Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung yang
banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari baik pada anak-anak maupun usia
lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi klinis dari suatu
penyakit lain. Kebanyakan kasus ditangani pada pelanan kesehatan primer dan kecil
kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit dan spesialis THT.1,8
Epiktasis diperkirakan terjadi pada 60% warga dunia selama hidupnya dan 6% dari
mereka mencari penanganan medis. Prevalensi epistaksis meningkat pada anak-anak
usia dibawah 10 tahun dan meningkat kembali di usia 35 tahun keatas. Epistaksis
terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada
musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1
dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita.
Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda,
sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit
hipertensi atau arteriosklerosis.1,3
Penyebab terjadinya epiktasis dibagi menjadi dua yaitu secara lokal dan sistemik.
Secara lokal, epistaksis dapat disebabkan oleh trauma, fraktur, reaksi imunologik,
kelainan anatomis hidung, pengunaan nasal spray, benda asing, tumor intranasal, dan
sebagainya. Sedangkan penyebab sistemik terjadinya epistaksis adalah kelainan
vaskuler, keganasan hematologik, blood dyscrasia, alergi, malnutrisi, alkohol,
hipertensi, obat-obatan dan infeksi.2
Kebanyakan kasus epistaksis terjadi pada bagian anterior hidung, dengan perdarahan
yang berasal Pleksus Kiesselbach yang terdiri dari anastomosis pembuluh darah
arteriol di septum nasi. Episktasis posterior umumnya berasal dari kavum nasal
posterior melalui arteri spenopalatina. Epistaksis anterior secara klinis dapat terlihat
1
jelas. Sedangkan epistaksis posterior bisa berlangsung asimptomatik atau dapat secara
diam-diam mengakibatkan mual, hematemesis, anemia, hemoptysis atau melena.1,2
Penanganan utama pada epistaksis adalah kompresi pada lubang hidung dan
memasang tahanan pada lubang hidung dengan mengunakan kain kasa atau kapas
yang telah di basahi nasal dekongestan. Penekanan langsung setidaknya di lakukan
terus menerus selama 5 menit dan sampai 20 menit. Memiringkan kepala ke depan
dapat mencegah darah mengalir ke bagian posterior faring, hal ini mencegah mual
dan obstruksi jalan nafas.2 Edukasi kepada pasien dapat membantu mencegah
terjadinya epitaksis. Diskusi terarah tentang pentingnya mencegah pasien untuk tidak
mengupil, mencegah dari paparan iritan udara, bulu dan asap, dan pengendalian alergi
dapat menurunkan episode terjadinya epistaksis.4,7
Tujuan penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui secara umum mengenai
definisi, anatomi fisiologi, etiologi, klasifikasi, penanganan, dan pencegahan pada
epistaksis.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIDUNG
2.1.1 Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah
terdiri dari pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum), puncak
hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Hidung
luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan dan
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung
(os nasal), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago
nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang
disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan tepi anterior kartilago
septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Dinding medial
hidung disebut sebagai septum nasi. Septum di bentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulangnya adalah lamina prependikularis, vomer,
krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang
rawannya adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terletak
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka
3
media, lebih kecil lagi ialah konka superior sendangkan yang terkecil
disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.
Pada
meatus
inferior
terdapat
muara
(ostium)
duktus
dan
arteri
sfenopalatina.
Arteri
etmoidalis
anterior
hidung
mendapat
arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan
arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabangcabang arteri fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan
arteri palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach yang letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis.
Vena-vena
hidung
mempunyai
nama
yang
sama
dan
berjalan
2.2 EPISTAKSIS
2.2.1 DEFINISI
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung,
rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit,
melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir 90 % dapat berhenti
sendiri. Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, dengan puncaknya
terjadi pada anak-anak dan orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada
pelayanan kesehatan primer dan kecil kemungkinan pasien dibawa ke
rumah sakit atau ke spesialis THT. Walaupun kebanyakan kasus yang
terjadi ringan dan bersifat self-limiting, ada beberapa kasus yang berat
dan mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang serius. Penting
sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, di samping perlu
juga menemukan dan mengobati penyebab yang mendasarinya.1,2,9
2.2.2 FAKTOR PENYEBAB
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam
selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari
pembuluh darah Pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach terletak di
septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus
tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis sering kali
timbul spontan tanpa dapat ditelusuri penyebabnya. Epistaksis dapat
ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.
Secara umum penyebab epistaksis dibagi dua yaitu : 4,6,7
1. Lokal
a. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya
mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan
ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat
seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma
karena sering mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan
perdarahan di mukosa bagian septum anterior. Selain itu
epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau
trauma pembedahan.
Gambar 3. Epistaksis
b. Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal
seperti rhinitis atau sinusitis. Infeksi akan menyebabkan inflamasi
yang akan merusak mukosa. Inflamasi akan menyebabkan
8
dan
pembentukan
pembuluh
darah
yang
baru
ruptur bahkan oleh trauma yang sangat ringan seperti mengosokgosok hidung.7
2. Sistemik
a. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah
perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic
telangiectasia/Osler's disease). Juga sering terjadi pada Von
Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary
adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran
kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudah kan terjadinya
perdarahan.4
10
normal
Tahap 1
Tahap 2
perdarahan.
Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat
Tahap 3
Tahap 4
agregasi trombosit.
Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi
permukaan tempat terjadinya bekuan darah. Protein
pembekuan darah yang beredar dalam darah
diaktifkan pada permukaan trombosit membentuk
11
koagulasi normal
koagulasi hemophilia
darah. Pada
tahap
ke
3,
seseorang
dapat
di
sumsum
tulang. Trombosit
berfungsi
untuk
mekanisme
hemostasis
herediter, dimana
terjadi
darah).
Pada
Leukemia
terjadi
peningkatan
13
pula
mempredisposisi
epistaksis
berulang.
Aspirin
c. Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi
dan
aterosklerosis,
kelainan
sirosis
pembuluh
hepatis,
darah,
diabetes
seperti
melitus
pada
dapat
14
intravaskular
deseminata),
ditandai
dengan
15
16
dan
Kebanyakan
kasus
riwayat
perdarahan
epistaksis timbul
hidung
sebelumnya.
sekunder trauma
yang
18
Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada
pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk
menyingkirkan neoplasma.
Endoskopi
hidung
untuk
melihat
atau
menyingkirkan
19
2.2.5 PENATALAKSANAAN
Tiga
prinsip
utama
dalam
menanggulangi
epistaksis
yaitu:
20
21
dengan
pemasangan
tampon
boleh
terlalu
kencang
ditarik)
dan
dengan
air.
Teknik
sama
dengan
23
24
Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud.
Jangan masukkan cotton bud melebihi 0,5 0,6cm ke dalam hidung.
Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat
alergi biasa.
2.2.9 PROGNOSIS
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri.
Pada pasien hipertensi dengan atau tanpa arteriosklerosis, biasanya
perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.6,7
BAB III
KESIMPULAN
Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu penyakit,
yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu.
Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis
disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar yaitu sebab
lokal dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasinya
25
yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam memeriksa pasien dengan
epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam posisi yang memungkinkan
pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri.
Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi
anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus atau dengan
CT-Scan atau MRI, endoskopi, skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat
penyakit pasien.
DAFTAR PUSTAKA
26
3. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott Browns
Otolaryngology. Volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort Heinemann, 1997: 119.
4. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi
Keenam, Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III.
Jakarta, Penerbit EGC, 1997.
5. Melia L dan Gerald McGarry. 2008. Epistaksis in adults: a clinical review.
British Journal of Hospital Medicine Vol 69 No 7.
6. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000; 91, 127-31.
7. Suryowati E. Epistaksis. Medical Study Club FKUII. Available from:
http://fkuii.org/tikidownload_wiki_attachment.php?attId=2175&page=LEM
%20FK%20UII.
8. Freeman R. Nosebleed. Health Information Home [serial online] Available
from:http://my.clevelandclinic.org/disorders/Nosebleed/hic_Nosebleed_Epist
axis.aspx.
9. Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology [serial online]. Available
from :http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm.
10. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online].
Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784.
11. Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment.
12. Melia L dan Gerald McGarry. 2008. Epistaksis in adults: a clinical review.
British Journal of Hospital Medicine Vol 69 No 7.
13. Kucik CJ dan Timothy Clenney. 2005. Management of Epistaksis. American
Family Physician Vol 71 No 2.
27