Vous êtes sur la page 1sur 10

ASPEK HUKUM MERGER

SEBAGAI PERBUATAN HUKUM YANG


DILARANG MENURUT UU NO. 5 TAHUN 1999
TENTANG ANTIMONOPOLI

Disusun Oleh :
1. Ahadina Mahyastuti 15/387799/PHK/20939
2. Archi Bela 15/387818/PHK/20958
3. Azalia Meyti A. R 15/387826/PHK/20966
4. Diana Almas 15/38784/PHK/20981
5. I Putu Arwan P. R. 15/387873/PHK/21013
6. Novita Listyaningrum 15/387923/PHK/21063
7. Yohanes Ivan 15/387967/PHK/21107

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pengusaha sebagai pelaku usaha yang melakukan kegiatan ekonomi untuk
memperoleh

keuntungan

sebanyak-banyaknya,

sering

ditemui

melakukan

penggabungan usaha yang tujuannya untuk mengembangkan perusahaan yang sudah


ada ataupun untuk memperkuat modal yang telah dimiliki sebelumnya.
Penggabungan yang lebih dikenal dengan kata merger antara perseroan
terbatas menurut pasal 1 PP no. 27 tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan
Pengambilalihan Perseroan Terbatas adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
satu perseroan, atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah
ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar. Merger
merupakan salah satu pilihan dalam menciptakan iklim usaha yang sehat dan efisien
dalam rangka peningkatan pembangunan ekonomi yang mengacu pada asas
pembangunan ekonomi yang berlandaskan kekeluargaan sebagaimana diamanatkan
oleh pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang mana tidak boleh mengarah kepada
penguasaan sumber ekonomi dan pemusatan kekuatan ekonomi pada suatu kelompok
atau golongan tertentu.

Oleh sebab itu, tindakan merger perseroan yang dapat

mendorong ke arah terjadinya monopoli, monopsoni, atau persaingan curang harus


dihindari karena tindakan merger selain memperhatikan kepentingan perseroan,
pemegang saham dan karyawan perseroan juga harus memperhatikan kepentingan
masyarakat termasuk pihak ketiga yang berkepentingan.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana regulasi mengenai merger dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia ?
2. Bagaimana akibat yang ditimbulkan dari adanya merger perusahaan ?
3. Meger yang bagaimana yang dilarang Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ?

BAB II
Pembahasan
1. Pengaturan Merger menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.

Undang-Undang NO. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas


menggunakan

istilah

penggabungan

sebagai

pengganti

terminologi

merger. UU PT memberikan pengertian penggabungan adalah perbuatan


hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri
dengan cara mendirikan satu perseroan baru yang karena hukum memperoleh
aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena
hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan yang selanjutnya
status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena
hukum. Berdasarkan pasal 1 PP no. 27 tahun 1998 tentang Penggabungan,
Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas adalah perbuatan hukum
yang dilakukan oleh satu perseroan, atau lebih untuk menggabungkan diri
dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang
menggabungkan diri menjadi bubar. Berdasarkan definisi tersebut maka
diketahui unsur dalam merger adalah :
a. Adanya perbuatan hukum
b. Adanya dua perseroan atau lebih
c. Adanya tujuan yang sama, yaitu salah satu perseroan akan
menggabungkan

diri

kedalam

perseroan

yang

menerima

penggabungan dan;
d. Adanya putusan yang sama yaitu perseroan yang menggabungkan
diri akan bubar
Tujuan dari merger atau penggabungan adalah untuk :1
a. Memperbesar jumlah modal. Hal ini dapat terjadi dikarenakan
merger merupakan penggabungan perseroan yang mana di dalamnya
termasuk penggabungan modal.
b. Menyelamatkan kelangsungan produksi.
c. Memperbesar sinergi perusahaan
d. Mengurangi persaingan serta menuju pada monopoli strict.
Pengaturan merger dapat ditemukan dalam UU PT dan peraturan
Pelaksananya, dalam UU PT merger disebutkan dalam pasal 26, 62, 122, 123,
126, 127, 128, 129, 132, 133, 152. Selain itu terdapat pula PP No. 27 Tahun
1998 yang menjelaskan ketentuan dalam UU PT. Dalam PP pasal 4 tersebut
menyebutkan

juga

mengenai

syarat-syarat

merger,

akuisisi,

dan

pengambilalihan, yaitu :
1. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan hanya dapat dilakukan
dengan memperhatikan:
1

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, cetakan Keempat, PT Citra Aditya Bhakti,
Bandung, Hal 378

a. Kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan


perseroan yang besangkutan
b. Kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan
usaha
2. Penggabungan,

peleburan,

pengambilalihan

tidak

mengurangi

pemgang saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga


saham yang wajar
3. Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan RUPS
mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan hanya dapat
menggunakan haknya agar saham yang dimilikinya dibeli dengan
harga yang wajar sesuai dengan ketentuan pasal 62 UUPT
4. Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 tidak
menghentikan proses pelaksanaan penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan
Selanjutnya dalam pasal 6 disebutkan :
1. Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan hanya dapat dilakukan
dengan persetujuan RUPS
2. Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan dilakukan berdasarkan
keputusan RUPS yang dihadiri oleh bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling sedikit bagian dari
jumlah suara tersebut.
3. Bagi perseroan terbuka dalam hal sebagaimana persyaratan dimaksud
dalam ayat 2 tidak tercapai, maka syarat kehadiran dan pengambilan
keputusan 9 ayat (2) ditetapkan sesuai dengan Peraturan perundangan
dibidang pasar modal.
Menurut pasal 26 UU PT mengatur tentang perubahan anggaran dasar
dilakukan dalam rangka penggabungan, peralihan, pengambilalihan berlaku
sejak tanggal:
1. Persetujuan menteri
2. Kemudian yang ditetapkan dalam persetujuan menteri, atau
3. Pemberitahuan perubahan anggaran dasar diterima menteri, atau
tanggal kemudian yang ditetapkan dalam akta penggabungan atau
akta pengambilalihan.
Direksi perseroan yang berencana untuk menggabungkan diri atau
menerima penggabungan harus menyusun rancangan penggabungan sesuai
pasal 123 ayat (2) UUPT yang memuat sekurang-kurangnya :

a. Nama dan tempat kedudukan dari setiap perseroan yang akan


melakukan penggabungan;
b. Alasan serta penjelasan direksi yang akan melakukan;
c. Penggabungan dan persyaratan penggabungan
d. Tatacara penilaian dan konversi saham perseroan yang akan
menggabungkan diri terhadap saham perseroan yang akan
menerima penggabungan
e. Rancangan perubahan anggaran dasar perseroan yang menerima
penggabungan apabila;
f. Laporan keuangan sebagai mana dimaksud dalam pasal 66 ayat (2)
huruf a yang meliputi 3 tahun buku terakhir dari setiap perseroan
yang akan melakukan penggabungan
g. Rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari perseroan
yang akan melakukan penggabungan
h. Neraca performa perseroan yang menerima penggabungan sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
i. Cara penyelesaian status, hak, dan kewajiban anggota direksi,
dewan komisaris, dan karyawan perseroan yang akan melakukan
penggabungan diri;
j. Cara penyelesaian hak dan kewajiban perseroan yang akan
melakukan penggabungan diri kepada pihak ketiga;
k. Cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju tehadap
pengabungan perseroan;
l. Nama anggota direksi dan dewan komisaris serta gaji, honorarium
dan tunjangan bagi anggota direksi dan dewan komisaris perseroan
yang menerima penggabungan;
m. Perkiraan jangka waktu penggabungan
n. Laporan mengenai keadaan mengenai keadaan, perkembangan, dan
hasil yang dicapai dari setiap perseroan yang akan melakukan
penggabungan
o. Kegiatan utama

setiap

perseroan

yang

akan

melakukan

penggabungan dan perubahan yang terjadi selama tahun buku yang


sedang berjalan; dan
p. Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang
berjalan yang mempengaruhi kegiatan perseroan yang akan
melakukan penggabungan
Rancangan penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah
mendapat persetujuan dewan komisaris dari setiap perseroan diajukan kepada
RUPS masing-masing untuk mendapat persetujuan. Pengembangan ini terjadi

karena ada beberapa (minimal dua) perusahaan yang bergabung, tetapi salah
satunya tetap berdiri, sedangkan yang lainnya bubar karena melebur kedalam
perusahaan yang masih ada.
Merger terdapat beberapa bentuk :2
1) Merger horizontal, dapat berarti

perusahaan-perusahaan

yang

melakukan merger tersebut adalah perusahaan yang menjual produk


yang sama. Oleh karena itu apabila merger dilakukan persaingan anatar
perusahaan-perusahaan tersebut dapat ditiadakan dan pangsa pasar
yang dikuasai tentu akan menjadi lebih besar
2) Merger vertikal (merger dari hulu ke hilir) ini ada yang upstream atau
downstream. Merger ini tidak membawa pengaruh secara langsung
kepada persaingan pasar. Akan tetapi, merger ini dapat membawa
akibat tidak baik karena perusahaan dapat menguasai produksi dari
hulu ke hilir, halangan bagi pedatang baru dalam bisnis yang
bersangkutan (entry barrier), menimbulkan kolusi dan sebagainya.
3) Meger konglomerat, ini dapat terjadi dimana masing-masing
perusahaan yang merger tersebut sebelumnya tidak mempunyai
hubungan bisnis, jadi bukan supplier atau bukan konsumen. Merger ini
dapat menghambat atau menyulitkan para pelaku pasar pendatang
baru, atau justru merger dilakukan dengan pihak pelaku usaha
pendatang baru.
2. Akibat yang timbul dari adanya merger perusahaan
a. Terhadap Pemegang Saham
Menurut pasal 122 ayat (3) huruf b UUPT: pemegang saham perseroan
yang menggabungkan atau meleburkan diri karena hukum menjadi
pemegang saham perseroan yang menerima penggabungan atau perseoran
hasil peleburan.
b. Terhadap Karyawan
Kemungkinan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam merger
perusahaan sangat tidak terelakkan. Apalagi bagi merger horizontal,
dimana bentuk merger ini adalah merger antara perusahaan-perusahaan
2

Munir Fuadi, Hukum tentang Merger, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, hlm
93.

yang bergerak dibidang yang sama. Hal ini jelas akan berdampak terhadap
personalia karena banyaknya karyawan yang memiliki jabatan dan
deskripsi kerja yang sama, sehingga perusahaan hasil merger akan memilih
karyawan yang dinilai lebih professional diantara karyawan yang memiliki
kualifikasi yang sama.
c. Terhadap Perpajakan
Seiring dilakukannya merger akan menimbulkan permasalahan seperti
adanya kelalaian pembayaran utang pajak dan siapa yang akan
bertanggungjawab membayar utang pajak tersebut. Sehingga kelalaian
utang pajak yang ditagih setelah merger dilakukan dibayar oleh perusahaan
yang mengambil alih. Karena menurut pasal 122 ayat (3) huruf a UUPT:
aktiva dan pasiva perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri
karena hukum menjadi pemegang saham perseroan yang menerima
penggabungan atau perseroan hasil peleburan.
3. Merger yang dilarang Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
1) Unsur merger yang dilarang oleh Undang-undang.
Pasal 28 ayat (1) UU no. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan bahwa:
Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
Dalam ayat tersebut diatas, ada dua unsur mengenai merger yang dilarang:
(1) Penggabungan badan usaha
Yang

dimaksud

dengan

penggabungan

badan

usaha

adalah

bergabungnya satu atau lebih perusahaan atau bentuk usaha kepada


satu perusahaan atau bentuk usaha yang lain. Perusahaan atau bentuk
usaha tersebut dapat berbentuk badan hukum (misalnya perseroan
terbatas) maupun bukan badan hukum yang menjalankan suatu jenis
usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan untuk
memperoleh laba.
(2) Mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat

Yang dimaksud dengan mengakibatkan terjadinya praktek monopoli


dan atau persaingan usaha tidak sehat adalah setelah kegiatan merger
dilakukan, menciptakan posisi dominan dengan pemusatan kekuatan
ekonomi pada badan usaha tersebut yang kemudian melakukan
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan jasa.
Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang
hanya dikuasai oleh satu pihak saja inilah yang dapat mengakibatkan
penyalahgunaan

kekuasaannya

untuk

secara

sewenang-wenang

mengatur harga, memberikan produk atau jasa dengan kualitas rendah,


dan memaksakan syarat-syarat tambahan tertentu yang pastinya
merugikan konsumen tanpa batas waktu. Hal-hal tersebut berani
dilakukan oleh badan usaha yang melakukan monopoli, karena tidak
adanya badan usaha lain dimana konsumen dapat berpaling untuk
dapat memenuhi kebutuhannya.3
Pasal 29 ayat (1) UU no. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan bahwa penggabungan
atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan /atau nilai
penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepaa komisi,
selambat-lambatnya 30 hari sejak tanggal penggabungan, peleburan, atau
pengambilaalihan tersebut.
2) Posisi dominan, monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
Pasal 1 UU no. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat memuat tentang definisi-definisi:
(1) Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha.
(2) Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau
lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan
atau pemasaran atas barang dan atas jasa tertentu sehingga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum.

Markham, William A. An Overview of Antitrust Law. 2000 (updated in 2010). Diakses dari:
www.markhamlawfirm.com/law-articles/antitrust-law-san-diego/.

(3) Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas


suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga
dapat menentukan harga barang dan atau jasa.
(4) Posisi dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak
mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan
dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai
posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam
kaitan denga kemampuan keuangan. Kemampuan akses pada pasokan
atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau
permintaan barang atau jasa tertentu.
3) Teori per se illegal dan rule of reason
Hukum persaingan mengenal 2 kriteria pendekatan yaitu pendekatan per se
ilegal dan rule of reason diterapkan dalam bidang hukum persaingan usaha
untuk menilai apakah suatu kegiatan maupun perjanjian yang dilakukan
oleh pelaku usaha telah atau berpotensi untuk melanggar Undang-Undang
Antimonopoli. Menurut teori per se ilegal maka pihak yang menuduh
melakukan pelanggaran hanya harus membuktikan efek atau akibatnya.
Sedangkan pasal-pasal dalam UU Antimonopoli menggambarkan bentuk
dari pendekatan teori ini melaului pasal-pasal yang sifatnya imperatif
dengan interpretasi yang memaksa, contohnya Pasal 5 ayat (1) UU
Antimonopoli yang menyatakan pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu
barang dan/ jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada
pasar yang bersangkutan sama. Sedangkan pendekatan rule of reason
digambarkan dalam bentuk adanya alasan-alasan pembenar apakah
tindakan yang dilakukan walaupun bersifat anti persaingan tetapi
mempunyai alasan pembenar yang menguntungkan dari pertimbangan
sosial, keadilan, maupun efek yang ditimbulkannya serta juga adanya
unsur maksud.4

PENUTUP
KESIMPULAN SARAN
Kesimpulan
4

Ningrum N Sirait, Asosiasi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003,
hlm 106

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah di uraikan di atas dapat ditarik


keimpulan
1. Penggabungan di atur dalam Bab VIII Pasal 122, 123, 126, sampai dengan Pasal 129
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Tebatas. Penggabungan
(merger) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan
yang menggabungkan diri menjadi bubar. Adapun bentuk-bentuk merger yaitu merger
horizontal, merger vertikal, dan merger konglomerat.
2. Akibat yang ditimbulkan dari adanya merger perusahaan dapat mengenai tiga pihak
yaitu pemegang saham, karyawan dan bidang perpajakan. Akibat yang timbul dari
merger kepada pemegang saham dijelaskan pada Pasal 122 ayat (2) UUPT.
Sedangkan akibat merger bagi karyawan adalah terjadinya PHK untuk mengurangi
jumlah personalia dari perusahaan yang melakukan merger. Selain itu, akibat dari
merger bagi bidang perpajakan adalah menyangkut tentang pembayaran utang pajak
dan tentang siapa yang akan bertanggung jawab terhadap pembayaran utang setelah
dilakukanya merger perusahaan.
3. Merger perusahaan yang dilarang menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diatur pada Pasal 28
ayat (1) yang menyatakan bahwa: Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan
atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat. Hukum persaingan mengenal 2 kriteria
pendekatan dalam menentukan hambatan dalam suatu pasar yaitu dengan pendekatan
yang disebut Perse Illegal dan juga pendekatan Rule of Reason.
Saran
Penggabungan (merger) perusahaan harus dilakukan dengan rencana yang benarbenar matang agar tidak melanggar UU no. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan harus mempertimbangkan dampak
yang akan timbul bagi pemegang saham, karyawan dan juga pembayaran pajak
setelah dilakukannya merger.

Vous aimerez peut-être aussi