Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Menurut International Labor Organization (ILO) setiap tahun terjadi 1,1 juta
kematian yang disebabkan oleh penyakit yang di sebabkan oleh pekerjaan.
Sekitar 300.000 kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah
kematian karena penyakit akibat kerja dimana diperkirakan terjadi 160 juta
penyakit akibat hubungan pekerjaan baru setiap tahunnya. (Buchari,2007)
Penyakit akibat kerja yang banyak ditimbulkan akibat pekerjaan salah satunya
adalah penyakit otot rangka atau Musculoskeletal Disorders (MSDs). Kejadian
gangguan musculoskeletal seperti low back pain, cervic spindolisis, carpal
tunnel syndrome, dan tennis elbow, sangat sering dirasakan oleh manusia.
Selama lebih dari 50 tahun, dalam studi ditemukan bahwa 50% populasi
mendapatkan nyeri dibagian leher, pundak maupun lengan. Gangguan
muskuloskeletal yang muncul dapat merupakan akibat dari pekerjaan yang
dilakukan (Bridger, 1995). Lebih lanjut Humantech (1995) menjelaskan bahwa
istilah Musculoskeletal Disorders atau MSDs digunakan pakar ergonomi untuk
menggambarkan berbagai bentuk cedera, nyeri atau kelainan pada sistem otot
rangka yang terdiri dari jaringan saraf, otot, tulang, ligamen, tendon dan sendi.
MSDs merupakan masalah yang signifikan pada pekerja. MSDs pada awalnya
menyebabkan sakit, nyri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan, gemetar,
gangguan tidur dan rasa terbakar.
Banyak data dari berbagai penelitian dari berbagai negara yang menunjukkan
MSDs adalah satu satu kasus kesehatan kerja terbanyak. Di Amerika,
diperkirakan 6 juta kasus per tahun atau rata-rata 300-400 kasus per 100 ribu
orang pekerja. Masalah ini menyebabkan kehilangan hari kerja (lost day) untuk
istirahat
sehingga
perusahaan
merugi
karena
kehilangan
produktivitas.
dapat
bekerja
dan
tidak
dapat
memenuhi
kebutuhan
hidupnya
disorder
merupakan
salah
satu
kasus
terbanyak
yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Radiasi
2.1 Ergonomi
Istilah ergonomi berasal dari bahasa Latin yaitu Ergon (kerja) dan Nomos (hukum alam)
dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan
kerjanya
yang
ditinjau
secara
anatomi,
fisiologi,
psikologi,
engineering,
dan
manusia-mesin adalah suatu sistem yang memanfaatkan manusia sebagai pengendali mesin
dalam bekerja. Sistem manusia-mesin adalah kombinasi antara satu atau beberapa manusia
dengan satu atau beberapa mesin dimana salah satunya saling berinteraksi untuk
menghasilkan keluaran-keluaran berdasarkan masukan-masukan yang diperoleh. Dan yang
dimaksud dengan mesin dalam hal ini mempunyai arti yang luas, yaitu mencakup semua
obyek fisik seperti peralatan, perlengkapan, fasilitas dan benda-benda yang bisa digunakan
manusia dalam melaksanakan pekerjaannya. (Wicaksono,2009)
Pada dasarnya ergonomi dapat menciptakan lingkungan kerja yang dapat:
2.2
Nya adalah kemampuan mempertahankan postur tubuhnya yang bisa tegak dan bergerak
yang diatur oleh sistem musculoskeletal. Musculoskeletal terdiri dari kata musculo yang
artinya otot dan skeletal yag berarti tulang. Sistem musculoskeletal tersebut bekerja
membuat gerakan dan tindakan yang harmoni. Rangka manusia terdiri dari tulang-tulang
yang menyokong tubuh manusia yang terdiri atas tulang tengkorak, tulang badan dan
tulang anggota gerak (Nurmianto, 2004). Fungsi utama dari sistem muskuloskeletal
adalah untuk mendukung dan melindungi tubuh dan organ-organnya serta untuk
melakukan gerak. Agar seluruh tubuh dapat berfungsi dengan normal, masing-masing
substruktur harus berfungsi dengan normal. Enam substruktur utama pembentuk sistem
muskuloskeletal antara lain: tendon, ligamen, fascia (pembungkus), kartilago, tulang
sendi dan otot. Tendon, ligamen, fascia dan otot sering disebut sebagai jaringan lunak,
sedangkan tulang sendi diperlukan untuk pergerakan antara segmen tubuh. Peran mereka
dalam sistem muskuloskeletal keseluruhan sangatlah penting sehingga tulang sendi
sering disebut sebagai unit fungsional sistem muskuloskeletal.
Tulang, ligamen, tendon, dan kartilago adalah jaringan penghubung dalam tubuh.
Mereka menyediakan sokongan, meneruskan tenaga dan memelihara integritas secara
struktural. Ligamen dan tendon adalah jaringan penghubung padat yang mirip dalam
morfologi
dan
fungsinya.
Ligamen
menghubungkan
tulang
dengan
tulang,
Sistem otot terdiri dari sejumlah besar otot yang bertanggung jawab atas gerakan
tubuh. Sel otot merupakan sel tubuh yang khusus digunakan untuk melakukan kontraksi
dan relaksasi sehingga pergerakan manusia dapat terlaksana (Sumamur, 1989).
Adapun Fungsi sistem otot adalah:
1. Menghasilkan gerakan tubuh atau menggerakkan rangka
2. Menjaga postur atau mempertahankan sikap/posisi tubuh
3. Menghasilkan panas, sel otot menghasilkan panas sebagai sebuah produk dan
menjadi mekanisme penting untuk menjaga suhu tubuh (Bridger, 1995).
Anizar (2006) membagi kerja Otot menjadi kerja secara statis (postural) atau
dinamis (rhythmic). Pada kerja otot dinamis, kontraksi dan relaksasi terjadi silih berganti
sedangkan pada kerja otot statis, otot menetap dan berkontraksi untuk suatu periode
waktu tertentu. Kerja otot statis dibutuhkan dalam membentuk postur tubuh oleh karena
konstraksinya yang kontiniu maka bagian-bagian tubuh dapat dipertahankan berada pada
posisi yang tetap. Keadaan peredaran darah pada kerja otot statis berbeda dengan kerja
otot dinamis. Pada kerja otot statis, pembuluh darah tertekan oleh pertambahan tekanan
dalam otot akibat kontrasi sehingga menyebabkan peredaran darah dalam otot
terganggu. Kerja otot dinamis berlaku sebagai suatu pompa bagi peredaran darah.
Kontraksi disertai pemompaan darah ke luar otot sedangkan relaksasi memberikan
kesempatan bagi darah untuk masuk ke dalam otot. Dengan demikian peredaran darah
meningkat dan otot menerima darah 10 sampai 20 kali keadaan kerja otot statis.
Otot yang bekerja secara dinamis memperoleh banyak oksigen dan glukosa
sehingga memiliki banyak tenaga sementara sisa metabolisme segera dibuang. Otot yang
bekerja statis tidak memperoleh oksigen dan glukosa dari darah dan harus menggunakan
cadangan yang ada. Lebih dari itu sisa metabolisme seperti asam laktat tidak dapat
diangkut keluar akibat peredaran darah yang terganggu sehingga menumpuk dan
menimbulkan rasa nyeri. (Anizar,2006)
Otot memerlukan energi ketika berkontraksi. Energi berasal dari pemecahan
molekul ATP (Adenosin trifosfat) menjadi ADP (Adenosin difosfat) yang berada di
dalam otot. Jika kontraksi terus berlangsung, energi diambil dari senyawa glukosa yang
terdapat dalam otot karena peredaran darah yang menyalurkan oksigen, bahan makanan
dan sisa metabolisme terhambat. Glukosa akan mengalami glikolisis menjadi asam
piruvat dan ATP yang akan digunakan untuk kontraksi otot. Asam piruvat dalam sel otot
dapat diubah menjadi asam laktat. Timbunan asam laktat dalam otot dapat menyebabkan
rasa pegal atau kelelahan. Jika otot terus-menerus dirangsang untuk melakukan
kontraksi, maka dapat menyebabkan kejang otot.
Dalam pemanfaatan energi, pekerjaan dinamis lebih baik daripada pekerjaan
statis. Pada pekerjaan statis, peredaran darah ke otot berkurang yang dipengaruhi oleh
besarnya tenaga yang diperlukan. Jika suplai darah ke otot kurang, maka energi yang
dihasilkan pun berkurang. Hal ini tidak sesuai dengan kebutuhan energi yang tinggi
karena kerja otot statis kurang efisien dibandingkan kerja otot dinamis akibat konsumsi
energi pada pekerjaan statis menjadi lebih besar untuk melakukan upaya atau pekerjaan
yang lebih kecil daripada pekerjaan dinamis (Sumamur, 1989).
2.3
Ikrimah
(2009)
menerangkan
berdasarkan
Canadian
Center
for
Occupational Health and Safety, Aktivitas kerja seperti pekerjaan yang bersifat repetitif,
atau pekerjaan dengan postur yang tidak normal adalah hal yang dapat menyebabkan
munculnya gangguan MSDs, yang sakitnya dapat dirasakan selama bekerja atau pada
saat tidak bekerja.
Humatech (1995) menyatakan bahwa gangguan pada system musculoskeletal
tidak pernah terjadi secara langsung, tetapi merupakan kumpulan-kumpulan benturan
kecil dan besar yang terakumulasi secara terus menerus dalam waktu relatif lama, dapat
dalam hitungan beberapa hari, bulan dan tahun, tergantung pada berat ringannya trauma
setiap kali dan setiap saat, sehingga dapat menimbulkan suatu cidera yang cukup besar
yang diekspresikan dengan rasa sakit, kesemutan, pegal-pegal, nyeri tekan,
pembengkakan dan gerakan yang terhambat atau gerakan minim atau kelemahan pada
anggota tubuh yang terkena trauma. MusculoSkeletal Disorders merupakan istilah yang
memperlihatkan adanya gangguan pada sistem musculoskeletal, dan bukan merupakan
suatu diagnosis
Tiap bagian tubuh yang digunakan dalam bekerja memilki risiko ergonomi dan
gangguan kesehatan, yang dapat mengakibatkan melemahkan fungsi tubuh dan
penurunan kinerja pekerja baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. Bagian-bagian
tubuh seperti tangan, leher, bahu, punggung dan kaki merupakan bagian tubuh yang
sering digunakan pekerja dalam melakukan pekerjaannya. Bagian tubuh yang sering
digunakan pekerja maka akan berdampak timbulnya keluhan atau cidera pada bagianbagian tubuh tersebut. Dalam hal ini NIOSH menyatakan bahwa faktor risiko pada
pekerjaan termasuk manusia (postur tubuh, beban, durasi, dan frekuensi, genggaman),
faktor alat, dan lingkungan kerja merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan
MSDs.
Terkait postur tubuh dengan kejadian MSDs ditegaskan pula oleh
Achwan
(2006) yang menyatakan bahwa, Ada dua aspek postur tubuh yang memberikan
kontribusi atas gangguan muskuloskeletal akibat kerja, termasuk pekerjaan yang bersifat
repetitif. Pertama adalah posisi dari bagian tubuh saat melakukan pekerjaan. Aspek yang
kedua dari postur tubuh yang memberikan kontribusi atas gangguan WMSDs (Work
Related Musculoskeletal Disorser) adalah posisi dari leher akan senantiasa menstabilkan
posisi tubuh selama pekerjaan dilakukan. Kontraksi otot yang terjadi akan menekan
pembuluh darah, dan menyebabkan terganggunya peredaran darah. Otot pada leher dan
betis akan menjadi lelah meskipun leher dan bahu
yang disadur Merulalia (2010) mengungkapkan gejala yang akan menunjukkan tingkat
keparahan Musculoskeletal Disorders dapat dilihat dari:
Tahap 1: Sakit atau pegal-pegal dan kelelahan selama jam kerja tapi gejala ini
biasanya menghilang setelah waktu kerja (dalam satu malam). Tidak berpengaruh
pada performa kerja. Efek ini dapat pulih setelah istirahat
Tahap 2: Gejala ini tetap ada setelah melewati waktu satu malam setelah bekerja.
Tidur mungkin terganggu, kadang-kadang menyebabkan berkurangnya performa
kerja
Tahap 3: Gejala ini tetap ada walaupun setelah istirahat, nyeri terjadi ketika
bergerak secara repetitif. Tidur terganggu dan sulit untuk melakukan pekerjaan,
kadang-kadang tidak sesuai kapasitas kerja.
a. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot
menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang
apabila pembebanan dihentikan, dan
b. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap.
Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih
terus berlanjut (Tarwaka et al, 2004).
myalgia (nyeri otot), yang bilamana dilakukan penekanan terhadap otot yang
bersangkutan akan menimbulkan rasa nyeri yang sangat.
pegal adalah perasaan tidak enak di otot yang dirasakan di sepanjang otot yang
terkena, namun pada tempat-tempat tertentu terdapat daerah yang keras sekali,
yang dikenal sebagai myofacial trigger point.
Keluhan nyeri otot akibat kontraksi otot yang terus menerus akan mengakibatkan
terjadinya iritasi kimiawi dan kompresi pada serabut otot juga pada pembuluh darah
sebagai akibat tertimbunnya sampah metabolik pada otot, sedangkan pada waktu
bersamaan terjadi juga fase konstriksi pembuluh darah. Penimbunan sampah metabolik
ini menyebabkan iritasi pada sistem reseptor dari otot-otot leher, iritasi ini terjadi oleh
karena peningkatan aktifitas motor unit untuk masa waktu yang panjang dari setiap otot
dan akan mengakibatkan rasa nyeri pada otot.
2.4
disebabkan oleh berbagai faktor risiko, baik berupa faktor tunggal maupun kombinasi
dari berbagai faktor risiko. Berikut ini adalah beberapa jenis cidera yang mungkin
dialami pekerja disebabkan pekerjaannya:
2.3.3
pekerjaan tangan yang intensif sehingga memungkinkan terjadinya postur janggal pada
tangan dengan durasi yang lama, pergerakan yang berulang/repetitif, dan tekanan dari
peralatan/ material kerja. Sembilan belas studi menyatakan bahwa pekerjaan repetitive
berpengaruh pada cidera pada tangan dan pergelangan tangan misalnya CTS (Bernard et
al, 1997). Penelitian dari Chiang (1993) pada tiga grup pekerjaan menyimpulkan bahwa
prevalensi CTS ditemukan sebbesar 14,5% sebagai gejala awal dari pergerakan
repetitive yang dilakukan pekerja. (Bernard et al; NIOSH, 1997).
a) Tendinitis. merupakan peradangan pada tendon, adanya struktur ikatan yang melekat
pada masing-masing bagian ujung dari otot ke tulang. Keadaan tersebut akan semakin
mati rasa yang menyakitkan, sensasi bengkak yang tidak terlihat, melemahnya
sensasi genggaman karena hilangnya fungsi syaraf sensorik. Faktor risiko yang
dapat menyebabkan CTS Manual handling, postur, getaran, repetisi, force/ gaya
yang membutuhkan peregangan, frekuensi, durasi, suhu. Pekerjaaan yang
berpotensi adalah pekerjaan Mengetik dan proses pemasukan data, kegiatan
manufaktur, perakitan, penjahit dan pengepakan/ pembungkusan.
Gambar 2.3 Postur Kerja Pada Tangan yang Menyebabkan Carpal Tunnel Syndrome
(Sumber: NIOSH, 2007)
c) Trigger finger. Tekanan yang berulang pada jari-jari (pada saat menggunakan
alat kerja yang memiliki pelatuk) dimana menekan tendon secara terus menerus
hingga ke jari-jari dan mengakibtakan rasa sakit dan tidak nyaman pada bagian
jari-jari.
Gambar 2.4 Postur Kerja Pada Tangan yang Menyebabkan Trigger finger
(Sumber: NIOSH, 2007)
d) Epicondylitis. Merupakan rasa nyeri atau sakit pada bagian siku. Rasa sakit ini
berhubungan dengan perputaran ekstrim pada lengan bawah dan pembengkokan
pada pergelangan tangan. Kondisi ini juga biasa disebut tennis elbow atau
golfers elbbow.
e)
Bursitis. Peradangan (pembengkakan) atau iritasi yang terjadi pada jaringan ikat
yang berada pada sekitar persendian. Penyakit ini akibat posisi bahu yang
janggal seperti mengangkat bahu di atas kepala dan bekerja dalam waktu yang
lama.
Tension Neck Syndrome. Gejala ini terjadi pada leher yang mengalami
ketegangan pada otot-ototnya disebabkan postur leher menengadah ke atas dalam
waktu yang lama. Sindroma ini mengakibatkan kekakuan pada otot leher, kejang
otot, dan rasa sakit yang menyebar ke bagian leher.
Low Back Pain. Kondisi patologis yang mempengaruhi tulang, tendon, syaraf,
ligamen, intervertebral disc dari lumbar spine (tulang belakang). Cidera pada
punggung dikarenakan otot-otot tulang belakang mengalami peregangan jika
postur punggung membungkuk. Diskus (discs) mengalami tekanan yang kuat dan
menekan juga bagian dari tulang belakang termasuk syaraf. Apabila postur
membungkuk ini berlangsung terus menerus, maka diskus akan melemah yang
pada akhirnya menyebabkan putusnya diskus (disc rupture) atau biasa disebut
herniation. Gejala yang dirasakan adalah Sakit di bagian tertentu yang dapat
mengurangi tingkat pergerakan tulang belakang yang ditandai oleh kejang otot.
Sakit daritingkat menengah sampai yang parah dan menjalar sampai ke kaki.
Sulit berjalan normal dan pergerakan tulang belakang menjadi berkurang. Sakit
ketika mengendarai mobil, batuk atau mengganti posisi. Faktor risiko yang dapat
menimbulkan LBP adalah Pekerjaan manual yang berat, postur janggal, force/
gaya,beban objek,getaran, repetisi, dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
Pekerjaan yang berisiko antara lain Pekerja lapangan atau bukan lapangan,
pelayan, operator,tekhnisian dan manajernya, profesional, sales, pekerjaan yang
berhubungan dengan tulis-menulis dan pengetikan, supir truk, pekerjaan manual
handling, penjahit dan perawat.
sistemik dan penyakit local. Pasien dengan penyakit sistemik seperti arthritis rematoid,
lupus eritomatosus sistemik dan polimiositis, dapat telihat sakit kronis dengan
kelemahan umum, nyeri dan kaku sendi secara berkala. Pasien pada penyakit local pada
dasarnya merupakan individu sehat yang menderita keterbatasan gerakan dan nyeri pada
suatu daerah tertentu. Yang masuk kedalam kelompok ini adalah pasien yang menderita
nyeri punggung, tennis elbow, arthritis atau bursitis. Meskipun pasien2 ini hanya
mempunyai gejala-gejala local, disability yang dideritanya dapat sangat membatasi
kemampuan kerja mereka, dan penyakit ini dapat mempunyai dampak yang besar sekali.
membentuk garis lurus, sendi itu dikatakan dalam posisi nol. Posisi nol adalah posisi
netral untuk sendi itu. Kalau sendi difleksikan, sudut ini meningkat. Konsep rentang
gerak dilukiskan dalam gambar 2.10
Definisi
Gerakan menjauhi posisi
nol
Gerakan kembali keposisi
nol*
Gerakan
dalam
arah
permukaan dorsal
Gerakan
dalam
plantar(atau) plamar
arah
Aduksi
Gerakan
tengah+
ke
arah
garis
Abduksi
Gerakan
tengah
menjauhi
garis
Inverse
Contoh
Kebanyakan sendi
Kebanyakan sendi
Pergelangan kaki, jari kaki,
pergelangan tangan, jari
tanagan
Pergelangan kaki, jari kaki,
(pergelangan tangan, jari
tanagan)
Sendi
bahu,
pinggul,
metakarpofalangeal,
metatarsofalangeal
Sendi
bahu,
pinggul,
metakarpofalangeal,
metatarsofalangeal
Sendi
subtalar
dan
midtarsal kaki
Sendi
subtalar
dan
midtarsal kaki
Bahu, pingggul
Memutar
permukaan
plantar kaki kedalam
Eversi
Memutar
permukaan
plantar kaki keluar
Rotasi internal
Memutar
permukaan
anterior
ekstrimitas
kedalam
Rotasi eksternal
Memutar
permukaan Bahu, pingggul
anterior ekstrimitas keluar
Pronasi
Rotasi sehingga permukaan Siku, pergelangan tangan
palmar tangan mengarah
kebawah
Supinasi
Rotasi sehingga permukaan Siku, pergelangan tangan
palmar tangan mengarah
keatas
*jika gerakan melebihi posisi nol, dikatakan ada hiperekstensi
+pada tangan atau kaki garis tengah adalah garis yang berturut-turut ditarik melalui jari
tengah lengan atau kaki.
Gerakan sendi bahu adalah abduksi dan adduksi, fleksi dan ekstensi, rotasi
internal dan eksternal. Gerakan bahu digambarkan pada gambar 2.11.
Gambar 2.11 Rentang Gerak di Bahu. (A) Abduksi dan Adduksi, (B)Fleksi dan
Ekstensi, (C) Rotasi internal dan eksternal
Gerakan-gerakan sendi siku adalah fleksi dan ekstensi, serta supinasi dan
pronasi. Gerakan-gerakan ini diperlihatkan dalam gambar 2.12
Gambar 2.12 Rentang Gerak Sendi Siku (A) Fleksi dan Ekstensi, (B) supinasi dan
pronasi
Gerakan sendi pergelangan tangan adalah dorsifleksi (atau ekstensi) dan fleksi
palmar, serta supinasi dan pronasi. Gerakan-gerakan ini dilukiskan dalam gambar 2.13.
Gerakan sendi jari tangan adalah abduksi dan aduksi serta fleksi. Gerakangerakan ini dilukiskan dalam gambar 2.14
Gambar 2.14. Rentang gerak sendi jari tangan (A) abduksi dan adduksi, (B)
Fleksi
Gerakan sendi ibu jari adalah fleksi dan ekstensi, dan aposi. Gerakan-gerakan ini
dilukiskan dalam gambar 2.15
Gambar 2.15 Rentang gerak ibu jari (A) fleksi dan ekstensi, (B) aposisi
Gerakan-gerakan sendi pinggul adalah fleksi dan ekstensi; abduksi dan aduksi;
serta rotasi internal dan eksternal. Gerakan-gerakan ini dilukiskan dalam gambar 2.16.
Gambar 2.16. Rentang Gerak Sendi Pinggul (A) fleksi dan ekstensi (B), abduksi
dan aduksi, (C) rotasi internal dan eksternal
Gambar 2.18 Rentang gerak sendi pergelangan kaki dan sendi kaki (A)
dorsifleksi dan fleksi plantar,(B) eversi dan inverse
Gerakan-gerakan sendi leher adalah fleksi dan ekstensi; rotasidan fleksi lateral.
Gerakan-gerakan ini dilukiskan dalam gambar 2.19
Gambar 2.20 Sendi Vertebrata Lumbalis Fleksi dan Ekstensi; Rotasi dan Ekstensi Lateral
2.6
b. Dinamis
Posisi yang paling nyaman bagi tubuh adalah posisi netral. Pekerjaan yang
dilakukan secara dinamis menjadi berbahaya ketika tubuh melakukan
pergerakan yang terlalu ekstreme sehingga energi yang dikeluarkan oleh otot
menjadi sangat besar. Atau tubuh menahan beban yang cukup besar sehingga
timbul hentakan tenaga yang tiba-tiba dan hal tersebut dapat menimbulkan
cedera (Aryanto, 2008).
memperhatikan peraturan jam kerja yang berlaku.semakin berat beban maka semakin
singkat pekerjaan.(Sumamur, 1989).
baik sebagai kecepatan pergerakan tubuh, atau dapat di perluas sebagai gerakan yang
dilakukan secara berulang tanpa adanya variasi gerakan
Bridger (1995) menyatakan bahwa aktivitas berulang, pergerakan yang cepat dan
membawa beban yang berat dapat menstimulasikan saraf reseptor mengalami sakit.
Frekuensi terjadinya sikap tubuh yang salah terkait dengan beberapa kali terjadi
repetitive motion dalam melakukan suatu pekerjaan. Keluhan otot terjadi karena otot
menerima tekanan akibat beban kerja terus menerus tanpa memperolah kesempatan
untuk relaksasi. Dalam Humantech (1995), posisi tangan dan pergelangan tangan
berisiko apabila dilakukan gerakan berulang/frekuensi sebanyak 30 kali dalm semenit
dan sebanyak 2 kali per menit untuk anggota tubuh seperti bahu, leher, punggung dan
kaki.
Gerakan lengan dan tangan yang dilakukan secara berulang-ulang terutama pada
saat bekerja mempunyai risiko bahaya yang tinggi terhadap timbulnya CTDs. Tingkat
risiko akan bertambah jika pekerjaan dilakukan dengan tenaga besar, dalam waktu yang
sangat cepat dan waktu pemulihan kurang.
Beberapa studi telah dilakukan yang memberikan indikasi tingkat bahaya dari
pekerjaan dengan tangan. Silvertein (1987) mendefinisikan pekerjaan berulang sebagai
salah satu dengan waktu putaran kurang dari 30 detik atau lebih dari 50% waktu putaran
disimpan untuk menampilkan aksi pokok yang sama. Penggunaan definisi ini, hubungan
yang signifikan ditemukan antara kegiatan berulang-ulang (repetitiveness) dan
keberadaan CTD. Luopajarvi (1997) membandingkan prevalensi tenosynovitis dan
penyakit lainnya pada pekerja perakitan. Pekerja perakitan dikarakteristikan dengan
gerakan tangan yang berulang-ulang, dengan jari dan tangan secara tetap menangani
mesin, lebih dari 25.000 gerakan tangan setiap hari kerja. Penelitian menemukan secara
statistic hubungan yang signifikan (p<0,001) anatara pekerja perakitan dan keberadaan
sindrom otot-tendon dan CTD. Kenyataannya, 56% dari pekerja perakitan menderita
penyakit pada lengan bawah dan atau pergelangan tangan, dibandingkan dengan
kelompok control hanya 14%. Studi ini menyarankan bahwa gerakan tangan sebanyak
25.000 atau lebih untuk tiap hari kerja (kira-kira 50 gerakan tangan per menit)
berkontribusi terhadap perkembangan CTD.
Lain halnya dalam penelitian Lie T Merijanti S (2005) yang meniliti mengenai
gerakan repetitive berulang terhadap risiko terjadinya sindrom terowongan karpal pada
pekerja wanita di pabrik pengolahan makanan. Penelitian tersebut mengkategorikan
jumlah gerakan repetitif tangan/jam kedalam 3 katagori, yaitu repetitif rendah bila
jumlah gerakan <1000/jam, repetitif sedang bila jumlah gerakan 10001200/jam dan
repetitive tinggi bila jumlah gerakan >1200/jam.
2.6.1.6 Genggaman
Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai contoh,
pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang lunak akan
menerima tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila hal ini sering terjadi, dapat
menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap (Tarwaka et al, 2004). Menurut Sumamur
(1989) memegang diusahakan dengan tangan penuh dan memegang dengan hanya
beberapa jari yang dapat menyebabkan ketegangan statis lokal pada jari tersebut harus
dihindarkan.
Pada penelitian Hanne dan kawan-kawan (1995) pada pekerja perusahaan kayu
dan furniture, diketahui bahwa LBP berhubungan dengan usia dan masa kerja yang lebih
lama.
Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula
tingkat keluhan yang dirasakan (Tarwaka et al, 2004). Perokok lebih memiliki
kemungkinan menderita masalah punggung dari pada bukan perokok. Efeknya adalah
hubungan dosis yang lebih kuat dari pada yang diharapkan dari efek batuk risiko
meningkat sekitar 20% untuk setiap 10 batang rokok perharin (Pheasant, 1991).
Beberapa penelitian membuktikan bahwa meningkatnya keluhan otot terkait
dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Semakin lama atau semakin tinggi
frekuensi merokok semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan.seperti
survey yang dilakukan di Britania oleh Palmer et al (1996) ditemukan 13.000 orang
yang merokok sering mengeluhkan rasa ridak nyaman pada musculoskeletal dan rasa
lumpuh terhadap cidera musculoskeletal dibandingkan mereka yang tidak pernah
merokok. Hal ini disebabkan rokok dapat merusak jaringan otot dan mengurangi respon
syaraf terhadap rasa sakit. Palmer juga mengatakan penyebab perokok lebih merasakan
sakit musculoskeletal antara lain:
1) Zat nikotin yang terkandung di dalam rokok merupakan stimulan kuat yang
secara efektif menjalankan respon sakit pada tubuh perokok
2) Asap
rokok
mungkin
musculoskeletal
dengan
menyebabkan
cara
kerusakan
mengurangi
umum
suplai
darah
pada
jaringan
ke
jaringan
Hal ini terjadi karena kebiasaan merokok akan dapat menurunkan kapasitas paru
sehingga kemampuan menghirup oksigen menurun. Akibatnya adalah kekuatan dan
ketahanan otot menurun karena suplai oksigen ke otot juga menurun sehingga produksi
energi terhambat, lalu penumpukan asam laktat di otot, kemudian timbul rasa lelah
hingga nyeri otot.
Pendapat serupa dinyatakan dalam NIOSH (1997), yang mengunkapkan bahwa
merokok juga dapat menimbulkan rasa sakit pada punggung karena disebabkan batuk
yang diderita perokok dapat meningkatkan tekanan pada abdominal dan intradiscal,
sehingga menyebabkan tekanan pada bagian tulang belakang serta kandungan zat kimia
dalam rokok dapat mempengaruhi berkurangnya kandungan mineral dalam tulang yang
berakibat microfractures.
Perokok lebih memiliki kemungkinan menderita masalah punggung dari pada
bukan perokok. Efeknya adalah hubungan dosis dan lebih kuat dari pada yang
diharapkan dari efek batuk. Meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan
lama dan tingkat kebiasaan merokok. Risiko meningkat 20% untuk tiap 10 batang rokok
per hari. Mereka yang telah berhenti merokok selama setahun memiliki risiko LBP sama
dengan mereka yang tidak merokok. Kebiasaan merokok akan menurunkan kapasitas
paru-paru, sehingga kemampuannya untuk mengkonsumsi oksigen akan menurun. Bila
orang tersebut dituntut untuk melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka
akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah (Jeanie Croasmun.
2003).
Croasmun (2003) juga menanbahkan bahwa perokok memiliki risiko 50 % lebih
besar untuk merasakan MSDs. Hal ini dikarenakan efek rokok akan menciptakan respon
rasa sakit atau sebagai permulaan rasa sakit, mengganggu penyerapan kalsium pada
tubuh sehingga meningkatkan risiko terkena osteoporosis, menghambat penyembuhan
luka patah tulang serta menghambat degenerasi tulang.
berkali-kali. Olahraga dengan beban ringan seperti dumble yang dilakukan dengan
jumlah angkatan tertentu (sampai 12 kali) dapat meningkatkan kekuatan otot. Otot yang
bertambah kuat akan mampu melakukan gerakan yang lebih lama sehingga aliran darah
kejantung akan lebih meningkat. Setiap olahraga dinamis ditandai dengan memanjang
dan memendeknya otot-otot, ketegangan otot-otot tidak menjadi tujuan, sebab yang
diinginkan adalah bertambahnya aliran darah. Olahraga dinamis mampu meningkatkan
aliran darah sehingga sangat menunjang pemeliharaan jantung dan system pernapasan.
Ditambahkan pula oleh Kusmana (2007) yang mengungkapkan mengenai
frekuensi olahraga menurut pendapat seorang penganjur olahraga aerobic yaitu Cooper.
Dahulu Cooper menyampaikan untuk setiap hari berolahraga, tetapi akhirnya setelah
melakukan pengamatan yang lama ia mengakui bahwa olahraga 3 kali dalam seminggu
saja sudah cukup. Berbagai penelitian menunjukkan frekuensi latihan minimal 3 kali
seminggu pada hari yang bergantian, artinya selang sehari. Badan memerlukan
pemulihan selesai berolahraga sehingga satu hari olahraga dan satu hari lainnya tidak,
cukup memberi kesempatan pada otot dan persendian untuk memulihkan diri. Kusmana
(2007) menyebutkan olahraga yang baik untuk kesehatan jantung dan peredaran darah
diantaranya adalah marathonb,tenis, mendayung 2000 m, berenang 400 m, panahan, lari
gawang 200-800 m, skate 10.000 m, jogging dan jalan cepat, lari 1-5 km, dan olahraga
aerobic lainnya.
Adapun yang di maksud dengan Konsep Olahraga Kesehatan adalah: Padat
gerak, bebas stress, singkat (cukup 10-30 menit tanpa henti), ), adekuat, massaal, mudah,
murah, meriah dan fisiologis (bermanfaat dan aman). Adekuat artinya cukup, yaitu
cukup dalam waktu (10-30 menit tanpa henti) dan cukup dalam intensitasnya. Menurut
Cooper (1994), intensitas Olahraga Kesehatan yang cukup yaitu apabila denyut nadi
latihan mencapai 65-80% DNM (Denyut nadi maximal: 220-umur dalam tahun)
(Santosa, 2007).
2.6.3
Faktor Lingkungan
2.6.3.1 Getaran
Getaran ini terjadi ketika spesifik bagian dari tubuh atau seluruh tubuh kontak
dengan benda yang bergetar seperti menggunakan power handtool dan pengoperasian
forklift saat mengangkat beban. Getaran juga dapat menyebabkan kontraksi otot
meningkat yang menyebabkan peredaran darah tidak lancar, sehingga terjadi
peningkatan timbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri.
Vibrasi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai gerakan ditimbulkan tubuh
terhadap titik tertentu. Vibrasi yang ditimbulkan oleh mesin biasanya sangat komplek
tapi regular. Vibrasi memiliki 2 parameter yaitu: kecepatan dan intensitas (Oborne,
1995). Vibrasi dengan frekuensi 4-8 hz (frekuensi natural dari trunk) dapat
menimbulkan efek nyeri, khususnya untuk bagian tubuh dada, bahkan menyebabkan
kesulitan bernafas. Pada frekuensi 10-20 Hz dapat menyebabkan sakit kepala dan
tegangan mata, sedangkan pada frekuensi 4-10Hz akan menimbulkan nyeri pada
abdominal. Komplain akan sakit punggung biasanya terjadi jika terdapat getaran 8-12
Hz (Pulat, 1992).
2.6.3.2 Suhu
Pajanan pada udara dingin, aliran udara, peralatan sirkulasi udara dan alat-alat
pendingin dapat mengurangi
daya
sentuh.
penggunaan otot yang berlebihan untuk memegang alat kerja dapat menurunkan resiko
ergonomi.
Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh mengakibatkan sebagian energi di
dalam tubuh dihabiskan untuk mengadaptasikan suhu tubuh terhadap lingkungan.
Apabila tidak disertai pasokan energi yang cukup akan terjadi kekurangan suplai energi
ke otot (Tarwaka, 2004).
Berdasarkan rekomendasi NIOSH (1984) tentang kriteria suhu nyaman, suhu
udara dalam ruang yang dapat diterima adalah berkisar antara 20-24 C (untuk musim
dingin) dan 23-26 C (untuk musim panas) pada kelembapan 35-65%. Rata-rata gerakan
udara dalam ruang yang ditempati tidak melebihi 0.15 m/det untuk musim dingin dan
0.25 m/det untuk musim panas. Kecepatan udara di bawah 0.07 m/det akan memberikan
rasa tidak enak di badan dan rasa tidak nyaman. Beberapa penelitian menyimpulkan
bahwa pada temperature 27-30 C, maka performa kerja dalam pekerjaan fisik akan
menurun (Pulat, 1992).
2.6.3.3 Pencahayaan
Pencahayaan akan mempengaruhi ketelitian dan performa kerja. Bekerja dalam
kondisi cahaya yang buruk, akan membuat tubuh beradaptasi untuk mendekati cahaya.
Jika hal tersebut terjadi dalam waktu yang lama meningkatkan tekanan pada otot bagian
atas tubuh (Bridger, 1995).
Pencahayaan yang inadekuat dapat merusak salah satu fungsi organ tubuh. Hal
ini berkaitan dengan tingkat pekerjaan yang membutuhkan tingkat ketilitian yang tinggi
atau tidak. Bila pencahayaan yang inadekuat pada ruangan kerja akan menyebabkan
postur leher lebih condong kedepan (fleksi) begitupun dengn postur tubuh, postur seperti
ini dapat menambah risiko MSDs.
awalmenggunakan
struktur
dan
bentuk
sistem
tingkatan
untuk
mengidentifikasi penerimaan tiap tugas dalam suatu pekerjaan. BRIEF digunakan untuk
menentukan sembilan bagian tubuh yang dapat beresiko terhadap terjadinya CTD
(Cummulative Trauma Disorders) atau risiko gangguan kesehatan pada sistem rangka.
Penilaian pekerjaan menggambarkan tinjauan ulang ergonomi secara mendalam dari
ketiga penetapan data ( sederhana, mudah dipahami, dan dapat dipercaya) dan juga yang
paling memberikan beban paling berat. Bagian tubuh yang dianalisa meliputi : tangan
kiri, dan pergelangannya, siku kiri, bahu kiri, leher, punggung, tangan kanan dan
pergelangnya, siku kanan, bahu kanan dan kaki (Humantech, 1989, 1995)
Survei ini mengidentifikasi risiko-risiko yang berhubungan dengan postur,
tenaga, durasi dan frekuensi ketika mengobservasi ke-sembilan bagian tubuh tersebut.
Penilaian risiko digunakan untuk menentukan tinggi, sedang, atau rendahnya risiko
untuk setiap bagian tubuh.
Merupakan metode yang cepat untuk menganalisa postur tubuh pada suatu
pekerjaan yang dapat menyebabkan risiko ergonomi.
Dapat digunakan untuk postur tubuh yang stabil maupun yang tidak stabil.
Fasilitas kerja dan metode kerja yang lebih baik dapat dilakukan ditinjau dari
analisa yang telah dilakukan.
Tidak menilai kondisi lingkungan kerja terutama yang berkaitan dengan vibrasi,
temperature dan jarak panadang
2.7.4.2 Prosedur
REBA memiliki enam langkah:
a. Obeservasi pekerjaan
Mengobservasi pekerjaan untuk mendapatkan formula yang tepat dalam
pengkajian faktor ergonomi di tempat kerja, termasuk dampak dari desain tempat kerja
dan lingkungan kerja, penggunaan peralatan, dan perilaku pekerja yang mengabaikan
risiko. Jika memungkinkan, data disimpan dalam bentuk foto atau video. Bagaimanapun
juga, dengan menggunakan banyak peralatan observasi sangat dianjurkan untuk
mencegah kesalahan parallax.
b. Memilih postur yang akan dikaji
Memutuskan postur yang mana untuk dianalisa dapat dengan menggunakan
kriteria dibawah ini :
a) Postur yang sering dilakukan
b) Postur dimana pekerja lama pada posisi tersebut
c) Postur yang yang membutuhkan banyak aktivitas otot atau yang banyak
menggunakan tenaga
d) Postur yang diketahui menyebabkan ketidaknyamanan
e) Postur extreme, tidak stabil, atau postur janggal, khususnya postur yang
menggunakan kekuatan
f) Postur yang mungkin dapat diperbaiki oleh intervensi, kontrol, atau perubahan
lainnya.
Keputusan dapat didasari pada satu atau lebih kritera di atas. Kriteria dalam
memutuskan postur mana yang akan dianalisa harus dilaporkan dengan disertai hasil
atau rekomendasi.
c. Memberikan penilaian pada postur tersebut
Menggunakan kertas penilaian dan penilaian bagian tubuh untuk menghitung
skor postur. Penilaian awal dibagi dua grup :
a. Grup A : badan/dada, leher, kaki
b. Grup B : Lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan
Postur grup B dinilai terpisah untuk sisi kiri dan kanan. Sebagai catatan poin
tambahan dapat dimasukan atau dikurangi, tergantung dari posisinya. Contoh, dalam
grup B, lengan atas dapat disangga dalam posisi tersebut (terdapat sandaran lengan),
sehingga 1 nilai dikurangi dari poinnya. Skor load/force score, coupling score, dan
activity score disediakan pada tahapan ini. Proses ini dapat diulangi pada setiap sisi
tubuh dan untuk postur lainnya.
d. Proses penilaian
Gunakan tabel A untuk menghasilkan skor tunggal dari badan, leher, dan kaki.
Kemudian dicatat dalam kotaknya dan dimasukan kedalam load/force score untuk
menghasilkan skor A. Sama seperti sebelumnya penilaian lengan atas, lengan bawah dan
pergelangan tangan digunakan untuk menghasilkan nilai tunggal yang menggunakan
tabel B. Penilaian ini akan kembali dilakukan apabila risiko terhadap muskuloskeletal
berbeda. Penilaian kemudian dimasukan ke dalam nilai gabungan untuk menghasilkan
nilai B. Nilai A dan B dimasukan ke dalam Tabel C dan kemudian nilai tunggal
didapatkan. Nilai tunggal ini adalah skor C atau skor keseluruhan.
2.8
(OSHA), tindakan ergonomik untuk mencegah adanya sumber penyakit adalah melalui
dua cara, yaitu rekayasa teknik melalui desain stasiun dan alat kerja dan rekayasa
manajemen melalui criteria dan organisasi kerja (Grandjean, 1993). Berikut merupakan
penjabaran dari dua cara tindakan pengendalian yang telah disebutkan sebelumnya,
antara lain:
1. Rekayasa teknik
Rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa alternatif
sebagai berikut:
Eliminasi, yaitu menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal ini jarang bisa
dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerjaan yang mengharuskan untuk
menggunakan peralatan yang ada.
Substitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengan yang baru yang aman,
menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur penggunaan
peralatan.
2. Rekayasa Manajemen
Rekayasa manajemen dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan sebagai berikut:
MSDs mencakup engineering controls dan administrative controls seperti yang akan
dijelaskan berikut ini.
1. Diantara pengendalian-pengendalian engineering untuk mengeliminasi atau
mengurangi faktor-faktor risiko pada pekerjaan, berikut ini yang dapat
dipertimbangkan:
Menggunakan
bantuan
mesin
untuk
mengeliminasi
atau
Menyediakan
tempat
kerja
yang
dapat
disesuaikan
dengan
Mengimplementasikan
program
pemeliharaan
dan
pengendalian
Merealokasikan
penempatan
kerja,
seperti
memberlakukan
rotasi
BAB III
TINJAUAN KASUS (SIMULASI)
: Ibu Z
Umur/tanggal lahir
: 30 tahun.
Alamat
: Jakarta
Jenis kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Tukang bubur
Status Perkawinan
: Menikah.
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
.
3.3 Anamnesis Okupasi
Diperlukan anamnesis mengenai pekerjaannya, sudah berapa lama melakukan
pekerjaannya sebagai penjual bubur, berapa lama dalam sehari pasien melakukan
pekerjaannya, seberapa sering pasien mengaduk bubur setiap harinya, dan apakah pasien
pernah mengalami hal serupa sebelumnya, dll.
3.4 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
Status interna
Status psikiatri
Status neurologis
Kesadaran
Fungsi luhur
Fungsi sensoris
Taktil
Nyeri
Suhu
Diskriminan 2 titik
Lokalis
: dbn
: dbn
:
: GCS E4V5M6
: dbn
:
:
:
:
:
:
Kanan
turun
dbn
dbn
turun
turun
Fungsi motorik:
Kekuatan
Trofi
Tonus
:
:
:
C. Pemeriksaan nyeri
Flicks sign
Wrist extension test
Phalens test
Tinelss sign
Atas
5
normal
normal
: (+/-)
: (+/-)
: (+/-)
: (+/-)
Lengan
Kiri
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
Pressure test
: (+/-)
BAB IV
PEMBAHASAN
a. Diagnosis klinis:
Anamnesis:
- Keluhan utama
- Riwayat penyakit
Pemeriksaan Fisik
Status interna
Status psikiatri
Status neurologis
Kesadaran
Fungsi luhur
: dbn
: dbn
:
: GCS E4V5M6
: dbn
Fungsi sensoris
Taktil
Nyeri
Suhu
Diskriminan 2 titik
Lokalis
:
:
:
:
:
:
Lengan
Kanan
turun
dbn
dbn
turun
turun
Fungsi motorik:
Kekuatan
Trofi
Tonus
:
:
:
Atas
5
normal
normal
Pemeriksaan nyeri
Flicks sign
Wrist extension test
Phalens test
Tinelss sign
Pressure test
Kiri
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
Ekstremitas Superior Kanan
Tengah
Bawah
5
5
normal
normal
normal
normal
: (+/-)
: (+/-)
: (+/-)
: (+/-)
: (+/-)
Pemeriksaan laboratorium
Tidak dilakukan
Pemeriksaan penunjang lainnya
- Patologi Anatomi:- Radiologi:Kesimpulan Diagnosis Klinis: Carpal tunnel syndrome
b. Pajanan yang dialami: mengaduk bubur sekuali besar setiap harinya selain itu juga
melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci dan memeras pakaian dengan tangan
c. Hubungan antara pajanan dengan penyakit: ada hubungan antara pajanan dengan
penyakit, karena dari hasil anamnese terdapat faktor risiko yang dialami oleh pasien yang
dapat menyebabkan CTS seperti repetisi, force, frekuensi, dan durasi. Hal tersebut
dilengkapi dengan gejala yang khas CTS dan dari hasil pemeriksaan sign dan yang bisa
dijadikan catatan juga adalah pekerja telah melakukan hal tersebut selama 8 tahun lamanya
d. Jumlah pajanan cukup? Ya dari anamnesa didapatkan pasien sudah melakukan
pekerjaan tersebut selama 8 tahun, dan setiap hari
Lengan kanan dari sendi bahu ke bawah, selama-lamanya tak mampu bekerja
sebagian, karena kehilangan; tunjangan berapa % dari upah; degan catatan :
*) catatan : dengan berlakunya UU No. 3 tahun 1992, aturan ini tercantum dalam PP No. 14 tahun 1993.
1.
5%
75%
50%
50%
b. Sendi lutut
Pasca minisectomi
5%
20-30%
Peletectomy
20%
Gangguan gerak:
0-110
5%
0- 80
15%
0-60
35%
15-90
40%
Impairment and loss of physical eversi (diperhitungkan 80% dari anggota gerak
bawah) lebih dari iversion. Sedangkan kekakuan sendi pergelangan lebih besar dari
tulang-tulang tarsalia dan tarsal-metarsal lebih kecil dari jari-jari kaki.
2. Anggota gerak atas
a. Bahu : berdasarkan sendi berkisar
5-50%
65%
Termasuk bagian yang penting dan ini dijabarkan sapai ke jari, akibat posisi yang
tidak baik dari jari serta kekakuan tiap sendi termasuk tinggi: 75 100%. Selain
itu dari jenis jari yaitu :
Ibu jari
50%
Telunjuk
75%
Tengah
10%
Cincin
10%
Kelingking
10%
3. Tulang belakang
Dibedakan antara :
Sprain, contusio
Fraktur dislokasi
Keberhasilan tindakan
Untuk :
bagian leher
Lumbal bawah
Dengan adanya patokan/pedoman semacam ini, maka akan lebih mudah bagi
seseorang dokter menghitung tingkat derajat kecacatan yang perhitungan
kompensasinya dapat dihitung secara administratif, karena sebenarnya wewenang
dokter hanyalah menentukan derajat bidang mediknya saja untuk menghindarkan
faktor subjektif dalam penentuan cacat.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
1. Penyakit/kecelakaan di bidang orthopedia memerlukan diagnosis selain anatomi
juga fungsi dari anggota gerak/sendi dalam menentukan kecacatan
2. Penilaian akhir, memerlukan waktu karena perjalanan penyakit menuju kesembuhan
dapat dan atau menimbulkan kecacatan sehingga evaluasi perlu melihat stadia pada
waktu penderita dinilai (bila tidak progresif/keadaan stabil, cacat permanen, stadia
handicap)
3. Penilaian bidang othopedia perlu memperhatikan fungsi atas dasar kelainan bentuk
anatomi serta kemampuan berbuat akibat kelemahan, stabilitas dan kekakuan
4. Penilaian tingkat kecacatan mempunyai 2 pengertian. Dari segi medik, menghitung
% gangguan fungsi fisik berdasarkan kelainan anatomi/bentuk, sedangkan dari segi
administratif menghitung % kompensasi berdasarkan pemeriksaan % medik
5. Perlu pedoman penailan atas dasar kelainan yang ada yang dapat dipakai sebagai
patokan yang lebih memadai, yang dibuat oleh perkumpulan profesi kerjasama
dengan Depnaker.
DAFTAR PUSTAKA
nd
Buchari. Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Terkait Kerja. USU Repository
2007.
Canadian Centers for Occupational Health & Safety.
2005. WMSDs
(online).. http://www.ccohs.ca/oshanwers/ergonomics/riks.html (diakses 2
Oktober
2010).
Cohen, Alexander L. et al.. Element Of Ergonomics Programs. A Primer Based
On Workplace Evaluations Of Musculoskeletal Disorders. Amerika : U.S
Departemenof Health and Human Services. NIOSH. 1997.
NIOSH. Musculoskeletal Disorders and Workplace Faktors: A Critical
Review of Epidemiologic Evidence for Work Related Musculoskeletal Disoeder.
NIOSH: Centers of Disease Contrrol and Prenvention. 1997.
NIOSH. Ergonomi Guidelines for Manual Material Handling. Columbia:
NIOSH Publications Disseminations. 2007.
DiNardi, Salvatore, R. 1997. The Occupational Environment-Its Evaluation and
Control. Virginia. American Industrial Hygienne Association.
th
Grandjean, E.1993. Fitting The Task to The man, 4 ed. London: Taylor dan
Fancis.inc.
Sumamur. (1989). Ergonomi untuk Produktivitas Kerja. Jakarta: CV Haji Mas
Agung.
66