Vous êtes sur la page 1sur 10

PERENCANAAN PERJANJIAN

PEMBIAYAAN PADA BANK SYARIAH

Nama:
Nadhifa Rahmania (028140030)

D3 Keuangan dan Perbankan Syariah

BAB I
PENDAHULUAN

Jauh sebelum dikeluarkannya undang-undang perbankkan syariah yang mengadung aturan


tentang aktifititas perbankan syariah, penerapan syariah islam dalam hukum positif di indonesia
sebenarnya telah mendapatkan tempat yang cuk up siknifikan, hal ini setidaknya terlihatdari dua
hal, yaitu :
1.
Kontitusi indonesia telah memberikan jaminan kemerdekaan bagi setiap penduduk untuk
memeluk dan beribadah meurut agamanya masing-masing sebagaimana tencamtum dalam
Undang-Undang Dasar Replublik Indonesia Tahun 1945 pasal 29 ayat 2. Pengertian beribadah
dalam pasal ini, menurut pandangan islam, tidak hanya mencakup hubungan antara manusia
dengan tuhannya ( ibadah madhah ), tetapi juga mencakup hubungan antara sesama manusia
( muamalah), termasuk aktifitas ekonomi.
2.
KUH Perdata pasal 1338 menyatakan bahwa setiap yang di buat sesuai dengan undangundang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang berbuat dan tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang di tentuksn
oleh undang-undang.
Dengan kata lain, pada dasarnya, sistem hukum nasional indonesia telah memberikan jaminan
bagi setiap individu untuk menentukan sendiri hukum apa yang bisa di berlakukan bagi dirinya,
terutama yang berkaitan dengan aktifitas keperdataan. Kebabasan tersebut meliputi kebebasan
dalam menentukan isi ( materi ) yang disepakati para pihak yang melakukan hubungan hukum,
cara-cara pelaksanaan, serta penyelesaiaan jika terjadi sengketa. Oleh karena itu, tidak ada
halangan sedikitpun jika kaum muslimin menghendaki pemberlakuan syariah islam dalam
hubungan keperdataan di antara sesama mereka.
Penerapan hukum syariah dalam konteks hukum positif tersebut juga dapat di wujudkan dalam
kegiatan perbankan syariah. Sebagaimana umumnya, setiap transaksi antara bank syariah dengan
nasabah,terutama yang berbentuk pemberian fasilitas pembiayaan,selalu dituang kan dalam suatu
surat perjanjian. Berkaitan dengan hal ini, para pihak yang melakukan hubungan hukum, yaitu
bank syariah dan nasabah, dapat memasukkan aspek-aspek syariah dalam konteks hukum positif
di indonesia sesuai dengan keinginan yang kedua belah pihak. Akan tetapi, asas kebebasan
berkontrak ini harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, baik menurut syariah
maupun KUH Perdata Pasal 1320, yaitu :
1.

Kesepakatan mereka yang mengikat mengikat diri.

2.

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3.

Mengenai suatu pokok perjanjian tertentu.

4.

Mengenai suatu sebab yang tidak dilarang.

Dengan kata lain, jika bank syariah dan nasabah membuat perjanjian yang bentuk formal
didasarkan pada pasal 1320 KUH Perdata, tapi isi, materi, atau subtansinya di dasarkan atas
ketentuan syariah, maka perjanjian tersebut dapat dikatakan sah, baik dilihat dari sisi hukum
nasional maupun dari sisi syariah.
Pada praktiknya, penyusunan suatu perjanjian antara bank syariah dengan nasabah, dari sisi
hukum positif, selain mengacu kepada KUH perdata, juga harus merujuk kepada Uu No. 10
Tahun 1998 Tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, sedangkan, dari sisi
syariah, para pihak tersebut berpadoman kepada Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan, tidak terdapat perbedaan difenisikan yang signifikan antara
kredit dengan pembiayaan dengan pembiayaan berdasarkan prinsip syriah. Kredit didefinisikan
sebagai :
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Sedangkan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah didefinisikan sebagai,
penyediaan uang atau tagiahan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak yang lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Kedua defenisi tersebut hanya dibedakan pada kredit diganti dengan kata pinjaman berdasarkan
prinsip syariah, kata pinjam-meminjam dihilangkan, kata peminjam untuk melunasi
utangnya diganti dengan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang tagihan tersebut, dan
akhirnya kata bunga diganti dengan imbalan atau bagi hasil.
Dalam perpestif hukum positif( legal lavel ), akat sama dengan perjanjian. Hal ini tentu berbeda
dengan perspektif syariah. Pada syaria level, akad akat tidak selalu berarti perjanjian. Suatu akat
bisa di katakan sebagai perjanjian jika dan hanya jika kesepakatan antara bank syariah dan
nasabah terjadi ketika kualitas, kuantitas, dan harga objek transaksi dan waktu penyerahan telah
di ketahui. Sementara itu, dalam hal pembiayaan yang berbentukline fasility, syariah memandang
peejanjian tersebut bukan termasuk akad, melainkan hanya berbentuk waat( promise). Dalam
kontek ini, akad akan terjadi pada setiap saat dropping pembiayaan yang berbentuk SPRP ( Surat
Permohonan Realisasi Pembiayaan) dari nasabah dan dijawab oleh bank dalam bentuk Surat
Persetujuan Pencairan Pembiayaan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Hubungan Hukum Antara Nasabah dan Bank Syariah

Penerapan hukum syariah dalam konteks hukum positif juga dapat diwujudkan dalam
kegiatan perbankan syariah. Sebagaimana umumnya, setiap transaksi antara bank syariah dengan
nasabah, terutama yang berbentuk pemberian fasilitas pembiayaan, selalu dituangkan dalam
surat-surat perjanjian. Berkaitan dengan hal ini, para pihak yang melakukan hubungan hukum,
yaitu bank syariah dan nasabah, dapat memasukkan aspek-aspek syariah dalam konteks hukum
positif Indonesia sesuai dengan keinginan kedua belah pihak. Akan tetapi, asas kebebasan
berkontrak ini harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, baik menurut syariah
maupun KUH Perdata Pasal 1320, yaitu:
1. Kesepakatan mereka yang mengikat diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Mengenai suatu pokok perjajian tertentu.
4. Mengenai suatu sebab yang tidak dilarang.
Dengan kata lain, jika bank syariah dan nasabah membuat perjanjian yang bentuk
formalnya didasarkan pada pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH perdata, tapi isi,
materi, atau substansinya didasarkan atas ketentuan syariah,maka perjanjian tersebut dapat
dikatakan sah, baik dilihat dari sisi hukum nasional maupun dari sisi syariah.
Pada praktiknya, penyusunan suatu perjanjian pada bank syariah dengan nasabah, dari
sisi hukum positif, selain mengacu pada KUH perdata, juga harus merujuk kepada UU No. 10
Tahun 1998 tentangperubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sedangkan dari sisi
syariah, para pihak tersebut berpedoman kepada fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia.

B.

Pembiayaan Syariah Dalam Perspektif Legal Formal

Dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, tidak terdapat perbedaan definisi yang signifikan antara kredit dengan pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah. Kredit didefinisikan sebagai:
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Sedangkan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah disefinisikan sebagai:

Penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau
bagi hasil.
Kedua definisi tersebut hanya dibedakan pada kata kredit diganti dengan katapembiayaan
berdasarkan prinsip syariah, kata pijam-meminjam dihilangkan, katapeminjam untuk melunasi
utangnya diganti dengan pihak yang dibiayai untuk mengembaliakan uang atau tagihan
tersebut, dan akhirnya kata bunga diganti denganimbalan atau bagi hasil.
Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan bagi hasil (mudharabah), jual
beli (murabahah), dan nama-nama akad fiqih lain yang selama ini menjadi kosakata yang akrab
digunakan oleh perbankan syariah? Apakah akad-akad fiqih tersebut
merupakan prinsip atau jenis perjanjian bank syariah?
Ketika berbicara tentang penerapan akad-akad syariah, bank syariah harus mengacu pada hukum
positif yang ada. Menrut UU No. 10 Th 1998 dan UU No. 23 Th 1999, akad-akad fiqih tersebut
adalah prinsip, bukan jenis perjanjian bank syariah. Dalam paradigma ini, bank syariah
memberikan fasilitas pembiayaan, bukan menjual atau menyewakan suatu barang. Akad jual beli
atau sewa-menyewa hanyalah prinsip yang mendasarinya. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi
logisnya, dalam surat perjanjian pembiayaan antara bank syariah dengan nasabah selayaknya
tidak menggunakan istilah-istilah perjanjian jual beli atau sewa-menyewa, melainkan perjanjian
pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah, ijarah, dan sebagainya.
Sudah saatnya kita membedakan tataran berfikir fiqih dengan tataran berfikir hukum positif.
Dengan kata lain, ketika berbicara bank syariah, terdapat two level of playing fields, yaitu sharia
level dan legal level. Hal ini bukan sebagai wujud sekularisasi hukum, sebaliknya sebagai upaya
mewarnai hukum positif dengan nilai-nilai syariah. Memahami sistematika berfikir hukum
positif akan memberikan banyak celah untuk memodifikasinya sesuai dengan nilai-nilai syariah.
Untuk saat ini, paradigma prinsip memberikan banyak keleluasan untuk mewarnai perbankan
syariah dengan berbagai akad fiqih; menghidupkan kembali prinsip syariah dalam berbagai
transaksi perbankan. Sebaliknya, kecerobohan mengambil begitu saja akad-akad fiqih untuk
dijadikan hukum positif tanpa mempertimbangkan secara komprehensif seluruh bangunan
hukum yang ada, dapat berakibat menghambat perkembangan perbankan syariah itu sendiri.

C.

Antara Akad dan Perjanjian

Sebagimana telah disinggung, ketika berbicara bank syariah dalam konteks hukum positif
indonesia, akan terdapat two level of playing fields, yaitu sharia level danlegal level. Sebagai
konsekuensinya, satu istilah hukum akan dapat menimbulkan dua rati yang berbeda pada level
yang berbeda.
Dalam perspektif hukum positif (legal level), akad sama dengan perjanjian. Hal ini tentu
berbeda dengan perspektif syariah. Pada sharia level akad tidak selalu berarti perjanjian. Suatu
akad baru dapat dikatakan sebagai perjanjian jika dan hanya jika kesepakatan antara bank syariah
dan nasabah terjadi ketika kualitas, kuantitas, dan harga objek transaksi serta waktu penyerahan

telah diketahui. Sementara itu, dalam hal pembiayaan yang berbentuk line facility, syariah
memandang perjanjian tersebut bukan termasuk akad, melainkan hanya
berbentuk waad (promise). Dalam konteks ini, akad baru akan terjadi pada setiap
saat dropping pembiayaan yang diwujudkan dalam bentuk SPRP (Surat Permohonan Realisasi
Pembiayaan) dari nasabah dan dijawab oleh bank dalam bentuk Surat Persetujuan Pencairan
Pembiayaan.
Dengan kata lain, dalam sharia level, akad tidak selalu berwujud surat perjanjian,
melainkan juga bisa berbentuk surat dokumen pencairan. Begitu pula halnya dengan surat
perjanjian, ia bisa mencerminkan suatu akad, bisa pula hanya mencerminkan sebuah waad
(promise). Istilah hukum yang sama dapat memepunayai dua arti yang berbeda, tergantung dari
perspektif level apa yang digunakan.

D.

Pedoman Umum Penyusunan Suatu Kontrak Perjanjian

Dari uraian diatas, telah jelas bahwa dalam membuat sebuah surat perjanjian, tanpa
mengesampingkan nilai-nilai syariah, Bank Syariah tetap harus mengacu pada hukum positif.
Dengan demikian, langkah-langkah penyusunan serta bentuk formal surat perjanjian bank
syariah tidak akan jauh berbeda dengan surat perjanjian lainnya. Secara umum, dalam membuat
suatu kontrak perjanjian, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pihak, yaitu
sebagai berikut:
1. Penguasaan atas aspek bisnis dari kontrak, yaitu Para pihak harus mengetahui,
memahami, serta menguasai aspek bisnis dari kontrak yang akan mereka sepakati, baik
dari sisi jenis, karakteristik hingga risiko bisnis tersebut.
2. Identifikasi pihak-pihak dalam kontrak, yaitu Masing-masing pihak harus melakukan
identifikasi terhadap para pihak yang terlibat dalam kontrak yang akan disepakati, apakah
yang terlibat dalam perjanjian tersebut adalah suatu badan hukum atau perseorangan.
3. Pengenalan karakteristik pihak-pihak dalam kontrak, yaitu Para pihak harus mengetahui
serta memahami karakteristik pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.
4. Penguasaan regulasi, yaitu Para pihak harus mengetahui, memahami, serta menguasai
seluruh regulasi yang terkait dengan isi kontrak yang akan mereka sepakati.
5. Pengunaan tenaga lain, yaitu Para pihak harus mempertimbangkan dan memperhitungkan
kemungkinan pengunaan tenaga lain yang dapat menunjang terlaksananya kontrak
mereka dengan baik.
Setelah mengetahui dan memahami beberapa hal yang terkait sebelum membuat suatu kontrak,
langkah selanjutnya adalah para pihak melakukan beberapa tahap pembuatan kontrak, yaitu:
1. Kesepakatan Para Pihak
a) Dalam tahapan ini, para pihak berperan langsung untuk mendapatkan kesepakatan awal
tentang apa yang akan disepakati oleh kedua belah pihak sebelum menuangkannya dalam sebuah
kontrak.

b) Dalam tahapan ini apa yang disepakati masih belum mengikat secara hukum (MoU, LoI,
dan lain-lain).
c) Kesepakatan harus disepakati oleh sebuah kontrak. Apabila kesepakatan tidak dilaksanakan
maka para pihak tidak perlu membuat kontrak karena sudah terjadi wanprestasi awal.
2. Negosiasi Rancangan Kontrak.
3. Penandatanganan Kontrak.
4. Pelaksanaan Kontrak.
5. Sengketa Kontrak.
a) Penyelesaian musyawarah, bila tidak dicapai baru kemudian melakukan langkah
selanjutnya.
b)

Penyelesaian melalui Forum Arbitrase atau Pengadilan.


Umumnya, setiap kontrak perjanjian mempunyai anatomi sebagai berikut:
1. Pembukaan (Preamble)

Bagian ini terdiri dari Kata Pembukaan, Penyingkatan Judul Perjanjian, Tempat, dan Tanggal
Perjanjian, serta mengandung dua hal.
a) Komparisi atau suatu bagian dimana pihak-pihak yang melakukan kontrak disebutkan dan
diwakili oleh pihak-pihak yang berhak. Di dalam komparisi ini, para pihak harus diwakili secara
benar untuk menghindari terjadinyadisputes dikemudian hari dan, jika diperlukan, disyaratkan
adanya pembuatan konfirmasi bahwa PT yang bersangkutan dalam tahap pengesahan. Fungsi
komparisi ini adalah sebagai berikut:

Menjelaskan identitas para pihak yang membuat perjanjian.

Dalam kedudukan apa yang bersangkutan bertindak.

Berdasarkan apa kedudukannya tersebut.

Bahwa ia cakap dan berwenag melakukan tindakan hukum yang disebut dalam akta.

Orang yang mempunyai hak untuk melakukan tindakan hukum yang dinyatakan dalam akta.

b)

Premise (whereas clause) atau recital


2. Badan Kontrak, terdiri dari:

a)

Definisi.

b) Substansi kontrak, yaitu maksud dari pihak melakukan kontrak, misalnya pemberian
fasilitas berdasarkan mudharabah, ijarah atau IMBT.

c) Hak dan kewajiban khusus, yaitu hak dan kewajiban yang lahir tergantung dari jenis
kontraknya.
d) Hak dan kewajiban umum, yaitu hak dan kewajiban yang mesti ada pada setiap kontrak
pada umumnya, sehingga harus ditaati.
e) Pernyataan dan jaminan. Bagian ini merupakan suatu dasar yang digunakan suatu pihak
untuk melakukan prestasinya. Dalam hal perjanjian dengan badan hukum, begian ini memuat
pernyataan bahwa perusahaan tersebut harus sudah sah, sudah diberi hak dan wewenang oleh
pihak perusahaan serta bank minta jaminan pada debitur bahwa dengan penandatangan kontrak
ini tidak tergantung pada kontrak lain.
f)
Pernyataan afirmatif (affirmative covenants), yaitu pernyataan yang menegaskan kedaaan
para pihak yang terlibat dalam perjanjian.
g) Pernyataan negatif (negative covenants), yaitu pernyataan yang berisi larangan-larangan.
Misalnya nasabah tidak boleh melakukan hal-hal berikut:

Nasabah tidak boleh melakukan merger atau konsolidasi selama berutang karena akan
dikhawatirkan menimbulkan disputestentang pihak-pihak yang akan menanggung utang
setelahmerger.

Dilarang menjual aset perusahaan yang akan mempengaruhi jalannya perusahaan.

Melakukan pinjaman baru tanpa izin bank.

Tidak menjaminkan aset perusahaan kecuali pada bank sendiri.

Memberikan pembiayaan kepada anak perusahaan.

Membagi deviden, sepanjang persetujuan dari bank.

h)

Pemenuhan prasyarat (conditions precedent).

i)
Wanprestasi. Pada setiap kontrak, terdapat dasar-dasar tertentu untuk pemutusan perjanjian,
tergantung dari tipe-tipe kontraknya. Sanksi-sanksi atas wanprestasi dapat berupa ganti rugi,
pembatalan perjanjian, atau peralihan risiko.
j)
Pemutusan. Dengan dasar wanprestasi tersebut, bank dapat melakukan pemutusan. Akan
tetapi, pada umumnya, pemutusan ini sendiri sulit dilakukan. Sebagai solusinya, bank biasanya
memberikan bantuan manajemen kepada nasabah atau memotong utang yang seharusnya
dibayar.
k) Pilihan hukum. Perjanjian ini tunduk kepada hukum Republik Indonesia. Jika berkaitan
dengan transaksi syariah, ketentuan-ketentuan syariah harus dicantumkan secara jelas dalam
pasal-pasal perjanjian. Bukan dengan mencantumkan kalimat: perjanjian ini tunduk kepada
hukum Republik Indonesia dan hukum syariah.
l)
Pilihan yurisdiksi, yakni memilih badan arbitrase atau pengadilan untuk menyelesaikan
perselisihan jika muncul dikemudian hari. Kontrak tidak boleh menunjuk lembaga arbitrase atau
pengadilan secara bersamaan.

m) Penyelesaian perselisihan.
n)

Penutup.

Bagian ini terdiri dari dua hal, yaitu:


1)

Testimonium Clause, dan

2)

Tanda Tangan(Attestation).

E.

Perbandingan Akad-Akad Pada Perbankan Syariah

Sebagai salah satu konsekuensi dari perbedaan interpretasi tentang paradigma penerapan
akad fiqih, apakah prinsip atau jenis perjanjian, sampai saat ini belum ada keseragaman di antara
bank-bank syariah dalam membuat perjanjian pembiayaan syariah. bahkan, bisa jadi, hal ini
sangat kecil kemungkinannya mengingat keseragaman itu muncul disebabkan banyak faktor,
seperti perbedaan interpretasi hukum dan sebagainya. berikut ini adalah beberapa perbandingan
penerapan akad-akad dalam perjanjian pembiayaan syariah sebagai wacana dan pengembangan
wawasan, sekaligus bahan diskusi untuk penyusunan suatu perjanjian pembiayaan syariah.
Dalam perbandingan ini, salah satu UUS Bank Syariah merupakan representasi dari bank
syariah yang menganut paradigma akad fiqih sebagai prinsip dan UUS Bank Syariah lainnya
merupakan representasi dari bank syariah yang menganut paradigmaakad fiqih sebagai jenis
perjanjian.

F.

Tahap-Tahap Perancangan Kontrak


1.

Tahap pra-perancangan kontrak

a)

Identifikasi para pihak: identitas dan kecakapan para piha

b)

Penelitian awal aspek terkait: unsur pembayaran, ganti rugi dan perpajakan.

c) Pembuatan Memorandum of Understanding (MoU): nota kesepahaman oleh pihak sebelum


kontrak dibuat secara rinci: MoU ini memuat berbagai kesepakatan.
d) Negosiasi: menentukan obyek dan substansi kontrak yang dibuat para pihak. Negosiasi juga
merupakan proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan.
2.

Tahap perancangan kontrak

Tahap ini memerlukan ketelitian para pihak maupun notaris. Tahap ini terdiri dari lima tahapan:
a)

Pembuatan draf kontrak

b)

Saling menukar draf kontrak

c)

Revisi draf kontrak

d)

Penyelesaian akhir atau menyudahi naskah kontrak

e)

penutup
3.

Tahap pasca perancangan kontrak

Setelah kontrak dibuat dan ditandatangani oleh para pihak, ada dua hal yang harus diperhatikan.
a) Pelaksanaan dan penafsiran yang dapat dilaksanakan setelah kontrak disusun. Kadangkadang kontrak yang telah disusun tidak jelas atau tidak lengkap, sehingga masih diperlukannya
penafsiran.
b)

Alternatif penyelesaian sengketa: perdamaian, Arbitrase, Peradilan.

Vous aimerez peut-être aussi