Vous êtes sur la page 1sur 27

BAB I

PENDAHULUAN

Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung yang
banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari baik pada anak-anak maupun usia
lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi klinis dari suatu
penyakit lain. Kebanyakan kasus ditangani pada pelanan kesehatan primer dan kecil
kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit dan spesialis THT.1,8
Epiktasis diperkirakan terjadi pada 60% warga dunia selama hidupnya dan 6% dari
mereka mencari penanganan medis. Prevalensi epistaksis meningkat pada anak-anak
usia dibawah 10 tahun dan meningkat kembali di usia 35 tahun keatas. Epistaksis
terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada
musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1
dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita.
Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda,
sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit
hipertensi atau arteriosklerosis.1,3
Penyebab terjadinya epiktasis dibagi menjadi dua yaitu secara lokal dan sistemik.
Secara lokal, epistaksis dapat disebabkan oleh trauma, fraktur, reaksi imunologik,
kelainan anatomis hidung, pengunaan nasal spray, benda asing, tumor intranasal, dan
sebagainya. Sedangkan penyebab sistemik terjadinya epistaksis adalah kelainan
vaskuler, keganasan hematologik, blood dyscrasia, alergi, malnutrisi, alkohol,
hipertensi, obat-obatan dan infeksi.2
Kebanyakan kasus epistaksis terjadi pada bagian anterior hidung, dengan perdarahan
yang berasal Pleksus Kiesselbach yang terdiri dari anastomosis pembuluh darah
arteriol di septum nasi. Episktasis posterior umumnya berasal dari kavum nasal
posterior melalui arteri spenopalatina. Epistaksis anterior secara klinis dapat terlihat
1

jelas. Sedangkan epistaksis posterior bisa berlangsung asimptomatik atau dapat secara
diam-diam mengakibatkan mual, hematemesis, anemia, hemoptysis atau melena.1,2
Penanganan utama pada epistaksis adalah kompresi pada lubang hidung dan
memasang tahanan pada lubang hidung dengan mengunakan kain kasa atau kapas
yang telah di basahi nasal dekongestan. Penekanan langsung setidaknya di lakukan
terus menerus selama 5 menit dan sampai 20 menit. Memiringkan kepala ke depan
dapat mencegah darah mengalir ke bagian posterior faring, hal ini mencegah mual
dan obstruksi jalan nafas.2 Edukasi kepada pasien dapat membantu mencegah
terjadinya epitaksis. Diskusi terarah tentang pentingnya mencegah pasien untuk tidak
mengupil, mencegah dari paparan iritan udara, bulu dan asap, dan pengendalian alergi
dapat menurunkan episode terjadinya epistaksis.4,7
Tujuan penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui secara umum mengenai
definisi, anatomi fisiologi, etiologi, klasifikasi, penanganan, dan pencegahan pada
epistaksis.

BAB II
2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIDUNG
2.1.1 Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah
terdiri dari pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum), puncak
hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Hidung
luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan dan
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung
(os nasal), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago
nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang
disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan tepi anterior kartilago
septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Dinding medial
hidung disebut sebagai septum nasi. Septum di bentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulangnya adalah lamina prependikularis, vomer,
krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang
rawannya adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terletak
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka
3

media, lebih kecil lagi ialah konka superior sendangkan yang terkecil
disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.

Gambar 1. Anatomi Cavum Nasi


Konka Inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding
lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Ada 3 meatus
yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak
diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga
hidung.

Pada

meatus

inferior

terdapat

muara

(ostium)

duktus

nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding


lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara dari sinus
frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus superior terletak
diantara konka superior dan konka media. Pada meatus superior terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit
4

dan dibentuk oleh lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak


dari rongga hidung. Lamina kribiformis merupakan lempeng tulang berasal
dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabutserabut saraf olfaktorius. Pada bagian posterior, atap rongga hidung
dibentuk oleh os sfenoid.
2.1.2 Vaskularisasi Hidung
Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri
etmoidalis anterior, arteri etmoidalis posterior (cabang dari arteri
oftalmika),

dan

arteri

sfenopalatina.

Arteri

etmoidalis

anterior

memperdarahi septum bagian superior anterior dan dinding lateral hidung.


Arteri etmoidalis posterior memperdarahi septum bagian superior posterior.
Arteri sfenopalatina terbagi menjadi arteri nasalis posterolateral yang
menuju ke dinding lateral hidung dan arteri septi posterior yang menyebar
pada septum nasi.
Bagian bawah rongga

hidung

mendapat

pendarahan dari cabang

arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan
arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabangcabang arteri fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan
arteri palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach yang letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis.
Vena-vena

hidung

mempunyai

nama

yang

sama

dan

berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar


5

hidung bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan


sinus kavernosus.

Gambar 2. Anatomi vaskuler supplai darah septum nasi

2.2 EPISTAKSIS
2.2.1 DEFINISI
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung,
rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit,
melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir 90 % dapat berhenti
sendiri. Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, dengan puncaknya
terjadi pada anak-anak dan orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada
pelayanan kesehatan primer dan kecil kemungkinan pasien dibawa ke
rumah sakit atau ke spesialis THT. Walaupun kebanyakan kasus yang
terjadi ringan dan bersifat self-limiting, ada beberapa kasus yang berat
dan mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang serius. Penting
sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, di samping perlu
juga menemukan dan mengobati penyebab yang mendasarinya.1,2,9
2.2.2 FAKTOR PENYEBAB
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam
selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari
pembuluh darah Pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach terletak di
septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus
tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis sering kali
timbul spontan tanpa dapat ditelusuri penyebabnya. Epistaksis dapat
ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.
Secara umum penyebab epistaksis dibagi dua yaitu : 4,6,7
1. Lokal
a. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya
mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan
ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat
seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma
karena sering mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan
perdarahan di mukosa bagian septum anterior. Selain itu
epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau
trauma pembedahan.

Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang


tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau
pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang
mengalami pembengkakan. Bagian anterior septum nasi, bila
mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara
pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung.
Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan
jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang
menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian
perdarahan.
Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma
lokal, misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang
menyebakan trauma pada mukosa hidung. Trauma hidung dan
wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan disebabkan
karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang
terjadi sedikit tetapi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan
perdarahan yang banyak.

Gambar 3. Epistaksis

b. Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal
seperti rhinitis atau sinusitis. Infeksi akan menyebabkan inflamasi
yang akan merusak mukosa. Inflamasi akan menyebabkan
8

peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga


memudahkan terjadinya perdarahan di hidung.7
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit
dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang
bernoda darah, Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan
epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang
abnormal

dan

pembentukan

pembuluh

darah

yang

baru

(neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga memudahkan


terjadinya perdarahan.7

Gambar 4. Epistaksis pada neoplasma


d. Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi
mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat
musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal
selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif
yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh
darah gampang pecah.6,7
e. Deviasi septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan
posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial
tubuh. Selain itu dapat menyebabkan turbulensi udara yang dapat
menyebabkan terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami

ruptur bahkan oleh trauma yang sangat ringan seperti mengosokgosok hidung.7
2. Sistemik
a. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah
perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic
telangiectasia/Osler's disease). Juga sering terjadi pada Von
Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary
adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran
kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudah kan terjadinya
perdarahan.4

Gambar 5. Oslers Disease


Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan
akan menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada dinding
pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti
saat terpotong. Atau dapat rusak di bagian dalam tubuh sehingga
terjadi memar atau perdarahan dalam. Jika pembuluh darah
terluka, ada empat tahap untuk membentuk bekuan darah yang
normal.4,9

10

Gambar 6a. Pembekuan darah

Gambar 6b. Pembekuan

normal

darah tidak normal

Tahap 1

Pembuluh darah terluka dan mulai mengalami

Tahap 2

perdarahan.
Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat

Tahap 3

aliran darah ke daerah yang luka.


Trombosit melekat dan menyebar pada dinding
pembuluh darah yang rusak. Ini disebut adesi
trombosit. Trombosit yang menyebar melepaskan
zat yang mengaktifkan trombosit lain didekatnya
sehingga akan menggumpal membentuk sumbat
trombosit pada tempat yang terluka. Ini disebut

Tahap 4

agregasi trombosit.
Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi
permukaan tempat terjadinya bekuan darah. Protein
pembekuan darah yang beredar dalam darah
diaktifkan pada permukaan trombosit membentuk

jaringan bekuan fibrin.


Protein ini (Faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X, XI, XII dan XIII dan Faktor
Von Willebrand) bekerja seperti kartu domino, dalam reaksi berantai. Ini
disebut cascade. 4,9

11

Gambar 7a. cascade

Gambar 7b. cascade

koagulasi normal

koagulasi hemophilia

VWD dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses


pembekuan

darah. Pada

tahap

ke

3,

seseorang

dapat

berkemungkinan tidak memiliki cukup Faktor Von Willebrand


(VWF) di dalam darahnya atau faktor tersebut tidak berfungsi
secara normal. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai
perekat untuk menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh
darah yang mengalami kerusakan. Trombosit tidak dapat melapisi
dinding pembuluh darah.
Pada tahap ke 4, VWF membawa Faktor VIII. Faktor VIII adalah
salah satu protein yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan
yang kuat. Tanpa adanya faktor VIII dalam dalam jumlah yang
normal maka proses pembekuan darah akan memakan waktu yang
lebih lama. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat
untuk menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh darah
yang mengalami kerusakan.
b. Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis
adalah trombositopenia, hemofilia dan leukemia. Trombosit
adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan
dibentuk

di

sumsum

tulang. Trombosit

berfungsi

untuk

pembekuan darah bila terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh


darah yang rusak akan melepaskan serotonin dan tromboksan
A(prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos dinding
pembuluh darah berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi
12

darah yang hilang. Kemudian trombosit membengkak, menjadi


lengket, dan menempel pada serabut kolagen dinding pembuluh
darah yang rusak dan membentuk plug trombosit. Trombosit juga
akan melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain, sehingga
mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat plug.
Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang
dari 150.000/ l. Trombositopenia akan memperlama waktu
koagulasi dan memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam
pembuluh darah kecil di seluruh tubuh sehingga dapat terjadi
epistaksis pada keadaan trombositopenia.
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang
diturunkan secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur
intrinsik

mekanisme

hemostasis

herediter, dimana

terjadi

defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A)


atau IX (hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak dapat
membeku dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan
darah berjalan amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan
terjadinya epistaksis.
Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel
darah putih yang diproduksi oleh .sumsum tulang (bone marrow).
Sumsum tulang atau bone marrow ini dalam tubuh manusia
memproduksi tiga tipe sel darah diantaranya sel darah putih
(berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah
merah (berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan
trombosit (bagian kecil sel darah yang membantu proses
pembekuan

darah).

Pada

Leukemia

terjadi

peningkatan

pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan atau


gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang
termasuk trombosit. Sehingga terjadi keadaan trombositpenia
yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi.

13

Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon


dapat

pula

mempredisposisi

epistaksis

berulang.

Aspirin

mempunyai efek antiplatelet yaitu dengan menginhibisi produksi


tromboksan, yang pada keadaan normal akan mengikat molekulmolekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada dinding
pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan peoses
pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat terjadi
perdarahan. Oleh karena itu, aspirin dapat menyebabkan
epistaksis.

c. Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi

dan

aterosklerosis,

kelainan
sirosis

pembuluh

hepatis,

darah,

diabetes

seperti
melitus

pada
dapat

menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya


hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik. 4,7
1) Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari
140 mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg.
Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena
kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit
hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah
terus menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh
darah yang tipis.5,12
2) Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika
terjadi keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah
tidak bisa mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan
rupture dari pembuluh darah. 5,12
3) Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein
yang berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk
fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K.
Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein dan vitamin

14

yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga


mudah terjadinya perdarahan. Sehingga epistaksis bisa terjadi
pada penderita sirosis hepatis. 5,8,12
4) Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan
mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang
tinggi dapat menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah
mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah
lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga
menyebabkan basal membran semakin menebal dan lemah.
Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah
sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat
terjadi pada pasien diabetes mellitus. 5,12
d. Infeksi akut
Demam berdarah
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks
antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi pembuluh darah. Kedua faktor tersebut
akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit
terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi
pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP
(adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama
iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES
(reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia.
Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif
(koagulasi

intravaskular

deseminata),

ditandai

dengan

peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga


terjadi penurunan faktor pembekuan. Oleh karena itu epistaksis
sering terjadi pada kasus demam berdarah. 4,6,7
e. Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang
tinggi di pembuluh darah yang menuju ke semua membran

15

mukosa di tubuh termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa


bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis. 4,7
f. Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal
sehingga menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh
darah. Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia dan kematian sel.
Selain itu hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intravascular
yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga
dapat terjadi epistaksis. 5,7,8
2.2.3 PATOFISIOLOGI
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadangkadang sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber
perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior. 1,4,6
1

Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach,


merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak.
Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat
berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan
sederhana.

Gambar 8. Epistaksis anterior


Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri
ethmoid posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang
berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi
dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular.

16

Gambar 9. Epistaksis posterior


2.2.4 PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian
depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung
tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang
terbanyak mengeluarkan darah. Pada anamnesis harus ditanyakan
secara spesifik mengenai beratnya perdarahan, frekuensi, lamanya
perdarahan,

dan

Kebanyakan

kasus

riwayat

perdarahan

epistaksis timbul

hidung

sebelumnya.

sekunder trauma

yang

disebabkan oleh mengorek hidung menahun atau mengorek krusta


yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan.
Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher yang
berkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu,
ditanyakan juga megenai kondisi kesehatan pasien secara umum
yang berkaitan dengan perdarahan misalnya riwayat darah tinggi,
arteriosclerosis, koagulopati, riwayat perdarahan yang memanjang
setelah dilakukan operasi kecil, riwayat penggunaan obat-obatan
seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin, ticlodipin,
serta kebiasaan merokok dan minum- minuman keras.8,10
2. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala,
speculum hidung dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet,
kapas, kain kassa. Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus
17

ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan


pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau
mengeksplorasi sisi dalam hidung. 8 Dengan spekulum hidung dibuka
dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung
baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah
dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk
mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah
hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan
anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2%
yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk
menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh
darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk .Sesudah 10 sampai
15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. 8,10
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah
dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang
berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang
prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan
yang diperlukan berupa: 8,10,11
a

Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara


teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan
septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus
diperiksa dengan cermat.

18

Gambar 10. Rhinoskopi Anterior


b

Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada
pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk
menyingkirkan neoplasma.

Pengukuran tekanan darah


Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis
hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang
hebat dan sering berulang.

Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI


Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali
neoplasma atau infeksi.

Gambar 11. Gambaran sagital MR pada solitary fibrous tumor


dengan masa tumor dan epistaksis dan Gambaran angiogram
angiofibroma juvenil dengan obstruksi hidung dan epistaksis
e

Endoskopi

hidung

untuk

melihat

atau

menyingkirkan

kemungkinan penyakit lainnya.

19

Gambar 12. Tampilan endoskopi epistaksis posterior


f

Skrining terhadap koagulopati


Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu
tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.

2.2.5 PENATALAKSANAAN
Tiga

prinsip

utama

dalam

menanggulangi

epistaksis

yaitu:

menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah


berulangnya epistaksis. Apabila pasien dalam keadaan syok, perbaiki
dulu keadaan umum pasien.7,11
a. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi
duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.11
b. Menghentikan perdarahan11,13
1) Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian
cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit (metode
Trotter)

20

Gambar 13. Metode Trotter

2) Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang


telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/lidokain, serta bantuan
alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah.

Gambar 14. Tampon Anterior

3) Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat


dengan

jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti

20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter.


Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu.
4) Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain
kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat
antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari
kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang cm,
diletakkan berlapis- lapis mulai dari dasar sampai ke puncak
rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat

21

asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari.

Gambar 15. Kauterisasi sumber perdarahan


5) Perdarahan posterior diatasi

dengan

pemasangan

tampon

posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran


lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah
pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon
harus menutup koana (nares posterior).
Langkah-lagkah pemasangan tampon Bellocq antara lain:6,13
a) Dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di
orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut.
b) Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang
terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik
keluar hidung.
c) Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang
jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ini ke
arah nasofaring.
d) Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan
tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang
diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon posterior
terfiksasi.
e) Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan
melalui mulut (tidak

boleh

terlalu

kencang

ditarik)

dan

diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik tampon


keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien dengan tampon
22

Bellocq harus dirawat.

Gambar 16. Tampon Bellocq

5) Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter


Foley dengan balon. Balon diletakkan di nasofaring dan
dikembangkan

dengan

air.

Teknik

sama

dengan

pemasangan tampon Bellocq.

Gambar 17. Balon intranasal (kateter Foley) untuk mengontrol epistaksis

7) Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat


hemostatik. Akan tetapi ada yang berpendapat obat-obat ini
sedikit sekali manfaatnya.
8) Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang

23

tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon posterior. Untuk


itu pasien harus dirujuk ke rumah sakit.
2.2.6 KOMPLIKASI
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha
penanggulangannya. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul
sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah
(bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior
dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole
dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu
kencang ditarik. Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan
anemia. Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan
iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya
kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi
darah.6,8
2.2.7 DIAGNOSIS BANDING
Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah
mengalir keluar dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang
berdarah, perdarahan di basis cranii yang kemudian darah mengalir
melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius.4
2.2.8 PENCEGAHAN
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
epistaksis antara lain:8
a

Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya


dapat dibeli, pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari.
Untuk membuat tetes larutan ini dapat mencampur 1 sendok the
garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu
biarkan sampai hangat kuku.

Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.

24

Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud.
Jangan masukkan cotton bud melebihi 0,5 0,6cm ke dalam hidung.

Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.

Bersin melalui mulut.

Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.

Batasi penggunaan obat obatan yang dapat meningkatkan


perdarahan seperti aspirin atau ibuprofen.

Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat
alergi biasa.

Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering


dan menyebabkan iritasi.

2.2.9 PROGNOSIS
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri.
Pada pasien hipertensi dengan atau tanpa arteriosklerosis, biasanya
perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.6,7

BAB III
KESIMPULAN

Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu penyakit,
yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu.
Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis
disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar yaitu sebab
lokal dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasinya

25

yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam memeriksa pasien dengan
epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam posisi yang memungkinkan
pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri.
Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi
anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus atau dengan
CT-Scan atau MRI, endoskopi, skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat
penyakit pasien.

Tindakan-tindakan yang dilakukan pada epistaksis adalah:

memencet hidung, pemasangan tampon anterior dan posterior, kauterisasi, ligasi


(pengikatan pembuluh darah), embolisasi.
Epsitaksis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan benda keras ke
dalam hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras, bersin
melalui mulut, menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan,
dan terutam berhenti merokok.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD.Rhinology and Sinus Disease


Aproblem-Oriented Aproach. St. Louis, Mosby Inc,1998: 43 9.
2. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis.
Dalam: Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta,
Balai Penerbit FK UI, 1998: 127 31.

26

3. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott Browns
Otolaryngology. Volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort Heinemann, 1997: 119.
4. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi
Keenam, Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III.
Jakarta, Penerbit EGC, 1997.
5. Melia L dan Gerald McGarry. 2008. Epistaksis in adults: a clinical review.
British Journal of Hospital Medicine Vol 69 No 7.
6. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000; 91, 127-31.
7. Suryowati E. Epistaksis. Medical Study Club FKUII. Available from:
http://fkuii.org/tikidownload_wiki_attachment.php?attId=2175&page=LEM
%20FK%20UII.
8. Freeman R. Nosebleed. Health Information Home [serial online] Available
from:http://my.clevelandclinic.org/disorders/Nosebleed/hic_Nosebleed_Epist
axis.aspx.
9. Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology [serial online]. Available
from :http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm.
10. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online].
Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784.
11. Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment.
12. Melia L dan Gerald McGarry. 2008. Epistaksis in adults: a clinical review.
British Journal of Hospital Medicine Vol 69 No 7.
13. Kucik CJ dan Timothy Clenney. 2005. Management of Epistaksis. American
Family Physician Vol 71 No 2.

27

Vous aimerez peut-être aussi