Vous êtes sur la page 1sur 21

1. Prinsip aktivasi dan interkalasi serta jenis padatannya!

PrinsipAktivasi
Menurut Wigmandkk (1985), aktivasi dapat dilakukan melalui:
a. Aktivasi kimia, yaitu menambahkan zat-zat yang dapat mengubah produk
tar pada karbon hasil karbonasi.
b. Aktivasi fisis atau gasifikasi, yaitu menggunakan uapa air atau CO2 atau
kombinasi keduanya sebagai zat pengaktivasi (Wuryandarai, 2000)
Prinsip aktivasi yang dilakukan pada adsorben adalah dengan menggunakan
aktivasi kimia dan fisika, pada aktivasi kimia dilakukan dengan melarutkan
adsorben dalam larutan elektrolit garam CH3COONa, yang bertujuan untuk
melarutkan pengotor-pengotor yang berada dipermukaan adsorben, hal ini
nantinya akan memperluas permukaan pori. Sedangkan untuk aktivasi fisika,
adsorben lempuang alam Riau dipanaskan dalam oven dengan suhu yang
bervariasi. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan uap air yang masih
terperangkap di permukaan adsorben sehingga nantinya luas pori untuk proses
adsobsi menjadi lebih banyak. Pada intinya, prinsip dasar proses aktivasi
adalah bertujuan untuk mengefektifkan proses adsorbsi, karena luas permukaan
adsorben dan porinya menjadi lebih banyak.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah terdapat sedikit perbedaan daya
serap antara lempung alam dan lempung alam teraktivasi. Lempung alam tanpa
aktivasi memiliki daya serap yang lebih tinggi dari pada lempung alam yang
diaktivasi dengan CH3COONa (Gambar 1). Untuk lempung yang diaktivasi
daya serapnya sebesar 0,3187 mg/g, dan lempung alam tanpa aktivasi daya
serapnya adalah 0,3202 mg/g. Hal ini kemungkinan terjadipenutupan pori-pori
lempung oleh molekul CH3COO- pada proses aktivasi sehingga proses adsorpsi
Cu2+ terhalangi oleh keberadaan ion CH3COO-.Lempung yang diaktivasi pada
suhu 100oC memiliki daya serap paling tinggi dibandingkan pada 200 dan
300oC yaitu 0,3218 mg/g. Sedangkan pemanasan lempung pada suhu yang
lebih tinggi.

Gambar 1. Perbandingan daya serap lempung teraktivasi CH3COONa vs


Lempung alam

2. Prinsip Interkalasi
Interkalasi adalah suatu penyisipan terbalikkan spesies kimia (molekul, ion
atau atom) ke dalam ruang antar lapis senyawa berstruktur lapis secara
topokimia (Sugraha, 1988). Kebanyakan senyawa berstruktur lapis memiliki
kemampuan

membentuk

senyawa

interkalasi.

Pembentukan

senyawa

interkalasi mudah diperiksa dengan mengamati perubahan basal spacing atau cspacing dari lost material. Reaksi interkalasi telah banyak digunakan dalam
penerapan pembuatan katalis, adsorben, elektroda, penukar ion dan sebagainya.
Dengan demikian, diperlukan studi tentang reaksi interkalsi dan aplikasinya.
Klasifikasi senyawa interkalasi. Menurut proses pembentukannya, senyawa
interkalasi diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Senyawa interkalasi yang terbentuk dari interkalasi dwikutub atau
pembentukan ikatan hydrogen antara spesies tamu (guest species) dengan
species tuan rumah (host material).
b) Senyawa interkalasi yang terbentuk dari pertukaran ion.
c) Senyawa interkalasi yang terbentuk dari interaksi dwikutub antara spesies
tamu dan ion-ion di dalam ruang antar lapis host material.
d) Senyawa interkalais yang terbentuk dari reaksi transfer muatan antara
spesies tamu dan permukaan lapis pada host layer.

e) Senyawa interkalsi yang terbentuk dari ikatan kovalen antara spesies tamu
dan host layer.
Pada buletin ini senyawa terinterkalasi etilendiamin, Na-bentonit etilendiamin
(bentonit-en) dibuat dengan cara mendispersikan 50 gr Na-bentonit ke dalam
larutan etilendiamin berlebih, diaduk dengan pengaduk magnet selama 48 jam.
Na-bentonit-etilendiamin kemudian disaring dengan penyaring Buchner dan
dicuci dengan aseton, agar Na-bentonit etilendiamin cepat mengering. Nabentonit-en kemudian dikeringkan dengan menggunakan desikator. Senyawa
terinterkalsi tersebut siap digunakan untuk mengikat logam berbahaya (Cr)
berdasarkan hasil pengompleksan. Pembentukan

kompleks Na-bentonit-

etilendiamin dengan logam (Cr) dalam simulasi limbah cair.


3. Mengapa aktivasi ada yang asam dan ada yang basa?
Asam sulfat sebagai aktivator karena mempunyai jumlah ion H+ yang
lebih banyak daripada asam-asam yang lain, serta mempunyai sifat higrokopis
yang dapat menyerap kandungan air yang terdapat pada abu layang . selain itu
tujuan aktivasi kontak asam adalah menukarkan kation yang ada di dalam abu
layang betubara menjadi ion H+ dan melepaskan ion Al, Fe, Mg, dan pengotorpengotor lainnya (mengandung unsur-unsur alkali/ alkali tanah) dari kisi-kisi
struktur, sehingga secara fisik abu layang batubara menjadi lebih luas
permukaan spesifik porinya dan situs aktifnya juga meningkat.
Selama proses aktivasi, pengotor yang terdapat pada permukaan
adsorbe dan menutupi situs aktif dari adsorben, dapat dihilangkan dengan cara
dilarutkan

dengan

asam

sulfat

sehingga

rangkaian

struktur adsorben

mempunyai area yang lebih luas, serta situs aktifnya juga mengalami
peningkatan karena situs yang tersembunyi menjadi terbuka dan kemungkinan
juga akan memunculkan situs aktif baru akibat reaksi pelarutan. Peningkatan
luas permukaan spesifik pori dan situs aktifnya akan dapat meningkatkan
kemampuan adsorpsinya (Widihati, 2008).
Aktivasi secara kimia dilakukan dengan larutan asam (H2SO4) atau basa (NaOH)
dengan tujuan untuk membersihkan permukaan pori, membuang senyawa
pengotor, dan mengatur kembali letak atom yang dapat dipertukarkan. Pereaksi

kimia ditambahkan pada zeolit yang telah disusun dalam suatu tangki dan diaduk
selama jangka waktu tertentu. Zeolit kemudian dicuci dengan air sampai netral
dan selanjutnya dikeringkan.
1. Spektrofotometer Inframerah
Spektrometer Inframerah (IR) sangat penting dalam kimia modern
terutama dalam kimia organik. Spektrofotometer ini merupakan alat rutin untuk
mendeteksi gugus fungsional, mengidentifikasi senyawa, dan menganalisis
campuran.
Spektrometer IR merupakan teknik analisis kimia yang metodenya
berdasarkan pada penyerapan sinar inframerah oleh molekul senyawa.
Spektrokopi ini digunakan untuk penentuan struktur, yakni informasi penting
tentang gugus fungsional suatu molekul. Penentuan struktur ini dilakukan
dengan melihat plot spektrum IR yang terdeteksi oleh alat spektrofotometer IR.
Spektrum ini menyatakan jumlah radiasi IR yang diteruskan melalui cuplikan
sebagai fungsi frekuensi atau bilangan gelombang. Semakin rumit struktur
suatu molekul, semakin banyak bentuk-bentuk vibrasi yang mungkin terjadi.
Akibatnya akan terlihat banyak pita-pita absorpsi yang diperoleh pada
spektrum IR.
Salah satu teknik pengerjaan sampel berupa padatan adalah dengan
teknik KBr pelet. Teknik KBr pelet yaitu padatan sampel digerus dalam mortal
kecil bersama padatan dengan kristal KBr kering dalam jumlah sedikit sekali
(0,5-2 mg cuplikan + 100 mg KBr kering). Campuran tersebut kemudian di
press dengan alat penekan hidrolitik hingga menjadi pelet yang transparan.
KBr harus kering dan akan lebih baik bila penumbukan dilakukan di bawah
lampu IR untuk mencegah terjadinya kondensasi uap dari atmosfer. Tablet
cuplikan tipis tersebut kemudian dinetralkan di tempat sel spektrofotometer IR
dengan lubang mengarah ke dalam radiasi (Sastrohamidjojo, 2001).
Spektrofotometer IR digunakan dalam penelitian ini

untuk

mengetahui karakteristik padatan yang dihasilkan, seperti struktur ikatan dan


gugus fungsi yang terkandung dalam bentonit. Daerah antara 4000 cm -1 dan
3000 cm-1 mencirikan getaran regang dari air terserap dan/atau gugus OH
oktahedral, daerah antara 1400 cm-1 dan 800 cm-1 mencirikan getaran Al-OH
dan/atau Si-O (Tan, 1995).

2. Difraksi Sinar-X
Metode ini merupakan metode yang paling luas digunakan dalam
identifikasi bentonit karena dapat mengetahui jarak pergeseran antar lapis
silikat. Analisis difraksi sinar-X

digunakan untuk karakterisasi adsorben

setelah dilakukan aktivasi, Penelitian yang telah dilakukan Minto, Supeno


(2007) mengaktivasi bentonit menggunakan H2SO4 1,5 M yang bertujuan untuk
meningkatkan jarak antar layer Na-Bentonit berhasil meningkatkan basal
spacing dari 14,9167 menjadi 16,8857 .
Analisis difraksi sinarX merupakan metode yang bersifat tak merusak
yang artinya sampel tidak dipengaruhi oleh analisis dan masih dapat digunakan
untuk analisis lain. Metode difraksi sinar-x tidak dapat diterapkan untuk
analisis sampel yang bersifat amorf atau nonkristalin. Penghamburan sinar-X
oleh unit-unit padatan kristalin akan menghasilkan pola difraksi yang
digunakan untuk menentukan susunan partikel pada kisi padatan.
Fenomena pilarisasi dapat diketahui dengan mengecilnya sudut 2
difraktogram sinar-X yang selanjutnya basal spacing (d001) dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan Bragg. Persamaan Bragg dinyatakan sebagai
berikut :
n = 2 d sin
dengan:
d = Jarak antar bidang atom dalam kristal
= Panjang gelombang
= Sudut difraksi
n = Tingkat difraksi
Bila semakin kecil 2 yang dihasilkan, maka d001 akan semakin besar. Pola
XRD memberikan data berupa jarak interplanar (d spacing), Sudut difraksi
(2), intensitas relatif (I/Io) dan lebar puncak.
Dalam penelitian ini, difraksi sinarX digunakan untuk memberikan
informasi tentang jenis mineral dan tingkat kristalinitas struktur komponen
penyusun sampel. Jenis mineral penyusun sampel ditunjukkan oleh daerah
munculnya puncak 2, sedangkan tingkat kristalinitas struktur komponen
ditunjukkan oleh tinggi rendahnya intensitas puncak. Spektra mineral dari hasil
analisis difraksi sinarX dicocokan nilai 2 nya dengan data JCPDS (Joint

Commite on Powder Diffraction Standards) sehingga akan diketahui jenis


mineral di dalam sampel.
3. Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM merupakan salah satu jenis mikroskop elektron yang menggunakan
berkas elektron untuk menggambarkan profil permukaan benda. Prinsip kerja
SEM adalah menembakkan permukaan benda dengan berkas elektron berenergi
tinggiseperti diilustrasikan pada gambar 7. Permukaan benda yang dikenai
berkas elektron akan memantulkan kembali berkas tersebut atau menghasilkan
elektron sekunder kesegala arah, tetapi ada satu arah dimana berkas
dipantulkan dengan intensitas tinggi. Detektor didalam SEM mendeteksi
elektron yang dipantulkan dan menentukan lokasi berkas yang dipantulkan
dengan intensitas tertinggi. Arah tersebut memberi informasi profil permukaan
benda seperti seberapa landai dan kemana arah kemiringan.

Gambar 2: dalam SEM berkas elektron berenergi tinggi mengenai permukaan


material. Elektron pantulan dipancarkan kembali dengan sudut yang
bergantung pada profil permukaan material. SEM (sumber: Mikrajuddin, 2008)
Alat yang digunakan dalam SEM adalah mikroskop elektron yang
merupakan suatu jenis mikroskop dengan menggunakan elektron untuk
menerangi sebuah spesimen sehingga membuat gambar menjadi diperbesar,
Perbesaran yang dapat dicapai mencapai 2 juta kali, perbesaran maksimum
yang diperoleh tergantung pada spesifikasi alatnya (Nurkayani, 2009).
Pelapisan Permukaan Sampel
Syarat agar SEM dapat menghasilkan citra permukaan yang tajam adalah
permukaan benda harus bersifat sebagai pemantul elektron atau dapat

melepaskan elektron sekunder ketika ditembak dengan berkas elektron.


Material yang memiliki sifat demikian adalah logam. Jika permukaan logam
diamati dibawah SEM maka profil permukaan akan tampak dengan jelas. Jika
permukaannya bukan logam maka permukaan material tersebut harus dilapisi
dengan logam, agar dapat memantulkan berkas elektron seperti diilustrasikan
pada gambar 2.8. Metode pelapisan yang umumnya dilakukan adalah evaporasi
dan spputering.

Gambar 3: permukaan sampel perlu dilapisi logam agar dapat diamati


dengan jelas dibawah SEM (sumber: Mikrajuddin, 2008)
Pada metode evaporasi, material yang akan diamati permukaanya
ditempatkan dalam satu ruang (chamber) bersama dengan material logam
yang akan digunakan sebagai sumber pelapis. Ruang tersebut dapat
divakumkan dan logam pelapis dapat dipanaskan hingga mendekati titik
leleh. Logam pelapis diletakkan diatas filamen pemanas. Mula-mula
chamber divakumkan yang diikuti dengan pemanasan logam pelapis. Atomatom menguap pada permukaan logam. Ketika sampai pada permukaan
material yang memiliki suhu lebih rendah, atom-atom logam terkondensasi
dan membentuk lapisan film tipis dipermukaan material. Agar proses ini
dapat berlangsung efisien, maka logam pelapis yang digunakan harus yang
memiliki titih didih rendah. Contoh logam pelapis yang umum digunakan
adalah emas.

Prinsip kerja sputtering mirip dengan evaporasi. Namun sputtering


dapat berlangsung pada suhu rendah (suhu kamar). Permukaan logam
(material target) ditembak dengan ion gas berenergi tinggi sehingga
terpental keluar dari permukaan logam dan mengisi ruang didalam chamber.
Ketika mengenai permukaan sampel, atom-atom logam tersebut membentuk
fase padat dalam bentuk film tipis. Ketebalan lapisan dikontrol dengan
mengatur lama waktu sputtering gas yang umumnya digunakan dalam
sputtering adalah gas inert (sulit bereaksi), seperti argon. Pemilihan gas
demikian agar yang menempel pada permukaan sampel adalah benar-benar
atom logam dari target, bukan atom gas,
Pada saat pengukuran dengan SEM, lokasi dipermukaan sampel tidak boleh
terlalu lama dikenai berkas elektron. Elektron yang berenergi tinggi pada
berkas dapat mencabut atom-atom dipermukaan sampel sehingga
permukaan tersebut akan rusak dengan cepat. Film tipis dipermukaan
sampel akan menguap dan kembali menjadi isolator. Akhirnya bayangan
yang terekam tiba-tiba menjadi hitam (kabur). Setiap foto SEM memiliki
bar skala yang panjangnya sudah tertentu. Bar skala tersebut menjadi acuan
penentuan ukuran partikel atau profil lainnya yang diamati.
4. Surface Area Anlyzer (SAA)
Surface Area Analyzer (SAA) merupakan salah satu alat yang berfungsi
untuk menentukan luas permukaan, distribusi pori dari suatu material dan
isotherm adsorpsi suatu gas pada suatu bahan. Prinsip kerja dari alat ini yaitu
dengan menggunakan mekanisme adsorpsi gas (nitrogen, argon, helium) pada
permukaan suatu bahan padat dengan suhu konstan yaitu pada suhu didih dari
gas tersebut. Alat ini terdiri dari dua bagian utama yaitu Degasser dan
Analyzer. Degasser berfungsi untuk menghilangkan gas gas yang terjerap
pada permukaan padatan dengan cara memanaskan (degassing) dalam kondisi
vakum selama lebih dari 6 jam dengan suhu berkisar antara 200 300C.
Analyzer merupakan bagian yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya
proses adsorpsi gas oleh sampel. Proses analisis dapat berlangsung antara 1 jam
hingga 3 hari untuk satu sampel. Data yang dihasilkan berupa jumlah gas
teradsorpsi pada berbagai titik isotermis (P/P0) dan dapat diolah menjadi data

luas permukaan dan ukuran pori dengan mengunakan teori isoterm BET
(Brunaeur-Emmet-Teller).
Teori isoterm BET menganggap bahwa adsorpsi dapat terjadi di atas
lapisan adsorbat monolayer sehingga membentuk lapisan multilayer.
Keseluruhan proses adsorpsi dapat dijelaskan sebagai berikut :
lapisan adsorbat multilayer

adsorben
Gambar 4: Pendekatan isoterm adsorpsi BET

1.

Penempelan molekul pada permukaan padatan (adsorben) membentuk

2.

lapisan monolayer
Penempelan molekul pada lapisan monolayer membentuk lapisan
multilayer
Brunauer, Emmett dan Teller (BET) mengusulkan suatu persamaan
adsorpsi isotermis dengan asumsi bahwa permukaan zat padat tidak akan
tertutup secara sempurna selama

tekanan uap jenuh belum tercapai.

Persamaan BET dapat dituliskan sebagai berikut


Po
( 1)
P

W
1

dimana:
W = Massa gas yang teradsorpsi (gram) pada tekanan relatif P/P0
Wm = Massa gas yang membentuk lapisan monolayer pada
permukaan zat padat (gram)
P
= Tekanan gas pada kesetimbangan (mmHg)
Po = Tekanan uap jenuh adsorpsi (mmHg)
P/P0 = Tekanan relatif adsorpsi
c
= konstanta BET
Wm dapat ditentukan dari penggabungan slope (s) dan intersep (i) dari persamaan
BET, sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut :

C1
Wm . C

Slope, s =

1
Wm . C

Intersep, i =
Wm =

1
s+i

Nilai Wm yang telah diketahui, digunakan untuk menentukan besarnya


nilai luas permukaan total (St). Pada aplikasi BET dapat digunakan persamaan
sebagai berikut :
St =

( Wm . N . Acs )
M

Dengan St
= luas permukaan total (m2/gram)
N
= bilangan Avogadro (6,023 x 1023 molekul/mol)
M
= massa molekul gas nitrogen yang digunakan
Wm = massa gas nitrogen (gram)
Acs = cross section area untuk gas nitrogen (10,2 )
Persamaan yang menghubungkan ukuran pori dengan jumlah gas
teradsoprsi pada P/Po tertentu ialah :
P 2. . Vm
ln
=
Po r . R .T
Dengan P/Po

Vm
R
r
T

= Tekanan relatif adsorpsi (mmHg)


= tegangan permukaan
= volume molar
= konstanta gas universal
= jari jar i pori ()
= suhu (K)

1. Analisis dengan spektroskopi infra merah (IR)


Spektroskopi inframerah merupakan salah satu metode analisis
yang umum digunakan untuk mengkaji perubahan struktur bentonit.
Spektra inframerah ini dapat mengetahui keberadaan gugus-gugus
fungsional utama di dalam struktur senyawa yang diidentifikasi. Metode
analisis spektrokopi inframerah bermanfaat untuk melengkapi data
karakteristik difraksi sinar-X, surface area anlyzer, dan hasil scanning
electron microscopy. Identifikasi yang dihasilkan lebih bersifat kualitatif
yakni pengenalan keberadaan gugus-gugus fungsional yang ada.

Gambar 5: Spektra IR (a) Na-Bentonit, (b) Na-bentonit H2SO4

Tabel 1: Interpretasi spekta Na-bentonit dan Na-bentonit H2SO4


No
1
2
3
4
5
6
7

Panjang Gelombang (cm-1)


Gugus fungsional
Hasil analisis
Interpretasi
(a) 3439,9
3500 - 3200
Vibrasi Ikatan H
(b) 3443,6
(a) 1640,7
1637,5 - 1641
Montmorillonit
(b) 1640,1
(a) 1445,9
1400 -1500
Regangan O - H
(a) 1035,7
1035 - 1045
Renggangan asimetris Si-O-Si
(b) 1038,9
Montmorillonit dan vibrasi
(a) 924,9
913 - 927
(b) 921,2
tekuk Al-O-Al
(a) 872,4
850 - 950
Regangan C - H
(a) 786,2
785 - 790
Karakteristik SiO2
(b) 786,2
Pada spektrum bentonit terlihat adanya pita lebar pada bilangan
gelombang 3439,9 cm-1 yang merupakan vibrasi ulur gugus -OH.
Pelebaran pita ini disebabkan banyaknya molekul air yang terkandung

dalam kerangka bentonit. Bilangan gelombang 1640,7 cm-1 menunjukkan


Montmorollonit. Pita serapan pada bilangan gelombang 1038,9 cm-1
diakibatkan oleh vibrasi ulur Si-O dari Si-O-Si yang teramati sebagai
puncak serapan yang lebar dengan intensitas yang tajam. Pita serapan pada
bilangan gelombang 921,2 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi tekuk Al-OAl.
Pada gambar 5 juga terlihat perbedaan puncak gugus fungsional
pada Na-bentonit dan Na-bentonit teraktivasi asam sulfat, seperti yang
terlihat pada puncak 1445,9 cm-1 dan 872,4 cm-1 yang terdapat pada Nabentonit tetapi tidak terdapat pada bentonit aktif, hal ini dikarenakan
terjadi pelepasan pengotor-pengotor dari kisi-kisi struktur, sehingga secara
fisiknya bentonit tersebut menjadi aktif. sedangkan mineral khas dari
bentonit yaitu mineral monmorillonit tetap dipertahankan, hal ini teramati
pada bilangan gelombang 1640,1 cm-1 dan 921,3 cm-1.
2. Analisis dengan X-Ray Diffraction (XRD)
Identifikasi komposisi

senyawa penyusun bentonit dengan

menggunakan metode difraksi sinar X yaitu dengan cara membandingkan


nilai 2 dari sampel dengan 2 dari standar. Identifikasi juga dapat di
lakukan dengan cara membandingkan nilai d-spacing untuk puncak
puncak difraktogram bentonit dengan nilai d-spacing dari standar JCPDS
(Joint Committee for Powder Diffraction Standart). Jika nilai 2 dan nilai
d-spacing diantara puncak-puncak bidang difraksi sampel dan standar
relatif sama atau mendekati nilainya, maka dapat disimpulkan puncak
puncak tersebut dihasilkan dari bidang difraksi yang sama pada mineral
yang sejenis.
Untuk mengetahui kekristalan dari bentonit, dapat dilihat dari nilai
intensitas relatif yang dihasilkan pada difraktogram. Sampel dengan
kekristalan tinggi, meskipun jumlahnya sedikit akan memberikan
intensitas yang tinggi dan tajam.

Gambar 6: a) difraktogram Na-bentonit ; b) difraktogram Na-bentonit aktif


Berdasarkan difraktogram pada gambar 10 di atas, maka dapat
diperoleh data yang terangkum pada tabel sebagai berikut:
Tabel 2 : Data analisis difraktogram Na-bentonit dan Na-bentonit aktif

Mineral

2 (o)

Montmorillonit
Quartz (SiO2)
Halloysite (Al2O3)

Na-bentonit
dRelative
spacing Intensity
()
(%)

19,80
39,44
25,26
68,28
33,19
73,43

4,47
2,28
3,52
1,37
2,69
1,28

100,00
29,09
22,79
8,88
12,74
26,97

Na-bentonit aktif
dRelative
2 (o)
spacing Intensity
()
(%)
19,80
35,04
20,93
68,30
33,20
73,70

4,47
2,55
4,23
1,37
2,69
1,28

100,00
47,54
33,67
9,24
23,11
20,45

Tabel diatas menunjukkan bahwa setelah aktivasi, bentonit tidak banyak


mengalami perubahan struktur, hal ini ditunjukkan dengan peningkatan dspacing yang relatif kecil hanya pada beberapa mineral, seperti pada
montmorillonit, d = 2,28

(2 = 39,44 o) meningkat menjadi d = 2,55

(2 = 35,04 o). Hal ini juga terjadi pada minerak kuarsa (SiO 2) yang

mengalami peningkatan d-spacing dari 3,52


menjadi d = 4,23

(2 = 25,26 o) meningkat

(2 = 20,93 o).

Perbedaan yang terlihat jelas dari tabel di atas adalah adanya


peningkatan intensitas reatif pada semua jenis mineral yang terkandung
dalam bentonit, hal ini dikarenakan setelah diaktivasi menggunakan asam,
pengotor-pengotor yang menempel pada permukaan dan kisi-kisi bentonit
hilang, sehingga bentonit menjadi lebih bersih dan lebih kristal.
Intensitas puncak dalam suatu difaktogram memberikan gambaran
tentang derajat kristalinitas suatu komponen mineral dalam bentonit. Pada
gambar 6 terlihat bahwa intensitas mineral Montmorllonit lebih tinggi dari
pada mineral penyusun lainnya, hal ini menunjukkan bahwa mineral yang
paling banyak terkandung dalam bentonit adalah montmorillonit.
3. Analisis dengan Scanning Electron Microscopy (SEM)
Analisis scanning electron microscopy dari Na-bentonit dan Nabentonit teraktivasi ditunjukkan pada gambar 7. Dari hasil pengukuran
SEM diharapkan dapat diketahui perubahan yang terjadi pada permukaan
Na-bentonit dan Na-bentonit teraktivasi karena fungsi SEM adalah untuk
memvisualisasikan permukaan suatu materi dengan menembakkan
elektron.

Gambar 7: A) foto SEM Na-bentonit perbesaran 1000 kali ; B) foto


SEM Na-bentonit perbesaran 5000 kali ; C) foto SEM Na-bentonit
teraktivasi perbesaran 1000 kali ; D) foto SEM Na-bentonit teraktivasi
perbesaran 5000 kali
Tujuan dari aktivasi menggunakan asam adalah melepaskan ion Al,
Fe dan Mg dan pengotor-pengotor lainnya dari kisi-kisi struktur, sehingga
secara fisiknya bentonit tersebut menjadi aktif dan diharapkan pori akan
menjadi lebih terbuka, hal ini ditunjukkan dengan gambar A dan C yang
memperlihatkan adanya perubahan pada Na-bentonit sebelum dan sesudah
diaktivasi. Dapat dilihat bahwa pori pada bentonit (berwarna hitam)
menjadi lebih banyak dan lebih besar. Gambar B yang merupakan bentonit
sebelum diaktivasi dilihat dengan SEM pada perbesaran 5000 kali
menunjukkan masih banyak pengotor yang menempel pada permukaan,
sedangkan gambar D yang merupakan bentonit teraktivasi menunjukkan
bahwa pengotor-pengotor tersebut hilang, permukaan menjadi lebih halus
dan bersih. Pori-pori yang lebih besar pada permukaan bentonit teraktivasi
memungkinkan material ini melakukan kinerja adsorpsi dengan lebih baik
dibandingkan dengan bentonit yang belum teraktivasi.

4. Analisis dengan Surface Area Analyzer (SAA)


Hasil analisis luas permukaan, volume total pori, dan rata-rata
jari pori dilakukan dengan menggunakan surface area analyzer, hasil yang
didapat menunjukkan bahwa bentonit yang telah diaktivasi dengan asam
mempunyai luas permukaan, volume total pori, dan rata-rata jari pori yang
lebih besar daripada bentonit sebelum diaktivasi.
Tabel 3: Hasil Analisis Na-bentonit dan Na-bentonit teraktivasi asam
dengan Menggunakan Surface Area Analyzer
Rata-rata Jari Pori (

Luas Permukaan

Volume Total Pori

(m2/g)

(ml/g)

Na-bentonit

37,624

27,4 . 10-3

14,5810

Na-bentonit teraktivasi asam

90,718

150,4 . 10-3

33,1567

Perlakuan

Peningkatan luas permukaan dan volume total pori pada


bentonit teraktivasi asam dikarenakan pengontakan bentonit dengan asam
dapat melepaskan ion Al, Fe dan Mg dan pengotor-pengotor lainnya dari
kisi-kisi struktur, volume pori meningkat karena pengotor di dalamnya
telah hilang dan kisi kristal menjadi lebih bersih, jari-jari juga meningkat
karena pengotor yang biasanya mempersempit diameter pada pori bentonit
telah hilang pada saat pengontakan dengan asam. Peningkatan luas
permukaan adsorben berpeluang untuk memperbesar jumlah adsorbat yang
dapat diadsorpsi, volume pori dan jari-jari yang besar pada adsorben juga
memungkinkan ruang yang yang besar untuk mengikat adsorbat, sehingga
jumlah adsorbat yang didapat juga meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Sartrowardoyo, Pratomo Budiman. 2007. Serapan Kadmium pada NaBentonit. Tanggerang: Jurnal Teknologi Pengolahan Limbah, Pusat
Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN.
Stuart, Barbara. Infrared Spectroscopy: Fundamentals and Applications.
Wiley.
Supeno, Minto. 2007. Bentonit Alam Terpilar Sebagai Material Katalis/CoKatalis Pembuatan Gas Hidrogen dan Oksigen dari Air. Disertasi.
Medan: Universitas Sumatra Utara.
Wibowo, Subekti. 2010. Pemanfaatan Bentonit Terpilarisasi sebagai Katalis
Reaksi Esterifikasi Langsung Senyawa Tabir Surya Oktil pMetoksisinamat dari Asam p-Metoksisinamat. Skripsi. Surabaya:
Universitas Negeri Surabaya.
Widihati, Gede. 2009. Adsorpsi Ion Pb2+ oleh Lempung Terinterkalasi
Surfaktan. Jurnal Kimia 3 no 1. Hal 27-32.
Wigati. 1998. Karakteristika Pertukaran Kation Fe(III) pada Bentonit. Skipsi.
Surabaya: Jurusan Kimia UNAIR..
Wijaya, Karna, Ani Setyo P, Sri Sudiono, Emi Nurrahmi. 2002. Studi
Stabilitas Termal dan Asam Lempung Bentonit. Indonesia Journal of
Chemistry, Vol. 2, No. 2, hal. 20-25.
Wijaya, Karna, Iqbal Tahir dan Nanik Haryanti. 2005. Sintesis Fe2O3Montmorilonit dan Aplikasinya sebagai Fotokatalis untuk Degradasi
Zat Pewarna Congo Red. Indo. J. Chem: hal. 41-47.
Yanti. 2009. Pilarisasi Bentonit Clay dan Apikasinya dalam Penghilangan
Warna pada Limbah Industri Tekstil. Skripsi. Surabaya: UBAYA

LAMPIRAN 1
Hasil Analisis Infrared Spektrofotometri

LAMPIRAN 2
Hasil Analisis X-Ray Difraktometer

Vous aimerez peut-être aussi