Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
TUJUAN PERCOBAAN
Mempelajari perbedaan profil disolusi berbagai obat generik yang sudah
beredar dan membandingkan kemiipan (bioekivalen/BE) antara obat generik
tersebut dengan obat inovator.
II.
PRINSIP PERCOBAAN
II.1.
Disolution Tester
Berdasarkan penentuan konstanta kecepatan disolusi tablet dan kadar
zat yang terdisolusi dalam media dengan pengambilan sample tiap menitnya
pada suhu 37oC.
II.2.
Spektrofotometri
Berdasarkan hukum Lambert-Beer dengan menyatakan bahwa besarnya
TEORI
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting
artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat
tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan
obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat, seperti
kapsul, tablet atau salep (Ansel, 1985).
Menurut BPOM RI, pada produk-produk tertentu bioavailabilitas dapat
ditunjukan dengan fakta yang diperoleh in vitro yang dilakukan dalam lingkungan
seperti in vivo yang sering disebut sebagai disolusi terbanding. Obat-obat ini
bioavailabilitasnya terutama bergantung pada obat yang berada dalam keadaan
terlarut. Laju disolusi obat dari produk obat tersebut diukur in vitro. Data laju
disolusi in vitro harus berhubungan dengan data bioavailabilitas in vivo untuk obat
tersebut (Shargel et.al, 2005).
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam
cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara
1
oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikelpartikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus.
Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau
medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan
dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukan ke dalam beaker glass
yang berisi air atau dimasukan ke dalam saluran cerna (Saluran gastrointestinal),
obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padanya. Kalau tablet
tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi
granul-granul, dan granul-granul mengalami pemecahan menjadi partikel halus.
Disintegrasi, deagregrasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan
melepasnya suatu obat di tempat obat tersebut diberikan (Martin, 2008).
Sejumlah metode untuk menguji disolusi dari tablet dan granul secara in
vitro dapat digunakan metode keranjang dan dayung. Uji hancur pada suatu tablet
didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah menjadi partikel- partikel
kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan
berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji
hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah
kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan bahwa partikelpartikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang
seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi
hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang
diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju
larut obat dalam tablet (Martin, 2008).
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan obat
dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat
berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas
dari berbagai formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu
tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak bila berada di saluran cerna,
menjadi minat utama dari para ahli farmasi (Martin, 2008).
kecepatan yang seharusnya. Untuk itulah sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji
dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet (Martin, 1993).
Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet
diperoleh dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasanmengapa
penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang
diperlukan untuk merencanakan, melakukan, dan mengitepretasi; tingginya
keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian pada manusia; ketepatan yang
rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran; besarnya
diperlukan;
pemakaian
manusia
sebagai
obyek
bagi
biaya yang
penelitian
yang
dalam
disolusi.Untuk
proses
mencapai
keadaan
sink
maka
perbandingan zat aktif dengan volume medium harus dijaga tetap pada
kadar 3-10 kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi suatu
larutan jenuh. Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas
dari medium sebelum digunakan. Gelembung udara yang terjadi dalam
medium karena suhu naik dapat mengangkat tablet, sehingga dapat
menaikkan kecepatan melarut.
C. Kecepatan Perputaran
Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya
kecepatan pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di atas 100
rpm tidak menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membedabedakan hasil kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa kecepatan
pengadukan perlu lebih dari 100 rpm maka lebih baik untuk mengubah
V.
PROSEDUR
Siapkan alat disolusi dan pastikan waterbath dalam alat disolusi telah
mencapai 37o C 0,5o C. Lakukan pengujian dengan medium disolusi dengan
selang waktu yang sama ( 3, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 menit ).
Untuk evaluasi data dibuat grafik hubungan jumlah obat yang terdisolusi
terhadap fungsi waktu. Dihitung kadar larutan dari sampel yang diambil
berdasarkan kurva baku yang telah diperoleh. Interpolasikan data kedalam
persamaan faktor similaritas dan perbedaan.
VI.
Absorbans
(ppm)
2
3
4
5
6
7
8
9
i
0,204
0,304
0,362
0,48
0,555
0,648
0,736
0,848
Kurva Baku
1
0.8
0.6
Absorbansi 0.4
Linear (A)
0.2
0
1
9 10
C (ppm)
Absorbansi
5
10
15
20
25
30
0,326
0,348
0,426
0,436
0,379
0,441
Waktu
(menit
)
5
10
15
20
25
30
Konsentrasi
Faktor
Konsentrasi
(ppm)
3,3878
3,6309
4,4928
4,6033
3,9735
4,6585
pengenceran
100 x
100 x
100 x
100 x
100 x
100 x
(ppm)
338,78
363,09
449,28
460,33
397,35
465,85
Mg
(ppm)
Terdisolusi
338,78
363,09
449,29
460,33
397,73
465,85
304,902 mg
326,781 mg
404,352 mg
414,297 mg
357,615 mg
419,265 mg
Faktor
Mg Terdisolusi
Koreks
Setelah
% Terdisolusi
i
0
1,694
1,825
2,257
2,314
2,000
Koreksi
304,902 mg
328,475 mg
406,177 mg
416,554 mg
359,929 mg
421,265 mg
60,980 %
65,695 %
81,235 %
83,311 %
71,986 %
84,253 %
Absorbansi
Konsentrasi
Faktor
Konsentrasi
(ppm)
Pengenceran
(ppm)
10
5
10
15
20
25
30
0,348
0,399
0,441
0,506
0,500
0,500
3,6309
4,1945
4,6586
5,3768
5,3105
5,3105
100 x
100 x
100 x
100 x
100 x
100 x
363,09
419,45
465,86
537,68
531,05
531,05
Waktu
Mg
Faktor
Mg Terdisolusi
(menit)
5
10
15
20
25
30
(ppm)
363,09
419,45
465,86
537,68
531,05
531,05
Terdisolusi
326,781 mg
377,505 mg
419,274 mg
483,912 mg
477,945 mg
477,945 mg
Koreksi
0
1,815
2,107
2,341
2,701
2,670
Setelah koreksi
326,781 mg
379,320 mg
421,381 mg
486,253 mg
480,646 mg
480,615 mg
% Terdisolusi
65,356 %
75,864 %
84,276 %
97,251 %
96,129 %
96,123 %
120
100
80
60
% disolusi inovator
% disolusi Generik
40
20
0
0
10
15
20
25
30
DATA TEST
% DISOLUSI
65,356 %
75,864 %
84,276 %
97,251 %
96,129 %
96,123 %
11
35
|Rt-Tt|
Rt-Tt
4,376
-4,376
10,169
-10,169
3,041
-3,041
13,940
-13,940
24,143
-24,143
11,870
-11,870
(Rt-Tt)^2
1049,911
(Rt1/n (Sampling
: 5)
1,000
n|Rt-Tt|
nRt
(n|Rt-Tt|)
(1/n)
(Rt-Tt)^2
1049,911 67,589
Tt)^2
4,376
60,980
nRt
447,460
1 + (1/n)
(Rt-Tt)^2
1050,911
19,149
10,169
65,695
[(n|Rt-Tt|)]/[nRt]
0,151
[1 + (1/n)
(Rt-Tt)^2]^-0,5
0,031
103,409
3,041
81,235
4.3.2.
15,094
{[1 + (1/n)
(Rt-Tt)^2]^-0,5[(n|Rt-Tt|)]/[nRt].100
.100}
3,085
9,248
13,940
83,311
log{[171,986
+ (1/n) (Rt-Tt)^2]^-0,5 .100}
0,489 f 1 15,094
194,324
24,143
50 .log{[1+(1/n)
(Rt-Tt)^2]^-0,5 .100}
24,461
582,884
4.3.2.
11,870
84,253
f
2
24,461
140,897
4.3.2.
Perhitungan f1 dan f2 Secara Otomatis (menggunakan aplikasi)
f 1 : 10,83
f 2 : 43,86
Keterangan : Tidak similaritas karena nilai f2 lebih rendah yaitu
43,86, yang seharusnya sama dengan atau lebih besar (f2 : 50
100)
12
13
V.
disolusi terbanding, tujuan dari praktikum ini untuk membedakan profil disolusi
berbagai macam obat generik yang telah beredar di pasaran dengan
membandingkan kemiripannya (bioekivalen) tersebut dengan innovator. Innovator
yang digunakan dalam analisis tersebut adalah Panadol. Uji ekivalensi in vitro itu
sendiri yang selanjutnya disebut uji disolusi terbanding adalah uji disolusi
komparatif yang dilakukan untuk menunjukkan similaritas profil disolusi antara
obat uji dengan obat inovator/komparator.
Langkah pertama yang dilakukan dalam percobaan ini adalah membuat
kurva baku paracetamol. Pembuatan kurva baku ini bertujuan untuk menentuan
persamaan regresi linier yang akan digunakan untuk menentukan kadar atau
konsentrasi sampel yang sudah diukur absorbansinya. Pengukuran absorbansi zat
dengan berbagai variasi konsentrasi tersebut dilakukan pada maksimum atau
panjang gelombang maksimum dari paracetamol yaitu 244nm, akan tetapi hasil
yang di dapatkan yaitu pada panjang gelombang 247nm. Penentuan panjang
gelombang maksimum hal ini dikarenakan suatu panjang gelombang maksimum
memiliki suatu kepekaan yang maksimal agar diperoleh suatu serapan yang
maksimal karena pada panjang gelombang maksimal tersebut kepekaan
pengukurannya pun maksimal (perubahan absorbansi untuk setiap satuan
konsentrasi larutan adalah yang paling besar).
Dalam percobaan ini digunakan variasi konsentrasi zat sebesar 2 ppm, 3
ppm, 4 ppm, 5 ppm, 6 ppm, 7 ppm, 8 ppm dan 9 ppm yang dibuat dari larutan
induk dengan konsentrasi 500 ppm. Nilai absorbansi yang diperoleh dari hasil
pengukuran suatu zat baik larutan baku maupun sampel harus berada pada rentang
0,2-0,8 karena pada rentang serapan tersebut persentase kesalahan analisisnya
masih dalam batas yang dapat diterima yaitu, 0,5-1% sedangkan diluar rentang
tersebut dapat menyebabkan kesalahan fotometrik yang dapat mempengaruhi
keakuratan pengukuran. Persamaan regresi yang diperoleh dari kurva baku adalah
y = 0,0905 + 0,0194 dengan R2 = 0,99782 dari persamaan tersebut dapat
digunakan untuk menghitung konsentrasi sampel untuk menghasilkan % disolusi.
14
Uji disolusi ini didasarkan pada waktu hancurnya suatu tablet paracetamol
di dalam media air dengan alat uji disolusi yang digunakan, dimana tablet tersebut
pecah terlebih dahulu menjadi granul, lalu menjadi serbuk dan menjadi partikel.
Tablet sampel paracetamol kemudian diuji disolusi dengan alat uji disolusi tipe 2
atau yang biasa disebut sebagai metode dayung. Pada uji disolusi media yang
digunakan adalah aquadest yang seharusnya digunakan larutan dapar fosfat pH 5,8
yang menganalogikan kondisi cairan usus tetapi karena air merupakan penyusun
utama cairan tubuh sehingga air dianggap dapat menjadi media disolusi yang baik
dan juga karena pH aquadest yang basa sehingga sesuai dengan kebutuhan media
yang seharusnya, jumlah media yang digunakan adalah 900 ml yang
menganalogikan jumlah cairan tubuh. Ketika pengujian disolusi ini, putaran harus
di perhatikan putaran yang digunakan adalah 50 rpm. Putaran tersebut harus
berada pada rentang 50 100 rpm jika putarannya lebih dari 100 rpm maka %
disolusi yang dihasilkan penyimpangannya akan lebih dari 4% adanya putaran ini
dianalogikan sebagai gerakan peristaltik pada usus. Selain itu, pada uji disolusi
suhu yang dipakai yaitu 37oC, suhu tersebut dapat memudahkan suatu tablet untuk
cepat melarut selain itu suhu yang dipakai 37oC hal ini dikarenakan suhu tubuh
manusia yaitu 37oC. Sedangkan tinggi dasar dayung ke dasar media diatur dengan
jarak 2,5 cm tujuannya untuk memperkecil kemungkinan tablet melayang-layang
selama pengujian dan untuk mencegah terjadinya gesekan antara dasar media
dengan dasar dayung.
Ketika pengambilan cuplikan sampel menurut waktu yang telah ditentukan,
pengambilannya harus berada pada posisi yang sama dan posisi yang baik yaitu
berada pada 10 25 mm dari dinding labu. Jika pengambilan sampel tidak berada
pada tempat yang sama dikhawatirkan kadar yang akan diuji pada
spektrofotometri tidak akan sesuai seharusnya semakin menitnya bertambah maka
semakin besar nilai absorban yang dihasilkan karena makin banyaknya senyawa
yang terlarut dalam media tersebut.
15
VI.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, Howard C., (1985), Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, UI Press,
Jakarta, 91,92.
Anief, Moh., 1997. Ilmu Meracik Obat: Teori dan Praktik. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
Cairns, Donald. 2008. Intisari Kimia Farmasi edisi 2, Alih bahasa oleh Jojor
Simanjuntak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
16
17