Vous êtes sur la page 1sur 9

Deteksi antigen dengan cara nefelometri

Bila antigen ditambahkan ke dalam larutan dengan antibodi berlebih membentuk


kompleks, diukur dengan sebaran sinar nefelometer menunjukan hubungan linear
dengan konsentrasi antigen
Neflometri dapat menggantikan SRID (Single Radial Immunodiffusion) untuk
pengukuran imunoglobulin,C3, CRP
Jumlah sample yang dapat diukur 1 - 10 l
Sample tanpa antobodi sebagai blank, lebih baik mengikuti kecepatan pembentukan
kompleks yang berbanding lurus dengan konsentrasi antigen sehingga tidak
memerlukan balnk
Untuk memastikan penukuran antigen terjadi saat antibodi berlebih, dianjurkan untuk
menambahkan tes kontrol berisi antigen
Analisa Imunopresipitat dan imunoblot dengan menggunakan sodium dodecyl
sulfate-polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE)
Denaturasi protein oleh SDS, protein dengan ukuran besar lebih kuat berikatan
dengan SDS, Muatan proteinnya makin negatif
Protein dengan ukuran berbeda dipisahkan dengan elektroforesis dalam gel seperti
polyacrilamide (atas dasar muatan masing2)
Bila satu atau lebih antigen diberi petanda radioaktif dicampur antibodi, kemudian
dipresipitasikan menggunakan anti Ig seperti protein A stafilokok, dilewatkan SDSPAGE dan disusul autoradiografi maka akan terlihat jumlah antigen dan BM dari tiap
antigen.
Setelah antigen dipisahkan dari kompleknya dalm SDS-PAGE di blot melalui reaksi
tidak spesifik

pada kertas nitroselulosa dengan cara transverse electrophoresis

(Western blots), dideteksi menggunakan antigen dengan petanda dan disusul


pengecatan
Cara imunoblot digunakan secara luas, sepertipada identifikasi komponen
nitrofilamen yang telah dipisahkn melalui SDS-PAGE.
Cara ini tidak tepat pada antigen yang dapat didenaturasi oleh detergen secara

ireversible dan jalan terbaik adalah menggunakan antisera poliklonal pada blotting
untuk meningkatkan antibodi yang bereaksi dengan epitop besar, tidak dirusak saat
denaturasi.
Spektrotipe antiserum dapat dilihat melalui soelectric-focussing, blotting, di susul
pengecatan dengan antigen yang diberi petanda.
Tes imunologik untuk deteksi antigen
Analit besar, seperti protein hormon, biasanya diukur dengan non-competitive two
site assay (=tes non kompetitif pada dua lokasi), baik pengikat ligan maupun reagen
berpetanda untuk deteksi adalah antibodi.
Dengan menggunakan antibodi terhadap 2 epitop berbeda analit tersebut, bila reaksi
silang antibodi pertama dan antibodi kedua adalah masing-masing 0,1, maka reaksi
silang yang dihasilkan adalah 0,1 x 0,1 = 1%
Untuk molekul kecil seperti obat atau hormon steroid two site binding assay tidak
praktis, tes kompetitif lebih tepat
Tes imunologik menggunakan microspot ganda
Bila jumlah antibodi dalam microspot sangat kecil, fractional occupancy tidak
tergantung pada jumlah antibodi dan vulume analit (the ambient analite principle).
Sensitivitas dapat dibandingkan dengan tes imunologik yang terbaik dan dengan cara
miniaturisasi, kesatuan microspot yang menangkap antibodi dari berbagai spesifisitas
dapat ditempatkan pada chip sehingga membuka kemungkinan untuk melakukan
penapisan berbagai analit dalam 1 macam tes dan identifikasi tiap analit dapat
ditentukan dengan melihat hubungan dalam jaring kesatuan tersebut.
Pemetaan Epitop
1. Epitop sel T
Epitop sel T merupakan peptide linear dan diketahui urutan protein primer
Dengan menggunakan multipin solid phase synthesis (=sintesa fase padat jarum
multipel), sekumpulan peptida yang saling tumpang tindih, 9 mer untuk sel T
sitotoksik dan umumnya 12 mer untuk T-helper dapat dihasilkan dan

kemampuannya untuk bereaksi dengan antigen sel T spesifik, T-cell line dan klon
memungkinkan karakterisasi epitop aktif.
Menentukan berbagai epitop sel T dengan antigen yang tidak diketahui
karakterisasi,sulit dilaksanan. Diharapkan dapat digunakan sel T untuk melakukan
penapisan kepustakaan DNA yang dibuat terhadap antigen tertentu.
2. Epitop sel B
Kebanyakan epitop yang dikenal antibodi tidak berkesinambungan. Susunan kecil
yang linear umunya merupakan epitop yang tidak berkesinambungan maka
pendekatan melalui peptida tumpang tindih lebih mungkin.
Pendekatan potensial untuk mengatasi maslah ini ialah meniru residu mengandung
epitop (disebut geysen; mimotop) melalui produksi dari pustaka bakteriofaga yang
mengandung semua heksapeptida yang ada, didapatkan dengan melakukan ligasi
sisipan oligonukleotida yang degeneratif (menyandi heksapeptida) terhadap protein
yang melapisi bakteriofaga dalam vektor. Ekspesi E. Coli dapat menghasilkan sampai
109 klon.
Keistimewaan sistem ini adalah bakteriofaga yang mengekspesikan heksapeptida
pada lapisan luar protein, juga mengandung sesuatu yang menyandi heksapeptida
pada genomnya.
Seleksi yang terjadi berurutan yaitu faga bereaksi dengan antibodi monoklonal yang
terikat dengan biotin dan kemudian diikatkan pada lempeng streptavudin,
memisahkan peptida yang menyerupai epitop yang dikenal monoklonal diatas,
penyusunan nukleotida memungkinkan ditentukannya struktur peptida
DETEKSI KOMPLEKS IMUN
Banyak teknik yang dapat dipakai untuk deteksi kompleks yag beredar, kemampuan
mengikat komplemen dan kelas Ig, sebaiknya menggunakan lebih dari 1 cara :
1. Presipitasi kompleks IgG serum pada konsentrasi polietilenglikol yang tidak
mengendapkan jumlah IgG monometer yang berarti, diikuti dengan penghitungan IgG
dalam presipitat dengan SRID atau nefelometri laser
2. Ikatan kompleks yang mengandung C3b pada manik-manik yang dilapisi conglutinin

sapi dan pengukuran Ig yang terikat anti Ig yang dilabel dengan enzim.
Cara lain :
a. Pengukuran 125I-Cl q pada kompleks dengan cara ko-presipitasi dengan polietilenglikol
b. Inhibisi agregasi partikel yang dilapisi IgG adalah kompleks faktor rhematoid
c. Deteksi kompleks dalam serum yang mampu berikatan dengan C3b reseptor (lebih
jarang dengan Fc) pada Raji cell line dengan anti-Ig yang diberi petanda radioaktif.
Serum pasien dengan penyakit kompleks imun sering membentuk kriopresipitat bila
dibiarkan pada suhu 4oC
Kompleks

yang

terikat

pada

jaringan

dapat

dilihat

dengan

pengecatan

imunofluorescen pada biopsi dengan konjugat anti-imunoglobulin dan anti C3


PEMBUATAN ANTIBODI SESUAI PESANAN
Revolusi adanya antibodi monoklonal
Ditemukan oleh Milstein & kohler mengembangkan produksi klon immortal yang
menghasilkan 1 macam antibodi spesifik dengan cara melakukan fusi sel pembentuk
antibodi yang normal dengan tumor line sel B tertentu.
Hibridoma ini diseleksi dalam kultur jaringan yang tidak dapat menopang kehidupan
sel induknya dan dengan pengenceran atau plating out, dapat didapat satu klon. Klon
ini dapat ditumbuhkan dalam cairan ascites tikus sehingga titer antibodi monoklonal
yang tinggi dihasilkan.
Berbeda dengan antibodi monoklonal, semua molekul yang dihasilkan adalah
identik; sama dalam kelas Ig dan alotip, bagian variabel, struktur, idiotip, afinitas dan
spesifitas terhadap epitop tertentu.
Adanya sifat tidak spesifik Ig terhadap antigen menyebabkan ikatan non spesifik
dalam tes imunologik cukup tinggi, maslah ini dapat dikurangi dengan adanya
antibodi monoklonal, karena semua Ig adalah antibodi, memberikan ratio
signal:ratio yang lebih baik
Antibodi monoklonal monoklonal lebih mungkin menghasilkan antibodi spesifik
terhadap satu komponen dari campuran antigen dibandingkan cara konvensional.

Beberapa aplikasi antibodi monoklonal


PENGHITUNGAN
SUPPOPULASI
LIMFOSIT
MANUSIA

Anti-CD3 menentukan semua sel T matang


Anti-CD4 menentukan subset Th
Anti-CD8 menentukan sel T supresor
Sitotoksik

DEPLESI SEL

Campuran monoklonal anti-CD3 dan komplemen membunuh sel T dalam


sumsum tulang untuk mencegah reaksi penolakn graft oleh penjamu

ISOLASI SEL

Memperkaya sel induk sumsum tulang dengan menggunakan anti-CD34


dalam FACS

IMUNOSUPRESI

Anti-CD3 menekan fungsi sel T


Anti-CD4 merangsang toleransi

IMUNISASI PASIF

Titer tinggi monoklonal manusia antimikrobo menimbulkan proteksi pasif

FUNGSI PETANDA PADA MOLEKUL


SEL PERMUKAAN

Anti-CD8 menghambat kemampuan membunuh sel T sitotoksik


Monoklonal anti-MHC kelas II menghambat respon sel T terhadap antigen
yang diproses makrofag

PENGGOLONGAN DARAH

Monoklonal ani-A merupakan reagen standar yang lebih andal daripada


bentuk konvensional

DIAGNOSIS KANKER

Monoklonal anti T-ALL membedakan dari non- T-ALL


Pusat folikel dari sel limfoma dapat ditentukan dengan anti-ALL umum
yang ditandai dengan peroksidase dalam jaringan

PENCITRAAN (MAGING)

Antibodi terhadap antigen karsinoma embrionik yang ditandai radioaktif


dipakai untuk menentukan letak tumor kolon atau penyebaran dengan
scanning

PEMERIKSAAN IMUNOLOGIK

Pembedaan yang baik terhadap beberapa antigen dengan lokalisasi berbeda


menggunakan monoklonal dengan cara non kompetitif

ANALISA BERAGAM ANTIGEN

Identifikasi antigen parasit yang protektif untuk produksi vaksin


identifikasi plak antigen pada reseptor asetil kolin pada miastenia gravis
eksperimental

PEMURNIAN ANTIGEN

Isolasi dari campuran dengan monoklonal pada kolom afinitas

ANALISA HUBUNGAN EMBRIOLOGI

Penggunaan monoklonal yang berbeda terhadap neuron dari neutral tube


dan neural crest untuk membedakan secara embriologik sel-sel dalam
sistem saraf

MUTAN MONOKLONAL

Mutan tanpa struktur Fc digunakan pada netralisasi in vivo obat-obat


toksik seperti keracunan digoksin, atau menentukan fungsi biologik
domain Fc

ANTIBODI REKAYASA GENETIKA

Transfer CDR tikus pada Ig manusia


Perubahan isotip Fc meningkatkan fungsi tertentu

HIBRIDOMA YANG DIFUSIKAN

Produksi antibodi dengan spesifitasi ganda

ANALISA RESPON IMUN

Hibridoma yang dibuat saat terjadinya respons imun menggambarkan saat


terjadinya repertoire dsn mutasi (alasan sebenarnya pengembangan
teknologi hibridoms)

ENZIM BUATAN (ABZYME)

Antibodi monoklonal yang mengenal tahap peralihan bahan yang bereaksi


dalam reaksi bolak balik mirip enzim-dini, namun potensi besar

Abzymes
Antibodi monoklonal terhadap suatu bentuk stabil transisi suatu reaksi tertentu dapat
berfungsi sebagai enzimndalam proses katalisasi reaksi
Baru-baru ini ditunjukan terjadinya pemisahan peptida spesifik oleh antibodi yang
mengandung cofaktor kompleks metal, meningkatkan kecepatan reaksi cognoscenti.
Reaksi ini merupakan reaksi yang sulit dan penih energi
Autoabzyme (sic) yang mengkatalisa pemisahan peptida vasoaktif intestinal
(mediator saraf dari non adrenergik, relaksasi non kolinergik dari otot polos saluran
napas) ditemukan dalam IgG 16% penderita asma dewasa dan orang sehat yang
berolahraga berat.
Autoantibodi pada orang non asmatik terikat pada inhibitor kecil dan mempunyai
afinitas yang rendah , namun masih merupakan pertanyaan apanyang masih
tersembunyi dalam kabut peredaran darah manusia.
Antibodi monoklonal manusia
Antibodi monoklonal tikus yang disuntikan ke manusia untuk tujuan pengobatan
adalah imunogenik dan antibodi manusia terhadap tikus (human anti-mouse antibodi
= HAMA) merupakan gangguan sehingga mempercepat hilangnya antibodi
monoklonal dalam darah dan memungkinkan terjadinya hipersensitivitas
Penyingkiran bagian xenogenik (asing) antibodi monoklonal menggantinya dengan
Ig manusia adalah dengan menggunakan teknologi DNA.
Konstruksi domain chimeric Vh dan Vl tikus dipotong menjadi Ch dan Cl pada gen
manusia, menjadikan imunogenitas pada manusia berkurang. Meskipun terjadi
kecendrungan terbentuknya anti idiotip, namun dapat dihindarkan dengan
menggunakan antibodi chimeric yang membawa idiotip yang berbeda yang

diinjeksikan kemudian
Cara terpilih ini telah menghasilkan enam CDR lekosit anti manusia dari tikus yang
disebut Campath-1 yang dicangkokkan pada Ig manusia tanpa kehilangan
spesifitasnya.
Keterbatasan lain adalah sel B darah tepi, reaksi primer dari limfosist darah perifer
dapat dibuat in vitro dengan ditambahkannya metil-O-ester leucine ke dalam biakan,
untuk menyingkirkan monosit, sel NK dan sel-T sitotoksik; dengan demikian dapat
diharapkan pendekatan ini dapat menghasilkan sel B dengan spesifitas yang luas
daripada hibridoma manusia.
Rekayasa antibodi
Cara lain untuk produksi monoklonal manusia, pendekatan biologi molekuler,,
intinya adalah mRNA dari sel B manusia yang telah dirangsang diubah menjadi
cDNA dan gen antibodi atau fargmennya dilipatgandakan dengan PCR (Polymerase
chain reaction).
Combinatorial library yang terdiri ats pasangan acak gen rantai berat dan ringan
menandai repertoire antibodi (atau fargmen) yang besar, tercermin sebagai fusi
protein dengan lapisan berbentuk filamen pIII pada permukaan bakterifaga.
Jumlah yang banyak dari faga yang dihasilkan infeksi E. coli dapat dilekatkan pada
antigen fase padat untuk pemilihan antibodi yang mempunyai afinitas tertinggi yang
melekat pada permukaan. Karena gen yang yang menyandi antibodi dengan afinitas
tinggi ini terdapat dalam fase terpilih, maka dapat segera diklon dan antibodi
didapatkan dalam jumlah berlebihan.
Gen Vh, Vk, dan V dapat diperbanyak dengan PCR dan secara acak dikombinasikan
untuk mendapatkan tantai tunggal Fv yang difusikan pada faga pIII.. Fragmen yang
larut dan terikat pada berbagai macam antigen bisa didapat.
Penghasilan antibodi spesifik mirip dengan afinitas yang dihasilkan reaksi in vivo
dalam arti bahwa antigen merupakan faktor penentu dalam pemilihan responden
dengan afinitas tertinggi.

PEMURNIAN

ANTIGEN

DAN

ANTIBODI

DENGAN

KROMATOGRAFI

AFINITAS
Antigen atau antibodi yang terikat melalui asam amino bebas pada partikel
Sepharose yang diaktifkan dengan sianogen-bromid. Antibodi yang tidak larut dapat
dipakai untuk menarik antigen yang merupakan bagian kompleks untuk dikeluarkan
dari larutan, dengan cara absorbsi pada permukaannya. Sisa yang tidak diperlukan
akan dicuci dan ligan yang diminati dilepaskan dengan merusak ikatan antigenantibodi dengan mengubah pH atau menambahkan ion chaotropic seperti thiosianat.
Antigen imunosorben dapat untuk menyerap antibodi dari campuran dan kemudian
dimurnikan dengan elusi. Daya merusak bahan untuk elusi dapat dihindarkan dengan
mengalirkan antiserum dalam kolom afinitas yang dibuat sedemikian rupa sehingga
ikatan dengan antibodi yang diminati lemah, dalam keadaan demikian, antibodi dapat
ditinggal dalam aliran dan tidak terikat kuat.
Bila campuran protein dipisahkan dengan iso electric focusing dalam pita-pita yang
terpisah, tiap pita dapat digunakan untuk memurnikan antibodi spesifik dengan cara
afinitas dari antiserum poliklonal. Pendekatan ini sangat bermanfaat bila persediaan
antigen sangat terbatas.
NETRALISASI AKTIVITAS BIOLOGIK
Deteksi antibodi
Reaksi biologik dapat dihambat dengan penambahan antibodi spesifik. Aglutinasi sel
darah merah pada interaksi virus influenza dengan reseptor pada permukaan sel
darah merah dapat dihambat dengan antibodi antivirus dan ini dipakai sebagai dasar
deteksi serologik.
Netralisasi dari pertumbuhan bakteriofaga dengan konjugat hapten memungkinkan
tes yang sangat sensitif untuk deteksi anti hapten anti bodi.
Tes untuk deteksi antibodi terhadap antigen Salmonella H yang ada pada flagella
tergantung pada kemampuannya untuk menghambat pergerakan bakteri in vitro.
Antibodi terhadap mikoplasma dapat terlihat melalui efek penghambatan terhadap
metabolisme organisme ini dalam biakan.

Penggunaan antibodi sebagai inhibitor


Pengobatan dengan fragmen Fab antibodi spesifik pada kasus overdosis obat cukup
berhasil dan akan menjadi hal yang praktis bila macam-macam hibridomma dapat
dikembangkan.
Antibodi terhadap hormon seperti insulin dan thyroid stimulating hormon (TSH),
atau terhadap sitokin, dapat digunakan untuk menandai sifat spesifik dari reaksi
biologik in vitro. Contoh, spesifitas reaksi serupa insulin dalam serum terhadap
timbunan lemak epidermis tikus dapat diperiksa melalui efek netralisasi serum.
Antibodi macam ini efektif in vivo dan anti TNF disuntikan pada tikus untuk
mengetahui peran sitokin pada malaria cerebral. Juga sebagai usaha dunia untuk
menekan kepadatan penduduk, usaha ditujukan pula untuk melakukan imunisasi
terhadap chorionic gonadotropin dengan menggunakan fragmen dari rantai yang
diikatkan pada carrier yang sesuai. Hormon ini diperlukan untuk mempertahankan
telur yang telah tertanam.

Vous aimerez peut-être aussi