Vous êtes sur la page 1sur 15

RMK SAP 8

AKUNTANSI PERBANKAN DAN LPD


SEJARAH KEBERADAAN LEMBAGA PERKREDITAN DESA (LPD)

Oleh:
Kelompok 8

Ratih Jayadiningrat

(1406305066 / 14)

Putu Ayu Titha P.P.

(1406305121 / 20)

Ida Bagus Agung Haridharma Purba

(1406305151 / 26)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS UDAYANA
2016

SEJARAH KEBERADAAN LEMBAGA PERKREDITAN DESA (LPD)


(SAP 8)
A.

Sejarah LPD
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan badan usaha keuangan milik desa yang

melaksanakan kegiatan usaha di lingkungan desa dan untuk krama desa. Sebelum
berdirinya LPD di beberapa desa adat, fasilitas keuangan yang ada di daerah perkotaan di
Bali memang telah menyalurkan kredit bagi masyarakat pedesaan. Namun persyaratan
teknis dan tingkat bunga yang mereka kenakan, biasanya secara rata-rata, sangat sulit untuk
bisa dipenuhi oleh masyarakat. Karena kondisi yang demikian, Gubernur Bali yang pada
waktu itu dijabat oleh Ida Bagus Mantra, menaruh perhatian yang sangat besar terhadap
pentingnya keberadaan fasilitas keuangan, terutama pada masing-masing desa di seluruh
Bali.
Pada bulan Februari 1984, yang pada waktu itu kebetulan ada konprensi kredit
pedesaan di Semarang diselenggarakan oleh Departemen Dalam Negeri RI, Gubernur Bali
mengatur keikutsertaan wakil-wakil dari provinsi Bali. Mereka-mereka tersebut, setelah
konfrensi berakhir, diberi tugas untuk mempersiapkan pembentukan lembaga kredit
pedesaan yang kemudian disebut LPD.
Pada bulan November 1984, Gubernur Bali mengumumkan peraturan sehubungan
dengan pendirian organisasi LPD. (FID, 1992). LPD diputuskan sebagai lembaga
tradisional milik masyarakat melalui desa Adat yang merupakan kelompok keagamaan
tradisional pedesaan. Dipertimbangkan pula, karena desa adat memiliki kebiasaan dan
peraturan tidak tertulis yang menyangkut kegiatan masyarakat dan kekuatan untuk
mengenakan sanksi, maka desa Adat dianggap sebagai organisasi yang tepat untuk
memiliki dan mengontrol LPD. Selanjutnya, selama tahun 1985 sebanyak delapan kantor
yang merupakan pilot proyek telah dibuka, masing-masing satu di setiap kabupaten yang
ada di Bali. Pada saat itu pemerintahan kota Denpasar belum terbentuk.
Setelah tiga tahun berikutnya LPD berkembang pesat di seluruh kabupaten di Bali.
Selama lima tahun berturut-turut, LPD berkembang menjadi 166 buah pada tahun 1988,
kemudian menjadi 265 buah pada tahun 1989, lalu menjadi 356 buah pada tahun 1990 dan
menjadi 494 buah pada tahun 1991. Perkembangan terpesat dengan penambahan tertinggi

sebanyak 137 buah terjadi pada tahun 1992, sehingga sampai dengan akhir tahun tersebut
jumlah LPD di seluruh Bali menjadi 631 buah.
Desa adat di Bali sampai saat ini adalah merupakan pemilik penuh dari LPD yang ada
di desa-desa yang bersangkutan. Kondisi ini dimungkinkan, karena walaupun modal awal
dari setiap pendirian LPD berasal dari pemerintah provinsi dan tambahan dari kabupaten,
status formal dari kedua sumber dana tersebut adalah pinjaman jangka panjang tanpa
bunga. Dalam perkembangannya, kemudian pinjaman tersebut diubah menjadi donasi,
sehingga secara ekuitas, kepemilikan LPD sepenuhnya berada di tangan desa adat.
B.

Kelembagaan LPD
Di Indonesia secara umum lembaga keuangan dikelompokkan menjadi dua, yaitu

lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank. Sebagaimana telah terurai
secara singkat sebelumnya, LPD adalah merupakan Lembaga Keuangan Bukan Bank
(LKBB). Status ini semata-mata disebabkan oleh karena keberadaan LPD yang tidak
termasuk sebagai bank dalam definisi bank sesuai dengan Undang-Undang perbankan
Indonesia. Secara fungsional sebetulnya LPD sama dengan BPR, yaitu menggali dana dari
masyarakat yang mengalami surplus dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat yang
membutuhkan, terutama di daerah pedesaan. Kalau wilayah kerja sebuah LPD terbatas pada
tempat tertentu saja, demikian juga halnya dengan wilayah kerja BPR.
Landasan hukum pertama LPD di Bali adalah Keputusan Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Bali No. 972 Tahun 1984 tentang Pendirian Lembaga Perkreditan Desa tertanggal
1 November 1984. Landasan hukum berikutnya adalah Peraturan Daerah Provinsi Daerah
Tingkat I Bali No. 2 Tahun 1988 tentang Lembaga Perkreditan Desa yang isinya memuat
hal-hal yang lebih terperinci mencakup apa yang telah diatur dalam SK.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali No. 180 Tahun 1989 kemudian
mengatur tentang Pendirian Pusat Lembaga Perkreditan Desa Kecamatan (PLPDK) di
Provinsi Daerah Tingkat I Bali. PLPDK bertugas membina dan mengawasi kegiatan
operasional LPD yang ada dalam wilayah kerjanya. Setiap bulan PLPDK menyampaikan
laporan perkembangan LPD kepada Gubernur, Ketua Bappeda, Bupati, BPD Bali, BPD
Cabang setempat dan Camat setempat. Segala biaya yang timbul sebagai akibat penetapan
keputusan mengenai PLPDK ini dibantu/dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Tingkat I Bali.

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali No. 344 Tahun 1993 mengatur
penunjukan BPD Bali sebagai Pembina Teknis LPD di Bali. Dalam keputusan ini, BPD
diberi tugas untuk membina LPD, baik secara aktif maupun secara pasif. Pembinaan aktif
dilakukan dengan cara mengadakan pembinaan langsung ke lapangan untuk mengetahui
perkembangan masing-masing LPD. Sedangkan pembinaan pasif dilakukan dengan cara
mengadakan analisa terhadap laporan keuangan yang disampaikan oleh masing-masing
LPD. BPD juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan setiap triwulan kepada Gubernur
Bali. Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari keputusan ini, juga dibebankan pada
APBD Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Keputusan-keputusan Gubernur berikutnya juga masih banyak lagi dikeluarkan, yang
pada dasarnya ditujukan untuk menyempurnakan kelembagaan LPD. Secara positif
berbagai peraturan yang ada, memang telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi
kelembagaan dan operasional LPD. Namun sayangnya, masih ada beberapa peraturan yang
menyangkut LPD terasa sulit untuk diterapkan dan tumpang tindih antara yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Provinsi dengan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten.
C.

Fungsi Ekonomi dan Sosial LPD


Dari sejak awal berdirinya LPD diharapkan mampu mendorong pembangunan

ekonomi masyarakat di daerah Bali melalui tabungan yang terarah serta penyaluran modal
yang efektif. LPD juga diharapkan memberantas sistem ijon, gadai gelap dan lain-lain yang
bisa disamakan dengan itu di daerah pedesaan. Disamping itu, LPD juga mengemban tugas
menciptakan pemerataan dan kesempatan kerja bagi warga pedesaan.
Apabila tugas-tugas tersebut dikaitkan dengan indikator ekonomi makro, maka apa
yang ingin dicapai oleh LPD adalah selaras dengan tujuan ekonomi makro. Ada empat
tujuan yang biasanya ingin dicapai dalam kebijakan ekonomi makro, yaitu: Pertama,
mengupayakan peningkatan pendapatan nasional secara terus menerus. Kedua, mengurangi
kemiskinan melalui penyediaan kesempatan bekerja yang seluas-luasnya dan menekan
angka pengangguran. Ketiga, menjaga stabilitas harga-harga atau menekan angka inflasi.
Keempat, memperkuat perdagangan internasional dengan menjaga keseimbangan nilai
ekspor yang minimal sama dengan nilai impor dan terdapat kurs valuta asing yang stabil.
Tugas LPD dalam menyalurkan pembiayaan kepada usaha-usaha produktif di daerah
pedesaan di Bali, tentu akan berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan regional

daerah Bali. Disamping itu, dengan semakin berkembangnya usaha-usaha masyarakat yang
dibiayai oleh LPD, maka usaha tersebut akan dapat menyerap tenaga kerja yang lebih
banyak, sehingga pengangguran dapat diatasi dan inflasi dapat ditekan.
Secara sosial dan religius, peran LPD di Bali juga sangat jelas. Sebagaimana diatur
dalam beberapa Peraturan Daerah dan Surat Keputusan Gubernur, LPD wajib
menyumbangkan beberapa persen dari laba yang diperolehnya setiap tahun untuk
kepentingan desa dan banjar adat. Disamping dipergunakan untuk pembangunan fisik desa
dan banjar, bagian dana yang diperoleh dari LPD tersebut, oleh warga desa biasanya juga
dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan upacara agama. Ini berarti bahwa
disamping memiliki fungsi ekonomi yang luas, LPD juga memiliki fungsi sosial dan agama
yang sangat tinggi di seluruh Bali.
D.

Perkembangan LPD
Pasang surut ekonomi Bali selama dua puluh tahun terakhir, yang ditandai oleh naik

turunnya angka pertumbuhan, tingkat suku bunga yang berlaku, jumlah uang yang beredar,
inflasi, dan bahkan krisis ekonomi nasional yang mulai terjadi pada pertengahan tahun
1997, sangat mewarnai maju-mundurnya perkembangan LPD. Demikian pula halnya
dengan regulasi pemerintah. Regulasi-regulasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah Bali,
dari sejak dulu, selalu berdampak positif terhadap permodalan, pembinaan dan
pertumbuhan LPD.
Sebagai lembaga intermediasi keuangan pedesaan, jumlah dana sebesar Rp 1,346
trilyun yang berhasil dihimpun dengan penyaluran kembali kepada masyarakat sebesar Rp
1,262 trilyun pada tahun 2005, menunjukkan bahwa peran ekonomi LPD lebih dominan
dari pada lembaga keuangan sejenis yang ada di pedesaan. Apalagi tahun 2006 Pemerintah
Provinsi Bali kembali mengucurkan bantuan penyertaan modal kepada 125 LPD dengan
total dana Rp 1,25 milyar atau Rp 10 juta untuk masing masing LPD. Bila dilihat posisi
tahun 2007, dari sisi dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun mencapai Rp 1,482
trilyun dengan penyaluran kredit pada periode yang sama mencapai Rp1,480 trilyun kepada
354.210 nasabah debitur. Pada akhir tahun 2007 Loan to Deposit Ratio (LDR) LPD
mencapai 99,86 persen.
Suatu persentase yang sangat fantastis untuk ukuran lembaga keuangan mikro yang
menjadi kepercayaan masyarakat. Sementara kredit macet dari dana yang tersalur ke

masyarakat desa pekraman pada posisi Oktober 2007 hanya sebesar 1,59 persen (BPD Bali,
2008). Sebagai perbandingan, dapat dijelaskan bahwa lembaga keuangan sejenis seperti
Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BRI Unit Desa di
daerah Bali, masing-masing penghimpunan dan penyaluran dananya pada periode yang
sama, belum mencapai jumlah tersebut. Sedangkan Non Performing Loan nya (NPL) lebih
besar dari pada yang bisa dicapai oleh LPD.
Kalau menurut survei kepuasan nasabah LPD yang dilakukan oleh GTZ bekerja sama
dengan Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, menyatakan bahwa secara umum
kualitas pelayanan LPD masih cukup memprihatinkan (Bali Post, 2007). Berdasarkan hasil
survei itu 49,9 persen responden atau hampir separo nasabah menginginkan perlunya
perbaikan dalam kualitas pelayanan nasabah. Sementara 32,1 persen menginginkan
perlunya perbaikan tehnologi yang dipergunakan dalam operasional LPD, 19,3 persen
menginginkan perbaikan produk pinjaman, 15,4 persen perbaikan produk tabungan dan 7
persen untuk produk deposito.
Survei yang dilakukan ini dengan mengambil sample LPD besar, sedang, kecil dan
juga LPD perkotaan ini juga mencatat alasan nasabah LPD pindah ke lembaga keuangan
lain bukan karena pertimbangan suku bunga, namun lebih kepada ketidakjujuran pengurus
LPD. Sekitar 37,2 persen nasabah mengatakan hal itu. 29,1 persen nasabah pindah karena
pelayanan yang buruk dan 22,8 persen dikarenakan tidak mempercayai manajemen LPD.

E.

Lingkungan Usaha LPD


Lingkungan usaha LPD adalah merupakan berbagai faktor di luar dan di dalam, yang

dapat menjadi peluang dan ancaman, serta menjadi kekuatan dan kelemahan LPD. Peneliti
dan penulis buku lembaga keuangan Sapp dan Smith (1994), mengidentifikasi lingkungan
lembaga keuangan menjadi lingkungan dekat, lingkungan jauh dan lingkungan internal.
Lingkungan dekat (proximity environment) terdiri atas kondisi pesaing, kondisi pasar
dan kondisi konsumen. Lingkungan jauh (remote environment) terdiri atas kekuatan
ekonomi, regulasi pemerintah, sosiokultural, tehnologi dan demografi. Sementara
lingkungan internal diidentifikasi sebagai kekuatan yang ada di dalam lembaga itu sendiri

seperti manajemen, pemasaran, struktur keuangan, fasilitas, tehnologi yang dikuasai dan
keunggulan produk/jasa yang dimiliki.
Kekuatan ekonomi makro dan regulasi pemerintah, walaupun tidak bisa dikendalikan
(uncontrollable) oleh para pengelola LPD, pengaruhnya paling dirasakan dibandingkan
dengan lingkungan jauh yang lain, selama perkembangan LPD di Bali.
Kebijakan pemerintah pusat dibidang perpajakan, sampai saat ini belum menetapkan
bunga tabungan dan deposito yang diperoleh masyarakat dari LPD sebagai obyek pajak
pendapatan. Kesempatan ini tentu berdampak positif terhadap perkembangan simpanan
masyarakat di LPD. Apabila LPD menetapkan suku bunga simpanan yang sama dengan
pesaingnya seperti BPR, dengan asumsi tingkat kepercayaan yang sama, tentu masyarakat
akan memilih untuk menyimpan dananya di LPD, karena dengan suku bunga yang sama,
masyarakat akan memperoleh pendapatan riil yang lebih tinggi bila menyimpan dana di
LPD yang tidak memotong pajak pendapatan atas bunga.
Untuk situasi lingkungan internal LPD, memang masih kebanyakan bersifat
sederhana. Sumber daya manusia yang terbatas, bisa dikatakan sebagai pangkal dari
kesederhanaan fungsi-fungsi manajemennya, disamping penguasaan teknologi informasi
yang masih terbatas. Dalam penyaluran dana yang menjadi fungsi pokoknya, LPD lebih
mengandalkan karakter baik dari nasabahnya, dari pada melakukan analisis kelayakan
kredit yang dianggap terlalu rumit. Demikian juga di bidang resiko, LPD lebih
menggantungkan keamanan asetnya pada awig-awig desa adat, dari pada menerapkan
manajemen resiko (risk management) dengan rumus-rumus yang dianggap memusingkan.
F.

Kesehatan LPD
Standar kesehatan bagi LPD menjadi semakin penting, karena hanya LPD sehat yang

akan memperoleh kepercayaan dalam intermediasi keuangan masyarakat. Kesehatan LPD


oleh pembinanya saat ini dinilai melalui pendekatan permodalan, aset, manajemen,
kemampulabaan dan likuiditas yang mengacu pada konsep CAMEL. Konsep ini berasal
dari peraturan perbankan internasional yang dikenal dengan sebutan BIS (Bank for
International

Settlements). CAMEL merupakan

singkatan

dari

Capital,

Assets,

Management, Earning, and Liquidity.


Penilaian terhadap faktor permodalan LPD didasarkan pada rasio modal terhadap
aktiva produktif menurut resiko. Modal adalah merupakan salah satu faktor yang sangat

penting bagi LPD dalam rangka mengembangkan usaha, serta menjaga kemungkinan resiko
kerugian, perlindungan terhadap dana nasabah dan resiko kredit macet. Konsep rasio
permodalan yang cukup (Capital Adequacy Ratio/CAR), disamping mengatur persentase
minimal modal sendiri, juga mengatur persentase maksimal dari nilai modal sendiri atau
ekuitas yang boleh diinfestasikan dalam bentuk aktiva tetap.
Penyaluran dana kepada masyarakat merupakan kegiatan pokok bagi LPD dan
sekaligus merupakan satu-satunya sumber pendapatan LPD. Guna mengukur kesehatan
LPD di bidang aset ini, kriteria yang digunakan adalah dengan menilai kualitas aktiva
produktifnya. Caranya, dari sejumlah kredit yang tersalur pada setiap periode, terlebih
dahulu diklasifikasikan menjadi kelompok lancar, kurang lancar, diragukan dan macet.
Untuk memperoleh nilai yang lebih baik dari segi kreteria aset, LPD harus dapat menekan
kelompok kreditnya yang bermasalah atau yang terkatagorikan kurang lancar, diragukan
dan macet. Kriteria ini pula mengharuskan LPD pada setiap periode menyisihkan sejumlah
cadangan penghapusan piutang, yang jumlahnya minimal sama dengan jumlah pinjaman
macet pada periode tersebut.
Dalam kriteria manajemen, yang menjadi fokus penilaian kesehatan LPD adalah
manajemennya pada bidang permodalan, aktiva, rentabilitas dan manajemen likuiditasnya.
Penekanan penilaian pada bidang ini, lebih mengarah pada kreteria kualitatif seperti sistem
dan prosedur penyaluran kredit, perlindungan dana masyarakat, peraturan untuk persentase
penyisihan cadangan piutang, pengiriman laporan secara tepat waktu dan persyaratan
pengurus. Pada kreteria ini juga dinilai adanya kerjasama LPD dibidang penjagaan
likuiditas.
Untuk kriteria kemampulabaan LPD dinilai dengan tiga aspek, antara lain: Pertama,
terdapat rasio yang wajar antara laba dan pendapatan operasional. Kedua, terdapat rasio
yang wajar antara laba dengan total kekayaan yang digunakan untuk memperoleh laba
tersebut. Ketiga, rasio positif yang wajar antara pendapatan operasional dengan biaya
operasional. Kemampuan LPD untuk memperoleh keuntungan, atau kemampulabaannya
dianggap penting karena melalui laba, LPD akan dapat memperluas jangkauan
pelayanannya kepada masyarakat. Melalui laba pula LPD dapat melaksanakan fungsi
sosialnya, baik untuk kepentingan individu masyarakat, maupun untuk kepentingan agama.

Pada kriteria likuiditas yang merupakan perbandingan antara kekayaan lancar dengan
utang lancar, yang utama dinilai pada LPD adalah perbandingan antara pinjaman yang
diberikan dengan dana yang diterima dari masyarakat (Loan to Deposit Ratio). Penjagaan
kondisi likuiditas, memegang peranan yang sangat penting pada setiap lembaga yang
melakukan fungsi intermediasi keuangan. Kekayaan utama yang tidak berwujud dan tidak
terukur bagi LPD adalah kepercayaan masyarakat. Tidak ada satupun LPD yang akan
mampu bertahan hidup tanpa, memperoleh kepercayaan dari masyarakat.
Dalam praktiknya seluruh kriteria seperti terurai sebelumnya, memang telah
dipergunakan secara luas untuk menilai kesehatan LPD, terutama oleh pembina. Sayangnya
secara internal, belum banyak pengawas LPD yang menggunakan kriteria-kriteria tersebut
sebagai dasar pengendalian intern. Demikian juga halnya dengan yang dilakukan oleh
pengurus dan manajemen di bidang perencanaan. Sangat jarang perencanaan kerja LPD
menyangkut langkah-langkah operasional dalam mencapai kelima target kesehatan tersebut
diatas.
G.

Kearifan Lokal dalam Manajemen LPD


Walaupun untuk jumlah tertentu dalam penyaluran kreditnya, LPD tidak

mempersyaratkan agunan, angka kredit bermasalah yang dalam istilah perbankan disebut
Non Performing Loan (NPL) per tahun 2007 masih pada kisaran dibawah lima persen
(BPD Bali, 2008). Angka ini bisa dianggap masih aman dalam menjaga kesehatan sebuah
lembaga keuangan pedesaan. Disamping karena etos kerja dan semangat orang Bali yang
tinggi, termasuk dalam memenuhi kewajiban perkreditan, rendahnya kredit bermasalah
dalam LPD, juga disebabkan oleh takutnya nasabah akan sanksi adat (kesepekan, dll) bila
cidera janji dalam memenuhi kewajibannya secara tepat waktu di LPD, karena sanksi adat
juga tertuang dalam perjanjian kredit. Bagi sebagian besar orang Bali, mereka berprinsip
lebih baik kehilangan sejumlah harta daripada kena sanksi adat.
Landasan hukum kepengurusan LPD berkaitan erat dengan peraturan (Awig-Awig)
setiap Desa Pekraman yang ada di Bali. Sebagai contoh, seperti yang tercantum dalam
Awig-Awig Desa Pekraman Padangsambian Denpasar. Pada Sukerta Tata Pakraman 3
disebutkan bahwa:

1)

Prajuru LPD keadegang olih Majelis Paruman Krama nyabran 4 warsa, kangkat
keadegang malih a pisan.

2)

Swadharmaning prajuru LPD patut mapiuning ring Majelis Paruman Krama


nyabran a warsa.

3)

Sahanan swadharmaning prajuru LPD patut polih panureksan saking panureksan


LPD, sane kesudi lan keadegan olih Majelis Paruman Krama nyabran 4 warsa tur
kangkat keadegan malih apisan.
Jadi jelas dalam pereturan Desa Pekraman mengatur bahwa:

1)

Pengurus LPD dipilih oleh Rapat Desa Pekraman dengan masa jabatan 4 tahun dan
dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.

2)

Pengurus LPD wajib memberikan laporan setiap tahun kepada Rapat Desa Pekraman.

3)

Pengurus wajib diperiksa oleh pengawas atau pemeriksa LPD yang juga dipilih dan
dibentuk oleh Rapat Desa Pekraman setiap 4 tahun dan dapat dipilih kembali untuk
satu kali masa jabatan.
Apabila dibobot, nampaknya kearifan-kearifan lokal ini yang lebih berkontribusi

terhadap kemajuan LPD, dari pada kemampuan manajemen dan kekuatan-kekuatan internal
lain yang dimilikinya selama ini. Suatu hal yang mesti disyukuri memang, disamping tetap
berupaya untuk melakukan pembenahan-pembenahan di bidang yang lain, termasuk pada
bidang implementasi struktur pengendalian intern yang efektif.
H.

Keseimbangan Perencanaan dan Pengendalian LPD


Hal yang teramat penting, terutama dari sisi fungsi-fungsi manajemen adalah menjaga

keseimbangan dan keselarasan antara perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian usaha


LPD. Sejumlah data empirik selama ini, menunjukkan bahwa pelaksanaan usaha LPD
kebanyakan berjalan secara alamiah, tanpa didukung oleh perencanaan dan terutama
pengendalian yang sistimatis.
Ketika lingkungan usaha cenderung stabil dan selalu seirama dengan kondisi lembaga
dan masyarakat, maka perencanaan dan pengendalian operasional sebuah badan usaha,
termasuk LPD, akan menjadi amat sederhana seperti yang dilakukan oleh kebanyakan LPD
saat ini. Kondisinya akan menjadi berbeda, ketika lingkungan usaha seperti tingkat

10

persaingan antar lembaga keuangan pedesaan, tingkat suku bunga, karakter dan daya bayar
masyarakat sering berubah, serta cenderung memiliki tingkat turbulensi yang tinggi.
Perubahan kondisi lingkungan usaha yang demikian, seharusnya dapat memaksa LPD
untuk merubah kebiasaannya dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajemen, khususnya di
bidang perencanaan dan pengendalian intern. Apalagi saat ini peran serta LPD telah
semakin dirasakan oleh masyarakat dan nampak pentingnya bagi perekonomian regional
daerah Bali. Maju mundurnya manajemen LPD, akan berdampak pada banyak sisi
kehidupan masyarakat Bali. Tidak hanya pada sisi perekonomian saja, tetapi juga pada sisi
sosial, karena sesuai dengan SK Gubernur Bali No. 4 Tahun 2003, dari keuntungan yang
diperoleh LPD setiap tahunnya, harus dibagikan untuk dana pembangunan desa sebanyak
20 persen dan dana sosial sebanyak 5 persen.
Dari sisi perencanaan, dengan pengelolaan aset hingga akhir Desember 2006 yang
mencapai Rp 1,743 trilyun dan pada bulan November 2007 telah menjadi Rp 1.945 trilyun
(BPD Bali, 2008), mengindikasikan bahwa masing-masing LPD telah membutuhkan
perencanaan usaha yang lebih matang. Penyusunan anggaran tahunan yang selama ini
dianggap sebagai rencana usaha, masih perlu disempurnakan, baik proses maupun
wujudnya. Disamping itu, mengingat perannya yang demikian penting, di samping
membuat anggaran, sudah saatnya sejumlah LPD menyusun rencana strategik yang bersifat
jangka panjang.
Proses penyusunan anggaran LPD yang didasari oleh paradigma lama, sebetulnya
sudah tidak mampu lagi memproyeksi masa depan keuangan LPD untuk satu tahun ke
depan. Dalam paradigma lama, proses penyusunan anggaran LPD menggunakan anggapan
bahwa apa yang terjadi di tahun lalu akan terjadi lagi di tahun yang akan datang. Oleh
karena itu, dalam penyusunan anggaran LPD, pola kejadian di tahun lalu diproyeksikan ke
masa depan untuk menggambarkan apa yang diperkirakan akan terjadi di masa depan.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, lingkungan usaha LPD kini telah
mengalami perubahan-perubahan yang cukup turbulen. Dalam situasi lingkungan usaha
yang turbulen, adanya perubahan-perubahan sekarang, sering kali tidak memiliki kaitan
dengan kondisi masa lalu. Adanya keadaan yang demikian, menyebabkan anggaran LPD

11

yang disusun dengan cara lama tidak lagi menjanjikan masa depan yang pasti, karena
terjadinya keterputusan masa lalu dengan masa depan.
Adanya kebutuhan manajemen seperti yang diuraikan di atas, tentu kemudian
menuntut sumber daya manusia yang seimbang, mulai dari pengawas, pengurus dan
karyawan.
I.

Efektifitas Struktur Pengendalian Intern LPD


Struktur pengendalian intern yang efektif pada LPD meliputi lingkungan

pengendalian, sistem akuntansi, dan prosedur pengendalian. Struktur pengendalian intern


yang efektif pada LPD akan dapat membantu pengurus didalam melindungi aset, baik fisik
maupun non fisik dari penyalahgunaan dan kecurangan. Struktur pengendalian intern yang
efektif juga berguna untuk menjaga agar penggunaan sumber daya LPD menjadi lebih
efisien.
Dalam kaitan dengan tingkat kesehatannya, efektifitas struktur pengendalian intern
yang memadai adalah merupakan modal dasar bagi LPD untuk menjaga kesehatannya.
Dengan strukur pengendalian intern yang lebih baik akan memudahkan LPD untuk
memperbaiki struktur modalnya, menjaga kualitas aktivanya, memperbaiki manajemennya,
meningkatkan kemampulabaannya dan menjaga likuiditasnya.
Sistem akuntansi terdiri atas metode dan catatan yang diterapkan oleh pengurus dan
manajemen

untuk

mencatat,

melaporkan

transaksi

dan

kejadian,

serta

untuk

menyelenggarakan pertanggung jawaban aktiva dan kewajiban LPD. Sistem akuntansi yang
baik akan memungkinkan LPD dapat melaporkan faktor-faktor yang menentukan
kesehatannya seperti permodalan, aktiva produktif, manajemen, kemampulabaan dan
likuiditasnya secara lebih akurat dan dapat dipercaya. Bahkan kalau suatu saat nanti kriteria
kesehatan LPD disesuaikan lagi dengan kriteria kesehatan bank, yang saat ini menambah
unsur sensitivitas terhadap resiko pasar sebagai kriteria kesehatan, maka adanya sistem
akuntansi yang memadai akan mempermudah perhitungan analisis sensitivitas tersebut.
Prosedur pengendalian melengkapi struktur pengendalian intern LPD. Prosedur
pengendalian adalah kebijakan dan prosedur tambahan sebagai tambahan terhadap
lingkungan pengendalian dan sistem akuntansi yang telah diciptakan pengurus dan

12

manajemen LPD untuk memberikan keyakinan memadai bahwa tujuan tertentu LPD akan
dapat tercapai.
Saat ini dapat dikatakan terjadi perbandingan yang tidak seimbang antara kondisi
lingkungan pengendalian LPD dengan keberadaan fungsi dan kuantitas asetnya. Dengan
pengelolaan aset yang rata-rata di atas Rp 3 milyar keatas per LPD saat ini, jauh berbeda
dengan kondisi awal berdirinya di mana rata-rata LPD hanya mengelola aset berkisar antara
Rp 15 juta sampai Rp 25 juta. Sedangkan pada lingkungan pengendaliannya, belum
mengalami perubahan yang berarti jika dibandingkan antara pada saat berdirinya dengan
kondisi saat ini.
Sementara itu, profesionalisme badan pengawas pada banyak LPD juga masih perlu
ditingkatkan. Fungsi badan pengawas sebagai komite kredit, sering tidak berjalan
sebagaimana mestinya, yang disebabkan karena disamping pekerjaan badan pengawas
sebagai tugas sampingan (pengabdian), juga disebabkan karena keterbatasan pengetahuan
mereka di bidang perkreditan.
Sebagaimana terjadi pada lingkungan pengendalian, pada sistem akuntansi LPD juga
terjadi hal yang serupa. Sebetulnya dalam teori mengenai sistem akuntansi, berlaku prinsip
bahwa sistem akuntansi yang baik adalah sistem akuntansi yang paling sesuai dengan
kondisi organisasi yang bersangkutan (Zaki Baridwan, 1989). Sistem akuntansi yang
berlaku di LPD saat ini adalah sistem akuntansi yang dirancang secara standar dan berlaku
untuk semua LPD, tanpa membedakan antara LPD yang besar dan yang kecil, antara yang
karyawannya banyak dan yang karyawannya sedikit, antara LPD yang manajemennya
mampu mengambil keputusan berdasarkan informasi akuntansi dengan LPD yang
manajemennya tidak menggunakan informasi akuntansi dalam mengambil keputusan.
Dalam melaksanakan fungsi pelaporan atas kondisi keuangannya, masing-masing
LPD memang secara rutin membuat laporan keuangan kepada semua pihak yang terkait,
termasuk kepada Gubernur Provinsi Bali. Namun akuntabilitas dari pelaporan tersebut,
nampaknya sangat sulit untuk dapat diyakini, karena tidak adanya sistem evaluasi atau
tidak pernah ada pemeriksaan yang mendalam atas keabsahan dari setiap laporan tersebut
oleh pihak profesional yang independen. Semua itu dapat menunjukkan bahwa sistem

13

akuntansi yang berlaku di LPD saat ini, masih memerlukan beberapa penyempurnaan, agar
kedepan LPD dapat diyakini untuk menjadi lebih sehat.
Saat ini, beberapa LPD menghadapi dilema dalam memutuskan tentang perlunya
agunan atas kredit dari nasabah. Bila dilihat secara hukum, adanya keterkaitan antara
peraturan perkreditan LPD dengan Awig-Awig Desa Adat, memang dalam kasus tertentu,
telah mampu memproteksi keamanan dari kredit yang disalurkan. Peraturan tersebut
kadang-kadang menjadi kurang mengikat, apabila tidak ada keberanian dari pengurus LPD
untuk menerapkannya secara murni dan konsekuwen. Demi amannya aset LPD, prosedur
pengendalian yang berkaitan dengan agunan, yang bisa diterapkan adalah membuat batasan
sejumlah kredit tertentu saja yang bebas agunan.

DAFTAR RUJUKAN

Ramantha, I.W., 2008. Menuju Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Bali Yang Lebih Sehat:
Suatu Kajian Struktur Pengendalian Intern, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Tetap Dalam Bidang Sistem Informasi Akuntansi Pada Fakultas Ekonomi
Universitas Udayana Sabtu, 14 Juni 2008, Denpasar.

14

15

Vous aimerez peut-être aussi