Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumberdaya manusia yang unggul
untuk pembangunan. Namun dewasa ini di Negara kita khususnya dalam bidang
pendidikan masih belum menampakkan hasil yang maksimal, hal ini dekarenakan
pendidikan selalu menghadapi masalah misalnya selalu terdapat kesenjangan antara apa
yang diharapkan dengan hasil yang dapat dicapai dari proses pendidikan itu sendiri.
Masalah yang dimaksud sebagai permasalahan pendidikan diantaranya yaitu :
Masalah pemerataan pendidikan
Masalah mutu pendidikan
Masalah efisiensi pendidikan
Masalah relevensi pendidikan
Dan keempat masalah tersebut akan dibahas dalam makalah ini beserta upaya
yang diharapkan dapat menanggulanginya. Selain itu kenyataan semakin tertinggalnya
pendidikan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain, harusnya membuat kita lebih
termotivasi untuk berbenah diri. Banyaknya masalah pendidikan yang muncul ke
permukaan merupakan gambaran praktek pendidikan kita serta teguran bagi Negara kita
untuk berbenah diri.
1.2 Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Permasalahan pokok sistem pendidikan nasional
Sistem pendidikan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya
dan masyarakat sebagai suprasistem sehingga menciptakan kondisi yang sedemikian rupa dan
permasalahan interen sistem pendidikan itu menjadi sangat kompleks. Artinya, permasalahan
interen dalam system pendidikan kaitannya dengan masalah-masalah diluar system
pendidikan itu sendiri. Misalnya masalah mutu hasil belajar suatu sekolah tidak dapat
dilepaskan dari kondisi social budaya dan ekonomi masyarakat disekitarnya, dan masih
banyak lagi faktor-faktor lainnya di luar system persekolahan yang berkitn dengan mutu hasil
belajar tersebut.
Namun pada dasarnya ada dua masalah pokok yang dihadapi oleh dunia pendidikan di
tanah air kita dewasa ini yaitu :
Bagaimana semua warga Negara dapat menikmati kesempatan pendidikan.
2
Bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik dengan keterammpilan kerja yang
mantap untuk dapat terjun ke dalam kancah kehidupan bermasyarakat.
2.2 Jenis-jenis masalah pokok sistem pendidikan nasional
Ada empat masalah pokok pendidikan yang telah menjadi kesepakatan nasional yang
perlu diprioritaskan penanggulangannya, yaitu :
A Masalah Pemerataan Pendidikan
Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaimana system pendidikan dapat
menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk
memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber
daya manusia untuk menunjang pembangunan.
Pada masa awalnya, di tanah air kita pemerataan pendidikan itu telah dinyatakan di
dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dengan pengajaran
di sekolah. Pada Bab XI, pasl 17 berbunyi :
Tiap-tiap warga negara RI mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi murid suatu
sekolah jika syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu
dipenuhi
Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib belajar Bab VI, pasal 10 Ayat 1,
menyatakan :Semua anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang berumur 8 tahun
diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun lamanya. Ayat 2 menyatakan : Belajar di
sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari materi agama dianggap telah memenuhi
kewajiban belajar.
Pemecahan Masalah Pemerataan Pendidikan ditempuh melalui dua cara, yaitu :
Cara Konvensional
a.
b. Menggunakan gedung sekolah untuk double shift (system bergantian padi dan sore).
Cara Inovatif
a.
Sistem Pamong atau Inpact System (pendidikan oleh masyarakat, orang tua, dan guru).
Sistem tersebut dirintis di solo dan didiseminasikan ke beberapa provinsi.
d. SMP terbuka
e.
f.
tersebut.
Upaya
tersebut
pada
gilirannya
diharapkan
dapat
meningkatkan kualitas proses pendidikan dan pengalaman belajar peserta didik, yang
akhirnya dapat meningkatkan hasil pendidikan.
C Masalah Efisiensi Pendidikan
Masalah efisiansi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu system pendidikan
mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika
penggunaannya hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiensi tinggi. Jika terjadi sebaliknya,
efisiensi berate rendah.
Beberapa masalah efisiensi pendidikan yang penting ialah :
a. Bagaimana tenaga kependidikan difungsikan ?
Masalah ini meliputi pengangkatan, penempatan, dan pembangunan tenaga. Masalah
pengangkatan terletak pada kesenjangan antara stok tenaga yang tersedia dengan jatah
4
pengangkatan yang sangat terbatas. Masalah penempatan guru, khususnya guru bidang
penempatan atudy, sering mengalami kepincangan, tidak disesuaikan dengan kebutuhan di
lapangan. Masalah pengembangan tenaga kependidikan di lapangan biasanya terlambat,
khususnya pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru dan setiap pembaruan kurikulum
menurut adanya penyesuaian dari para pelaksana di lapangan.
b. Bagaimana perasarana dan sarana pendidikan digunakan ?
Penggunaan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak efisien bias terjadi antara lain
sebagai akibat kurang matangnya perencanaan. Banyak gedung SD Inpres karena beberapa
sebab dibangun pada lokasi yang tidak tepat, akibatnya banyak SD yang kekurangan murid
atau yang ruang belajarnya kosong.
c.
pendidikan berlangsung kurang efisien dan efektif. Hal ini dapat dilihat dengan seringnya
kebijakan pemerintah merubah kurikulum pendidikan nasional, padahal perubahan kurikulum
sering membawa akibat tidak dipakainya lagi buku-buku dan perangkat lainnya. Namun
perubahan kurikulum tidak selamanya buruk, karena perubahan kurikulum itu sendiri
diselaraskan dengan perkembangan zaman di masa globalisasi ini.
perlu
ditumbuhkembangkan
terus
sebagai
model
pengembangan
kemampuan guru.
f) Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah,
tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita
tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika
kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah.
Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR
besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah
pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan
terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak
Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib
belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan
yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang
ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.
6
atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru
disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan. Masalah kedua adalah sistem
pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire
(seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan
ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia
yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk
menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid
sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, di mana pengetahuan dari
guru ditransfer ke dalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut
tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru. Jadi
hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini
tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam
pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka
yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai
pengetahuan apa-apa. Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang
dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya
bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari
dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi,
menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia).
Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung
dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus
terlebur dalam strategi kebudayaan Asia, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah
satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik
internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru
hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi
dunia pendidikan kita.
Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural
untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan
masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya
dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara
menjadi sangat relevan untuk direnungkan. Secara garis besar ada dua solusi untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut, yaitu:
1. Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang
berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan
dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini,
8
mengenai alam semesta, dan teknologi, adalah penerapan yang direncanankan dari ilmu
pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Sebagai contoh betapa eratnya hubungan antara pendidikan dengan iptek itu,
misalnya seiring suatu teknologi baru yang digunakan dalam suatu proses produksi
menimbulkan kondisi ekonomi social baru lantaran perubahan persyaratan kerja, dan mungkin
juga penguraian jumlah tenaga kerja atau jam kerja, kebutuhanbahan-bahan baru, sistem
pelayanan baru, sampai kepada berkembangnya gaya hidup baru, kondisi tersuebut minimal
dapat mempengaruhi perubahan isi pendidikan dan metodenya, bahkan mungkin rumusan
baru tunjangan pendidikan, otomatis juga sarana juga sarana penunjangnya seperti searana
laboratorium dan ketenangan. Semua perubahan tersebut tentu membawa masalah dalam
skala nasional yang tidak sedikit memakan biaya. Hal ini disinggung dalam butir 3 masalah
efisiensi pendidikan tentang perubahan kurikulum.
Contoh di atas memberikan gambaran pengaruh tidak langsung iptek terhadap sistem
pendidikan. Di samping pengaruh tidak langsung, juga banyak pengaruh yang langsung
terhadap sistem pendidikan dalam bentuk berbagai macam inovasi atau pembaruan dengan
aksentuasi tujuan yang bermacam-macam pula. Ada yang bertujuan untuk mengatasi
kekurangan gurudan gedung sekolah seperti system pamong dan SMP terbuka, pengadaan
guru relatif cepat seperti dengan program diploma, pengadaan guru dan perlindungan
terhadap profesi guru seperti program akta mengajar. Selain itu diadakan juga program
menghemat waktu belajar (RIT: Reduce Instructional Time), memperluas jangkauan peserta
didik denga biaya relatif murah seperti sistem belajar jarak jauh (BIJ), efektifitas proses
belajar dan kualitas hasil seperti CBSA dengan pemanfaatan tenaga non-guru antara lain
konselor, teknisi sumber belajar,dan lain-lain.
Hampir setiap inovasi mengundang masalah. Pertama, karena belum ada jaminan
bahwa inovasi itu pasti membawa hasil. Kita sudah banyak mendapatkan pengalamandalam
hal ini. Kedua, orang merasa ragu dan gusar jika menghadapi hal baru. Umumnya lebih suka
mengerjakan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan rutin dan ragu menerima hal baru yang
belum dikenal.
Masalahnya adalah bagaimana cara memperkenalkan suartu inovasi agar orang
menerimanya. Setiap inovasi mengandung dua aspek yaitu aspek konsepsional (memuat ide,
cita-cita, dan prinsip-prinsip) dan aspek struktur operasional (teknik pelaksanaannya). Kepada
masyarakat sasaran perlu diperkenalkan aspek konsepsionalnya sehingga memahami tujuan
dan manfaatnya serta motif yang mendasarinya.
Lazimnya suatu inovasi baru disebarluaskan setelah lebih dahulu diujicobakan dalam
ruang lingkup terbatas. Masalah pertama muncul pada tahap uji coba, karena biasanya
10
memerlukan biaya (contoh PPSP: Proyek Perintis Sekolah Pembangunan pada 8 IKIP sekitar
tahun 80-an).
Selanjutnya masalah muncul pada tahap penyebarluasan pelaksanaan hasil uji coba
(diseminasi). Pada tahap ini masalah mencakup banyak hal. Seperti dana, penyediaan
prasarana dan sarana, ketenagaan, kurikulum beserta perangkat penunjangnya, dan seterusnya
yang merupakan faktor faktor yang dapat menimbulkan masalah. Bahkan jika seandainya
suatu inovasi berhasil, mungkin saja menimbulkan masalah baru, misalnya antara lajn kurang
cermatnya rancangan yang dibuat. Contoh program diploma yang berhasil dan dapat
memproduksi tenaga baru yang diharapkan, tetapi berakibat alumni S1 tidak terangkat karena
ketiadaan jatah.
b. Perkembangan seni
Kesenian merupakan aktivitas berkreasi manusia, secara individual ataupun kelompok yang
mengahasilkan sesuatu yang indah.
Berkesenian menjadi kebutuhan hidup manusia. Melalui kesenian manusia dapat menyalurkan
dorongan berkreasi (mencipta) yang bersifat orisinil (bukan tiruan) dan dorongan spontanitas
dalam menemukan keindahan. Seni membutuhkan pengembangan.
Dilihat dari segi tujuan pendidikan yaitu terbentuknya manusia seutuhnya, aktivitas
kesenian mempunyai andil yang besar karena dapat mengisi pengembangan dominan afektif
khususnya emosi yang positif dan konstruktif serta keterampilan di samping kognitif yang
sudah digarap melalui program/bidang studi yang lain.
Dilihat dari segi lapangan kerja, dewasa ini dunia seni dengan segenap cabangnya
telah mengalami perkembangan pesat dan semakin mendapat tempat dalam kehidupan
masyarakat.
Dengan memperhatikan alasan-alasan di atas maka sudah seyogianya jika dunia seni
dikembangkan melalui sistem pendidikan secara terstruktur dan terprogram. Pengembangan
kualitas seni secara terprogram menuntut tersedianya sarana pendidikan tersendiri di samping
program-program yang lain dalam sistem pendidikan. Di sinilah timbulnya masalah
pendidikan kesenian yang mempunyai fungsi begitu penting tetapi di sekolah-sekolah saat ini
menduduki kelas dua. Pendidikan kesenian baru terlayani setelah program studi yang lain
terpenuhi pelayanannya. Itulah sebabnya mengapa kesenian tidak termasuk Ebtsnas, di
samping juga sulit menyediaakan tenaga pendidiknya. Lagipula sarana penunjang umumnya
tidak tersedia secara memadai karena mahal.
2. Laju Pertumbuhan Penduduk
Masalah kependudukan dan kependidikan bersumber pada 2 hal, yaitu :
11
3. Aspirasi masyarakat
Dalam dua darsa warsa terakhir ini aspirasi masyarakat dalam banyak hal meningkat,
khususnya aspirasi terhadap pendidikan hidup yang sehat, aspirasi terhadap pekerjaan,
kesemuanya ini mempengaruhi peningkatan aspirasi terhadap pendidikan. Orang mulai
melihat bahwa untuk dapat hidup yang lebih layak dan sehat harus ada pekerjaan tetap yang
menopang, dan pendidikan memberi jaminan untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan
menetap itu. Pendidikan dianggap memberikan jaminan bagi peningkatan taraf hidup dan
pendakian ditangga social. Sebagai akibat dari meningkatnya aspirasi terhadap pendidikan
maka orang tua mendorong anaknya untuk bersekolah, agar nantinya anak-anaknya
memperoleh pekerjaan yang lebih baik daripada orang tuanya sendiri. Dorongan yang kuat ini
juga terdapat pada anak-anak sendiri.
Mereka (orang tua dan anak-anak) merasa susah jika mendapat rintangan dalam
bersekolah dan melanjutkan studi. Mungkin ini dapat dipandang sebagai indicator tentang
betapa besarnya aspirasi orang tua dan anak terhadap pendidikan itu.
Apa akibat yang timbul dari perubahan social tersebut? Gejala yang timbul ialah
membanjirnya pelamar pada sekolah-sekolah. Arus pelajar menjadi meningkat. Di kota-kota,
di samping pendidikan formal mulai bermunculan beraneka ragam pendidikan nonformal.
Beberapa hal yang tidak dikehendaki antara lain ialah seleksi penerimaan siswa pada
berbagai jenis dan jenjang pendidikan menjadi kurang objektif, jumlah murid dan siswa
perkelas melebihi yang semestinya, jumlah kelas setiap sekolah membengkak, diadakannya
kesempatan belajar bergilir pagi dan sore dengan penguranganjam belajar, kekurangan sarana
belajar, kekurangan guru, dan seterusnya. Dampak langsung dan tidak langsung dari kondisi
sebagaimana digambarkan itu ialah terjadinya penurunan kadar efektifitas. Dengan kata lain,
massalisasi pendidikan menghambat upaya pemecahan masalah mutu pendidikan. Massalisasi
pendidikan ibarat perusahaan konveksi pakaian yang hanya melayani tiga macam ukuran
(large, medium, small). Kebutuhan individual yang khusus tidak terlayani.
Namun demikian tidaklah berarti bahwa aspirasi terhadap pendidikan harus diredam,
justru sebaliknya harus tetap dibangkitkan dan ditingkatkan, utamanya pada masyarakat yang
belum maju dan masyarakat di daerah terpencil, sebab aspirasi menjadi motor penggerak roda
kemajuan.
4. Keterbelakangan budaya dan sarana kehidupan
13
mengalami
perubahan.
Sekurang-kurangnya
bagian
unsur-unsurnya
berubah.
Berubahnya unsur-unsur kebudayaan tersebut tidak selalu bersamaan satu dengan yang lain.
Ada unsur yang lebih cepat dan ada yang lambat laun brubah, namu yang jelas terjadinya
perubahan tidak pernah terhenti sepanjang masa, bahkan meskipun perubahan yang baru itu
kea rah negative.apalagi pada abad ke-20 ini, dimana perkembangan iptek demikian pesat dan
merambah ke seluruh bidang kehidupan.
Khususnya
dengan
munculnya
penemuan-penemuan
baru
di
bidang
Biaya Pendidikan
Akhir-akhir ini biaya pendidikan semakin mahal, seperti mengalami kenaikan BBM.
Banyak masyarakat yang memiliki persepsi pendidikan itu mahal dan lebih parahnya banyak
pula pejabat pendidikan yang ngomong, kalau pengen pendidikan yang berkualitas
konsekuensinya harus membayar mahal. Pendidikan sekarang ini seperti diperjual-belikan
bagi kalangan kapitalis pendidikan dan pemerintah sendiri seolah membiarkan saja dan lepas
tangan.
Sekarang ini memang digalakan program wajib belajar 9 tahun dengan bantuan Bos.
Tapi bagaimana dengan daerah-daerah yang terpencil nan jauh disana?? Apa mereka sudah
mengenyam pendidikan?? Padahal mereka sebagai WNI berhak mendapatkan pendidikan
yang layak.
Akhir-akhir ini pemerintah dalam system pendidikan yang baru akan membagi
pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan jalur formal mandiri.
Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa. Jalur
formal mandiri diperuntukkan bagi siswa yang mapan secara akademik maupun finansial.
Sedangkan jalur formal standar diperuntukkan bagi siswa yang secara finansial bisa dikatakan
kurang bahkan tidak mampu. Hal ini saya rasa sangat konyol, bukankah kebijakan ini sama
saja dengan mengotak-kotakan pendidikan kita, mau dikemanakan pendidikan kita bila kita
terus diam dan pasrah menerima keputusan Pemerintah?? Ironis sekali bila kebijakan ini
benar-benar terjadi.
Tujuan pendidikan
Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Bab II Pasal 4 telah dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya. Kemudian dipertegas secara rinci di dalam GBHN butir 2a dan
b, tentang arah dan tujuan pendidikan bahwa yang dimaksud dengan manusia utuh itu adalah
manusia yang sehat jasmani dan rohani, manusia yang memiliki hubungan secara vertikal
(dengan Tuhan Yang Maha Esa), horizontal (dengan lingkungan masyarakat), dan konsentris
(dengan diri sendiri) yang berimbang antara duniawi dan ukhrawi. Jadi konsepnya sudah
cukup baik. Tetapi didalam pelaksanaannya pendidikan afektif belum ditangani semestinya.
Kecenderungan mengarah kepada pengutamaan pengembangan aspek kognitif.
Hambatan yang dihadapi dalam sistem pendidikan nasional, yaitu diantaranya :
Kontoversi diselenggaraknnya UN
Perdebatan mengenai Ujian Nasional (UN) sebenarnya sudah terjadi saat kebijakan
tersebut mulai digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003. UN atau pada awalnya bernama Ujian
Akhir Nasional (UAN) menjadi pengganti kebijakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional
(Ebtanas). Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan (Koran Tempo, 4 Februari 2005), setidaknya
ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN.
Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik
mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap
(afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan
kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.
Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor
20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar
nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan,
sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus
ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan
dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Pasal 58
ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk
memantau
proses,
kemajuan,
dan
perbaikan
hasil
belajar
peserta
didik
secara
pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali
akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal
penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan
tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan
(korupsi) dana UN.
Kerusakan fasilitas sekolah
Nanang Fatah, pakar pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengatakan,
sekitar 60 persen bangunan sekolah di Indonesia rusak berat. Kerusakan bangunan sekolah
tersebut berkaitan dengan usia bangunan yang sudah tua. Untuk mengantisipasi hal tersebut,
sejak tahun 2000-2005 telah dilaksankan proyek perbaikan infrastruktur sekolah oleh Bank
Dunia, dengan mengucurkan dana Bank Dunia pada Komite Sekolah. Kerusakan bangunan
pendidikan jelas akan mempengaruhi kualitas pendidikan karena secara psikologis seorang
anak akan merasa tidak nyaman belajar pada kondisi ruanagan yang hamper roboh.
Disahkannya RUU BHP menjadi Undang- Undang
DPR RI telah mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum
Pendidikan (BHP) menjadi Undang-Undang. Selama tiga tahun itupula, UU yang berisi 14
bab dan 69 pasal banyak mengalami perubahan. Namun, disahkannya UU BHP ini banyak
menuai protes dari kalangan mahasiswa yang khawatir akan terjadinya komersialisasi dan
liberalisasi terhadap dunia pendidikan. Rabu, 17 Desember 2008, suara mahasiswa
Universitas Indonesia yang memprotes pengesahan RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP)
sudah semakin tipis. Namun, teriakan tetap mereka lantangkan di lobi Gedung Nusantara II
DPR, Rabu (17/12) sore.
Ketua BEM UI 2008 Edwin Nafsa Naufal mengatakan, mereka sudah mengawal
pembahasan RUU ini selama 3 tahun. Bahkan, sebuah konsep tandingan sudah disiapkan.
Segala aspirasi dan masukan, sudah disampaikan kepada Pansus RUU BHP. Hal yang
dikhawatirkan, undang-undang baru ini akan membuat biaya pendidikan semakin mahal dan
tidak terakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Anggapan mahasiswa ini, dikatakan Ketua
Pansus RUU BHP Irwan Prayitno, salah besar. Pendanaan. 20 persen operasional dibiayai
pemerintah. Untuk investasi dan bangunan seluruhnya dibiayai pemerintah. UU BHP juga
menetapkan perguruan tinggi negeri atau PTS wajib memberikan beasiswa sebesar 20 persen
dari seluruh jumlah mahasiswa di lembaganya. Namun, jika ternyata Perguruan Tinggi yang
terkait tidak mempunyai dana yang mencukupi, untuk memberikan beasiswa, akhirnya dana
tersebut akan dibebankan kepada mahasiswa lagi. UU BHP ini akan menjadi kerangka besar
18
penataan organisasi pendidikan dalam jangka panjang. UU BHP sendiri saat ini sedang dalam
proses mencari input. Jadi, untuk memperkuat status hukum PT BHMN, ia akan diatur dalam
UU BHP.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Misi pendidikan ialah menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan, karena
itu pendidikan selalu menghadapi masalah. Mengenai masalah pedidikan, perhatian
pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah
pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional,
biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan
yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat
dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun
kota dan kabupaten.
Namun penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisahpisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita
tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika
kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah
penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita.
Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak
memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar
19
sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah
sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila
tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalahmasalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.
3.2 Saran
Dewasa ini permasalahan pendidikan di Indonesia ini terlihat semakin kompleks,
untuk itu sangat diharapkan pemerintah terus meningkatkan upaya pengentasan yang lebih
efektif agar mutu pendidikan di Indonesia ini dapat semakin baik sesuai dengan yang
diharapkan.
Sebagai mahasiswa khususnya calon pendidik, kita harus menyadari dan memahami
berbagai macam permasalahan pendidikan yang terjadi dilapangan sehingga dapat
merumuskannya serta mencari alternatif pemecahannya. Jadilah, Mahasiswa sekaligus Calon
Pendidik yang peka terhadap berbagai permasalahan pendidikan.
20
Daftar Rujukan
Tirtarahardja, Umar: Sulo, S. L. La. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?
judul=MasalahPendidikandiIndonesia&&nemorurut_artikel=364
http://www.kompasiana.com/elnihandayani/masalah-pendidikan-di-indonesia-dansolusinya_551fe289813311186e9de629
http://sim.ormawa.uns.ac.id/2009/01/05/masalah-pendidikan-diIndonesia
sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesiahttp://meilanikasim.
wordpress.com/2009/03/08/makalah-masalah-pendidikan-di-indonesia/
21