Vous êtes sur la page 1sur 66

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Menurut International Labor Organization (ILO) setiap tahun terjadi 1,1 juta
kematian yang disebabkan oleh penyakit yang di sebabkan oleh pekerjaan.
Sekitar 300.000 kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah
kematian karena penyakit akibat kerja dimana diperkirakan terjadi 160 juta
penyakit akibat hubungan pekerjaan baru setiap tahunnya. (Buchari,2007)
Penyakit akibat kerja yang banyak ditimbulkan akibat pekerjaan salah satunya
adalah penyakit otot rangka atau Musculoskeletal Disorders (MSDs). Kejadian
gangguan musculoskeletal seperti low back pain, cervic spindolisis, carpal
tunnel syndrome, dan tennis elbow, sangat sering dirasakan oleh manusia.
Selama lebih dari 50 tahun, dalam studi ditemukan bahwa 50% populasi
mendapatkan nyeri dibagian leher, pundak maupun lengan. Gangguan
muskuloskeletal yang muncul dapat merupakan akibat dari pekerjaan yang
dilakukan (Bridger, 1995). Lebih lanjut Humantech (1995) menjelaskan bahwa
istilah Musculoskeletal Disorders atau MSDs digunakan pakar ergonomi untuk
menggambarkan berbagai bentuk cedera, nyeri atau kelainan pada sistem otot
rangka yang terdiri dari jaringan saraf, otot, tulang, ligamen, tendon dan sendi.
MSDs merupakan masalah yang signifikan pada pekerja. MSDs pada awalnya
menyebabkan sakit, nyri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan, gemetar,
gangguan tidur dan rasa terbakar.
Banyak data dari berbagai penelitian dari berbagai negara yang menunjukkan
MSDs adalah satu satu kasus kesehatan kerja terbanyak. Di Amerika,
diperkirakan 6 juta kasus per tahun atau rata-rata 300-400 kasus per 100 ribu
orang pekerja. Masalah ini menyebabkan kehilangan hari kerja (lost day) untuk
istirahat

sehingga

perusahaan

merugi

karena

kehilangan

produktivitas.

Diperkirakan biaya akibat MSDs yang harus dikeluarkan adalah rata-rata


14.726 dolar per tahun atau lebih dari 130 juta rupiah (Tim Ergoinstitute, 2008
dalam Ariani, 2009).
Gangguan MSDs dapat menimbulkan kerugian bagi pekerja itu sendiri dan bagi
pengusaha. Pekerja yang mengalami masalah MSDs berarti mengalami
gangguan kesehatan dalam dirinya dan dapat menjadi lebih parah lagi bila
tidak segera diobati dan dicegah agar tidak terjadi terus menerus. Bila

kesehatan pekerja terganggu maka pekerja menjadi tidak produktif sehingga


tidak

dapat

bekerja

dan

tidak

dapat

memenuhi

kebutuhan

hidupnya

sedangkan bagi perusahaan akan mengalami kerugian dikarenakan hilangnya


waktu kerja dan menurunnya produktivitas serta kualitas dari karyawan,
sehingga proses kerja akan terhambat dan tidak maksimal, selain itu harus
mengeluarkan biaya konpensasi pengobatan dan kerugian lainnya yang
berkaitan langsung ataupun tidak langsung berhubungan dengan timbulnya
masalah MSDs
1.2. PERMASALAHAN
Dari hasil studi Depkes tentang profil masalah kesehatan di Indonesia tahun
2005 menunjukkan bahwa sekitar 40,5 % penyakit yang diderita pekerja
berhubungan dengan pekerjaannya, gangguan kesehatan yang dialami pekerja,
menurut studi yang dilakukan tehadap 9.482 pekerja di 12 kabupaten/kota di
Indonesia, umumnya berupa penyakit musculoskeletal (16%), kardiovaskuler (8
%), gangguan syaraf (6 %), gangguan pernapasan (3%), dan gangguan THT
(1,5 %), dari studi tersebut dapat disimpulkan bahwa di Indonesia kasus
musculoskeletal

disorder

merupakan

salah

satu

kasus

terbanyak

yang

ditemukan pada pekerja.


1.3. TUJUAN
1. Mengetahui pedoman dalam mendiagnosis dan mengevaluasi kecacatan
karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja, khususnya di bidang
Orthopaedi
2. Mengetahui dampak atau efek kesehatan bagi para pekerja di bidang
Orthopaedi
3. Meningkatkan pengetahuan dalam hal evaluasi dan penilaian kecacatan dan
penyakit akibat kerja bagi pekerja di bidang Orthopaedi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Radiasi
2.1 Ergonomi
Istilah ergonomi berasal dari bahasa Latin yaitu Ergon (kerja) dan Nomos (hukum alam)
dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan
kerjanya

yang

ditinjau

secara

anatomi,

fisiologi,

psikologi,

engineering,

dan

desain/perancangan. Ergonomi berhubungan pula dengan optimasi, efisiensi, kesehatan,


keselamatan dan kenyamanan manusia di tempat kerja, di rumah ataupun di tempat
rekreasi.
Ergonomi juga disebut sebagai human factor yang berarti menyesuaikan suasana kerja
dengan manusianya. Penerapan ergonomi pada umumnya merupakan aktivitas rancang
bangun (desain) ataupun rancang ulang (re-desain). Hal ini dapat meliputi perangkat keras
(hardware) maupun perangkat lunak (software). Perangkat keras berkaitan dengan mesin
(perkakas kerja/tools, alat peraga/display, conveyor dan lainlain) sedangkan perangkat
lunak lebih berkaitan dengan sistem kerjanya seperti penentuan jumlah istirahat, pemilihan
jadwal pergantian shift kerja, rotasi pekerjaan, prosedur kerja dan lain-lain.
Ergonomi dalam menggunakan mesin berarti menerapkan kerja sesuai dengan sistem
manusia-mesin. Wignjosoebroto (2003) lebih lanjut menegaskan bahwa metode kerja

manusia-mesin adalah suatu sistem yang memanfaatkan manusia sebagai pengendali mesin
dalam bekerja. Sistem manusia-mesin adalah kombinasi antara satu atau beberapa manusia
dengan satu atau beberapa mesin dimana salah satunya saling berinteraksi untuk
menghasilkan keluaran-keluaran berdasarkan masukan-masukan yang diperoleh. Dan yang
dimaksud dengan mesin dalam hal ini mempunyai arti yang luas, yaitu mencakup semua
obyek fisik seperti peralatan, perlengkapan, fasilitas dan benda-benda yang bisa digunakan
manusia dalam melaksanakan pekerjaannya. (Wicaksono,2009)
Pada dasarnya ergonomi dapat menciptakan lingkungan kerja yang dapat:

Mengurangi angka cedera dan kesakitan dalam pekerjaannya

Menurunkan biaya kecelakaan kerja

Menurunkan kunjungan berobat

Mengurangi ketidakhadiran pekerja

Meningkatkan produktivitas, kualitas dan keselamatan kerja

Meningkatkan tingkat kenyamanan pekerja dalam bekerja

2.2

Anatomi dan Fisiologi Sistem Musculoskeletal


Diantara karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lain ciptaan-

Nya adalah kemampuan mempertahankan postur tubuhnya yang bisa tegak dan bergerak
yang diatur oleh sistem musculoskeletal. Musculoskeletal terdiri dari kata musculo yang
artinya otot dan skeletal yag berarti tulang. Sistem musculoskeletal tersebut bekerja
membuat gerakan dan tindakan yang harmoni. Rangka manusia terdiri dari tulang-tulang
yang menyokong tubuh manusia yang terdiri atas tulang tengkorak, tulang badan dan
tulang anggota gerak (Nurmianto, 2004). Fungsi utama dari sistem muskuloskeletal
adalah untuk mendukung dan melindungi tubuh dan organ-organnya serta untuk
melakukan gerak. Agar seluruh tubuh dapat berfungsi dengan normal, masing-masing
substruktur harus berfungsi dengan normal. Enam substruktur utama pembentuk sistem
muskuloskeletal antara lain: tendon, ligamen, fascia (pembungkus), kartilago, tulang
sendi dan otot. Tendon, ligamen, fascia dan otot sering disebut sebagai jaringan lunak,
sedangkan tulang sendi diperlukan untuk pergerakan antara segmen tubuh. Peran mereka
dalam sistem muskuloskeletal keseluruhan sangatlah penting sehingga tulang sendi
sering disebut sebagai unit fungsional sistem muskuloskeletal.

Tulang, ligamen, tendon, dan kartilago adalah jaringan penghubung dalam tubuh.
Mereka menyediakan sokongan, meneruskan tenaga dan memelihara integritas secara
struktural. Ligamen dan tendon adalah jaringan penghubung padat yang mirip dalam
morfologi

dan

fungsinya.

Ligamen

menghubungkan

tulang

dengan

tulang,

mengupayakan kestabilan dalam persendian, sedangkan tendon merekatkan otot pada


tulang, menyalurkan tenaga dari otot. Fascia juga merupakan jaringan penghubung padat
yang melindungi organ atau bagian dari organ dan memisahkannya satu dengan yang
lain. Contoh dari jaringan fascia adalah intramuscular septa yang memisahkan otot-otot
lengan.
Tendon dapat berfungsi pada sekitar pojok, seperti dalam jari dan sendi
pergelangan. Sistem tarikan dalam tendon jari sangat krusial untuk berfungsinya tangan.
Gangguan padanya akan membawa pada perubahan lengan momen tendon dan juga
meningkatkan penyimpangan tendon (jarak tendon harus bergeser) ketika jari
berkontraksi (ditarik) maupun relaksasi (diregangkan) dan akan membawa pada dampak
bowstringing, yaitu melengkungnya tendon. Kartilago melindungi permukaan tulang
artikular dan juga terdapat dalam beberapa organ telinga, hidung, sistem pernafasan,
piringan sendi tulang belakang. Sedangkan tulang dapat dipertimbangkan sebagai bagian
dari struktur tulang keseluruhan dan sebagai jaringan.

Gambar 2.1 Anatomi Sistem Rangka Manusia

Adapun fungsi sistem rangka adalah sebagai berikut:


1. Penyokong (Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk kepada kerangka
tubuh)
2. Melindungi organ-organ tubuh yang vital (contoh: tengkorak melindungi otak,
tulang rusuk melindungi jantung dan paru-paru)
3. Bergerak (otot menempel pada tulang dan saat mereka kontraksi, gerakan
dihasilkan melalui aksi ungkit tulang dan sendi)
4. Homopoiesis (tulang memproduksi sel darah merah)
5. Menyimpan mineral, contoh: kalsium (Bridger, 1995).

Sistem otot terdiri dari sejumlah besar otot yang bertanggung jawab atas gerakan
tubuh. Sel otot merupakan sel tubuh yang khusus digunakan untuk melakukan kontraksi
dan relaksasi sehingga pergerakan manusia dapat terlaksana (Sumamur, 1989).
Adapun Fungsi sistem otot adalah:
1. Menghasilkan gerakan tubuh atau menggerakkan rangka
2. Menjaga postur atau mempertahankan sikap/posisi tubuh
3. Menghasilkan panas, sel otot menghasilkan panas sebagai sebuah produk dan
menjadi mekanisme penting untuk menjaga suhu tubuh (Bridger, 1995).
Anizar (2006) membagi kerja Otot menjadi kerja secara statis (postural) atau
dinamis (rhythmic). Pada kerja otot dinamis, kontraksi dan relaksasi terjadi silih berganti
sedangkan pada kerja otot statis, otot menetap dan berkontraksi untuk suatu periode
waktu tertentu. Kerja otot statis dibutuhkan dalam membentuk postur tubuh oleh karena
konstraksinya yang kontiniu maka bagian-bagian tubuh dapat dipertahankan berada pada
posisi yang tetap. Keadaan peredaran darah pada kerja otot statis berbeda dengan kerja
otot dinamis. Pada kerja otot statis, pembuluh darah tertekan oleh pertambahan tekanan
dalam otot akibat kontrasi sehingga menyebabkan peredaran darah dalam otot
terganggu. Kerja otot dinamis berlaku sebagai suatu pompa bagi peredaran darah.
Kontraksi disertai pemompaan darah ke luar otot sedangkan relaksasi memberikan
kesempatan bagi darah untuk masuk ke dalam otot. Dengan demikian peredaran darah
meningkat dan otot menerima darah 10 sampai 20 kali keadaan kerja otot statis.
Otot yang bekerja secara dinamis memperoleh banyak oksigen dan glukosa
sehingga memiliki banyak tenaga sementara sisa metabolisme segera dibuang. Otot yang
bekerja statis tidak memperoleh oksigen dan glukosa dari darah dan harus menggunakan

cadangan yang ada. Lebih dari itu sisa metabolisme seperti asam laktat tidak dapat
diangkut keluar akibat peredaran darah yang terganggu sehingga menumpuk dan
menimbulkan rasa nyeri. (Anizar,2006)
Otot memerlukan energi ketika berkontraksi. Energi berasal dari pemecahan
molekul ATP (Adenosin trifosfat) menjadi ADP (Adenosin difosfat) yang berada di
dalam otot. Jika kontraksi terus berlangsung, energi diambil dari senyawa glukosa yang
terdapat dalam otot karena peredaran darah yang menyalurkan oksigen, bahan makanan
dan sisa metabolisme terhambat. Glukosa akan mengalami glikolisis menjadi asam
piruvat dan ATP yang akan digunakan untuk kontraksi otot. Asam piruvat dalam sel otot
dapat diubah menjadi asam laktat. Timbunan asam laktat dalam otot dapat menyebabkan
rasa pegal atau kelelahan. Jika otot terus-menerus dirangsang untuk melakukan
kontraksi, maka dapat menyebabkan kejang otot.
Dalam pemanfaatan energi, pekerjaan dinamis lebih baik daripada pekerjaan
statis. Pada pekerjaan statis, peredaran darah ke otot berkurang yang dipengaruhi oleh
besarnya tenaga yang diperlukan. Jika suplai darah ke otot kurang, maka energi yang
dihasilkan pun berkurang. Hal ini tidak sesuai dengan kebutuhan energi yang tinggi
karena kerja otot statis kurang efisien dibandingkan kerja otot dinamis akibat konsumsi
energi pada pekerjaan statis menjadi lebih besar untuk melakukan upaya atau pekerjaan
yang lebih kecil daripada pekerjaan dinamis (Sumamur, 1989).

2.3

Musculoskeletal Disorders (MSDs)


MusculoSkeletal Disorders mempunyai nama lain seperti repetitive strain injury,

repetitive motion injury, cumulative trauma disorders, occupational cervicoskeletal


disorders, overuse syndrome, dan lainnya (Canada OH&S, 2005).
Menururt NIOSH (1997) yang dimaksud dengan musculoskeletal disorders
adalah sekelompok kondisi patologis yang mempengaruhi fungsi normal dari jaringan
halus sistem musculoskeletal yang mencakup sistem syaraf, tendon, otot dan struktur
penunjang seperti discus intervertebral.
Nur

Ikrimah

(2009)

menerangkan

berdasarkan

Canadian

Center

for

Occupational Health and Safety, Aktivitas kerja seperti pekerjaan yang bersifat repetitif,
atau pekerjaan dengan postur yang tidak normal adalah hal yang dapat menyebabkan
munculnya gangguan MSDs, yang sakitnya dapat dirasakan selama bekerja atau pada
saat tidak bekerja.
Humatech (1995) menyatakan bahwa gangguan pada system musculoskeletal
tidak pernah terjadi secara langsung, tetapi merupakan kumpulan-kumpulan benturan
kecil dan besar yang terakumulasi secara terus menerus dalam waktu relatif lama, dapat
dalam hitungan beberapa hari, bulan dan tahun, tergantung pada berat ringannya trauma
setiap kali dan setiap saat, sehingga dapat menimbulkan suatu cidera yang cukup besar
yang diekspresikan dengan rasa sakit, kesemutan, pegal-pegal, nyeri tekan,
pembengkakan dan gerakan yang terhambat atau gerakan minim atau kelemahan pada
anggota tubuh yang terkena trauma. MusculoSkeletal Disorders merupakan istilah yang
memperlihatkan adanya gangguan pada sistem musculoskeletal, dan bukan merupakan
suatu diagnosis

Tiap bagian tubuh yang digunakan dalam bekerja memilki risiko ergonomi dan
gangguan kesehatan, yang dapat mengakibatkan melemahkan fungsi tubuh dan
penurunan kinerja pekerja baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. Bagian-bagian
tubuh seperti tangan, leher, bahu, punggung dan kaki merupakan bagian tubuh yang
sering digunakan pekerja dalam melakukan pekerjaannya. Bagian tubuh yang sering
digunakan pekerja maka akan berdampak timbulnya keluhan atau cidera pada bagianbagian tubuh tersebut. Dalam hal ini NIOSH menyatakan bahwa faktor risiko pada
pekerjaan termasuk manusia (postur tubuh, beban, durasi, dan frekuensi, genggaman),
faktor alat, dan lingkungan kerja merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan
MSDs.
Terkait postur tubuh dengan kejadian MSDs ditegaskan pula oleh

Achwan

(2006) yang menyatakan bahwa, Ada dua aspek postur tubuh yang memberikan
kontribusi atas gangguan muskuloskeletal akibat kerja, termasuk pekerjaan yang bersifat
repetitif. Pertama adalah posisi dari bagian tubuh saat melakukan pekerjaan. Aspek yang
kedua dari postur tubuh yang memberikan kontribusi atas gangguan WMSDs (Work
Related Musculoskeletal Disorser) adalah posisi dari leher akan senantiasa menstabilkan
posisi tubuh selama pekerjaan dilakukan. Kontraksi otot yang terjadi akan menekan
pembuluh darah, dan menyebabkan terganggunya peredaran darah. Otot pada leher dan
betis akan menjadi lelah meskipun leher dan bahu

tidak bergerak. Inilah yang

menimbulkan sakit pada bagian leher.


Menurut Weeks et al (1991) tanda awal yang menunjukan terjadinya gangguan
MSDs yaitu bengkak (sweeling), gemetar (numbness), kesemutan (tingling), sakit
(aching), dan rasa terbakar (burning pain). Sedangkan menurut Kromer (1989) seperti

yang disadur Merulalia (2010) mengungkapkan gejala yang akan menunjukkan tingkat
keparahan Musculoskeletal Disorders dapat dilihat dari:

Tahap 1: Sakit atau pegal-pegal dan kelelahan selama jam kerja tapi gejala ini
biasanya menghilang setelah waktu kerja (dalam satu malam). Tidak berpengaruh
pada performa kerja. Efek ini dapat pulih setelah istirahat

Tahap 2: Gejala ini tetap ada setelah melewati waktu satu malam setelah bekerja.
Tidur mungkin terganggu, kadang-kadang menyebabkan berkurangnya performa
kerja

Tahap 3: Gejala ini tetap ada walaupun setelah istirahat, nyeri terjadi ketika
bergerak secara repetitif. Tidur terganggu dan sulit untuk melakukan pekerjaan,
kadang-kadang tidak sesuai kapasitas kerja.

2.3.1 Keluhan MSDs


Keluhan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang
dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila
otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat
menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligament, dan tendon. Keluhan
hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan Musculoskeletal
Disorders (MSDs) atau cedera pada sistem musculoskeletal (Tarwaka et al, 2004).
Secara garis besar keluhan muskuloskeletal dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu ;

a. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot
menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang
apabila pembebanan dihentikan, dan
b. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap.
Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih
terus berlanjut (Tarwaka et al, 2004).

2.3.2 Mekanisme Nyeri


Pada hakikatnya nyeri merupakan hasil iritasi terhadap ujung-ujung serabut
syaraf penghantar impuls nyeri, yang dikenal sebagai serabut nyeri. Iritasi berasal dari
adanya proses patologik, seperti tarikan, penekanan, infeksi, pendarahan, metastase dan
lain-lain. Tempat proses patologik mengiritasi serabut nyeri dikenal sebagai sumber
nyeri.
Nyeri otot dibagi menjadi dua jenis (Permana,2001 dalam Triawan, 2007) yaitu ;

myalgia (nyeri otot), yang bilamana dilakukan penekanan terhadap otot yang
bersangkutan akan menimbulkan rasa nyeri yang sangat.

pegal adalah perasaan tidak enak di otot yang dirasakan di sepanjang otot yang
terkena, namun pada tempat-tempat tertentu terdapat daerah yang keras sekali,
yang dikenal sebagai myofacial trigger point.
Keluhan nyeri otot akibat kontraksi otot yang terus menerus akan mengakibatkan

terjadinya iritasi kimiawi dan kompresi pada serabut otot juga pada pembuluh darah
sebagai akibat tertimbunnya sampah metabolik pada otot, sedangkan pada waktu

bersamaan terjadi juga fase konstriksi pembuluh darah. Penimbunan sampah metabolik
ini menyebabkan iritasi pada sistem reseptor dari otot-otot leher, iritasi ini terjadi oleh
karena peningkatan aktifitas motor unit untuk masa waktu yang panjang dari setiap otot
dan akan mengakibatkan rasa nyeri pada otot.

2.4

Gangguan Kesehatan Pada Muculoskeletal Tiap Bagian Tubuh


NIOSH (2007) menjelaskan bahwa Musculoskeletal Disorders (MSDs) dapat

disebabkan oleh berbagai faktor risiko, baik berupa faktor tunggal maupun kombinasi
dari berbagai faktor risiko. Berikut ini adalah beberapa jenis cidera yang mungkin
dialami pekerja disebabkan pekerjaannya:
2.3.3

Cidera Pada Tangan


Cidera pada bagian tangan, pergelangan tangan dan siku bisa disebabkan dari

pekerjaan tangan yang intensif sehingga memungkinkan terjadinya postur janggal pada
tangan dengan durasi yang lama, pergerakan yang berulang/repetitif, dan tekanan dari
peralatan/ material kerja. Sembilan belas studi menyatakan bahwa pekerjaan repetitive
berpengaruh pada cidera pada tangan dan pergelangan tangan misalnya CTS (Bernard et
al, 1997). Penelitian dari Chiang (1993) pada tiga grup pekerjaan menyimpulkan bahwa
prevalensi CTS ditemukan sebbesar 14,5% sebagai gejala awal dari pergerakan
repetitive yang dilakukan pekerja. (Bernard et al; NIOSH, 1997).
a) Tendinitis. merupakan peradangan pada tendon, adanya struktur ikatan yang melekat
pada masing-masing bagian ujung dari otot ke tulang. Keadaan tersebut akan semakin

berkembang ketika tendon terus menerus digunakan untuk mengerjakan hal-hal


yang tidak biasa seperti tekanan yang kuat pada tangan, membengkokkan

pergelangan tangan selama bekerja, atau menggerakkan pergelangan tangan


secara berulang. Jika ketegangan otot tangan ini terus berlangsung, akan
menyebabkan tendinitis. Gejala yang dirasakan antara lain Pegal, sakit pada
bagian tertentu khususnya ketika bergerak aktif seperti pada siku dan lutut yang
disertai dengan pembengkakan. Kemerah-merahan, terasa terbakar, sakit dan
membengkak ketika bagian tubuh tersebut beristirahat. Pekerjaan yang
berpotensi antatra lain adalah Industri perakitan automobile, pengemasan
makanan, juru tulis, sales, manufaktur

Gambar 2.2 Postur Kerja Pada Tangan yang Menyebabkan Tendinitis


(Sumber: NIOSH, 2007)

b) Carpal Tunnel Syndrome (CTS). CTS dapat menyebabkan sulitnya seseorang


menggenggam sesuatu pada tangannya. CTS merupakan Gangguan tekanan/
pemampatan pada syaraf yang mempengaruhi syaraf tengah, salah satu dari tiga
syaraf yang menyuplai tangan dengan kemampuan sensorik dan motorik. CTS
pada pergelangan tangan merupakan terowongan yang terbentuk oleh carpal
tulang pada tiga sisi dan ligamen yang melintanginya. Gejalanya antara lain
Gatal dan mati rasa pada jari khususnya di malam hari, sakit seperti terbakar,

mati rasa yang menyakitkan, sensasi bengkak yang tidak terlihat, melemahnya
sensasi genggaman karena hilangnya fungsi syaraf sensorik. Faktor risiko yang
dapat menyebabkan CTS Manual handling, postur, getaran, repetisi, force/ gaya
yang membutuhkan peregangan, frekuensi, durasi, suhu. Pekerjaaan yang
berpotensi adalah pekerjaan Mengetik dan proses pemasukan data, kegiatan
manufaktur, perakitan, penjahit dan pengepakan/ pembungkusan.

Gambar 2.3 Postur Kerja Pada Tangan yang Menyebabkan Carpal Tunnel Syndrome
(Sumber: NIOSH, 2007)

c) Trigger finger. Tekanan yang berulang pada jari-jari (pada saat menggunakan
alat kerja yang memiliki pelatuk) dimana menekan tendon secara terus menerus
hingga ke jari-jari dan mengakibtakan rasa sakit dan tidak nyaman pada bagian
jari-jari.

Gambar 2.4 Postur Kerja Pada Tangan yang Menyebabkan Trigger finger
(Sumber: NIOSH, 2007)

d) Epicondylitis. Merupakan rasa nyeri atau sakit pada bagian siku. Rasa sakit ini
berhubungan dengan perputaran ekstrim pada lengan bawah dan pembengkokan
pada pergelangan tangan. Kondisi ini juga biasa disebut tennis elbow atau
golfers elbbow.

Gambar 2.5 Postur Kerja Pada Tangan yang Menyebabkan Epicondylitis


(Sumber: NIOSH, 2007)

e)

Hand-Arm Vibration Syndrome (HAVS). Gangguan pada pembuluh darah dan


syaraf pada jari yang disebabkan oleh getaran alat atau bagian / permukaan
benda yang bergetar dan menyebar langsung ke tangan. Dikenal juga sebagai
getaran yang menyebabkan white finger, traumatic vasospastic diseases atau
fenomena Raynauds kedua. Gejala dari HAVS adalah Mati rasa, gatal-gatal, dan
putih pucat pada jari, lebih lanjut dapat menyebabkan berkurangnya sensitivitas
terhadap panas dan dingin. Gejala biasanya muncul dalam keadaan dingin.
Faktor yang berisiko menyebabkan HAVS diantaranya adalah Getaran, durasi,
frekuensi, intensitas getaran, suhu dingin. Pekerjaan yang birisiko adalah
Pekerjaan konstruksi, petani atau pekerja lapangang, perusahaan automobil dan
supir truk, penjahit, pengebor, pekerjaan memalu, gerinda, penyangga, atau
penggosok lantai.

2.3.4 Cidera Pada Bahu dan Leher


Pekerjaan dengan melibatkan bahu memiliki kemungkinan yang besar dalam
penyebabkan cidera pada bagian tubuh tersebut. Beberapa postur bahu seperti merentang
lebih dari 45 atau mengangkat bahu ke atas melebihi tinggi kepala. Durasi yang lama
dan gerakan yang berulang juga mempengaruhi kesakitan pada bahu. Terdapat hubungan
yang positif antara pekerjaan repetitif dan MSDs pada bahu dan leher, studi lainnya
menyatakan bahwa kejadian cidera bahu juga disebabkan karena eksposur dengan postur
janggal dan beban yang diangkat (Bernard et al, 1997).

Bursitis. Peradangan (pembengkakan) atau iritasi yang terjadi pada jaringan ikat
yang berada pada sekitar persendian. Penyakit ini akibat posisi bahu yang
janggal seperti mengangkat bahu di atas kepala dan bekerja dalam waktu yang
lama.

Gambar 2.6 Posisi Kerja yang Berisiko Pada Bahu


(Sumber: NIOSH, 2007)

Tension Neck Syndrome. Gejala ini terjadi pada leher yang mengalami
ketegangan pada otot-ototnya disebabkan postur leher menengadah ke atas dalam
waktu yang lama. Sindroma ini mengakibatkan kekakuan pada otot leher, kejang
otot, dan rasa sakit yang menyebar ke bagian leher.

Gambar 2.7 Posisi Kerja yang Berisiko Pada Leher


(Sumber: NIOSH, 2007)

2.3.5 Cidera Pada Punggung dan Lutut


Di beberapa jenis pekerjaan, dibutuhkan pekerjaan lantai atau mengangkat beban
yang menyebabkan postur punggung tidak netral. Posisi berlutut, membungkuk, atau
jongkok bisa menyebabkan sakit pada punggung bagian bawah atau pada lutut, jika
dilakukan dalam waktu yang lama dan kontinyu mengakibatkan masalah yang serius
pada otot dan sendi (NIOSH, 2007). Menurut Ablett (2001) dalam Santoso (2004),
terdapat 80% orang dewasa mengalami nyeri pada bagian tubuh belakang (back pain)
karena berbagai sebab dan kejadian back pain ini mengakibatkan 40% orang tidak
masuk kerja.

Low Back Pain. Kondisi patologis yang mempengaruhi tulang, tendon, syaraf,
ligamen, intervertebral disc dari lumbar spine (tulang belakang). Cidera pada
punggung dikarenakan otot-otot tulang belakang mengalami peregangan jika
postur punggung membungkuk. Diskus (discs) mengalami tekanan yang kuat dan
menekan juga bagian dari tulang belakang termasuk syaraf. Apabila postur

membungkuk ini berlangsung terus menerus, maka diskus akan melemah yang
pada akhirnya menyebabkan putusnya diskus (disc rupture) atau biasa disebut
herniation. Gejala yang dirasakan adalah Sakit di bagian tertentu yang dapat
mengurangi tingkat pergerakan tulang belakang yang ditandai oleh kejang otot.
Sakit daritingkat menengah sampai yang parah dan menjalar sampai ke kaki.
Sulit berjalan normal dan pergerakan tulang belakang menjadi berkurang. Sakit
ketika mengendarai mobil, batuk atau mengganti posisi. Faktor risiko yang dapat
menimbulkan LBP adalah Pekerjaan manual yang berat, postur janggal, force/
gaya,beban objek,getaran, repetisi, dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
Pekerjaan yang berisiko antara lain Pekerja lapangan atau bukan lapangan,
pelayan, operator,tekhnisian dan manajernya, profesional, sales, pekerjaan yang
berhubungan dengan tulis-menulis dan pengetikan, supir truk, pekerjaan manual
handling, penjahit dan perawat.

Gambar 2.8 Posisi Kerja yang Menyebabkan Cidera Pada Punggung


(Sumber: NIOSH, 2007)

Penyakit musculoskeletal yang terdapat di bagian lutut berkaitan dengan tekanan


pada cairan di antara tulang dan tendon. Tekanan yang berlangsung terus

menerus akan mengakibatkan cairan tersebut (bursa) tertekan, membengkak,


kaku, dan meradang atau biasa disebut bursitis. Tekanan dari luar ini juga
menyebabkan tendon pada lutut meradang yang akhirnya menyebabkan sakit
(tendinitis).

Gambar 2.9 Posisi Kerja yang Menyebabkan Cidera Pada Lutut


(Sumber: NIOSH, 2007)
2.5

Pemeriksaan Fisik Musculoskeletal


Penyakit system musculoskeletal dapat dibagi menjadi 2 golongan: penyakit

sistemik dan penyakit local. Pasien dengan penyakit sistemik seperti arthritis rematoid,
lupus eritomatosus sistemik dan polimiositis, dapat telihat sakit kronis dengan
kelemahan umum, nyeri dan kaku sendi secara berkala. Pasien pada penyakit local pada
dasarnya merupakan individu sehat yang menderita keterbatasan gerakan dan nyeri pada
suatu daerah tertentu. Yang masuk kedalam kelompok ini adalah pasien yang menderita
nyeri punggung, tennis elbow, arthritis atau bursitis. Meskipun pasien2 ini hanya
mempunyai gejala-gejala local, disability yang dideritanya dapat sangat membatasi
kemampuan kerja mereka, dan penyakit ini dapat mempunyai dampak yang besar sekali.

Pemeriksaan fisik system musculoskeletal akan lebih komprehensif bila


mengikuti anjuran apley, yaitu dengan Look, Feel, dan Move.
1) Look (inspeksi), yaitu pemeriksaan dengan melihat bagaimana keadaan
a. Perlukaan atau kemerahan
b. Pembengkakan
c. Deformitas
2) Feel (palpasi).
a. Palpasi merupakan pemeriksaan yang memberi informasi dua
arah; karena itu perhatikan wajah pasien atau tanyakan apakah
yang diraba nyeri, selain itu perhatikan apakah ada perabaan
teraba sesuatu yang lain dari normal
b. Apakah ada nyeri tekan, krepitasi dan pergerakan yang abnormal
3) Move
a. Apakah dapat bergerak pasif atau aktif
b. Apakah gerakan menimbulkan rasa sakit
Pada pemeriksaan sendi, rentang gerak sangat penting. Tiap sendi memiliki
rentang gerak yang khas yang dapat diperiksa secara pasif dan aktif. Rentang gerak pasif
adalah gerakan yang terjadi karena pemeriksa menggerakkan tubuh pasien. Rentang
gerak aktif adalah gerakan yang dilakukan pasien karena mengerakkan otot-otot
tubuhnya. Rentang gerak pasif biasanya sama dengan rentang gerak aktif kecuali pada
kelumpuhan otot atau reptur tendo. Gerakan sendi diukur dalam derajat lingkaran
dengan sendi itu dipusatnya. Jika suatu anggota tubuh diekstesikan dengan tulang

membentuk garis lurus, sendi itu dikatakan dalam posisi nol. Posisi nol adalah posisi
netral untuk sendi itu. Kalau sendi difleksikan, sudut ini meningkat. Konsep rentang
gerak dilukiskan dalam gambar 2.10

Gambar 2.10 Konsep Rentang Gerak


Ada 6 macam gerakan dasar pada sendi , yaitu:

Fleksi dan ekstensi

Dorsifleksi dan plantar fleksi

Aduksi dan abduksi

Inversi dan eversi

Rotasi internal dan eksternal

Pronasi dan supinasi

Table 2.1. Gerakan Sendi


Gerakan
Fkleksi
Ekstensi
Dorsifleksi

Definisi
Gerakan menjauhi posisi
nol
Gerakan kembali keposisi
nol*
Gerakan
dalam
arah
permukaan dorsal

Plantar(atau palmar) fleksi

Gerakan
dalam
plantar(atau) plamar

arah

Aduksi

Gerakan
tengah+

ke

arah

garis

Abduksi

Gerakan
tengah

menjauhi

garis

Inverse

Contoh
Kebanyakan sendi
Kebanyakan sendi
Pergelangan kaki, jari kaki,
pergelangan tangan, jari
tanagan
Pergelangan kaki, jari kaki,
(pergelangan tangan, jari
tanagan)
Sendi
bahu,
pinggul,
metakarpofalangeal,
metatarsofalangeal
Sendi
bahu,
pinggul,
metakarpofalangeal,
metatarsofalangeal
Sendi
subtalar
dan
midtarsal kaki
Sendi
subtalar
dan
midtarsal kaki
Bahu, pingggul

Memutar
permukaan
plantar kaki kedalam
Eversi
Memutar
permukaan
plantar kaki keluar
Rotasi internal
Memutar
permukaan
anterior
ekstrimitas
kedalam
Rotasi eksternal
Memutar
permukaan Bahu, pingggul
anterior ekstrimitas keluar
Pronasi
Rotasi sehingga permukaan Siku, pergelangan tangan
palmar tangan mengarah
kebawah
Supinasi
Rotasi sehingga permukaan Siku, pergelangan tangan
palmar tangan mengarah
keatas
*jika gerakan melebihi posisi nol, dikatakan ada hiperekstensi
+pada tangan atau kaki garis tengah adalah garis yang berturut-turut ditarik melalui jari
tengah lengan atau kaki.
Gerakan sendi bahu adalah abduksi dan adduksi, fleksi dan ekstensi, rotasi
internal dan eksternal. Gerakan bahu digambarkan pada gambar 2.11.

Gambar 2.11 Rentang Gerak di Bahu. (A) Abduksi dan Adduksi, (B)Fleksi dan
Ekstensi, (C) Rotasi internal dan eksternal

Gerakan-gerakan sendi siku adalah fleksi dan ekstensi, serta supinasi dan
pronasi. Gerakan-gerakan ini diperlihatkan dalam gambar 2.12

Gambar 2.12 Rentang Gerak Sendi Siku (A) Fleksi dan Ekstensi, (B) supinasi dan
pronasi

Gerakan sendi pergelangan tangan adalah dorsifleksi (atau ekstensi) dan fleksi
palmar, serta supinasi dan pronasi. Gerakan-gerakan ini dilukiskan dalam gambar 2.13.

Gambar 2.13. Rentang Gerak Sendi Pergelangan Tangan (A)


Dorsifleksi(ekstensi) dan fleksi palmar, (B) Supinasi dan pronasi

Gerakan sendi jari tangan adalah abduksi dan aduksi serta fleksi. Gerakangerakan ini dilukiskan dalam gambar 2.14

Gambar 2.14. Rentang gerak sendi jari tangan (A) abduksi dan adduksi, (B)
Fleksi

Gerakan sendi ibu jari adalah fleksi dan ekstensi, dan aposi. Gerakan-gerakan ini
dilukiskan dalam gambar 2.15

Gambar 2.15 Rentang gerak ibu jari (A) fleksi dan ekstensi, (B) aposisi

Gerakan-gerakan sendi pinggul adalah fleksi dan ekstensi; abduksi dan aduksi;
serta rotasi internal dan eksternal. Gerakan-gerakan ini dilukiskan dalam gambar 2.16.

Gambar 2.16. Rentang Gerak Sendi Pinggul (A) fleksi dan ekstensi (B), abduksi
dan aduksi, (C) rotasi internal dan eksternal

Gerakan-gerakan sendi lutut adalah fleksi dan hiperekstensi. Gerakan-gerakan ini


dilukiskan dalam gamabar 2.17 Gerakan-gerakan sendi pergelangan kaki adalah
dorsifleksi dan fleksi plantar, serta eversi dan inverse. Gerakan-gerakan ini dilukiskan
dalam gamabar 2.18

Gambar 2.17 Rentang gerak sendi lutut fleksi dan hiperekstensi

Gambar 2.18 Rentang gerak sendi pergelangan kaki dan sendi kaki (A)
dorsifleksi dan fleksi plantar,(B) eversi dan inverse

Gerakan-gerakan sendi leher adalah fleksi dan ekstensi; rotasidan fleksi lateral.
Gerakan-gerakan ini dilukiskan dalam gambar 2.19

Gambar 2.19 Rentang Gerak Vertebra Servikalis. A. Fleksi dan ekstensi. B,


rotasi. C, fleksi lateral.
Gerakan-gerakan sendi vertebra lumbalis adalah fleksi dan ekstensi; rotasi dan
ekstensi lateral. Gerakan-gerakan ini dilukiskan dalam gambar 2.20

Gambar 2.20 Sendi Vertebrata Lumbalis Fleksi dan Ekstensi; Rotasi dan Ekstensi Lateral

2.6

Faktor Risiko MusculoSkeletal Disorders

2.6.1.1 Faktor Pekerjaan


Faktor risiko pekerjaan adalah karakteristik pekerjaan yang dapat meningkatkan
risiko cedera pada sistem otot rangka. Faktor risiko ergonomic adalah sifat/karakteristik
pekerja atau lingkungan kerja yang dapat meningkatkan kemungkinan pekerja menderita
gejala MSDs (LaDao,2004). Ada beberapa faktor yang terbukti berkontribusi
menyebabkan MSDs yaitu pekerjaan yang dilakukan dengan postur tubuh saat bekerja,
beban, gerakan repetitive/frekuensi, durasi, dan genggaman.

2.6.1.2 Postur Kerja


Postur tubuh adalah posisi relatif dari bagian tubuh tertentu. Bridger (1995)
menyatakan bahwa postur didefinisikan sebagai orientasi rata-rata bagian tubuh dengan
memperhatikan satu sama lain antara bagian tubuh yang lain. Postur dan pergerakan
memegang peranan penting dalam ergonomi.
Posisi tubuh yang menyimpang secara signifikan terhadap posisi normal saat
melakukan pekerjaan dapat menyebabkan stress mekanik lokal pada otot, ligamen, dan
persendian. Hal ini mengakibatkan cedera pada leher, tulang belakang, bahu,
pergelangan tangan, dan lain-lain. Namun di lain hal, meskipun postur terlihat nyaman
dalam bekerja, dapat berisiko juga jika mereka bekerja dalam jangka waktu yang lama.
Pekerjaan yang dikerjakan dengan duduk dan berdiri, seperti pada pekerja kantoran
dapat mengakibatkan masalah pada punggung, leher dan bahu serta terjadi penumpukan
darah di kaki jika kehilangan kontrol yang tepat.
Secara alamiah postur tubuh dapat terbagi menjadi:
a. Statis
Pada postur statis persendian tidak bergerak, dan beban yang ada adalah beban
statis. Dengan keadaan statis suplai nutrisi kebagian tubuh akan terganggu
begitupula dengan suplai oksigen dan proses metabolisme pembuangan tubuh.
Sebagai contoh pekerjaan statis berupa duduk terus menerus, akan
menyebabkan gangguan pada tulang belakang manusia. Posisi tubuh yang
senantiasa berada pada posisi yang sama dari waktu kewaktu secara alamiah
akan membuat bagian tubuh tersebut stress.

b. Dinamis
Posisi yang paling nyaman bagi tubuh adalah posisi netral. Pekerjaan yang
dilakukan secara dinamis menjadi berbahaya ketika tubuh melakukan
pergerakan yang terlalu ekstreme sehingga energi yang dikeluarkan oleh otot
menjadi sangat besar. Atau tubuh menahan beban yang cukup besar sehingga
timbul hentakan tenaga yang tiba-tiba dan hal tersebut dapat menimbulkan
cedera (Aryanto, 2008).

2.6.1.3 Beban atau Tenaga (Force)


Beban dapat diartikan sebagai muatan (berat) dan kekuatan pada struktur tubuh.
Satuan beban dinyatakan dalam newton atau pounds, atau dinyatakan sebagai sebuah
proporsi dari kapasitas kekuatan individu (NIOSH, 1997).
Pekerja yang melakukan aktivitas mengangkat barang yang berat memiliki
kesempatan 8 kali lebih besar untuk mengalami low back pain dibandingkan pekerja
yang bekerja statis. Penelitian lain membuktikan bahwa hernia diskus lebih sering terjadi
pada pekerja yang mengangkat barang berat dengan postur membungkuk dan berputar
(Levy dan Wegman, 2000).
Dalam berbagai penelitian dibuktikan cedera berhubungan dengan tekanan pada
tulang akibat membawa beban. Semakin berat benda yang dibawa semakin besar tenaga
yang menekan otot untuk menstabilkan tulang belakang dan menghasilkan tekanan yang
lebih besar pada bagian tulang belakang.
Pembebanan fisik yang dibenarkan adalah pembebanan yang tidak melebihi 3040% dari kemampuan kerja maksimum tenaga kerja dalam 8 jam sehari dengan

memperhatikan peraturan jam kerja yang berlaku.semakin berat beban maka semakin
singkat pekerjaan.(Sumamur, 1989).

2.6.1.4 Durasi (Duration)


Durasi adalah lamanya pajanan dari faktor risiko. Durasi selama bekerja akan
berpengaruh terhadap tingkat kelelahan. Kelelahan akan menurunkan kinerja,
kenyamanan dan konsentrasi sehingga dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Durasi
manual handling yang lebih besar dari 45 menit dalam 1 jam kerja adalah buruk dan
melebihi kapasitas fisik pekerja. Selain itu, ada pula yang menyebut durasi manual
handling yang berisiko adalah > 10 detik (Humantech, 1995). Sedangkan dalam REBA,
aktivitas yang berisiko adalah 1 menit jika ada satu atau lebih bagian tubuh yang statis.
Sumamur (1989) mengungkapkan bahwa durasi berkaitan dengan keadaan fisik
tubuhpekerja. Pekerjaan fisik yang berat akan mempengaruhi kerja otot, kardiovaskular,
system pernapasan dan lainnya. Jika pekerjaan berlangsung dalam waktu yang lama
tanpa istirahat, kemampuan tubuh akan menurun dan dapat menyebabkan kesakitan pada
anggota tubuh. Durasi atau lamanya waktu bekerja dibagi menjadi durasi singkat yaitu
kurang dari 1 jam/hari, durasi sedang yaitu antara 1-2 jam/hari dan durasi lama yaitu
lebih dari 2 jam/hari.

2.6.1.5 Pekerjaan Berulang (Frequency)


Frekuensi dapat diartikan sebagai banyaknya gerakan yang dilakukan dalam
suatu periode waktu. Jika aktivitas pekerjaan dilakukan secara berulang, maka dapat
disebut sebagai repetitive. Gerakan repetitif dalam pekerjaan, dapat dikarakteristikan

baik sebagai kecepatan pergerakan tubuh, atau dapat di perluas sebagai gerakan yang
dilakukan secara berulang tanpa adanya variasi gerakan
Bridger (1995) menyatakan bahwa aktivitas berulang, pergerakan yang cepat dan
membawa beban yang berat dapat menstimulasikan saraf reseptor mengalami sakit.
Frekuensi terjadinya sikap tubuh yang salah terkait dengan beberapa kali terjadi
repetitive motion dalam melakukan suatu pekerjaan. Keluhan otot terjadi karena otot
menerima tekanan akibat beban kerja terus menerus tanpa memperolah kesempatan
untuk relaksasi. Dalam Humantech (1995), posisi tangan dan pergelangan tangan
berisiko apabila dilakukan gerakan berulang/frekuensi sebanyak 30 kali dalm semenit
dan sebanyak 2 kali per menit untuk anggota tubuh seperti bahu, leher, punggung dan
kaki.
Gerakan lengan dan tangan yang dilakukan secara berulang-ulang terutama pada
saat bekerja mempunyai risiko bahaya yang tinggi terhadap timbulnya CTDs. Tingkat
risiko akan bertambah jika pekerjaan dilakukan dengan tenaga besar, dalam waktu yang
sangat cepat dan waktu pemulihan kurang.
Beberapa studi telah dilakukan yang memberikan indikasi tingkat bahaya dari
pekerjaan dengan tangan. Silvertein (1987) mendefinisikan pekerjaan berulang sebagai
salah satu dengan waktu putaran kurang dari 30 detik atau lebih dari 50% waktu putaran
disimpan untuk menampilkan aksi pokok yang sama. Penggunaan definisi ini, hubungan
yang signifikan ditemukan antara kegiatan berulang-ulang (repetitiveness) dan
keberadaan CTD. Luopajarvi (1997) membandingkan prevalensi tenosynovitis dan
penyakit lainnya pada pekerja perakitan. Pekerja perakitan dikarakteristikan dengan
gerakan tangan yang berulang-ulang, dengan jari dan tangan secara tetap menangani

mesin, lebih dari 25.000 gerakan tangan setiap hari kerja. Penelitian menemukan secara
statistic hubungan yang signifikan (p<0,001) anatara pekerja perakitan dan keberadaan
sindrom otot-tendon dan CTD. Kenyataannya, 56% dari pekerja perakitan menderita
penyakit pada lengan bawah dan atau pergelangan tangan, dibandingkan dengan
kelompok control hanya 14%. Studi ini menyarankan bahwa gerakan tangan sebanyak
25.000 atau lebih untuk tiap hari kerja (kira-kira 50 gerakan tangan per menit)
berkontribusi terhadap perkembangan CTD.
Lain halnya dalam penelitian Lie T Merijanti S (2005) yang meniliti mengenai
gerakan repetitive berulang terhadap risiko terjadinya sindrom terowongan karpal pada
pekerja wanita di pabrik pengolahan makanan. Penelitian tersebut mengkategorikan
jumlah gerakan repetitif tangan/jam kedalam 3 katagori, yaitu repetitif rendah bila
jumlah gerakan <1000/jam, repetitif sedang bila jumlah gerakan 10001200/jam dan
repetitive tinggi bila jumlah gerakan >1200/jam.

2.6.1.6 Genggaman
Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai contoh,
pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang lunak akan
menerima tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila hal ini sering terjadi, dapat
menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap (Tarwaka et al, 2004). Menurut Sumamur
(1989) memegang diusahakan dengan tangan penuh dan memegang dengan hanya
beberapa jari yang dapat menyebabkan ketegangan statis lokal pada jari tersebut harus
dihindarkan.

2.6.2 Faktor Individu


2.6.2.1 Umur
Riihimaki et al. (1989) dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa umur
berhubungan dengan keluhan pada otot. Chaffin (1979) dan Guo et al. (1995) dalam
Tarwaka (2004) menyatkan bahwa pada umumnya keluhan musculoskeletal mulai
dirasakan pada usia kerja, yaitu antara 25-65 tahun. Keluhan pertama biasa dirasakan
pada usia 35 tahun dan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Jadi
semakin tua umurnya semakin besar risiko terjadinya gangguan MSDs.
Selain itu, penelitian lain dalam Hadler (2005) pada pekerja di Swedia
menunjukkan hasil bahwa sekitar 70% di antara yang mengalami keluhan pada
punggung berusia antara 35-40 tahun. Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya,
kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun. Pada saat kekuatan dan ketahanan otot
menurun, maka risiko terjadinya keluhan semakin meningkat. Pada penelitian Hanne
dan kawan-kawan (1995) pada pekerja perusahaan kayu dan furniture, diketahui bahwa
LBP berhubungan dengan usia dan masa kerja yang lebih lama

2.6.2.2 Masa Kerja


Masa kerja merupakan faktor risiko dari suatu pekerja yang terkait dengan lama
bekerja. Dapat berupa masa kerja dalam suatu perusahaan dan masa kerja dalam suatu
unit produksi. Masa kerja merupakan faktor risiko yang sangat mempengaruhi seorang
pekerja untuk meningkatkan risiko terjadinya musculoskeletal disorders, terutama untuk
jenis pekerjaan yang menggunakan kekuatan kerja yang tinggi. Riihimaki et al. (1989)
menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai hubungan yang kuat dengan keluhan otot.

Pada penelitian Hanne dan kawan-kawan (1995) pada pekerja perusahaan kayu
dan furniture, diketahui bahwa LBP berhubungan dengan usia dan masa kerja yang lebih
lama.

2.6.2.3 Jenis Kelamin


Secara fisiologis, kemampuan otot wanita lebih rendah dibanding pria. Astrand
dan Rodahl (1977) dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita
hanya sekitar dua pertiga dari kekuatan otot pria sehingga daya tahan otot pria lebih
tinggi dibandingkan otot wanita.
Tarwaka (2004) juga mencatat hasil penelitiannya lainnya oleh Chiang et al.
(1993), Bernard et al. (1994), Hales et al. (1994) dan Johansen (1994) yang
menunjukkan bahwa perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita adalah 1:3.

2.6.2.4 Kebiasaan merokok


Setiap rokok/cerutu mengandung lebih dari 4.000 jenis bahan kimia, dimana 400
dari bahan-bahan tersebut dapat meracuni dan 40 dari bahan tersebut dapat
menyebabkan kanker. Zat berbahaya didalam rokok diantaranya adalah nikotin Efek
nikotin menyebabkan perangsangan terhadap hormon kathekolamin (adrenalin) yang
bersifat memacu jantung dan tekanan darah. Jantung tidak diberikan kesempatan
istirahat dan tekanan darah akan semakin meninggi, berakibat timbulnya hipertensi.
Selain itu juga terdapat zat karbot mono oksida, tar, DDT, cadmium, formaldehyd,
arsenic, hydrogen cyanidhe, naphthalene, polonium-210 dan vinyl chloride serta zat
berbahaya lainnya.

Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula
tingkat keluhan yang dirasakan (Tarwaka et al, 2004). Perokok lebih memiliki
kemungkinan menderita masalah punggung dari pada bukan perokok. Efeknya adalah
hubungan dosis yang lebih kuat dari pada yang diharapkan dari efek batuk risiko
meningkat sekitar 20% untuk setiap 10 batang rokok perharin (Pheasant, 1991).
Beberapa penelitian membuktikan bahwa meningkatnya keluhan otot terkait
dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Semakin lama atau semakin tinggi
frekuensi merokok semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan.seperti
survey yang dilakukan di Britania oleh Palmer et al (1996) ditemukan 13.000 orang
yang merokok sering mengeluhkan rasa ridak nyaman pada musculoskeletal dan rasa
lumpuh terhadap cidera musculoskeletal dibandingkan mereka yang tidak pernah
merokok. Hal ini disebabkan rokok dapat merusak jaringan otot dan mengurangi respon
syaraf terhadap rasa sakit. Palmer juga mengatakan penyebab perokok lebih merasakan
sakit musculoskeletal antara lain:
1) Zat nikotin yang terkandung di dalam rokok merupakan stimulan kuat yang
secara efektif menjalankan respon sakit pada tubuh perokok
2) Asap

rokok

mungkin

musculoskeletal

dengan

menyebabkan
cara

kerusakan

mengurangi

umum

suplai

darah

pada

jaringan

ke

jaringan

musculoskeletal, meningkatkan penggumpalan darah, atau mengurangi aliran


nutrisi ke otot dan sendi
Tarwaka (2004) mencatat salah satu penelitian oleh Boshuizen et al. (1993) yang
hasilnya menemukan hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan
keluhan otot pinggang terkait pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot yang besar.

Hal ini terjadi karena kebiasaan merokok akan dapat menurunkan kapasitas paru
sehingga kemampuan menghirup oksigen menurun. Akibatnya adalah kekuatan dan
ketahanan otot menurun karena suplai oksigen ke otot juga menurun sehingga produksi
energi terhambat, lalu penumpukan asam laktat di otot, kemudian timbul rasa lelah
hingga nyeri otot.
Pendapat serupa dinyatakan dalam NIOSH (1997), yang mengunkapkan bahwa
merokok juga dapat menimbulkan rasa sakit pada punggung karena disebabkan batuk
yang diderita perokok dapat meningkatkan tekanan pada abdominal dan intradiscal,
sehingga menyebabkan tekanan pada bagian tulang belakang serta kandungan zat kimia
dalam rokok dapat mempengaruhi berkurangnya kandungan mineral dalam tulang yang
berakibat microfractures.
Perokok lebih memiliki kemungkinan menderita masalah punggung dari pada
bukan perokok. Efeknya adalah hubungan dosis dan lebih kuat dari pada yang
diharapkan dari efek batuk. Meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan
lama dan tingkat kebiasaan merokok. Risiko meningkat 20% untuk tiap 10 batang rokok
per hari. Mereka yang telah berhenti merokok selama setahun memiliki risiko LBP sama
dengan mereka yang tidak merokok. Kebiasaan merokok akan menurunkan kapasitas
paru-paru, sehingga kemampuannya untuk mengkonsumsi oksigen akan menurun. Bila
orang tersebut dituntut untuk melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka
akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah (Jeanie Croasmun.
2003).
Croasmun (2003) juga menanbahkan bahwa perokok memiliki risiko 50 % lebih
besar untuk merasakan MSDs. Hal ini dikarenakan efek rokok akan menciptakan respon

rasa sakit atau sebagai permulaan rasa sakit, mengganggu penyerapan kalsium pada
tubuh sehingga meningkatkan risiko terkena osteoporosis, menghambat penyembuhan
luka patah tulang serta menghambat degenerasi tulang.

2.6.2.5 Kebiasaan Olahraga


Tingkat kesegaran jasmani yang rendah akan meningkatkan risiko terjadinya
keluhan otot. Kesegaran tubuh terdiri dari 10 komponen, yaitu: kekuatan, daya tahan,
kecepatan, kelincahan, kelenturan, keseimbangan, kekuatan, koordinasi, ketepatan dan
waktu reaksi. Kesepuluh komponen tersebut dapat diperkuat melalui kebiasaan olahraga.
Bagi pekerja dengan kekuatan fisik yang rendah, risiko keluhan menjadi tiga kali lipat
dibandingkan yang memiliki kekuatan fisik tinggi.(Ariani,2009)
Kusmana (2007) menjelaskan bahwa olahraga adalah menggerakkan tubuh
dalam jangka waktu tertentu. Dengan berolahraga teratur dapat mencegah kegemukan
dengan segala dampak negatifnya, menguatkan dan lebih mengefisienkan kinerja otototot tubuh, seperti otot jantung, otot pernafasan dan otot-otot rangka tubuh, dan lebih
melancarkan aliran darah ke dalam sel-sel tubuh, dan pembuangan bahan-bahan sisa dari
sel-sel tubuh menjadi lebih baik. Olahraga dapat dikelompokkan dalam bentuk statis dan
dinamis. Disebut statis artinya dilakukan ditempat, orangnya tidak berpindah-pindah.
Olahraga statis digolongkan kedalam 2 bagian yaitu berat dan ringan. Olahraga statis
berat sebagai contoh adalah angkat besi atau angkat berat. Olahraga semacam itu
memang ditunjukkan untuk memperbesar dan memperkuat otot, atau disebut juga
olahraga kekuatan. Olahraga ini tidak memberikan manfaat yang berarti untuk sistem
aliran darah maupun jantung., Olahraga statis ringan contohnya mengangkat dumble

berkali-kali. Olahraga dengan beban ringan seperti dumble yang dilakukan dengan
jumlah angkatan tertentu (sampai 12 kali) dapat meningkatkan kekuatan otot. Otot yang
bertambah kuat akan mampu melakukan gerakan yang lebih lama sehingga aliran darah
kejantung akan lebih meningkat. Setiap olahraga dinamis ditandai dengan memanjang
dan memendeknya otot-otot, ketegangan otot-otot tidak menjadi tujuan, sebab yang
diinginkan adalah bertambahnya aliran darah. Olahraga dinamis mampu meningkatkan
aliran darah sehingga sangat menunjang pemeliharaan jantung dan system pernapasan.
Ditambahkan pula oleh Kusmana (2007) yang mengungkapkan mengenai
frekuensi olahraga menurut pendapat seorang penganjur olahraga aerobic yaitu Cooper.
Dahulu Cooper menyampaikan untuk setiap hari berolahraga, tetapi akhirnya setelah
melakukan pengamatan yang lama ia mengakui bahwa olahraga 3 kali dalam seminggu
saja sudah cukup. Berbagai penelitian menunjukkan frekuensi latihan minimal 3 kali
seminggu pada hari yang bergantian, artinya selang sehari. Badan memerlukan
pemulihan selesai berolahraga sehingga satu hari olahraga dan satu hari lainnya tidak,
cukup memberi kesempatan pada otot dan persendian untuk memulihkan diri. Kusmana
(2007) menyebutkan olahraga yang baik untuk kesehatan jantung dan peredaran darah
diantaranya adalah marathonb,tenis, mendayung 2000 m, berenang 400 m, panahan, lari
gawang 200-800 m, skate 10.000 m, jogging dan jalan cepat, lari 1-5 km, dan olahraga
aerobic lainnya.
Adapun yang di maksud dengan Konsep Olahraga Kesehatan adalah: Padat
gerak, bebas stress, singkat (cukup 10-30 menit tanpa henti), ), adekuat, massaal, mudah,
murah, meriah dan fisiologis (bermanfaat dan aman). Adekuat artinya cukup, yaitu
cukup dalam waktu (10-30 menit tanpa henti) dan cukup dalam intensitasnya. Menurut
Cooper (1994), intensitas Olahraga Kesehatan yang cukup yaitu apabila denyut nadi

latihan mencapai 65-80% DNM (Denyut nadi maximal: 220-umur dalam tahun)
(Santosa, 2007).

2.6.3

Faktor Lingkungan

2.6.3.1 Getaran
Getaran ini terjadi ketika spesifik bagian dari tubuh atau seluruh tubuh kontak
dengan benda yang bergetar seperti menggunakan power handtool dan pengoperasian
forklift saat mengangkat beban. Getaran juga dapat menyebabkan kontraksi otot
meningkat yang menyebabkan peredaran darah tidak lancar, sehingga terjadi
peningkatan timbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri.
Vibrasi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai gerakan ditimbulkan tubuh
terhadap titik tertentu. Vibrasi yang ditimbulkan oleh mesin biasanya sangat komplek

tapi regular. Vibrasi memiliki 2 parameter yaitu: kecepatan dan intensitas (Oborne,
1995). Vibrasi dengan frekuensi 4-8 hz (frekuensi natural dari trunk) dapat
menimbulkan efek nyeri, khususnya untuk bagian tubuh dada, bahkan menyebabkan
kesulitan bernafas. Pada frekuensi 10-20 Hz dapat menyebabkan sakit kepala dan
tegangan mata, sedangkan pada frekuensi 4-10Hz akan menimbulkan nyeri pada
abdominal. Komplain akan sakit punggung biasanya terjadi jika terdapat getaran 8-12
Hz (Pulat, 1992).

2.6.3.2 Suhu
Pajanan pada udara dingin, aliran udara, peralatan sirkulasi udara dan alat-alat
pendingin dapat mengurangi

keterampilan tangan dan merusak

daya

sentuh.

penggunaan otot yang berlebihan untuk memegang alat kerja dapat menurunkan resiko
ergonomi.
Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh mengakibatkan sebagian energi di
dalam tubuh dihabiskan untuk mengadaptasikan suhu tubuh terhadap lingkungan.
Apabila tidak disertai pasokan energi yang cukup akan terjadi kekurangan suplai energi
ke otot (Tarwaka, 2004).
Berdasarkan rekomendasi NIOSH (1984) tentang kriteria suhu nyaman, suhu
udara dalam ruang yang dapat diterima adalah berkisar antara 20-24 C (untuk musim
dingin) dan 23-26 C (untuk musim panas) pada kelembapan 35-65%. Rata-rata gerakan
udara dalam ruang yang ditempati tidak melebihi 0.15 m/det untuk musim dingin dan
0.25 m/det untuk musim panas. Kecepatan udara di bawah 0.07 m/det akan memberikan
rasa tidak enak di badan dan rasa tidak nyaman. Beberapa penelitian menyimpulkan

bahwa pada temperature 27-30 C, maka performa kerja dalam pekerjaan fisik akan
menurun (Pulat, 1992).

2.6.3.3 Pencahayaan
Pencahayaan akan mempengaruhi ketelitian dan performa kerja. Bekerja dalam
kondisi cahaya yang buruk, akan membuat tubuh beradaptasi untuk mendekati cahaya.
Jika hal tersebut terjadi dalam waktu yang lama meningkatkan tekanan pada otot bagian
atas tubuh (Bridger, 1995).
Pencahayaan yang inadekuat dapat merusak salah satu fungsi organ tubuh. Hal
ini berkaitan dengan tingkat pekerjaan yang membutuhkan tingkat ketilitian yang tinggi
atau tidak. Bila pencahayaan yang inadekuat pada ruangan kerja akan menyebabkan
postur leher lebih condong kedepan (fleksi) begitupun dengn postur tubuh, postur seperti
ini dapat menambah risiko MSDs.

2.6.4 Faktor Psikososial


Faktor psikososial yaitu kepuasan kerja, stress mental, organisasi kerja (shift
kerja, waktu istirahat, dll) (Dinardi, 1997). Organisasi kerja didefinisikan sebagai
distribusi dari tugas kerja tiap waktu dan diantara para pekerja, durasi dari tugas kerja
dan durasi serta distribusi dari periode istirahat. Durasi kerja dan periode istirahat
memiliki pengaruh pada kelelahan jaringan dan pemulihan. Studi khusus pada pengaruh
organisasi kerja pada gangguan leher telah dilakukan. Ditemukan bahwa kerja VDU
yang melebihi empat jam per hari berhubungan dengan gejala pada leher (Riihimaki,
1998).

Bernard et al (1997) menyatakan bahwa walaupun banyak penelitian yang


menunjukkan MSDs dipengaruhi oleh faktor psikososial tetapi umumnya memiliki
kekuatan yang lemah. Pernyataan Bernard tersebut didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Kerr et al (2001) menunjukkan bahwa faktor psikososial menyebabkan
terjadinya MSDs tetapi memiliki hubungan yang lemah

2.7 Metode Penilaian Ergonomi


2.7.1 Baseline Risk Identification of Ergonomics Factors (BRIEF)
Baseline Risk Identification of Ergonomics Factors (BRIEF) adalah alat
penyaring

awalmenggunakan

struktur

dan

bentuk

sistem

tingkatan

untuk

mengidentifikasi penerimaan tiap tugas dalam suatu pekerjaan. BRIEF digunakan untuk
menentukan sembilan bagian tubuh yang dapat beresiko terhadap terjadinya CTD
(Cummulative Trauma Disorders) atau risiko gangguan kesehatan pada sistem rangka.
Penilaian pekerjaan menggambarkan tinjauan ulang ergonomi secara mendalam dari
ketiga penetapan data ( sederhana, mudah dipahami, dan dapat dipercaya) dan juga yang
paling memberikan beban paling berat. Bagian tubuh yang dianalisa meliputi : tangan
kiri, dan pergelangannya, siku kiri, bahu kiri, leher, punggung, tangan kanan dan
pergelangnya, siku kanan, bahu kanan dan kaki (Humantech, 1989, 1995)
Survei ini mengidentifikasi risiko-risiko yang berhubungan dengan postur,
tenaga, durasi dan frekuensi ketika mengobservasi ke-sembilan bagian tubuh tersebut.
Penilaian risiko digunakan untuk menentukan tinggi, sedang, atau rendahnya risiko
untuk setiap bagian tubuh.

2.7.2 Rapid Upper Limb Assessment (RULA)


RULA menyediakan sebuah dasar perhitungan dari beban pada musculoskeletal
dalam pekerjaan ketika seseorang mempunyai risiko pada leher dan anggota badan
bagian atas (McAtamney and Corlett, 1993). RULA juga menyediakan nilai tunggal
yang memberikan penilaian pada postur, tenaga, gerakan yang dibutuhkan. Risiko
dihitung ke dalam sebuah skor dari 1 (terendah) sampai 7 (tertinggi). Skor ini di
kelompokan ke dalam empat tingkatan tindakan yang mendasari sebuah indikasi batasan
waktu dimana kontrol terhadap risiko harus dilakukan.
Metode ini digunakan untuk mengkaji postur, tenaga, dan gerakan yang
dihubungkan dengan pekerjaan yang menetap atau tidak berpindahpindah. Seperti
pekerjaan di belakang layar atau pekerjaan komputer, manufaktur, atau pedagang
dengan posisi duduk atau berdiri tanpa bergerak kemana-mana. Empat fungsi utama dari
RULA adalah :
a. Menghitung risiko pada musculoskeletal, biasanya sebagai bagian dari
investigasi risiko ergonomi.
b. Membandingkan beban musculoskeletal yang ada dan modifikasi desain kerja.
c. Mengevaluasi hasil seperti produktivitas atau keserasian peralatan.
d. Mendidik pekerja tentang risiko pada muskuloskeletal yang diciptakan dari
perbedaan postur bekerja.
RULA dapat digunakan untuk menilai secara teliti pekerjaan atau postur untuk
satu orang pekerja maupun kelompok (Herbert et al, 1996). Itu mungkin dibutuhkan
untuk menilai sebuah angka perbedaan postur selama putaran dalam bekerja untuk
menetapkan sebuah profil dari beban otot.

2.7.3 OVAKO Work Analysis System (OWAS)


OWAS merupakan metode yang digunakan untuk mengevaluasi beban postur
selama melakukan pekerjaan. OWAS menilai empat action level, dimana faktor yang
dinilai adalah punggung, lengan, kaki dan beban. OWAS lebih cocok digunakan untuk
menilai pekerjaan yang bergerak seperti manual handling.
Metode OWAS ini dapat diaplikasikan antara lain diarea :
a. Pengembangan lingkungan kerja atau metode kerja untuk mengurangi beban
pada musculoskeletal dan membuatnya lebih aman serta produktif.
b. Untuk merencanakan tempat kerja baru maupun metode kerja yang baru
c. Didalam melakukan survey ergonomi
d. Didalam melakukan survey kesehatan kerja
e. Didalam penelitian dan pengambangan

2.7.4 Rapid Entire Body Assessment (REBA)


REBA (Highnett and McAtamney, 2000) dikembangkan untuk mengkaji postur
bekerja yang dapat ditemukan pada industri pelayanan kesehatan dan industri pelayanan
lainnya. Data yang dikumpulkan termasuk postur badan, kekuatan yang digunakan, tipe
dari pergerakan, gerakan berulang, dan gerakan berangkai. Skor akhir REBA diberikan
untuk memberi sebuah indikasi pada tingkat risiko mana dan pada bagian mana yang
harus dilakukan tindakan penanggulangan. Metode REBA digunakan untuk menilai
postur pekerjaan berisiko yang berhubungan dengan musculoskletal disorders/work
related musculoskeletal disorders (WRMSDs).
Kelebihan REBA antara lain :

Merupakan metode yang cepat untuk menganalisa postur tubuh pada suatu
pekerjaan yang dapat menyebabkan risiko ergonomi.

Mengidentifikasi faktor-faktor risiko dalam pekerjaan (kombinasi efek dari otot


dan usaha, postur tubuh dalam pekerjaan, genggaman atau grip, peralatan kerja,
pekerjaan statis atau berulang-ulang).

Dapat digunakan untuk postur tubuh yang stabil maupun yang tidak stabil.

Skor akhir dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah, untuk menentukan


prioritas penyelidikan dan perubahan yang perlu dilakukan.

Fasilitas kerja dan metode kerja yang lebih baik dapat dilakukan ditinjau dari
analisa yang telah dilakukan.

Sedangkan kekurangan atau kelemahan metode REBA adalah:

Hanya menilai aspek postur dari pekerja

Tidak mempertimbangkan kondisi yang dialami oleh pekerja terutama yang


berkaitan dengan faktor psikososial

Tidak menilai kondisi lingkungan kerja terutama yang berkaitan dengan vibrasi,
temperature dan jarak panadang

2.7.4.1 Standar dan Peraturan


REBA bukan merupan desain spesifik untuk memenuhi standart khusus.
Meskipun demikian, ini telah digunakan di Inggris untuk pengkajian yang berhubungan
dengan Manual Handling Operation Regulation (HSE, 1998). REBA ini juga digunakan
secara luas di dunia internasional termasuk dalam US Ergonomi Program Standart
(OSHA, 2000).

2.7.4.2 Prosedur
REBA memiliki enam langkah:
a. Obeservasi pekerjaan
Mengobservasi pekerjaan untuk mendapatkan formula yang tepat dalam
pengkajian faktor ergonomi di tempat kerja, termasuk dampak dari desain tempat kerja
dan lingkungan kerja, penggunaan peralatan, dan perilaku pekerja yang mengabaikan
risiko. Jika memungkinkan, data disimpan dalam bentuk foto atau video. Bagaimanapun
juga, dengan menggunakan banyak peralatan observasi sangat dianjurkan untuk
mencegah kesalahan parallax.
b. Memilih postur yang akan dikaji
Memutuskan postur yang mana untuk dianalisa dapat dengan menggunakan
kriteria dibawah ini :
a) Postur yang sering dilakukan
b) Postur dimana pekerja lama pada posisi tersebut
c) Postur yang yang membutuhkan banyak aktivitas otot atau yang banyak
menggunakan tenaga
d) Postur yang diketahui menyebabkan ketidaknyamanan
e) Postur extreme, tidak stabil, atau postur janggal, khususnya postur yang
menggunakan kekuatan
f) Postur yang mungkin dapat diperbaiki oleh intervensi, kontrol, atau perubahan
lainnya.

Keputusan dapat didasari pada satu atau lebih kritera di atas. Kriteria dalam
memutuskan postur mana yang akan dianalisa harus dilaporkan dengan disertai hasil
atau rekomendasi.
c. Memberikan penilaian pada postur tersebut
Menggunakan kertas penilaian dan penilaian bagian tubuh untuk menghitung
skor postur. Penilaian awal dibagi dua grup :
a. Grup A : badan/dada, leher, kaki
b. Grup B : Lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan
Postur grup B dinilai terpisah untuk sisi kiri dan kanan. Sebagai catatan poin
tambahan dapat dimasukan atau dikurangi, tergantung dari posisinya. Contoh, dalam
grup B, lengan atas dapat disangga dalam posisi tersebut (terdapat sandaran lengan),
sehingga 1 nilai dikurangi dari poinnya. Skor load/force score, coupling score, dan
activity score disediakan pada tahapan ini. Proses ini dapat diulangi pada setiap sisi
tubuh dan untuk postur lainnya.

Gambar 2.21 REBA Score sheet

d. Proses penilaian
Gunakan tabel A untuk menghasilkan skor tunggal dari badan, leher, dan kaki.
Kemudian dicatat dalam kotaknya dan dimasukan kedalam load/force score untuk
menghasilkan skor A. Sama seperti sebelumnya penilaian lengan atas, lengan bawah dan
pergelangan tangan digunakan untuk menghasilkan nilai tunggal yang menggunakan
tabel B. Penilaian ini akan kembali dilakukan apabila risiko terhadap muskuloskeletal
berbeda. Penilaian kemudian dimasukan ke dalam nilai gabungan untuk menghasilkan
nilai B. Nilai A dan B dimasukan ke dalam Tabel C dan kemudian nilai tunggal
didapatkan. Nilai tunggal ini adalah skor C atau skor keseluruhan.

e. Menetapkan skor REBA


Tipe dari aktivitas otot yang sedang bekerja kemudian diwakilkan oleh nilai
aktivitas, dimana dimasukan untuk memberi nilai akhir dari REBA.
f. Menetapkan tingkatan tindakan
Nilai REBA yang sudah ada kemudian dicocokan dengan tabel tingkat aktivitas.
Tabel ini merupakan kumpulan dari beberpa nilai tingkatan yang mengindikasikan
apakah posisi tersebut harus dirubah atau tidak. Ketika pekerjaan berubah berdasarkan
intervensi yang diberikan, proses dapat diulang kembali, dan nilai REBA yang baru
dapat dibandingkan dengan nilai sebelum diintervensi untuk melihat tingkat keefektifan
perubahan

2.8

Tindakan Pengendalian Terhadap Risiko MSDs


Berdasarkan rekomendasi dari Occupational Safety and Health Administration

(OSHA), tindakan ergonomik untuk mencegah adanya sumber penyakit adalah melalui
dua cara, yaitu rekayasa teknik melalui desain stasiun dan alat kerja dan rekayasa
manajemen melalui criteria dan organisasi kerja (Grandjean, 1993). Berikut merupakan
penjabaran dari dua cara tindakan pengendalian yang telah disebutkan sebelumnya,
antara lain:
1. Rekayasa teknik
Rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa alternatif
sebagai berikut:

Eliminasi, yaitu menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal ini jarang bisa
dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerjaan yang mengharuskan untuk
menggunakan peralatan yang ada.

Substitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengan yang baru yang aman,
menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur penggunaan
peralatan.

Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan pekerja,


sebagai contoh memisahkan ruang mesin yang bergetar dengan ruang kerja
lainnya, pemasangan alat peredam getaran, dan sebagainya.

Ventilasi, yaitu menambah ventilasi untuk mengurangi risiko sakit, misalnya


akibat suhu udara yang terlalu panas.

2. Rekayasa Manajemen
Rekayasa manajemen dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan sebagai berikut:

Pendidikan dan pelatihan


Melalui pendidikan dan pelatihan, pekerja menjadi lebih memahami lingkungan
dan alat kerja, sehingga diharapkan dapat melakukan penyesuaian dalam
melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap risiko sakit akibat kerja

Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang


Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang maksudnya adalah
disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan,
sehingga dapat mencegah paparan yang berlebihan terhadap sumber bahaya

Pengawasan yang intensif


Melalui pengawasan yang intensif dapat dilakukan pencegahan secara lebih dini
terhadap kemungkinan terjadinya risiko sakit akibat kerja (Tarwaka, 2004).
Pengendalian secara khusus pada pekerjaan yang langsung berhubungan dengan

MSDs mencakup engineering controls dan administrative controls seperti yang akan
dijelaskan berikut ini.
1. Diantara pengendalian-pengendalian engineering untuk mengeliminasi atau
mengurangi faktor-faktor risiko pada pekerjaan, berikut ini yang dapat
dipertimbangkan:

Menggunakan metode kerja, seperti analisis gerakan untuk mengeliminasi


pengerahan tenaga dan gerakan yang tidak seharusnya.

Menggunakan

bantuan

mesin

untuk

mengeliminasi

atau

mengurangi pengerahan tenaga dalam menggunakan alat dan objek kerja

Menyeleksi atau mendesain peralatan untuk mengurangi beban,


menghemat waktu, dan memperbaiki postur

Menyediakan

tempat

kerja

yang

dapat

disesuaikan

dengan

penggunaannya untuk mengurangi jangkauan dan memperbaiki postur

Mengimplementasikan

program

pemeliharaan

dan

pengendalian

kualitas untuk mengurangi pergerakan dan beban yang tidak seharusnya,


khususnya yang berhubungan dengan pekerjaan yang tidak memiliki nilai
tambah
2. Pengendalian administratif untuk mengurangi risiko karena pengurangan
waktu pajanan, contohnya adalah:

Mengimplementasikan standar kerja

yang memberi izin pekerja

untuk berhenti sejenak atau melakukan peregangan otot seperlunya,


paling tidak hal tersebut dilakukansatu kali dalam satu jam

Merealokasikan

penempatan

kerja,

seperti

memberlakukan

rotasi

pekerja, sehingga pekerja tidak menghabiskan seluruh shift kerjanya


dengan melakukan atau mengerjakan tuntutan tugas atau pekerjaan yang
tinggi (ACGIH, 2007).

BAB III
TINJAUAN KASUS (SIMULASI)

3.1 Identitas Pasien :


Nama

: Ibu Z

Umur/tanggal lahir

: 30 tahun.

Alamat

: Jakarta

Jenis kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Tukang bubur

Status Perkawinan

: Menikah.

3.2. Anamnesis Penyakit :


1. Keluhan Utama
Telapak tangan sering kesemutan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh kesemutan di telapak tangan kanan yang dirasakan sejak 1 bulan
yang lalu. Kesemutan terutama dirasakan pada sisi dalam jari tengah, telunjuk, dan ibu
jari. Kesemutan bersifat hilang timbul dan dirasakan terutama pada malam hari dan
berkurang bila dikebas-kebaskan.
Pasien mengeluh rasa sedikit tebal pada jari tengah, telunjuk, dan ibu jari. Keluhan
muncul bersamaan dengan rasa kesemutan. Pasien juga mengaku terdapat nyeri di
pergelangan tangan yang tidak menjalar. Nyeri dirasakan 3 hari yang lalu. Nyeri
berkurang bila pergelangan tangan dipijat atau dikibas-kibaskan.
Pasien tidak pernah memeriksakan keluhan tersebut sebelumnya. Oleh pasien tangan
yang sakit masih tetap digunakan untuk bekerja. Pasien bekerja sebagai penjual bubur
yang aktivitasnya mengaduk bubur pada kuali besar setiap hari yang sudah dijalani lebih
dari 8 tahun. Pasien juga mengaku mempunyai kebiasaan mencuci dan memeras
pakaian dengan tangan di rumah.
Pasien menyangkal riwayat bengkak dan panas di pergelangan tangan. Pasien juga
menyangkal riwayat jatuh menumpu pada tangan. Pasien juga menyangkal kebiasaan
tidur menumpu pada pergelangan tangan. Pasien menyangkal riwayat kelemahan
anggota gerak. Pasien menyangkal riwayat kesulitan dalam memegang botol atau
benda-benda berbentuk sejenis.
3.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit serupa : disangkal


Riwayat trauma

: disangkal

Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat penyakit gula

: disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat penyakit gula

: disangkal

.
3.3 Anamnesis Okupasi
Diperlukan anamnesis mengenai pekerjaannya, sudah berapa lama melakukan
pekerjaannya sebagai penjual bubur, berapa lama dalam sehari pasien melakukan
pekerjaannya, seberapa sering pasien mengaduk bubur setiap harinya, dan apakah pasien
pernah mengalami hal serupa sebelumnya, dll.
3.4 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
Status interna
Status psikiatri
Status neurologis
Kesadaran
Fungsi luhur
Fungsi sensoris
Taktil
Nyeri
Suhu
Diskriminan 2 titik
Lokalis

: dbn
: dbn
:
: GCS E4V5M6
: dbn
:
:
:
:
:
:

Kanan
turun
dbn
dbn
turun
turun

Fungsi motorik:
Kekuatan
Trofi
Tonus

:
:
:

C. Pemeriksaan nyeri
Flicks sign
Wrist extension test
Phalens test
Tinelss sign

Atas
5
normal
normal
: (+/-)
: (+/-)
: (+/-)
: (+/-)

Lengan
Kiri
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn

Ekstremitas Superior Kanan


Tengah
Bawah
5
5
normal
normal
normal
normal

Pressure test

: (+/-)

3.5. Pemeriksaan penunjang:


Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
3.6. Diagnosis Kerja: Carpal Tunnel Syndrome dextra
3.7. Diagnosis Okupasi :
Melalui 7 langkah Diagnosis Okupasi. Dibahas lebih mendalam pada bab pembahasan.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Langkah-langkah untuk menentukan Diagnosis PAK dan menentukan derajat


kecacatannya.
1. Diagnosis PAK :

Melalui 7 Langkah diagnosis PAK, sebagai berikut:

a. Diagnosis klinis:
Anamnesis:
- Keluhan utama

: Telapak tangan sering kesemutan

- Riwayat penyakit

: belum pernah mengalami hal tersebut sebelumnya

- Riwayat penyakit keluarga : tidak ada


- Riwayat pekerjaan

: Bekerja sebagai tukang bubur selama 8 tahun

Pemeriksaan Fisik
Status interna
Status psikiatri
Status neurologis
Kesadaran
Fungsi luhur

: dbn
: dbn
:
: GCS E4V5M6
: dbn

Fungsi sensoris
Taktil
Nyeri
Suhu
Diskriminan 2 titik
Lokalis

:
:
:
:
:
:

Lengan
Kanan
turun
dbn
dbn
turun
turun

Fungsi motorik:
Kekuatan
Trofi
Tonus

:
:
:

Atas
5
normal
normal

Pemeriksaan nyeri
Flicks sign
Wrist extension test
Phalens test
Tinelss sign
Pressure test

Kiri
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
Ekstremitas Superior Kanan
Tengah
Bawah
5
5
normal
normal
normal
normal

: (+/-)
: (+/-)
: (+/-)
: (+/-)
: (+/-)

Pemeriksaan laboratorium
Tidak dilakukan
Pemeriksaan penunjang lainnya
- Patologi Anatomi:- Radiologi:Kesimpulan Diagnosis Klinis: Carpal tunnel syndrome
b. Pajanan yang dialami: mengaduk bubur sekuali besar setiap harinya selain itu juga
melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci dan memeras pakaian dengan tangan
c. Hubungan antara pajanan dengan penyakit: ada hubungan antara pajanan dengan
penyakit, karena dari hasil anamnese terdapat faktor risiko yang dialami oleh pasien yang
dapat menyebabkan CTS seperti repetisi, force, frekuensi, dan durasi. Hal tersebut
dilengkapi dengan gejala yang khas CTS dan dari hasil pemeriksaan sign dan yang bisa
dijadikan catatan juga adalah pekerja telah melakukan hal tersebut selama 8 tahun lamanya
d. Jumlah pajanan cukup? Ya dari anamnesa didapatkan pasien sudah melakukan
pekerjaan tersebut selama 8 tahun, dan setiap hari

e. Faktor-faktor individu yang mungkin berpengaruh: pasien tidak menggunakan


sarung tangan atau alat pelindung diri pada saat melakukan pekerjaan sebagai tukang bubur
f. Faktor lain di luar pekerjaan: pasien melakukan pekerjaan rumah mencuci baju
dengan menggunakan tangan
g. Penetapan Diagnosis Okupasi: PAK Carpal tunnel syndrome pada pekerja penjual
bubur
2. Dilakukan pengobatan secara maksimal terlebih dahulu. Setelah pengobatan maksimal
tersebut selesai dan pasien masih mengalami keluhan , maka perlu dilakukan evaluasi
derajat kecacatannya sbb:
3. Evaluasi derajat kecacatannya:
Besarnya tunjangan ganti rugi untuk cacat fungsi total telah ada dalam lampiran undangundang kecelakaan*), khususnya untuk organ-organ tubuh yang langsung berkaitan dengan
pelaksanaan kekurangan yaitu tangan dan kaki dan bagian-bagiannya. Yang diperhitungkan
adalah besarnya prosentase tunjangan dari upah misalnya :

Lengan kanan dari sendi bahu ke bawah, selama-lamanya tak mampu bekerja
sebagian, karena kehilangan; tunjangan berapa % dari upah; degan catatan :

*) catatan : dengan berlakunya UU No. 3 tahun 1992, aturan ini tercantum dalam PP No. 14 tahun 1993.

1.

Buat orang kidal kalau kehilangan salah satu


lengan atau jari, maka keterangan kanan atau kiri yang tersebut dalam daftar di atas
ini dipertukarkan.
2.
Dalam hal kehilangan beberapa anggota yang
tersebut di atas ini, maka besarnya tunjangan ditetapkan dengan menjumlahkan
banyak persen dari tiap-tiap anggota badan itu. Jumlah tunjangan yang didapat tidak
boleh lebih dari 70 % upah sendiri.
3.
Anggota badan yang tidak dapat dipakai sama
sekali karena lumpuh dianggap hilang.
AAOS memberikn patokan yang desesuaikan dengan nilai/nisbi dari bagian lain dari tubuh.
Patokan ini agar dipakai sebagai patokan/pedoman penilaian pada kasus perorangan.
Secara garis besar adalah sebagai berikut (beberapa contoh %):
1. Anggota gerak bawah
% permanen impairment fisik
dan kehilangan fungsi
anggota gerak

Pemendekan tiap inchi (2,5 cm)

5%

a. Sendi panggul (nilai/terhadap seluruh badan 50%)

Non union tanpa koreksi perbaikan

75%

Dengan arthroplasty, dapat jalan & berdiri

50%

Waktu kerja 40%, gerak


Lingkup gerak dan kedudukan kelainan

50%

b. Sendi lutut
Pasca minisectomi

5%

Ligament cruciate rupture

20-30%

Peletectomy

20%

Gangguan gerak:

0-110

5%

0- 80

15%

0-60

35%

15-90

40%

Impairment and loss of physical eversi (diperhitungkan 80% dari anggota gerak
bawah) lebih dari iversion. Sedangkan kekakuan sendi pergelangan lebih besar dari
tulang-tulang tarsalia dan tarsal-metarsal lebih kecil dari jari-jari kaki.
2. Anggota gerak atas
a. Bahu : berdasarkan sendi berkisar

5-50%

b. Pergelangan tangan dan lengan

65%

Termasuk bagian yang penting dan ini dijabarkan sapai ke jari, akibat posisi yang
tidak baik dari jari serta kekakuan tiap sendi termasuk tinggi: 75 100%. Selain
itu dari jenis jari yaitu :
Ibu jari

50%

Telunjuk

75%

Tengah

10%

Cincin

10%

Kelingking

10%

3. Tulang belakang

Evaluasi permanent physical impairment tidak dapat semata-mata atas


keterbatasan gerak, tetapi harus dinilai kemampuan usaha/kerja: mengangkat,
straping, mencapai sesuatu, berputar , meloncat.
Waktu mengerjakan hal tersebut diatas, nyeri merupakan faktor penting yang
menentukan keterbatasan gerak.

Dibedakan antara :

Sprain, contusio

Fraktur dislokasi

Keberhasilan tindakan

Untuk :

bagian leher

Thoracal dan thoraco lumbal

Lumbal bawah

Paraplegia total, maka tingkat kehilangan persentasenya 100%.

Dengan adanya patokan/pedoman semacam ini, maka akan lebih mudah bagi
seseorang dokter menghitung tingkat derajat kecacatan yang perhitungan
kompensasinya dapat dihitung secara administratif, karena sebenarnya wewenang
dokter hanyalah menentukan derajat bidang mediknya saja untuk menghindarkan
faktor subjektif dalam penentuan cacat.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
1. Penyakit/kecelakaan di bidang orthopedia memerlukan diagnosis selain anatomi
juga fungsi dari anggota gerak/sendi dalam menentukan kecacatan
2. Penilaian akhir, memerlukan waktu karena perjalanan penyakit menuju kesembuhan
dapat dan atau menimbulkan kecacatan sehingga evaluasi perlu melihat stadia pada
waktu penderita dinilai (bila tidak progresif/keadaan stabil, cacat permanen, stadia
handicap)
3. Penilaian bidang othopedia perlu memperhatikan fungsi atas dasar kelainan bentuk
anatomi serta kemampuan berbuat akibat kelemahan, stabilitas dan kekakuan
4. Penilaian tingkat kecacatan mempunyai 2 pengertian. Dari segi medik, menghitung
% gangguan fungsi fisik berdasarkan kelainan anatomi/bentuk, sedangkan dari segi
administratif menghitung % kompensasi berdasarkan pemeriksaan % medik
5. Perlu pedoman penailan atas dasar kelainan yang ada yang dapat dipakai sebagai
patokan yang lebih memadai, yang dibuat oleh perkumpulan profesi kerjasama
dengan Depnaker.

DAFTAR PUSTAKA

Bridger, R., S. Introduction to Ergonomics. International Editions. General


Engineering Series. McGraw-Hill, Inc. 1995.
Bridger, R.S. Introduction to ergonomimcs. 2
Fancis. Inc. 2003.

nd

Edition. London. Taylor &

Buchari. Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Terkait Kerja. USU Repository
2007.
Canadian Centers for Occupational Health & Safety.
2005. WMSDs
(online).. http://www.ccohs.ca/oshanwers/ergonomics/riks.html (diakses 2
Oktober
2010).
Cohen, Alexander L. et al.. Element Of Ergonomics Programs. A Primer Based
On Workplace Evaluations Of Musculoskeletal Disorders. Amerika : U.S
Departemenof Health and Human Services. NIOSH. 1997.
NIOSH. Musculoskeletal Disorders and Workplace Faktors: A Critical
Review of Epidemiologic Evidence for Work Related Musculoskeletal Disoeder.
NIOSH: Centers of Disease Contrrol and Prenvention. 1997.
NIOSH. Ergonomi Guidelines for Manual Material Handling. Columbia:
NIOSH Publications Disseminations. 2007.
DiNardi, Salvatore, R. 1997. The Occupational Environment-Its Evaluation and
Control. Virginia. American Industrial Hygienne Association.
th

Grandjean, E.1993. Fitting The Task to The man, 4 ed. London: Taylor dan
Fancis.inc.
Sumamur. (1989). Ergonomi untuk Produktivitas Kerja. Jakarta: CV Haji Mas
Agung.

66

Vous aimerez peut-être aussi