 3 mm,

dan hutan perbukitan hingga ketinggian 200 m.

berbiji satu. Biji membulat atau agak memipih,

Status konservasi. Sampai saat ini belum ada

diameter biji 13 mm, endosperma termamah.

informasi tentang koleksi plasma nutfah Calamus


scipionum yang ditanam di kebun raya maupun

Spesimen yang diamati. Hulu Sungai Ela,


Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Sintang,

arboretum.

Kalimantan Barat, 30 April 2006, Himmah


Rustiami HR 721, berbuah.

10. Daemonorops fissa Blume, Rumphia 3:17

Distribusi. Jenis ini dapat dijumpai di hampir

(1847).
Calamus fissus (Blume) Miq., Anal. Bot. Ind. 1:6

seluruh kawasan di Kalimantan


Nama lokal. Wi Peutik (Dayak Ransa)

(1850). Palmijuncus fissus (Blume) Kuntze, Revis.

Manfaat. Rotan jenis ini hanya dimanfaatkan

Gen. Pl. 2:733 (1891).

secara lokal oleh penduduk setempat sebagai ba-

Habitus rotan mengelompok, berukuran sedang,

han pengikat atau tali menali.

merambat hingga 30 m. Diameter batang dengan

Catatan. Sampai saat ini hanya satu jenis Dae-

upih daun hingga 35 mm, tanpa upih daun 25


mm, jarak antar ruas 20 cm, atau lebih. Upih

monorops dari seksi Cymbospatha yang terdapat di


Kalimantan. Jenis ini mempunyai daun penumpu

daun tidak berflagela, berwarna hijau pucat,

utama pada perbungaan berbentuk seperti perahu

kecoklatan, berduri agak rapat, duri mengkilap,

dan tegak. Keseluruhan perbungaan dibungkus

pipih, tunggal atau mengelompok, panjang duri

oleh daun penumpu utama.

10 20 mm; terdapat rambut atau bulu-bulu


halus berwarna kecoklatan diantara duri-duri;

Status konservasi.
signifikan.

Belum

ada

data

yang

lutut terlihat jelas, berduri seperti terdapat pada


upih daun; okrea tidak tidak terlihat jelas. Daun

11. Daemonorops micracantha (Griff.) Becc. in JD

berkuncir, panjang mencapai 3.5 m termasuk

Hooker, Fl. Brit. India 6:467 (1893).

tangkai daun hingga 40 cm dan kuncir hingga

Calamus micracanthus Griff. Calcutta J. Nat. Hist.

100 cm, berduri mengelompok beraturan, anak


daun 80 100 pada tiap sisi rakis, tersusun bera-

5:62 (1845). Palmijuncus micracanthus (Griff.)


Kuntze Revis. Gen. Pl. 2:733 (1891). Rotang

turan rapat, paralel, memita, ujung anak daun

micracanthus (Griff.) Baill., Hist. Pl. 13:299

meluncip; panjang anak daun hingga 40 cm, lebar

(1895).

hingga 1.5 cm, duri-duri halus pada tulang daun

Daemonorops draconcella Becc. (1902) Nelle For-

utama di permukaan atas, serta pada ibu tulang

est. Kalimantan:608.
275

Himmah Rustiami

Habitus rotan mengelompok, berukuran sedang,

terdapat di upih daun, adanya indumentum dan

merambat hingga 20 m atau lebih. Diameter ba-

sisik yang tebal serta warna buah yang merah ke-

tang dengan upih daun hingga 25 mm, tanpa


upih daun 12 mm. Upih daun bulat, tidak berfla-

hitaman mengandung resin merah.


Status konservasi. Belum ada

gella, berlutut, berwarna hijau kekuningan, ter-

signifikan.

data

yang

dapat rambut-rambut halus, bersisik jarang, terdapat garis-garis horizontal, duri-duri pada upih

12. Daemonorops microstachys Becc., Rec. Bot.

daun berkelompok tepian duri halus berwarna

Sur. India 2:225 (1902).

hitam. Daun berkuncir, panjang mencapai 2 m


termasuk tangkai daun hingga 45 cm dan kuncir

Habitus rotan berbatang pendek, tinggi tidak


mencapai 1 m, mengelompok. Diameter batang

hingga 80 cm, berduri mengelompok beraturan,

dengan upih daun hingga 50 mm biasanya ku-

anak daun 11 45 pada tiap sisi rakis, tersusun

rang, tanpa upih daun 20 mm; jarak antar ruas

beraturan, paralel, memita, ujung anak daun me-

sekitar 2 cm. Upih daun tidak berlutut, berwarna

luncip; panjang anak daun 27 33 cm, lebar kurang dari 2 cm, duri-duri halus pada permukaan

hijau pucat, berbulu halus sangat banyak


berwarna coklat gelap serta berduri mengarah hor-

atas jarang, pinggir daun ujung berduri halus,

izontal atau vertical dengan panjang 3 30 mm,

jarang. Perbungaan menggantung, berduri pada

duri-duri yang terdapat di dekat gagang daun

daun penumpu utama, panjang hingga 50 cm,

lebih panjang dan mengarah keatas. Daun tidak

terdiri dari 3 6 bagian perbungaan, tertutupi


oleh bulu-bulu halus sangat padat, berwarna me-

berkuncir, panjang mencapai 2 m termasuk


tangkai daun hingga 35 cm, rakis daun berduri

rah kecoklatan. Buah masak membulat, 2 2.5

mengelompok beraturan, anak daun 35 pada tiap

cm, merah kehitaman, mengandung resin merah,

sisi rakis, tersusun beraturan, paralel, memita,

dengan barisan sisik tegak lurus, sekitar 18 22

ujung anak daun meluncip; panjang anak daun

sisik pada garis vertikal, ujung buah tidak

27 cm, lebar 2.5 cm. Perbungaan menggantung,

melengkung, berbiji satu. Biji membulat, permukaan bergelombang, endosperma termamah.

mengarah keluar dari kumpulan daun, panjang 20


cm, bagian perbungaan biasanya menggerombol

Spesimen yang diamati. Sungai Hulu, Bukit

pada ujung tangkai perbungaan, tertutupi oleh

Simat, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya,

bulu-bulu halus sangat padat, berwarna merah

Sintang, Kalimantan Barat, 28 April 2006,

kecoklatan. Buah masak membulat, panjang buah

Himmah Rustiami HR 707, berbuah.


Distribusi. Jenis ini dapat dijumpai di Kaliman-

10 mm, lebar 8 mm, dengan barisan sisik tegak


lurus berwarna hijau hingga kuning kecoklatan,

tan, Semenanjung Malaya dan Sumatera.

sekitar 15 16 sisik pada garis vertikal, berbiji

Nama lokal. Wi jerenang (Dayak Iban).

satu. Biji membulat, diamter biji 7 mm, endo-

Manfaat. Rotan jenis ini hanya dimanfaatkan

sperma sangat termamah.

secara lokal oleh penduduk setempat, sedangkan

Spesimen yang diamati. Bukit Simat, Taman

resin merah pada bijinya biasa dimanfaatkan untuk pewarna dan obat-obatan.

Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Sintang,


Kalimantan Barat, 28 April 2006, Himmah

Catatan. Rotan ini biasa dijumpai di Kalimantan,

Rustiami HR 706, berbuah.

merambat hingga ketinggian lebih dari 20 m. Be-

Distribusi. Jenis merupakan jenis endemik di

berapa karakter yang menyolok di lapang antara

Kalimantan.

lain kedudukan duri pada garis horisontal yang

Nama lokal. Wi duduk (Dayak Ransa).


276

Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat

Manfaat. Karena jarak antar ruasnya yang sangat

sekitar 15 sisik pada garis vertikal, sisik berwarna

pendek rotan jenis ini dimanfaatkan secara lokal

kuning pucat hingga coklat pucat dengan ujung

oleh penduduk setempat untuk tongkat karena


lebih kuat.

sisik agak merah muda, berbiji satu. Biji bulat,


diameter 15 mm, permukaan biji bergelombang,

Catatan. Rotan ini biasa dijumpai di Kalimantan,

endosperma termamah.

di tanah yang miskin atau hutan kerangas.

Spesimen yang diamati. Sungai Hulu, Bukit

Perbungaan untuk tiap individu terkadang

Simat, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya,

bervariasi pada ukuran panjangnya tergantung

Sintang, Kalimantan Barat, 29 April 2006,

dari usia rotannya.


Status konservasi.

Himmah Rustiami HR 715, berbuah.


Distribusi. Jenis ini banyak dijumpai di hutan

Belum

ada

data

yang

signifikan.

dataran rendah, tepian sungai hutan-hutan di Kalimantan, Sumatera dan Johor.

13. Daemonorops periacantha Miq., Prods. Fl.

Nama lokal. Wi Empunok (Dayak Iban).

Sum. 256, 592 (1861)


Habitus rotan mengelompok, berukuran besar,

Manfaat. Rotan jenis ini hanya dimanfaatkan


secara lokal oleh penduduk setempat sebagai

merambat hingga 10 m. Diameter batang dengan

tongkat atau pengikat kayu bakar.

upih daun hingga 50 mm, tanpa upih daun 15 -

Catatan. Rotan jenis ini banyak dijumpai di per-

30 mm; jarak antar ruas 35 cm. Upih daun

bukitan hutan Dipeterokarp hingga ketinggian

berwarna hijau terang dengan duri-duri berwarna


kekuningan coklat dengan ujung kehitaman,

mencapai 800 m dpl serta lebih menyukai tanah


yang bagus atau subur seperti tepian bukit dan

ukuran duri bervariasi dengan panjang hingga 6

tanah-tanah datar dibanding tanah-tanah berka-

cm, duri-duri pada upih daun mengarah ke

pur.

berbagai direksi, berindumentum coklat padat,

Status

duri pada mulut daun tegak dengan panjang

signifikan.

mencapai 8 cm; lutut terlihat jelas, berduri seperti


pada upih daun, tetapi duri-durinya membalik.

14. Daemonorops sp. 1

Daun berkuncir, panjang mencapai 2 m termasuk

Habitus rotan mengelompok, berukuran kecil,

tangkai daun hingga 50 cm dan kuncir hingga 70

pendek, tinggi hingga 2 m. Diameter batang

cm; anak daun sekitar 45 pada tiap sisi rakis,

dengan upih daun hingga 40 mm, tanpa upih

tersusun berkelompok agak beraturan, sekitar 2


7 anak daun tiap kelompoknya, paralel, memita,

daun 20 mm. Upih daun bulat, berwarna hijau


kekuningan, terdapat rambut-rambut halus,

ujung anak daun meluncip, tidak berduri kecuali

bersisik jarang, terdapat garis-garis horizontal,

pada ujung anak daun berbulu halus, panjang

duri-duri pada upih daun berkelompok tepian

anak daun 40 cm, lebar 3 cm. Perbungaan

duri halus berwarna hitam. Daun berkuncir

menggantung, panjang hingga 100 cm, terdiri

pendek, panjang mencapai 1.5 m termasuk

dari 10 bagian perbungaan, daun penumpu


perbungaan tebal berdaging, berbulu halus dan

tangkai daun hingga 40 cm dan kuncir 15 cm,


berduri mengelompok beraturan, anak daun 24

berambut kecoklatan, mudah luruh; tangkai

pada tiap sisi rakis, tersusun beraturan, paralel,

perbungaan berambut kecoklatan. Buah masak

memita, ujung anak daun meluncip, berbulu

membulat atau agak lonjong, diameter buah

merah kecoklatan; panjang anak daun 15 27

hingga 22 mm, dengan barisan sisik tegak lurus,

cm, lebar kurang dari 2 cm, duri-duri halus pada

Konservasi. Belum ada data yang

277

Himmah Rustiami

permukaan bawah ada terutama di tulang daun

J.D.Hooker, Fl. Brit. India 6: 476 (1893).

utama berwarna merah kecoklatan, pinggir daun

Korthalsia hallieriana Becc., Ann. Roy. Bot. Gard.

berduri halus; tulang daun tansversal terlihat jelas.


Perbungaan menggantung, panjang hingga 40

(Calcutta) 12(2): 142 (1918).


Korthalsia paludosa Furtado, Gard. Bull. Singa-

cm, terdiri dari 3 bagian perbungaan, rakila

pore 13: 313 (1951).

perbungaan ditutupi oleh bulu-bulu halus sangat

Habitus rotan tumbuh mengelompok, berukuran

padat,

buah

sedang, merambat hingga mencapai 50 m,

menggerombol di ujung tangkai perbungaan.

bercabang pada kanopi. Diameter batang dengan

Buah masak bulat telur lebar, 1.5 2 cm, coklat


tua kekuningan, dengan barisan sisik tegak lurus,

upih daun sekitar 2.5 cm, tanpa upih daun sekitar


2 cm, jarak antar ruas sekitar 20 cm. Upih daun

sekitar 8 9 sisik pada garis vertikal, ujung buah

hijau pucat, berbulu lembut padat berwarna abu-

tidak melengkung, 2 mm,

berbiji satu. Biji

abu serta bersisik kecoklatan mudah luruh, ber-

bergelombang,

duri sekitar 10 mm, jarang; okrea hingga 4 cm,

endosperma termamah.
Spesimen yang diamati. Bukit Simat, Taman

memeluk erat pada batang dengan ujung terkoyak


dan jarang terbelah, tidak berduri. Daun

Nasional

Sintang,

berkucir, panjang mencapai 1.5 m termasuk

Kalimantan Barat, 28 April 2006, Himmah

tangkai daun sampai 10 cm dan kucir 75 cm,

Rustiami HR 703, berbuah.

anak daun sekitar 5 7 pada tiap sisi rakis, ber-

Distribusi. Sampai saat ini rotan ini hanya


dijumpai di hutan Dipterokarp Bukit Simat

bentuk belah ketupat, panjang 15 cm lebar 8 cm,


permukaan atas anak daun hijau gelap mengkilap,

Nama lokal. Wi Perompas (Dayak Ransa).

permukaan bawah daun abu-abu kebiruan. Per-

Manfaat. Daun rotan jenis ini oleh penduduk

bungaan

lokal banyak dimanfaatkan untuk bahan dasar

bercabang, terdiri dari 8 bagian perbungaan pada

pestisida, caranya yaitu daun direbus dan air hasil

tiap sisi, dengan 10 rakila, coklat gelap pucat.

rebusannya setelah dingin disiramkan ke tanaman


padi yang terserang hama.

Buah membulat, diameter 1 cm, dengan sisik


berjumlah 15 pada garis vertical, sisik buah

Catatan. Jenis ini dijumpai di kawasan per-

berwarna hijau gelap hingga coklat pucat. Biji

bukitan hutan Dipterokarp pada tanah datar,

berdiameter 8 mm, termamah tidak beraturan.

dengan kanopi hutan tidak terlalu rapat.

Daun pada anakan simple, hijau mengkilap pada

berwarna

membulat,

merah

kecoklatan;

permukaan

Bukit

Baka-Bukit

Status konservasi.
siginifikan.

Belum

Raya,

ada

data

yng

mencapai

80

cm

panjangnya,

permukaan atas serta keabu-abuan pada permukaan bawah.


Spesimen yang diamati. Sungai Hulu, Bukit

15. Korthalsia rigida Blume, Rumphia 2: 167

Simat, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya,

(1843).

Sintang, Kalimantan Barat, 28 April 2006,

Korthalsia polystachya Mart., Hist. Nat. Palm. 3:

Himmah Rustiami HR 708, berbuah.

210 (1845). Calamosagus polystachys (Mart.)


H.Wendl. in O.C.E.de Kerchove de Denterghem,

Distribusi. Rotan jenis ini banyak dijumpai di


Kalimantan, Palawan, Sumatera, Semenanjung

Palmiers: 235 (1878).

Malaya dan Thailand.

Calamosagus ochriger Griff., Palms Brit. E. Ind.:

Nama lokal. Wi dahan (Dayak ransa).

31 (1850).

Pemanfaatan. Seperti jenis Korthalsia lainnya,

Korthalsia

ferox

var.

malayana

Becc.

in

rotan ini juga sebagai sumber rotan yang tahan


278

Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat

lama untuk anyaman keranjang, penduduk lokal

Anakan berdaun dua pasang membelah ketupat.

masih kurang memanfaatkan rotan ini.

Spesimen yang diamati. Desa Kaburai, Taman

Catatan. Rotan ini dapat dijumpai di dataran


rendah dan perbukitan hutan-hutan di Kaliman-

Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kecamatan


Tumbang Senamang, Kotawaringin Timur, 03

tan dengan ketinggian tempat hingga 900 m dpl.

Mei 2006, Himmah Rustiami HR 724, berbuah.

Status konservasi. Penelitian lebih jauh diper-

Distribusi. Jenis ini dapat dijumpai di Kaliman-

lukan untuk mengetahui status keterancaman

tan, Semenanjung Malaya, Sumatera dan Thai-

jenis ini.

land Selatan.

16. Korthalsia rostrata Blume, Rumphia 2: 168

Nama lokal. Wi chit (Dayak Iban).


Manfaat. Rotan dari jenis ini hanya dimanfaat-

(1843). Ceratolobus rostratus (Blume) Becc., Ann.

kan secara lokal oleh penduduk setempat teruta-

Roy. Bot. Gard. (Calcutta) 12(2): 11 (1918).

ma untuk tali menali dan kerajinan tangan

Korthalsia scaphigera Mart., Hist. Nat. Palm. 3(ed.

berukuran kecil.

2): 211 (1845). Calamosagus scaphiger (Mart.)


Griff., Palms Brit. E. Ind.: 30 (1850).

Catatan. Rotan ini bisa dijumpai di dataran Kalimantan pada dataran rendah, berbukit, hutan

Korthalsia lobbiana H.Wendl., Bot. Zeitung

dipterokarp serta hutan kerangas.

(Berlin) 17: 174 (1859).

Status konservasi. Belum ada data yang sig-

Korthalsia machadonis Ridl., Mat. Fl. Malay. Pen-

nifikan.

ins. 2: 216 (1907).


Habitus rotan tumbuh mengelompok, ramping,

17. Korthalsia echinometra Becc., Malesia 2:66

bercabang, tumbuh hingga mencapai 20 m atau

(1884).

lebih. Diameter batang dengan upih daun sekitar

Daemonorops ochreata Teijsm. & Binn., Cat.

8 15 mm, tanpa upih daun sekitar 6 9 mm,

Hort. Bot. Bogor.: 74 (1866), nom. nud.

jarak antar ruas hingga 10 cm, tidak berlutut,

Calamus ochreatus Miq., Verh. Kon. Akad.

okrea menggembung, lebar 2 cm panjang 3 cm,


berduri pendek dan jarang, banyak dihuni oleh

Wetensch., Afd. Natuurk. 11(5): 29 (1868), nom.


nud.

semut. Daun berkuncir, panjang hingga 1.3 m

Korthalsia angustifolia var. gracilis Miq., Palm.

termasuk tangkai daun sekitar 3 15 cm dan

Archip. Ind.: 16 (1868).

kuncir hingga 60 cm, anak daun berjumlah 3 7

Korthalsia horrida Becc., Malesia 2: 66 (1884).

pada tiap sisi rakis, berbentuk belah ketupat, panjang 20 cm dan lebar 10 cm dengan tangkai anak

Habitus rotan tumbuh mengelompok, berukuran


sedang, bercabang, tumbuh hingga mencapai 40

daun pendek sekitar 3 mm, permukaan atas daun

m atau lebih. Diameter batang dengan upih daun

hijau gelap, permukaan bawah daun keputihan.

sekitar 30 mm, tanpa upih daun sekitar 20 mm,

Perbungaan hingga mencapai 50 cm panjangnya,

jarak antar ruas hingga 12 cm. Upih daun hijau

terdiri dari hingga 10 bagian perbungaan, bagian

terang, berduri jarang, hampir seluruhnya di-

perbungaan ramping, panjang 8 cm, lebar 0.7 cm,


berbulu kecoklatan padat. Buah membulat telur,

tutupi oleh okrea, okrea menggembung sangat


besar, lebar 5 cm panjang 10 cm, berduri hitam,

panjang 2 cm, lebar 1.2 cm, ditutupi oleh sisik

panjang dan padat, banyak dihuni oleh semut.

kekuningan hingga coklat, berjumlah 15 18

Daun berkuncir, panjang hingga 1.8 m termasuk

pada garis vertikal. Biji panjangnya sekitar 1.5 cm,

tangkai daun sekitar 10 cm dan kuncir hingga 70

lebar 0.8 cm, endosperma sangat termamah.

cm, anak daun berjumlah hingga 25 pada tiap sisi


279

Himmah Rustiami

rakis, berbentuk belah ketupat yang memanjang

alihan fungsi hutan makin meningkat maka

ramping, panjang 30 cm dan lebar 3 cm, per-

dikhawatirkan suatu saat keberadaan jenis ini

mukaan atas daun hijau gelap, permukaan bawah


daun keputihan, berlilin. Perbungaan hingga

akan terancam.

mencapai 60 cm panjangnya, terdiri dari 15 bagi-

KESIMPULAN

an perbungaan, bagian perbungaan ramping, panjang 20 cm, lebar 1.5 cm, berbulu coklat keme-

Dari hasil eksplorasi di beberapa wilayah

rahan. Buah membulat, panjang 2.5 cm, lebar 1.5

perbukitan dalam kawasan Taman Nasional Bukit

cm, ditutupi oleh sisik coklat kemerahan, berjumlah 18 21 pada garis vertikal. Biji pan-

Baka dapat disimpulkan bahwa walaupun


dijumpai beberapa aktifitas perambahan rotan

jangnya sekitar 1.5 cm, lebar 1.0 cm, endosperma

kondisi

termamah. Anakan berdaun dua pasang mem-

dijumpainya jenis-jenis vegetasi yang menjadi

belah ketupat, memanjang ramping.

penciri hutan primer. Terdapat 17 jenis palem

Spesimen yang diamati. Desa Kaburai, Taman


Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kecamatan

baik itu palem pohon maupun palem merambat


atau yang lebih dikenal dengan istilah rotan di

Tumbang Senamang, Kotawaringin Timur, 03

kawasan tersebut. Dari ketujuhbelas jenis palem

Mei 2006, Himmah Rustiami HR 724b,

tersebut tujuh jenis merupakan endemik Kali-

berbuah.

mantan yaitu Caryota no, Iguanura macrostachya,

Distribusi. Jenis ini dapat dijumpai di Kalimantan, bagian selatan Semenanjung Malaya dan Su-

Licuala borneensis, Pinanga tomentella, Calamus


pogonacanthus, Daemonorops microstachys dan

matera.

Daemonorops sp. 1. Kebanyakan jenis-jenis rotan

Nama lokal. Wi tajam (Dayak ransa).

berpotensi secara ekonomi baik sebagai bahan

Manfaat. Rotan jenis ini berkualitas bagus dan

furnitur maupun bahan kerajinan.

banyak dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan

yangnya semua bahan baku diambil dari alam

tangan karena dapat dibelah hingga beberapa bagian, menurut informasi pendamping lapang

sehingga perlu dipikirkan tindakan konservasi


baik secara in situ maupun ex situ guna penyela-

dapat dibelah menjadi 8 bagian.

matan jenis-jenis endemik di kawasan tersebut.

hutan

masih

bagus

karena

masih

Hanya sa-

Catatan. Dari perjalanan eksplorasi dapat disimpulkan bahwa Korthalsia echinometra banyak

UCAPAN TERIMA KASIH

mendominasi kawasan perbukitan hutan dipterokarp dari dataran rendah hingga dataran tinggi.

Ungkapan terima kasih yang tulus kepada

Jenis ini mudah dikenali karena mempunyai okrea

semua pihak yang telah dengan senang hati mem-

yang sangat menggembung dan berduri serta

bantu terlaksananya proyek penelitian ini, teruta-

daun belah ketupatnya yang memanjang ramping,

ma kepada Kepala Puslit Biologi LIPI beserta

berbeda dengan jenis Korthalsia lainnya.

Kepala Bidang Botani. Selain itu juga kepada

Status konservasi. Upaya pelestarian hingga saat


ini belum pernah dilakukan. Status jenis ini masih

Kepala Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya


di Sintang, Kalimantan Barat yang telah mem-

belum terancam

karena jumlah yang sangat

berikan ijin dan fasilitas untuk melakukan

melimpah dan sering dijumpai di kawasan per-

penelitian serta pendampingan selama di lapan-

bukitan maupun dataran rendah di hutan-hutan

gan. Ibu Rugayah dan Bapak M Amir yang sudah

Kalimantan. Namun demikian jika kegiatan per-

menjadi teman seperjuangan selama di lapang


280

Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat

serta Bapak B. Sihombing, petugas dari taman

Dransfield J. 1984. Sabah forest records No. 13:

nasional yang sangat membantu serta seluruh war-

The rattans of Sabah (Malaysia). Forest De-

ga desa Nanga Siyai yang tidak bisa kami sebut


satu persatu dimana saya merasa sangat berterima

partment, Sandakan.
Dransfield J. 1986. A guide to collecting palms.

kasih dan berhutang budi.

Ann. Missouri Bot. Gard. 73: 166-176.


Jarvie JK, Ermayanti, Mahyar U, Church A &

DAFTAR PUSTAKA

Ismail. 1998. The habitats and flora of Bukit


Baka-Bukit Raya National Park. Tropical

Beccari O. 1902. Systematic enumeration of the


species of Calamus and Daemonorops with
diagnoses of the new ones. Rec. Bot. Surv.
Ind. 2: 197-230.

Biodiversity 5(1):11-56.
Kiew R. 1976. The genus Iguanura Blume. The
Gardens Bulletin Singapore 26: 191 230.
Mogea JP & de Wilde WJJO. 1982. Short report

Beccari O. 1908. Asiatic palms: Lepidocaryeae.

on the visit of the forest area at the upper

Part 1: The species of Calamus. Ann. Roy.


Bot. Gard. Calcutta 11.

Samba River and Bukit Raya Mountain,


Central Kalimantan, Indonesia. Mimeo-

Beccari O. 1911. Asiatic palms: Lepidocaryeae.


Part 2: The species of Daemonorops. Ann.
Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (1).
Beccari O. 1913. Asiatic palms: Lepidocaryeae.
Part 1: The species of Calamus. Appendix.
Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 11.

graph. Herbarium Bogoriense. Bogor.


Mogea JP. 1987. Notes on palmae collected during the expidition in Noteboom (ed.) Report
of the 1982-1983 Bukit Raya Expedition.
Rijksherbarium, Leiden, The Netherlands.
Hahn WJ & KJ Sytsma. 1999. Molecular system-

Beccari O. 1918. Asiatic palms: Lepidocaryeae.

atics and biogeography of the South East

Part 3: The species of Ceratolobus, Calo-

Asian genus Caryota (Palmae). Systematic

spatha, Plectocomia, Plectocomiopsis, Myriale-

Botany 24: 558-580.

pis, Zalacca, Pigafetta, Korthalsia, Metroxylon,


and Eugeissona. Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta
12 (2).

Saw LG. 2012. A revision of Licuala (Arecaceae,


Coryphoideae) in Kalimantan. Kew Bulletin
67: 577-654.

Bridson D & L Forman (eds.). 1992. The Herbari-

Tantra IGM. 1983. Some preliminary remarks on

um handbook. Revised Edition. Royal Botan-

the Bukit Raya Nature Reserve and its pro-

ic Gardens Kew, Kew.


Dransfield J. 1979. Malayan forest records No. 29:

posed extention. Mimeograph. Herbarium


Bogoriense. Bogor.

A manual of the rattans of the Malay Peninsula. Forest Department, Kuala Lumpur.

281

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 283-289 (2013)

Biotransformasi 2E-6E-Farnesol oleh Jamur Endofit Botryosphaeria sp. CA2C-3 yang


Diisolasi dari Temu Hitam (Curcuma aeruginosa ROXB.)
[Biotransformation of 2E-6E-Farnesol by the Endophytic Fungus Botryosphaeria sp. CA2C
-3 isolated from Temu Hitam (Curcuma aeruginosa ROXB.)]
Andria Agusta
Laboratorium Fitokimia, Bidang Botani, Puslit Biologi-LIPI, Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 169011. Telp. 0218765066 ext. 1104, E-mail: bislunatin@yahoo.com
Memasukkan: Mei 2013, Diterima: Juli 2013
ABSTRACT
The objective of study was to investigate the microbial transformation of 2E-6E-farnesol by the endophytic fungi
isolated from temu hitam (Curcuma aeruginosa ROXB. The transformation was carried out in PDB with (2E-6Efarnesol), incubated at room temperature (25-32 C) under shaking condition at 120 rpm for two days produced a
major biotransformed product. Structure elucidation based on 1H- and 13C-NMR analysis showed that the biotransformed product was 10,11-dihydroxi-2E-6E-farnesol. It It was verified that biotransformation reaction of 2E-6Efarnesol into 10,11-dihydroxi-2E-6E-farnesol through an intermediate 10,11-epoxi-2E-6E-farnesol.
Keywords: Temu hitam; Curcuma aeruginosa; endophytic fungi; biotransformation; 2E,6E-farnesol; 10,11-dihydroxi
-2E,6E-farnesol; 10,11-epoxi-2E-6E-farnesol.
ABSTRAK
Biotransformasi senyawa 2E,6E-farnesol oleh jamur endofit yang diisolasi dari temu hitam (Curcuma aeruginosa
ROXB) telah dipelajari. Inkubasi senyawa 2E-6E-farnesol di dalam kultur jamur endofit Botryospaeria sp. CA2C-3
pada medium PDB dengan temperatur ruang (25 32 oC) pada sebuah rotary shaker dengan kecepatan 120 rpm
selama dua hari menghasilkan suatu produk biotransformasi utama. Elusidasi struktur produk biotransformasi dilakukan berdasarkan hasil analisis 1H- dan 2D-RMI dan data terpublikasi memperlihatkan bahwa senyawa produk
adalah 10,11-dihidroksi-2E,6E-farnesol. Pada penelitian ini juga telah diklarifikasi bahwa reaksi bitransformasri 2E6E-farnesol menjadi 10,11-dihidroksi-2E,6E-farnesol adalah melalui senyawa intermaidet 10,11-epiksi-2E,6Efarnesol.
Kata Kunci: Temu hitam; Curcuma aeruginosa; jamur endofit; biotransformasi; 2E,6E-farnesol; 10,11-dihidroxi2E,6E-farnesol; 10,11-epoxi-2E-6E-farnesol.

PENDAHULUAN

adalah salah satu tumbuhan obat penting di Indonesia sebagai bahan baku pembuatan jamu. Salah

Jamur endofit adalah salah satu kelompok


mikroba di alam yang hidup di dalam jaringan

satunya adalah temu hitam (Curcuma aeruginosa


Roxb.). Rimpang segar temu hitam dilaporkan

sehat tumbuhan (Bacon & White, 2000). Di

mengandung beberapa senyawa dari golongan

samping sebagai produser senyawa kimia dengan

seskuiterpena (Kitamura et al. 2007). Senyawa

spektrum yang luas (Zhang et al. 2006, Tan &

seskiterpena alifatik 2E,6E-farnesol dikenal se-

Zou 2001), jamur endofit juga memiliki kapabili-

bagai senyawa intermediet (dalam bentuk turunan

tas untuk melakukan transformasi komponen


kimia tumbuhan inangnya (Shibuya et al. 2003;

pirofosfat) seskiterpena siklik dalam jalur biosintesis seskuitepena di dalam jaringan tumbuhan,

Agusta et al. 2005).

termasuk temu hitam (Dewick 1997; 2002; Cro-

Temu-temuan

(tumbuhan

Curcuma)

teau et al. 2000).


283

Andria Agusta

Sebanyak 8 isolat khamir dan 3 jamur fila-

500 mL yang berisikan 200 mL medium PDB

men dilaporkan telah diisolasi dari rimpang temu

pada rotary shaker dengan kecepatan agitasi 120

hitam (Agusta & Jamal 2011). Salah satu diantara


khamir tersebut, yaitu khamir CA1C-4 memiliki

rpm. Setelah diinkubasi selama 5 hari pada suhu


ruang (25 - 32 oC), 20 mL larutan steril 2E,6E-

kemampuan untuk mentransformasi seanyawa

farnesol (96%, Sigma) dalam metanol (1 mg/mL)

2E,6E-farnesol menjadi turunan karboksilatnya

ditambahkan

2E,6E-3,7,11-trimetil-2,6,10-didekatrien-1-kar-

Selanjutnya diinkubasi kembali dengan kondisi

boksilat dengan faktor konversi sebesar 51.3 %.

yang sama. Jalannya reaksi biotransformasi

Pada tulisan ini akan dilaporkan biotransformasi


2E,6E-farnesol oleh isolat jamur filamen

dimonitor dengan melakukan sampling 5 mL


medium tumbuh setiap 24 jam dari hari ke-1

Botryosphaeria sp. CA2C-3.

hinga hari ke-7 setelah penambahan substrat, dan


kemudian

ke

dalam

diekstraksi

medium

dengan

tumbuh.

kloroform.

Selanjutnya sampel dianalisis dengan teknik KLT

BAHAN DAN CARA KERJA


Bahan tumbuhan berupa rimpang segar

(SiO2, n-heksana:etil asetat, 8:1) dengan


penampak noda 1% CeSO4 / 10% H2SO4.

ROXB.

Jamur endofit Botryosphaeria sp. CA2C-3

(Zingiberaceae) dikoleksi dari daerah Jasinga, Bo-

ditumbuhkan di dalam 5 buah Erlenmeyer

gor, Jawa Barat pada Maret 2001. Identifikasi

berukuran 500 mL yang masing-masing berisikan

jenis dilakukan di Herbarium Bogoriense, Puslit


Biologi, LIPI.

200 mL medium PDB, dan diinkubasi dengan


kondisi yang sama dengan di atas. Setelah 5 hari,

Rimpang segar temu hitam dicuci dengan

400 mL larutan steril 2E,6E-farnesol (96%,

air sampai bersih. Kemudian disterilisasi per-

Sigma) dalam etanol (10 mg/mL) ditambahkan ke

mukaannya dengan cara merendam dalam 75%

dalam medium tumbuh. Selanjutnya diinkubasi

etanol selama 2 menit, 5.3% natrium hifoklorit

kembali pada suhu ruang (25 - 32 oC), 120 rpm

selama 5 menit dan kemudian dengan 75% etanol


selama setengah menit. Rimpang yang telah dis-

selama 2 hari. Kemudian seluruh medium


tumbuh berikut miselia diekstraksi dengan

terilkan

kemudian

kloroform dan kemudian dipekatkan dengan

dipotong dengan ketebalan sekitar 0.25 cm, dan

penguap putar, dan diperoleh 318.5 mg ekstrak.

selanjutnya ditaruh di atas medium corn-meal

Pemisahan dilakukan dengan teknik kromatografi

malt agar (CMMA) yang mengandung kloramfenikol (0.05 mg/mL), lalu diinkubasi pada suhu

kolom menggunakan silika gel (70 230 mesh)


sebagai fasa diam dan CHCl3-MeOH (13:1)

27 oC selama beberapa hari. Setelah tumbuh, se-

sebagai fasa gerak sehingga diperoleh 102.7 mg

tiap koloni jamur selanjutnya ditransfer beberapa

produk utama dan 0.5 mg Fraksi 2 yang diduga

kali ke medium potato dextrose agar (PDA) sampai

mengandung senyawa intermediet.

temu

hitam,

Curcuma

permukaannya

aeruginosa

tersebut

diperoleh koloni tunggal (Agusta et al. 2006).

Struktur kimia produk utama ditentukan

Jamur endofit Botryosphaeria sp. CA2C-3 diidentifikasi berdasarkan observasi morfologi dan anali-

berdasarkan analisis 1H- dan 13C-RMI. Spektrum


1H- dan 13C-RMI diukur dengan spektrometer

sis sekuens rDNA yang meliputi daerah 18S,

JEOL JNM-Lambda 500 yang dioperasikan pada

ITS1, 5.8S dan ITS2 (data tidak dipublikasi).

500 MHz untuk 1H dan 125 MHz untuk 13C di

Jamur endofit Botryosphaeria sp. CA2C-3


ditumbuhkan di dalam Erlenmeyer berukuran

dalam

pelarut

d6-CHCl3.

Geseran

kimia

diberikan dalam skala d (ppm) yang relatif


284

Biotransformasi 2E-6E-Farnesol oleh Jamur Endofit Botryosphaeria sp

terhadap tetrametilsilana (TMS, d = 0) sebagai

HASIL

internal standar, dan konstanta kopling diberikan


dalam satuan Herzt.
Sintesis 10,11-epoksi-2E,6E-farnesol dila-

Jamur endofit Botryospaeria sp. CA2C-3


merupakan salah satu jamur endofit berbentuk

kukan dengan menggunakan pereaksi asam meta-

filamen dari rimpang temu hitam yang memiliki

kloroparabenzoat (MCPBA, Uyanik et al., 2005).

kemampuan

Sebanyak 100 mg 2E,6E-farnesol dilarutkan

2E,6E-farnesol di dalam medium PDB setelah

didalam 10 mL distilat CH2Cl2, kemudian

diinkubasi selama dua hari pada suhu ruang (25

ditambah dengan 77 mg MCPBA. Setelah di


stirrer selama 30 menit pada temperatur ruang,

32 oC). Reaksi biotransformasi 2E,6E-farnesol


oleh Botryospaeria sp. CA2C-3 baru mulai

larutan dicuci dengan 10 mL larutan jenuh

berjalan setelah inkubasi selama 24 jam yang

NaHCO3 sebanyak 3 kali. Kemudian dicuci

ditandai oleh munculnya spot baru pada analisis

kembali dengan cara pengocokan dengan 10 mL

dengan KLT (data tidak ditampilkan). Selanjut-

NaCl sebanyak 3 kali dan kemudian fase CH2Cl2


dikeringkan dengan MgSO4 anhidrat. Setelah

nya pengamatan reaksi biotransfromasi secara


KLT sampai dengan hari ke tujuh (1 minggu)

fase CH2Cl2 dipekatkan dengan rotary evaporator

tidak memperlihatkan adanya perubahan pada

(temperatur kamar), kemudian dipisahkan dengan

pola kromatogram KLT ekstrak CHCl3 kultur

kolom kromatografi yang menggunakan 20 g gel

jamur tersebut.

silika (70 - 230 mesh) sebagai fase diam. Elusi


dilakukan dengan campuran pelarut n-heksana

Untuk tujuan isolasi dan karakterisasi


produk biotransformasi 2E,6E-farnesol oleh

etilasetat (2:1). Senyawa 10,11-epoksi-2E,6E-

jamur endofit Botryospaeria sp. CA2C-3, maka

gas

dilakukan scaling-up reaksi biotransformasi men-

farnesol

diidentifikasi

dengan

teknik

chromatography-spektrometri massa (GC-MS).


Fraksi

hasil

pemisahan

untuk

melakukan

transformasi

jadi 5 x 200 ml PDB. Dari ekstraksi tersebut di-

ekstrak

peroleh sebanyak 102.7 mg produk utama.

kloroform yang diduga mengandung 10,11epoksi-2E,6E-farnesol


(berdasarkan
analisis

Spektrum 1H-RMI produk utama memperlihatkan adanya 12 sinyal proton (Tabel 1).

dengan KLT dengan pembanding senyawa hasil

Sedangkan spektrum

sintesis) dianalisis dengan GC-MS (Shimadzu QP

terdapatnya 15 sinyal atom karbon (Tabel 2).

-5000) dengan menggunakan kolom kapiler GL

Hasil analisis GC-MS Fraksi 2 yang diperoleh

Sciences TC-17 (0.25 mm x 30 m) volume injeksi


5 mL. Pada analisis ini suhu kolom diprogram

dari pemisahan ekstrak kloroform ditampilkan


pada Gambar 1.A dengan spektrum massa pada

dari 80 oC isothermal selama 3 menit, kemudian

Gambar 1.C

dinaikkan menjadi 250 C dengan kecepatan


o

kenaikan suhu 5 C/menit. Pada suhu 250 C

13

C-RMI memperlihatkan

Untuk hasil analisis GC-MS

senyawa 10,11-epoksi 2E,6E-farnesol ditampilkan


pada Gambar 1.B.

suhu kolom dipertahankan selama 5 menit. Suhu


injektor diprogram konstan pada 230 oC, interfase
250 oC dan Helium sebagai gas pembawa dengan
kecepatan alir 1.3 mL/menit. Identifikasi senyawa

PEMBAHASAN
Proses

biotransformasi

2E,6E-farnesol

intermediet dilakukan dengan cara membanding-

oleh Botryospaeria sp. CA2C-3 diketahui dengan

kannya dengan 10,11-epoksi-2E,6E-farnesol hasil

terlihatnya spot baru dari hasil analisis dengan

sintesis.

KLT. Keberadaan spot baru ini bertambah besar


285

Andria Agusta

Tabel 1. 1H-RMI produk biotransformasi 2E,6Efarnesol.


Atom H 2E ,6E -farnesol*

produk
10,11-dihidroksibiotransformasi 2E ,6E -farnesol*

biotransformasi

memperlihatkan

pola

yang

hampir sama dengan substrat 2E,6E-farnesol


(Tabel 1), kecuali sinyal proton metilen C-9 yang
bergeser ke daerah high field (d 1.42) yang

4.15 (d, J =7)

4.15 (d, J =7)

4.14 (d, J =7)

5.42 (d, J =7)

5.41 (d, J =7)

5.39 (d, J =7)

1.95 - 2.15 (m)

2.09 - 2.21 (m)

2.07 - 2.20 (m)

1.95 - 2.15 (m)

2.09 - 2.21 (m)

2.07 - 2.20 (m)

pada C-10 juga mengalami pergeseran ke daerah

5.15 (m)

5.18 (m)

5.17 (m)

high field, yaitu dari d 5.09 (m) menjadi d 3.37

1.95 - 2.15 (m)

2.09 - 2.21 (m)

2.07 - 2.20 (m)


1.41 (m)

disebabkan hilangnya ikatan rangkap pada C-10


dan C-11. Di samping itu sinyal proton olefinik

(dd, J=11.1). Sedangkan pada spektrum 13C-RMI


produk terjadi pergeseran sinyal atom C-10 dari

1.95 - 2.15 (m)

1.42 (m)

10

5.09 (m)

3.37 (dd, J =11.1) 3.36 (dd, J =11.1)

geseran kimia pada 123.9 menjadi 77.4, dan

12

1.68 (s)

1.69 (s)

1.68 (s)

sinyal atom C-11 dari 131.3 menjadi 73.1. Hal

13

1.60 (s)

1.60 (s)

1.60 (s)

ini mengindikasikan terjadinya kehilangan ikatan

Senyawa intermediet

rangkap pada posisi C-10 yang disertai dengan


pemasukan gugus hidroksi menjadi 10,11dihidroksi farnesol. Hal ini diperkuat oleh
kenyataan bahwa data 1H-RMI (Tabel 1) dan 13C
-RMI (Tabel 2) dari produk biotransformasi ini

10,11-epoksi
2E,6E-farnesol

identik dengan 10,11-dihidroksi farnesol, yaitu


produk biotransformasi 2E,6E-farnesol oleh
jamur Glomerella cingulata yaitu patogen pada
tumbuhan (Miyazawa et al. 1996).

Reaksi biotransformasi 2E,6E-farnesol


menjadi

10,11-dihidroksi-2E,6E-farnesol

oleh

jamur endofit Botryospaeria sp. CA2C-3 ini terjadi


melalui intermediet 10,11-epoksi-2E,6E-farnesol
(Gambar
Gambar 1. Kromatogram hasil analisis GC-MS fraksi
2 (A) dan senyawa 10,11-epoksi 2E,6E-farnesol
hasil sintesis (B) dan spektrum massa senyawa
10,11-epoksi 2E,6E-farnesol (C).

pada pengecekan hari kedua yang diikuti dengan


semakin berkurangnya substrat 2E,6E-farnesol.
Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadinya
konversi substrat 2E,6E-farnesol menjadi suatu
produk biotransformasi. Hasil monitoring reaksi
biotransfromasi secara KLT selama 1 minggu
proses fermentasi tidak memperlihatkan adanya
perubahan pada pola kromatogram KLT ekstrak
CHCl3 kultur jamur tersebut.
Spektrum 1H-RMI produk utama reaksi

2).

Hal

ini

dibuktikan

dengan

terdeteksinya senyawa intermediet tersebut pada


fraksi 2 hasil pemisahan ekstrak kloroform kultur
jamur endofit. Senyawa intermediet ini
diidentifikasi dengan cara membandingkannya
dengan senyawa standar 10,11-epoksi-2E,6Efarnesol yang disintesis dari 2E,6E-farnesol
dengan pereaksi MCPBA. Seperti terlihat pada
Gambar 1A, fraksi 2 terdapat dalam bentuk
campuran dan jumlah yang sangat sedikit (0.5
mg). Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut
dapat disimpulkan bahwa reaksi 10,11-epoksi2E,6E-farnesol menjadi 10,11-dihidroksi-2E,6Efarnesol memiliki laju reaksi yang sangat cepat
sehingga

sesaat

setelah

10,11-epoksi-2E,6E286

Biotransformasi 2E-6E-Farnesol oleh Jamur Endofit Botryosphaeria sp

Tabel 2. 13C-RMI produk biotransformasi 2E,6Efarnesol.


10,11-dihidroksiproduk
biotransformasi 2E ,6E -farnesol*

atom H 2E ,6E -farnesol*

mengubah 2E,6E-farnesol menjadi 2Z,6E-farnesol


(Suzuki et al. 1972). Sedangkan Pseudomonas
aureofaciens menghasilkan asam 2E,6E-3,7,11trimetil-2,6,10-dodekatrien-1-karboksilat,
dan

C-1

58.9

59.2

59.0

2E,6E-3,7,11-trimetil- 2,6,10-dodekatrien-1,13

C-2

124.3

124.2

124.1

-diol (Madyastha & Gururaja 1993b).

C-3

139.5

138.5

138.4

C-4

31.9

39.2

39.2

C-5

26.3

25.5

25.5

C-6

124.3

125.1

124.9

C-7

135.9

134.9

134.8

diperoleh sejauh ini belum atau tidak ditemukan


pada tumbuhan inangnya, temu hitam (Agusta,

C-8

32.2

36.4

36.4

2008). Besar kemungkinan kondisi fermentasi

C-9

26.6

28.9

29.0

yang diterapkan dalam penelitian ini tidak cocok

C-10

124.0

77.4

77.4

untuk

C-11

131.4

73.1

73.1

C-12

25.6

26.3

26.2

Botryospaeria sp. CA2C-3 yang bertanggung


jawab terhadap pembentukan senyawa seskiter-

C-13

17.6

23.1

23.0

C-14

16.2

17.7

15.8

C-15

15.9

15.7

15.7

* Miyazawa et al ., 1996
5

9
10
11
13

OH

jamur endofit Botryospaeria sp. CA2C-3 yang

mengaktifkan

enzim-enzim

pada

pena yang merupakan karakteristik pada temu


hitam. Untuk itu saat ini masih dilakukan
fermentasi 2E,6E-farnesol dengan jamur endofit
lainnya, disamping penelitian lanjutan untuk
mencari kondisi fermentasi yang ideal.

14

Produk reaksi biotransformasi dengan

15

HO

OH

OH

KESIMPULAN

HO

12

2E,6E-farnesol

10,11-epoksi-

10,11-dihidroksi-

2E,6E-farnesol

2E,6E-farnesol

Gambar 2. Reaksi biotransformasi 2E,6E-farnesol oleh


Botryospaeria sp. CA2C-3.

Jamur endofit Botryospaeria sp. CA2C-3


yang diisolasi dari rimpang segar tumbuhan temu
hitam memiliki kemampuan untuk melakukan
biotransformasi 2E,6E-farnesol menjadi 10,11-

farnesol terbentuk, secara cepat dirubah menjadi

dihidroksi-2E,6E-farnesol dengan kapasitas trans-

10,11-dihidroksi-2E,6E-farnesol.

formasi sebesar 51.35%. Reaksi biotransformasi

10,11-Dihidroksi-2E,6E-farnesol
pertama kali dilaporkan sebagai produk

2E,6E-farnesol menjadi 10,11-dihidroksi-2E,6Efarnesol terjadi melalui senyawa intermediet 10,11

biotransformasi

-epoksi-2E,6E-farnesol.

2E,6E-farnesol

oleh

jamur

Aspergillus niger (Madyasta & Gururaja 1993a).


Tiga tahun kemudian, Miyazawa et al. (1996)
melaporkan

bahwa

jamur

patogen

UCAPAN TERIMAKASIH

pada

tumbuhan, yaitu Glomerella cingulata dapat


melakukan
biotransformasi
2E,6E-farnesol

Diucapkan terimakasih kepada Prof. Dr.


Hirotaka Shibuya, Natural Product Chemistry

menjadi 10,11-dihidroksi-2E,6E-farnesol, 11,15-

Laboratory, Faculty of Pharmacy and Phar-

dihidroksi- 2E,6E-farnesol dan

maceutical

2E,6E-farnesol.

Di

pihak

Helmintosporium

sativum

5,11-dihidroksilain

dilaporkan

Science,

Fukuyama

University,

jamur

Fukuyama, Hiroshima, Jepang atas bantuan

dapat

pengukuran data 1H- dan 13C-RMI.


287

Andria Agusta

DAFTAR PUSTAKA

Madyastha, KM. & TL. Gururaja. 1993a. Transformation of acyclic isoprenoids by Aspergil-

Agusta A. 2008. Perbandingan komponen kimia


rimpang temu hitam (Curcuma aeruginosa
Roxb.) dan temu putih (C. zedoaria) asal
Jepang. Majalah Obat Tradisional, 13(46):
155-159.

lus niger: selective oxidation of w-methyl and


remote double bonds. Appl. Microbiol. Biotechnol. 38: 738-741.
Madyastha, KM. & TL. Gururaja. 1993b. A new
pathway for the degradation of a sesquiter-

Agusta, A., K. Ohashi & H. Shibuya. 2006.

pene alcohol, nerolidol by Alcalingenes eu-

Composition of the endophytic filamentous


fungi isolated from tea plant Camellia sinen-

trophus. Biochem. Biophysic Res. Commun.,


193: 26.

sis. J. Nat. Med., 60(3): 268-272.

Miyazawa, MH., H. Nankai, & H. Kameoka.

Agusta, A. & Y. Jamal. 2011. Biotransformasi

1996. Biotransformation of acyclic terpenoid

2E,6E-farnesol oleh khamir endofit CA1C-4.

(2E,6E)-farnesol by plant pathogenic fungus

Berk. Penel. Hayati, 17: 1-4.


Agusta, A., S. Maehara, K. Ohashi, P. Simanjun-

Glomerella cingulata. Phytochemistry, 43: 105


-109.

tak & H. Shibuya. 2005. Stereoselective Ox-

Shibuya, H., C. Kitamura, S. Maehara, M. Naga-

idation at C-4 of Flavans by the Endophytic

hata, H. Winanarno, P. Simanjuntak, H.S.

Fungus Diaporthe sp. Isolated from a Tea

Kim, Y. Wataya & K. Ohashi. 2003. Trans-

Plant. Chem.Pharm. Bul. 53 (12): 15651569.

formation of Chincona Alkaloids into 1-NOxide Derivatives by Endophytic Xylaria sp.

Bacon, CW. & JF. White. 2000. Microbial Endo-

Isolated from Chincona pubescens. Chem.

phytes. Marcel Dekker, NY.

Pharm. Bull. 51: 71-74.

Croteau, R., TM. Kutchan, NG. Lewis. 2000,

Suzuki, Y. & Y. Marumo. 1972. Trans- to cis-2,3

Natural Products (Secondary Metabolites), in

double bond isomerization of epoxyfarnesol

Biochemistry & Molecular Biology of Plants,


B. Buchanan, W. Gruissem, R. Jones, Eds.,

and farnesol by fungus. Tetrahedron Lett. 50:


5101-5104.

American Society of Plant Physiologists.

Tan, RX. & WX. Zou. 2001. Endophytes: A rich

1250-1318.
Dewick, PM. 1997. Medicinal Natural Products,

source of functional metabolites. Nat. Prod.


Rep. 18: 448-459.

A Biosynthetic Approach. John Willey &


Sons, New York.

Unayik, M., K. Ishihara and H. Yamamoto.


2005. Biomimetic synthesis of acid-sensitive

Dewick, PM. 2002, The Biosynthesis of C5-C25

(-)- and (+)-caparrapi oxides, (-)- and (+)-8-

Terpenoid Compounds, Nat. Prod. Rep., 19:

epicarrapi oxides and (+)-dysifragin induce

181-222.

by artificial cyclases. Bioorg. Med. Chem. 13:

Kitamura, C., T. Nagoe, MS. Prana, A. Agusta,


K. Ohashi & H. Shibuya. 2007. Comparison of Curcuma sp. In Yakushima with C.
aeruginosa and C. zedoaria in Java by tnrK

5055-5065.
Zhang, HW., YC. Song and RX.Tan 2006. Biology and Chemistry of the endophytes. Nat.
Prod. Rep. 23, 753.

gene sequence, RAPD pattern and essential


oil component. J. Nat. Med. 61: 239-243.

288

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 289-300 (2013)

Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti
(Habitat of Malayan Sun Bear at Conservation Area of IUPHHK-HTI PT. RAPP Meranti
Estate).
Nur Anita Gusnia1), Agus Priyono Kartono2), & Harnios Arief2)
Mahasiswa Mayor KVT IPB Bogor, Email: anita_gusnia@yahoo.com
Staf Pengajar Mayor KVT IPB Bogor, Email: apkartono@yahoo.co.id, harniosarief@yahoo.co.id
1

ABSTRACT
The malayan sun bear (Helarctos malayanus Raffles 1821) in Indonesia is only be found on the island of Sumatera
and Borneo. Malayan sun is under threat either caused by natural or human disturbance. The objectives of this study
were to identify the presence and habitat use assess dominant habitat components that affect sun bear's population.
The studied comprises of vegetation analysis, line transect, field observation and drawing the habitat profile. The existence of sun bear data was collected by indirect encounter. Habitat used by sun bear was both on Tall Pole Forest/
TPF) and pet swamp transition forest (TRF) vegetation type. Sun bear only used trees on their daily activity with
average height and diameter was 20 m and 51 cm respectively. Based on factor analysis, the dominant habitat factors
that determined the existence of sun bear were vegetation density, canopy cover, the amount of tree and feeding tree
individual and the amount of tree and feeding tree species.
Keywords: Dominant factors, habitat use, Helarctos malayanus, Meranti Estate.
ABSTRAK
Keberadaan beruang madu (Helarctos malayanus Raffles 1821) di Indonesia dapat ditemukan di Pulau Sumatera dan
Kalimantan. Beruang madu mengalami berbagai ancaman populasi dan habitat baik yang terjadi secara alami maupun akibat manusia. Upaya konservasi yang dilakukan perlu didukung oleh informasi ilmiah mengenai keberadaan
populasi dan kondisi habitat yang sesuai bagi spesies tersebut sehingga dapat disusun suatu strategi pengelolaan yang
efektif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan beruang madu di Estate Meranti,
penggunaan ruang beruang madu dan faktor dominan habitat penduga keberadaan beruang madu di Estate Meranti.
Metode penelitian yaitu analisis vegetasi, transek jalur, observasi lapang dan pemetaan diagram profil habitat.
Keberadaan beruang madu diketahui melalui perjumpaan tidak langsung. Beruang madu menggunakan ruang baik
pada tipe vegetasi hutan tiang tinggi (TPF) maupun transisi dengan gambut (TRF). Vegetasi yang dijadikan tempat
beraktivitas yaitu pohon dengan ketinggian rata-rata 20 m dan diameter rata-rata 51 cm. Komponen habitat yang
paling berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu yaitu kerapatan vegetasi, penutupan tajuk rata-rata, jumlah
jenis pohon dan pohon pakan serta jumlah individu pohon dan pohon pakan.
Kata kunci: beruang madu, Estate Meranti, faktor dominan, penggunaan ruang.

PENDAHULUAN

Galetti 1999). Beruang madu mengalami berbagai


ancaman baik yang terjadi secara alami maupun

Beruang madu (Helarctos malayanus Raffles


1821) merupakan spesies beruang terkecil yang

akibat manusia seperti penangkapan liar,


perdagangan beruang maupun bagian-bagian

dapat ditemukan di Indonesia dari delapan spesies

tubuhnya, pembunuhan beruang ketika terjadi

beruang di dunia (Lekagul & McNeely 1977).

konflik dengan manusia, fragmentasi dan isolasi

Beruang madu di Indonesia dapat ditemukan di

habitat, degradasi hutan, konversi lahan, keba-

Pulau Sumatera dan Kalimantan. Peranan beru-

karan dan kekeringan (Servheen 1998). Berbagai

ang madu selain menjaga keseimbangan ekosistem


hutan juga turut membantu persebaran benih dari

permasalahan yang terjadi tersebut apabila tidak


segera ditanggulangi maka dapat mempercepat

biji-bijian yang mereka makan (McConkey &

penurunan populasi beruang madu sampai


289

Gusnia, dkk.

tat dan upaya pelestarian populasi beruang madu

akhirnya dapat menyebabkan kepunahan.


Areal konservasi IUPHHK-HTI PT. RAPP

serta sebagai bentuk monitoring habitat beruang

Estate Meranti (Estate Meranti) merupakan kawasan seluas 9123,052 hektar yang merupakan bagi-

madu di Estate Meranti. Tujuan dilakukan


penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi

an dari ekosistem dan sistem hidrologi Semenan-

keberadaan beruang madu di Estate Meranti,

jung Kampar. Estate Meranti menjadi habitat

penggunaan ruang oleh beruang madu di Estate

bagi beraneka ragam tumbuhan dan satwa liar,

Meranti dan faktor dominan habitat penduga

baik yang menempati kawasan tersebut secara

keberadaan beruang madu di Estate Meranti.

tetap maupun temporer (TIIP 2010a). Salah satu


jenis satwa liar yang dilindungi yang hidup di

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai sebaran populasi, kondisi

kawasan Estate Meranti yaitu beruang madu.

habitat dan bentuk penggunaan ruang beruang

Keberadaan spesies ini menjadi salah satu tolak

madu di Estate Meranti sehingga dapat digunakan

ukur dalam penentuan nilai penting areal hutan

sebagai acuan dalam pengelolaan habitat beruang

tersebut karena statusnya yang dilindungi baik


secara nasional maupun internasional.

madu.

Berbagai permasalahan kawasan yang ter-

BAHAN DAN CARA KERJA

jadi dapat mengancam populasi dan habitat satwa


liar ini. Hutan alam di Semenanjung Kampar

Penelitian dilaksanakan di Areal Konservasi

yang telah dikonversi menjadi hutan tanaman


menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas

IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti pada


bulan Juni-Juli 2012. Data yang dikumpulkan

habitat dan populasi beruang madu di Estate Me-

meliputi keberadaan beruang madu, karakteristik

ranti. Kurangnya informasi ilmiah mengenai

habitat, penggunaan ruang dan faktor dominan

keberadaan satwa liar tersebut di Estate Meranti

habitat penentu keberadaan beruang madu.

menyebabkan kurang spesifiknya pengelolaan

Keberadaan beruang diketahui dengan per-

yang dilakukan. Salah satu aspek yang perlu


diketahui untuk menunjang pengelolaan populasi

jumpaan tidak langsung melalui jejak cakaran,


koyakan dan tapak kaki. Komponen habitat yang

dan habitat beruang madu di Estate Meranti yaitu

diamati dibedakan menjadi komponen biotik

aspek

Augeri

(jenis, komposisi dan struktur vegetasi, serta ben-

(2005), bagi sebagian besar spesies beruang,

tuk, posisi dan penutupan tajuk) dan komponen

ketersediaan keanekaragaman dan pakan, kondisi


habitat dan cover seringkali menjadi faktor ekologi

abiotik (kedalaman gambut, jarak lokasi perjumpaan beruang dari jalan, sungai dan kawasan

yang paling menonjol yang mempengaruhi

produksi). Tipe habitat yang diamati dibedakan

penggunaan habitat.

menjadi dua tipe variasi lokal vegetasi yaitu hutan

penggunaan

ruang.

Menurut

permasalahan-permasalahan

tiang tinggi (Tall Pole Forest/TPF) dan transisi

tersebut maka perlu dilakukan penelitian guna

hutan tiang tinggi-hutan rawa gambut campuran

mendapatkan data dan informasi mengenai faktor


-faktor penentu keberadaan serta penggunaan

(Transition TPF-MPSF/TRF). Unit contoh


sebanyak 17 petak pengamatan masing-masing

ruang oleh beruang madu di Estate Meranti. Hasil

seluas 0,52 ha.

Berdasarkan

penelitian tersebut dapat digunakan sebagai dasar

Data keberadaan beruang diketahui dengan

dalam pengambilan keputusan pengelolaan habi-

metode transek jalur. Panjang jalur pengamatan

290

Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi

yaitu 260 m dan lebar jalur 20 m. Perjumpaan

deskriptif kualitatif. Penggunaan ruang oleh beru-

beruang secara tidak langsung melalui jejak

ang madu dianalisis dengan uji chi square (X2)

cakaran, koyakan dan tapak kaki. Titik koordinat


GPS dan keterangan lainnya pada jejak yang

dan tumpang tindih (overlay) peta kawasan


dengan data hasil inventarisasi. Penentuan faktor

ditemukan dicatat pada tally sheet.

dominan habitat diperoleh dengan analisis faktor

Data komponen biotik habitat diperoleh


dengan cara analisis vegetasi metode garis berpe-

dan analisis regresi menggunakan software SPSS


16.

tak dan pemetaan diagram profil habitat. Ketentuan ukuran petak contoh analisis vegetasi untuk tingkat semai (tinggi <1,5m) 2m x 2m, ting-

HASIL

kat pancang (diameter <10cm dengan tinggi

Keberadaan Beruang Madu

>1,5m) 5m x 5m, tingkat tiang (diameter 10-

Jejak beruang madu ditemukan pada 11

20cm) 10m x 10m dan tingkat pohon (diameter

jalur yaitu pada kawasan sempadan Sungai Kutup,

>20cm) 20m x 20m (Soerianegara & Indrawan


2005). Jalur yang dibuat sepanjang 260 m dengan

S. Sangar, S. Serkap, S. Turip dan Tanjung Rimba. Berdasarkan tipe variasi lokal vegetasi

lebar 20 m. Vegetasi yang diamati pada pemetaan

penyusunnya, keberadaan jejak beruang madu

diagram profil habitat yaitu pohon dengan pan-

dapat ditemukan pada kedua tipe sebaran vegetasi

jang jalur 100 m dan lebar jalur 20 m. Data kom-

yang diamati yaitu TPF dan TRF. Jejak beruang

ponen abiotik habitat diperoleh dengan metode


observasi lapang.

madu yang dijumpai di TPF sebanyak 16 jejak


dan di TRF sebanyak 5 jejak (Gambar 1). Jejak

Data keberadaan beruang dianalisis secara

beruang madu tidak ditemukan pada kawasan

deskriptif kualitatif dan pembuatan peta sebaran

penyangga kubah gambut yaitu di jalur transek

populasi. Data komponen biotik dianalisis kom-

Tanjung Bunga.

posisi dan dominansi jenis vegetasi, indeks kesa-

Berdasarkan tipe jejak yang ditemukan,

maan komunitas (Index of Similarity) serta keanekaragaman jenis vegetasi dengan pendekatan In-

jejak tersebut dibedakan menjadi jejak cakaran


sebanyak 13, koyakan sebanyak 7 dan tapak kaki

deks Kekayaan Margalef, Indeks Keanekaragaman

1 perjumpaan. Jejak yang paling banyak dijumpai

Shannon-Wiener dan Indeks Kemerataan Pielou.

berupa cakaran. Cakaran umumnya dijumpai pa-

Data

da pohon dengan diameter besar dan digunakan

komponen

abiotik

dianalisis

secara

beruang madu untuk memanjat pohon. Cakaran


beruang madu memiliki bentuk yang khas, dimana kulit pohon sedikit tercungkil dan jejak
berupa jalur memanjat dari bagian bawah dekat
akar sampai ke atas pohon. Koyakan yang
ditemukan di pohon umumnya setinggi beruang
madu dewasa. Beruang madu tersebut diduga
berdiri di atas permukaan tanah atau di dekat perakaran pohon kemudian mengoyak batang
pohon atau lubang yang terdapat di pohon untuk
Gambar 1. Peta sebaran beruang madu di Areal Konservasi Estate Meranti

mencari pakan. Jejak tapak kaki sulit dijumpai


karena permukaan tanah yang tertutup oleh ban291

Gusnia, dkk.

yak serasah sehingga tapak kaki beruang yang ber-

sempadan sungai tersebut menjadi kawasan yang

pindah atau beraktivitas di atas tanah sulit

ditetapkan menjadi kawasan lindung oleh PT.

terdeteksi. Sebanyak 20 jejak beruang madu


ditemukan pada vegetasi tingkat pertumbuhan

RAPP sehingga tidak akan dialihfungsikan menjadi kawasan produksi.

pohon dan hanya satu jejak yang ditemukan di

Vegetasi yang dijadikan cover oleh beruang


madu berasal dari tingkat pertumbuhan pohon.

atas permukaan tanah (Tabel 1).

Vegetasi yang dijadikan cover berasal dari famili

Karakteristik Habitat
Observasi lapang yang dilakukan di Estate
Meranti menemukan beberapa sumber pakan
beruang madu secara umum, yaitu tumbuhan,
kelulut (Trigona spp), capung dan rayap. Berdasarkan inventarisasi vegetasi dan studi pustaka
yang telah dilakukan, jenis tumbuhan yang menjadi sumber pakan bagi beruang madu di Estate
Meranti sejumlah 34 jenis yang termasuk dalam
18 genus dan 17 famili. Genus dan famili yang
paling banyak dijumpai yaitu genus Syzygium dan
famili Myrtaceae. Jenis yang termasuk dalam genus dan famili tersebut yaitu kelat kelam
(Syzygium sp.1), S. inophyllum, jambu-jambu (S.
claviflorum), nasi-nasi (S. zeylanicum), samak
(Syzygium sp.2) dan A. acuminatissima.
Sumber air bagi beruang madu di Estate
Meranti berupa air permukaan (sungai, kanal,
genangan) maupun air yang terkandung di dalam
pakannya. Estate Meranti menjadi daerah yang
dialiri oleh beberapa sungai yaitu Sungai Kampar,
S. Kutup, S. Serkap, S. Turip dan S. Sangar. Areal

Dipterocarpaceae. Jenis vegetasi yang termasuk


dalam famili Dipterocarpaceae dan terdapat di
Estate Meranti yaitu meranti bunga (Shorea
teysmanniana) dan meranti bakau (S. uliginosa).
Jejak beruang madu hanya ditemukan pada batang pohon S. teysmanniana. Selain itu, terdapat
lubang pada salah satu batang pohon S. teysmanniana yang sudah mati yang diduga digunakan oleh
beruang madu sebagai tempat tidur (bedding site).
Kondisi Biotik dan Abiotik Habitat
Jumlah jenis total yang ditemukan
sebanyak 74 jenis dari 30 famili. Jumlah jenis berdasarkan tipe vegetasi pada setiap tingkat pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar
3. Dominansi jenis pada setiap tipe vegetasi
disajikan pada Lampiran 2.
Kekayaan, kelimpahan dan kemerataan
jenis tertinggi pada tipe vegetasi TPF dan TRF
terdapat pada tingkat pertumbuhan pohon. Nilai
keanekaragaman vegetasi di TPF dan TRF dapat
dilihat pada Tabel 2. Pada habitat TPF dan TRF,
nilai indeks kekayaan, kelimpahan dan kemer-

Tabel 1. Jenis-jenis vegetasi yang terdapat jejak beruang


madu
Jumlah
Jejak
Aglaia rubiginosa
Parak
Meliaceae
9
Dacryodes rostrata
Kedondong
Burseraceae
1
Ficus stricta
Ara
Moraceae
1
Madhuca motleyana
Bengku
Sapotaceae
1
Payena leerii
Sonde
Sapotaceae
2
Quassia borneensis
Piandang
Simarubaceae
1
Shorea teysmanniana
Meranti bunga Dipterocarpaceae
3
Acmena acuminatissima Kelat merah
Myrtaceae
2
Nama Ilmiah

Nama Lokal

Total

292

Famili

20

Gambar 2. Jumlah jenis vegetasi di Estate Meranti

Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi

ataan tertinggi terdapat pada tingkat pertum-

23 ind/ha dan tingkat pohon terdapat pada jenis

buhan pohon.

tempurung bintang sebanyak 10 ind/ha.

Kerapatan total pada setiap tingkat pertumbuhan vegetasi di TPF dan TRF disajikan pada

Berdasarkan frekuensi perjumpaan jejak


beruang madu pada pohon di lokasi transek, jejak

Tabel 3. Kerapatan jenis tertinggi di tipe habitat

terbanyak

TPF pada tingkat pertumbuhan semai dan pan-

ditemukan pada pohon dengan bentuk tajuk tipe

cang adalah jenis kelat putih (Syzygium inophyl-

4 menurut klasifikasi Dawkins (1958) yaitu

lum) masing-masing sebanyak 1882 ind/ha dan

sebanyak 12 jejak. Bentuk tajuk tipe 4 merupakan

308 ind/ha, kerapatan tertinggi pada tingkat tiang


terdapat pada jenis kelat putih, pasir-pasir

tajuk dengan kondisi baik berupa lingkaran yang


tidak beraturan (irregular circle). Jejak beruang

(Stemonurus secundiflorus) dan bengku (Madhuca

berupa cakaran juga banyak ditemukan pada

motleyana) sebanyak 31 ind/ha, dan pada tingkat

pohon dengan bentuk tajuk tipe 5, yaitu tajuk

pohon terdapat pada jenis bengku sebanyak 16

dengan bentuk lingkaran sempurna (complete cir-

ind/ha. Kerapatan jenis tertinggi di tipe habitat


TRF pada tingkat pertumbuhan semai terdapat

cle) sebanyak 6 jejak.


Frekuensi tertinggi perjumpaan beruang

pada jenis kelat merah 2821 ind/ha, tingkat pan-

madu ditemukan pada posisi tajuk tipe 4

cang terdapat pada jenis kedondong hutan

(emergent) sebanyak 11 jejak dan tipe 5 (full over-

(Dacryodes rostrata) yaitu sebanyak 656 ind/ha,

head light) sebanyak 6 jejak. Kedua posisi tajuk

tingkat tiang terdapat pada jenis salakeo sebanyak

tersebut menunjukkan bahwa pohon dengan jejak


beruang madu terbanyak memiliki tajuk yang

berupa

koyakan

dan

cakaran

tidak tersembunyi dari cahaya matahari. Berdasarkan klasifikasi dari Augeri (2005), jejak beruang
madu terbanyak ditemukan pada penutupan tajuk
tipe 2 yaitu sebanyak 17 jejak. Habitat dengan
penutupan tajuk tipe 2 termasuk kawasan yang
cukup rindang dengan jumlah pohon rata-rata 1,3
-2,4 pohon/100m2 atau 26-50% lahan tertutup
oleh tajuk.
Kedalaman gambut pada lokasi penelitian
Gambar 3. Jumlah individu vegetasi di Estate Meranti

berkisar antara 5-8 m. Jejak beruang madu dapat


ditemukan pada kedalaman gambut 5-7 m dan
tidak ditemukan pada kedalaman gambut 8 m

Tabel 2. Indeks keanekaragaman jenis vegetasi di TPF


dan TRF
TPF

Indeks

Tabel 3. Kerapatan total vegetasi di TPF dan TRF

TRF

Semai Pancang Tiang Pohon Semai PancangTiang Pohon


D mg

6,186

7,482 7,96 8,62 5,187

5,821

8 8,386

3,024

3,265 3,32 3,47 2,706

2,765

3,3

0,804

0,822 0,85 0,85 0,812

0,784

0,9 0,922

Tingkat Pertumbuhan

3,49

Semai
Pancang

Keterangan: Dmg = Indeks Kekayaan Jenis Margalef; H= Indeks


Kelimpahan Jenis Shannon-Wiener; J= Indeks kemerataan Jenis Pielou

Tipe Vegetasi
TPF

TRF

14341

14167

2620

3528

Tiang

293

226

Pohon

129

122

293

Gusnia, dkk.

(Gambar 4). Frekuensi perjumpaan jejak beruang

dengan nilai chi square masing-masing X2(0,05;3)=

madu tertinggi terdapat pada lokasi dengan

14,8 dan X2(0,05;3)= 7,815. Berdasarkan hasil over-

kedalaman gambut 6 m, yaitu sebanyak 8 jejak.


Jejak beruang madu dapat ditemukan baik

lay antara peta Areal Konservasi Estate Meranti


dengan komponen biotik dan abiotik habitat yang

pada kawasan yang memiliki jarak kurang dari 1,5

diamati, habitat yang paling sesuai bagi beruang

km maupun lebih dari 1,5 km dari jalan akses

madu hanya berada di sempadan Sungai Turip, S.

(Gambar 4). Frekuensi perjumpaan jejak beruang

Serkap dan S. Sangar (Gambar 4).

di tipe vegetasi TPF yang memiliki jarak kurang


dari 1,5 km dari jalan sebanyak 16 jejak dan di
TRF sebanyak 4 jejak. Hanya 1 jejak beruang

Faktor Dominan Habitat


Komponen habitat utama yang paling

madu yang ditemukan pada kawasan dengan jarak

mempengaruhi keberadaan beruang madu di Es-

lebih dari 1,5 km dari jalan, yaitu di TRF.

tate Meranti yaitu kerapatan vegetasi (X1), peyang

nutupan tajuk rata-rata (X4), jumlah individu

ditemukan baik di tipe vegetasi TPF maupun


TRF dijumpai pada lokasi yang dekat dengan

pohon (X5), jumlah jenis pohon (X6), jumlah individu pohon pakan (X7) dan jumlah jenis pohon

sumber air, yaitu kawasan dengan jarak kurang

pakan (X8). Persamaan yang diperoleh yaitu:

Seluruh

jejak

beruang

madu

Y = 1,116 -0,3 X1 + 0,069 X4 + 0,078 X5

dari 1,5 km dari sungai (Gambar 4).


Jejak beruang madu dengan frekuensi

0,127 X6 0,018 X7 + 0,127 X8

tertinggi dijumpai pada kawasan dengan jarak


kurang dari 1,5 km dari kawasan produksi

Nilai koefisien regresi yang diperoleh yaitu R2=


69,5%. Kondisi vegetasi menjadi faktor yang pal-

(Gambar 4). Pada tipe vegetasi TPF, sebanyak 13

ing banyak memberikan pengaruh terhadap

jejak ditemukan pada kawasan dengan jarak ku-

keberadaan beruang madu di Estate Meranti.

rang dari 1,5 km dan 3 jejak pada kawasan


dengan jarak lebih dari 1,5 km. Pada tipe vegetasi
TRF, jejak beruang madu hanya ditemukan pada
kawasan dengan jarak kurang dari 1,5 km yaitu

PEMBAHASAN
Keberadaan populasi beruang madu di Areal Konservasi Estate Meranti dibuktikan dengan

sebanyak 5 jejak.

ditemukannya jejak beruang madu di kawasan


Penggunaan Ruang

tersebut. Berdasarkan tipe jejaknya, jejak beruang

Ruang yang dapat digunakan oleh beruang


madu di kawasan lindung Estate Meranti

madu yang ditemukan berupa cakaran dan koyakan pada pohon serta tapak kaki pada per-

dibedakan menjadi dua tipe vegetasi yaitu TPF

mukaan tanah. Jejak cakaran dan koyakan paling

dan TRF. Terdapat hubungan antara keberadaan

banyak dijumpai pada pohon parak (Aglaia rubig-

beruang madu dengan tipe vegetasi, dengan kata

inosa) dan meranti bunga (Shorea teysmanniana).

lain pola penggunaan ruang oleh beruang madu

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dil-

di Estate Meranti dipengaruhi oleh tipe variasi


lokal vegetasi (X2(0,05;2)= 12,519).

akukan oleh Hussin (1994) yang dikutip dalam


Wong et al. (2002) yang menyatakan bahwa jejak

Beruang madu menggunakan vegetasi pada

beruang madu di hutan sekunder paling banyak

tingkat pertumbuhan pohon untuk beraktivitas.

dijumpai pada vegetasi dengan genus Shorea

Ketinggian

memiliki

(Dipterocarpaceae) dan Aglaia (Meliaceae). Pohon

pengaruh terhadap keberadaan beruang madu

parak merupakan salah satu vegetasi sumber pa-

294

dan

diameter

pohon

Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi

Gambar 4. Peta sebaran beruang madu berdasarkan: kedalaman gambut (A), jarak dari jalan (B), jarak dari sungai
(C ) jarak dari kawasan produksi (D) dan penggunaan ruang oleh beruang madu di Areal Konservasi Estate
Meranti (E)

kan sedangkan meranti bunga merupakan vegetasi

dengan tinggi pohon antara 25-35 m, diameter

cover bagi beruang madu.

pohon berkisar antara 20-30 cm serta kanopi hu-

Jejak beruang madu lebih banyak


ditemukan pada tipe variasi lokal vegetasi TPF

tannya hanya terdiri atas 2-3 lapis saja (TIIP


2010a). Komposisi vegetasi penyusun TPF dan

dibandingkan TRF. Tipe vegetasi TPF dicirikan

TRF memiliki kesamaan komunitas yang tinggi

dengan ukuran pohon-pohon penyusunnya relatif

(IS= 80,65%). Beruang madu lebih banyak

kecil, tajuk pohon yang tinggi dan relatif rata

ditemukan di TPF karena tipe vegetasi tersebut


295

Gusnia, dkk.

memiliki keanekaragaman jenis vegetasi dan

proses fotosintesis dan menghasilkan cadangan

ketinggian pohon rata-rata yang lebih tinggi

makanan dalam bentuk biji dan buah sehingga

dibandingkan TRF. Keanekaragaman vegetasi


merupakan indikator yang paling baik pada kese-

meningkatkan ketersediaan sumber pakan bagi


beruang madu. Melimpahnya sumber pakan pada

luruhan

area

suatu individu pohon menyebabkan beruang ma-

(Supriatna 2008). Vegetasi di TPF lebih kaya,

du menggunakan pohon tersebut untuk beraktivi-

melimpah dan menyebar secara merata sehingga

tas mencari makan.

kekayaan

biotik

dari

suatu

memiliki potensi sumber pakan dan tempat ber-

Bentuk tajuk yang rindang juga memberi

lindung yang lebih banyak bagi beruang madu.


Jejak beruang madu lebih banyak dijumpai

manfaat perlindungan bagi beruang madu ketika


sedang beraktivitas pada suatu pohon, baik

pada kawasan dengan posisi tajuk emergent dan

beristirahat maupun mencari makan. Berdasarkan

full overhead light serta bentuk tajuk dengan kon-

Augeri (2005), beruang madu lebih menguta-

disi sangat baik berupa lingkaran yang tidak

makan keamanan (security) dibandingkan pakan.

beraturan (irregular circle). Kedua posisi tajuk tersebut menunjukkan bahwa pohon dengan jejak

Hasil penelitian Tan et al. (2013) menyatakan


bahwa aktivitas dengan frekuensi tertinggi pada

beruang madu terbanyak memiliki tajuk yang

beruang madu yaitu aktivitas istirahat. Vegetasi

terkena cahaya matahari secara langsung. Bentuk

yang dijadikan tempat berlindung oleh beruang

tajuk pohon merupakan karakteristik arsitektural

madu berasal dari tingkat pertumbuhan pohon

yang dapat menunjukkan potensi fotosintesis pada pohon, sedangkan posisi tajuk pohon di-

yang berasal dari famili Dipterocarpaceae. Jenis


vegetasi yang termasuk dalam famili Dipterocar-

pengaruhi oleh posisi relatif tajuk dalam mere-

paceae dan terdapat di Estate Meranti yaitu me-

fleksikan kondisi cahaya (Cunningham 2001,

ranti bunga (Shorea teysmanniana) dan meranti

Dawkins 1958). Tajuk pohon dengan kondisi

bakau (Shorea uliginosa). Akan tetapi, jenis yang

baik berpotensi lebih tinggi untuk melakukan

digunakan oleh beruang madu hanya meranti

Tabel 4. Karakteristik ruang yang sering digunakan oleh beruang madu di Estate Meranti
No

Karakteristik Komponen Habitat

Biotik
- kerapatan vegetasi 104-140 pohon/hektar
- bentuk tajuk tipe 4 (lingkaran tidak beraturan/irregular circle).
- posisi tajuk pohon tipe 4 (full overheadlight)
- penutupan tajuk tipe 2 (jumlah pohon 1,3-2,4 individu/100m2
atau 26-50% lahan tertutup oleh tajuk)
- jumlah individu pohon 41-57 individu
- jumlah jenis pohon 18-23 jenis
- jumlah individu pohon pakan 36-51 individu
- jumlah jenis pohon pakan 12-15 jenis
Abiotik
- kedalaman gambut <8 m
- jarak dari jalan akses < 1,5 km
- jarak dari sungai <1,5 km
- jarak dari kawasan produksi < 1,5 km

296

Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi

bunga karena karakteristik pohonnya yang lebih

lokasi perjumpaan beruang dengan jalan akses,

tinggi, diameter yang besar dan tajuk yang rin-

terlihat bahwa beruang madu di Estate Meranti

dang.

tidak terpengaruh dengan keberadaan jalan dan


tetap beraktivitas pada kawasan tersebut. Jejak

Keberadaan beruang madu juga berkaitan


dengan kondisi abiotik habitat seperti kedalaman

beruang

gambut, jarak kawasan dari jalan, sungai dan ka-

dijumpai pada kawasan dengan jarak kurang dari

wasan produksi. Beruang madu di Estate Meranti

1,5 km dari kawasan produksi. Areal perbatasan

hanya dijumpai pada kedalaman gambut 5-7 m.

antara kawasan produksi dengan kawasan lindung

Kawasan dengan kedalaman 8m atau lebih merupakan kawasan yang semakin mendekati kubah

berupa areal yang terbuka. Jejak beruang madu


yang ditemukan tidak jauh dari kawasan produksi

gambut. Kawasan kubah gambut memiliki keane-

diduga berkaitan dengan keberadaan pakan beru-

karagaman vegetasi yang lebih rendah dibanding-

pa serangga yang banyak terdapat di areal terse-

kan kawasan gambut lainnya. Kawasan tersebut

but.

juga memiliki tinggi dan diameter pohon serta


kerapatan vegetasi yang lebih rendah sehingga

Keberadaan dari kebanyakan jenis hewan


ordo karnivora tidak berhubungan langsung

tidak sesuai sebagai tempat beraktivitas beruang

dengan tipe habitat, melainkan dengan kom-

madu.

pleksitas atau heterogenitas dari struktur vegetasi


Sebagian besar kawasan dari Areal Kon-

dan

madu

atribut

dengan

lanskap

frekuensi

dari

habitat

tertinggi

tersebut

servasi Estate Meranti yang merupakan kawasan


sempadan sungai dilewati atau berdekatan dengan

(Lantschner et al. 2012). Beruang madu di Estate


Meranti tidak melakukan pemilihan habitat ber-

jalan akses dan kawasan produksi sehingga faktor

dasarkan tipe variasi lokal vegetasi karena beruang

abiotik berupa jarak kawasan dari jalan, sungai

madu dapat ditemukan di kedua tipe vegetasi

dan

untuk

yang diamati, yaitu TPF dan TRF. Berdasarkan

menduga keberadaan beruang madu. Jarak yang

TIIP (2010b), beruang madu di Semenanjung

dijadikan patokan yaitu 1,5 km, sesuai dengan


pergerakan harian rata-rata beruang madu yaitu

Kampar juga dapat dijumpai pada tipe vegetasi


MPSF (Mixed Peat Swamp Forest) dan LPF (Low

1,450,24 km (Wong et al. 2004). Seluruh jejak

Pole Forest). Tipe-tipe habitat tersebut dibedakan

beruang madu ditemukan pada kawasan dengan

berdasarkan lokasi geografis, kedalaman gambut,

jarak kurang dari 1,5 km dari sungai. Beruang

ukuran pohon dan penutupan tajuknya, bukan

madu beraktivitas di kawasan yang dekat dengan


sungai dikarenakan pada kawasan tersebut di-

berdasarkan komposisi vegetasi penyusunnya.


Tingginya nilai Index of Similarity (IS) menunjuk-

tumbuhi oleh vegetasi yang menjadi sumber pa-

kan bahwa komposisi vegetasi di tipe vegetasi di

kan mereka. Kawasan hutan di sekitar sungai juga

Estate Meranti ditumbuhi oleh komunitas vegeta-

merupakan kawasan yang paling stabil kondisi

si yang tidak banyak berbeda. Tipe-tipe habitat

vegetasinya karena tidak adanya proses pema-

tersebut menyediakan sumber pakan, air dan cover

nenan oleh pihak pengelola di dalam kawasan ini


sehingga banyak didatangi oleh beruang madu.

bagi beruang madu sehingga beruang madu menjadikan kawasan tersebut sebagai habitatnya. Hab-

Frekuensi perjumpaan tertinggi terdapat

itat yang paling sering dijadikan tempat beraktivi-

pada kawasan dengan jarak kurang dari 1,5 km

tas beruang madu memiliki karakteristik kompo-

kawasan

perlu

diperhitungkan

dari jalan akses. Dilihat dari dekatnya jarak antara

297

Gusnia, dkk.

nen biotik dan abiotik tertentu seperti yang ter-

servasi biodiversitas di kawasan hutan produksi

tera pada Tabel 4.

hanya merupakan upaya penunjang dan bukan

Komponen habitat yang berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu yaitu kerapatan
vegetasi, penutupan tajuk rata-rata, jumlah individu pohon dan pohon pakan, serta jumlah jenis
pohon dan pohon pakan. Seluruh komponen
habitat

yang

paling

berpengaruh

terhadap

keberadaan beruang madu merupakan komponen


biotik. Hal tersebut menunjukkan bahwa beruang
madu membutuhkan karakteristik vegetasi tertentu untuk menunjang kehidupannya. Kerapatan
vegetasi dan penutupan tajuk rata-rata berkaitan
dengan aksesibilitas dan keamanan bagi beruang
madu. Jumlah jenis dan individu pohon dan
pohon pakan berpengaruh terhadap ketersediaan
cover, shelter dan pakan bagi beruang madu. Beruang madu menyukai habitat dengan penutupan
lahan yang agak terbuka sehingga memudahkan
pergerakannya. Beruang madu juga menyukai
habitat dengan karakteristik pohon yang bertajuk
rindang dan terkena cahaya matahari secara langsung.
Kawasan dengan karakteristik seperti yang
tertera pada Tabel 3 terdapat pada kawasan sempadan S. Serkap, S. Turip dan S. Sangar (Gambar
4). Ketiga kawasan tersebut termasuk pada tipe
vegetasi TPF. Meskipun pada kawasan lain dapat
dijumpai jejak beruang madu, akan tetapi ketiga
kawasan tersebutlah yang memiliki atribut komponen habitat yang paling lengkap dan paling
sesuai dengan kebutuhan beruang madu. Kawasan
-kawasan
tersebut
perlu
dipertahankan
keberadaannya sehingga diharapkan dapat mempertahan kelestarian beruang madu di Estate Meranti. Kawasan-kawasan lain di dalam Areal Konservasi Estate Meranti dapat dilakukan modifikasi
dengan cara pengkayaan jenis dengan jenis lokal
yang merupakan sumber pakan dan cover bagi
beruang madu. Meskipun demikian, upaya kon-

298

tujuan utama dari keberadaan HTI tersebut sehingga tidak akan memberi output yang sama
dengan hutan konservasi.
KESIMPULAN
Keberadaan beruang madu pada suatu habitat sangat dipengaruhi oleh komponen biotik dan
abiotik suatu habitat. Populasi beruang madu di
Areal Konservasi IUPHHK-HTI Estate Meranti
menyebar di kedua tipe variasi lokal vegetasi TPF
dan TRF pada sempadan Sungai Kutup, S. Sangar, S. Serkap dan S. Turip. Beruang madu
menggunakan ruang baik pada tipe vegetasi TPF
maupun TRF. Komponen habitat yang paling
berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu
yaitu kerapatan vegetasi, penutupan tajuk ratarata, jumlah individu pohon, jumlah jenis pohon,
jumlah individu pohon pakan dan jumlah jenis
pohon pakan dan jarak dari kawasan produksi.
Ruang yang paling sesuai sebagai habitat beruang
madu dengan komponen biotik dan abiotik terlengkap terdapat pada tipe vegetasi TPF.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada PT. Riau Andalan Pulp & Paper dan Tropenbos International Indonesia Programme yang
telah memfasilitasi penelitian ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada staf dan pimpinan Departemen Forest Protection PT. RAPP
Estate Meranti atas akomodasi dan transportasi
yang telah diberikan sehingga dapat memudahkan
penulis dalam pengambilan data.

Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi

DAFTAR PUSTAKA

Groups. IUCN, Gland, Switzerland and


Cambridge, UK. x + 309 pp.

Augeri, DM. 2005. On the Biogeographic Ecology


of the Malayan Sun Bear [disertasi]. Depart-

Supriatna, J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia.


Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

ment of Anatomy Faculty of Biological Sci-

Tan, HM., SM. Ong, G. Langat, AR. Bahaman,

ences University of Cambridge. Cambridge,

RSK. Sharma & S. Sumita. 2013. The influ-

UK.

ence of enclosure design on diurnal activity

Cunningham, AB. 2001. Applied Ethnobotany:

and stereotypic behaviour in captive Malayan

People, Wild Plant Use and Conservation.


Cambridge: Earthscan.

Sun bears (Helarctos malayanus). Research in


Veterinary Science 94: 228-239.

Dawkins, HC. 1958. The Management of Tropi-

[TIIP] Tropenbos Internasional Indonesia Pro-

cal High Forest. University of Oxford. Impe-

gramme. 2010a. Buku I: Data dan Informasi

rial Forestry Institute Paper No. 34.

Dasar Penilaian Menyeluruh Nilai Konservasi

Lantschner, MV., V. Rusch, JP. Hayes. 2012.


Habitat use by carnivores at different spatial

Tinggi Semenanjung Kampar. Tidak Dipublikasikan.

scales in a plantation forest landscape in Pat-

[TIIP] Tropenbos Internasional Indonesia Pro-

agonia, Argentina. Forest Ecology and Man-

gramme. 2010b. Buku III: Penilaian Menye-

agement 269: 271-278.

luruh Nilai Konservasi Tinggi PT. RAPP Ring

Lekagul, B. & JA. McNeely. 1977. Mammals of


Thailand. Thailand: Association for the Conservation of Wildlife.
McConkey, K. & M. Galetti. 1999. Seed Dispersal by the Sun Bear Helarctos malayanus in

Semenanjung Kampar. Tidak Dipublikasikan.


Wong, ST., C. Servheen, & L. Ambu. 2002.
Food Habits of Malayan Sun Bears in Lowland Tropical Forest of Borneo. Ursus 13:
127-136.

Central Borneo. Journal of Tropical Ecology

Wong, ST., C. Servheen, & L. Ambu. 2004.

15: 237-241.
Servheen, C. 1998. Sun Bear Conservation Action

Home range, movement and activity patterns, and bedding sites of Malayan sun bears

Plan. Chapter 11: 219-224. Dalam Servheen

Helarctos malayanus in the Rainforest of Bor-

C, S. Herrero, & B. Peyton. 1998. Bears.

neo. Biological Conservation 119: 169-181.

Status Survey and Conservation Action Plan.


IUCN/SSC Bear and Polar Bear Specialist

299

Gusnia, dkk.

Lampiran 2. Indeks Nilai Penting pada setiap tingkat pertumbuhan vegetasi di Estate Meranti
No

Nama Ilmiah

Nama Lokal KR (%)


FR (%)
TALL POLE FOREST (TPF)

DR (%)

INP (%)

SEMAI
1 Syzygium inophyllum
Kelat putih
13,12
2 Acmena acuminatissima
Kelat merah
13,03
3 Stemonurus secundiflorus
Pasir-pasir
10,25
PANCANG
1 Syzygium inophyllum
11,74
Kelat putih
2 Ilex cymosa
Mesio
10,32
3 Stemonurus secundiflorus
Pasir-pasir
7,89
TIANG
1 Syzygium inophyllum
Kelat putih
10,49
2 Stemonurus secundiflorus
Pasir-pasir
10,49
3 Madhuca motleyana
Bengku
10,49
POHON
1 Madhuca motleyana
Bengku
12,69
2 Syzygium inophyllum
Kelat putih
10,55
3 Shorea teysmanniana
Meranti bunga
7,36
TRANSITION FOREST (TRF)
SEMAI
1 Acmena acuminatissima
Kelat merah
19,91
2 Ilex cymosa
Mesio
15,38
3 Syzygium inophyllum
Kelat putih
13,57
PANCANG
1 Syzygium inophyllum
Kelat putih
11,92
2 Dacryodes rostrata
Kedondong
18,6
3 Acmena acuminatissima
Kelat merah
9,59
TIANG
1 Mangifera griffithii
Salakeo
10,23
2 Shorea teysmanniana
Meranti bunga
6,82
3 Syzygium inophyllum
Kelat putih
9,09
POHON
1 Blumeodendron tokbrai
Tempurung bi
7,89
2 Acmena acuminatissima
Kelat merah
7,37
3 Shorea teysmanniana
Meranti bunga
6,32

300

10,13
9,7
10,34

23,25
22,73
20,59

9,97
8,41
9,19

21,71
18,73
17,08

9,76
9,76
9,09

10,79
9,96
9,94

31,03
30,21
29,52

9,45
10,14
6,58

10,92
8,32
10,14

33,05
29,01
24,07

12,87
11,88
9,9

32,78
25,29
25,46

13,01
4,88
9,76

24,93
23,48
19,35

10,84
7,23
6,02

11,79
9,87
7,51

32,86
23,92
22,63

5,13
5,77
6,41

5,83
5,66
5,52

18,86
18,8
18,24

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 301-310 (2013)

Vocalizations of Microhyla achatina Tschudi, 1838 (Anura: Microhylidae) from the foot
hills of Mount Salak, West Java
[Vokalisasi kodok Microhyla achatina Tschudi, 1838 (Anura: Microhylidae) asal kaki
Gunung Salak, Jawa Barat]
Hellen Kurniati
Museum Zoologicum Bogoriense, Research Center for Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI),
Widyasatwaloka Building, Jalan Raya Cibinong Km 46, Cibinong 16911, West Java, Indonesia.
E-mail: hkurniati@yahoo.com
Recived June 2013, Accepted August 2013
ABSTRACT
Vocalizations Microhyla achatina have never been described before. The advertisement calls of six individual males of
M. achatina which originated from the foot hills of Mount Salak, West Java were recorded in September 2011 at air
temperatures of 21.0C-23.4C. Call components were obtained from 95 calls, consisting of 855 pulses, which were
then analyzed to obtain the characteristics of sound waves by using software of Adobe Audition 3.0 and SAP2011.
Sound waves of M. achatina mainly consists of impulses whose sound spectrum ranges from 1327.5-2789.1 Hz,
while the band width of the spectrum is 1461.6 Hz. Results of the analysis showed that the frequency of the three
pulse-forming elements (dominant frequency, maximum frequency and minimum frequency) was markedly modulated; frequency modulation was clearly visible in the minimum frequency, which was modulared by 1500 to 2700
Hz modulation. The modulation of the dominant frequency and the maximum frequency was not too broad, i.e.
between 3000-3500 Hz. Results of linear regression analysis of the dominant frequency versus minimum frequency
and dominant frequency versus maximum frequency showed a strong correlation between the dominant frequency
versus minimum frequency, but a weak correlation between the dominant frequency versus the maximum frequency.
Keywords: vocalization, Microhyla achatina, West Java.
ABSTRAK
Vokalisasi jenis kodok M. achatina belum pernah dideskripsikan sebelumnya. Suara dari enam individu jantan M.
achatina asal kaki Gunung Salak, Jawa Barat direkam pada bulan September 2011 pada suhu udara 21,0C-23,4C.
Komponen suara yang didapat terdiri dari 95 suara panggilan dan 855 pulse, yang kemudian dianalisa untuk
mendapatkan ciri gelombang suaranya dengan menggunakan perangkat lunak Adobe Audition 3.0 dan SAP2011.
Gelombang suara jantan M. achatina bertipe impulse dengan spektrum suara panggilan berkisar dari 1327,5-2789,1
Hz, sedangkan lebar spektrum adalah 1461,6 Hz. Hasil analisis gelombang suara memperlihatkan frekuensi dari tiga
unsur pembentuk pulse (frekuensi dominan, frekuensi maksimum dan frekuensi minimum) terdapat modulasi;
modulasi ini terlihat jelas pada frekuensi minimum, yang mana modulasi ini pada kisaran 1500-2700 Hz. Modulasi
pada frekuensi dominan dan frekuensi maksimum tidak terlalu besar, yaitu antara 3000-3500 Hz. Hasil analisis
regresi linier dari parameter frekuensi dominan dengan frekuensi minimum dan frekuensi dominan dengan frekuensi
maksimum memperlihatkan korelasi yang kuat antara frekuensi dominan dengan frekuensi minimum; sedangkan
korelasi lemah antara frekuensi dominan dengan frekuensi maksimum.
Kata kunci: vokalisasi, Microhyla achatina, Jawa Barat

INTRODUCTION

disturbed or in open habitats that are dominated


by herbaceous plants, such as rice fields, fish

The Javan Chorus Frog, Microhyla achatina Tschudi, 1838 (Figure 1) is not a forest frog;

ponds or open grassy marshland (Kurniati &


Sumadijaya 2012). Vertical distribution of the

it is generally found in habitats that have been

frog is quite broad, ranging from 0 meter


301

Hellen Kurniati

(Kurniati et al. 2000) up to 1500 meters above sea

was used to describe the oscillogram and audio-

level (asl) (Kurniati 2006; Liem 1973). Distribu-

gram of the calls; while SAP2011 software was

tion of M. achatina is quite wide, includes Java


(Iskandar 1998), Bali (McKay 2006), and also

used to calculate parameters of sound waves, included the maximum and minimum frequency,

found in the southern tip of Sumatra (Iskandar &

dominant frequency, average frequency, ampli-

Mumpuni 2004).

tude, amplitude modulation (AM) and frequency

The Javan Chorus Frog is a small frog

modulation (FM). All data was tested by SPSS

species with the body length (SVL) of the adult

version 16.0. Correlation and linear regression

male ranging between 20-22 mm (Kurniati 2006)


in which the SVL is not much different from the

analysis was used to test every parameter that produced wave characters. Linear regression analysis

adult male of M. malang (former name M.

was used to explain the weak correlation when the

borneensis), which is between 18-22 mm (Matsui

R2 value was low (e.g. R2 0.10) even if P 0.01.

2011; Dehling 2010). Generally, males of M.

Standard deviation (SD) was used (except for the

achatina call in a dense chorus; usually they release their advertisement calls in a rice field, along

coefficient of Variance=CV) to show deviation


around the average value. Data with a highly

a permanent or impermanent pool side or at the

skewed distribution, median and range were used

edge of the ditch overgrown with grassy vegeta-

instead of the average value and standard devia-

tion.

tion (Howard & Young 1998). Ratio of the Co-

Vocalizations of some species of Family


Microhylidae which occur in Asia have been de-

efficient of Variance (CV) were calculated to determine the "static" and "dynamic" of vocaliza-

scribed by some authors, included M. heymonsi by

tions; ratio CV 12% indicates a call discrimina-

Heyer (1971), M. nepenticola by Das & Haas

tion among individuals within a species (Gerhardt

(2010) who later Matsui (2011) revised this spe-

1991).

cies as a synonym of M. borneensis, M. ornata by

Methodology to measure time or dura-

Kuramoto & Joshy (2006), M. orientalis by Matsui et al. (2013), M. malang and M. petrigena by

tion of the calls, such as call duration, call interval, pulse duration, pulse interval, pulse period

Dehling (2010) and Micryleta innornata by Wang


et al. (1989). Although individuals of M. achatina are very easily to find in Java, but the vocalizations of this species has never been described.
METHODS
Advertisement calls of six individual
males of M. achatina were recorded in Curug
Nangka area (S 640'22.8"; E 10643'53.5"; 730
m asl), at the foot hills of Mount Salak, West Java. Time of recording was on 22-24 September
2011 (air temperature 21.0 C-23.4C) by using a
recorder Sony PCM-M10 at frequency 94 kHz at
a rate of 24 bits.. Adobe Audition 3.0 software
302

Figure 1. Microhyla achatina that was found in the


foot hill of Mount Salak, West Java
(Photograph by A. Sumadijaya).

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 301-310 (2013)

and frequency dominant followed Pettitt et al.

ment call, occurring in Sarawak, North Borneo,

(2012) as shown at Figure 2.

which is about 1500 Hz (Dehling 2010). Domi-

RESULTS

nant frequency or the maximum energy of M.


achatinas advertisement call ranges between 2718
-3375 Hz (mean: 2976 Hz 143.1).

Males of M. achatina only have one type

Based on the analysis of sound waves by

of advertisement call, in which the type of wave

using the software SAP2011, the frequency of the

consists of impulses (see Figure 3). In these im-

three elements of pulse (dominant frequency,

pulses, the number of pulse periods ranges from 7


-10 periods, and the impulse duration reaching 4-

maximum frequency and minimum frequency) of


M. achatina was modulated (see Figure 6); modu-

8 ms (mean: 5.5 ms 1.2). Pulse repetition rate/

lation was clearly visible in the minimum frequen-

second was 16.9 to 30.3 (mean: 21.6 2.6). One

cy, which is the frequency at the beginning and

advertisement call (Figure 4) consisted of 6-11

end of the pulse is lower than the frequencies of

pulses (mean: 8.5 0.8), which for the duration


of the call was 259-508 ms (mean: 375ms

pulses in the middle range. Frequency spectrum


of modulation of minimum frequency were be-

42.4). Call repetition rate/second was 0.5 to 2.1

tween 1500 to 2700 Hz. Frequency spectrum of

( mean: 1.1 0.4).

modulation of the dominant frequency and the

The sound spectrum of M. achatina rang-

maximum frequency was narrow, i.e. between

es from 1327.5 to 2789.1 Hz, while the bandwidth of the sound spectrum is 1461.6 Hz. The

3000-3500 Hz. Sound waves of M. achatina are


similar to the sound waves of M. malang that was

bandwidth of thespectrum of M. achatinas adver-

described by Dehling (2010), in which amplitude

tisement call is not much different from the band-

on the first and last pulse of M. malang was lower

with of the spectrum of M. malangs advertise-

than the amplitude at the middle range, but Deh-

Figure 2. Duration of the sound wave measurements (an example is the call on frogs Anomaloglossus bebeei) by Pettitt et al. (2012).

Figure 3. Waves of one pulse which has seven periods of advertisement call of M. achatina from West Java.
303

Hellen Kurniati

ling (2010) did not give detailed explanation on

frequency versus maximum frequency of 855

the modulation, because it was only based on the

pulses on the six individual males of M. achatina

dominant frequency that was found by FFT


method. Dynamics of dominant frequency, max-

showed a strong correlation between the dominant frequency versus minimum frequency

imum frequency and minimum frequency of 95

(Y=0.8178X-387,4; R2=0.557; p=0.000), while a

calls (855 pulses) on the six individual males of

weak correlation exists between the dominant

M. achatina is shown at Figure 7.

frequency

versus

maximum

frequency

Results of linear regression analysis

(Y=0.4637X-2234,3; R =0.3914; p=0.89). These

(Figure 8) of the dominant frequency parameter


versus minimum frequency and the dominant

results indicate that the dynamics of the dominant


frequency of M. achatina is strongly related to the
dynamics of the minimum frequency, which it

Table 1. Mean value, SD and CV ratio of the parameter


dominant frequency, minimum frequency and
maximum frequency of 95 calls (855 pulse) on six
individual males of M. achatina.
Dominant Minimum Maximum
Frequency Frequency Frequency
Mean value
3069.99 Hz 2123.29 Hz 3657.81 Hz
Standard Deviation
541.38
593.24
401.24
Ratio of Coefisien
0.18
0.28
0.11
Variant (CV)
Parameters

was also supported by the results of CV ratio value of the dominant frequency of 18% and the
minimum frequency of 28%, but it was not supported by the maximum frequency of 11% (Table
1). According to Gerhardt (1991), vocalizations
are "dynamic" when CV ratio 12%. and static
when CV ratio <12%. Static parameters are call
variables with low values of are more likely to be
used for species recognition, because they remain

Figure 4. Oscillogram of an advertisement call that has nine pulses of M. achatina from West Java.

Figure 5. Audiospectrogram or sound spectrum of advertisement call of M. achatina from West Java.

304

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 301-310 (2013)

fairly constant among individuals of a population,

Audiospectrograms of advertisement calls

at least within a calling session; however dynamic

of M. achatina is similar to the audiospectrogram

parameters are more likely to be used in sexual


selection within a single species (Marquez & Eek-

of some species of Microhyla that occur in Asia


including Southeast Asia, such as M. borneensis

hout 2006).

(Sukumaran et al. 2010; Dehling 2010) which

DISCUSSIONS

was later revised to a new species, namely M. malang (Matsui 2011), M. petrigena by Dehling

Frequency

5000
4000
3000
2000
1000
0
1

Dominant Frequency

4
Pulse Sequence

Minimum Frequency

Maximum Frequency

Figure 6. Result of analysis software SAP2011: dominant frequency, minimum frequency and the maximum frequency of one advertisement call of M. achatina that consisted of seven pulses.
4500
4000

Frequency

3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
1

27

53

79 105 131 157 183 209 235 261 287 313 339 365 391 417 443 469 495 521 547 573 599 625 651 677 703 729 755 781 807 833
Pulse Sequence
Dominant Frequency

Minimum Frequency

Maximum Frequency

Maximum & Minimum Frequency

Figure 7. Dynamics of the dominant frequency, minimum frequency and maximum frequency of 855 pulses of 95
advertisement calls on six individual males of M. achatina.
4500

y = 0.4637x + 2234.3

4000

R = 0.3914

3500
3000
2500
2000
1500

y = 0.8178x - 387.4

1000

R = 0.557

500
0
0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

Dominant Frequency-Hertz
Minimum Frequency

Maximum Frequency

Linear (Minimum Frequency)

Linear (Maximum Frequency)

Figure 8. Results of linear regression of the dominant frequency versus the minimum frequency and the maximum
frequency of 95 advertisement calls on six individual male of M. achatina consisting 855 pulses.
305

Hellen Kurniati

(2010), M. heymonsi by Heyer (1971) and M.

petrigena are higher than those belonging to M.

orientalis by Matsui et al. (2013). Calling behav-

achatina; the duration of the call and the call rep-

ior of the males M. achatina and its relatives is


almost the same; they like to call in a dense cho-

etition rate are more faster on M. petrigena than


those belonging to M. achatina; contradictory

rus (see Table 3), except for M. petrigena (Dehling

between M. achatina and M. ornata (genetic dis-

2010) and Micryleta innornata (Wang et al.

tance 12.1%), M. ornata has a higher call repeti-

1989); although Heyer (1971) did not describe

tion rate and pulse rate than M. achatina, on the

the calling behavior of M. heymonsi, but individu-

other side the dominant frequency spectrum of

al males of this frog that were found in Sumatra


also call in a dense chorus (personal observation).

M. ornata is much more wide, i.e. 1000-4000 Hz


(see Table 3).

Advertisement call of M. achatina consists of a

According to Matsui et al. (2013), M.

series of pulses also belongs to relatives that are

achatina can be included into one genetic group

listed in Table 3, except for M. innornata (Wang

with M. orientalis, M. borneensis, M. malang and

et al. 1989) and M. borneensis (synonym of M.


nepenticola) (Das & Haas 2010). At the first time

M. heymonsi. In terms of the type of sound wave


(Figure 9), advertisement calls of M. achatina are

of analysis by using FFT method of Adobe Audi-

more similar to advertisement calls of M. malang

tion software, advertisement calls of M. achatina

which has a genetic distance between the two spe-

did not have any signs of on frequency modula-

cies of 9.7%; however genetic distance between

tion; but after using the software SAP2011, the


frequency modulation can be detected in the calls

M. achatina and M. orientalis and between M.


achatina and M. borneensis is 7.3% and 8.2% re-

(Figure 6 and 7). It is most likely that frequency

spectively (see Table 2), but the types of sound

modulation will be visible on the other species

wave are quite different between M. achatina and

that are listed at Table 3 when the software

M. orientalis and between M. achatina and M.

SAP2011 can be implemented on analyzing of

borneensis (see Figure 9). There is also overlap

their calls.
Based on comparison of genetic distances

between the dominant frequency spectrum, pulse


duration, call duration as well as call rate between

by Matsui et al. (2013), the genetic distance be-

M. achatina and M. malang; however overlap val-

tween M. achatina and M. innornata is 17.2%, it

ue of the parameters between M. achatina and M.

is the farthest distance among the seven species

orientalis and between M. achatina and M.

with M. achatina (see Table 2). Differences in


genetic distance can be seen from the pattern of

borneensis is very low (see Table 3). The main


reason of vocalization differences between M.

the sound waves of the two species; sound wave

achatina and M. orientalis and between M. achat-

pattern of M. achatina are impulses with a wide

ina and M. borneensis is on the body size; body

spectrum, however the sound wave pattern of M.

size of M. orientalis and M. borneensis is smaller

innornata is a pure tone with three harmonics (see

than body size of M. achatina (Table 3). General-

Table 3). Genetic distance between M. achatina


and M. petrigena is quite far, i.e. 15.8% (see Table

ly, frog species that has large body size will have
calling frequencies lower than the frequency of

2).

the call of frog species which has small body size

The two species have similar call pattern,

which is a series of pulses, but the maximum energy and the dominant spectral frequencies on M.

306

(Kime et al. 2000).

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 301-310 (2013)

Table 2. Comparison of genetic distance (in %) of M. achatina with its relatives that are found in Asia by using
16S rRNA fragments (892 bp), based on Matsui et al. (2013).
Species

Microhyla
borneensis

Microhyla
heymonsi

Microhyla
malang

Microhyla
ornata

Microhyla
orientalis

Microhyla
petrigena

Micryleta
innornata

Microhyla
achatina

8.2

10.7

9.7

12.1

7.3

15.8

17.2

Figure 9. Oscillogram of advertisement call: (A) Microhyla orientalis; (B) Microhyla borneensis; (C) Microhyla malang; (D) Microhyla achatina.

ACKNOWLEDGEMENTS

crawl out of miniature pitcher plants on Borneo

(Amphibia:

Anura:

Microhylidae).

Many thanks are given to Alex Sumadijaya for his help to find some literatures that related

Zootaxa 2571: 3752.


Dehling, JM. 2010. Advertisement calls of two

to this paper. Many thanks are also given to Dr.

species of Microhyla (Anura: Microhylidae)

Arjan Boonman for his help in editing the English

from Borneo. Salamandra 46(2): 114116.

and also for his comments on this paper. Field


work in the area of Mount Salak foot hills was
supported by project incentives of Ristek-LIPI in
the year of 2011.

Heyer, WR. 1971. Mating calls of some frogs


from Thailand. Fieldiana: Zool. 58:6182.
Inger, RF. & RB. Stuebing. 2005. A field guide to
the frogs of Borneo (Second Edition). Natural
History Publications (Borneo), Kota Kinaba-

REFERENCES

lu.
Iskandar, DT. 1998. The amphibians of Java and

Berry. PY. 1975. The amphibian fauna of Peninsular Malaysia. Tropical Press. Kuala Lumpur.

Bali. Research and Development Center for


Biology, Bogor.

Das, I & A. Haas. 2010. New species of Microhy-

Iskandar, D. & Mumpuni. 2004. Microhyla

la from Sarawak: Old Worlds smallest frogs

achatina. In: IUCN 2012, IUCN Red List of


307

308

(Bajipe, India)

Microhyla
nepenticola
(synonim= M.
borneensis)
(Sarawak,
Borneo)
Microhyla
ornata

(Thailand)

Microhyla
heymonsi

(West Java)

Microhyla
achatina

Species

25.5C

22.1-24.9

28.0C

21.0C-23.4C

1-1.5

1.1 0.4
(0.52.1)

Air temperature Call repetition


during
rate/second
recorded

10.612.8 mm

20.0-21.5 mm
(Berry 1975)

20-22 mm

SVL of males

290 21

696736

480

375 42.4
(259508)

call duration
(ms)

12.1 0.64

1-2 and 5-9

11

8.5 0.8
(611)

Number of
pulse/call

26 1

5.5 1.2 (4-8)

Pulse length
(ms)

38.1 1.09

23

21.6 2.6
(16.930.3)

1000-4000

30005500

1700-3000

1327.5-2789.1

Pulse repetition Dominant


rate/second
frequency
spectrum (Hz)

2976 143.1
(27183375)

Source

Heyer (1971)

-Males called in a dense Das & Haas


chorus
(2010)

-A total number of 95
calls that consis-ted of
855 pulses were
analyzed.

-Males called in a dense This study


chorus

Remark

2. No marked frequency
-A total number of 13
calls were analyzed.
modulation; the call did not
show a clear harmonic
structure, but had a wide range
(ca. 1-4 kHz) of dominant
frequencies, which become
narrower (ca. 2-3 kHz) toward
later pulses.

Kuramoto &
1. A series of pulse group
-Males called from
(notes) each consisting of short banks adjacent to water Joshy (2006)
and fast repeating pulse
or from a floating
posture in water.

2. No marked frequency
modulation within and
between the single pulses

1. single pulsed note and is


emitted in series

3. The pulses in the middle of


the note had a greater amplitude than the ones at the
beginning and the end

2. No marked frequency
modulation within and
between the single pulses

1. single pulsed note and is


emitted in series

Energy
Vocalization type
maximum (Hz)

Table. 3. Comparison of vocalization on M. achatina from West Java with its relatives in the Family Microhylidae that are found in Asia.

Hellen Kurniati

(synonim=
Micryleta
innornata )
(Southern tip of
Taiwan)

Microhyla
borneensis
(synonim= M.
malang)
(Sarawak,
Borneo)
Microhyla
innornata

(Sarawak,
Borneo)

23.0 1.14 mm

(Inger &
Stuebing 2005)

17-18 mm

25.0C

23.524.7C

1.2 0.1
(1.11.4)

1390 270
(1110-1920)

169 37
(104242)

133 28
(69174)

540 130
(370970)

82.6 1.5 (67113)

04-Okt

06-Agust

5.7 1.1 (48) 6.7 0.5 (67)

12.1 3.0
(617)

4.1 0.7 (35)

59.4 2.5 (5665)

30.3 1.4
(27.732.2)

89 5
(80100)

4400-5700

1400-2900

3800-4600 to
45005100

10005300

2430

2404 94
(22502530)

4430 322
(38505050)

1. single pulsed note and is


emitted in series

3. The pulses in the middle of


the note had a greater
amplitude than the ones at the
beginning and the end

2. No marked frequency
modulation within and
between the single pulses

3400 100 1. single pulsed note and is


(32003600). emitted in series

2. Modulation of frequencies is
lacking. The dominant and the
second harmonic were slightly
lower at the very beginning.
The third harmo-nic was weak
in the proximal two thirds and
strengthened in the terminal
third, but was too weak to be
detected in so

Dehling, (2010)

-A total number of 76
calls were analyzed.

Wang et al.
(1989)

Sukumaran et
al. (2010)

-Males called in a dense Dehling, (2010)


chorus

-A total number of 33
calls were analyzed.

-Males called in a dense Matsui et al.


chorus
(2013)

1. Two harmonics: the second A total number of 10


and third harmonic was appa- calls were analyzed.
rent at 8.8-10.0 and 14.0-15.0
kHz.

3. The pulses in the middle of


the note had a greater
amplitude than the ones at the
beginning and the end

2. No marked frequency
modulation within and
between the single pulses

1. Single pulsed note and is


emitted in series

1721 mm

0.66 0.08
(0.520.83)

0.07 0.01
(0.010.08)

Microhyla
malang

24.1C

26.0C

2. No marked frequency
modulation within and
between the single pulses

14-16 mm

1617 mm

(Sarawak,
Borneo)

Microhyla
petrigena

(Bali)

Microhyla
orientalis

Table. 3

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 301-310 (2013)

309

Hellen Kurniati

Threatened

Species,

Version

2012.2,

<www.iucnredlist.org>, 18 October 2012.

Marquez, R & XR. Eekhout. 2006. Advertisement calls of six species of anurans from Bali,

Kime, NM., WR. Turner & J. Ryan. 2000. The


transmission of advertisement calls in

Republic of Indonesia. J. Nat. Hist. 40 (9


10): 571588.

Central American frogs. Behavior Ecol. 11:

Matsui, M. 2011. Taxonomic revision of one of

71-83.
Kuramoto, M. & SH. Joshy. 2006. Morphological and acoustic comparisons of Microhyla
ornata, M. fissipes, and M. okinavensis
(Anura: Microhylidae). Cur. Herpet. 25: 15
27.
Kurniati, H., W. Crampton, A. Goodwin, A.
Locket & A. Sinkins. 2000. Herpetofauna

the Old Worlds smallest frogs, with


description of a new Bornean Microhyla
(Amphibia, Microhylidae). Zootaxa 2814: 33
49.
Matsui, M., A. Hamidy & K. Eto. 2013. Description of a new species of Microhyla from Bali,
Indonesia (Amphibia, Anura). Zootaxa 3670
(4): 579590.

diversity of Ujung kulon National Park: An


inventory results in 1990. J. Biol. Res. 6 (2):

McKay, JL. 2006. Amphibians and reptiles of Bali.


Krieger Publishing Company, Florida.

113128.

Pettitt, BA., GR. Bourne & MA. Bee. 2012.

Kurniati, H & A. Sumadijaya. 2012. Komunitas

Quantitative acoustic analysis of the vocal

kodok pada lahan terdegradasi di areal

repertoire

Curug Nangka, Jawa Barat. J. Biol. Indonesia


8 (2): 229-246.

(Anomaloglossus beebei). J. Acoust. Soc. Amer.


131 (6): 48114820.

Kurniati, H. 2006. The amphibians species in

Sukumaran, J., I. Das & A. Haas. 2010. Descrip-

Gunung Halimun National Park, West Java,

tion of the advertisement calls of some bor-

Indonesia. Zoo Indonesia 15 (2): 107-120.

nean frogs. Russian J. Herpet. 17 (3): 189

Liem, DSS. 1973. The frogs and toads of Tjibodas National Park Mt. Gede, Java, Indonesia. The Philippine J. Sci. 100 (2): 131-161.

of

the

golden

rocket

frog

194.
Wang, C-S., S-H. Wu & H-T. Yu. 1989. Notes
on Microhyla inornata Boulenger (Anura:
Microhylidae) in Taiwan. J. Herpet. 23 (4):
342-349.

310

Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 311-325 (2013)

Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)
yang Diberi Tambahan Pakan konsentrat
(The Physical and Chemical Characteristics of Sunda Porcupine Meat (Hystrix
javanica F. Cuvier, 1823) Given Additional Concentrate Feed)
Wartika Rosa Farida
Pusat Penelitian Biologi LIPI, Jl. Raya Jakarta-Bogor KM 46, Cibinong 16911. E-mail: wrfarida@indo.net.id
ABSTRACT
This study is aimed to determine the effect of additional concentrate feed on the physical and chemical characteristics
of sunda porcupine meat. The material used is eight sunda porcupines (two males and six females) divided into two
groups of ration treatment, namely T0 (control ration) and T1 (T0 + koi fish pellets). Four porcupines (one male
and three females) were given control ration (T0) and four porcupines were given rations T1. The experimental design was a completely randomized design. The meat physical characteristics measured were pH, tenderness, cooking
loss, water holding capacity (WHC), meat color, and fat color. While meat chemical characteristics analyzed were
water content, ash, protein, fat, gross energy, calcium (Ca), phosphorus (P), iron (Fe), the content of fatty acids
(EPA, DHA, Omega-3, Omega-6, Omega-9, and cholesterol), as well as the composition of amino acids. Data were
analyzed by analysis of variance. The results showed no significant differences (P> 0.05) between male and female
porcupine with both ration treatments (T0 and T1) on pH, tenderness, cooking loss, WHC, meat color, and fat
color. The addition of koi fish pellets in the ration T1 decreased pH value (65.76) and cooking losses (37.88%), and
increased WHC porcupine meat (23.59%). Porcupine meat is quite tender with tenderness values of 3.63 kg / cm2
(T0) and 3.26 kg / cm2 (T1). The averages of water content, ash, protein, fat, energy, Ca, P, Fe of porcupine meat
were not significantly different (P>0.05) in both treatments T0 and T1. The averages of fatty acids contents of porcupine meat with T1 was not significantly different (P>0.01) from that of T0, but there was an increase in the concentration of EPA, DHA, omega-3, omega-6, omega-9, and cholesterol in treatment of T1. Cholesterol content of
porcupine meat was lower than that of beef, pork, lamb, sambar deer, and java deer. No significant effect (P> 0.05)
on content of amino acids in meat porcupine with T1 compared to that of T0.
Keywords: Physical-chemical characteristics, meat, concentrate feed, sunda porcupine
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tambahan pakan konsentrat terhadap sifat fisik dan
kimia daging landak jawa. Materi penelitian yang digunakan adalah delapan ekor landak jawa (dua jantan dan enam
betina) dibagi dua kelompok perlakuan ransum, yaitu ransum kontrol (T0) dan ransum kontrol + pelet ikan koi
(T1). empat ekor landak (satu jantan dan tiga betina) diberi ransum kontrol (T0) dan empat ekor landak diberi
ransum T1. Rancangan percobaan adalah rancangan acak lengkap. Sifat fisik daging yang diukur adalah pH,
keempukan, susut masak, daya mengikat air (DMA), warna daging, warna lemak, sedangkan sifat kimia daging yang
dianalisis adalah kadar air, abu, protein, lemak, energi bruto, kalsium (Ca), fosfor (P), zat besi (Fe), kandungan asamasam lemak (EPA, DHA, Omega-3, Omega-6, Omega-9, dan kolesterol), serta komposisi asam-asam amino. Data
dianalisis dengan analisis varians. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) antara
landak jantan dan betina pada kedua perlakuan ransum (T0 dan T1) terhadap pH, keempukan, susut masak, DMA,
warna daging, dan warna lemak. Penambahan pelet koi dalam ransum T1 menurunkan nilai pH (65,76) dan susut
masak (37,88%), serta meningkatkan DMA daging landak (23,59%). Daging landak tergolong empuk dengan nilai
keempukan 3,63 kg/cm2 (T0) dan 3,26 kg/cm2 (T1). Rataan kandungan air, abu, protein, lemak, energi, Ca, P, Fe
daging landak tidak berbeda nyata (P>0,05) pada kedua perlakuan T0 dan T1. Rataan kandungan asam-asam lemak
daging landak T1 tidak berbeda nyata (P>0,01) terhadap T0, tetapi terjadi peningkatan konsentrasi EPA, DHA,
omega-3, omega-6, omega-9, dan kolesterol pada perlakuan T1. Kandungan kolesterol daging landak lebih rendah
dibandingkan daging sapi, babi, domba, rusa sambar dan rusa jawa. Tidak ada pengaruh yang nyata (P>0,05) atas
kandungan asam-asam amino daging landak T1 dibandingkan T0.
Kata Kunci: Sifat fisik-kimia, daging , konsentrat, landak jawa

Wartika Rosa Farida

PENDAHULUAN

anfaatan satwaliar untuk kebutuhan komersial


seharusnya berasal dari hasil budidaya pe-

Landak Jawa (Hystrix javanica) atau Sunda Porcupine adalah satwaliar endemik Indonesia,

nangkaran mulai generasi kedua (F2), bukan


dengan menangkap langsung dari alam. Sudah

penyebarannya meliputi Jawa, Madura, Bali,

selayaknya usaha penangkaran dilakukan untuk

Lombok, Sumbawa, dan Flores (van Weers

melestarikan landak dari kepunahan guna pem-

1979). Satwa terestrial ini dapat dijumpai teruta-

anfaatannya secara lestari.

ma di daerah dataran rendah, hutan sekunder,

Berdasarkan hal-hal di atas, maka perlu

dan lahan terdegradasi. Panjang tubuhnya


berkisar 42,5-70 cm dan ekornya 5-12,5 cm

dilakukan suatu penelitian untuk melengkapi data


biologi satwa liar Indonesia, khususnya tentang

(Atkins 2004). Warna rambut tubuhnya coklat

sifat fisik dan kimia daging landak yang diberi

kehitaman dengan duri-duri runcing berwarna

pakan tambahan konsentrat berupa pelet ikan koi.

putih bercincin hitam. Habitat landak di gua-gua,


daerah bebatuan, lubang-lubang kayu, dan hewan
ini dapat menggali tanah untuk sarangnya hingga

BAHAN DAN CARA KERJA


Penelitian

kedalaman 5 m yang dapat dihuni 6-8 ekor lan-

telah

dilakukan

di

Pe-

Landak bersifat aktif di malam hari

nangkaran Mamalia Kecil, Bidang Zoologi, Pusat

(nocturnal), sementara di siang hari berdiam di

Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, Kabupaten

sarangnya berupa lubang yang panjang di dalam


tanah (Nowak 1999). Satwa herbivora ini di habi-

Bogor. Materi penelitian yang digunakan adalah


delapan ekor landak jawa (Hystrix javanica) beru-

tatnya menyukai buah-buahan yang jatuh di lan-

mur sekitar 10 15 bulan dengan rataan bobot

tai hutan, umbi-umbian, kulit kayu, dan de-

badan 5,63 0,23 kg. Landak-landak tersebut

daunan (Medway 1978). Landak dianggap hama

dibagi menjadi dua kelompok perlakuan, yaitu

oleh petani karena sering merusak tanaman per-

kelompok yang diberi ransum kontrol (T0) beru-

tanian. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur landak


diburu untuk dijual dan dikonsumsi dagingnya.

pa talas belitung (Xanthosoma sagittifolium),


bengkuang (Pachyrhizus erosus), jagung manis

Sebagian masyarakat mempercayai bahwa men-

(Zea mays), tomat (Solanum lycopersicum), pisang

gonsumsi daging landak dapat menyembuhkan

siam (Musa sp.), dan jaat hutan (Phaseolus sp.),

penyakit asma dan meningkatkan vitalitas tubuh.

dan kelompok yang diberi ransum kontrol dit-

Adanya pemanfaatan landak yang ditangkap secara langsung dari alam yang dilakukan

ambah konsentrat berupa pelet ikan koi (T1).


Penelitian berlangsung selama 82 hari pemeli-

terus-menerus, berakibat semakin menurunnya

haraan

populasinya di alam. Saat ini landak berstatus

(preliminary). Selama masa pemeliharaan, masing

dilindungi berdasarkan SK Mentan No. 247/

-masing landak ditempatkan di dalam kandang

Kpts/Um/4/1979 dan Peraturan Pemerintah Re-

individu berukuran panjang x lebar x tinggi (3,15

publik Indonesia No. 7 tahun 1999. Status konservasi internasional yang tercatat dalam IUCN

m x 2,25 m x 2,00 m). Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pukul 08:30

Red List of Threatened Species adalah vulnerable

dan 16:30 WIB. Penimbangan bobot badan lan-

(Baillie 1996).

dak dilakukan setiap dua minggu sekali.

dak.

Meskipun satwa ini berstatus

dilindungi, perburuan masih terus berlangsung


untuk tujuan konsumsi maupun komersial. Pem-

termasuk

Rancangan

12

hari

percobaan

masa

adaptasi

menggunakan

Rancangan Acak Lengkap dengan pemberian jenis


312

Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 311-325 (2013)

ransum yang berbeda.

Komposisi ransum

keperluan analisis fisik dan kimia daging landak,

penelitian tertera pada Tabel 1 dan kandungan

diambil bagian daging paha belakang (leg).

nutrien bahan pakan dapat dilihat pada Tabel 2.


Analisa kandungan nutrien pakan penelitian

Sebelum dianalisis, daging dicairkan (thawing)


terlebih dahulu hingga kembali ke kondisi awal.

(proksimat)

dilakukan

berdasarkan

metoda

Peubah yang diamati pada penelitian ini

AOAC (1995) dan energi bruto berdasarkan

adalah sifat fisik daging yang meliputi nilai pH,

pengukuran

susut masak, keempukan, daya mengikat air

menggunakan

adiabatic

bomb

calorimeter (Parr, USA).

(DMA), warna daging dan lemak. Sedang sifat

Sebelum disembelih kedelapan ekor


landak dipuasakan terhadap pakan selama 24 jam,

kimia daging meliputi kadar air, abu, protein,


lemak, karbohidrat, energi bruto, mineral (Ca, P,

tetapi air minum diberikan ad libitum. Hal ini

Fe), asam-asam lemak (EPA, DHA, omega-3,

bertujuan

omega-6, omega-9, kolesterol) dan asam-asam

untuk

mengurangi

isi

saluran

pencernaan dan untuk menghindari pencemaran

amino daging landak.

pada karkas oleh isi saluran pencernaan. Setelah


landak disembelih, dikuliti, dan dikeluarkan

Pengukuran pH berdasarkan AOAC


(1995), daya mengikat air, keempukan, dan susut

bagian jeroan, bagian karkas landak dibekukan

masak (cooking lost) berdasarkan Soeparno (1998)

pada suhu -10 C selama 48 jam.

dilakukan di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak

Untuk

Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut


Tabel 1. Komposisi pakan penelitian landak jawa
Kontrol (T0) Kontrol + Pelet ikan
BahanPakan
(gram)
koi (T1) (gram)
Jagung manis
300
300
Bengkuang
300
300
Talas belitung
200
200
Pisang siam
150
150
Tomat
100
100
Daun Jaat hutan
50
50
Pelet ikan koi*)
0
80
TOTAL
1.100
1.180
*)Komposisi bahan pelet komersial : Tepung ikan, tepung
terigu, bungkil kedelai, pollard, minyak ikan, kolin klorida,
vitamin, & mineral

Pertanian Bogor. Warna daging dilihat dari bagian paha belakang (leg), caranya adalah membandingkan dengan Meat Colour Card Score dari
AUS-MEAT pada skala 1-7. Semakin tinggi
angka skala berarti warna daging semakin merah
gelap.
Komposisi kimia daging landak meliputi
kadar air (Gravimetry), abu, protein (Kjeldhal),
dan lemak (Gravimetry/ether extraction), dianalisis
berdasarkan AOAC (1995), dan energi total
menggunakan

bomb

calorimeter

metoda

Tabel 2. Kandungan nutrien pakan landak (% BK)


Bhn pakan

BK

Abu

PK

LK

SK

BETN

---------------------------- (%) --------------------------

EB

Ca

(kal/g)

---- (%) -----

Jaat hutan

34,14

11,35

36,37

1,81

28,88

21,59

4.445

1,59

0,36

Bengkuang

33,07

3,71

6,01

1,10

6,48

82,70

4.280

0,74

0,33

Talas belitung

24,73

7,68

17,14

0,46

9,77

64,95

4.296

0,43

0,42

Tomat

22,04

9,60

16,98

1,59

16,08

55,74

4.133

0,26

0,38

Pisang siam

35,02

3,80

3,08

0,86

3,44

88,81

3.393

0,08

0,12

Jagung manis

20,67

3,28

15,33

7,75

1,75

71,88

4.776

0,09

0,54

Pelet ikan koi*)

94,70

7,83

25,07

2,08

9,14

55,88

4.489

1,83

0,94

BK = Bahan kering, PK = Protein kasar, LK = Lemak kasar; SK = Serat kasar, BETN = Bahan ektrak tanpa nitrogen,
EB = Energi bruto.

313

Wartika Rosa Farida

kalkulasi, dilakukan di Laboratorium Pengujian

Khusus pada konversi ransum, secara rataan, ke-

Nutrisi Pusat Penelitian Biologi - LIPI. Analisis

lompok landak pada perlakuan T0 lebih efisien

kalsium, zat besi (AAS), fosfor (Spektrofotometer), asam amino dan kolesterol (HPLC)

dalam penggunaan ransum dibandingkan kelompok landak T1.

(Sudarmadji et al. 1996), dan asam lemak daging,

Hasil pengukuran sifat fisik daging landak

serta EPA-DHA menggunakan gas chroma-

jawa tertera pada Tabel 4, sedangkan Tabel 5 me-

tography (Roos dan Smith 2006) dilakukan di

maparkan sifat fisik daging landak dibandingkan

Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor.

hewan lain. Hasil analisa proksimat daging landak

Data hasil pengukuran dianalisis dengan


menggunakan ANOVA. Jika diperoleh hasil yang

jawa dapat dilihat pada Tabel 6 dan kandungan


nutrien daging landak dan hewan lainnya tertera

berbeda, dilanjutkan dengan uji Tukey.

pada Tabel 7.
Tabel 8 tertera kandungan Eicosapentaenoic acids (EPA), Decosahexanoic acid (DHA),

HASIL
Tabel 3 terlihat perlakuan ransum tidak

omega-3, omega-6, omega-9, dan kolesterol pada


daging landak jawa, sedangkan Tabel 9 tentang

berpengaruh nyata terhadap rataan konsumsi ba-

kandungan asam-asam lemak dan kolesterol

han kering ransum, rataan PBBH, dan rataan

daging landak jawa dibandingkan satwa liar lain

konversi ransum, tetapi nampak pengaruh yang

dan ternak domestikasi.

nyata (P<0,05) terjadi antara landak jantan dan


betina pada kedua perlakuan ransum terhadap

amino daging landak dapat dilihat pada Tabel 10


dan kandungan asam amino daging landak dan

konsumsi ransum, PBBH, dan konversi ransum.

hewan lainnya tertera pada Tabel 11.

Komposisi asam-asam

Tabel 3. Konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan konversi pakan landak jawa
T0
Peubah
Konsumsi BK
(g/ekor/hari)
PBBH (g/ekor/hari)
Konversi pakan
(Konsumsi BK /PBBH)

Betina

T1

Jantan

Rataan

Betina

Jantan

Rataan

269,09 b

295,45 a

282,27

306,19a

261,93b

284,06

17,48b

40,24a

28,86

24,39ab

19,51b

21,95

11,37

12,55

13,42

12,99

15,39

7,34

BK = Bahan kering; PBBH = Pertambahan bobot badan per hari, EPP = Efisiensi Penggunaan pakan
abSuperskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Tabel 4. Sifat Fisik daging landak jawa


Parameter

Betina
(n=3)
5,79 0,09

T0
Jantan
(n=1)
5,73

Rataan

Betina
(n=3)
5,76 0,08

pH
5,76 0,04
Keempukan
3,61 1,00
3,65
3,63 0,03
3,25 0,00
(kg/cm2)
Susut masak (%)
43,70 2,54
43,03
43,37 0,47
39,55 7,28
DMA :
- mgH2O
70,02 2,75
52,55
61,28 12,35
71,95 16,84
- % mgH2O
23,34 0,91
17,52
20,43 4,12
23,98 5,61
Warna :
Daging
2,00 0,00
2,00
2,00 0,00
2,00 0,00
Lemak
2,00 0,00
2,00
2,00 0,00
2,00 0,00
DMA = Daya mengikat air; T0 = pakan kontrol; T1= T0 + pellet ikan koi

T1
Jantan
(n=1)
5,80

5,78 0,03

3,27

3,26 0,01

36,20

37,88 2,37

69,56
23,19

70,75 1,69
23,59 0,56

2,00
2,00

2,00 0,71
2,00 0,00

Rataan

314

Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 311-325 (2013)

Tabel 5. Sifat fisik daging landak jawa dan hewan lainnya


Sifat fisik daging
Jenis hewan

pH

Keempukan
(kg/cm2)

Susut
masak
(%)

Warna

DMA
(% mg H2O)

Daging

Lemak

Landak jawa1)
5,76
3,63
43,37
20,43
2,00
2,00
Kancil2)
6,36
2,00
44,12
32,83
Bandikut3)
5,71
1,05
34,04
36,56
Kelinci lokal4)
6,82
1,81
40,63
120,93
Sapi5)
5,70
6,73
42,53
31,66
Kerbau5)
6,05
6,53
29,84
37,26
Domba5)
5,99
5,44
31,86
37,52
Kambing sudan6)
1,67
7,83
34,41
4.67
Rusa sambar7)
6,46
4,92
53,31
33,52
Kuda8)
Trenggiling9)
6,17
35,12
Ayam broiler10)
0,06
27,77
18,01
1)Penelitian ini; 2) Rosyidi et al. (2010); 3) Warsono & Priyanto (2011); 4) Setiawan (2009);
5)Komariah et al. (2009);6) Elamin et al. (2012); 7)Semiadi et al.(2003); 8)Rosmawati (2003); 9)Farida (2012); 10)Hartono et al. (2013)

Tabel 6. Kandungan nutrien daging landak jawa


Parameter
Kadar air (%)
Abu (%)
Protein (%)
Lemak (%)
GE (kal/g)
Ca (%)
P (%)
Fe (ppm)

Betina
(n=3)
70,04 2,37
3,28 0,30
16,84 1,85
38,74 7,16
7.502,50 266,67
0,11 0,02
0,75 0,06
8,46 1,87

T0
Jantan
(n=1)
68,43
3,34
17,33
38,98
7.265,02
0,11
0,80
8,26

Rataan
69,24 1,14
3,31 0,04
17,09 0,35
38,86 0,17
7.383,76 167,92
0,11 0,00
0,77 0,03
8,36 0,14

T1
Betina
Jantan
(n=3)
(n=1)
64,70 1,57
66,82
3,64 0,66
3,63
18,94 3,38
19,40
30,90 8,55
29,81
6.852,96 522,78 6.665,29
0,07 0,04
0,06
0,84 0,16
0,89
8,37 6,80
4,82

Rataan
65,76 1,50
3,63 0,01
19,17 0,32
30,36 0,77
6.759,13 132,71
0,06 0,00
0,86 0,04
6,60 2,51

Tabel 7. Kandungan nutrien daging landak jawa dan hewan lainnya

Hewan
Landak jawa1)
Landak raya2)
Kancil3)
Bandikut4)
Kelinci lokal5)
Sapi6)
Domba6)
Kijang6)
Babi hutan6)
Babi7)
Kuda8)
Keledai9)
Tikus raksasa
afrika13)

Komposisi kimia
Kadar
Abu
Protein
Lemak
Energi
air
(kal/g)
--------------------- (%) ---------------------69,24
3,31
17,09
3,90
7383
75,30
1,30
19,60
3,60
76,33
1,20
21,42
0,51
72,42
2,53
18,72
3,26
73,27
1,06
18,36
1,34
17389)
75,87
1,10
21,65
1,37
3167 9)
77,02
1,03
19,95
2,00
3119 9)
74,09
1,14
22,50
2,28
73,57
1,12
23,03
2,27
42,0
11,90
37,83
1230
71,4
1,8
21,1
6,00
1380
77,12
1,09
20,07
1,28
65,40

2,00

20,10

11,40

Ca
(%)

P
(%)

Fe
(ppm)

0,110
0,00610)
0,01111)
0,00811)
0,00811)
-

0,770
0,22810)
0,17211)
0,19011)
0,19011)
-

8,36
1,812)
2,012)
2,1
3,7

0,050

0,750

7,3

Hasil penelitian ini; Norsuhana et al. (2007); Rosyidi (2010); Warsono (2009); Setiawan (2009); Jukna & Valaitien
(2012); 7)Sarwono (2001); 8)Lee et al. (2007); 9)Aganga (2003); 10) Farrel & Raharjo (1984); 11) Parigi Bini et al. (1992); 12)
Williams (2007); 13)Oyarekua & Ketiku (2010)
1)

2)

3)

4)

5)

6)

315

Wartika Rosa Farida

Tabel 8. Asam-asam lemak dan kolesterol daging landak jawa


Parameter
EPA (mg/100 g)
DHA (mg/100 g)
Omega-3 (mg/100 g)
Omega-6 (mg/100 g)
Omega-9 (mg/100 g)
Kolesterol (mg/100 g)

Betina
12,49
23,79
0,32
3,78
8,49
77,51

T0
Jantan
11,79
24,01
0,36
3,38
14,26
78,02

T1
Rataan
12,14 0,49
23,90 0,16
0,34 0,03
3,58 0,28
11,38 4,08
77,77 0,36

Betina
12,49
24,52
0,59
7,79
16,18
78,7

Jantan
13,89
25,48
0,40
4,62
9,47
78,47

Rataan
13,19 0,99
25,00 0,68
0,50 0,13
6,21 2,24
12,83 4,74
78,59 0,16

Tabel 9. Kandungan Asam-asam lemak landak Jawa dan hewan lainnya


Jenis hewan
Landak jawa1)
Landak raya2)
Kelinci3)
Napu4)
Kancil5)
Sapi6)
Babi6)
Ayam6)
Domba7)
Tikus raksasa afrika8)
Rusa sambar9)
Rusa Jawa9)
Kuda10)

EPA
DHA
Omega 3
Omega 6
Omega 9
(C20:5n-3)
(C22:6n-3)
----------------------------------------- (%) -------------------------------------0,12
0,24
0,003
0,04
0,11
1,8
0,5
0,6
0,00
0,30
0,15
0,31
2,67
2,08
0,13
0,05
0,25
0,07
0,14
0,15
0,13
1,01
0,08
0,06
0,43
0,92
-

Kolesterol
(mg/100 g)
77,77
47,0
13,17
50,0
86,011)
85,011)
55,3
92,0011)
70,20
101,30
104,25
40,5

1)Hasil penelitian ini; 2)Norsuhana et al. (2008); 3)Hernndez & Zotte (2010); 4)Arifin (2004);5)Rosyidi (2010);
6)Zotte & Szendro (2011); 7)San udo et al. (2000); 8)Oyarekua & Ketiku (2010); 9) Dahlan & Norfarizan-Hanoon (2007); 10)
Tonial et al. (2009); 11)Gillespie (1998)

Tabel 10. Komposisi asam amino daging landak jawa


Asam amino
Asam aspartat
Asam glutamat
Serin
Glisin
Histidin
Arginin
Threonin
Alanin
Prolin
Tirosin
Valin
Methionin
Sistin
Isoleusin
Leusin
Phenilalanin
Lisin

Betina
0,81
1,63
0,41
0,23
0,97
0,54
0,29
0,19
0,13
0,4
0,65
0,79
0,08
0,31
0,70
0,42
0,58

T0
T1
Jantan
Rataan
Betina
Jantan
Rataan
------------------------------------ (%) ------------------------------------0,72
0,77 0,06
0,78
0,67
0,73 0,08
1,36
1,50 0,19
1,65
1,55
1,60 0,07
0,36
0,39 0,04
0,40
0,37
0,39 0,02
0,18
0,21 0,04
0,21
0,19
0,20 0,01
0,83
0,90 0,10
0,93
0,84
0,89 0,06
0,53
0,54 0,01
0,61
0,54
0,58 0,05
0,21
0,25 0,06
0,28
0,26
0,27 0,01
0,13
0,16 0,04
0,17
0,13
0,15 0,03
0,11
0,12 0,01
0,08
0,06
0,07 0,01
0,29
0,35 0,08
0,38
0,12
0,25 0,18
0,58
0,62 0,05
0,62
0,48
0,55 0,10
0,7
0,75 0,06
0,78
0,69
0,74 0,06
0,08
0,08 0,00
0,07
0,06
0,07 0,01
0,22
0,27 0,06
0,3
0,27
0,29 0,02
0,61
0,66 0,06
0,68
0,68
0,68 0,00
0,45
0,44 0,02
0,32
0,30
0,31 0,01
0,55
0,57 0,02
0,55
0,57
0,56 0,01

316

Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 311-325 (2013)

Tabel 11. Komposisi asam amino daging landak dan hewan lain
Landak1)

Asam amino
Asam aspartat
Asam glutamat
Serin
Glisin
Histidin
Arginin
Threonin
Alanin
Prolin
Tirosin
Valin
Methionin
Sistin
Isoleusin
Leusin
Fenilalanin
Lisin

0,77
1,50
0,39
0,21
0,90
0,54
0,25
0,16
0,12
0,35
0,62
0,75
0,08
0,27
0,66
0,44
0,57

Bandikut2)

Kelinci3)

Kancil 4)

-------------------------------------------1,06
9,67
2,88
17,98
0,27
0,11
0,35
4,37
0,53
6,23
0,14
3,33
0,11
0,20
0,30
0,58
6,26
0,18
2,02
0,16
0,10
5,30
0,58
9,15
0,35
4,35
0,25
9,97

Trenggiling5)

Sapi6)

(%) ------------------------------------------0,93
2,00
8,80
1,49
2,87
14,40
0,58
0,79
3,80
0,30
1,05
7,10
0,43
0,61
1,40
0,47
1,63
6,60
0,41
1,04
4,00
0,90
1,07
6,40
0,46
0,75
5,40
0,35
0,79
3,20
0,41
1,08
5,70
0,21
0,37
2,30
1,32
0,04
2,90
0,36
1,03
5,10
0,18
1,88
8,40
1,19
0,95
4,00
0,56
1,54
8,40

Babi
hutan7)
6,16
12,40
8,25
6,95
7,00
10,61
6,89
11,86

Hasil penelitian ini; 2)Warsono (2009); 3)Bivolarski et al. (2011); 4)Rosyidi (2010); 5)Farida
(2012); 6)Lawrie (2003); 7)Brudnicki (2012)

1)

PEMBAHASAN

lebih agresif dibandingkan betina, oleh sebab itu


otot jantan lebih aktif dan hal ini berpengaruh

Salah satu faktor penting yang berpengaruh


terhadap kualitas dan ketahanan daging sebagai

terhadap kandungan asam laktat yang dihasilkan


dari glikogen otot sehingga umumnya nilai pH

bahan pangan adalah nilai pH daging (Ibarburu

daging hewan jantan akan lebih rendah dibanding

2007). Nilai pH juga mempengaruhi sifat-sifat

betina.

fisik daging seperti warna daging, susut masak,

dengan daging sapi dan bandikut, yaitu pada

keempukan, dan daya mengikat air (Forrest et al.,

kisaran 5,70 5,77 dan bervariasi seperti nilai pH

1975). Pada Tabel 4 terlihat tidak ada pengaruh


yang nyata (P>0,01) atas pH daging landak pada

dari jenis hewan lainnya (Tabel 5). Menurut


Lawrie (2003), nilai pH daging hewan setelah

kedua perlakuan T0 dan T1. Nilai pH daging

dipotong

landak termasuk dalam nilai pH daging yang

(spesies, kandungan glikogen otot, variabilitas

segar. Seperti dilaporkan oleh Sebsibe (2006) dan

antar hewan) dan faktor ekstrinsik (temperatur

Lawrie (2003), daging berkualitas baik berada


pada kisaran pH normal daging segar, yaitu 5,4

lingkungan, perlakuan sebelum pemotongan, dan


suhu penyimpanan daging).

5,8. Nilai pH daging landak jantan dan betina

Keempukan daging merupakan faktor

pada perlakuan T0 dan T1 menunjukkan nilai

penting bagi konsumen dalam membeli guna

yang hampir sama, hal ini berbeda dengan

tujuan konsumsi. Dari Tabel 4 terlihat tidak ada

pendapat Rao et al. (2009) bahwa perbedaan jenis


kelamin lebih mempengaruhi nilai pH daripada

perbedaan nyata (P>0,05) nilai keempukan antara


daging landak jantan dan betina pada kedua per-

umur hewan.

lakuan ransum maupun nilai rataan antar perla-

Adanya variasi nilai pH pada

Nilai pH daging landak hampir sama

dipengaruhi

oleh

faktor

intrinsik

jantan dan betina lebih disebabkan perilaku

kuan.

Keempukan daging dipengaruhi faktor

hewan tersebut. Hewan jantan umumnya bersifat

antemortem (genetik termasuk bangsa, spesies dan


317

Wartika Rosa Farida

fisiologi, umur, manajemen, jenis kelamin, stres)

sedangkan menurut Lawrie (2003) temperatur

dan faktor postmortem (metode chilling, refrigerasi,

dan lama pemasakan akan berpengaruh terhadap

pelayuan dan pembekuan, lama dan waktu


penyimpanan, metode pemasakan dan penamba-

nilai susut masak daging. Perebusan daging pada


suhu tinggi (60-90C) akan menyebabkan kerusa-

han bahan pengempuk) (Soeparno 2005). Rataan

kan jaringan epimisium, perimisium, dan endo-

nilai keempukan daging landak, yaitu 3,63 kg/

mesium sehingga jaringan daging akan menyusut

cm (T0) dan 3,26 kg/cm (T1), menandakan

sekitar 30% akibat keluarnya cairan daging, se-

daging

Seperti

dangkan pada penelitian ini pemasakan daging

dilaporkan oleh Belew et al. (2002) bahwa nilai


daya iris Warner Blatzer Shear (WBS)

pada suhu dalam daging sebesar 81oC. Shanks et


al. (2002) berpendapat bahwa besarnya susut

dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu sangat

masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan

landak

empuk

tergolong

(WBS<3,2

empuk.

kg/cm2),

empuk

membran seluler, banyaknya air yang keluar dari

(3,2<WBS<3,9 kg/cm2), sedang (3,9<WBS<4,6

daging, umur daging, degradasi protein dan ke-

kg/cm2), dan keras (WBS>4,6 kg/cm2).


Keempukan daging landak hampir sama dengan

mampuan daging untuk mengikat air (DMA).


Dari Tabel 4 terlihat terjadi peningkatan nilai

satwa liar lainnya seperti bandikut, kancil, kelinci

susut masak dengan menurunnya nilai DMA pa-

lokal, dan kambing sudan (Tabel 5). Diduga dag-

da daging landak jantan dan betina di kedua per-

ing landak mengandung lebih sedikit jaringan ikat

lakuan, hal ini seperti yang dinyatakan oleh

dengan tekstur atau serat otot yang lebih halus


dan lemak daging yang lebih tinggi dari hewan

Aberle et al. (2001), bahwa susut masak daging


sangat berhubungan dengan kemampuan

lain. Hal ini seperti pernyataan Williamson dan

mengikat air, semakin rendah DMA, maka susut

Payne (1993), daging hewan liar tergolong sangat

masak daging akan semakin besar, demikian pula

empuk karena serat-serat ototnya relatif kecil atau

sebaliknya. Nilai susut masak daging landak jawa

tekstur ototnya lebih halus. Selanjutnya dijelas-

hampir sama dengan daging kancil, kelinci lokal,

kan oleh Soeparno (2005), daging yang memiliki


tekstur atau serat otot yang lebih halus dan kan-

dan sapi (Tabel 5), serta lebih rendah dibandingkan susut masak daging rusa sambar. Pada

dungan lemak yang tinggi akan menghasilkan

penelitian ini landak jawa yang digunakan beru-

daging yang lebih empuk karena lemak ini akan

mur kurang dari satu tahun yang relatif masih

larut di antara ikatan serabut otot daging.

muda, sehingga kandungan kolagen dalam daging

Keempukan daging landak jelas disebabkan tingginya kandungan lemak daging dibandingkan

masih relatif rendah dibanding hewan yang lebih


tua. Dari hasil penelitian Komariah et al. (2009)

hewan liar maupun ternak domestikasi lainnya

dilaporkan perbedaan jenis ternak berpengaruh

(Tabel 7).

terhadap nilai pH, DMA, keempukan dan susut

Rataan nilai susut masak daging landak

masak daging, sedangkan lama postmortem ber-

perlakuan kontrol (T0) lebih tinggi daripada per-

pengaruh terhadap nilai pH dan DMA.

lakuan T1, tetapi tidak berbeda nyata (P>0,01)


antara landak jantan dan betina pada kedua perla-

Daging yang baik menurut Hadiwiyoto


(1983) adalah daging yang mempunyai warna

kuan ransum. Dilaporkan oleh Bulent et al.

cerah, tidak pucat dan mengkilat, tidak ada bau

(2009), meningkatnya nilai susut masak daging

asam, apalagi busuk, konsistensinya liat serta apa-

berkaitan dengan kecepatan penurunan pH post-

bila dipegang tidak lekat di tangan dan masih

mortem atau rendahnya nilai pH ultimat daging,

terasa kebasahan. Dilaporkan oleh OSullivan et


318

Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 311-325 (2013)

al. (2004) bahwa warna daging dipengaruhi oleh

karena total konsumsi pakan (Tabel 3) oleh lan-

pakan yang diberikan pada hewan. Dari Tabel 4

dak jawa tidak berbeda pada kedua perlakuan,

terlihat pengaruh pemberian pakan T0 maupun


T1 tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap

sehingga perlakuan penambahan pelet koi pada


ransum tidak berpengaruh terhadap warna lemak.

warna daging landak yang berwarna agak merah

Penambahan konsentrat berupa pelet koi

muda pada skala 2 berdasarkan Meat Colour Card

pada perlakuan ransum T1 telah meningkatkan

Score AUS-MEAT. Konsumen umumnya cender-

kandungan protein daging landak dibandingkan

ung menilai daging yang segar adalah daging yang

T0 (Tabel 6), tetapi tidak terjadi peningkatan

berwarna merah cerah. Dijelaskan oleh Rhonda


(1994), warna pada daging sangat dipengaruhi

kadar air daging T1. Hal ini berbeda dengan


pendapat Orskov (1976) bahwa peningkatan

oleh konsentrasi pigmen daging, yaitu myoglobin,

protein pakan dapat meningkatkan kadar air

yang berjumlah sekitar 50-80 % dari total pigmen

daging. Sebaliknya kandungan lemak dan energi

yang ada, sedangkan menurut Lawrie (2003)

bruto daging T1 lebih rendah daripada T0.

faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi


myoglobin adalah spesies, bangsa, umur, jenis ke-

Menurut Fraga et al. (1983), kandungan energi


dan protein karkas dapat berubah karena tingkat

lamin, pakan, cekaman (tingkat aktivitas dan tipe

pertumbuhan atau karena komposisi bahan pakan

otot), pH dan oksigen. Faktor penting sebelum

dalam ransum. Kadar air daging landak T0 lebih

pemotongan yang mempengaruhi warna daging

tinggi daripada T1, dan menurut Winarno (1993)

adalah perlakuan istirahat yang dapat menentukan tingkat cekaman (stress) pada hewan. Pada

kadar air daging yang tinggi kurang disukai


konsumen karena daging cepat rusak. Kadar air

penelitian ini, sebelum pemotongan, landak telah

daging landak jawa lebih rendah dibandingkan

dipuasakan selama 24 jam yang bertujuan untuk

hewan liar dan domestik lainnya (Tabel 7),

menekan stres.

Dilaporkan oleh Soeparno

sedangkan kadar abu daging landak terlihat paling

(2005), pemuasaan pada hewan akan mempermu-

tinggi dibandingkan hewan lainnya diikuti pula

dah proses penyembelihan terutama pada hewan


yang agresif atau liar karena dengan dipuasakan

dengan tingginya kandungan kalsium (Ca), fosfor


(P), dan zat besi (Fe). Daging adalah sumber

hewan

Selanjutnya

mineral Fe (zat besi) yang baik untuk memelihara

menurut Aberle et al. (2001), hewan yang tidak

kesehatan, untuk mensintesis hemoglobin dan

diistirahatkan akan menghasilkan daging yang

enzim-enzim tertentu. Sales (1995) melaporkan

berwarna gelap, kering, memiliki nilai pH tinggi,


bertekstur keras, dan daya mengikat air tinggi.

bahwa daging hidupan liar mengandung nilai


nutrien yang lebih baik dibandingkan daging

Daging landak berwarna lebih muda dibanding-

ternakan domestikasi. Rataan kandungan protein

kan daging kambing sudan (Tabel 5). Hal ini

daging landak T1 lebih tinggi dari daging landak

sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa

T0, tetapi rataan kandungan lemak dan energi

warna daging dipengaruhi banyak faktor, antara

bruto T1 lebih rendah dari T0. Kandungan

lain pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin,


stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), dan pH.

protein daging T1 yang lebih tinggi (Tabel 6)


diikuti dengan tingginya DMA daging landak T1

Warna lemak daging landak adalah putih pada

dibanding

skala 2 berdasarkan Meat Colour Card Score AUS-

menyatakan bahwa perubahan DMA daging

MEAT. Dari Tabel 4 terlihat warna lemak dag-

diduga karena terjadinya perubahan ion-ion yang

ing landak T0 sama dengan T1, hal ini diduga

diikat oleh protein daging. Kadar lemak daging

menjadi

lebih

tenang.

T0

(Tabel

4).

Hamm

(1981)

319

Wartika Rosa Farida

landak jawa dan landak raya lebih tinggi

omega-3, omega-6, dan omega-9 (Tabel 8).

dibandingkan hewan lain, kecuali terhadap daging

Menurut Okuyama (2007) & Hibbeln (2006),

babi, kuda, dan tikus raksasa afrika. Selanjutnya


menurut Edwards (1981), kadar lemak

ketidakseimbangan asam lemak dalam diet


modern menimbulkan masalah kesehatan. Omega

mempunyai hubungan negatif dengan kadar

-3 membantu menurunkan risiko penyakit kronis

protein. Faktor yang mempengaruhi komposisi

seperti penyakit jantung, stroke, dan kanker serta

kimia daging adalah spesies hewan, kondisi

menurunkan LDL atau kolesterol jahat. Omega-

hewan, jenis daging karkas, proses pengawetan,

6 merupakan asam lemak tak jenuh ganda yang

penyimpanan dan metoda pengepakan serta


kandungan lemak daging tersebut (Winarno dan

tidak dapat diproduksi tubuh manusia, sehingga


perlu asupan dengan mengkonsumsi makanan

Rahayu 1994).

seperti daging, unggas, dan telur serta kacang dan

Kandungan asam lemak tak jenuh ganda

minyak nabati seperti kanola dan minyak bunga

EPA dan DHA yang merupakan derivat asam

matahari. Omega-9 disebut sebagai asam lemak

lemak omega-3 dalam daging landak jawa tidak


berbeda nyata (P>0,05) pada kedua perlakuan T0

tak jenuh tunggal, bisa membantu mengurangi


risiko penyakit jantung dan stroke. Asam lemak

dan T1 (Tabel 8). Diduga produksi asam lemak

omega-9 telah terbukti meningkatkan HDL

tak jenuh ganda tersebut berhubungan dengan

(kolesterol

jenis pakan yang dikonsumsi hewan bersangkutan

(kolesterol jahat), membantu menghilangkan

(Rosyidi 2007). Dalam pelet ikan koi terkandung


minyak ikan yang berpengaruh meningkatkan

penumpukan plak di arteri, yang menyebabkan


serangan jantung dan stroke. Omega-9 ditemukan

asam lemak tak jenuh ganda daging landak T1.

dalam lemak hewan dan tanaman seperti kanola,

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Overland et

biji

al. (1996) dan Wood et al. (2004), bahwa

kacangan.

bunga

baik)

dan

matahari,

menurunkan

zaitun,

dan

LDL

kacang-

penambahan 1% minyak ikan dalam ransum

Rataan kandungan kolesterol daging

telah meningkatkan kandungan EPA dan DHA


daging babi. Lands (2005) melaporkan hasil

landak tidak berbeda nyata (P>0,05) pada kedua


perlakuan ransum T0 dan T1, walaupun terjadi

penelitiannya bahwa diet tinggi dalam jumlah

sedikit peningkatan kolesterol daging landak jawa

EPA dan DHA membantu perkembangan otak

pada

dan mata, mencegah penyakit jantung, dan dapat

Simatupang

membantu mencegah penyakit Alzheimer. Howe


et al. (2006) menjelaskan dari hasil penelitiannya

berasal dari dua sumber, yaitu kolesterol endogen


melalui sintesis oleh tubuh dan kolesterol yang

bahwa daging merah (mamalia) merupakan

berasal dari makanan yang diabsorbsi oleh usus

sumber penting dari asam lemak tidak jenuh

dan terjadi di hati. Dari Tabel 9 dapat dilihat

berantai panjang, EPA dan DHA. Kandungan

konsentrasi kolesterol daging landak jawa lebih

EPA daging landak jawa setara dengan daging

rendah dibandingkan daging sapi, babi, domba,

kelinci, kancil, babi, dan ayam, tetapi lebih


rendah dari daging landak raya (Tabel 9), hal ini

rusa jawa, dan rusa sambar, sebaliknya lebih tinggi


dibandingkan daging kancil, napu, ayam, dan

diduga karena adanya perbedaan jenis konsentrat

kuda. Dilaporkan oleh Cifuni et al. (2004), Padre

yang

Penggunaan

et al. (2006), & Duckett et al. (2009), banyak

konsentrat berupa pelet ikan koi (T1) telah

faktor yang mempengaruhi kandungan kolesterol

meningkatkan juga kandungan asam lemak

daging, yaitu bangsa hewan, jenis kelamin, umur,

diberikan

dalam

pakan.

perlakuan

T1

(1997),

(Tabel

8).

Menurut

pembetukan

kolesterol

320

Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 311-325 (2013)

derajat marbling, ketebalan lemak subkutan,

KESIMPULAN

energi pakan, perlakuan pakan (terbatas atau ad


libitum), dan tipe potongan daging. Kolesterol
berperan penting dalam fungsi sel tubuh, antara

Penambahan pakan konsentrat berupa


pelet ikan koi ke dalam ransum tidak berpengaruh

lain produksi hormon-hormon steroid dan

nyata terhadap sifat fisik dan kimia daging landak

kolesterol akan berbahaya bila konsentrasinya

jawa

dalam darah melebihi batas normal, karena

memiliki nilai pH daging normal, empuk, daya

kolesterol

sebab

mengikat air rendah dan susut masak sedang.

atau

Kandungan nutrien daging berimbang dengan


kadar air (69,24%), abu (3,34%), protein

Berdasarkan Tabel 10 tampak perlakuan

(17,09), lemak (3,89%), dan Fe tinggi (8,36

merupakan

salah

satu

penyumbatan pembuluh darah


artherosclerosis (Guyton 1987).

arteri

T0 dan T1 tidak berpengaruh nyata (P>0,05)

Daging landak layak dikonsumsi karena

ppm), serta kolesterol tinggi (77,77 mg/100 g).

terhadap rataan kandungan asam-asam amino


daging landak jawa. Penambahan pelet ikan koi
dalam ransum T1 meningkatkan kandungan pro-

UCAPAN TERIMA KASIH

tein daging landak jawa (Tabel 6), tetapi tidak

Peneliti menyampaikan terima kasih

meningkatkan kandungan asam-asam aminonya.

kepada Tri H. Handayani S.Si., Andri P. Sari,

Dilaporkan oleh Rosyidi et al. (2010) bahan ma-

S.Si., Sdr. Umar Sofyani, dan Sdri. R. Lia R.

kanan yang mengandung protein tinggi tidak berarti kualitas proteinnya menjadi tinggi, dalam hal

Amalia atas bantuannya selama dan hingga penelitian ini selesai.

ini adalah asam-asam amino esensialnya. Kandungan asam-asam amino yang teridentifikasi

DAFTAR PUSTAKA

pada daging landak jawa relatif rendah dibandingkan dengan daging ternak domestikasi (kelinci

Aberle, ED., JC. Forrest, HB. Hendrick, MD.

dan sapi) dan satwa liar trenggiling dan babi hutan (Tabel 11), tetapi relatif lebih tinggi

Judge & RA. Merkel. 2001. Principles of


Meat Science. W.H. Freeman and Co., San

dibandingkan daging satwa liar bandikut dan kan-

Fransisco.

cil.

Asam amino adalah zat pembangun yang

sangat

diperlukan

oleh

tubuh.

Daging

Aganga, AA., AO. Aganga, T. Thema, & KO.


Obocheleng.

2003.

Carcass analysis and

mengandung asam amino esensial yang cukup


lengkap, terutama leusin, lisin dan valin.

meat composition of the donkey. Pakistan J.


Nutr. 2 (3): 138-147

Kandungan ketiga asam amino esensial tersebut

AOAC. 1995. Official Method of Analysis of The

tinggi

Association of Official Analitycal of Chemist.

dibandingkan daging bandikut dan kancil, tetapi

16th ed. Arlington, Virginia, USA: Published

lebih

ternak

by The Association of Analitycal Chemist,

domestikasi.
Dijelaskan oleh Irina (2011),
kandungan asam amino dalam daging setiap

Inc.
Arifin. 2004. Kajian terhadap produktivitas dan

spesies hewan berbeda-beda, tergantung pada

produk napu (Tragulus napu) di Propinsi

masing-masing karakteristiknya.

Jambi. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana.

dalam

daging
rendah

landak

jawa

dibandingkan

lebih
daging

Bogor : Institut Pertanian Bogor. .


Atkins, W.

2004. Old World Porcupines


321

Wartika Rosa Farida

(Hystricidae). Dalam : D. Kleiman, V. Geist,

Duckett SK., JPS. Neel, JP. Fontenot, & WM.

M. McDade, & M. Hutchins (eds).

Clapham. 2009. Effects of winter stocker

Grzimek's Animal Life Encyclopedia, Vol. 16,


2nd Edition. Detroit, MI: Thomson Gale. Pp.

growth rate and finishing system on: III. tissue proximate, fatty acid, vitamin, cholester-

351-365.

ol content. J Anim Sci. 87:296170.

Baillie, J. 1996. Hystrix brachyura. Dalam: IUCN

Edwards, H.M. Jr. 1981. Carcass composition

2007. IUCN Red List of Threatened Species.

studies. 3. Influence of age, sex and calorie

<www.iucnredlist.org>

protein contents of the diet on carcass com-

Belew, JB., J. Brooks C., DR. McKenna, & JW.


Savell. 2002. Warner-Blatzer shear evaluation

position of Japanese quail. Poultry Sci. 60:


2506-2512.

of bovine muscles. Meat Science Section, De-

Elamin, KM., HE. Hassan, HO. Abdalla, OH.

partment of Animal Science, Texas Agricul-

Arabi, & AA. Tameem Eldar. 2012. Effect

tural Experiment Station, Texas A & M

of feeding crushed roselle seed (Hibiscus

University, College Station, TX 778432471, Texas.

sabdariffa L.) (Karkadeh) on carcass characteristics of sudan desert sheep. Asian J.

Bivolarski, B., E. Vachkova, S. Ribarski, K. Uz-

Anim. Sci. 6 (5): 240-248

unova & D. Pavlov . 2011. Amino acid con-

Farrel, DJ. & YC. Raharjo. 1984. The Potential for

tent and biological value of rabbit meat pro-

Meat Production from Rabbit. Central Re-

teins, depending on weaning age . Bulgarian

search Institute for Animal Science. Bogor.


Farida, WR. 2012. Kualitas daging dan bagian

J. Vet. Med. 14 (2): 94102


Brudnicki, A., W. Brudnicki, J. Wach, A.

tubuh lain Trenggiling (Manis javanica

Kuakowska, & D. Pietruszyska. 2012.

Desmarest, 1822). J. Biologi Indonesia 8(1):

Amino acid composition in the wild boar

141-154.

(Sus Scrofa Ferus) meat originating from

Forrest, JC., ED. Aberde, HB. Hendrick. MD.

different part of carcass. J. Central European


Agric. 13(4): 662-670.

Judge, & RA. Merkel. 1975. Principle of


Meat Science. W.H. Freeman and Co. San

Bulent E., A. Yilmaz, M. Ozcan, C. Kaptan, H.

Fransisco USA

Hanouglu, I. Erdogan, & H. Yalcintan.

Fraga, MJ., JC. De Blas, E. PeRez, JM. Ro-

2009. Carcass measurements and meat quali-

driGuez, CJ. PeRez, & JF. Ga Lvez. 1983.

ty of Turkish Merino, Ramlic, Kivircik, Chi-

Effect of diet on chemical composition of


rabbits slaughtered at fixed body weights. J.

os and Imroz lambs raised under an intensive


production system 82. p. 64-70.
Cifuni GF, F. Napolitano, AM. Riviezzi, A.
Braghieri, & A. Girolami. 2004. Fatty acid
profile, cholesterol content and tenderness of
meat from Podolian young bulls. Meat Sci.
67:28997.
Dahlan, I. & NA. Norfarizan-Hanoon.

2007.

Fatty acid profiles and cholesterol composition of venison from farmed deer. J. Anim.
Vet. Adv. 6 (5): 650-657.

Anim. Sci. 56: 1097.


Gillespie, JR. 1998. Animal Science. New York:
Delinar Publishers.
Guyton, AC.

1987.

Fisiologi manusia dan

mekanisme kerja penyakit. Terjemahan oleh


Petrus Adrianto. Penerbit buku kedokteran
EGC, Jakarta.
Hadiwiyoto, S.1983. Hasil-Hasil Olahan Susu,
Ikan, Daging dan Telur. Liberty, Yogyakarta
Hamm, R. 1981. Kolloidchemie des fleisches-des
322

Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 311-325 (2013)

33 (3): 183-189.

wasserbindungsvermoegen des
muskeleiweisses in theorie und praxis. Verlag Paul
Parey, Berlin.
Hartono, E., Ning Iriyanti, & RS. Sugeng
Santosa.

2013.

Penggunaan

pakan

fungsional terhadap daya ikat air, susut


masak, dan keempukan daging ayam broiler.
J. Ilmiah Peternakan 1 (1): 10-19.
Hernndez, P. & A. Dalle Zotte. 2010. Influence
of diet on rabbit meat quality. Dalam: C. de
Blas (ed.). Nutrition of The Rabbit. 2nd Ed.
Univesidad Poletenica, Madrid, J. Wiseman,
University of Nottingham, UK. pp 163
178.
Hibbeln, JR. 2006. Healthy intakes of n3 and
n6 fatty acids: estimations considering
worldwide diversity.

American J. Clinic.

Nutr. 83 (6, supplement): 1483S1493S.


Howe, PH., B. Meyer, S. Record, & K. Baghurst.
2006. Dietary intake of long-chain x-3 polyunsaturated fatty acids: contribution of meat
sources. Nutrition 22: 4753.
Ibarburu. M., J. Kliebenstein, & B. Hueth.
2007. pH as a predictor of flavor, juiciness,
tenderness and texture in pork from pigs in a
Niche Market System. Iowa State University
Animal Industry Report 2007. A.S. Leaflet
R2181.
Irina, C. 2011. Comparative study of meat composition from various animal species. Plenary
paper on International 56th Meat Industry
Conference held from June 12-15th 2011 on
Tara mountain, Institut za higijenu i
tehnologiju mesa, Beograd.
Jukna, V. & V. Valaitien. 2012. The comparison of meat nutritional and technological
properties in different animals. Veterinarija
Ir Zootechnika (Vet Med Zoot) 59 (81): 34-39
Komariah, S. Rahayu, & Sarjito. 2009. Sifat fisik
daging sapi, kerbau, domba pada lama postmortem yang berbeda. Buletin Peternakan

Lands, WEM. 2005. Dietary fat and health: the


evidence and the politics of prevention: careful use of dietary fats can improve life and
prevent disease. Annals of the New York Acad.
Sci. 1055: 179192.
Lawrie, RA. 2003. Meat Science. The 6th Ed. Terjemahan. A. Paraksi dan A. Yudha. Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.
Lee, CE., PN. Seong, WY. Oh, MS. Ko, KI,
Kim, & JH. Jeong. 2007. Nutritional characteristics of horsemeat in comparison with
those of beef and pork. Nutr. Research and
Practice 1: 70-73
Medway, L. 1978. The Wild Mammals of Malaya
and Singapore. 2nd ed. Oxford University
Press. Kuala Lumpur, New York.
Norsuhana AH, MN Shukor, A. Aminah, AQ
Sazili, & Z.Zahari Z. 2008. Perbandingan
komposisi asid lemak daging landak raya
(Hystrix brachyura) dengan daging haiwan
yang lain. Seminar UNRI UKM ke 5, 19
21 Agustus 2008 Pekanbaru, Riau.
Norsuhana AH, MN Shukor, AQ Sazili, A. Aminah, & Z. Zahari Z. 2007. The effects of
commercial pellets on feed intake, digestibility and nutrient composition in meat of Malayan porcupine (Hystrix brachyura).

9th

Symposium of the Malaysian Society of Applied Biology, Bayview Gerogetown, Penang,


(30th -31st May 2007).
Nowak, RM. 1999. Walkers mammals of the
world. Vol. I & II. John Hopkins University Press, Baltimore London
Okuyama, H., Y. Ichikawa, Y. Sun, T. Hamazaki,
& WEM. Lands. 2007. 3 fatty acids effectively prevent coronary heart disease and other late-onset diseases: the excessive linoleic
acid syndrome. World Rev. of Nutr. Dietetics
96: 83103
Orskov, ER. 1976. Factors influencing protein
323

Wartika Rosa Farida

and non-protein nitrogen utilization in

as indicator of lipid oxidation in muscle

young ruminants. Dalam : DJA. Cole et aL

foods. Comprehensive Reviews in Food Sci.

(Ed.). Protein Metabolism and Nutrition.


Butterworths, London. p. 457.

and Food Safety 5:18-25.


Rosmawati, 2003. Pengaruh Kondisi Daging

O'Sullivan, A., K. O'Sullivan, K. Galvin, AP.

dan Suhu Penyimpanan Terhadap Karak-

Moloney, DJ. Troy, & JP. Kerry.

2004.

teristik Fisik dan Mikrobiologi Daging Ku-

Influence of concentrate composition and

da. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Bogor:

forage type on retail packaged beef quality. J.

Institut Pertanian Bogor.

anim. Sci. V (82): 23842391.


Overland, M., O. Taugbol, A. Haug,

& E.

Rosyidi, D., E. Gurnadi, R. Priyanto, & Suryahadi.


2010.
Kualitas daging kancil

Sundstol. 1996. Effect of fish oil on growth

(Tragulus javanicus). Media Peternakan 33

performance, carcass characteristics, sensory

(2): 95-102

parameters and fatty acid composition in

Rosyidi, D.

2007.

Beberapa Aspek Kimia

pigs. Acta Agriculturae Scandinavica 46: 11


17.

Daging Kancil (Tragulus Javanicus). J. Ilmu


dan Teknologi Hasil Ternak 2 (1): 15 - 25

Oyarekua, MA & AO. Ketiku. 2010. The Nutri-

Sales, J. 1995. Nutrition quality meat from some

ent Composition of the African Rat. Adv. J.

alternative species. World Rev. of Anim.

Food Sci. Technol. 2(6): 318-324

Prod. 30(1-2): 48-56.

Padre RG, JA. Aricetti, FB. Moreira, IY. Mizubuti IY, IN. do Prado, JV. Visentainer,

San udo, C., ME. Enser, MM. Campo, GR.


Nute, G. Mar, I. Sierra, & JD. Wood.

NE de Souza, & M. Matsushita. 2006. Fat-

2000.

ty acid profile, chemical composition of

characteristics of lamb carcasses from Brit-

longissimus muscle of bovine steers and bulls

ain and Spain. Meat Sci. 54: 339-346.

finished in pasture system. Meat Sci. 74:242

Sarwono, B. 2001. Kelinci Potong dan Hias.

8.
Parigi Bini, R., G. Xiccato, M. Cinetto, & A.

AgroMedia Pustaka. Jakarta.


Sebsibe, A. 2006. Meat quality of selected Ethio-

Dalle Zotte. 1992. Effetto dell'et, del peso

pian goat genotypes under varying nutri-

di macellazione e del sesso sulla qualit della

tional conditions. [Ph.D. Thesis]. South

carcassa e della carne cunicola. Zootecnica e


Nutrizione Animale 18: 173190.
Rao, CA., G. Tulasi, & SW. Ruban. 2009. Meat
quality characteristics of non-descript buffalo
as affected by age and sex. World Applied Sci.
Journal 6(8): 1058-1065.

Fatty acid composition and sensory

Africa: University of Pretoria.


Semiadi, G., Y. Jamal, WR. Farida, & M.
Muchsinin. 2003. Kualitas daging rusa
Sambar (Cervus unicolor) hasil buruan di
Kalimatan Timur. Anim. Prod. 5(1): 35-41
Setiawan, MA. 2009. Karakteristik karkas, sifat

Rhonda, KM. 1994. Quality Characteristics. Da-

fisik, dan kimia daging kelinci rex dan ke-

lam : DM. Kinsman, AW. Kotula, BC. Breidenstein (Ed), Muscle foods: Meat, Poultry

linci lokal (Oryctolagus cuniculus). [Skripsi].


Fakultas Peternakan. Bogor: Institut Per-

and Seafood Technology. Chapman Hall.

tanian Bogor.

New York.
Roos, CF, & DM. Smith. 2006. Use of volatiles

Shanks, BC., DM. Wulf, & RJ. Maddock.


2002. Technical note: The effect of freeze-

324

Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 311-325 (2013)

ing on Warner Bratzler shear force values of

Bogor.

beef longissimus steaks across several post-

Warsono IU. & R. Priyanto. 2011. Sifat biolo-

mortem aging periods. J. Anim. Sci. 80:


2122-2125

gis dan karakteristik karkas bandikut


(Echymipera kalubu). Berk. Penel. Hayati

Simatupang A. 1997. Cholesterol, hypercholesterolemia and the drugs against it a review.

Edisi Khusus 4B: 13-19.


Williams, PG. 2007. Nutritional composition of
red meat.

Cermin Dunia Kedokteran 116 :5-12


Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging.
Gajah mada University Press.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging.
Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press,

Nutrition and Dietetics, 64

(Suppl.)
Williamson, G. & WJA. Payne. 1993. Pengantar
Peternakan di Daerah Tropik. Gadjahmada
University Press, Yogyakarta.
Winarno FG. 1993. Pangan Gizi, Teknologi, dan

Yogyakarta.
Sudarmadji, S, B. Haryono & Suhardi, 1996.

Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan


Pertanian. Penerbit Liberty: Yogyakarta.

Utama.
Winarno, FG. & TS. Rahayu. 1994. Bahan
Tambahan

untuk

Makanan

Bonaafe, JV Visentainer & NE de Souza.

Kontaminan.

Pustaka

Sinar

2009. Fatty acid and cholesterol content,

Jakarta.

Tonial, IB., AC. Aguiar,

CC.

Oliveira, EG.

chemical composition and sensory evaluation of horse meat. S. Afr. J. anim. Sci. 39

dan

Harapan,

Wood JD., RI. Richardson, GR. Nute, AV. Fisher, MM. Campo, E. Kasapidou, PR.
Sheard, & M. Enser. 2004. Effects of fatty

(4): 328 332.


van Weers, D. 1979. Notes on Southeast Asian
porcupines (Hystricidae, Rodentia). IV. On

acids on meat quality: a review. Meat Sci. 66


(1):21-32.

the taxonomy of the subgenus Acanthion F.

Zotte, AD. & Z. Szendr. 2011. The role of rab-

Cuvier, 1823, with notes on the other taxa


of the family. Beaufortia 29:215272.

bit meat as functional food. Meat Sci. 88:


319331

Warsono IU. 2009. Sifat biologis dan karakteristik

karkas

dan

daging

(Echymipera kalubu). [Disertasi].


Pasca Sarjana.

bandikut
Sekolah

Bogor : Institut Pertanian

325

Wartika Rosa Farida

PENDAHULUAN

anfaatan satwaliar untuk kebutuhan komersial


seharusnya berasal dari hasil budidaya pe-

Landak Jawa (Hystrix javanica) atau Sunda Porcupine adalah satwaliar endemik Indonesia,

nangkaran mulai generasi kedua (F2), bukan


dengan menangkap langsung dari alam. Sudah

penyebarannya meliputi Jawa, Madura, Bali,

selayaknya usaha penangkaran dilakukan untuk

Lombok, Sumbawa, dan Flores (van Weers

melestarikan landak dari kepunahan guna pem-

1979). Satwa terestrial ini dapat dijumpai teruta-

anfaatannya secara lestari.

ma di daerah dataran rendah, hutan sekunder,

Berdasarkan hal-hal di atas, maka perlu

dan lahan terdegradasi. Panjang tubuhnya


berkisar 42,5-70 cm dan ekornya 5-12,5 cm

dilakukan suatu penelitian untuk melengkapi data


biologi satwa liar Indonesia, khususnya tentang

(Atkins 2004). Warna rambut tubuhnya coklat

sifat fisik dan kimia daging landak yang diberi

kehitaman dengan duri-duri runcing berwarna

pakan tambahan konsentrat berupa pelet ikan koi.

putih bercincin hitam. Habitat landak di gua-gua,


daerah bebatuan, lubang-lubang kayu, dan hewan
ini dapat menggali tanah untuk sarangnya hingga

BAHAN DAN CARA KERJA


Penelitian

kedalaman 5 m yang dapat dihuni 6-8 ekor lan-

telah

dilakukan

di

Pe-

Landak bersifat aktif di malam hari

nangkaran Mamalia Kecil, Bidang Zoologi, Pusat

(nocturnal), sementara di siang hari berdiam di

Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, Kabupaten

sarangnya berupa lubang yang panjang di dalam


tanah (Nowak 1999). Satwa herbivora ini di habi-

Bogor. Materi penelitian yang digunakan adalah


delapan ekor landak jawa (Hystrix javanica) beru-

tatnya menyukai buah-buahan yang jatuh di lan-

mur sekitar 10 15 bulan dengan rataan bobot

tai hutan, umbi-umbian, kulit kayu, dan de-

badan 5,63 0,23 kg. Landak-landak tersebut

daunan (Medway 1978). Landak dianggap hama

dibagi menjadi dua kelompok perlakuan, yaitu

oleh petani karena sering merusak tanaman per-

kelompok yang diberi ransum kontrol (T0) beru-

tanian. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur landak


diburu untuk dijual dan dikonsumsi dagingnya.

pa talas belitung (Xanthosoma sagittifolium),


bengkuang (Pachyrhizus erosus), jagung manis

Sebagian masyarakat mempercayai bahwa men-

(Zea mays), tomat (Solanum lycopersicum), pisang

gonsumsi daging landak dapat menyembuhkan

siam (Musa sp.), dan jaat hutan (Phaseolus sp.),

penyakit asma dan meningkatkan vitalitas tubuh.

dan kelompok yang diberi ransum kontrol dit-

Adanya pemanfaatan landak yang ditangkap secara langsung dari alam yang dilakukan

ambah konsentrat berupa pelet ikan koi (T1).


Penelitian berlangsung selama 82 hari pemeli-

terus-menerus, berakibat semakin menurunnya

haraan

populasinya di alam. Saat ini landak berstatus

(preliminary). Selama masa pemeliharaan, masing

dilindungi berdasarkan SK Mentan No. 247/

-masing landak ditempatkan di dalam kandang

Kpts/Um/4/1979 dan Peraturan Pemerintah Re-

individu berukuran panjang x lebar x tinggi (3,15

publik Indonesia No. 7 tahun 1999. Status konservasi internasional yang tercatat dalam IUCN

m x 2,25 m x 2,00 m). Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pukul 08:30

Red List of Threatened Species adalah vulnerable

dan 16:30 WIB. Penimbangan bobot badan lan-

(Baillie 1996).

dak dilakukan setiap dua minggu sekali.

dak.

Meskipun satwa ini berstatus

dilindungi, perburuan masih terus berlangsung


untuk tujuan konsumsi maupun komersial. Pem-

termasuk

Rancangan

12

hari

percobaan

masa

adaptasi

menggunakan

Rancangan Acak Lengkap dengan pemberian jenis


312

Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)

ransum yang berbeda.

Komposisi ransum

keperluan analisis fisik dan kimia daging landak,

penelitian tertera pada Tabel 1 dan kandungan

diambil bagian daging paha belakang (leg).

nutrien bahan pakan dapat dilihat pada Tabel 2.


Analisa kandungan nutrien pakan penelitian

Sebelum dianalisis, daging dicairkan (thawing)


terlebih dahulu hingga kembali ke kondisi awal.

(proksimat)

dilakukan

berdasarkan

metoda

Peubah yang diamati pada penelitian ini

AOAC (1995) dan energi bruto berdasarkan

adalah sifat fisik daging yang meliputi nilai pH,

pengukuran

susut masak, keempukan, daya mengikat air

menggunakan

adiabatic

bomb

calorimeter (Parr, USA).

(DMA), warna daging dan lemak. Sedang sifat

Sebelum disembelih kedelapan ekor


landak dipuasakan terhadap pakan selama 24 jam,

kimia daging meliputi kadar air, abu, protein,


lemak, karbohidrat, energi bruto, mineral (Ca, P,

tetapi air minum diberikan ad libitum. Hal ini

Fe), asam-asam lemak (EPA, DHA, omega-3,

bertujuan

omega-6, omega-9, kolesterol) dan asam-asam

untuk

mengurangi

isi

saluran

pencernaan dan untuk menghindari pencemaran

amino daging landak.

pada karkas oleh isi saluran pencernaan. Setelah


landak disembelih, dikuliti, dan dikeluarkan

Pengukuran pH berdasarkan AOAC


(1995), daya mengikat air, keempukan, dan susut

bagian jeroan, bagian karkas landak dibekukan

masak (cooking lost) berdasarkan Soeparno (1998)

pada suhu -10 C selama 48 jam.

dilakukan di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak

Untuk

Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut


Tabel 1. Komposisi pakan penelitian landak jawa
Kontrol (T0) Kontrol + Pelet ikan
BahanPakan
(gram)
koi (T1) (gram)
Jagung manis
300
300
Bengkuang
300
300
Talas belitung
200
200
Pisang siam
150
150
Tomat
100
100
Daun Jaat hutan
50
50
Pelet ikan koi*)
0
80
TOTAL
1.100
1.180
*)Komposisi bahan pelet komersial : Tepung ikan, tepung
terigu, bungkil kedelai, pollard, minyak ikan, kolin klorida,
vitamin, & mineral

Pertanian Bogor. Warna daging dilihat dari bagian paha belakang (leg), caranya adalah membandingkan dengan Meat Colour Card Score dari
AUS-MEAT pada skala 1-7. Semakin tinggi
angka skala berarti warna daging semakin merah
gelap.
Komposisi kimia daging landak meliputi
kadar air (Gravimetry), abu, protein (Kjeldhal),
dan lemak (Gravimetry/ether extraction), dianalisis
berdasarkan AOAC (1995), dan energi total
menggunakan

bomb

calorimeter

metoda

Tabel 2. Kandungan nutrien pakan landak (% BK)


Bhn pakan

BK

Abu

PK

LK

SK

BETN

---------------------------- (%) --------------------------

EB

Ca

(kal/g)

---- (%) -----

Jaat hutan

34,14

11,35

36,37

1,81

28,88

21,59

4.445

1,59

0,36

Bengkuang

33,07

3,71

6,01

1,10

6,48

82,70

4.280

0,74

0,33

Talas belitung

24,73

7,68

17,14

0,46

9,77

64,95

4.296

0,43

0,42

Tomat

22,04

9,60

16,98

1,59

16,08

55,74

4.133

0,26

0,38

Pisang siam

35,02

3,80

3,08

0,86

3,44

88,81

3.393

0,08

0,12

Jagung manis

20,67

3,28

15,33

7,75

1,75

71,88

4.776

0,09

0,54

Pelet ikan koi*)

94,70

7,83

25,07

2,08

9,14

55,88

4.489

1,83

0,94

BK = Bahan kering, PK = Protein kasar, LK = Lemak kasar; SK = Serat kasar, BETN = Bahan ektrak tanpa nitrogen,
EB = Energi bruto.

313

Wartika Rosa Farida

kalkulasi, dilakukan di Laboratorium Pengujian

Khusus pada konversi ransum, secara rataan, ke-

Nutrisi Pusat Penelitian Biologi - LIPI. Analisis

lompok landak pada perlakuan T0 lebih efisien

kalsium, zat besi (AAS), fosfor (Spektrofotometer), asam amino dan kolesterol (HPLC)

dalam penggunaan ransum dibandingkan kelompok landak T1.

(Sudarmadji et al. 1996), dan asam lemak daging,

Hasil pengukuran sifat fisik daging landak

serta EPA-DHA menggunakan gas chroma-

jawa tertera pada Tabel 4, sedangkan Tabel 5 me-

tography (Roos dan Smith 2006) dilakukan di

maparkan sifat fisik daging landak dibandingkan

Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor.

hewan lain. Hasil analisa proksimat daging landak

Data hasil pengukuran dianalisis dengan


menggunakan ANOVA. Jika diperoleh hasil yang

jawa dapat dilihat pada Tabel 6 dan kandungan


nutrien daging landak dan hewan lainnya tertera

berbeda, dilanjutkan dengan uji Tukey.

pada Tabel 7.
Tabel 8 tertera kandungan Eicosapentaenoic acids (EPA), Decosahexanoic acid (DHA),

HASIL
Tabel 3 terlihat perlakuan ransum tidak

omega-3, omega-6, omega-9, dan kolesterol pada


daging landak jawa, sedangkan Tabel 9 tentang

berpengaruh nyata terhadap rataan konsumsi ba-

kandungan asam-asam lemak dan kolesterol

han kering ransum, rataan PBBH, dan rataan

daging landak jawa dibandingkan satwa liar lain

konversi ransum, tetapi nampak pengaruh yang

dan ternak domestikasi.

nyata (P<0,05) terjadi antara landak jantan dan


betina pada kedua perlakuan ransum terhadap

amino daging landak dapat dilihat pada Tabel 10


dan kandungan asam amino daging landak dan

konsumsi ransum, PBBH, dan konversi ransum.

hewan lainnya tertera pada Tabel 11.

Komposisi asam-asam

Tabel 3. Konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan konversi pakan landak jawa
T0
Peubah
Konsumsi BK
(g/ekor/hari)
PBBH (g/ekor/hari)
Konversi pakan
(Konsumsi BK /PBBH)

Betina

T1

Jantan

Rataan

Betina

Jantan

Rataan

269,09 b

295,45 a

282,27

306,19a

261,93b

284,06

17,48b

40,24a

28,86

24,39ab

19,51b

21,95

11,37

12,55

13,42

12,99

15,39

7,34

BK = Bahan kering; PBBH = Pertambahan bobot badan per hari, EPP = Efisiensi Penggunaan pakan
abSuperskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Tabel 4. Sifat Fisik daging landak jawa


Parameter

Betina
(n=3)
5,79 0,09

T0
Jantan
(n=1)
5,73

Rataan

Betina
(n=3)
5,76 0,08

pH
5,76 0,04
Keempukan
3,61 1,00
3,65
3,63 0,03
3,25 0,00
(kg/cm2)
Susut masak (%)
43,70 2,54
43,03
43,37 0,47
39,55 7,28
DMA :
- mgH2O
70,02 2,75
52,55
61,28 12,35
71,95 16,84
- % mgH2O
23,34 0,91
17,52
20,43 4,12
23,98 5,61
Warna :
Daging
2,00 0,00
2,00
2,00 0,00
2,00 0,00
Lemak
2,00 0,00
2,00
2,00 0,00
2,00 0,00
DMA = Daya mengikat air; T0 = pakan kontrol; T1= T0 + pellet ikan koi

T1
Jantan
(n=1)
5,80

5,78 0,03

3,27

3,26 0,01

36,20

37,88 2,37

69,56
23,19

70,75 1,69
23,59 0,56

2,00
2,00

2,00 0,71
2,00 0,00

Rataan

314

Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)

Tabel 5. Sifat fisik daging landak jawa dan hewan lainnya


Sifat fisik daging
Jenis hewan

pH

Keempukan
(kg/cm2)

Susut
masak
(%)

Warna

DMA
(% mg H2O)

Daging

Lemak

Landak jawa1)
5,76
3,63
43,37
20,43
2,00
2,00
Kancil2)
6,36
2,00
44,12
32,83
Bandikut3)
5,71
1,05
34,04
36,56
Kelinci lokal4)
6,82
1,81
40,63
120,93
Sapi5)
5,70
6,73
42,53
31,66
Kerbau5)
6,05
6,53
29,84
37,26
Domba5)
5,99
5,44
31,86
37,52
Kambing sudan6)
1,67
7,83
34,41
4.67
Rusa sambar7)
6,46
4,92
53,31
33,52
Kuda8)
Trenggiling9)
6,17
35,12
Ayam broiler10)
0,06
27,77
18,01
1)Penelitian ini; 2) Rosyidi et al. (2010); 3) Warsono & Priyanto (2011); 4) Setiawan (2009);
5)Komariah et al. (2009);6) Elamin et al. (2012); 7)Semiadi et al.(2003); 8)Rosmawati (2003); 9)Farida (2012); 10)Hartono et al. (2013)

Tabel 6. Kandungan nutrien daging landak jawa


Parameter
Kadar air (%)
Abu (%)
Protein (%)
Lemak (%)
GE (kal/g)
Ca (%)
P (%)
Fe (ppm)

Betina
(n=3)
70,04 2,37
3,28 0,30
16,84 1,85
38,74 7,16
7.502,50 266,67
0,11 0,02
0,75 0,06
8,46 1,87

T0
Jantan
(n=1)
68,43
3,34
17,33
38,98
7.265,02
0,11
0,80
8,26

Rataan
69,24 1,14
3,31 0,04
17,09 0,35
38,86 0,17
7.383,76 167,92
0,11 0,00
0,77 0,03
8,36 0,14

T1
Betina
Jantan
(n=3)
(n=1)
64,70 1,57
66,82
3,64 0,66
3,63
18,94 3,38
19,40
30,90 8,55
29,81
6.852,96 522,78 6.665,29
0,07 0,04
0,06
0,84 0,16
0,89
8,37 6,80
4,82

Rataan
65,76 1,50
3,63 0,01
19,17 0,32
30,36 0,77
6.759,13 132,71
0,06 0,00
0,86 0,04
6,60 2,51

Tabel 7. Kandungan nutrien daging landak jawa dan hewan lainnya

Hewan
Landak jawa1)
Landak raya2)
Kancil3)
Bandikut4)
Kelinci lokal5)
Sapi6)
Domba6)
Kijang6)
Babi hutan6)
Babi7)
Kuda8)
Keledai9)
Tikus raksasa
afrika13)

Komposisi kimia
Kadar
Abu
Protein
Lemak
Energi
air
(kal/g)
--------------------- (%) ---------------------69,24
3,31
17,09
3,90
7383
75,30
1,30
19,60
3,60
76,33
1,20
21,42
0,51
72,42
2,53
18,72
3,26
73,27
1,06
18,36
1,34
17389)
75,87
1,10
21,65
1,37
3167 9)
77,02
1,03
19,95
2,00
3119 9)
74,09
1,14
22,50
2,28
73,57
1,12
23,03
2,27
42,0
11,90
37,83
1230
71,4
1,8
21,1
6,00
1380
77,12
1,09
20,07
1,28
65,40

2,00

20,10

11,40

Ca
(%)

P
(%)

Fe
(ppm)

0,110
0,00610)
0,01111)
0,00811)
0,00811)
-

0,770
0,22810)
0,17211)
0,19011)
0,19011)
-

8,36
1,812)
2,012)
2,1
3,7

0,050

0,750

7,3

Hasil penelitian ini; Norsuhana et al. (2007); Rosyidi (2010); Warsono (2009); Setiawan (2009); Jukna & Valaitien
(2012); 7)Sarwono (2001); 8)Lee et al. (2007); 9)Aganga (2003); 10) Farrel & Raharjo (1984); 11) Parigi Bini et al. (1992); 12)
Williams (2007); 13)Oyarekua & Ketiku (2010)
1)

2)

3)

4)

5)

6)

315

Wartika Rosa Farida

Tabel 8. Asam-asam lemak dan kolesterol daging landak jawa


Parameter
EPA (mg/100 g)
DHA (mg/100 g)
Omega-3 (mg/100 g)
Omega-6 (mg/100 g)
Omega-9 (mg/100 g)
Kolesterol (mg/100 g)

Betina
12,49
23,79
0,32
3,78
8,49
77,51

T0
Jantan
11,79
24,01
0,36
3,38
14,26
78,02

T1
Rataan
12,14 0,49
23,90 0,16
0,34 0,03
3,58 0,28
11,38 4,08
77,77 0,36

Betina
12,49
24,52
0,59
7,79
16,18
78,7

Jantan
13,89
25,48
0,40
4,62
9,47
78,47

Rataan
13,19 0,99
25,00 0,68
0,50 0,13
6,21 2,24
12,83 4,74
78,59 0,16

Tabel 9. Kandungan Asam-asam lemak landak Jawa dan hewan lainnya


Jenis hewan
Landak jawa1)
Landak raya2)
Kelinci3)
Napu4)
Kancil5)
Sapi6)
Babi6)
Ayam6)
Domba7)
Tikus raksasa afrika8)
Rusa sambar9)
Rusa Jawa9)
Kuda10)

EPA
DHA
Omega 3
Omega 6
Omega 9
(C20:5n-3)
(C22:6n-3)
----------------------------------------- (%) -------------------------------------0,12
0,24
0,003
0,04
0,11
1,8
0,5
0,6
0,00
0,30
0,15
0,31
2,67
2,08
0,13
0,05
0,25
0,07
0,14
0,15
0,13
1,01
0,08
0,06
0,43
0,92
-

Kolesterol
(mg/100 g)
77,77
47,0
13,17
50,0
86,011)
85,011)
55,3
92,0011)
70,20
101,30
104,25
40,5

1)Hasil penelitian ini; 2)Norsuhana et al. (2008); 3)Hernndez & Zotte (2010); 4)Arifin (2004);5)Rosyidi (2010);
6)Zotte & Szendro (2011); 7)San udo et al. (2000); 8)Oyarekua & Ketiku (2010); 9) Dahlan & Norfarizan-Hanoon (2007); 10)
Tonial et al. (2009); 11)Gillespie (1998)

Tabel 10. Komposisi asam amino daging landak jawa


Asam amino
Asam aspartat
Asam glutamat
Serin
Glisin
Histidin
Arginin
Threonin
Alanin
Prolin
Tirosin
Valin
Methionin
Sistin
Isoleusin
Leusin
Phenilalanin
Lisin

Betina
0,81
1,63
0,41
0,23
0,97
0,54
0,29
0,19
0,13
0,4
0,65
0,79
0,08
0,31
0,70
0,42
0,58

T0
T1
Jantan
Rataan
Betina
Jantan
Rataan
------------------------------------ (%) ------------------------------------0,72
0,77 0,06
0,78
0,67
0,73 0,08
1,36
1,50 0,19
1,65
1,55
1,60 0,07
0,36
0,39 0,04
0,40
0,37
0,39 0,02
0,18
0,21 0,04
0,21
0,19
0,20 0,01
0,83
0,90 0,10
0,93
0,84
0,89 0,06
0,53
0,54 0,01
0,61
0,54
0,58 0,05
0,21
0,25 0,06
0,28
0,26
0,27 0,01
0,13
0,16 0,04
0,17
0,13
0,15 0,03
0,11
0,12 0,01
0,08
0,06
0,07 0,01
0,29
0,35 0,08
0,38
0,12
0,25 0,18
0,58
0,62 0,05
0,62
0,48
0,55 0,10
0,7
0,75 0,06
0,78
0,69
0,74 0,06
0,08
0,08 0,00
0,07
0,06
0,07 0,01
0,22
0,27 0,06
0,3
0,27
0,29 0,02
0,61
0,66 0,06
0,68
0,68
0,68 0,00
0,45
0,44 0,02
0,32
0,30
0,31 0,01
0,55
0,57 0,02
0,55
0,57
0,56 0,01

316

Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)

Tabel 11. Komposisi asam amino daging landak dan hewan lain
Landak1)

Asam amino
Asam aspartat
Asam glutamat
Serin
Glisin
Histidin
Arginin
Threonin
Alanin
Prolin
Tirosin
Valin
Methionin
Sistin
Isoleusin
Leusin
Fenilalanin
Lisin

0,77
1,50
0,39
0,21
0,90
0,54
0,25
0,16
0,12
0,35
0,62
0,75
0,08
0,27
0,66
0,44
0,57

Bandikut2)

Kelinci3)

Kancil 4)

-------------------------------------------1,06
9,67
2,88
17,98
0,27
0,11
0,35
4,37
0,53
6,23
0,14
3,33
0,11
0,20
0,30
0,58
6,26
0,18
2,02
0,16
0,10
5,30
0,58
9,15
0,35
4,35
0,25
9,97

Trenggiling5)

Sapi6)

(%) ------------------------------------------0,93
2,00
8,80
1,49
2,87
14,40
0,58
0,79
3,80
0,30
1,05
7,10
0,43
0,61
1,40
0,47
1,63
6,60
0,41
1,04
4,00
0,90
1,07
6,40
0,46
0,75
5,40
0,35
0,79
3,20
0,41
1,08
5,70
0,21
0,37
2,30
1,32
0,04
2,90
0,36
1,03
5,10
0,18
1,88
8,40
1,19
0,95
4,00
0,56
1,54
8,40

Babi
hutan7)
6,16
12,40
8,25
6,95
7,00
10,61
6,89
11,86

Hasil penelitian ini; 2)Warsono (2009); 3)Bivolarski et al. (2011); 4)Rosyidi (2010); 5)Farida
(2012); 6)Lawrie (2003); 7)Brudnicki (2012)

1)

PEMBAHASAN

lebih agresif dibandingkan betina, oleh sebab itu


otot jantan lebih aktif dan hal ini berpengaruh

Salah satu faktor penting yang berpengaruh


terhadap kualitas dan ketahanan daging sebagai

terhadap kandungan asam laktat yang dihasilkan


dari glikogen otot sehingga umumnya nilai pH

bahan pangan adalah nilai pH daging (Ibarburu

daging hewan jantan akan lebih rendah dibanding

2007). Nilai pH juga mempengaruhi sifat-sifat

betina.

fisik daging seperti warna daging, susut masak,

dengan daging sapi dan bandikut, yaitu pada

keempukan, dan daya mengikat air (Forrest et al.,

kisaran 5,70 5,77 dan bervariasi seperti nilai pH

1975). Pada Tabel 4 terlihat tidak ada pengaruh


yang nyata (P>0,01) atas pH daging landak pada

dari jenis hewan lainnya (Tabel 5). Menurut


Lawrie (2003), nilai pH daging hewan setelah

kedua perlakuan T0 dan T1. Nilai pH daging

dipotong

landak termasuk dalam nilai pH daging yang

(spesies, kandungan glikogen otot, variabilitas

segar. Seperti dilaporkan oleh Sebsibe (2006) dan

antar hewan) dan faktor ekstrinsik (temperatur

Lawrie (2003), daging berkualitas baik berada


pada kisaran pH normal daging segar, yaitu 5,4

lingkungan, perlakuan sebelum pemotongan, dan


suhu penyimpanan daging).

5,8. Nilai pH daging landak jantan dan betina

Keempukan daging merupakan faktor

pada perlakuan T0 dan T1 menunjukkan nilai

penting bagi konsumen dalam membeli guna

yang hampir sama, hal ini berbeda dengan

tujuan konsumsi. Dari Tabel 4 terlihat tidak ada

pendapat Rao et al. (2009) bahwa perbedaan jenis


kelamin lebih mempengaruhi nilai pH daripada

perbedaan nyata (P>0,05) nilai keempukan antara


daging landak jantan dan betina pada kedua per-

umur hewan.

lakuan ransum maupun nilai rataan antar perla-

Adanya variasi nilai pH pada

Nilai pH daging landak hampir sama

dipengaruhi

oleh

faktor

intrinsik

jantan dan betina lebih disebabkan perilaku

kuan.

Keempukan daging dipengaruhi faktor

hewan tersebut. Hewan jantan umumnya bersifat

antemortem (genetik termasuk bangsa, spesies dan


317

Wartika Rosa Farida

fisiologi, umur, manajemen, jenis kelamin, stres)

sedangkan menurut Lawrie (2003) temperatur

dan faktor postmortem (metode chilling, refrigerasi,

dan lama pemasakan akan berpengaruh terhadap

pelayuan dan pembekuan, lama dan waktu


penyimpanan, metode pemasakan dan penamba-

nilai susut masak daging. Perebusan daging pada


suhu tinggi (60-90C) akan menyebabkan kerusa-

han bahan pengempuk) (Soeparno 2005). Rataan

kan jaringan epimisium, perimisium, dan endo-

nilai keempukan daging landak, yaitu 3,63 kg/

mesium sehingga jaringan daging akan menyusut

cm (T0) dan 3,26 kg/cm (T1), menandakan

sekitar 30% akibat keluarnya cairan daging, se-

daging

Seperti

dangkan pada penelitian ini pemasakan daging

dilaporkan oleh Belew et al. (2002) bahwa nilai


daya iris Warner Blatzer Shear (WBS)

pada suhu dalam daging sebesar 81oC. Shanks et


al. (2002) berpendapat bahwa besarnya susut

dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu sangat

masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan

landak

empuk

tergolong

(WBS<3,2

empuk.

kg/cm2),

empuk

membran seluler, banyaknya air yang keluar dari

(3,2<WBS<3,9 kg/cm2), sedang (3,9<WBS<4,6

daging, umur daging, degradasi protein dan ke-

kg/cm2), dan keras (WBS>4,6 kg/cm2).


Keempukan daging landak hampir sama dengan

mampuan daging untuk mengikat air (DMA).


Dari Tabel 4 terlihat terjadi peningkatan nilai

satwa liar lainnya seperti bandikut, kancil, kelinci

susut masak dengan menurunnya nilai DMA pa-

lokal, dan kambing sudan (Tabel 5). Diduga dag-

da daging landak jantan dan betina di kedua per-

ing landak mengandung lebih sedikit jaringan ikat

lakuan, hal ini seperti yang dinyatakan oleh

dengan tekstur atau serat otot yang lebih halus


dan lemak daging yang lebih tinggi dari hewan

Aberle et al. (2001), bahwa susut masak daging


sangat berhubungan dengan kemampuan

lain. Hal ini seperti pernyataan Williamson dan

mengikat air, semakin rendah DMA, maka susut

Payne (1993), daging hewan liar tergolong sangat

masak daging akan semakin besar, demikian pula

empuk karena serat-serat ototnya relatif kecil atau

sebaliknya. Nilai susut masak daging landak jawa

tekstur ototnya lebih halus. Selanjutnya dijelas-

hampir sama dengan daging kancil, kelinci lokal,

kan oleh Soeparno (2005), daging yang memiliki


tekstur atau serat otot yang lebih halus dan kan-

dan sapi (Tabel 5), serta lebih rendah dibandingkan susut masak daging rusa sambar. Pada

dungan lemak yang tinggi akan menghasilkan

penelitian ini landak jawa yang digunakan beru-

daging yang lebih empuk karena lemak ini akan

mur kurang dari satu tahun yang relatif masih

larut di antara ikatan serabut otot daging.

muda, sehingga kandungan kolagen dalam daging

Keempukan daging landak jelas disebabkan tingginya kandungan lemak daging dibandingkan

masih relatif rendah dibanding hewan yang lebih


tua. Dari hasil penelitian Komariah et al. (2009)

hewan liar maupun ternak domestikasi lainnya

dilaporkan perbedaan jenis ternak berpengaruh

(Tabel 7).

terhadap nilai pH, DMA, keempukan dan susut

Rataan nilai susut masak daging landak

masak daging, sedangkan lama postmortem ber-

perlakuan kontrol (T0) lebih tinggi daripada per-

pengaruh terhadap nilai pH dan DMA.

lakuan T1, tetapi tidak berbeda nyata (P>0,01)


antara landak jantan dan betina pada kedua perla-

Daging yang baik menurut Hadiwiyoto


(1983) adalah daging yang mempunyai warna

kuan ransum. Dilaporkan oleh Bulent et al.

cerah, tidak pucat dan mengkilat, tidak ada bau

(2009), meningkatnya nilai susut masak daging

asam, apalagi busuk, konsistensinya liat serta apa-

berkaitan dengan kecepatan penurunan pH post-

bila dipegang tidak lekat di tangan dan masih

mortem atau rendahnya nilai pH ultimat daging,

terasa kebasahan. Dilaporkan oleh OSullivan et


318

Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)

al. (2004) bahwa warna daging dipengaruhi oleh

karena total konsumsi pakan (Tabel 3) oleh lan-

pakan yang diberikan pada hewan. Dari Tabel 4

dak jawa tidak berbeda pada kedua perlakuan,

terlihat pengaruh pemberian pakan T0 maupun


T1 tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap

sehingga perlakuan penambahan pelet koi pada


ransum tidak berpengaruh terhadap warna lemak.

warna daging landak yang berwarna agak merah

Penambahan konsentrat berupa pelet koi

muda pada skala 2 berdasarkan Meat Colour Card

pada perlakuan ransum T1 telah meningkatkan

Score AUS-MEAT. Konsumen umumnya cender-

kandungan protein daging landak dibandingkan

ung menilai daging yang segar adalah daging yang

T0 (Tabel 6), tetapi tidak terjadi peningkatan

berwarna merah cerah. Dijelaskan oleh Rhonda


(1994), warna pada daging sangat dipengaruhi

kadar air daging T1. Hal ini berbeda dengan


pendapat Orskov (1976) bahwa peningkatan

oleh konsentrasi pigmen daging, yaitu myoglobin,

protein pakan dapat meningkatkan kadar air

yang berjumlah sekitar 50-80 % dari total pigmen

daging. Sebaliknya kandungan lemak dan energi

yang ada, sedangkan menurut Lawrie (2003)

bruto daging T1 lebih rendah daripada T0.

faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi


myoglobin adalah spesies, bangsa, umur, jenis ke-

Menurut Fraga et al. (1983), kandungan energi


dan protein karkas dapat berubah karena tingkat

lamin, pakan, cekaman (tingkat aktivitas dan tipe

pertumbuhan atau karena komposisi bahan pakan

otot), pH dan oksigen. Faktor penting sebelum

dalam ransum. Kadar air daging landak T0 lebih

pemotongan yang mempengaruhi warna daging

tinggi daripada T1, dan menurut Winarno (1993)

adalah perlakuan istirahat yang dapat menentukan tingkat cekaman (stress) pada hewan. Pada

kadar air daging yang tinggi kurang disukai


konsumen karena daging cepat rusak. Kadar air

penelitian ini, sebelum pemotongan, landak telah

daging landak jawa lebih rendah dibandingkan

dipuasakan selama 24 jam yang bertujuan untuk

hewan liar dan domestik lainnya (Tabel 7),

menekan stres.

Dilaporkan oleh Soeparno

sedangkan kadar abu daging landak terlihat paling

(2005), pemuasaan pada hewan akan mempermu-

tinggi dibandingkan hewan lainnya diikuti pula

dah proses penyembelihan terutama pada hewan


yang agresif atau liar karena dengan dipuasakan

dengan tingginya kandungan kalsium (Ca), fosfor


(P), dan zat besi (Fe). Daging adalah sumber

hewan

Selanjutnya

mineral Fe (zat besi) yang baik untuk memelihara

menurut Aberle et al. (2001), hewan yang tidak

kesehatan, untuk mensintesis hemoglobin dan

diistirahatkan akan menghasilkan daging yang

enzim-enzim tertentu. Sales (1995) melaporkan

berwarna gelap, kering, memiliki nilai pH tinggi,


bertekstur keras, dan daya mengikat air tinggi.

bahwa daging hidupan liar mengandung nilai


nutrien yang lebih baik dibandingkan daging

Daging landak berwarna lebih muda dibanding-

ternakan domestikasi. Rataan kandungan protein

kan daging kambing sudan (Tabel 5). Hal ini

daging landak T1 lebih tinggi dari daging landak

sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa

T0, tetapi rataan kandungan lemak dan energi

warna daging dipengaruhi banyak faktor, antara

bruto T1 lebih rendah dari T0. Kandungan

lain pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin,


stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), dan pH.

protein daging T1 yang lebih tinggi (Tabel 6)


diikuti dengan tingginya DMA daging landak T1

Warna lemak daging landak adalah putih pada

dibanding

skala 2 berdasarkan Meat Colour Card Score AUS-

menyatakan bahwa perubahan DMA daging

MEAT. Dari Tabel 4 terlihat warna lemak dag-

diduga karena terjadinya perubahan ion-ion yang

ing landak T0 sama dengan T1, hal ini diduga

diikat oleh protein daging. Kadar lemak daging

menjadi

lebih

tenang.

T0

(Tabel

4).

Hamm

(1981)

319

Wartika Rosa Farida

landak jawa dan landak raya lebih tinggi

omega-3, omega-6, dan omega-9 (Tabel 8).

dibandingkan hewan lain, kecuali terhadap daging

Menurut Okuyama (2007) & Hibbeln (2006),

babi, kuda, dan tikus raksasa afrika. Selanjutnya


menurut Edwards (1981), kadar lemak

ketidakseimbangan asam lemak dalam diet


modern menimbulkan masalah kesehatan. Omega

mempunyai hubungan negatif dengan kadar

-3 membantu menurunkan risiko penyakit kronis

protein. Faktor yang mempengaruhi komposisi

seperti penyakit jantung, stroke, dan kanker serta

kimia daging adalah spesies hewan, kondisi

menurunkan LDL atau kolesterol jahat. Omega-

hewan, jenis daging karkas, proses pengawetan,

6 merupakan asam lemak tak jenuh ganda yang

penyimpanan dan metoda pengepakan serta


kandungan lemak daging tersebut (Winarno dan

tidak dapat diproduksi tubuh manusia, sehingga


perlu asupan dengan mengkonsumsi makanan

Rahayu 1994).

seperti daging, unggas, dan telur serta kacang dan

Kandungan asam lemak tak jenuh ganda

minyak nabati seperti kanola dan minyak bunga

EPA dan DHA yang merupakan derivat asam

matahari. Omega-9 disebut sebagai asam lemak

lemak omega-3 dalam daging landak jawa tidak


berbeda nyata (P>0,05) pada kedua perlakuan T0

tak jenuh tunggal, bisa membantu mengurangi


risiko penyakit jantung dan stroke. Asam lemak

dan T1 (Tabel 8). Diduga produksi asam lemak

omega-9 telah terbukti meningkatkan HDL

tak jenuh ganda tersebut berhubungan dengan

(kolesterol

jenis pakan yang dikonsumsi hewan bersangkutan

(kolesterol jahat), membantu menghilangkan

(Rosyidi 2007). Dalam pelet ikan koi terkandung


minyak ikan yang berpengaruh meningkatkan

penumpukan plak di arteri, yang menyebabkan


serangan jantung dan stroke. Omega-9 ditemukan

asam lemak tak jenuh ganda daging landak T1.

dalam lemak hewan dan tanaman seperti kanola,

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Overland et

biji

al. (1996) dan Wood et al. (2004), bahwa

kacangan.

bunga

baik)

dan

matahari,

menurunkan

zaitun,

dan

LDL

kacang-

penambahan 1% minyak ikan dalam ransum

Rataan kandungan kolesterol daging

telah meningkatkan kandungan EPA dan DHA


daging babi. Lands (2005) melaporkan hasil

landak tidak berbeda nyata (P>0,05) pada kedua


perlakuan ransum T0 dan T1, walaupun terjadi

penelitiannya bahwa diet tinggi dalam jumlah

sedikit peningkatan kolesterol daging landak jawa

EPA dan DHA membantu perkembangan otak

pada

dan mata, mencegah penyakit jantung, dan dapat

Simatupang

membantu mencegah penyakit Alzheimer. Howe


et al. (2006) menjelaskan dari hasil penelitiannya

berasal dari dua sumber, yaitu kolesterol endogen


melalui sintesis oleh tubuh dan kolesterol yang

bahwa daging merah (mamalia) merupakan

berasal dari makanan yang diabsorbsi oleh usus

sumber penting dari asam lemak tidak jenuh

dan terjadi di hati. Dari Tabel 9 dapat dilihat

berantai panjang, EPA dan DHA. Kandungan

konsentrasi kolesterol daging landak jawa lebih

EPA daging landak jawa setara dengan daging

rendah dibandingkan daging sapi, babi, domba,

kelinci, kancil, babi, dan ayam, tetapi lebih


rendah dari daging landak raya (Tabel 9), hal ini

rusa jawa, dan rusa sambar, sebaliknya lebih tinggi


dibandingkan daging kancil, napu, ayam, dan

diduga karena adanya perbedaan jenis konsentrat

kuda. Dilaporkan oleh Cifuni et al. (2004), Padre

yang

Penggunaan

et al. (2006), & Duckett et al. (2009), banyak

konsentrat berupa pelet ikan koi (T1) telah

faktor yang mempengaruhi kandungan kolesterol

meningkatkan juga kandungan asam lemak

daging, yaitu bangsa hewan, jenis kelamin, umur,

diberikan

dalam

pakan.

perlakuan

T1

(1997),

(Tabel

8).

Menurut

pembetukan

kolesterol

320

Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)

derajat marbling, ketebalan lemak subkutan,

KESIMPULAN

energi pakan, perlakuan pakan (terbatas atau ad


libitum), dan tipe potongan daging. Kolesterol
berperan penting dalam fungsi sel tubuh, antara

Penambahan pakan konsentrat berupa


pelet ikan koi ke dalam ransum tidak berpengaruh

lain produksi hormon-hormon steroid dan

nyata terhadap sifat fisik dan kimia daging landak

kolesterol akan berbahaya bila konsentrasinya

jawa

dalam darah melebihi batas normal, karena

memiliki nilai pH daging normal, empuk, daya

kolesterol

sebab

mengikat air rendah dan susut masak sedang.

atau

Kandungan nutrien daging berimbang dengan


kadar air (69,24%), abu (3,34%), protein

Berdasarkan Tabel 10 tampak perlakuan

(17,09), lemak (3,89%), dan Fe tinggi (8,36

merupakan

salah

satu

penyumbatan pembuluh darah


artherosclerosis (Guyton 1987).

arteri

T0 dan T1 tidak berpengaruh nyata (P>0,05)

Daging landak layak dikonsumsi karena

ppm), serta kolesterol tinggi (77,77 mg/100 g).

terhadap rataan kandungan asam-asam amino


daging landak jawa. Penambahan pelet ikan koi
dalam ransum T1 meningkatkan kandungan pro-

UCAPAN TERIMA KASIH

tein daging landak jawa (Tabel 6), tetapi tidak

Peneliti menyampaikan terima kasih

meningkatkan kandungan asam-asam aminonya.

kepada Tri H. Handayani S.Si., Andri P. Sari,

Dilaporkan oleh Rosyidi et al. (2010) bahan ma-

S.Si., Sdr. Umar Sofyani, dan Sdri. R. Lia R.

kanan yang mengandung protein tinggi tidak berarti kualitas proteinnya menjadi tinggi, dalam hal

Amalia atas bantuannya selama dan hingga penelitian ini selesai.

ini adalah asam-asam amino esensialnya. Kandungan asam-asam amino yang teridentifikasi

DAFTAR PUSTAKA

pada daging landak jawa relatif rendah dibandingkan dengan daging ternak domestikasi (kelinci

Aberle, ED., JC. Forrest, HB. Hendrick, MD.

dan sapi) dan satwa liar trenggiling dan babi hutan (Tabel 11), tetapi relatif lebih tinggi

Judge & RA. Merkel. 2001. Principles of


Meat Science. W.H. Freeman and Co., San

dibandingkan daging satwa liar bandikut dan kan-

Fransisco.

cil.

Asam amino adalah zat pembangun yang

sangat

diperlukan

oleh

tubuh.

Daging

Aganga, AA., AO. Aganga, T. Thema, & KO.


Obocheleng.

2003.

Carcass analysis and

mengandung asam amino esensial yang cukup


lengkap, terutama leusin, lisin dan valin.

meat composition of the donkey. Pakistan J.


Nutr. 2 (3): 138-147

Kandungan ketiga asam amino esensial tersebut

AOAC. 1995. Official Method of Analysis of The

tinggi

Association of Official Analitycal of Chemist.

dibandingkan daging bandikut dan kancil, tetapi

16th ed. Arlington, Virginia, USA: Published

lebih

ternak

by The Association of Analitycal Chemist,

domestikasi.
Dijelaskan oleh Irina (2011),
kandungan asam amino dalam daging setiap

Inc.
Arifin. 2004. Kajian terhadap produktivitas dan

spesies hewan berbeda-beda, tergantung pada

produk napu (Tragulus napu) di Propinsi

masing-masing karakteristiknya.

Jambi. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana.

dalam

daging
rendah

landak

jawa

dibandingkan

lebih
daging

Bogor : Institut Pertanian Bogor. .


Atkins, W.

2004. Old World Porcupines


321

Wartika Rosa Farida

(Hystricidae). Dalam : D. Kleiman, V. Geist,

Duckett SK., JPS. Neel, JP. Fontenot, & WM.

M. McDade, & M. Hutchins (eds).

Clapham. 2009. Effects of winter stocker

Grzimek's Animal Life Encyclopedia, Vol. 16,


2nd Edition. Detroit, MI: Thomson Gale. Pp.

growth rate and finishing system on: III. tissue proximate, fatty acid, vitamin, cholester-

351-365.

ol content. J Anim Sci. 87:296170.

Baillie, J. 1996. Hystrix brachyura. Dalam: IUCN

Edwards, H.M. Jr. 1981. Carcass composition

2007. IUCN Red List of Threatened Species.

studies. 3. Influence of age, sex and calorie

<www.iucnredlist.org>

protein contents of the diet on carcass com-

Belew, JB., J. Brooks C., DR. McKenna, & JW.


Savell. 2002. Warner-Blatzer shear evaluation

position of Japanese quail. Poultry Sci. 60:


2506-2512.

of bovine muscles. Meat Science Section, De-

Elamin, KM., HE. Hassan, HO. Abdalla, OH.

partment of Animal Science, Texas Agricul-

Arabi, & AA. Tameem Eldar. 2012. Effect

tural Experiment Station, Texas A & M

of feeding crushed roselle seed (Hibiscus

University, College Station, TX 778432471, Texas.

sabdariffa L.) (Karkadeh) on carcass characteristics of sudan desert sheep. Asian J.

Bivolarski, B., E. Vachkova, S. Ribarski, K. Uz-

Anim. Sci. 6 (5): 240-248

unova & D. Pavlov . 2011. Amino acid con-

Farrel, DJ. & YC. Raharjo. 1984. The Potential for

tent and biological value of rabbit meat pro-

Meat Production from Rabbit. Central Re-

teins, depending on weaning age . Bulgarian

search Institute for Animal Science. Bogor.


Farida, WR. 2012. Kualitas daging dan bagian

J. Vet. Med. 14 (2): 94102


Brudnicki, A., W. Brudnicki, J. Wach, A.

tubuh lain Trenggiling (Manis javanica

Kuakowska, & D. Pietruszyska. 2012.

Desmarest, 1822). J. Biologi Indonesia 8(1):

Amino acid composition in the wild boar

141-154.

(Sus Scrofa Ferus) meat originating from

Forrest, JC., ED. Aberde, HB. Hendrick. MD.

different part of carcass. J. Central European


Agric. 13(4): 662-670.

Judge, & RA. Merkel. 1975. Principle of


Meat Science. W.H. Freeman and Co. San

Bulent E., A. Yilmaz, M. Ozcan, C. Kaptan, H.

Fransisco USA

Hanouglu, I. Erdogan, & H. Yalcintan.

Fraga, MJ., JC. De Blas, E. PeRez, JM. Ro-

2009. Carcass measurements and meat quali-

driGuez, CJ. PeRez, & JF. Ga Lvez. 1983.

ty of Turkish Merino, Ramlic, Kivircik, Chi-

Effect of diet on chemical composition of


rabbits slaughtered at fixed body weights. J.

os and Imroz lambs raised under an intensive


production system 82. p. 64-70.
Cifuni GF, F. Napolitano, AM. Riviezzi, A.
Braghieri, & A. Girolami. 2004. Fatty acid
profile, cholesterol content and tenderness of
meat from Podolian young bulls. Meat Sci.
67:28997.
Dahlan, I. & NA. Norfarizan-Hanoon.

2007.

Fatty acid profiles and cholesterol composition of venison from farmed deer. J. Anim.
Vet. Adv. 6 (5): 650-657.

Anim. Sci. 56: 1097.


Gillespie, JR. 1998. Animal Science. New York:
Delinar Publishers.
Guyton, AC.

1987.

Fisiologi manusia dan

mekanisme kerja penyakit. Terjemahan oleh


Petrus Adrianto. Penerbit buku kedokteran
EGC, Jakarta.
Hadiwiyoto, S.1983. Hasil-Hasil Olahan Susu,
Ikan, Daging dan Telur. Liberty, Yogyakarta
Hamm, R. 1981. Kolloidchemie des fleisches-des
322

Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)

33 (3): 183-189.

wasserbindungsvermoegen des
muskeleiweisses in theorie und praxis. Verlag Paul
Parey, Berlin.
Hartono, E., Ning Iriyanti, & RS. Sugeng
Santosa.

2013.

Penggunaan

pakan

fungsional terhadap daya ikat air, susut


masak, dan keempukan daging ayam broiler.
J. Ilmiah Peternakan 1 (1): 10-19.
Hernndez, P. & A. Dalle Zotte. 2010. Influence
of diet on rabbit meat quality. Dalam: C. de
Blas (ed.). Nutrition of The Rabbit. 2nd Ed.
Univesidad Poletenica, Madrid, J. Wiseman,
University of Nottingham, UK. pp 163
178.
Hibbeln, JR. 2006. Healthy intakes of n3 and
n6 fatty acids: estimations considering
worldwide diversity.

American J. Clinic.

Nutr. 83 (6, supplement): 1483S1493S.


Howe, PH., B. Meyer, S. Record, & K. Baghurst.
2006. Dietary intake of long-chain x-3 polyunsaturated fatty acids: contribution of meat
sources. Nutrition 22: 4753.
Ibarburu. M., J. Kliebenstein, & B. Hueth.
2007. pH as a predictor of flavor, juiciness,
tenderness and texture in pork from pigs in a
Niche Market System. Iowa State University
Animal Industry Report 2007. A.S. Leaflet
R2181.
Irina, C. 2011. Comparative study of meat composition from various animal species. Plenary
paper on International 56th Meat Industry
Conference held from June 12-15th 2011 on
Tara mountain, Institut za higijenu i
tehnologiju mesa, Beograd.
Jukna, V. & V. Valaitien. 2012. The comparison of meat nutritional and technological
properties in different animals. Veterinarija
Ir Zootechnika (Vet Med Zoot) 59 (81): 34-39
Komariah, S. Rahayu, & Sarjito. 2009. Sifat fisik
daging sapi, kerbau, domba pada lama postmortem yang berbeda. Buletin Peternakan

Lands, WEM. 2005. Dietary fat and health: the


evidence and the politics of prevention: careful use of dietary fats can improve life and
prevent disease. Annals of the New York Acad.
Sci. 1055: 179192.
Lawrie, RA. 2003. Meat Science. The 6th Ed. Terjemahan. A. Paraksi dan A. Yudha. Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.
Lee, CE., PN. Seong, WY. Oh, MS. Ko, KI,
Kim, & JH. Jeong. 2007. Nutritional characteristics of horsemeat in comparison with
those of beef and pork. Nutr. Research and
Practice 1: 70-73
Medway, L. 1978. The Wild Mammals of Malaya
and Singapore. 2nd ed. Oxford University
Press. Kuala Lumpur, New York.
Norsuhana AH, MN Shukor, A. Aminah, AQ
Sazili, & Z.Zahari Z. 2008. Perbandingan
komposisi asid lemak daging landak raya
(Hystrix brachyura) dengan daging haiwan
yang lain. Seminar UNRI UKM ke 5, 19
21 Agustus 2008 Pekanbaru, Riau.
Norsuhana AH, MN Shukor, AQ Sazili, A. Aminah, & Z. Zahari Z. 2007. The effects of
commercial pellets on feed intake, digestibility and nutrient composition in meat of Malayan porcupine (Hystrix brachyura).

9th

Symposium of the Malaysian Society of Applied Biology, Bayview Gerogetown, Penang,


(30th -31st May 2007).
Nowak, RM. 1999. Walkers mammals of the
world. Vol. I & II. John Hopkins University Press, Baltimore London
Okuyama, H., Y. Ichikawa, Y. Sun, T. Hamazaki,
& WEM. Lands. 2007. 3 fatty acids effectively prevent coronary heart disease and other late-onset diseases: the excessive linoleic
acid syndrome. World Rev. of Nutr. Dietetics
96: 83103
Orskov, ER. 1976. Factors influencing protein
323

Wartika Rosa Farida

and non-protein nitrogen utilization in

as indicator of lipid oxidation in muscle

young ruminants. Dalam : DJA. Cole et aL

foods. Comprehensive Reviews in Food Sci.

(Ed.). Protein Metabolism and Nutrition.


Butterworths, London. p. 457.

and Food Safety 5:18-25.


Rosmawati, 2003. Pengaruh Kondisi Daging

O'Sullivan, A., K. O'Sullivan, K. Galvin, AP.

dan Suhu Penyimpanan Terhadap Karak-

Moloney, DJ. Troy, & JP. Kerry.

2004.

teristik Fisik dan Mikrobiologi Daging Ku-

Influence of concentrate composition and

da. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Bogor:

forage type on retail packaged beef quality. J.

Institut Pertanian Bogor.

anim. Sci. V (82): 23842391.


Overland, M., O. Taugbol, A. Haug,

& E.

Rosyidi, D., E. Gurnadi, R. Priyanto, & Suryahadi.


2010.
Kualitas daging kancil

Sundstol. 1996. Effect of fish oil on growth

(Tragulus javanicus). Media Peternakan 33

performance, carcass characteristics, sensory

(2): 95-102

parameters and fatty acid composition in

Rosyidi, D.

2007.

Beberapa Aspek Kimia

pigs. Acta Agriculturae Scandinavica 46: 11


17.

Daging Kancil (Tragulus Javanicus). J. Ilmu


dan Teknologi Hasil Ternak 2 (1): 15 - 25

Oyarekua, MA & AO. Ketiku. 2010. The Nutri-

Sales, J. 1995. Nutrition quality meat from some

ent Composition of the African Rat. Adv. J.

alternative species. World Rev. of Anim.

Food Sci. Technol. 2(6): 318-324

Prod. 30(1-2): 48-56.

Padre RG, JA. Aricetti, FB. Moreira, IY. Mizubuti IY, IN. do Prado, JV. Visentainer,

San udo, C., ME. Enser, MM. Campo, GR.


Nute, G. Mar, I. Sierra, & JD. Wood.

NE de Souza, & M. Matsushita. 2006. Fat-

2000.

ty acid profile, chemical composition of

characteristics of lamb carcasses from Brit-

longissimus muscle of bovine steers and bulls

ain and Spain. Meat Sci. 54: 339-346.

finished in pasture system. Meat Sci. 74:242

Sarwono, B. 2001. Kelinci Potong dan Hias.

8.
Parigi Bini, R., G. Xiccato, M. Cinetto, & A.

AgroMedia Pustaka. Jakarta.


Sebsibe, A. 2006. Meat quality of selected Ethio-

Dalle Zotte. 1992. Effetto dell'et, del peso

pian goat genotypes under varying nutri-

di macellazione e del sesso sulla qualit della

tional conditions. [Ph.D. Thesis]. South

carcassa e della carne cunicola. Zootecnica e


Nutrizione Animale 18: 173190.
Rao, CA., G. Tulasi, & SW. Ruban. 2009. Meat
quality characteristics of non-descript buffalo
as affected by age and sex. World Applied Sci.
Journal 6(8): 1058-1065.

Fatty acid composition and sensory

Africa: University of Pretoria.


Semiadi, G., Y. Jamal, WR. Farida, & M.
Muchsinin. 2003. Kualitas daging rusa
Sambar (Cervus unicolor) hasil buruan di
Kalimatan Timur. Anim. Prod. 5(1): 35-41
Setiawan, MA. 2009. Karakteristik karkas, sifat

Rhonda, KM. 1994. Quality Characteristics. Da-

fisik, dan kimia daging kelinci rex dan ke-

lam : DM. Kinsman, AW. Kotula, BC. Breidenstein (Ed), Muscle foods: Meat, Poultry

linci lokal (Oryctolagus cuniculus). [Skripsi].


Fakultas Peternakan. Bogor: Institut Per-

and Seafood Technology. Chapman Hall.

tanian Bogor.

New York.
Roos, CF, & DM. Smith. 2006. Use of volatiles

Shanks, BC., DM. Wulf, & RJ. Maddock.


2002. Technical note: The effect of freeze-

324

Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)

ing on Warner Bratzler shear force values of

Bogor.

beef longissimus steaks across several post-

Warsono IU. & R. Priyanto. 2011. Sifat biolo-

mortem aging periods. J. Anim. Sci. 80:


2122-2125

gis dan karakteristik karkas bandikut


(Echymipera kalubu). Berk. Penel. Hayati

Simatupang A. 1997. Cholesterol, hypercholesterolemia and the drugs against it a review.

Edisi Khusus 4B: 13-19.


Williams, PG. 2007. Nutritional composition of
red meat.

Cermin Dunia Kedokteran 116 :5-12


Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging.
Gajah mada University Press.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging.
Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press,

Nutrition and Dietetics, 64

(Suppl.)
Williamson, G. & WJA. Payne. 1993. Pengantar
Peternakan di Daerah Tropik. Gadjahmada
University Press, Yogyakarta.
Winarno FG. 1993. Pangan Gizi, Teknologi, dan

Yogyakarta.
Sudarmadji, S, B. Haryono & Suhardi, 1996.

Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan


Pertanian. Penerbit Liberty: Yogyakarta.

Utama.
Winarno, FG. & TS. Rahayu. 1994. Bahan
Tambahan

untuk

Makanan

Bonaafe, JV Visentainer & NE de Souza.

Kontaminan.

Pustaka

Sinar

2009. Fatty acid and cholesterol content,

Jakarta.

Tonial, IB., AC. Aguiar,

CC.

Oliveira, EG.

chemical composition and sensory evaluation of horse meat. S. Afr. J. anim. Sci. 39

dan

Harapan,

Wood JD., RI. Richardson, GR. Nute, AV. Fisher, MM. Campo, E. Kasapidou, PR.
Sheard, & M. Enser. 2004. Effects of fatty

(4): 328 332.


van Weers, D. 1979. Notes on Southeast Asian
porcupines (Hystricidae, Rodentia). IV. On

acids on meat quality: a review. Meat Sci. 66


(1):21-32.

the taxonomy of the subgenus Acanthion F.

Zotte, AD. & Z. Szendr. 2011. The role of rab-

Cuvier, 1823, with notes on the other taxa


of the family. Beaufortia 29:215272.

bit meat as functional food. Meat Sci. 88:


319331

Warsono IU. 2009. Sifat biologis dan karakteristik

karkas

dan

daging

(Echymipera kalubu). [Disertasi].


Pasca Sarjana.

bandikut
Sekolah

Bogor : Institut Pertanian

325

Jurnal Biologi Indonesia 9(2):327-331 (2013)

TULISAN PENDEK

Resolusi Kerancuan Perkiraan Luas dan Laju Deforestasi Hutan Mangrove di Indonesia
(Resolution to the Ambiguities in Estimation Area and Rate of Mangrove Deforestation in
Indonesia)
Suyadi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, E-mail: yadi_pdt@yahoo.com
Memasukkan: Juli 2012, Diterima: September 2012

Indonesia menempati peringkat pertama

Makalah ini membahas tentang kerancuan

dalam kekayaan ekosistem mangrove, yaitu sekitar

perkiraan luas dan laju deforestasi hutan man-

27% luas mangrove dunia, dan 75% mangrove di


Asia ada di Indonesia. Mangrove ditemukan ham-

grove dengan cara mengkaji secara cermat, kritis,


dan proposional terhadap berbagai sumber

pir di seluruh kepulauan Indonesia (Spalding dkk,

pustaka. Pembahasan meliputi tiga hal sebagai

1996). Meskipun demikian, luas hutan mangrove

berikut:

di

penurunan

mangrove dan deforestasi yang didefinisikan

(deforestasi) disebabkan oleh pengalihan pe-

dengan arti berbeda-beda. Kedua, mengkaji hasil-

runtukan (konversi) hutan mangrove dan pemanfaatan mangrove yang tidak berkelanjutan.

hasil penelitian dan publikasi ilmiah mengenai


perbedaan perkiraan luas dan laju deforestasi hu-

Studi dan publikasi mengenai perkiraan

tan mangrove termasuk metode penghitungan

luas dan laju deforestasi di Indonesia telah cukup

luas dan laju deforestasi. Ketiga, menawarkan pe-

banyak. Namun, banyak perkiraan luas dan laju

doman-pedoman

deforestasi hutan mangrove di Indonesia sangat


bervariasi dan menghasilkan peta yang kurang

penelitian mengenai luas dan laju deforestasi hutan mangrove.

Indonesia

telah

mengalami

pertama

yaitu

dasar

menelaah

untuk

istilah

memperbaiki

akurat. Perkiraan luas hutan mangrove di Indonesia mulai yang rendah yaitu 2.4 juta ha

Kerancuan Definisi Istilah Mangrove dan

(Departemen Kehutanan 1997) hingga yang

Deforestasi

tertinggi 4,5 juta ha (Spalding dkk, 1996). Sementara itu Giesen (1993) memperkirakan luas

Beberapa
ahli
biologi
konservasi
mengetahui bahwa istilah mangrove seringkali

hutan mangrove Indonesia 2,5 juta ha. Mengingat

didefinisikan secara berbeda-beda dan tidak

banyaknya keberagaman tersebut, maka perkiraan

konsisten. Penggunaan istilah mangrove yang

luas dan laju deforestasi hutan mangrove seolah-

tidak konsisten mengakibatkan interpretasi data

olah hanya sebagai perkiraan semi ilmiah semi-

tumpang tindih, dan tidak tepat dan benar-benar

educated guesses. Kerancuan informasi luas dan


laju deforestasi dan peta yang kurang akurat terse-

mengaburkan permasalahannya.
Tomlinson (1986) dan Wightman (1989)

but dapat menyebabkan kebingunan dalam

mendefinisikan mangrove sebagai tumbuhan yang

perencanaan konservasi sehingga perlindungan

hidup di daerah pasang surut, sebagai komunitas

hutan mangrove menjadi tidak efektif.

tumbuhan

vaskuler

termasuk

jenis-jenis
327

Suyadi.

tumbuhan yang terdapat di pinggiran bakau

Hasil kajian menunjukan bahwa terdapat

seperti formasi Barringtonia dan formasi Pes-

beberapa perbedaan dalam penggunaan istilah

caprae. Jika istilah mangrove digunakan untuk


seluruh komunitas tumbuhan vaskular yang

deforestasi. Pertama, deforestasi berarti


hilangnya areal hutan secara permanen atau

berada di daerah pantai baik mangrove sejati (true

sementara. F.A.O (1990) dan World Bank (1990)

mangrove)

menyatakan bahwa hilangnya areal hutan secara

maupun

mangrove

ikutan

(false

mangrove) seperti definisi di atas maka luas

permanen

mangrove menjadi sangat besar. Sementara itu,

deforestasi. Jika menggunakan istilah tersebut,

jika definisi istilah mangrove hanya untuk


bakau/mangrove sejati, atau lebih spesifik lagi

maka kematian mangrove secara alami dan


perladangan
tradisional
yang
dilakukan

yaitu untuk Rhizophora spp saja maka luas hutan

masyarakat secara gilir balik (ladang berpindah)

mangrove menjadi sangat kecil.

yang akan kembali beregenerasi menjadi hutan

ataupun

sementara

merupakan

Belum adanya kesepakatan mengenai

merupakan deforestasi. Dengan definisi seperti

istilah mangrove menyebabkan banyak penulis


yang menggunakan istilah mangrove dengan

itu, kawasan yang mengalami deforestasi secara


keseluruhan menjadi sangat besar.

interpretasi

yang

tidak

Kedua, terdapat dualisme arti deforestasi

konsisten. Rusila Noor dkk (2006) menggunakan

yaitu hilangnya areal hutan untuk segala macam

istilah mangrove dengan mengacu pada habitat

penggunaan, dan hilangnya areal hutan yang

yaitu daerah pantai. Sementara itu, Soerianegara


(1987) dan Pulumahuny (1997) menggunakan

tidak menghasilkan kayu. Apabila pengertian


kedua yang diakui, maka kegiatan konversi lahan

istilah mangrove sebagai pengganti istilah

untuk tambak dan untuk pemukiman termasuk

bakau. Penggunaan istilah mangrove yang tidak

deforestasi, sedangkan pengambilan kayu untuk

konsisten juga menyebabkan permasalahan dalam

keperluan komersil tidak termasuk deforestasi

interpretasi

menimbulkan

karena hutan akan kembali tumbuh (recovery)

kerancuan. Akibatnya, beberapa peneliti ada yang


mengikutsertakan mangrove kedalam analisa luas

seperti jenis Acrostocum sp (Abdulhadi &


Suhardjono 1994). Ketiga, deforestasi berarti

dan laju deforestasi hutan tropis dataran rendah

hilangnya areal hutan termasuk berbagai ciri-ciri

(hutan

kelengkapan hutan (forest atributes) misalnya

data

terestrial),

berbeda-beda

sehingga

namun

ada

dan

pula

yang

memisahkannya secara spesifik.

kelebatan, struktur, dan komposisi spesiesnya.

Sayer dan Whitmore (1991) dan Grainger


(1993)
menyatakan
kesulitan
membuat

Saharjo (1994) menunjukan bahwa bila


menyangkut areal hutan saja, luas areal hutan

perbandingan perkiraan luas areal hutan dan laju

yang hilang lebih kecil jika dibandingkan dengan

hilangnya areal hutan secara nasional dan

hilangnya ciri kelengkapan hutan.

internasional karena dipakainya definisi-definisi


yang berbeda atas istilah-istilah dan suatu konsep

Penyebab Perbedaan Perkiraan Luas dan Laju

dari istilah deforestasi. Penggunaan istilah


deforestasi yang kurang jelas dan penggunaan

Deforestasi
Perbedaan perkiraan luas hutan mangrove

yang tidak konsisten mengakibatkan interpretasi

dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut.

data menjadi berbeda-beda, sehingga estimasi luas

Pertama, sedikit sekali penghitungan luas hutan

area dan laju deforestasi sangat beragam.

mangrove yang berdasarkan pada data yang

328

Resolusi Kerancuan Perkiraan Luas dan Laju Deforestasi Hutan

akurat, bahkan data kadaluarsa sering dijadikan

keterbatasan alat sensor satelit seperti adanya

acuan berulang-ulang, misalnya Burdbridge &

obyek yang tidak terpantau akibat adanya awan

Koesoebiono (1980) dan F.A.O (1982). Giesen


(1993) menghitung luas mangrove berdasarkan

(Turner et al, 2001).


Perkiraan laju deforestasi di Indonesia juga

seri RePPProT (1985-1989) dari peta Status

sangat beragam, mulai 263.000 ha per tahun

Hutan dan Tata Guna Lahan dan Sistem Lahan

sampai 1.315.000 ha per tahun (World Bank,

yang diproduksi oleh Departemen Transmigrasi.

1994). Salah satu kendala yang dihadapi dalam

Giesen (1993) memasukan areal non magrove

memperkirakan laju deforestasi hutan mangrove

yang berada di luar atau berdekatan dengan


kawasan mangrove menjadi hutan mangrove

dengan menggunakan teknologi penginderaan


jauh adalah keterbatasan data dasar atau data

karena di anggap dahulu merupakan hutan

rentang waktu (time series) perubahan tutupan

mangrove.

mangrove. Fuller dkk (2004) mencatat bahwa

Pendugaan

semacam

ini

dapat

menyebabkan luasan areal mangrove menjadi

permasalahan

sangat besar dan tidak relevan. Sementara itu,


Dick (1991) mengamati keterbatasan data yang

memperkirakan laju deforestasi adalah pembuatan


peta dengan menggunakan skala yang tidak

lebih otentik (data lapangan) dan menyimpulkan

sesuai, gambar yang tidak seragam, metode

bahwa perkiraan luas dan laju deforestasi

penciptaan gambar yang berbeda, dan perbedaan

merupakan perkiraan semi-intelek.

rentang waktu yang pendek. Selain itu, perkiraan

Penyebab kedua yaitu perbedaan metoda


yang digunakan dalam menduga luasan hutan

laju deforestasi hanya menghitung jumlah total


hilangnya tutupan areal hutan dan tidak

mangrove. Pendugaan luas hutan mangrove

mempertimbangkan perbaikan kondisi tutupan

nasional kebanyakan berdasarkan data-data yang

hutan dan pembentukan lahan baru tanah

diperoleh dari tingkat wilayah, baik tingkat pulau,

timbul dan faktor-faktro lain misalnya abrasi dan

kabupaten maupun propinsi, dimana metode

pengaruh pasang-surut.

pengambilan data dan cara penghitungannya


berbeda-beda dan datanya juga diambil pada

Pedoman dalam Perkiraan Luas dan Laju

tahun yang berbeda-beda pula (Rusila Noor dkk,

Deforestasi

2006).

yang

dihadapi

dalam

Usaha-usaha untuk memperkiraka luas


Salah satu respons terkini para ahli biologi

areal hutan dan laju penurunan luas hutan

konservasi dalam memperkirakan luas areal


mangrove yaitu dengan menggunakan teknologi

mangrove hendaknya didasari pemahaman


kesepakatan pada definisi istilah-istilah kunci yang

penginderaan jauh (remote sensing). Fuller dkk

jelas dan dipakai secara konsisten dalam segala

(2004)

luas

aspek pengukuran luas dan laju deforestasi hutan

deforestasi dengan teknologi penginderaan jauh

mangrove. Karena tidak di semua wilayah, antara

menemui beberapa masalah karena citra yang

mangrove sejati dan mangrove ikutan dapat

didasari dengan metode penciptaan yang berbedabeda, hal ini dapat menyebabkan adanya

dibedakan dengan jelas melalui penampakan citra


penginderaan jauh, maka di rekomendasikan

kesalahan dalam menginterpretasi gambar karena

dalam perkiraan luas dan laju deforestasi lebih

adanya perbedaan ketajaman, tekstur atau warna

baik menggunakan definisi mangrove seperti

sebagai luas tutupan areal mangrove. Banyak

yang diusulkan oleh Tomlison (1986) dan

mencatat

bahwa

penentuan

329

Suyadi.

didefinisikan

Sebaiknya menggunakan gambar-gambar yang

sebagai seluruh tumbuhan vaskuler di daerah

diambil pada waktu yang lalu yang cukup tua dan

pantai baik mangrove sejati maupun mangrove


ikutan.

gambar-gambar yang baru yang cukup mutakhir


yang menangkap fenomena baru yang relevan.

Wightman

(1989),

Definisi

mangrove

deforestasi

yang

di

Hal ini dimaksudkan agar perbedaan tutupan

rekomendasikan adalah yang dipakai oleh F.A.O

hutan

(1990) dan F.A.O (1996) yaitu hilangnya areal

menghindari

tutupan

ataupun

perbedaan ketajaman, tekstur atau warna sebagai

sementara namun tetap memberikan perhatian


pada degradasi hutan dan perbaikan kondisi

perubahan tutupan mangrove maka metode


penciptaan gambar harus sama. Analisis laju

tutupan hutan. Degradasi didefinisikan sebagai

perubahan

berkurangnya areal hutan dan proses perbaikan

memberikan perhatian yang proposional pada

kondisi hutan (amelioration) di definisikan sebagai

permasalahan degradasi hutan, perbaikan kondisi

peningkatan
kelebatan/tutupan
areal
hutan (F.A.O 1996). Meskipun demikian, kita

hutan, dan pembentukan lahan hutan baru (tanah


timbul). Kondisi-kondisi seperti abrasi, pengaruh

dapat menggunakan gambar dengan resolusi dan

pasang-surut,

skala yang tinggi untuk memperkirakan luas dan

diperhatikan. Pengetahuan dasar mengenai ciri-

laju deforestasi hutan mangrove secara lebih

ciri wilayah yang dikaji (misalnya: oseanografi,

spesifik misalnya untuk jenis tertentu.


Penentuan luas hutan mangrove dengan

geologi, ekologi), demografi, dan ciri-ciri sosial


para pelaku perubahan tutupan hutan juga

menggunakan

penting untuk diketahui. Di sarankan untuk

hutan

secara

teknologi

permanen

penginderaan

jauh

dapat

dilihat

cukup

interpretasi

tutupan

kematian

yang

salah

hutan

alami

Untuk
dari

hendaknya

juga

selalu

gambar yang sama. Hal ini dimaksudkan untuk

terkini dalam penaksiran perubahan tutupan

menghindari

hutan dan spesifikasi teknisnya.

yang

salah

dari

perkembangan

perlu

hendaknya didasari dengan metode penciptaan


interpretasi

mengikuti

jelas.

metodologi

perbedaan ketajaman, tekstur atau warna sebagai


tutupan mangrove. Mangrove di alam bersifat

Dapat di simpulkan bahwa usaha dalam


memperkirakan luas dan laju deforestasi hutan

dinamik dan periodik yang dimanifestasikan

mangrove di masa mendatang hendaknya di da-

dalam bentuk fisik yaitu tutupan mangrove yang

sarkan pada pedoman-pedoman berikut: 1) defi-

dapat

sehingga

nisi istilah-istilah dan konsep kunci yang jelas dan

pengambilan gambar lebih baik dilakukan pada


waktu yang sama. Selain itu, data penginderaan

dipakai secara konsisten, 2) menggunakan metode


yang sama dalam menciptakan gambar satelit dan

jauh perlu diintegrasikan dengan hasil survei

data time series, 3) survei lapangan yang memadai

lapangan (ground thruting).

untuk menguji kebenarannya di alam, dan 4) ana-

berubah

dengan

cepat,

Penaksiran laju perubahan tutupan hutan


mangrove

seharusnya

didasarkan

pada

perbandingan gambar-gambar satelit berupa data


rentang waktu (time series) atas liputan lahan (land
cover) pada dua atau lebih waktu yang berbeda.
Data time series yang digunakan hendaknya di
ambil dalam rentang waktu yang cukup lama.

330

lisa data dilakukan secara proposional.


DAFTAR PUSTAKA
Abdulhadi, R. & Suhardjono. 1994. The Remnant Mangroves of Sei Kecil, Simpang Hilir,
West Kalimantan, Indonesia. Hydrobiologia.
(285): 285-255.

Resolusi Kerancuan Perkiraan Luas dan Laju Deforestasi Hutan

Burdbridge, P.R. dan Koesoebiono. 1980. Man-

Pulumahuny,

F.S.

1997.

Studi

Komunitas

agement of Mangrove Exploitation in Indo-

Mangrove di Teluk Kayeli, Pulau Buru,

nesia. Prosiding Simposium Mangrove Environment. pp 740-760.

Kabupaten Maluku Tengah. Thesis Pasca


Sarjana. Universitas Hasanuddin. Ujung

Departemen Kehutanan. 1997. Strategi Nasional


Pengelolaan Mangrove di Indonesia. Jakarta.
Dick, J. 1991. Forest land use, forest use zonation

Pandang: 5-7 Hal.


Rusila

Noor,

Y.,

M.

Khazali.,

I.N.N.

Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan

and deforestation in Indonesia: a summary and

Mangrove

interpretation of existing information. Background paper to UNCED for the state Min-

International-Indonesia Program, Bogor: 2,


23-29 Hal.

istry for Population and Environment

Saharjo, B.H. 1994. Deforestation with reference

(KLH) and the Environmental Impact Man-

di

Indonesia.

Wetlands

to Indonesia. Walaceana (73):7-12

agement Agency (BAPEDAL), Jakarta. pp 27

Sayer, J.A. dan T.C. Whitmore 1991. Tropical

-32.
F.A.O. 1996. Forest Resource Assessment 1990:

Moist Forest: destruction and species extinction. Biological Conservation (55):199-213

Survey of Tropical Forest Cover and Study

Soerianegara. 1987. Masalah Penentuan Batas

of Change Processes. FAO Forestry Paper

Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove. Prosid-

130. Food and Agriculture Organisation of

ing Seminar III Ekosistem Mangrove. Jakarta.

the United Nations, Rome. pp 6-7, 21.


F.A.O. 1990. Situation and outlook of the forestry

pp 39.
Spalding, M. D., F. Blasco dan C.D. Field editor.

sector in Indonesia. Vol 1: issues, findings and

1996. World Mangrove Atlas. International

opportunities. Ministry of Forestry, Govern-

Society for Mangrove Ecosystem, Okinawa,

ment of Indonesia. Food and Agriculture

Japan.

Organisation of the United Nations, Jakarta:

Tomlinson, P.B. 1986. The Botany of Mangroves.

pp. 3,10.
F.A.O. 1982. Management and Utilization of

Cambridge University Press, Cambridge,


U.K: 419 pp.

Mangroves in Asia and the Pacific. Food and

Turner, W., E. J. Sterling, dan A. C. Janetos.

Agriculture Organisation Environment Paper

2001. Contributions of remote sensing to

3. Rome.

biodiversity conservation: a NASA approach.

Fuller, D. O., T. C. Jessup, dan A. Salim. 2004.


Loss of forest cover in Kalimantan, Indone-

Conservation Biology (15): 832-834.


Wightman, G.M. 1989. Mangroves of the North-

sia, since the 1997-1998 El Nino. Conserva-

ern Territory. Northern Territory Conserva-

tion Biology. (18):249-254.

tion Commission of the Northern territory,

Giesen, W. 1993. Indonesias Mangroves: An Update on Remaining Area and main Management Issues. Dalam Seminar Coastal Zone
Management of Small Island Ecosystem, Ambon: 10-20 Hal.
Grainger, A. 1993. Controlling Tropical Deforestation. Earthscan. London.

Palmerston, N.t., Asutralia. Botanical Bulletin No. 7.


World Bank. 1994. Indonesia: Environment and
Development. The World Bank, Washington,
DC.
World Bank. 1990. Indonesia: sustainable development of forests, land and water. The World
Bank, Washington, DC: xx, xxi, 3, 34 pp.
331

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 2013

ERATA
Jurnal Biologi Indonesia 9(1) 2013
Daftar isi
Tertulis:
Deforestation and is Implications to the Population of a Key Species in Bukit Barisan Selatan National
Park, Sumatra
Suyadi, IN. Surati Jaya, Antonius B. Wijanarto & Haryo T. Wibisono
Seharusnya
Deforestation and it is Implications for Sumatran tigers in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra
Suyadi, I Nengah Surati Jaya, Antonius B. Wijanarto &Haryo Tabah Wibisono

11

Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 2013

PANDUAN PENULIS

Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah disusun dengan urutan:
JUDUL (bahasa Indonesia dan Inggris), NAMA PENULIS (yang disertai dengan alamat Lembaga/
Instansi), ABSTRAK (bahasa Inggris, maksimal 250 kata), KATA KUNCI (maksimal 6 kata), PENDAHULUAN, BAHAN DAN CARA KERJA, HASIL, PEMBAHASAN, UCAPAN TERIMA KASIH (jika
diperlukan) dan DAFTAR PUSTAKA. Penulisan TabelDAN GAMBAR ditulis di lembar terpisah dari
teks.
Naskah diketik dengan spasi ganda pada kertas HVS A4 maksimum 15 halaman termasuk gambar, foto, dan tabel disertai CD. Batas dari tepi kiri 3 cm, kanan, atas, dan bawah masing-masing 2,5 cm
dengan program pengolah kata Microsoft Word dan tipe huruf Times New Roman berukuran 12 point.
Setiap halaman diberi nomor halaman secara berurutan. Gambar dalam bentuk grafik/diagram harus asli
(bukan fotokopi) dan foto (dicetak di kertas licin atau di scan). Gambar dan Tabel di tulis dan ditempatkan di halaman terpisah di akhir naskah. Penulisan simbol a, b, c, dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, tanpa mengubah jenis huruf. Kata dalam bahasa asing dicetak miring. Naskah dikirimkan ke
alamat Redaksi sebanyak 3 eksemplar (2 eksemplar tanpa nama dan lembaga penulis).
Penggunaan nama suatu tumbuhan atau hewan dalam bahasa Indonesia/Daerah harus diikuti
nama ilmiahnya (cetak miring) beserta Authornya pada pengungkapan pertama kali.
Pustaka didalam teks ditulis berurutan secara abjad.
Contoh penulisan Daftar Pustaka sebagai berikut :
Jurnal :
Hara, T., JR. Zhang, & S. Ueda. 1983. Identification of plasmids linked with polyglutamate production in B. subtilis. J. Gen. Apll. Microbiol. 29: 345-354.
Buku :
Chaplin, MF. & C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press. Cambridge.
Bab dalam Buku :
Gerhart, P. & SW. Drew. 1994. Liquid culture. Dalam : Gerhart, P., R.G.E. Murray, W.A. Wood, &
N.R. Krieg (eds.). Methods for General and Molecular Bacteriology. ASM., Washington. 248-277.
Abstrak :
Suryajaya, D. 1982. Perkembangan tanaman polong-polongan utama di Indonesia. Abstrak Pertemuan
Ilmiah Mikrobiologi. Jakarta . 15 18 Oktober 1982. 42.
Prosiding :
Mubarik, NR., A. Suwanto, & MT. Suhartono. 2000. Isolasi dan karakterisasi protease ekstrasellular
dari bakteri isolat termofilik ekstrim. Prosiding Seminar nasional Industri Enzim dan Bioteknologi II. Jakarta, 15-16 Februari 2000. 151-158.
Skripsi, Tesis, Disertasi :
Kemala, S. 1987. Pola Pertanian, Industri Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit di Indonesia.
[Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Informasi dari Internet :
Schulze, H. 1999. Detection and Identification of Lories and Pottos in The Wild; Information for surveys/Estimated of population density. http//www.species.net/primates/loris/lorCp.1.html.

12

Vous aimerez peut-être aussi